bab ii

18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Lokasi Studi Kota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat. Luasnya 107,82 km² yang terdiri dari 6 kecamatan dan 29 kelurahan. Kota Pontianak dilintasi oleh garis khatulistiwa yaitu pada 0° 02’ 24” Lintang Utara sampai dengan 0° 05’ 37” Lintang Selatan dan 109° 16’ 25” Bujur Timur sampai dengan 109° 23’ 01” Bujur Timur. Ketinggian Kota Pontianak berkisar antara 0.8-1,5 m diatas permukaan laut. Di dalam wilayah Kota Pontianak banyak terdapat sungai-sungai dan parit-parit. Sungai dan parit tersebut dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan sebagai penunjang sarana transportasi. Dari enam kecamatan yang terdapat di Kota Pontianak yang merupakan daerah penelitian yaitu Kecamatan Pontianak Utara, kecamatan ini memiliki luas wilayah yang paling besar di bandingkan kecamatan lainya di Kota Pontianak yakni 39,97 km 2 atau 34,52% dari luas keseluruhan Kota Pontianak dan memiliki beberapa saluran primer yang bermuara ke Sungai Kapuas dimana dalam penelitian ini ada 7 saluran berupa anak sungai dan parit yang akan diteliti yakni sebagai berikut (PU Kota Pontianak, 2013): Tabel 1. Sungai atau Parit di Kecamatan Pontianak Utara No . Nama Sungai atau Parit Panjang Sungai atau Lebar Sungai atau Luas DAS (km 2 )

Upload: dewi-kurniasari-6799

Post on 30-Dec-2015

54 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Lokasi Studi

Kota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat. Luasnya 107,82 km²

yang terdiri dari 6 kecamatan dan 29 kelurahan. Kota Pontianak dilintasi oleh garis

khatulistiwa yaitu pada 0° 02’ 24” Lintang Utara sampai dengan 0° 05’ 37” Lintang Selatan

dan 109° 16’ 25” Bujur Timur sampai dengan 109° 23’ 01” Bujur Timur. Ketinggian Kota

Pontianak berkisar antara 0.8-1,5 m diatas permukaan laut. Di dalam wilayah Kota Pontianak

banyak terdapat sungai-sungai dan parit-parit. Sungai dan parit tersebut dimanfaatkan oleh

sebagian masyarakat untuk keperluan sehari-hari dan sebagai penunjang sarana transportasi.

Dari enam kecamatan yang terdapat di Kota Pontianak yang merupakan daerah

penelitian yaitu Kecamatan Pontianak Utara, kecamatan ini memiliki luas wilayah yang

paling besar di bandingkan kecamatan lainya di Kota Pontianak yakni 39,97 km2 atau 34,52%

dari luas keseluruhan Kota Pontianak dan memiliki beberapa saluran primer yang bermuara

ke Sungai Kapuas dimana dalam penelitian ini ada 7 saluran berupa anak sungai dan parit

yang akan diteliti yakni sebagai berikut (PU Kota Pontianak, 2013):

Tabel 1. Sungai atau Parit di Kecamatan Pontianak Utara

No. Nama Sungai atau Parit

Panjang Sungai

atau Parit (m)

Lebar Sungai

atau Parit (m)

Luas DAS (km2)

1 Parit Telok Melano 828 - 0,362 Parit Sahang Besar (PLTD) 1.287 -  0,283 Sungai Sahang kecil 8.500 13,35-4,20 3,804 Parit Belanda 3.000  - 5,205 Parit Cek Khwok 453  - 0,406 Parit Pak Kacong 4.800 10,00-4,00 1,717 Sungai Kunyit 4.000 10,00-4,00 1,96

Sumber: PU Kota Pontianak 2013

Pada tahun 2012 Kecamatan Pontianaka Utara memiliki jumlah penduduk sebesar

116.855 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.924 jiwa/km2, dengan angka laju pertumbuhan

penduduk sebesar 1,8 % per tahunya yang terbagi ke dalam 4 kelurahan, yakni Kelurahan

Siantan Hulu, kelurahan Siantan tengah. kelurahan Siantan Hilir dan Kelurahan Batulayang

(BPS Kota Pontianak, 2013).

