bab ii
DESCRIPTION
baruTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kejang Demam
Menurut Arif Mansjoer (2002). Kejang demam adalah bangkitan kejang
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (Suhu rectal lebih dari 380C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kemudian Sumijati, M.E (2002),
mengemukakan kejang demam adalah kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada anak-anak terutama anak umur 6 bulan sampai 4 tahun.
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada seorang bayi atau
anak yang mengalami demam tanpa infeksi system saraf pusat. Pada awal
kejang demam biasanya anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat,
kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk
beberapa waktu, nafas terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari
biasanya. Setelah kejang anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya
berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih
dari 15 menit (Handryastuti, 2008:1).
Kejang merupakan masalah neurologik yang relatif sering dijumpai,
diperkirakan bahwa satu dari sepuluh orang akan mengalami kejang pada
suatu saat dalam hidup mereka. Dua puncak insidensi kejang adalah dekade
pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas
7
muatan paroksismal yang berlebihan dari neuron yang sangat mudah terpicu
(fokus kejang) sehingga menganggu fungsi normal otak. Kejang juga terjadi
dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti
perubahan keseimbangan asam-basa atau elektrolit. Kejang jika terjadi dalam
waktu singkat sebenarnya jarang mengakibatkan kerusakan, tetapi kejang
yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan (Jiemi Ardian, 2008).
Status konvulsi adalah kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran
selama 30 menit atau lebih, status konvulsi pada anak adalah kegawatan
yang mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Resiko
ini tergantung dari penyebab dan lamanya kejang berlangsung, makin lama
kejang berlangsung makin sulit untuk menghentikannya, oleh karena itu
tatalaksana kejang toni-klonik lebih dari 5 menit, adalah menghentikan kejang
dan mencegah terjadinya status konvulsivus (Jiemi Ardian, 2008/).
2.2. Etiologi
Penyebab kejang pada anak bisa karena infeksi, kerusakan jaringan
otak dan faktor lain yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi otak,
keadaan tersebut dapat dijumpai pada kejang demam, meningitis,
hidrosefalus. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. (Doengoes, M.E, 2001).
8
2.3. Patofisiologi Kejang Demam
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera
setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi
akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang kebutuhan metabolik secara
drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinal (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktivitas kejang (Hamilton, Persis Mary, 1995).
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat
20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
saluran tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%, oleh
karena itu kenaikan suhu dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium melalui membran tersebut, dengan akibat terjadinya lepasan muatan
listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan
yang disebut ”neurotransmitter” dan terjadi kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda tergantung tinggi rendahnya ambang kejang,
seorang anak akan menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak
9
dengan ambang kejang yang tinggi kejang baru terjadi bilu suhu mencapai
400C atau lebih (Rustam, Mochtar, 1998).
Demam juga bisa merupakan tanda bahwa kita menderita penyakit
tertentu. Karena itu demam merupakan alat pemberitahu bagi kita sendiri.
Biasanya gejala demam adalah bagian kepala, leher, dan tubuh terasa panas.
Karena itu, kalau kita memeriksa seseorang apakah dia demam atau tidak,
rabalah bagian kepala atau lehernya. (Depkes RI, 2009).
Peningkatan suhu biasanya merupakan tanda bahwa tubuh sedang
terinfeksi oleh sesuatu. Setelah infeksi sembuh, suhu tubuh akan menurun
lagi, infeksi bisa terjadi akibat bakteri atau virus yang masuk dalam tubuh.
Demam merupakan mekanisme tubuh untuk melawan infeksi, karena itu
janganlah langsung berusaha menurunkan suhu tubuh, sebab menurunkan
suhu tubuh malah bisa menutupi gejala dan memperpanjang penyakit serta
memperlambat ditemukannya penyebab. Dari kenyataan ini dapat disimpulkan
bahwa berulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan
ambang kejang rendah, sehingga dalam penaggulangannya perlu
memperhatikan pada tingkat suhu berapa pasien menderita kejang (Depkes
RI, 2009).
