bab ii

47
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Menurut Tarmuji (dalam Pramawaty & Elis, 2012) bahwa pola asuh merupakan pola pengasuhan yang berlaku dalam keluarga, interaksi antara orang tua dan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya (Aisyah, 2010). Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola asuh kepada anaknya yang 6

Upload: wendy-goxil

Post on 02-Sep-2015

225 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

wendy goxil

TRANSCRIPT

34

35

BABIITINJAUAN PUSTAKA

A. Pola Asuh Orang Tua1. Pengertian Pola Asuh Orang TuaMenurut Tarmuji (dalam Pramawaty & Elis, 2012) bahwa pola asuh merupakan pola pengasuhan yang berlaku dalam keluarga, interaksi antara orang tua dan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya (Aisyah, 2010).

Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritasnya dan cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu orang tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara, membimbing dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin dalam pola asuh kepada anaknya yang berbeda-beda karena orang tua mempunyai pola pengasuhan tertentu. Penggunaan pola asuh tertentu ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap bentuk-bentuk perilaku tertentu pada anaknya (Aisyah, 2010).

2. Tipe Pola Asuh Orang TuaPola asuhan itu menurut Stewart dan Koch (dalam Aisyah 2010) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif.

a. Pola Asuh Otoriter Dalam pola asuh ini orang tua menerapkan seperangkat peraturan kepada anaknya secara ketat dan sepihak, cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa, menghendaki ketaatan mutlak. Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua atau kontrol yang ditujukan kepada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan. Pola asuh otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti orang tua tanpa banyak alasan Anak harus tunduk dan patuh terhadap kemauan orang tua. Apapun yang dilakukan oleh anak ditentukan oleh orang tua.

Menurut Adek (dalam Suharsono, 2009), pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan tingkah laku pasif dan cenderung menarik diri. Sikap orang tua yang keras akan menghambat inisiatif anak. Namun di sisi lain anak yang diasuh dengan pola asuh otoriter cenderung memiliki kompetensi dan tanggungjawab seperti orang dewasa.

Menurut Stewart dan Koch (dalam Aisyah, 2010) orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. Orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. Orang tua yang otoriter amat berkuasa terhadap anak, memegang kekuasaaan tertinggi serta mengharuskan anak patuh pada perintah-perintahnya. Dengan berbagai cara, segala tingkah laku anak dikontrol dengan ketat. Sutari Imam Barnadib (dalam Aisyah 2010) mengatakan bahwa orang tua yang otoriter tidak memberikan hak anaknya untuk mengemukakan pendapat serta mengutarakan perasaan-perasaannya sehingga memunculkan perilaku agresi. Berdasarkan teori yang disampaikan terlihat bahwa semakin dihadang kebutuhan seseorang untuk mencapai tujuan akan menjadikan prakondisi agresi semakin tertekan dan mengakumulasi sehingga muncul perilaku agresi. Semakin otoriter didikan pada anak, semakin mendendam anak itu dan semakin besar kemungkinan anak akan senang melawan dan tidak patuh secara sengaja. Perilaku menentang sangat besar perannya dalam memburuknya hubungan antara orang tua dan anak dengan bertambahnya usia anak.

Namun, dalam keluarga cara mendisiplinkan otoriter yang lebih wajar pada anak dengan tetap dibatasi dalam tindakan mereka dan keputusan-keputusan diambil oleh orang tua. Namun keinginan mereka tidak seluruhnya diabaikan dan pembatasan yang kurang beralasan misalnya larangan melakukan apa yang dilakukan teman sebaya berkurang. Ada bukti-bukti bahwa bentuk otoriter yang kurang keras dapat menunjang sosialisasi anak karena mereka bersikap dengan cara yang disetujui sosial. Akibatnya mereka lebih diterima teman sebayanya dan orang dewasa daripada anak yang dibiarkan berbuat sesuka hatinya.

b. Pola Asuh DemokratisHanna Wijaya (dalam Aisyah, 2010) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik-teknik asuhan orang tua demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan-tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. Pola asuhan ini, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini akan mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang dengan baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anaknya. Mereka membuat aturan-aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya serta belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan keluhan dan pendapat anak-anaknya.

Pada pola asuh ini orangtua terlihat tegas tetapi hangat dan penuh pengertian dan anak diakui keberadaannya oleh orang tua, anak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengungkapkan hal-hal yang tidak disukainya maupun mengekspresikan hal-hal yang disukainya dalam interaksinya dengan masing-masing anggota keluarga. Hal ini tentu saja akan mempunyai pengaruh yang lebih baik dalam perkembangan jiwa anak. Dengan demikian, adalah logis bahwa pola asuh demokratis tidak memberi dampak terhadap munculnya perilaku agresi pada anak nantinya.

Jenis pola asuh ini memiliki ciri-ciri orang tua dalam menentukan peraturan terlebih dahulu mempertimbangkan dan memperhatikan keadaan, perasaan, dan pendapat anak, musyawarah dalam mencari jalan keluar suatu permasalahan, hubungan antar keluarga saling menghormati, adanya hubungan yang harmonis antara anggota keluarga, adanya komunikasi dua arah, memberikan bimbingan dengan penuh pengertian (Pramawaty&Elis, 2012).

c. Pola Asuh PermisifMenurut Septriati (2012) dalam pola asuh permisif orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja. Orang tua memiliki kehangatan dan menerima apa adanya. Kehangatan cenderung memanjakan, ingin turuti seluruh keiginan anak. Sedangkan menerima apa adanya cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat apa saja. Pola asuh ini dapat menyebabkan anak agresif, tidak patuh pada orang tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri.

Sehingga dengan pola asuh permisif anak yang diberikan kesempatan sebebas-bebasnya untuk berbuat dan memenuhi keinginannya akan menjadikan anak tersebut tidak terkendali, tidak patuh dan tingkah laku agresif di luar lingkungan keluarga. Anak akan terlihat lebih agresif karena pada manusia semakin direndahkan martabatnya dengan tidak menggubris seluruh perbuatannya maka ia akan mencari perhatian dengan cara menampilkan perbuatan yang negatif yang langsung dapat mencemarkan nama baik keluarganya.