Page 2: BAB II

Berikut jumlah penduduk masing masing kelurahan di Kecamatan Pontianak Utara :

Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan kepadatan Penduduk di Kecamatan Pontianak

Utara Menurut Kelurahan

No.

Kelurahan Luas (km2)Jumlah

PendudukKepadatan

(Km2)1 Batu Layang 9,20 19.726 2.1442 Siantan Hilir 7,87 27.880 3.5433 Siantan Tengah 13,70 30.863 2.2534 Siantan Hulu 9,20 38.386 4.172

Jumlah 39,97 116.855 2.924Sumber: BPS Kota Pontianak, 2013

Kecamatan Pontianak Utara merupakan wilayah yang paling beragam komposisi

penggunaan lahanya jika di bandingkan dengan wilayah kecamatan lain di Kota Pontianak

mulai dari penggunaan lahan untuk pemukiman, industri, agribisnis, perkebunan, pasar,

kuburan dan bahkan TPA. Penggunaan lahan tersebut memberikan kontribusi yang tidak

sedikit bagi pencemaran perairan.

2.2 Pencemaran Air Sungai

Air Permukaan adalah air yang berada di permukaan tanah. Air permukaan

merupakan salah satu sumber yang dapat di pakai untuk bahan baku air bersih, terutama

untuk air minum. Dibandingkan dengan sumber lain, air permukaan merupakan sumber air

yang mudah tercemar. Keadaan ini terutama berlaku bagi tempat tempat yang dekat dengan

tempat tinggal penduduk. Hampir srmua buangan dari sisa kegiatan manusia dilimpahkan

kepada air atau di cuci dengan air, dan pada waktu di buang akan di buang ke badan air

permukaan (Kusnoputranto 1986 dalam Maulana, 2001)

Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air

didefinisikan sebagai : “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup,

zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga kualitas air

turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan

peruntukannya” (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai

makna pokoknya menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku

dan aspek akibat (Setiawan, 2001).

Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa

masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga

menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur

pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin,

Page 3: BAB II

misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab yang disebabkan oleh alam, atau oleh

manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi

Pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat

dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat

tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat

tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah

sampai ke batas atau melewati batas).(Achmadi, 2001).

Kualitas air pada dasarnya dapat dilakukan dengan pengujian untuk membuktikan

apakah air itu layak dikonsumsi. Penetapan standar sebagai batas mutu minimal yang harus

dipenuhi telah ditentukan oleh standar Internasional, standar Nasional, maupun standar

perusahaan. Di dalam peraturan Pemerintah Republik Indanesia Nomor 82 Tahun 2001

tentang kualitas dan pengendalian pencemaran air disebutkan bahwu mutu air telah

diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yang terdiri dari :

1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan untuk

peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegiatan tersebut.

2. Kelas dua, air yang diperuntukannya dapat digunakan untuk prasarna/sarana rekreasi air.

pembudidayaan ikan air tawar. peternakan, air untuk mengairi pertanian, dan peruntukan

lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3. Kelas tiga, yang diperuntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar,

peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan peruntukan lain yang persyaratan mutu

air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4. Kelas empat, air yang diperuntukannya lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama

dengan kegunaan tersebut.

2.3 Tata Guna Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Kualitas Air

Proses penataan ruang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan

permukiman dan pengelolaan sumberdaya air dengan mengacu kepada Undang-undang No.

24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang mencakup

pengembangan lahan, air, udara dan sumber daya lainnya. Dengan demikian pengelolaan

sumberdaya air adalah bagian dari penataan ruang.

Pengaruh guna lahan pada masalah air baku terlihat pada penggunaan lahan antara

lain permukiman, perdagangan/jasa atau industri di sekitar lokasi sumber air baku seperti di

waduk/dam, sehingga segala aktivitas dan perubahan yang terjadi di kawasan tersebut

memberi dampak pengaruh pada sumber air baku melalui jaringan aliran drainase baik alam

Page 4: BAB II

maupun buatan yang menghubungkan antara kawasan tersebut dengan sumber air baku,

dengan dipengaruhi oleh kondisi alam dan lingkungan antara lain bentuk topografi, kepadatan

bangunan, jumlah penduduknya, kegiatan penduduknya dan jenis tanahnya (Sugiarto,

2005:38).