Kejang demam yang belangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya
10
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, disebabkan oleh metabolisme anaerob, hipotensi arterial disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang
disebabkan oleh meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya
kejang lama (Ganong, 2004).
Gangguan Membran Sel Gangguan Na-Kalium
Gangguan Keseimbangan Ion
Hiperpolarisasi
Potensial Aksi
Pelepasan Neurotransmitter di ujung Akson
Loncatan muatan listrik yang berlebihan
Diteruskan keseluruh sel saraf
KEJANG
11
2.4. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan
tidak perlu menyebabkan kematian. Resiko yang akan dihadapi oleh seorang
anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor, riwayat
penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga, kelainan dalam
perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam,
kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal (Handryastuti, 2008:2).
Bila terdapat paling sedikit 2 (dua) sampai 3 (tiga) faktor tersebut di
atas, maka di kemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam
sekitar 13%, di bandingkan bila hanya terdapat 1 (satu) atau tidak sama sekali
faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2,5 – 3% saja.
Hemiparesis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari 30 menit), baik bersifat umum maupun fokal.
Kelumpuhan sesuai dengan kejang fokal yang terjadi (Handryastuti, 2008:1).
Peneltian yang dilakukan pada 431 pasien dengan demam biasa tidak
terdapat kelainan Intelegensi Question (IQ), tetapi pada pasien yang
mengalami kejang terdapat gangguan perkembangan dan kelainan
neurologis, yaitu akan didapat IQ yang rendah dibanding anak yang tidak
mengalami kejang demam, jika kejang demam di ikuti dengan terulangnya
kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih besar
(Ngastiah, 2001).
12
2.5. Gambaran Klinis
Terjadinya kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi
diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut (OMA) dan
lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu
demam dan berlangsung singkat. Umumnya kejang berhenti sendiri, begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak setelah
beberapa detik atau menit akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf (Ngastiyah, 2001).
2.6. Penatalaksanaan Medis
Hasil simposium Fakultas Kedokteran UMS (2009) tentang
penanggulangan kejang demam, ada 4 faktor yang perlu dilakukan yaitu:
2.6.1 Memberantas Kejang secepat mungkin
Bila pasien datang dalam keadaan status konvulsivus, obat
pilihan utama adalah diazepam yang diberikan secara intra vena (IV).
Efek therapeutiknya sangat cepat, yaitu kira-kira 30 detik sampai 5
menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai apabila
diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan.
Dosis sesuai dengan berat badan < 10 Kg 0,5-0,75 mg/KgBB, dan > 20
Kg 0,5 mg/KgBB. Biasanya dosis rata-rata yang di pakai 0,3
mg/KgBB/kali dengan dosis maksimum 5 mg pada anak berumur < 5
13
(lima) tahun, dan 10 mg pada anak yang lebih besar (Handryastuti,
2008:2).
Setelah suntikan pertama secara intra vena (IV,) ditunggu 15
menit, bila masih terdapat kejang, diulangi suntikan ke dua dengan
dosis yang sama juga intra vena (IV), setelah 15 menit suntikan ke dua
masih kejang diberikan suntikan ke tiga dengan dosis sama akan
tetapi pemberiannya secara intra muskular (IM), diharapkan kejang
akan berhenti, bila belum dapat di berikan fenobarbital secara intra
vena (IV). Akibat samping diazepam adalah mengantuk, hipotensi dan
penekanan pusat pernafasan, hal ini terjadi bila sebelumnya anak telah
mendapatkan fenobarbital. Obat diazepam di berikan langsung tanpa
larutan pelarut, harus disuntik perlahan-lahan, kira-kira 1 (satu)
ml/menit dan pada bayi 1 mg diberikan dalam 1 (satu) menit.
(Handryastuti, 2008:2).
