bab ii

17
BAB II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Reog Ponorogo Reog adalah sebuah kesenian budaya berbentuk teater yang dilakukan oleh sekelompok pemain drama tari dengan berbagai karakter dan perwatakan pelaku, kesenian Reog ini berasal dari daerah Jawa Timur bagian barat-laut dan kabupaten Ponorogo dianggap sebagai kota asal kesenian Reog yang sebenarnya. Menurut Hartono (1980) kata Reyog atau Reog memiliki persamaan arti dengan Riyeg atau Reyod yang dalam bahasa Jawa berarti rusak, bergerak atau guncang. Ada beberapa pendapat yang melatar belakangi lahirnya Reog Ponorogo. Mulai dari kepercayaan suku bangsa Jawa pada zaman dahulu bahwa roh hewan yang telah mati dapat didatangkan lagi ke dunia ini seperti halnya roh manusia. Roh tersebut didatangkan agar dapat menjaga keselamatan dan memberi kekuatan . Adapun cara untuk menurunkan roh hewan ialah dengan jalan melakukan upacara adat. Mereka menggunakan topeng hewan, kemudian menari dengan asyik menantikan turunnya roh yang dimaksud. Pendapat lainnya mengatakan bahwa kesenian Reog lahir karena adanya suatu kerusakan atau ketidaktenangan dalam masyarakat Ponorogo pada waktu dahulu. Saat itu kemudian lahirlah sebuah nama atau sebutan kesenian rakyat, yang kemudian diberi nama sesuai dengan situasi tersebut, yaitu Reog Ponorogo (Hartono, 1980). Sebenarnya Reog Ponorogo muncul sebagai bentuk upacara adat kepercayaan gaib setempat yang kental akan aura magis

Upload: aulia-mursyida

Post on 25-Sep-2015

227 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Reog PonorogoReog adalah sebuah kesenian budaya berbentuk teater yang dilakukan oleh sekelompok pemain drama tari dengan berbagai karakter dan perwatakan pelaku, kesenian Reog ini berasal dari daerah Jawa Timur bagian barat-laut dan kabupaten Ponorogo dianggap sebagai kota asal kesenian Reog yang sebenarnya. Menurut Hartono (1980) kata Reyog atau Reog memiliki persamaan arti dengan Riyeg atau Reyod yang dalam bahasa Jawa berarti rusak, bergerak atau guncang.Ada beberapa pendapat yang melatar belakangi lahirnya Reog Ponorogo. Mulai dari kepercayaan suku bangsa Jawa pada zaman dahulu bahwa roh hewan yang telah mati dapat didatangkan lagi ke dunia ini seperti halnya roh manusia. Roh tersebut didatangkan agar dapat menjaga keselamatan dan memberi kekuatan . Adapun cara untuk menurunkan roh hewan ialah dengan jalan melakukan upacara adat. Mereka menggunakan topeng hewan, kemudian menari dengan asyik menantikan turunnya roh yang dimaksud. Pendapat lainnya mengatakan bahwa kesenian Reog lahir karena adanya suatu kerusakan atau ketidaktenangan dalam masyarakat Ponorogo pada waktu dahulu. Saat itu kemudian lahirlah sebuah nama atau sebutan kesenian rakyat, yang kemudian diberi nama sesuai dengan situasi tersebut, yaitu Reog Ponorogo (Hartono, 1980).Sebenarnya Reog Ponorogo muncul sebagai bentuk upacara adat kepercayaan gaib setempat yang kental akan aura magis dan ilmu kebatinan yang kental, namun seiring dengan perubahan zaman maka kesenian Reog berubah menjadi suatu bentuk hiburan dan kesenian teater rakyat.2.1.1 Ciri-ciri Reog PonorogoMenurut Hartono (1980) ciri-ciri dari kesenian Reog Ponorogo ini diantaranya ialah:1. Reog disajikan dalam bentuk seni tari.2. Ilmu mistik dalam kesenian ReogCiri khusus pada kesenian Reog yang sekarang sudah berangsur-angsur berkurang yakni