Setiap orang tua pasti bermaksud baik ada orang tua ketika anak berusia sembilan tahun masih mengikatkan tali sepatu anak, mengerjakan pekerjaan rumah, turun tangan saat ada permasalahan kecil dengan teman sebayanya karena beranggapan itu terlalu sulit baginya akan menjadi kebiasaan buruk. Ketika sekali terbiasa demikian akan sulit diubah. Saat dia berusia sebelas tahun dan berjuang mencari teman dekatnya yang sebelumnnya menarik diri, jadilah sahabat baiknya sehingga dia tidak perlu berjuang maka dia tidak akan pernah dewasa (Hermawan, 2013).

Menurut John C. Friel (dalam Hermawan, 2013) mengatakan dalam bukunya emotional inteleligence Daniel Goleman tentang sifat penakut. Apabila orang tua yang melindungi anak-anak mereka dari pengalaman buruk menghasilkan anak-anak yang terus dihantui ketakutan sampai dewasa. Tetapi orang tua yang secara perlahan-lahan dan konsisten mendorong anak-anak mereka mennghadapi dunia, menghasilkan anak-anak yang tidak penakut kelak. Hasil ini membantah pemikiran orang tua masa kini yang percaya bahwa anak-anak harus dilindungi dari kesuitan hidup.

Bila orang tua tunduk pada anaknya atau terlalu baik dalam sikap dan perlakuan terhadap anak, anak kurang menghargai orang tua. Mereka sebaliknya berbuat sesuka hati dan tidak memperdulikan hak-hak anggota keluarga yang lain. Hal ini menciptakan hubungan keluarga yang buruk dan suasana di rumah yang ditandai oleh perselihan yang tiada henti-hentinya. Permisivitas berlebihan membuat anak egois dan menuntut. Mereka menuntut perhatian, pelayanan orang lain dan perilaku yang menyebabkan penyesuaian sosial yang buruk di rumah dan di luar rumah. Sikap orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit kekangan akan menciptakan suatu rumah tangga yang berpusat pada anak. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan dia akan mendorong anak menjadi cerdik, mandiri dan berpenyesuaian sosial yang baik dengan teman sebaya dan saudaranya. Sikap ini juga menumbuhkan rasa percaya diri, kreativitas dan sikap matang.

3. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Menurut Yusuf (2013) pola asuh yang diberikan orang tua pada anak dapat berbeda-beda dan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal yaitu :a. Faktor internal 1) Usia Orang tuaUmur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur semakin bertambah pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki mengenai perilaku yang sesuai untuk mendidik anak. Anak-anak dengan orang tua usia muda akan mendapatkan pengawasan yang lebih longgar karena dalam diri orang tua usia muda cenderung memiliki sifat toleransi yang tinggi dan memaklumi terhadap anak. Usia ibu muda juga dapat mempengaruhi sumber daya yang tersedia untuk anak.

2) Jenis Kelamin Orang tuaPerbedaan gender diantara orang tua akan ikut berpengaruh dalam cara mereka mengasuh anak, hal ini mungkin disebabkan karena realisasi perbedaan dalam bagaimana mereka berpikir dan berperilaku. Diantara ayah dan ibu, keduanya memiliki keinginan untuk melakukan apa yang menurut mereka benar untuk memaksimalkan potensi anak-anak mereka. Misalnya seorang ibu ingin putrinya menjadi lebih tegas dan mahir dalam bersosialisasi dan seorang ayah ingin anaknya menjadi lebih fleksibel, tumbuh dengan tegas dan berkepribadian kuat.

3) Pendidikan dan Wawasan Orang tuaTingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan memberikan dampak bagi pola pikir dan pandangan orang tua dalam mendidik anaknya. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan dan wawasan yang tinggi akan memperhatikan dan merawat anak sesuai dengan usia perkembangannya dan akan menunjukkan penyesuaian pribadi dan sosial yang lebih baik yang akan membuat anak memiliki pandangan positif terhdap orang lain dan masyarakat. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika ibu memiliki pengetahuan yang lebih tinggi terhadap perkembangan anak, mereka menunjukkan tingkat keterampilan pengasuhan yang lebih tinggi, anak-anak mereka memiliki kemampuan kognitif yang lebih tinggi dan sedikit masalah perilaku.

b. Faktor eksternal1) Kondisi Sosial Ekonomi Orang tuaTingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak. Untuk anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, watak yang terbentuk akan lebih keras karena faktor-faktor lain dalam lingkungan sosial anak di samping orang tua telah ditemukan memiliki dampak pada perkembangan anak.

2) Kondisi Psikologi Orang tuaPsikologis orang tua juga mempengaruhi cara orang tua dalam mengasuh anak, orang tua yang rentan terhadap emosi negatif baik itu depresi, lekas marah, cenderung berperilaku kurang peka dan lebih keras dari orang tua lainnya. Karakteristik kepribadian orang tua juga berperan dalam mempengaruhi emosi yang mereka alami, kognitif dan atribusi yang berdampak pada perkembangan kepribadian anak.

3) Pengasuh PendampingOrang tua, terutama ibu yang bekerja di luar rumah dan memiliki lebih banyak waktu di luar rumah seringkali mempercayakan pengasuhan anak kepada nenek, tante atau keluarga dekat lain. Bila tidak ada keluarga tersebut maka biasanya anak dipercayakan pada pembantu (babysitter). Dalam tipe keluarga seperti ini, anak memperoleh jenis pengasuhan yang kompleks sehingga pembentukan kepribadian anak tidak sepenuhnya berasal dari pola asuh orang tua.

4) BudayaSering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengaharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik. Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh pada anaknya.

4. Cara Mendidik Anak a. Hal-hal yang harus diperhatikan orang tua dalam mendidik anak Menurut Hadisiswantoro (2012) terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua dalam mendidik anak adalah :1) Berikan perhatian dan pujianBanyak orang tua yang lebih suka mengkritik anak daripada memuji tetapi alangkah lebih baik memerhatikan sikap yang baik yang ditunjukkan kepada anak dengan memberikan pujian kepadanya. Orang tua menjadi pendengar yang baik bagi anak sehingga anak-anak merasa diperhatikan dan dikasihi orang tuanya.