Pemberian diazepam IV pada anak yang sering kejang,
seringkali menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan
efektif adalah melalui rektum. Obat diazepam ini dapat diberikan
dengan dosis sesuai dengan berat badan anak, < 10 Kg; 5 mg/KgBB
dan > 10 Kg; 10mg/KgBB dalam rektiol/rektum, bila kejang tidak
berhenti diberikan lagi secara IV dengan dosis 0,13 mg/KgBB, cara
pemberian dengan rektal, sebelumnya diolesi vaselin/minyak pada
ujungnya kemudian masukkan ke dalam rektum sepanjang 3-5 Cm,
14
(klien dalam sikap miring), dipijit hingga kosong dan setelah ditarik
lubang anus ditutup dengan kedua muskulus gluteus (Hamitton, Persis
mary, 1995).
2.6.2 Pengobatan Penunjang.
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya
pengobatan penunjang yaitu semua pakaian ketat di buka, posisi
kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung,usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen, bila perlu dilakukan intubasi atau trakestomi dengan
pengisapan lendir harus di lakukan secara teratur dan beri oksigen.
Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, pernafasan dan fungsi jantung di
awasi dengan ketat, cairan intra vena (IV) sebaiknya di berikan dengan
di pantau untuk kelainan metabolik dan elektrolit. Jika suhu tubuh
meningkat sampai pasien hiperpireksia maka diberikan kompres
(Handryastuti, 2008:3).
2.6.3 Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam maupun epilepsi yang diprovokasi
oleh demam biasanya adalah infeksi respiratorius bagian atas dan
OMA, pemberian antibiotik yang adekuat perlu untuk mengobati
penyakit tersebut. Anak yang mengalami kejang demam yang datang
untuk pertama kali sebaiknya dilakukan fungsi lumbal untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya faktor infeksi di dalam otak,
15
misalnya meningitis. Pada anak yang diketahui kejang lama
pemeriksaan lebih di intensifkan seperti fungsi lumbal, darah lengkap
(DL), kalium, bila perlu dilakukan pemeriksaan rontgent photo
tengkorak, Electro Encepalopathy Graphy (EEG), dan lain-lain
(Handryastuti, 2008:4).
2.7. Penatalaksanaan Keperawatan
Masalah yang perlu diperhatikan pada pasien kejang demam adalah
resiko terjadinya kerusakan sel otak akibat kejang, suhu tubuh yang
meningkat di atas suhu normal, resiko terjadi bahaya atau komplikasi,
kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit, cara memberantas
kejang demam, segera diberikan diazepam intra vena, dosis rata-rata 0.13
mg/KgBB atau diazepam rektal dengan dosis berat badan anak kurang dari 10
Kg sebanyak 5 mg/KgBB, sedangkan berat badan lebih dari 10 Kg diberikan
10 mg/Kg BB (Handryastuti, 2008:4).
Jika kejang tidak berhenti, tunggu 15 menit, dapat diulang dengan
dosis dan cara yang sama, setelah kejang berhenti berikan dosis awal
fenobarbital sebagai berikut: untuk umur 1 bulan – 1 tahun, 5 mg dan untuk
anak berumur lebih dari 1 tahun > 5 mg, diberikan secara intra muskular (IM).
Pengobatan rumat 4 jam kemudian (setelah berhenti kejang) hari ke 1 (satu)
dan ke 2 (dua) fenobarbital 9 – 19 mg/KgBB, di bagi dalam 2 dosis, hari
16
berikutnya fenobarbital diberikan 4 – 5 mg/KgBB, di bagi menjadi 2 dosis
(Handryastuti, 2008:4).
2.7.1 Resiko Terjadi Kerusakan Sel Otak Akibat Kejang
Setiap kejang menyebabkan kontriksi pembuluh darah sehingga
aliran darah tidak lancar dan mengakibtkan peredaran O2 juga
terganggu, kekurangan O2 (anoksia) pada otak akan mengakibatkan
kerusakan sel otak dan dapat terjadi kelumpuhan sampai retardasi
mental, bila kerusakannya berat. Jika hanya sebentar tidak banyak
menimbulkan kerusakan otak, tetapi jika kejang berlangsung lebih dari
1 menit biasanya berakhir dengan apnea yang akan menimbulkan
kerusakan otak yang makin berat (pada keadaan demam, kenaikan
suhu 1ºC akan mengakibatkan metabolisme basal 10-15%, kebutuhan
O2 akan meningkat 20% (Hamitton, Persis mary, 1995).