adanya hubungan antara kesenian Reog dengan ilmu mistik. Karena itu, tidak asing jika kita melihat pemain Reog Ponorogo dapat menahan beban yang begitu besar dalam waktu yang cukup lama.3. Pakaian daerah. Pakaian daerah tersebut berwarna hitam, yang terdiri atas: Ikat kepala Baju hitam potong gulon (tak berleher) Celana panjang sampai tumit berwarna hitam Usus-usus (koloran), yakni tali celana di pinggang yang berwarna putih dengan ujungnya yang panjang dan menjulai4. Tokoh pemeran dalam kesenian Reog PonorogoReog Ponorogo mempunyai 5 pemeran utama yang selalu bermain disaat pertunjukan yaitu: Penari barongan, merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo, berbentuk kepala harimau dengan tatanan bulu merak yang mengembang lebar sebagai mahkota yang disebut dengan dadak merak, beratnya 40-60 kg. Pujangga Anom atau Bujang Ganong, adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti. Klono Sewandono, adalah seorang raja, juga memakai topeng yang berciri khas satria dan pemberani Sekelompok Jathilan, merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh pria yang berpenampilan seperti perempuan tetapi karena perubahan zaman akhirnya beberapa paguyuban seni tari dan teater reog mengganti penari mereka menjadi seorang wanita asli. Warok, berperan sebagai pembina atau sesepuh, diperankan oleh laki-laki yang bertubuh kekar, mempunyai jambang dan kumis yang tebal serta memakai tutup kepala yang disebut blangkon.2.1.2 Barongan dan Dadhak MerakBarongan dan dadhak merak merupakan perlengkapan utama yang menyertai pertunjukan reog. Barongan berwujud kepala harimau, sedangkan dadhak merak berupa ekor merak yang sangat indah. Walaupun keduanya melambangkan sifat dan lakon yang berbeda, namun berwujud satu dan biasa disebut dengan nama Reog. Kepala harimau yang berhiaskan ekor merak beratnya mencapai 20-60 kilogram dan memiliki tinggi sekitar 3 meter (Ensiklopedia, 1990). Dalam permainan, barongan dan dadhak merak dipakai bersama sehingga tampak seperti singa bermahkota (Hartono, 1980).Menurut Hartono (1980) bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat barongan diantaranya adalah:1. Kayu yang ringan untuk kerangka tengkorak barongan, dan sebagai dasar melekatkan kulit harimau. Kepala harimau ini memiliki mulut yang agak lebar, sebab nanti akan digunakan pembarong sebagai lubang/celah-celah untuk melihat keluar.2. Kulit harimau. Biasanya orang senang dengan kulit harimau yang bercorak doreng atau biasa disebut macan gembong. Begitu pula kulit yang dicari diusahakan kulit bagian muka harimau.3. Kayu palang yang kuat. Kayu tersebut pada saat bermain digigit oleh pembarong sebagai pegangan.4. Tali pengikat. Biasanya terbuat dari kain. Tali ini diikatkan pada kepala pembarong bagian belakang. Dengan tali ini maka barongan tidak akan lepas saat pembarong menari dengan lincah. 5. Suri (rambut kuda) yang panjang.6. Kaca atau kelereng, digunakan sebagai biji mata.Dadhak berupa seekor burung merak yang sedang menari. Kedua sayapnya mengembang seperti kipas, dan ekornya menjulang tegak. Ukuran dadhak merak biasanya disesuaikan dengan besarnya kepala harimau. Dadhak dibuat dari bahan-bahan yang agak mahal serta sukar dicari, seperti: bambu/rotan, tali yang kuat, serta bulu merak yang sudah dikeringkan. Dadhak hanya dapat dipakai bila disatukan dengan barongan (Hartono, 1980).