2) Jalinlah komunikasi yang baik Anak-anak perlu penjelasan mengenai perintah, aturan atau harapan orang tua untuk itu, perlu ada komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. Jika anak diajak berdiskusi, dia akan lebih termotivasi dalam melaksanakan langkah-langkan pemecahan yang telah ditentukan.

3) Berhati-hatilah dengan harapan anda kepada anakOrang tua sering mengharapkan hal-hal yang tidak realistis kepada anak. Hal ini membuat anak stres karena tidak sangggup memenuhi harapan yang tidak realistis. Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua harus tahu bahwa kesalahan merupakan bagian dari proses pembelajaran. Dibalik kesalahan yang mereka lakukan ada makna positif yang diajarkan kepada anak sehingga anak akan belajar untuk berani berjuang menghadapi tantangan dan resiko.

4) Tingkatkan rasa percaya diri anakKata-kata, sikap dan tindakan orang tua aka mempengaruhi perkembangan percaya diri anak. Oleh karena itu, pujian yang diberikan kepada anak jika dia berhasil melakukan sesuatu akan membuatnya bangga. Sebagai orang tua ketika mengucapkan sesuatu harus berpikir sebelum mengucapkannya karena dapat menyakiti perasaan anak.

5) Berikan waktu yang berkualitas Waktu yang diberikan tidak perlu berlebihan tetapi berkualitas. Orang tua dapat bangun lebih pagi agar dapat makan bersama dan menanyakan tentang kegiatan mereka di sekolah. Anak-anak yang kekurangan perhatian dari orang tuanya akan cenderung bersikap buruk karena menganggap perilaku mereka tidak diperhatikan oleh orang tuanya.

6) Yakinkan bahwa anda mengasihinyaAnak-anak harus diyakinkan bahwa orang tuannya mengasihinya. Orang tua dapat menunjukkan dan mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata dan tindakan misalnya pelukan.

7) Berikan aturan dengan konsistenDisiplin sangat diperlukan oleh anak agar dapat bertumbuh dengan perilaku yang baik serta memiliki pengendalian diri. Buat daftar aturan rumah tangga yang harus dipenuhi anak. Aturan tersebut dapat membantu anak memahami arti disiplin seperti aturan menonton TV setelah menyelesaikan pr sekolah atau aturan jam tidur. Jika anak melanggar aturan segera berikan konsukuensinya tetapi dilakukan dengan cara yang tenang, tegas, konsisten dan perlu diingat bahwa hukuman yang diberikan seharusnya bersifat membangun.

8) Jadilah teladan yang baikAnak akan belajar cara berperilaku dengan mengamati dan meniru perilaku orang tuanya. Semakin muda usia anak, semakin mudah dia akan meniru perilaku orang tuanya. Perkataan sering hanya dianggap informasi oleh anak.

9) Jadilah orang tua yang fleksibelOrang tua harus bersikap bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dan kondisi. Hargailah pendapat dan keinginan anak misalnya ketika akan memilih jurusan akademik, memilih pekerjaan dan pasangan hidup, orang tua membimbing dan mengarahkan sehingga mereka bisa memilih dan mengambil keputusan yang tepat.

b. Hal-hal yang dihindari orang tua dalam mendidik anakMenurut Hadisiswantoro (2012) terdapat beberapa hal cara orang tua yang salah saat menerapkan kedisplinan dalam keluarga adalah :1) Bertengkar di depan anakPertengkaran dan perdebatan kecil dalam keluarga adalah hal yang lumrah dan wajar. Namun, orang tua hendaknya memerhatikan situasi dan kondisi serta tempat ketika bertengkar. Terkadang orang tua tidak mampu menahan emosi dan akhirnya bertengkar di depan anak-anaknya. Hal ini akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Anak-anak akan menganggap bahwa pertengkaran merupakan hal biasa. Ketika dewasa dan berkeluarga, mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lihat dari orangtuanya.

2) Tidak kompakOrang tua seharusnya kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Orang tua hendaknya berkomunikasi dan berdiskusi terlebih dahulu dalam segala hal sehingga terlihat kompak dihadapan anak-anak. Jika membela anak ketika anak sedang didisiplinkan oleh salah satu orang tua akan menunjukkan ketidakkompakan orang tua. sikap orang tua yang tidak kompak akan menghilangkan respek anak terhadap orang tuanya.

3) Menghajar anak tanpa nasihat dan peringatanMenghajar atau menghukum anak tanpa nasihat dan peringatan terlebih dahulu adalah tindakan yang sangat tidak bijaksana. Orang tua yang langsung menghajar anak tanpa anak tahu kesalahannya akan berakibat fatal. Anak-anak akan menyimpan sakit hati dan mungkin dendam kepada orang tuanya.

4) Tidak bisa berkata tidakAda orang tua yang lemah dan tidak tegas dihadapan anak sehingga tidak dapat berkata tidak kepada anaknya. Mereka tidak dapat menolak permintaan dan keinginan anak-anaknya. Hampir semua keinginan anak dipenuhi oleh orang tua. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang demikian akan tumbuh menjadi anak yang memiliki kecenderungan mau menang sendiri, tidak mau mengalah dan egois. Semua orang harus mengikuti apa yang menjadi keinginan anak. Orang tua yang lemah bukan saja tidak berani berkata tidak kepada anak-anaknya, melainkan juga tidak berani menegur dan menghukum anaknya yang melakukan kesalahan.

Orang tua harus berani memutuskan boleh dan tidak terhadap permintaan dan keinginanan anak-anak. Orang tua juga harus berani menegur apabila anaknya melakukan kesalahan. Orang tua harus memberi pemahaman yang benar kepada anak sehingga mereka tahu dan percaya bahwa ketika orang tuanya berkata tidak berarti orang tua memiliki alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

5) Membandingkan masa lalu orang tua dengan anakOrang tua sering tergoda membandingkan masa lalunya dengan anak-anaknya pada masa kini. Orang tua merasa bahwa pada masa lalu, dia lebih taat, lebih nurut, lebih rajin, lebih pintar daripada anaknya. Orang tua boleh menceritakan masa lalunya seebagai contoh sehingga anak menjadi termotivasi dalam pencapaian hasil yang lebih maksimal. Anak-anak bertumbuh pada era atau zaman yang berbeda dengan orang tua.