Pada kejang demam yang berlangsung lama kebutuhan O2
lebih banyak karena selain diperlukan juga untuk kontraksi otot-otot
skelet yang akhirnya terjadi hipokalsemia yang disebabkan
metabolisme anaerob, disertai kelainan denyut jantung yang
menyebabkan metabolisme meningkat dan mengakibatkan kerusakan
neuron selama berlangsungnya kejang (Hamitton, Persis mary, 1995).
17
Tindakan selama berlangsung kejang baringkan anak ditempat
yang rata, kepala dimiringkan dan pasangkan sudip lidah yang telah
dibungkus kasa atau bila ada guedel lebih baik. Singkirkan benda-
benda yang ada disekitar anak, lepaskan pakaian yang menganggu
pernafasan (misalnya pakaian ketat, ikat pinggang dan lain-lain). Isap
lendir sampai bersih, berikan O2 boleh sampai 4 liter/menit, jika anak
jatuh apnea lakukan tindakan pertolongan, bila suhu tinggi berikan
kompres secara intensif, setelah bangun dan sadar berikan minum
hangat, jika dengan tindakan ini tidak berhenti hubungi dokter apakah
perlu pemberian obat penenang (Hamitton, Persis mary, 1995).
2.7.2 Suhu yang Meningkat diatas Normal
Masing-masing anak mempunyai ambang kejang yang berbeda,
tidak selalu dalam keadaan hiperpireksia tetapi yang jelas bahwa pada
kejang demam selalu didahului kenaikan suhu sebelum kejang terjadi.
Pada anak dengan ambang kejang rendah bila suhu naik menjadi 38ºC
atau lebih, sedikit saja sudah timbul kejang, oleh karena itu jika sudah
diketahui suhu naik diatas normal anak akan menderita kejang, maka
setelah diketahui suhu mulai naik harus segera diberikan obat
antipiretik (Hamitton, Persis mary, 1995).
Obat antipiretik untuk pasien kejang demam biasanya telah
bersama-sama dengan anti kejang, perlu diingat bahwa pada pasien
yang akan mengalami kenaikan suhu karena adanya infeksi faringitis,
18
OMA, atau infeksi lainnya, maka disamping obat antipiretik juga harus
ada antibiotik. Jika belum ada antibiotik tersebut pasien harus dibawa
berobat, karena tanpa antibiotik demam akan turun hanya sebentar
kemudian naik lagi, disamping obat-obatan tersebut pasien perlu diberi
banyak minum dan jika suhu tinggi sekali berikan kompres (Hamitton,
Persis mary, 1995).
2.7.3 Resiko Terjadi Bahaya/Komplikasi
Akibat dari kejang dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit
atau akibat gesekan dengan gigi, akibat terkena benda tajam atau
keras yang ada disekitar anak, serta dapat juga terjatuh, oleh karena itu
setiap anak yang mendapat serangan kejang harus ada yang
mendampinginya (Handryastuti, 2008:5).
Jika anak telah didiagnosis kejang demam, orangtuanya perlu
dijelaskan mengapa anak dapat kejang, terutama yang berhubungan
dengan kenaikan suhu tubuh tersebut di sebabkan oleh infeksi. Orang
tua perlu diajari bagaimana cara menolong pada saat anak kejang
(jangan panik) dan yang penting adalah mencegah jangan sampai
timbul kejang, yang perlu dijelaskan adalah harus selalu tersedia obat
penurun panas yang didapatkan atas resep dokter yang telah
mengandung anti kejang, jika obat hampir habis masih sisa dua
bungkus supaya datang berobat untuk mendapatkan obat persediaan,
19
orang tua harus memahami hal ini untuk keperluan anaknya (Hamitton,
Persis Mary, 1995).