Kondisi topografi yang landai selalu menjadi pilihan penduduk untuk tinggal di

tempat tersebut dengan pertimbangan ekonomis, teknis, maupun aksesbilitasnya menjadikan

tempat tersebut sebagai konsentrasi persebaran penduduk. Perkembangan penduduk dengan

segala aktifitasnya selalu menghasilkan limbah baik padat maupun cair, dengan segala bentuk

perilaku, pengetahuan dan budaya masyarakat yang beraneka ragam juga berpengaruh di

dalam perlakuan mereka terhadap limbah yang dihasilkan. Pada umumnya perumahan

masyarakat padat penduduk tidak mempunyai lahan yang cukup luas disamping alasan

ekonomis untuk membuat sumur resapan yang berguna untuk meresapkan limbah rumah

tangga baik dari kamar mandi maupun dari dapur. Sedangkan limbah lain yang dihasilkan

berasal dari industri rumah tangga maupun dari hasil aktifitas perdagangan/jasa, seperti

rumah makan, pasar, laundry dan lain-lain. Biasanya limbah tersebut langsung dialirkan

melalui pipa ke dalam saluran drainase lingkungan dan terkadang sampah juga ikut dibuang

ke saluran ini, dimana alirannya akan menuju ke saluran drainase perkotaan yang akan

mengalir menurut kondisi topografinya menuju laut atau sumber air baku seperti dam atau

waduk, hal ini akan semakin parah jika hujan turun karena berkurangnya daerah resapan

maka kecepatan run off semakin bertambah, sehingga limbah akan terbawa aliran air hujan

dengan cepat menuju sumber air baku. Akibatnya sumber air menjadi tercemar, dikarenakan

sumber air tersebut digunakan sebagai air baku yang akan diolah menjadi air bersih maka

pada akhirnya air bersih yang dihasilkan menjadi sangat mahal.

2.4 Parameter Kualitas Air

2.4.1 Suhu

Kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat yaitu: (a) Jumlah oksigen

terlarut di dalam air menurun; (b) Kecepatan reaksi kimia meningkat; (c) Kehidupan ikan

dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan

hewan air lainnya akan mati (Effendi, 2003).

Perubahan suhu suatu badan air perairan pesisir berpengaruh terhadap proses fisika,

kimia dan biologi perairan. Alga akan tumbuh dengan baik pada suhu 30°C - 35°C serta

fitoplankton pada suhu 20°C - 30°C. Sedangkan air sungai memiliki titik beku (-1,90C). Suhu

alami air sungai adalah suhu normal dimana organisme dapat hidup sesuai dengan oksigen

Page 5: BAB II

yang dibutuhkan. Besaran suhu (temperatur) air laut yang terdapat pada baku mutu adalah

alami dengan deviasi 3.

2.4.2 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan kekuatan antara asam dan basa dalam air dan suatu

kadar konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Nilai pH menggambarkan kekuatan bahan

pelarut dari air, karena itu penunjukkannya mungkin dari reaksi kimia pada batu-batuan dan

tanah-tanah. Pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran

pH 6,5-8,5.

Menurut Brook et al. dalam Fakhri (2000) menyebutkan bahwa perairan sudah

dianggap tercemar jika memiliki nilai pH < 4,8 dan > 9,8. Derajat keasaman atau pH air

biasanya digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran dengan melihat tingkat keasaman

atau kebasaan air yang dikaji. Mackereth et al. dalam Effendi (2003) berpendapat bahwa pH

berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi

pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan yang bersifat

asam akan bersifat korosif. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan,

misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika kadar pH rendah.

2.4.3 COD (Chemical Oxygen Demand)

Chemical oxygen Demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) merupakan

jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat- zat organik yang ada dalam sampel

air atau banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat- zat organik menjadi

CO2 dan H2O. Pada reaksi ini hampir semua zat yaitu sekitar 85% dapat teroksidasi menjadi

CO2 dan H2O dalam suasana asam, sedangkan penguraian secara biologi (BOD) tidak semua

zat organik dapat diuraikan oleh bakteri. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air

oleh zat- zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis,

dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut didalam air .

Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l.

Sementara pada perairan yang tercemar memiliki nilai COD dapat melebihi 200 mg/l. Oleh

karena itu perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak baik untuk kegiatan perikanan

(Fakhri, 2000).