6) Memaksakan kehendak kepada anakSebagai orang tua memilik impian atau cita-cita untuk anak. Untuk memenuhi harapan tersebut terkadang orang tua memaksakan kehendaknya untuk dipenuhi oleh anak. Orang tua yang pintar dan bijakasan akan duduk bersama untuk berdiskusi dan berkomunikasi kepada anak-anaknya.

B. Sibling Rivalry1. Pengertian Sibling RivalryPersaingan antara saudara kandung merupakan respon yang normal seorang anak karena merasa ada ancaman gangguan yang menggangu kestabilan hubungan keluarganya dengan adanya saudara baru (Ambarwati & Wulandari, 2010). Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Kehadiran adik bayi bagi anak pertama dapat memunculkan berbagai macam kecemburuan atau persaingan yang berbeda satu sama lainnya yang dikenal dengan istilah sibling rivalry (Soemardini, Rinik & Chika, 2011)

Sibling rivalry merupakan suatu bentuk dari persaingan antara saudara kandung yang terjadi karena seseorang takut kehilangan kasih sayang dan perhatian dari orang tua, sehingga menimbulkan berbagai pertentangan dan akibat pertentangan tersebut dapat membahayakan bagi penyesuaian pribadi dan sosial seseorang (Putri, Sri & Rulita, 2013). Sibling rivalry biasanya muncul ketika selisih usia saudara kandung terlalu dekat, karena kehadiran adik dianggap menyita waktu dan perhatian terlalu banyak orang tua. Jarak usia yang lazim memicu munculnya sibling rivalry adalah jarak usia antara 1-3 tahun dan muncul pada usia 3-5 tahun kemudian muncul kembali pada usia 8-12 tahun (Woolfson, 2004).

2. Sibling Rivalry pada Tahapan Perkembangan AnakKepribadian seorang anak banyak berkembang selama 5 tahun pertama. Berbagai ketegangan dan tekanan dalam hubungan antar saudara berubah di saat anak- anak tumbuh. Persaingan antar saudara diungkapkan secara berbeda, tergantung pada usia dan tahapan perkembangan anak. Menurut Woolfson (2004) dalam bukunya persaingan saudara kandung mengatakan beberapa tahapan perkembangan anak berdasarkan umur (1-5 tahun) yaitu :a. Anak berumur 18 bulanAnak sangat egosentris dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Dia merasa sangat kuat dan ingin berkuasa. Biasanya pada tahapan ini persaingan cenderung kurang hebat karena anak yang lebih tua perhatiannya lebih terpusat pada dirinya sendiri.

b. Anak berumur 2 tahunPada tahap ini anak akan seepenuhnya menganggap dirinya penting. Dia ingin segala sesuatunya dilakukan menurut caranya.

c. Anak berumur 3 tahunAnak menjadi lebih mandiri, anak bisa berbuat jauh lebih baik untuk dirinya sendiri. Penguasaan bahasanya telah menjadi baik sehingga dia mampu mengungkapkan pendapat dengan lebih jelas.

d. Anak berumur 4 tahunRasa percaya diri telah meningkat dan dia bergaul lebih baik dengan anak sebaya lainnya. Rasa humor pada anak mulai tampak.

e. Anak berumur 5 tahunMulainya masa sekolah merupakan suatu transisi yang besar. Dia memiliki suatu pemahaman terhadap dirinya sendiri yang penting dan baru secara psikologis sebagai anak yang sudah besar.

3. Faktor-faktor Penyebab Sibling RivalryMenurut Hurlock (dalam Sari 2012) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antar saudara kandung adalah sebagai berikut:a. Sikap orang tua Sikap orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh sejauh mana anak mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan terhadap orang tuanya. Bila terdapat rasa persaingan atau permusuhan, sikap orang tua terhadap semua anak kurang menguntungkan dibandingkan bila mereka satu sama lain bergaul cukup baik.

Anak yang lahir pertama, sebagai akibat pendidikan awal dan asosiasi yang erat dengan orang tua daripada anak yang lahir kemudian. Jadi orang tua lebih sering menyukai anak yang pertama. Sebaliknya anak yang di tengah sering merasa tidak dihiraukan dibandingkan anak pertama dan terakhir. Mereka merasa bahwa orang tua piilih kasih dan mereka membenci saudara mereka.

b. Urutan posisi Dalam semua keluarga kecuali keluarga satu anak, semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang diberikan kepadanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi peran yang diberikan bukan peran yang dipilih sendiri maka kemungkinan terjadi perselisihan besar sekali.

c. Jenis kelamin saudara kandung Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap saudara laki-laki atau perempuan. Misalnya dalam kombinasi perempuan-perempuan, terdapat lebih banyak iri hati daripada dalam kombinasi laki-laki perempuan atau laki-laki. Seorang kakak perempuan kemungkinan lebih cerewet dan suka mengatur terhadap adik perempuannya daripada adik lelakinya.

d. Perbedaan usia Perbedaan usia antar saudara kandung mempengaruhi cara mereka bereaksi satu terhadap yang lain dan cara orang tua memperlakukan mereka. Bila perbedaan usia antar saudara itu besar, baik jika anak berjenis kelamin sama maupun berlainan, hubungan mereka lebih ramah, koperatif dan kasih mengasihi terjalin daripada bila usia mereka berdekatan.

e. Jumlah saudara Jumlah saudara yang kecil cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Bila anak banyak saudara, disiplin cenderung otoriter. Bahkan bila ada antagonisme dan permusuhan, ekspresi terbuka perasaan ini dikendalikan dengan ketat. Hal ini biasanya tidak terjadi pada keluarga dengan sedikit anak. Pengawasan orang tua santai permisif terhadap perilaku anak, memungkinkan antagonisme dan permusuhan yang dinyatakan dengan terbuka, sehingga tercipta suasana yang diwarnai perselisihan.

f. Jenis disiplin Menurut Hurlock hubungan antar saudara kandung tampak jauh lebih rukun dalam keluarga yang menggunakan disiplin otoriter yang lebih wajar pada anak dengan tetap dibatasi dalam tindakan mereka dan keputusan-keputusan diambil oleh orang tua, namun keinginan mereka tidak seluruhnya diabaikan dan pembatasan yang kurang beralasan dibandingkan dengan keluarga yang mengikuti pola permisif. Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati, hubungan antar saudara kandung sering tidak terkendalikan lagi namun jika sikap permisif ini tidak berlebihan dia akan mendorong anak menjadi cerdik, mandiri dan berpenyesuaian sosial yang baik.