Agar anak segera diberikan obat antipiretik, bila orangtua
mengetahui anak mulai demam (jangan menunggu suhu meningkat
lagi) dan pemberian obat di teruskan sampai suhu sudah turun selama
24 jam berikutnya, jika demam masih naik turun agar di bawa ke dokter
atau puskesmas untuk mendapatkan antibiotik. Jika terjadi kejang anak
harus di baringkan di tempat yang rata, kepala di miringkan buka
bajunya dan pasangkan gagang sendok yang telah di bungkus
kain/sapu tangan yang bersih dalam mulutnya (jelaskan apa
tujuannya), setelah kejang berhenti anak bangun atau sadar kembali
suruh minum obatnya dan tunggu sampai keadaanya betul-betul
tenang. Jika suhu pada waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya di
kompres hangat, anak harus diberikan minum yang banyak
(Handryastuti, 2008:5).
Apabila terjadi kejang berulang atau kejang terlalu lama
walaupun telah diberikan obat segera bawa anak tersebut ke rumah
sakit, karena hanya rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan
pada anak yang menderita status konvulsivus. Apabila orang tua telah
diberi obat persediaan rektal berikan petunjuk cara memberikannya,
yaitu ujung rektiol yang akan dimasukkan kedalam anus diolesi pakai
minyak sayur atau vaselin kemudian dimasukkan kedalam anus sambil
20
dipencet sampai habis (tetapi dengan pelan-pelan memencetnya)
setelah kosong dan masih dipencet rektiol dicabut sebagian isinya akan
ikut terisap kembali), bila mungkin sikap anak di baringkan miring
(Hamitton, Persis mary, 1995).
Walaupun kejang sudah lama tidak terjadi, orang tua supaya
tidak menghentikan therapi sendiri, jelaskan bahwa pengobatan
profilaksis ini berlangsung sampai 3 tahun kemudian secara bertahap
dosis dikurangi dalam waktu 3 sampai 6 bulan (Hamitton, Persis mary,
1995).
2.8. Penanganan Kejang Demam Pada Anak Di Rumah
Saat anak mengalami kejang demam, hal-hal penting yang harus kita
dilakukan antara lain :
a. Jika anak anda mengalami kejang demam, cepat bertindak
untuk mencegah luka.
b. Letakkan anak anda di lantai atau tempat tidur dan jauhkan
dari benda yang keras atau tajam.
c. Palingkan kepala ke salah satu sisi sehingga saliva (ludah)
atau muntah dapat mengalir keluar dari mulut.
d. Pasangkan gagang sendok yang telah dibungkus kain/sapu
tangan bersih dalam mulutnya (jelaskan tujuannya).
21
e. Setelah kejang berhenti dan anak bangun/sadar kembali
berikan obat penurun panas dan tunggu sampai keadaannya betul-betul
tenang. Jika suhu pada waktu kejang tersebut tinggi sekali supaya
dikompres, anak diberikan banyak minum.
f. Hubungi dokter anak anda (Ismet Lugito, 2009)
Pada sebagian besar kasus kejang terjadi tanpa terduga atau tidak
dapat dicegah, dahulu digunakan obat anti kejang sebagai tindakan
pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang demam, tetapi
hal ini sekarang sudah jarang dilakukan. Pada anak-anak yang cenderung
mengalami kejang demam, pada saat mereka menderita kejang demam, bisa
di berikan obat anti kejang seperti diazepam (baik yang melalui mulut maupun
melalui rektal), dengan penanggulangan kejang demam secara tepat dan
cepat, maka perjalanan penyakitnya menjadi baik dan tidak menimbulkan
kematian (Handryastuti, 2008:5).
Pada saat anak pertama kali menderita demam, maka ibu harus
memeriksa kenaikan suhu dengan menggunakan termometer, sehingga hasil
pengukuran menjadi akurat dan tidak mengira-ngira dengan perabaan di dahi
anak saja, apabila kenaikan suhu melebihi 38ºC maka anjurkan ibu untuk
memberikan obat penurun panas, sambil memberikan kompres dan minum
yang banyak pada anaknya, selain itu pengontrolan suhu tubuh sangat
bermakna dan harus dilakukan setiap beberapa menit sekali biasanya setiap
5 – 10 menit sekali. Apabila suhu tubuh masih tinggi maka berikan lagi obat
penurun panas dan segeralah bawa anak ke pelayanan kesehatan terdekat
22
seperti Puskesmas. Keputusan yang tepat dan cepat dari orang tua dapat
membantu mencegah anaknya terkena serangan kejang demam
(Handryastuti, 2008:5).
2.9. Konsep Prilaku
Menurut Widayatun (1999), berbicara tentang perilaku manusia tidak
sama antar dan inter manusianya baik kepandaian, bakat, sikap, minat
maupun kepribadian. Prilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon
seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Respon
tersebut bisa bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun aktif
(tindakan nyata). Sedangkan stimulus atau rangsangan terdiri dari 4 unsur
pokok yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
lingkungan (Notoatmodjo, 2005).
Kemudian Notoatmojo (2005) mendefinisikan perilaku sebagai suatu
kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung
maupun yang tidak dapat diamati secara tidak langsung. Jadi perilaku
manusia pada hakekatnya adalah tindakan aktivitas dari manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, perilaku manusia mempunyai batasan yang sangat luas yang
mencakup perjalanan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis,
membaca dan sebagainya.
23
Bekker (1979) dalam Notoatmodjo (2005), mengklasifikasikan perilaku
yang berhubungan dengan kesehatan (health related behaviour) sebagai
berikut
2.9.1 Dengan tindakan atau kegiatan perilaku kesehatan (health related
behaviour) yakni hal-hal yang berkaitan dengan seseorang dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya
2.9.2 Perilaku sakit (illness behaviour), yaitu segala tindakan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang individu yang merasa sakit untuk
mengenal dan merasakan keadaan kesehatannya atau sakitnya,
terutama individu untuk mengidentifikasi penyakit serta upaya
pencegahannya.
2.9.3 Perilaku peran sakit (the sick role bihaviour), yaitu segala tindakan
atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk
memperoleh kesembuhan.
Menurut Kwik (1974) seperti dikutip Notoatmodjo (2005), bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu faktor intern mencakup pengetahuan, persepsi, emosi, dan motivasi juga
faktor ekstern mencakup fisik seperti, iklim, ekonomi, sosial budaya dan
sebagainya.
Green (1980) dalam Notoatmodjo (2005), mengidentifikasi bahwa
perilaku kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi
yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, persepsi, faktor
pendukung meliputi ketersediaan sarana kesehatan dan akses ke pelayanan
24
kesehatan, faktor pendorong meliputi dukungan sosial, sikap, perilaku petugas
dan lain-lain.
2.10. Kerangka Teori
Berdasarkan dari konsep perilaku yang telah dikemukakan oleh Green
(1980) dalam Notoatmodjo (2005), mengidentifikasi bahwa perilaku kesehatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor predisposisi yang meliputi;
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, persepsi, faktor pendukung
meliputi; ketersediaan sarana kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan,
faktor pendorong meliputi; dukungan sosial, sikap, perilaku petugas dan lain-
lain, di atas maka dapat dijelaskan kerangka konsepnya sebagai berikut.
Gambar. 2.1
Sumber : Green dalam Notoatmodjo (2005)
25
Faktor Predisposisi Pengetahuan Sikap Kepercayaan Tradisi Persepsi
Faktor Pendukung Ketersediaan
sarana kesehatan Akses ke
pelayanan kesehatan
Faktor Pendorong Dukungan
sosial Sikap Perilaku
Perilaku Kesehatan