Gambar 2.1Barongan berwujud kepala harimau, sedangkan dadhak merak berupa ekor merak, keduanya dipakai bersama sehingga tampak seperti singa bermahkota. (Hartono, 1980).2.1.3 Letak GigitanPembarong memakai barongan dengan menggigit cakotan berbentuk balok persegi panjang terletak melintang horizontal diantara gigi molar kanan dan kiri rahang atas dan rahang bawah. Dimana menurut survey, panjang balok tersebut 28,5 cm dan tebalnya 1cm. Fungsi menggigit balok agar barongan tidak terlepas disaat menari. Selain itu barongan ditahan dengan bantalan terletak diatas kepala dan kadang kadang ditambah ikat kepala (Goenharto, dkk., 2003).2.2 Jaringan Pendukung GigiJaringan yang mengelilingi dan mendukung gigi dikenal sebagai jaringan periodontal. Secara anatomi, jaringan pendukung mempunyai empat komponen yaitu gingiva, tulang alveolar, ligament periodontal, dan sementum (Newman et al, 1996).2.2.1 GingivaGingiva adalah salah satu jaringan lunak yang membatasi rongga mulut. Merupakan daerah pertama yang berhubungan langsung dengan mukosa rongga mulut, menutupi prossesus alveolaris serta rahang dan mengelilingi leher gigi (Tim Periodonsia FKG UNAIR, 1997).Menurut Newman et al (1996), secara anatomi gingiva dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: margin gingiva, gingiva cekat, dan interdental papil.2.2.1.1 Margin gingiva (free atau unattached gingiva) Margin gingiva adalah bagian gingiva yang terletak paling koronal, tidak melekat pada gigi dan membentuk dinding jaringan lunak dari sulkus gingiva (ruangan dangkal antara margin gingiva dan gigi).Dalam keadaan sehat margin gingiva mempunyai:1. Kontur yang berpinggir tajam.2. Konsistensi padat3. Tekstur halus4. Dibatasi oleh free gingiva groove di bagian apikal.Free gingiva groove adalah lekukan dangkal pada permukaan gingiva yang menggambarkan sebagai bagian paling koronal dari perlekatan gingiva pada gigi. Beberapa orang tampak adanya free gingiva groove, sedangkan pada beberapa lainnya tidak (Tim Periodonsia FKG UNAIR, 1997).2.2.1.2 Gingiva cekat (attached gingiva)Attached gingiva terletak tepat di apikal dari margin gingiva, yang melekat erat pada gigi dan tulang alveolar di bawahnya. Dalam keadaan sehat attached gingiva mempunyai gambaran klinis, yakni:1. Tekstur yang stippled (stippling). Stippling menggambarkan permukaan gingiva yang tidak rata.2. Permukaan berwarna merah muda (coral pink).3. Konsistensi padat (Tim Periodonsia FKG UNAIR, 1997).