Menurut Hurlock (dalam Sari 2012) disiplin yang demokratis dapat mengatasi sebagian kekacauan akibat disiplin permisif, tetapi dampaknya tidak sebesar disiplin otoriter. Tetapi secara keseluruhan disiplin demokratis menciptakan hubungan yang lebih menyenangkan dan sehat. Dengan sistem demokratis anak belajar memberi dan menerima atas dasar kerja sama sedangkan pada sistem otoriter, mereka dipaksa melakukannya dan hal ini menimbulkan rasa benci.

g. Pengaruh orang luar Tiga cara orang luar mempengaruhi hubungan antar saudara yaitu kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar pada anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang luar. Hal ini mungkin sekali menimbulkan perselisihan baru atau memperhebat perselisihan antar saudara yang sudah ada.

4. Dampak Sibling RivalryMenurut Hurlock (dalam Putri, Sri & Rulita, 2013) dampak sibling rivalry ada tiga yaitu dampak pada diri sendiri, pada saudara kandung dan pada orang lain. Dampak sibling rivalry pada diri sendiri yaitu adanya tingkah laku regresi, self effacacy rendah. Dampak sibling rivalry terhadap saudara yaitu agresi, tidak mau berbagi, tidak mau membantu saudara dan mengadukan saudara. Selain dampaknya kepada diri sendiri dan dampak dampak kepada saudara, sibling rivalry juga berdampak pada orang lain. Ketika pola hubungan antara anak dan saudara kandungnya tidak baik maka sering terjadi pola hubungan yang tidak baik tersebut dibawa anak kepada pola hubungan sosial di luar rumah.

Pendapat yang sama juga diungkapkan Pieter dan Lubis (2010) penyesuaian diri yang buruk dan perilaku yang agresi dalam keluarga dibawa anak dalam hubungan sosial sehingga anak sering berantem dengan tetangga dan teman sebayanya. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah rumah yang penuh pertengkaran akan terus berkelahi dengan semua orang dan bukan hanya dengan saudara mereka saja. Saudara yang rukun cenderung mampu mengekspresikan simpati, rasa hormat dan kasih sayang (Christine, 2009)

Menurut Boyle (dalam Putri, Sri & Rulita, 2013) sibling rivalry yang tidak diatasi pada masa awal anak-anak dapat menimbulkan delayed effect yaitu dimana pola perilaku tersimpan dibagian alam bawah sadar pada usia 12 tahun hingga 18 tahun dan dapat muncul kembali bertahun-tahun kemudian dalam berbagai bentuk dan perilaku psikologikal yang merusak. Rasa iri hati dan persaingan yang ada sejak masa kanak-kanak dibawa ke masa dewasa.

5. Reaksi Sibling RivalryAnak- anak akan terus bersaing untuk mendapatkan perhatian dari orang tuanya dan persaingan itu akan diperlihatkan oleh anak dengan berbagai cara. Pada anak biasanya yang paling menonjol adalah rasa marah, kemarahan ini dapat ditujukan pada orang yang dianggap saingannya atau pada orang yang ia dambakan kasih sayangnya. Kadangkala selain marah anak juga merengek, bersungut atau menarik simpati. Seorang anak yang iri terhadap saudaranya biasanya sering terjadi pada anak yang lebih tua terhadap adik bayinya. Seringkali anak menunjukkan perilaku agresi seperti ingin disuapi dan berak celana, rasa takut pada hal- hal yang tertentu yang sebelumnya tidak ada. Selain rasa iri ini juga sering diekspresikan dengan cara murung seakan sedih atau malah mulai berfantasi (Ambarwati & Wulandari, 2010).

Woolfson (2004) mengungkapkan bentuk iri hati lainnya mungkin terjadi adu mulut yang ditunjukkan dengan saling berteriak bahkan menjerit satu sama lain. Kemungkinan terburuk, mereka akan saling mengayunkan tangan saat mencoba saling memukul. Reaksi lain yang diungkapkan Putri, Sri dan Rulita (2013) adalah reaksi memukul, mencubit, melukai adiknya bahkan menendang, kemunduran seperti menompol, menangis yang meledak-ledak, manja, rewel, menangis tanpa sebab.

6. Penatalaksanaan Sibling Rivalrya. Peran Orang tua dalam mengatasi sibling rivalryMenurut Hadiswantoro (2012) ada beberapa peran orang tua dalam menciptakan kerukunan dan hidup saling mengasihi antar saudara yaitu :1) Ciptakanlah rumah yang penuh kasih sayangAnak-anak membutuhkan kasih sayang. Tanpa kasih sayang, mereka tidak dapat bertumbuh dengan baik. Menurut Montagu seorang antropolog mengatakan bahwa hal yang paling dibutuhkan tubuh manusia untuk perkembangannya adalah nutrisi kasih obat mujarab untuk tetap sehat adalah merasakan kasih sayang khususnya selama enam tahun pertama kehidupan. Rencanakan waktu bersama keluarga secara teratur. Gunakan waktu dengan bijaksana bersama anak-anak. Jangan biarkan televisi merampas saat-saat berharga.

2) Bangunlah kebiasaan saling membantuPada masa ini, anak-anak bertumbuh di tengah masyarakat yang hidup individualistis sehingga orang tua perlu menananmkan kebiasaan untuk saling membantu sesama dan saudara. Kebiasaan yang dibangun terus-menerus akan membentuk karakter anak.

3) Kembangkanlah sikap saling mengampuniOrang tua harus menanamkan prinsip-prinsip mengampuni untuk tidak membalas perlakuan-perlakuan yang tidak baik contohnya mencubit, memukul, menyakiti dan lain-lain. Dengan demikian, dia akan tumbuh sebagai anak yang mudah mengampuni dan tidak menyimpan dendam atau sakit hati terhadap saudaranya yang berbuat salah kepadanya.