2.4.4 BOD (Biological Oxygen Demand)

Page 6: BAB II

Bahan organik yang memasuki perairan merupakan salah satu jenis pencemar

perairan. Secara alami, pencemar ini akan diuraikan oleh bakteri pengurai karena bahan

organik merupaka makanan bagi bakteri. Proses penguraian membutuhkan oksigen sehingga

reaksi ini akan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut bagi organisme perairan. BOD adalah

ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan bahan organik

secara biologi. Bila polutan dengan konsentrasi BOD yang tinggi masuk ke sungai, hal ini

akan mempercepat pertumbuhan bakteri dan membutuhkan oksigen yang semakin banyak

untuk menguraikan polutan tersebut.

Bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan

organik dan mungkin beberapa bahan anorganik, kotoran manusia dan hewan, tanaman-

tanaman yang mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya. Air

yang hampir murni mempunyai nilai BOD kira-kira 1 mg/l, dan air yang mempunyai nilai

BOD 3 mg/l masih dianggap cukup murni, tetapi kemurnian air diragukan jika nilai BOD nya

mancapai 5 mg/l atau lebih.

Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air

buangan penduduk atau industri dan untuk mendesain sistem-sistem pengolahan biologis bagi

air yang tercemar tersebut.

2.4.5 Total Nitrogen (TN)

Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan atmosfer bumi

mengandung sekitar 78% gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan

dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil.

Meskipun ditemukan dalam jumlah yang melimpah dilapisan atmosfer, akan tetapi

nitrogen tidak dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup secara langsung. Nitrogen harus

mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3.

Meskipun beberapa organisme akuatik dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk

gas, akan tetapi sumber utama nitrogen di perairan tidak terdapat dalam bentuk gas. Di

perairan, nitrogen berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas

amonia (NH3), amonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekul nitrogen (N2) dalam

bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Tranformasi nitrogen

dapat melibatkan ataupun tidak melibatkan makrobiologi dan mikrobiologi.

Nitrogen total adalah gambaran nitrogen dalam bentuk organik dan amonia pada air

limbah. Nitrogen total adalah penjumlahan dari nitrogen anorganik yang berupa N-NO3 , N-

Page 7: BAB II

NO2, dan N-NH3, yang bersifat larut; dan nitrogen organik yang berupa partikulat yang tidak

larut dalam air (Effendi,H.,2003)

N Total = (A x 0,23) + (B x 0,30) + (C x 0,89) + D

Keterangan : A = NO3 C = NH4+

B = NO2 D = N organik

2.4.6 Total Posfat (TP)

Menurut Effendi (2003) bahwa sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan

batuan mineral. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni

fosfor yang berasal dari detergen. Limpasan dari derah pertanian yang menggunakan pupuk

juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor.

Fosfat total menggambarkan jumlah total fosfat, baik berupa partikulat atau terlarut,

anorganik maupun organik. Fosfat organik banyak terdapat di pengairan. Perubahan

polifosfat menjadi ortofosfat pada air limbah yang mengandung bakteri berlangsung sangat

cepat dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada air bersih (Yuniato, 2005).

Perubahan polifosfat dan fosfat organik menjadi ortofosfat dapat dilakukan dengan peleburan

atau metode digesti dengan asam sulfat (Alaerts, dkk., 1984). Analisa fosfat dapat dilakukan

dengan metode stano klorida dalam suasana asam. Prinsip metode stano klorida ini

pembentukan asam molibdofosfor oleh reduktor timah (II) klorida untuk pembentukan warna

biru molibdenum (Clessceri, 1989).

Penentuan fosfat total dengan sampel cair didahului dengan metode digesti persulfat

untuk mendekstruksi fosfat organik atau polifosfat menjadi ortofosfat, kemudian diteruskan

dengan metode stano klorida. Pengukuran fosfat total dapat menggunakan molibdenum dan

digesti untuk mengubah polifosfat menjadi ortofosfat.

Fosfat dalam lingkungan dapat bersumber dari limbah industri dan domestik, seperti

fosfat yang berasal dari detergen. Komposisi kimia detergen terdiri dari tiga komponen utama

yaitu surfaktan, bahan pembentuk dan bahan bahan lainnya, misalnya softener (Fachrul, dkk.,

2006).