Attached gingiva mempunyai lebar bervariasi pada daerah satu dan lainnya dalam mulut, berkisar antara 1-9 mm. Lebar attached gingiva tergantung pada posisi gigi dalam lengkung dan lokasi frenulum atau perlekatan otot. Secara umum attached gingiva yang paling lebar terdapat di daerah gigi anterior rahang atas yaitu 3,5-4,5 mm dan paling sempit di daerah gigi posterior rahang bawah yaitu 1,8 mm (Tim Periodonsia FKG UNAIR, 1997).Attached gingiva menyebabkan jaringan gingiva dapat menahan tekanan mekanis dari sikat gigi dan mencegah pergerakan gingiva bila terdapat benturan pada alveolar mukosa. Alveolar mukosa tidak melekat erat pada struktur di bawahnya karena permukaan teksturnya yang lunak dan ditutup dengan lapisan tipis epitel serta tidak dapat menahan banyak gesekan seperti attached gingiva (Tim Periodonsia FKG UNAIR, 1997).2.2.1.3 Interdental papilInterdental papil adalah bagian dari gingiva yang terletak di ruang interproksimal yang dibentuk oleh kontak dengan gigi tetangga. Jika konturnya rata dengan kontak interproksimal yang lebar, papilla akan menjadi sempit dan pendek. Jika gigi-gigi overlapping satu dengan lainnya, ruang interdental bisa kecil atau bisa tidak ada, menghasilkan papilla yang membulat, bahkan tidak mempunyai ruang interproksimal (Tim Periodonsia FKG UNAIR, 1997).2.2.2 Tulang alveolarTulang alveolar adalah bagian dari maxila dan mandibula yang membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang alveolar terbentuk pada saat gigi erupsi untuk menyediakan perlekatan tulang pada ligamen periodontal (Varma &. Nayak, 2002). Tulang alveolar dapat dibagi menjadi daerah yang terpisah dari basis anatomi, tetapi fungsinya merupakan satu kesatuan dengan semua bagian yang salni g berhubungan diantara jaringan pendukung gigi (Carranza., 2002).Tulang alveolar terdiri dari :1. Keping kortikal eksternal yang dibentuk oleh tulang Haver's dan lamella tulang compact (Carranza, 2002). Keping kortikal eksternal menutupi tulang alveolar dan lebih tipis pada bagian facial (Zainal & Salmah, 1992). Keping kortikal eksternal berjalan miring ke arah koronal untuk bergabung dengan tulang alveolar sejati dan membentuk dinding alveolar dengan ketebalan sekitar 0,1 - 0,4 mm. Dinding alveolar dilalui oleh pembuluh darah dan pembuluh limfe serta saraf yang masuk ke dalam ruang periodontal melalui sejumlah kanal kecil (Klaus dkk, 1989).2. Dinding soket yang tipis pada bagian dalam tulang compact disebut tulang alveolar sejati yang terlihat seperti lamina dura pada gambaran radiografis (Carranza, 2002).3. Trabekula cancellous berada diantara lapisan tulang compact dan tulang alveolar sejati. Septum interdental terdiri dari trabekula cancellous yang mendukung tulang dan menutupi bagian dalam tulang compact (Carranza, 2002).Struktur dan morfologi tulang alveolar berbeda pada masing-masing gigi (Zainal & Salmah, 1992). Pada regio insisif mandibula, tulang alveolar sangat tipis dan kep ing ko rtika1 eksternal paralel terhadap tulang alveolar sejati dengan sangat sedikit trabekula cancellous yang terd ap at diantaranya. Sedangkan tulang alveolar pada regio molar lebih leb ar dengan leb ih banyak trabeku la cancellous diantara keping kortikal eksternal dan tulang alveo lar sejati (Varma & Nayak,2002).2.2.3 Ligamen periodontalLigamen adalah suatu ikatan, biasanya menghubungkan dua buah tulang (Manson dan Eley, 1993). Serat-serat kolagen yang padat membentuk ligamen periodontal, menghubungkan akar sementum dengan soket tulang alveolar (Lawler dkk, 1992). Ligament periodontal tidak hanya menghubungkan gigi ke tulang rahang tetapi juga menopang gigi pada soketnya dan mengandung nutrisi yang disalurkan ke gingiva, sementum dan tulang alveolar. Struktur ligamen biasanya menyerap beban tersebut secara efektif dan meneruskannya ke tulang pendukung (Carranza dkk, 2002).2.2.4 Sementum Sementum adalah jaringan ikat kalsifikasi yang menyelubungi dentin akar dan tempat berinsersinya bundle serabut kolagen (Carranza dkk, 2002). Sementum terdiri dari serabut kolagen yang tertanam di dalam matriks organ yang terkalsifikasi. Hubungan sementum dengan tepi email bervariasi, dapat terletak berdekatan, dapat juga terpisah karena adanya dentin yang terbuka (Manson dan Eley, 1993).

Gambar 2.2Jaringan Periodonsium (Nield-Gehrig JS, 2003)2.3 Trauma OklusalTrauma oklusal adalah perubahan destruktif pada jaringan pendukung gigi akibat stres oklusal yang terlalu besar (Manson dan Eley, 1993)Stres berlebihan bisa disebabkan karena beberapa hal misalnya aktifitas abnormal atau parafungsi. Aktifitas parafungsional adalah aktifitas yang dilakukan di luar rentang aktifitas fungsional. Aktifitas ini biasanya habitual dan pasien seringkali tidak menyadari kebiasaan tersebut selama dilakukannya kontak antara gigi-gigi atas dan bawah misalnya selama mengerot, antara gigi dengan jaringan lunak, pipi, bibir dan lupah atau antara gigi dengan beberapa benda asing seperti pensil, pipa, kayu, dst. Kebiasaan ini mempunyai hubungan dengan faktor-faktor psikologis seperti cemas, kemarahan, frustasi maupun dengan aktifitas pekerjaan (Manson dan Eley, 1993).2.3.1Macam-macam trauma oklusal yaitu:1. Trauma bersifat akutHasil dari perubahan tiba-tiba pada gaya oklusal, akibat faktor kekuatan eksternal, seperti gaya yang dihasilkan saat mengunyah benda keras, restorasi atau alat prosthetic yang mengganggu dengan atau mengubah arah dari gaya oklusal pada gigi (Boever, 2004).Trauma akut menghasilkan rasa sakit pada gigi, sensitive pada perkusi, dan peningkatan mobilitas. Jika gaya dihamburkan oleh perubahan posisi dari gigi atau dengan penggunaan yang rendah atau perbaikan restorasi, peradangan menjadi sembuh dan gejala meringan. Sebaliknya, peradangan periodontal dapat memburuk dan menjadi nekrosis, bersamaan dengan pembentukan abses periodontal, atau dapat tetap berlangsung sebagai gejala bebas, kondisi kronis (Boever, 2004).2. Trauma bersifat kronis Hasi dari kekuatan internal (kontak premature, grinding). Berkembang sebagai hasil dari perubahan sedikit demi sedikit pada oklusi, berkaitan dengan penggunaan gigi yang berlebihan, perpindahan drifting, dan tekanan pada gigi, kombinasi dengan kebiasaan seperti bruxism dan clenching (Carranza, 2002).Trauma oklusal kronis dibagi menjadi:1. Trauma oklusal primer Efek dari kekuatan abnormal pada jaringan periodontal yang sehat/normal (tanpa inflamasi), disebabkan oleh kekuatan nonfisiologis dan berlebih pada gigi. Kekuatan yang diterima bisa satu arah (kekuatan ortodontis) atau berlawanan arah (kekuatan jiggling). Kekuatan jiggling menyebabkan perubahan histologis ligamen lebih kompleks, peningkatan mobilitas gigi yang nyata karena titik rotasi (fulkrum) lebih dekat ke apeks. Dengan kata lain trauma oklusi primer terjadi ketika perubahan periodonsium disebabkan hanya karena oklusi. Contohnya adalah pergerakan orthodontis gigi ke posisi yang tidak diharapkan, atau restorasi yang tinggi (Boever, 2004).

2. Trauma oklusal sekunder Efek kekuatan oklusal normal maupun berlebih pada periodonsium yang sakit, terjadi ketika kapasitas adaptif periodonsium berkurang karena telah ada kelainan sistemis atau kehilangan tulang. (Boever, 2004; Carranza, 2002).Trauma sekunder mengurangi area perlekatan periodontal dan mengubah pengaruh dari jaringan sisanya. Jaringan periodontium menjadi lebih mudah terkena luka, dan ketahanan gaya oklusal yang baik sebelumnya menjadi traumatik (Carranza, 2002).2.3.2 Respon Tulang alveolar terhadap Trauma OklusalTrauma oklusal dapat menyebakan kerusakan tulang alveolar dalam keadaan ada atau tidak adanya adanya peradangan. Dengan tidak adanya peradangan, dampak yang disebabkan oleh trauma oklusal adalah meningkatnya kompresi dan ketegangan ligamen periodontal dan meningkatnya osteoclasis tulang alveolar bahkan nekrosis pada ligamen periodontal serta terjadi resorpsi pada tulang dan pada struktur gigi. Perubahan ini bersifat reversibel dalam artian dapat diperbaiki jika penyebabnya dihilangkan dan dilakukan perawatan (Carranza, 2002). Selain itu akan terjadi peningkatan mobilitas, berkurangnya ketinggian tulang crestal dan terjadi peningkatan volume tulang secara keseluruhan tetapi tidak ada kehilangan perlekatan (Rupprecht, 2004). Ketika terjadi peradangan, trauma oklusal dapat memperparah kerusakan tulang yang disebabkan oleh peradangan dan menyebabkan pola tulang yang lebih buruk (Carranza, 2002).Trauma oklusal menyebabkan meningkatnya tekanan oklusal sehingga kepadatan tulang alveolar bertambah. Tekanan oklusal yang melebihi kapasitas adaptasi jaringan tersebut akan menyebabkan terjadinya resorbsi tulang alveolar. Pada trauma oklusal, tekanan cenderung didistribusikan ke ligamen periodontal dan kelebihan tekanan akan menyebarkan sedikit peningkatan kadar remodeling tulang mediator. Akumulasi dari mediator kemudian dapat naik dan merangsang terutama aktivitas resorpsi tulang (Consolaro, 2012)2.4 Resorbsi Tulang AlveolarResorbsi tulang alveolar adalah terjadinya perubahan keseimbangan fisiologis tulang alveolar sehingga menyebabkan pengurangan jumlah tulang yang melebihi pembentukan tulang yang normal dan dapat mengakibatkan kehilangan tulang (Glickman, 1971). Normalnya, puncak tulang alveolar berada 1-2 mm kea rah apical dari cemento-enamel junction. Apabila terdapat kehilangan tulang, puncak tulang alveolar berada lebih dari 2mm kea rah apical dari cemento-enamel junction (Muller, 1979).Ketinggian dan kepadata tulang alveolar diatur secara seimbang oleh faktor lokal dan sistemik antara pembentukan tulang dan resorpsi tulang. Apabila terjadi resorpsi maka pembentukan ketinggian tulang, kepadatan atau keduanya menjadi berkurang (Carranza, 2002).

2.4.1 Pola Resorbsi Tulang Alveolar2.4.1.1 Resorbsi Tulang HorizontalResorbsi tulang horizontal merupakan pola kehilangan tulang yang paling sering ditemukan pada penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar mengalami penurunan, tetapi margin tulang ya ng tersisa tegak lurus terhadap permukaan gigi. Septum interdental serta bagian facial dan lingual juga mengalami kerusakan, tetapi derajat kerusakan disekeliling gigi berbeda-beda (Carranza,2002). Resorbsi tulang dianggap horizontal apabila sisa puncak tulang alveolar bagian proksimal sejajar terhadap garis kha yal yang terdapat. diantara cemento- enamel junction yang berdekatan dengan gigi (Klaus dkk, 1989).2.4.1.2 Resorbsi Tulang VertikalResorbsi vertikal terjadi dalam arah oblique, membuat lubang yang menembus ke dalam tulang di sepanjang akar, dasar kerusakan terletak ke arah apikal di sekitar tulang. Resorbsi vertikal diklasilikasikan berdasarkan jumlah dinding osseus. Resorbsi vertikal dapat memiliki satu, dua, atau tiga dinding (Carranza, 2002). Resorbsi tulang alveolar dianggap vertikal apabila puncak tulang alveolar pada bagian proksimal tulang tidak sejajar dengan garis khayal yang terdapat diantara cement-enamel junction yang berbatasan dengan gigi (Klaus dkk, 1989)