4) Bersikaplah adil dan bijaksana terhadap semua anakOrang tua tidak boleh pilih kasih kepada anak-anaknya. Apabila prinsip ini dilanggar, akan timbul persaingan dan perasaan iri hati antara anak.

b. Cara menyesuaikan diri dengan keluarga baruMenurut Bralzeton dan Sparrow (2009) ada beberapa cara membantu anak yang lebih tua menyesuaikan diri dengan adiknya yaitu :1) Biarkan anak yang lebih tua tahu bentapa anda merindukannya.2) Biarkan dia tahu bahwa bayi itu adalah anggota tambahan dalam keluarga dan bukan pengganti.3) Peluklah anak dengan erat, dan ingatkan dia akan pengalaman yang anda berdua rasakan dan akan dirasakan lagi.4) Pahami dan bersiaplah akan kembalinya anak pada kebiasaan lama yang anda pikir telah sanggup diatasinya.5) Bila dia memaksa anda untuk mendisiplinkannya, ingatlah bahwa secara khusus

c. Cara Mengatasi Sibling RivalryMenurut Bralzeton dan Sparrow (2009) ada beberapa cara orang tua dalam mengatasi pertengkaran kakak beradik yaitu :1) Hentikan ia dengan tegas tetapi tenang. Ketika terjadi pertengkaran sebagai orang tua harus menenangkan kedua anak dan tidak memukul salah satu di antaranya.2) Beri waktu pada anak yang lebih tua untuk merenungkan jika dia sudah siap untuk patuh.3) Pastikan anak yang lebih muda aman. Singkirkan mainan berbahaya dan pisahkan anak-anak jika perkelahian mereka sudah lepas kendali.4) Alihkan perhatian anak yang lebih tua pada proyek atau teman yang menyenangkan untuk diajak bermain.5) Bantulah anak yang lebih tua mengatasi kemarahan dengan berbicara dan membantunya memahami dengan membacakan cerita tentang kemarahan atau dengan menyalurkan rasa marah ke boneka sasaran tinju atau kegiatan lain yang dikenal.6) Setelah menghentikan perkelahian yang hilang kendali, peluklah masing-masing anak dan tenangkan mereka. d. Mencegah Sibling RivalryMenurut Woolfson (2004) dalam bukunya persaingan saudara kandung mengungkapkan beberapa cara efektif mencegah pertengkaran antara saudara yaitu:1) Harapan yang realistisSuasana rumah sakit yang asing sering membuat seorang anak merasa gelisah, khususnya jika dia sangat muda. Dia pun mungkin tampak terpisah dan jauh dari kita. Kepribadiannya yang biasanya penuh gairah dapat berkurang pada saat seperti ini, di saat dia meneliti lingkungan yang aneh tersebut dengan sangat hati-hati. Jangan merasa bingung dengan hal ini. Dia hanya perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Daripada menunggu dia untuk berbicara kepada kita, peluk dia dengan erat.

2) Perhatian Mulailah dengan menjadikan si kakak sebagai pusat perhatian. Dia masih punya banyak waktu untuk mengenal adik barunya. Bertanyalah tentang segala sesuatu yang dilakukannya sementara kita berada di rumah sakit. Kita akan merasa bahwa dia perlahan-lahan bersikap santai dan akan spontan melontarkan pertanyaan mengenai bayi yang baru lahir tersebut.

3) Pertukaran hadiahKatakan kepada si kakak bahwa bayi tersebut memiliki hadiah baru untuknya, yang berada di tempat tidur. Jelaskan bahwa bayi itu menganggap dia sebagai kakak yang hebat. Si kakak akan gembira sekali dengan hadiah ini. Kemudian berikanlah kepadanya hadiah kecil yang bisa diberikannya kepada adik bayinya. Upacara praktis ini membangun suatu hubungan antara saudara yang positif.

4) Kontak fisik Selama kontak pertamanya, si kakak akhirnya akan menghampiri bayi tersebut. Rasa ingin tahu menguasainya, meskipun awalnya agak ditahan. Bersikaplah santai. Dia tidak akan membahayakan saudara kandungnya yang masih kecil hanya dengan menyentuh wajah atau jari kecil si bayi. Dia akan takjub melihat bahwa si bayi jauh lebih kecil daripada dirinya. Bersiaplah untuuk melihatnya mendorong-dorong bayi tersebut.

5) Jawablah pertanyaaan Anak yang berusia 3 atau 4 tahun memiliki kemampuan untuk melontarkan berbagai pertanyaan yang menurut kita sulit dijawab. Misalnya, Apakah noda buruk di mukanya itu akan hilang? atau Mengapa kepalanya berbentuk lucu? Berusahalah keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan setenang mungkin. Cobalah untuk memberikan ketegangan yang mungkin kita rasakan.

C. Anak Usia Prasekolah1. Pengertian Anak PrasekolahAnak usia prasekolah adalah anak berusia antara tiga sampai enam tahun yang sedang dalam masa keemasan (golden age) yang mempunyai arti penting dan berharga karena masa ini merupakan pondasi bagi masa depan anak. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan biologis, psikososial, kognitif dan spiritual yang begitu signifikan. Masa ini anak memiliki kebebasan untuk berekspresi tanpa adanya suatu aturan yang menghalangi dan membatasinya (Susanto, 2011).

Pertumbuhan dan perkembangan (tumbuh kembang) pada dasarnya merupakan dua peristiwa yang berlainan, akan tetapi keduanya saling berkaitan. Pertumbuhan (growth) merupakan masalah perubahan dalam ukuran besar, jumlah, ukuran yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter). Perkembangan (development) merupakan bertambahnya kemampuan (skill/keterampilan) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi sel atau organ tubuh individu (Riyadi & Sukirman, 2009).

Perkembangan masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat, tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara perawatan) dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan). Oleh sebab itu, perlakuan terhadap anak tidak dapat disamaratakan sebaiknya dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. Perkembangan merupakan suatu perubahan dan perkembangan ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif. Perkembangan adalah perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya yang berlangsung secara sistematis, progresif dan berkesinambungan baik menyangkut fisik/jasmaniah maupun psikis/rohaniah (Susanto, 2011).

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak PrasekolahPertumbuhan dan perkembangan fisik anak sangat mudah diamati oleh orang tua karena hampir setiap orang tua dapat melihatnya (Riyadi dan Sukirman,2009) yaitu :a. Usia 3 tahunMotorik kasar : sudah bisa naik turun tangga tanpa bantuan, memakai baju dengan bantuan, mulai bisa naik sepeda beroda tiga.Motorik halus : bisa menggambar lingkaran, mencuci tangannya sendiri, mnggosok gigi.

b. Usia 4 tahunMotorik kasar : berjalan berjinjit, melompat, melompat dengan satu kaki, menangkap bola dan melemparkannya dari atas kepala.Motorik halus:sudah bisa menggunakan gunting dengan lancar, sudah bisa menggambar kotak, menggambar garis vertikal maupun horizontal, belajar membuka dan memasang kancing baju.c. Usia 5 tahunMotorik kasar :berjalan mundur sambil berjinjit, sudah dapat menangkap dan melempar bola dengan baik, sudah dapat melompat dengan kaki secara bergantian.Motorik halus :menulis dengan angka-angka, meulis dengan huruf, menulis dengan kata-kata, belajar menulis nama dan belajar mengikat tali sepatu.Sosial emosional :bermain sendiri mulai berkurang, sering berkumpul dengan teman sebayanya, interaksi sosial selama bermain meningkat, sudah siap untuk menggunakan alat-alat bermain.Pertumbuhan fisik :berat badan meningkat 2,5 kg/tahun, tinggi badan meningkat 6,75-7,5 cm/ tahun.

3. Perkembangan Biopsikologi PrasekolahMenurut Pieter dan Lubis (2010) ada beberapa perkembangan biopsikologi pada fase prasekolah yaitu :a. Pandangan Orang tuaPada masa ini banyak anggapan orang tua menganggap bahwa merupakan masa sulit. Pada periode ini, anak banyak mengalami kesulitan disebabkan perkembangan kepribadian dan selalu menuntut kebebasan meskipun kebebasan mereka masih gagal diperoleh. Anak akan berperilaku lebih bandel, keras kepala, melawan, tidak patuh. Pada periode juga anak sering bertengkar dengan anggota keluarga lainnya, tetangga atau teman sebayanya. Apalagi ketika anak merasa suasana di rumah yang tidak menyenangkan, inkonsisten disiplin, lemah atau otoriter, maka anak selalu membuat suasana gaduh, ribut, onar dan bisa bahkan perkelahian antar kelompok. Selain itu anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya bermain dengan teman sekolompoknya.

b. Pandangan ahli psikologiUsia prasekolah menurut pandangan psikologi merupakan periode yang mempelajari dasar-dasar perilaku sosial dan kelompok yang kelak digunakannya sebagai persiapan diri dalam kehidupan sosial dan berkelompok saat ini dan periode perkembangan selanjutnya. Sehingga dalam periode ini anak akan sering berinteraksi dengan lingkungan, dimana anak sering bertanya kepada orang-orang terdekatnya karena selalu ingin mengetahui lingkungannya, bagaimana mekanismenya, bagaimana rasanya selain itu anak akan meniru pembicaraan dan perilaku orang tua, saudara dan tetangga.

c. Perubahan FisikPertumbuhan fisik pada periode ini berlangsung sangat lambat jika dibandingkan dengan tingkat perumbuhan bayi. Periode ini merupakan masa pertumbuhan yang sangat seimbang. Perbandingan postur tubuh telah banyak berubah seperti dagu keliatan lebih jelas, leher semakin panjang, tinggi badan setiap tahun betambah.d. Perubahan PsikologisAnak akan menunjukkan sifat ataupun wataknya yang merupakan salah satu aspek yang diwarisi oleh orang tua. Berbagai macam sifat yang dimiliki manusia, diantaranya sifat sabar, pemarah, kikir, pemboros ,boros, hemat. Adapun sifat pemarah akan tampak jelas ketika dia berusia 5 tahun atau setelah anak lancar berbicara. Secara umum penyebab timbulnya kemarahan anak adalah pertengkaran permainan, keinginan yang tidak tercapai, serangan dan ancaman dari anak lain. Bentuk ungkapan emosi marah anak adalah menangis, menggerutu, menggertak, menendang, berguling, melompat-lompat dan berkelahi. Perubahan psikologi lainnya adalah anak akan cemburu ketika anak mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada adik baru atau orang lain, bentuk ungkapan kecemburuan anak dilakukan secara terbuka atau perilaku regresi, seperti mengompol, pura-pura sakit atau nakal. Tujuan perilaku regresi anak tidak lain yaitu untuk mendapatkan perhatian.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia PrasekolahSetiap orang tua mengharapkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sempurna tanpa mengalami hambatan apapun. Menurut Riyadi dan Sukirman (2009) di dalam bukunya asuhan keperawatan pada anak terdapat beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut dimana ada sebagian anak yang tidak selamanya tahapan tumbuh kembangnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tua yaitu :a. Faktor HereditasHereditas atau keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah ataupun dimodifikasi, ini merupakan modal dasar untuk mendapatkan hasil akhir dari proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi dapatlah ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan.Termasuk dalam faktor genetik ini adalah jenis kelamin dan suku bangsa/ras. Misalnya, anak keturunan bangsa Eropa akan lebih tinggi dan lebih besar jika dibandingkan dengan keturunan Asia termasuk Indonesia, pertumbuhan postur tubuh wanita akan berbeda dengan laki-laki.

b. Faktor lingkungan1) Lingkungan InternalHal yang berpengaruh diantaranya adalah hormon dan emosi. Ada tiga hormon yang mempengaruhi pertumbuhan anak, hormon somatotropin merupakan hormon yang mempengaruhi jumlah sel tulang, merangsang sel otak pada masa pertumbuhan, berkurangnya hormon ini dapat menyebabkan gitansisme. Hormon tiroid akan mempengaruhi pertumbuhan tulang, kekurangan hormon ini akan menyebabkan kreatinisme dan hormon gonadotropin yang berfungsi untuk merangsang perkembangan seks laki-laki dan memproduksi spermatozoa, sedangkan ekstrogen merangsang perkembangan seks sekunder wanita dan produksi sel telur, jika kekurangan hormon gonadotropin ini akan menyebabkan terhambatnya perkembangan seks.

Terciptanya hubungan yang hangat dengan orang lain seperti ayah, ibu, saudara, teman sebaya, guru dan sebagainya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan emosi, sosial dan intelektual anak. Cara seseorang anak dengan berinteraksi dengan orang tua akan mempengaruhi interaksi anak di luar rumah. Pada umumnya anak yang tahap perkembangannya baik akan mempunyai inteligensi yang tinggi dibandingakan dengan anak yang tahap perkembangannya terhambat.

2) Lingkungan EksternalDalam lingkungan eksternal ini banyak sekali yang mempengaruhinya, diantaranya adalah kebudayaan; kebudayaan suatu daerah akan mempengaruhi kepercayaan, adat kebiasaan dan tingkah laku dalam bagaimana orang tua mendidik anaknya. Status sosial ekonomi keluarga juga berpengaruh, orang tua yang ekonominya menengah keatas dapat dengan mudah menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah yang berkualitas, sehingga mereka dapat menerima atau mengadopsi cara-cara baru bagaimana cara merawat anak dengan baik. Status nutrisi juga pengaruhnya sangat besar, orang tua dengan ekonomi lemah tidak mampu memberikan makanan tambahan buat anaknya, sehingga anak akan kekurangan asupan nutrisi yang akibatnya daya tahan tubuh anak akan menurun dan akhirnya anak akan jatuh sakit

Olahraga yang teratur dapat meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh, aktivitas fisiologis dan stimulasi terhadap perkembangan otot-otot, posisi anak dalam keluarga ditengarai juga berpengaruh, anak pertama akan menjadi pusat perhatian orang tua, sehingga semua kebutuhan dipenuhi, baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan emosi dan juga sosial.

c. Faktor Pelayanan KesehatanAdanya pelayanan kesehatan yang memadai di sekitar lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang, diharapkan tumbuh kembang anak dapat dipantau. Sehingga apabila terdapat sesuatu hal yang sekiranya meragukan atau terdapat keterlambatan dalam perkembangannya, anak dapat segera mendapatkan pelayanan kesehatan.

5. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kejadian Sibling RivalryPola asuh merupakan interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan. Pola asuh orang tua juga merupakan salah satu faktor yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadiaan anak, dimana keluarga adalah lingkungan yang pertama kali menerima kehadiran anak. Keadaan kehidupan keluarga bagi seorang anak dapat dirasakan melalui sikap dari orang yang sangat dekat dan berarti baginya. Dengan kata lain pola asuh orang tua mempengaruhi perilaku anaknya (Aisyah, 2010).

Orang tua adalah kunci bagi munculnya sibling rivalry dan juga berperan memperkecil munculnya hal tersebut. Beberapa peran yang dapat dilakukan orang tua adalah: memberikan kasih sayang dan cinta yang adil bagi anak, mempersiapkan anak yang lebih tua menyambut kehadiran adik baru, memberikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak bukan karena adanya anak emas atau bukan, sharing antar orang tua dan anak, serta memperhatikan protes anak terhadap kesalahan orang tua. Para orang tualah yang nantinya akan menjadikan anak-anak mereka seorang yang memiliki kepribadian baik ataukah buruk (Setiawan, 2008).

Riset tentang sibling menemukan bila orang tua langsung mengintervensi konflik yang ada, biasanya orang tua melindungi anak yang lebih lemah (yang lebih muda) melawan anak yang lebih kuat, maka keadaan akan memuncak dan hal ini akan membuat anak yang kuat akan merasa kesal dan anak yang lebih lemah akan lebih berani mengadakan perlawanan karena merasa bahwa orang tua berpihak kepadanya. Psikolog menemukan bahwa semakin sedikit perbedaan usia antara seorang anak dan saudaranya, semakin ketat pula persaingan yang ada (Christine, 2009).

Pada beberapa keadaan anak memukul adiknya sebagai reaksi dari kemarahan dan kekesalan kepada saudaranya. Dalam hal ini orang tua harus bijak dalam melerai pertengkaran anak karena dengan membiarkan anak saling memukul, maka anda mengajari mereka bahwa kekerasan adalah bentuk komunikasi yang bisa diterima. Lebih baik orang tua menggunakan kata-kata dan itu akan mengajari anak bagaimana menggunakan kata-kata untuk menyelesaikan persoalan (Christine, 2009).

Penelitian dilakukan Yulia (dalam Soemardini, Rinik & Chika, 2011) mengenai gambaran sibling rivalry pada anak prasekolah dan didapatkan hasil 73,91% sibling rivalry terjadi pada anak usia prasekolah dan 26,09 % terdapat pada anak usia sekolah. Hasil penelitian Soemardini, Rinik dan Chika (2011) menunjukkan sebagian besar peran ibu dengan kategori cukup, terjadi sibling rivalry 43,9% dan peran ibu kategori kurang terjadi sibling rivalry 21,1% sehingga dapat ditarik kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara peran ibu dengan tingkat sibling rivalry pada anak pra sekolah usia 3-5 tahun di Wilayah Kelurahan Ketawanggedeng Malang.

Menurut Shochib (dalam Suharsono, 2009) mendidik anak pada hakekatnya merupakan usaha nyata dari pihak orang tua untuk mengembangkan totalitas potensi yang ada pada diri anak. Pola asuh orangtua sangat penting dalam menghadapi masalah pada anak yang sangat mengganggu yang disebabkan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga. Pola asuh orang tua pada kehidupan anak tidak hanya mempengaruhi kehidupan tiap individu anak tetapi juga hubungan antar saudara.

E. Kerangka Konsep PenelitianKerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia prasekolah (3-5 tahun) di Lingkungan III Kelurahan Dwikora Kecamatan Helvetia Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015. Pada kerangka konsep ini terdiri dari dua variabel yaitu:variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat) yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Skema 2.1Kerangka Konsep

Pola asuh orang tuaSibling rivalry pada anak prasekolah (3-5 tahun)Variabel IndependenVariabel Dependen

F. Hipotesa PenelitianHa : Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kejadian sibling rivalry pada anak usia prasekolah (3-5 tahun) di Lingkungan III Kelurahan Dwikora Kecamatan Helvetia Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2015.

6