2.4.7 Coliform

Bakteri coliform adalah golongan bakteri intestinal, yaitu hidup didalam saluran

pencernaan manusia. Bakteri coliform adalah bakteri indikator keberadaan bakteri patogenik

lain. Lebih tepatnya, bakteri coliform fekal adalah bakteri indikator adanya pencemaran

bakteri patogen. Penentuan coliform fekal menjadi indikator pencemaran dikarenakan

Page 8: BAB II

jumlah koloninya pasti berkorelasi positif dengan keberadaan bakteri patogen. Selain itu,

mendeteksi coliform jauh lebih murah, cepat, dan sederhana daripada mendeteksi bakteri

patogenik lain. Contoh bakteri coliform adalah, Escherichia coli dan Enterobacter aerogenes.

Jadi, coliform adalah indikator kualitas air. Makin sedikit kandungan coliform, artinya,

kualitas air semakin baik.

2.5 Beban Pencemaran

Definisi pencemaran menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 01

Tahun 2010 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau

komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu air

limbah yang telah ditetapkan. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang

terkandung dalam air atau limbah . Beban pencemaran juga merupakan besaran satuan berat

zat pencemar dalam satuan waktu, misal 1 ton BOD/hari.

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 beban pencemaran

adalah jumlah suatu pencemar yang terkandung di dalam air atau air limbah. Selain itu beban

pencemaran juga didefinisikan sebagai bahan pencemar dikalikankapasitas aliran air yang

mengandung bahan pencemar, artinya adalah jumlah berat pencemar dalam satuan waktu

tertentu, misalnya kg/hari. Istilah beban pencemaran dikaitkan dengan jumlah total

pencemar atau campuran pencemar yang masuk ke dalam lingkungan (langsung atau tidak

langsung) oleh suatu industry aatau kelompok industri pada areal tertentu dalam periode

waktu tertentu. Pada kasus limbah rumah tangga dan kota, istilah beban pencemaran

berkaitan dengan jumlah total limbah yang masuk ke dalam lingkungan (langsung atau tidak

langsung dari komunitas kota selama periode waktu tertentu

Beban pencemaran sungai adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung

dalam air sungai. Beban pencemar sungai dapat disebabkan oleh adanya aktivitas industri,

pemukiman dan pertanian (Mitsch & Goesselink, 1993 dalam Margonof, 2007).

2.6 Debit

Debit sungai dapat diukur secara langsung atau tidak langsung. Pengukuran debit

sungai secara langsung dilakukan dengan mengukur luas potongan melintang palung sungai

dan kecepatan rata-rata airnya. Kecepatan aliran biasanya diukur dengan menggunakan alat

ukur current meter. Alat tersebut dihubungkan dengan kotak pencatat (alat monitor yang

akan mencatat jumlah putaran selama propeler tersebut berada dalam air) kemudian

dimasukkan ke dalam sungai yang akan di ukur kecepatan aliranya. Bagian ekor alat tersebut

Page 9: BAB II

menyerupai sirip dan akan berputar karena gerakan aliran air sungai. Tiap putaran ekor

tersebut akan tercatat oleh alat monitor, dan kecepatan aliran sungai akan ditentukan oleh

jumlah putaran per detik untuk kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan

metematik yang khusus disediakan untuk alat tersebut. Pengukuran biasanya dilakukan

dengan membagi kedalaman sungai menjadi beberapa bagian dengan lebar permukaan yang

berbeda.

Kecepatan aliran sungai pada setiap bagian diukur sesuai dengan kedalaman,

misalnya pada kedalaman 0,6 atau kedalaman rata rata antara 0,2 dan 0,8. Bagian kedalaman

yang dipilih untuk dasar perhitungan yang diinginkan. Selanjutnya, apabila kecepatan alitan

sudah di ketahui, besarnya debit dapat dihitung berdasarkan persamaan bernoulli atau sering

juga dikenal sebagai the continuity equation. Pada persamaan ini nilai Q diperoleh dari

perkalian antara kecepatan aliran V (m/dt) dan luas penampang melintang A (m2) atau secara

matematis:

Q=A . V

Kecepatan aliran sungai bervariasi dari yang paling kecil pada dasar sungai sampai

pada kecepatan terbesar dekat atau pada permukaan air sungai. Perhitungan yang lazim

dilakukan di lapangan adalah bahwa untuk memperoleh kecepatan rata rata aliran sungai,

kedalaman 0,2 dan 0,8 di bawah permukaan air sungai umum dipakai sebagai lokasi alat

ukur. Prosedur perhitungan kecepatan aliran sungai rata rata menurut cara tersebut di atas

adalah sebagai berikut:

1. Hitung kedalaman sungai dengan menggunakan tongkat berskala.

2. Tempatkan alat ukur current meter pada kedalaman 0,8 dari total kedalaman sungai,

dan dengan menggunakan alat pencatat waktu (stop watch), hitung kecepatan aliran

sungai melalui angka meter pada alat tersebut. Lama waktu setiap pencatatan adalah

45 detik.

3. Tempatkan alat ukur pada kedalaman 0,2 dari total kedalaman sungai dan ulangi

langkah 2. Pada sungai dangkal, perhitungan kecepatan aliran sungai dapat dilakukan

hanya pada kedalaman 0,6 dari total kedalaman sungai.

Sedangkan pengukuran debit secara tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa

cara, antara lain:

1. Luas penampang palung sungai diukur sedang kecepatan air dihitung secara analitis.

2. Debit sungai dihitung dari bangunan – bangunan air yang teradapat dalam sungai,

misalnya gorong – gorong, jembatan, talang siphon, bangunan terjun, bendung. Besar

Page 10: BAB II

debit aliran yang melalui bangunan itu dihitung dengan rumus hidraulika yang berlaku

untuk bangunan yang bersangkutan.

3. Debit sungai dihitung dari hujan

4. Debit sungai dihitung dengan menggunakan rumus – rumus empiris.

Cara tidak langsung umumnya dipakai kalau pengukuran secara langsung tidak dapat

dilakukan. Di dalam zat cair ideal, dimana tidak terjadi gesekan, kecepatan aliran (V) adalah

sama di setiap titik pada tampang lintang.

Page 11: BAB II

Daftar Pustaka

Abdurochman, A. 2005. Studi Parameter Fisika-Kimia di Perairan Pulau Panggang,

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Achmadi. 2001. Umar Fachmi, Prof. Dr.MPH, Ph.D, Peranan Air Dalam Peningkatan

Kesehatan Masyarakat, http:// www. bpk penabur. or. id / kps-jkt /berita /200104/

lap-perananair.pdf., dikunjungi 5/3/2004.

Clessceri, L.S., EG Arnorld.R.R. Trussel and A.H.F. Mory, 1989, Standart Methods for The

Examination of Water and Wastewater, 17th Ed, Washington: AWWA and APLF

Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan

Perairan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Fachrul, Melati Ferianita, Herman Haeruman, dan Anita Anggraeni, 2006, Distribusi Spatial

Nitrat, Fosfat dan Ratio N/P di Perairan Teluk Jakarta, Teknik Lingkungan,

Universitas Trisakti, Disampaikan pada Seminar Nasional Penelitian Lingkungan di

Perguruan Tinggi, IATPI –Teknik Lingkungan ITB, Bandung,

Fakhri, I. 2000. Evaluasi Kualitas Air Sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa

Barat selama periode 1996-1998. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya

Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor.

Margonof, 2007. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat, Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Maulana, Rizal. 2001. Gambaran Kualitas Air Sungai Ciulengsi Kabupaten Bogor Tahun

2001. Skripsi Program Sarjana. FKM-UI.Depok

Setiawan, Hendra, Agustus 2001, Pengertian Pencemaran Air Dari Perspektif Hukum,

http: //www. menlh .go .id/ airnet/ Artike l01 .htm, dikunjungi 7/3/2004.

Sugiarto, 2005. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press. Jakarta

Trofisa, Dany. 2011. Kajian Beban Pencemaran dan Daya Tampung Pencemaran Sungai

Ciliwung di Segmen Kota Bogor. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Yuniato, Dhany, 2005, Studi Efesiensi Sistem Pengolahan Limbah Cair di RSU dr Saiful

Anwar Malang Terhadap Parameter BOD, COD, TSS dan Phospat, Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Teknik Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya