bab ii
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Adversity quotient
2.1.1 Definisi adversity quotient
Menurut bahasa, kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti
kesengsaraan, sedangkan quotient adalah kemampuan. Nashori pada tahun 2007
mendefinisikan adversity quotient merupakan kemampuan individu dalam
menggunakan kecerdasan intelektual untuk mengubah cara berfikir, mengarahkan
tindakan ketika menghadapi kesulitan. Leman pada tahun 2007 mendefinisikan
adversity quotient yaitu kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah.7,16
Adversity Quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz,
seorang konsultan yang terkenal dalam topik kepemimpinan di dunia kerja dan
pendidikan berbasis skill. Stoltz menganggap bahwa IQ dan EQ yang sering
dibicarakan tidak cukup dalam meramalkan kesuksesan seseorang. Stoltz
mengelompokkan individu menjadi tiga: quitter, camper, dan climber.
Penggunaan istilah ini berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung
yang akan menaklukan puncak Everest. Stoltz melihat ada pendaki yang
menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada
ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan
puncak tersebut. Dari pengamatan tersebut, Stoltz mengistilahkan orang yang
berhenti di tengah jalan sebelum pendakian selesai sebagai quitter, kemudian
mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan
yang terus ingin meraih kesuksesan disebut sebagai climber.6
7
8
Stoltz menjelaskan bahwa AQ merupakan kecerdasan seseorang dalam
menghadapi rintangan atau kesulitan. AQ membantu individu memperkuat
kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, seraya
tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian, tanpa memperdulikan apa yang
sedang terjadi.6
Menurut Stoltz, kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan
terutama ditentukan oleh tingkat AQ yang terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :6,8,20
1. Kerangka kerja konseptual baru untuk memahami dan meningkatkan
semua segi kesuksesan.
2. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan.
3. Serangkaian alat yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon
seseorang terhadap kesulitan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa AQ merupakan
kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam
kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam
permasalahan, mengubah cara berfikir dan bersikap sehingga dapat melewati
hambatan yang sedang dihadapi.6,8,20
2.1.2 Dimensi - dimensi adversity quotient
Stoltz menjelaskan terdapat empat dimensi dasar yang akan menghasilkan
kemampuan AQ yang tinggi, yaitu :6,7,8
1. Kendali / control (C)
Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali individu
terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Control atau
kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat
9
dilakukan. Individu dengan skor control tinggi mampu mengubah situasi
secara positif dan mempunyai kendali lebih besar atas kesulitan yang
dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari
orang dengan skor control tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor
control tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan
terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan
yang lebih efektif. Di sisi lain, individu dengan skor control sedang
mampu merespon peristiwa buruk, sekurang-kurangnya masih berada
dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang
dihadapi. Individu yang memiliki control sedang tidak mudah menyerah,
namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada tantangan yang
lebih berat lagi. Individu yang memiliki tingkat control rendah merasakan
ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau
kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya
sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat dari
kesulitan tersebut. Individu yang memiliki control rendah menjadi tidak
berdaya saat menghadapi kesulitan dan menimbulkan pandangan hidup
menyerah kepada nasib.
2. Asal-usul dan pengakuan / origin dan ownership (O2)
Dimensi ini mengukur kemampuan individu dalam menempatkan
perasaan dirinya, berani menanggung akibat dari situasi yang ada,
sehingga menciptakan pembelajaran dalam melakukan perbaikan atas
masalah yang terjadi. Individu dengan skor origin tinggi memiliki
kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri sebagai
10
penyebab masalah. Individu dengan skor ownership tinggi mengakui
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan karena kesulitan merupakan
proses menuju keberhasilan sambil menempatkan tanggung jawab secara
tepat. Di sisi lain, individu dengan skor origin sedang mampu menghindari
perilaku menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab masalah yang
dihadapi, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu
yang memiliki origin sedang tidak mudah menyalahkan dirinya, namun
sulit mempertahankan origin nya bila dihadapkan pada tantangan yang
lebih berat lagi. Individu dengan skor ownership sedang memiliki
tanggung jawab hanya pada masalah yang bisa diselesaikannya saja tetapi
ketika menghadapi permasalahan yang lebih sulit sering melepaskan
tanggung jawabnya. Individu dengan skor origin rendah cenderung
berfikir bahwa semua kesulitan itu karena kesalahan, kecerobohan dirinya
sendiri, serta membuat perasaan dan pikiran yang merusak semangat,
sehingga menggerogoti kemampuannya untuk belajar dari kesalahan-
kesalahan yang telah lakukan. Individu dengan skor ownership rendah
cenderung tidak mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan,
kecerobohan dirinya sendiri, sehingga sering menghindari tanggung-
jawabnya.
3. Jangkauan / reach (R)
Dimensi ini mengukur kemampuan individu dalam membatasi
masalah agar tidak menjangkau bidang lain. Individu dengan reach tinggi
akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas.
Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan,
11
dia akan dapat berfikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil
tindakan. Semakin tinggi skor reach seseorang, semakin efektif dalam
membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih mampu
membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga
ketika memiliki masalah disatu bidang, dia tidak merasa mengalami
kesulitan untuk seluruh aspek kehidupannya. Individu dengan skor reach
sedang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun ketika
menghadapi masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah, dia akan
membiarkan kesulitan itu memasuki wilayah lain dari kehidupannya.
Individu dengan reach rendah akan merespon kesulitan secara berlebihan,
menganggap kesulitan sebagai bencana, dan kesulitan tersebut masuk
wilayah lain dari kehidupannya.
4. Daya tahan / endurance ( E )
Kemampuan individu mempersepsi dan menghadapi kesulitan
dengan cara menciptakan ide dalam menyelesaikan masalah. Dimensi ini
berupaya melihat berapa lama seseorang mempersepsi kesulitan akan
berlangsung. Endurance dapat menilai situasi yang baik dan buruk.
Individu dengan skor endurance tinggi akan merespon kesulitan dan
penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu serta
kecil kemungkinannya terjadi lagi jika dapat diselesaikan dengan baik. Hal
ini akan meningkatkan energi, optimisme untuk meningkatkan
kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar.
Individu dengan skor endurance sedang akan merespon peristiwa buruk
dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama sehingga
12
individu tersebut sering menunda untuk menyelesaikan masalahnya.
Individu dengan skor endurance rendah menganggap kesulitan sebagai
sesuatu yang berlangsung selamanya. Hal ini akan memunculkan respon
perasaan tidak berdaya. Individu yang melihat kemampuan diri mereka
sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang tidak bisa diubah/permanen)
cenderung tidak bisa bertahan ketika menghadapi situasi sulit,
dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan berasal dari usaha
mereka (penyebab yang bersifat sementara dan bisa diubah).
2.1.3 Faktor-faktor pembentuk adversity quotient
Menurut Stoltz, faktor-faktor pembentuk AQ adalah :6,8,20
1. Daya saing
Penelitian yang dilakukan Satterfield dan Seligman mengenai
perbandingan retorika Saddam Hussein dan George Bush selama perang
teluk, dikutip dari Stoltz pada tahun 2000, menemukan bahwa orang-orang
yang memiliki respon optimis terhadap kesulitan akan bersikap lebih gesit,
mengambil banyak resiko, tangkas dalam memelihara energi, fokus dan
menjaga tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan,
sedangkan yang memiliki respon pesimis akan bersikap pasif dan
cenderung kehilangan energi atau mudah berhenti berusaha. Satterfield
dan Seligman dikutip dari Stoltz pada tahun 2000, juga menjelaskan
bahwa AQ yang rendah dikarenakan tidak adanya daya saing ketika
menghadapi kesulitan, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk
menciptakan peluang dalam menghadapi kesulitan.
13
2. Produktivitas
Penelitian yang dilakukan Seligman di Metropolitan Life Insurance
Company mengenai hubungan produktifitas karyawan dengan respon
terhadap kesulitan, dikutip dari Stoltz pada tahun 2000, menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara produktivitas karyawan dengan respon
yang diberikan terhadap kesulitan. Artinya karyawan yang memiliki
respon positif terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan
produktivitasnya menjadi lebih baik, sebaliknya respon yang negatif akan
mempunyai produktivitas yang rendah.
3. Kreatifitas
Kreativitas pada intinya merupakan tindakan berdasarkan harapan
dan membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada
dapat menjadi ada. Barker dikutip dari Stoltz pada tahun 2000 menjelaskan
bahwa, kreativitas muncul dari keputusasaan. Kreatifitas mampu
mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh keputusasaan dan orang-orang
yang tidak kreatif tidak akan mampu mengatasi kesulitan.
4. Motivasi
Stoltz pada tahun 2000 melakukan pengukuran AQ terhadap
motivasi karyawan yang berkerja di perusahaan farmasi. Penelitian yang
dilakukan oleh Stoltz tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang
mempunyai motivasi tinggi mampu menciptakan peluang dalam kesulitan,
artinya seseorang dengan motivasi tinggi akan berupaya menyelesaikan
kesulitan dengan menggunakan seluruh kemampuannya. Orang yang
14
memiliki skor AQ tinggi disebut sebagai orang-orang yang paling
memiliki motivasi.
5. Mengambil resiko
Berdasarkan penelitian oleh Satterfield dan Seligman yang
membandingkan retorika Saddam Hussein dan George Bush selama
perang teluk, dikutip dari Stoltz pada tahun 2000, menunjukkan bahwa
seseorang yang mempunyai AQ tinggi merespon kesulitan secara lebih
positif, sehingga lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang
dilakukan.
6. Perbaikan
Stoltz pada tahun 2000 melakukan pengukuran kinerja dan AQ
para perenang. Stoltz menemukan bahwa, perenang yang memiliki skor
AQ tinggi mampu melakukan perbaikan skill berenangnya, dibandingkan
perenang yang memiliki skor AQ rendah. Seseorang dengan AQ tinggi
senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit, yaitu
dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek.
7. Ketekunan
Ketekunan merupakan kemampuan untuk terus berusaha meskipun
berhadapan dengan kegagalan. Seligman dikutip dari Stoltz pada tahun
2000, menemukan bahwa tenaga penjual, kadet militer, mahasiswa dan
tim-tim olahraga yang merespon kesulitan dengan baik akan senantiasa
bertahan dari situasi sulit. Seseorang yang memiliki respon yang buruk
ketika berhadapan dengan kesulitan akan mudah menyerah.
15
8. Belajar
Seligman dikutip dari Stoltz pada tahun 2000 melakukan penelitian
mengenai perbandingan retorika Saddam Hussein dan George Bush selama
perang teluk, membuktikan bahwa orang-orang yang pesimistis merespon
kesulitan sebagai hal yang permanen dikarenakan mereka tidak mau
belajar dari kesulitan yang dialaminya. Dweck melakukan penelitian
mengenai hubungan semangat belajar pada anak-anak dengan respon
terhadap situasi sulit, dikutip dari Stoltz pada tahun 2000, membuktikan
bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan
lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola
pesimistis.
9. Merangkul perubahan
Stoltz pada tahun 2000 melakukan penelitian di perusahaan Mott’s
mengenai hubungan AQ dengan kemampuan merangkul perubahan,
menjelaskan bahwa karyawan yang mampu merangkul perubahan
cenderung merespon kesulitan secara positif sehingga mampu memperkuat
niat dan usaha mereka.
10. Keuletan, stress, tekanan dan kemunduran
Hasil penelitian Oullette, dikutip dari Stoltz pada tahun 2000,
menjelaskan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan dengan sifat
tahan banting (pengendalian, tantangan dan komitmen) akan tetap ulet
dalam menghadapi kesulitan. Seseorang yang merespon kesulitan dengan
sifat tahan banting cenderung ulet, bisa mengontrol stress, tekanan dan
kemunduran dengan baik.
16
2.1.4 Tiga tingkatan kesulitan
Stoltz mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga, dan
menggambarkan ketiga kesulitan tersebut dalam suatu piramida pada gambar 2.1
berikut:6,8,20
Gambar 2.1 Tiga tingkatan kesulitan6,8,20
Bagian puncak piramida menggambarkan kesulitan di masyarakat,
kesulitan ini meliputi kecemasan tentang keamanan, ekonomi, serta hal-hal lain
yang dihadapi seseorang ketika berada dan berinteraksi di dalam sebuah
masyarakat. Bagi mahasiswa diidentifikasikan dengan pencapaian prestasi
belajar.6,8,20
Kesulitan kedua yaitu kesulitan yang berkaitan dengan kesulitan di tempat
kerja meliputi keamanan di tempat kerja, pekerjaan, dan jaminan penghidupan
yang layak. Bagi mahasiswa kesulitan di kampus digambarkan sebagai aktivitas
kuliah yang penuh dengan tantangan, meliputi sosialisasi di lingkungan kampus,
proses belajar sehingga membutuhkan motivasi tinggi dalam menjalankannya.6,8,20
17
Kesulitan ketiga yaitu individu menanggung beban akumulatif dari ketiga
tingkat, namun individu memulai perubahan dan pengendalian. Bagi mahasiswa,
harus mampu memulai perubahan dan pengendalian untuk menyelesaikan
kesulitan agar meraih prestasi.6,8,20
Dari tiga kesulitan di atas, tantangan berprestasi paling penting bagi
mahasiswa. Kesulitan tersebut dapat diatasi apabila mahasiswa mampu melakukan
perubahan positif dan meningkatkan kendali terhadap kesulitan.8,20
2.1.5 Karakter manusia berdasarkan tinggi rendahnya adversity quotient
Terdapat tiga tipe karakter manusia ditinjau dari tingkat kemampuannya di
dalam merespon suatu kesulitan, yaitu:6
1. Quitters
Quitters (mereka yang berhenti) adalah seseorang yang memilih
untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila
menghadapi kesulitan. Orang-orang jenis ini berhenti di tengah proses
pendakian, gampang putus asa dan mudah menyerah. Di dalam hirarki
maslow tipe ini berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang
letaknya paling dasar dalam bentuk piramida. Orang dengan tipe ini puas
dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung
pasif, memilih untuk keluar menghindari perjalanan, selanjutnya mundur
dan berhenti. Para quitters menolak menerima tawaran keberhasilan yang
disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang yang seperti ini akan
banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan karena
mengabaikan potensi yang ada di dalam diri mereka.
18
2. Campers
Campers (orang yang berkemah). Golongan ini cepat merasa puas
sehingga tidak mau mengembangkan diri. Tipe ini merupakan golongan
yang sedikit lebih banyak dari quitter, yaitu mengusahkan terpenuhinya
kebutuhan rasa aman pada skala hirarki Maslow. Campers setidaknya telah
melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setelah mencapai tahap
tertentu, campers berhenti meskipun masih ada kesempatan untuk lebih
berkembang lagi. Kelompok ini juga tidak tinggi kapasitasnya untuk
perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan
dan kenyamanan. Berbeda dengan quitters, campers sekurang-kurangnya
telah menanggapi tantangan yang dihadapinya sehingga telah mencapai
tingkat tertentu.
3. Climbers
Climbers (pendaki) mereka yang selalu optimis, melihat peluang,
melihat celah, melihat secercah harapan di balik keputusasaan dan selalu
bergairah untuk maju. Secarcah harapan yang dianggap kecil bagi para
climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah kesuksesan.
Climbers merupakan kelompok orang yang selalu berupaya mencapai
puncak kebutuhan aktualisasi diri pada skala hirarki Maslow. Climbers
adalah tipe manusia yang berjuang seumur hidup, tidak perduli sebesar
apapun kesulitan yang datang. Climbers tidak dikendalikan oleh
lingkungan, tetapi dengan berbagai kreatifitasnya tipe ini berusaha
mengendalikan lingkungannya. Climbers akan selalu memikirkan berbagai
alternatif permasalahan dan menganggap kesulitan dan rintangan yang ada
19
justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan mempelajari
lebih banyak lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan selalu siap
menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan
oleh adanya perubahan-perubahan.
Kemampuan quitters, campers, dan climbers dalam menghadapi tantangan
kesulitan dapat dijelaskan, bahwa quitters memang tidak selamanya ditakdirkan
untuk selalu kehilangan kesempatan namun dengan berbagai bantuan orang lain
untuk bisa terus bertahan di kehidupan ini. Campers akan mendapat dorongan
untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan yang sedang dihadapi karena
terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan.
Kehidupan climbers selalu menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada
hentinya. Kesuksesan yang diraih climber berkaitan langsung dengan kemampuan
dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, setelah yang lainnya menyerah, inilah
indikator-indikator AQ yang tinggi.6
Dalam hirarki Maslow dapat dijelaskan hubungan quitters, campers, dan
climbers pada gambar 2.2 berikut :6,8,20
Gambar 2.2 Hirarki kebutuhan maslow6
20
2.1.6 Teori-teori pendukung adversity quotient
AQ dibangun dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan, yaitu:6
1. Psikologi kognitif
Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana
seseorang memperoleh, mentransformasi, mempresentasi, menyimpan,
menggali kembali pengetahuan, bagaimana pengetahuan tersebut dapat
dipakai untuk merespon atau memecahkan kesulitan, berfikir dan
berbahasa. Orang yang berfikir bahwa kesulitan bersifat menetap, maka
mereka tidak akan mampu menghadapi masalah dengan baik sedangkan
yang berfikir kesulitan itu pasti akan berlalu, maka ia akan tumbuh maju
dengan pesat. Respon seseorang terhadap kesulitan mempengaruhi kinerja
dan kesuksesannya.
2. Neuropsikologi
Neuropsikologi adalah bagian psikologi terapan yang berhubungan
dengan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh fungsi otak. Menurut dr.
Nuwer dikutip dari Stoltz pada tahun 2000, menjelaskan bahwa proses
belajar berlangsung di wilayah sadar otak yaitu cortex cerebri, jika
seseorang mengulangi sebuah pola pikiran atau perilaku yang baru maka
kegiatan itu berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat otomatis
yaitu ganglia basalis. Ilmu ini menyumbangkan pengetahuan bahwa otak
secara ideal dilengkapi sarana pembentuk kebiasaan-kebiasaan, sehingga
otak segera dapat diinterupsi dan diubah. Dengan demikian, kebiasaan
baru dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
21
3. Psikoneuroimunologi
Ilmu ini membuktikan adanya hubungan fungsional antara otak dan
sistem kekebalan tubuh, hubungan antara apa yang difikirkan dan
dirasakan terhadap kesulitan dengan kesehatan fisiknya. Hal ini penting
untuk kesehatan, sehingga ketika seseorang mampu menghadapi kesulitan
dengan baik maka akan berpengaruh terhadap fungsi-fungsi kekebalan,
kerentanan, dan kesembuhan terhadap berbagai penyakit.
Ketiga teori tersebut membentuk AQ dengan tujuan utama, yaitu:
timbulnya pemahaman baru, tersedianya alat ukur untuk meningkatkan efektivitas
seseorang dalam menghadapi segala bentuk kesulitan hidup.6
2.1.7 Cara mengungkap adversity quotient
AQ dapat diungkap dengan menggunakan skala yang diciptakan oleh
Stoltz. Skala AQ merupakan alat ukur psikologis yang mengukur aspek-aspek
kepribadian.6
Aspek-aspek dalam skala AQ ini meliputi control (C) atau kendali, origin
and ownership (O2) atau asal-usul dan pengakuan, reach (R) atau jangkauan dan
endurance (E) atau daya tahan. Jika skor yang diperoleh dari skala AQ ini tinggi,
maka menunjukkan AQ tinggi, sebaliknya jika skor yang diperoleh rendah maka
menunjukkan AQ rendah.6
2.1.8 Angket skala model Likert
Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam
kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa
survei. Skala Likert ditemukan oleh Dr.Rensis Likert, yang merupakan seorang
direktur dari Institut Penelitian Sosial di Universitas Michigan. Dr. Rensis Likert
22
pada tahun 1932, membuat laporan yang berjudul A Technique for the
Measurement of Attitudes menjelaskan tujuan dibentuknya skala Likert yaitu
untuk mengembangkan alat ukur sikap psikologis secara ilmiah.26
Sewaktu menanggapi pertanyaan dalam skala Likert, responden
menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan
memilih salah satu dari pilihan yang tersedia. Biasanya disediakan lima pilihan
skala dengan format yaitu: sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, sangat
setuju. Selain pilihan dengan lima skala, skala Likert juga menggunakan empat
pilihan skala dengan format, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak
setuju. Skala Likert yang menggunakan empat pilihan skala memiliki kelebihan
yaitu tidak adanya pilihan netral karena jawaban netral akan banyak dipilih oleh
responden untuk memilih jawaban aman sehingga tidak menjelaskan jawaban
responden yang sebenarnya secara pasti.21,23
2.2 Tinjauan tentang prestasi belajar
2.2.1 Pengertian prestasi belajar
Prestasi belajar terdiri dari dua kata, yaitu prestasi dan belajar. Azwar pada
tahun 2000, mendefinisikan prestasi sebagai keberhasilan seseorang dalam
mengungkap performansi maksimal subjek dalam menguasai bahan atau materi
yang diajarkan.8
Chaplin pada tahun 2005, mendefinisikan prestasi merupakan suatu
tingkatan khusus dari kesuksesan karena mempelajari kecakapan atau keahlian
dalam tugas-tugas akademik yang dinilai oleh guru, lewat tes-tes yang dibakukan,
atau lewat kombinasi kedua hal tersebut.24 Berdasarkan beberapa definisi prestasi
23
di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi merupakan penilaian yang dilakukan
terhadap hasil dari proses yang telah dilakukan oleh seseorang.8,24
Slameto pada tahun 2003, mendefinisikan bahwa belajar adalah
serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya
menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam belajar, mahasiswa
mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu.12
Menurut Iskandar pada tahun 2009, belajar merupakan suatu proses
perubahan perilaku individu berdasarkan praktik atau pengalaman baru,
perubahan yang terjadi bukan secara alami atau menjadi dewasa dengan
sendirinya, namun yang dimaksud dengan perubahan perilaku adalah perubahan
yang dilakukan secara sadar dan reaksi dari situasi yang dihadapi.13 Dari beberapa
definisi belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan kegiatan yang
dilakukan secara sadar dan menghasilkan pengetahuan, keterampilan dan
perubahan perilaku dalam berbagai bidang.12,13
Menurut Bloom pada tahun 2004, prestasi belajar adalah proses belajar
yang dialami mahasiswa dan menghasilkan perubahan dalam bidang pengetahuan,
pemahaman, penerapan, daya analisis, sintesis dan evaluasi.14 Sedangkan menurut
Chaplin pada tahun 2004, prestasi belajar adalah tingkatan yang ditentukan dari
pencapaian atau keahlian dalam bidang akademik yang ditentukan oleh evaluasi
yang dilakukan oleh pengajar berupa ujian yang terstandarisasi, ujian yang
diberikan oleh pengajar atau kombinasi dari keduanya.15 Berdasarkan uraian dari
beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar
adalah hasil atau pencapaian keberhasilan yang diperoleh karena usaha belajar
24
atau sebagai hasil akhir dari aktivitas belajar setelah melalui tahap tes yang
dinyatakan dalam bentuk nilai berupa angka.14,15
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Menurut Purwanto pada tahun 2011, faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar adalah :9
1. Faktor dari dalam individu
Terdiri dari faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis
adalah kondisi jasmani dan kondisi panca indera, sedangkan faktor
psikologis yaitu bakat, minat, kecerdasan, motivasi berprestasi dan
kemampuan kognitif.
2. Faktor dari luar individu
Terdiri dari faktor lingkungan dan faktor instrumental. Faktor
lingkungan yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam, sedangkan faktor
instrumental yaitu kurikulum, bahan, guru, sarana, administrasi, dan
manajemen.
Menurut Slameto pada tahun 2003, faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar terbagi menjadi dua macam, yaitu :7,8
1. Faktor internal, adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu yang
meliputi:
a. Faktor biologis, kondisi jasmani dan tonus (tegangan otot) yang
menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya,
mempengaruhi semangat dan intensitas seseorang dalam mengikuti
pelajaran. Kondisi jasmani yang tidak mendukung kegiatan belajar,
seperti gangguan kesehatan, cacat tubuh, gangguan penglihatan,
25
gangguan pendengaran dan lain sebagainya sangat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam menyerap informasi dan pengetahuan,
khususnya yang disajikan di kelas.
b. Faktor psikologis, banyak faktor yang masuk dalam aspek psikologis
yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas pembelajaran. Faktor
psikologis ini mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi
mental dan jiwa seseorang, seperti :
i. Intelegensi. Intelegensi merupakan kemampuan yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sehingga intelegensi
sangat membantu seseorang dalam menyelesaikan kesulitan
termasuk memahami materi pelajaran. Seseorang yang memilki
intelegensi yang baik umumnya mudah memahami pelajaran dan
hasilnya pun cenderung baik.
ii. Perhatian. Keberhasilan dalam memahami materi yang dipelajari
dapat dicapai apabila seorang mempunyai perhatian yang besar
terhadap bahan yang dipelajari.
iii. Minat. Minat dapat diartikan kecenderungan atau keinginan yang
tetap tinggi untuk memperhatikan beberapa kegiatan disertai
dengan perasaan senang. Minat yang tinggi terhadap mata
pelajaran tertentu mengakibatkan seseorang lebih fokus dan
intensif kedalam bidang tersebut sehingga memungkinkan
mencapai hasil yang memuaskan.
iv. Bakat. Secara umum bakat merupakan kemampuan potensial
yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa
26
yang akan datang. Setiap individu mempunyai bakat dan setiap
individu yang memiliki bakat akan berpotensi untuk mencapai
prestasi sampai tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-
masing. Bakat akan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
pencapaian prestasi belajar pada bidang-bidang tertentu.
v. Motif. Motif merupakan pemicu seseorang untuk melakukan
sesuatu. Motif mampu mendorong seseorang untuk memusatkan
konsentrasi dan belajar dengan baik sehingga memiliki pengaruh
yang besar terhadap pencapaian prestasi belajar.
vi. Kematangan. Tingkat kematangan seseorang dapat dilihat dari
sejauh mana organ-organ yang ada di dalam tubuhnya telah siap
untuk melaksanakan kegiatan.
vii. Kesiapan. Kesiapan membantu seseorang dalam memahami
materi pelajaran. Oleh karena itu mahasiswa yang telah memiliki
kesiapan akan mempunyai hasil yang baik.
viii. Kreativitas. Secara umum kreatifitas dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk berfikir tentang sesuatu dengan suatu cara
yang baru dan tidak biasa (unusual) dan menghasilkan
penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan. Salah satu
yang mendorong aktivitas belajar dalam meningkatkan prestasi
belajar adalah kreativitas.
27
2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu, yang
meliputi :7,8
a. Keluarga. Lingkungan sosial yang paling banyak berperan dan
mempengaruhi kegiatan belajar mahasiswa adalah lingkungan
keluarga. Faktor keluarga meliputi sifat orang tua, praktik pengelolaan
keluarga, ketegangan keluarga, demografi keluarga, tingkat
pendidikan orang tua, kepedulian dan tingkat sosial ekonomi.
Semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap
kegiatan belajar dan prestasi yang dapat dicapai mahasiswa.
b. Lingkungan masyarakat. Ketika mahasiswa berada di lingkungan
keluarga dan lingkungan kampus merupakan bagian dari suatu
masyarakat, sehingga kondisi lingkungan masyarakat seperti media
massa, latar belakang kebudayaan mempengaruhi keberhasilan
mahasiswa.
c. Faktor waktu. Prestasi merupakan penilaian yang dilakukan terhadap
aktivitas belajar dalam kurun waktu tertentu. Jadi, kemampuan
mahasiswa dalam menggunakan waktu juga mempengaruhi hasil yang
dicapai. Semakin terampil mahasiswa membagi dan menggunakan
waktu maka semakin berhasil pula dalam kegiatan belajarnya.
d. Faktor lingkungan kampus
i. Sarana dan prasarana. Kelengkapan sarana dan prasarana kampus
seperti: Papan tulis, OHP, proyektor, laptop atau komputer,
bentuk ruangan, kenyamanan ruangan, sirkulasi udara dan
28
lingkungan sekitar kampus dapat mempengaruhi proses belajar
mengajar.
ii. Kompetensi dosen dan mahasiswa. Kualitas dosen dan mahasiswa
sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan
prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya
akan menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang tidak
berkualitas. Bila fasilitas dan tenaga pendidiknya berkualitas,
hubungan dengan dosen dan teman-teman sejawatnya
berlangsung harmonis, maka mahasiswa akan memperoleh
suasana belajar yang menyenangkan. Dengan demikian,
mahasiswa termotivasi untuk meningkatkan prestasi belajarnya.17
iii. Kurikulum dan metode mengajar. Metode pembelajaran yang
lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan
peran serta mahasiswa dalam kegiatan belajar. Sarlito Wirawan
pada tahun 1993, mengatakan bahwa faktor yang paling penting
adalah dosen, jika dosen mengajar dengan arif, bijaksana, tegas,
memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat mahasiswa
senang dalam belajar, maka prestasi belajar mahasiswa akan
cenderung tinggi, setidaknya mahasiswa tersebut tidak bosan
atau jenuh dalam mengikuti pelajaran.18
Fakultas Kedokteran Universitas Riau yang telah menerapkan kurikulum
pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2007 dengan
metode Problem Based Learning (PBL) yang menuntut mahasiswa lebih aktif
dalam proses belajar, dimana seorang dosen hanya memberikan pengantar sebuah
29
materi dan sebagai pemicu (triger), selanjutnya mahasiswa yang mempelajari
lebih dalam tentang sebuah masalah dan mencari materi untuk memecahkan
masalah tersebut. Metode pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa mampu
memahami materi.4
Semakin tinggi tingkat intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan, kesiapan, dan kreativitas maka semakin tinggi pula prestasi belajar.
Demikian pula dengan keadaan keluarga, lingkungan kampus, lingkungan
masyarakat yang sangat mendukung mahasiswa untuk meningkatkan prestasi
belajar.7,8,9
2.2.3 Indikator prestasi belajar
Bloom pada tahun 2004, menyusun tujuan belajar menjadi tiga ranah,
yaitu:19
1. Ranah kognitif, tentang hasil belajar yang berhubungan dengan
pengetahuan, kemampuan dan kemahiran intelektual, terdiri dari:
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa dan evaluasi.
2. Ranah afektif, tentang hasil belajar yang berhubungan dengan perasaan
sikap, minat, dan nilai, terdiri dari: penerimaan, partisipasi, penilaian,
organisasi dan pembentukan pola hidup.
3. Ranah psikomotorik, tentang hasil belajar yang berhubungan dengan
kemampuan fisik seperti ketrampilan motorik dan syaraf, manipulasi
objek, dan koordinasi syaraf, terdiri dari: persepsi, kesiapan, gerakan
terbimbing, gerakan yang terbiasa, gerakan yang komplek dan kreativitas.
Berdasarkan hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa prestasi belajar
memiliki 3 (tiga) ranah, yaitu: 1) ranah kognitif (cognitive domain); 2) ranah
30
afektif (affective domain); dan 3) ranah psikomotor (psychomotor domain). Untuk
mengungkap prestasi belajar pada ketiga ranah tersebut, diperlukan indikator
sebagai penunjuk bahwa seseorang telah berhasil meraih prestasi pada tingkat
tertentu dari ketiga ranah tersebut.
Syah pada tahun 2003, menjelaskan bahwa kunci pokok untuk
memperoleh ukuran dan data hasil belajar mahasiswa adalah mengetahui garis-
garis besar indikator (penunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis
prestasi yang hendak diukur. Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
mengenai indikator-indikator prestasi belajar sangat diperlukan ketika seseorang
akan menggunakan alat dan kiat evaluasi. Urgensi pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam mengenai jenis-jenis prestasi belajar dan indikator-indikatornya
adalah pemilihan dan penggunaan alat evaluasi akan menjadi lebih tepat, reliabel,
dan valid.8
2.2.4 Cara mengungkap prestasi belajar
Syah pada tahun 2003, mengatakan pada prinsipnya evaluasi hasil belajar
merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan sehingga memiliki ragam,
mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, ragam evaluasi
tersebut terdiri dari : 8,21
1. Pre test dan post test
Kegiatan pre test diberikan secara rutin, pada saat akan memulai penyajian
materi sedangkan post test yaitu kegiatan evaluasi yang dilakukan pada
akhir penyajian materi.
31
2. Evaluasi pra syarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre test. Evaluasi pra syarat
bertujuan untuk mengidentifikasi penguasaan mahasiswa terhadap materi
lama yang mendasari materi baru yang akan disajikan.
3. Evaluasi diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian pelajaran, bertujuan
mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai mahasiswa.
4. Evaluasi formatif
Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada
akhir penyajian satuan pelajaran atau modul.
5. Evaluasi sumatif
Ragam penilaian sumatif kurang lebih sama dengan ulangan umum yang
dilakukan untuk mengukur prestasi belajar mahasiswa pada akhir periode
pelaksanaan program pengajaran, hasilnya dijadikan bahan laporan resmi
mengenai prestasi belajar mahasiswa.
2.2.5 Penilaian prestasi belajar
Penilaian prestasi belajar pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
yang harus dipenuhi oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau,
meliputi: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude).
Penilaian Prestasi belajar adalah sebagai berikut :4
1. Alat ukur evaluasi
Jenis alat ukur :
a. Multiple Choice Quotion (MCQ) atau True False Quotion (TFQ)
b. Essay Examination
32
c. Objective Structure Clinical Examination (OSCE)
d. Oral Examination (OE)
e. Makalah atau laporan
f. Skripsi
g. Hasil analisis objektif tim attitude
2. Jenis-jenis evaluasi
a. Evaluasi blok
Evaluasi blok adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir setiap blok
terdiri atas ujian tulis, praktikum dan ujian skill praktik berupa
Objective Structure Clinical Examination (OSCE).
b. Progress test
Progress test adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai
pengetahuan yang harus dikuasai ketika mahasiswa lulus. Tes ini
berguna sebagai feed back terhadap blok-blok yang diambil pada
tahun sebelumnya. Progress test dilaksanakan untuk mahasiswa yang
sudah lulus semua blok pada tahun yang bersangkutan. Progress test
ini merupakan prasyarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
klinik. Mahasiswa yang tidak lulus diwajibkan mengulang ujian pada
tahun berikutnya sampai lulus sebelum memasuki praktek klinik.
Materi ujian tulis adalah materi-materi dari berbagai bidang ilmu yang
berhubungan dengan blok-blok pada tahun yang sebelumnya.
Penilaian yaitu penulisan modul (Case Writter) dan tim evaluasi.
33
c. Evaluasi praktik klinik
Evaluasi praktik klinik dilakukan pada setiap akhir rotasi bagian klinik
yang bersangkutan.
d. Evaluasi attitude atau professional behaviour
Penilaian attitude dilakukan sepanjang pendidikan dan hasil penilaian
attitude dilaporkan setiap akhir blok. Penilaian dilakukan oleh tim
penilai yang terdiri dari jajaran pimpinan Fakultas Kedokteran
Universitas Riau, penasehat akademik (PA), tutor, instruktur dan
dosen, yang dianalisis secara objektif oleh tim penilai. Pelanggaran
dapat dilaporkan oleh seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Riau dan dipelajari secara objektif. Komponen penilaian
attitude adalah sebagai berikut :4
i. Kehadiran merupakan suatu syarat mutlak dalam proses belajar
dan mengajar, untuk dapat memahami suatu materi kuliah
dibutuhkan tingkat kehadiran yang tinggi sedangkan untuk
mengikuti ujian blok kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan
minimal 75% dan skill lab 100%.
ii. Ketaatan terhadap peraturan Fakultas Kedokteran Universitas
Riau dan hukum atau norma yang berlaku dalam masyarakat.
34
Tabel 2.1 Kriteria nilai akhir blok4
NILAI ANGKA NILAI MUTU ANGKA MUTU86-100 A 4,0081-85 A- 3,7576-80 B+ 3,5071-75 B 3,0066-70 B- 2,7561-65 C+ 2,5051-60 C 2,0046-50 D 1,000-45 E 0,00
2.3 Hubungan adversity quotient dengan prestasi belajar
Untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas, yaitu AQ dengan
variabel terikat, yaitu prestasi belajar pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Riau angkatan 2012, maka dalam hal ini perlu diperjelas kembali
mengenai definisi masing-masing variabel serta faktor-faktor yang
mempengaruhi. AQ oleh beberapa peneliti sebelumnya diartikan sebagai
kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan sehingga mampu mengubah
hambatan menjadi sebuah peluang bagi dirinya untuk mengasah kemampuan.6,7,8
Prestasi belajar merupakan hasil yang telah dicapai oleh seorang
mahasiswa selama proses belajar dalam kurun waktu tertentu.14,15 Prestasi belajar
seorang mahasiswa dapat diketahui melalui nilai IPK.4 Dalam usaha pencapaian
prestasi belajar tidak terlepas dari berbagai kesulitan.10 Begitu pula bagi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau angkatan 2012.
Kesulitan yang dihadapi oleh mahasiswa kedokteran bisa bersumber dari
akademiknya maupun non akademik. Kesulitan yang bersumber dari akademik
adalah jadwal kuliah dan praktikum yang padat, tugas yang menumpuk, bahan
35
ujian yang banyak, terancam drop out, IPK rendah dan masalah akademik lainnya.
Sedangkan kesulitan yang berasal dari non akademik adalah masalah keuangan,
masalah keluarga, interpersonal maupun intrapersonal.10
Kesulitan atau hambatan yang dirasakan mahasiswa tidak menutup
kemungkinan mengakibatkan prestasi belajarnya menurun, walaupun secara
intelegensi mereka dikategorikan sebagai anak yang cerdas. Hal tersebut
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa. Salah
satunya terletak pada kemampuan dan kegigihan mahasiswa dalam menghadapi
kesulitan untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang tepat. Kemampuan
dalam menghadapi kesulitan ini disebut dengan AQ. Stoltz mengemukakan bahwa
AQ mencakup faktor-faktor yang dibutuhkan dalam mencapai kesuksesan.
Faktor-faktor tersebut yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi,
mengambil resiko, perbaikan, ketekunan, belajar dan merangkul perubahan.6
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang
yang mempunyai AQ tinggi dapat diprediksi akan mempunyai prestasi yang baik,
sebab untuk mencapai prestasi belajar yang tinggi, diperlukan adanya daya tahan,
kemampuan menjangkau kesulitan yang lebih luas pengakuan dan rasa tanggung
jawab, serta kontrol yang kuat agar dapat menghadapi berbagai kesulitan dan
hambatan sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang memuaskan.6,7,8
36
2.4 Kerangka teori
Kerangka teori dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3 Kerangka teori
37
2.5 Kerangka konsep
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir di atas, dapat dilihat hubungan
antara variabel bebas yaitu AQ dengan variabel terikat yaitu prestasi belajar
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau angkatan 2012.
Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan paradigma sesuai gambar
2.4 sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.4 Kerangka konsep
Adversity Quotient (AQ) Prestasi belajar