bab-ii
TRANSCRIPT
BAB II
TATA CARA PENDESKRIPSIAN
2.1 Jumlah Unsur Simetri
Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada
dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik pusat dari
kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui
dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam
penggambarannya.
Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah
sebagai berikut:
Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap
nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar
kristal dengan poros pada sumbu utamanya.
Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta
nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.
Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada
kristal.
Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada
tidaknya titik pusat kristal.
Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.
2.2 Herman-Mauguin
Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-
Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara umum
(simbol Internasional).
Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri
dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.
Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan cara
penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.
1. Sistem Isometrik
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4.
Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111, apakah bernilai
3 atau 3.
Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai
yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat
diantara dua buah sumbu utama.
2. Sistem Tetragonal
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau
4.
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat
diantara dua sumbu utama lateral.
3. Sistem Hexagonal dan Trigonal
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak
tepat diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.
4. Sistem Orthorhombik
Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari
sumbu a, b, dan kemudian c.
5. Sistem Monoklin
Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6. Sistem Triklin
Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat
simetri kristal.
Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus
terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m”
(bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis dengan “m” saja.
Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian
kristal :
6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus
terhadapnya.
m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri
yang tegak lurus.
2.3 Schoenflish
Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-unsur
simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish
akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka yang
masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada masing-
masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik. Sedangkan
system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik
Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.
Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O (Octaheder)
Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)
Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka diberi notasi
huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka diberi notasi huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.
Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.
2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan
Triklin
Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan, ada 2
kemungkinan :
Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)
Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)
Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan
menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C
(dari bagian 1) dan ditulis agak kebawah.
Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan
menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka dinotasikan
dengan huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka dinotasikan dengan huruf
h.
Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf
v.
Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.
Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish
No Kelas Simetri Notasi (Simbolisasi)
1 Hexotahedral Oh
2 Ditetragonal Bipyramidal D4h
3 Hexagonal Pyramidal D6h
4 Trigonal Pyramidal C3v
5 Rhombik Pyramidal C2v
6 Rhombik Dipyramidal C2h
7 Rhombik Disphenoidal C2
8 Domatic Cv
9 Pinacoidal C
10 Pedial C
4.2 Indeks Miller-Weiss
Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini
digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan
Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-
bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan
menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang
tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.
Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus dilakukan
selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri. Penilaian
dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau
bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu
kristal.
Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan dan cara
penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri kristal.
Yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang
telah didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan satu.
Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut sama
dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak terbatas,
yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama dengan nol).
Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, ITM,
disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan
tidak mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer bentuk. Hal ini
adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan bidang-bidang
yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya.
BAB III
TATA CARA PENDISKRIPSIAN
3.1. Proyeksi
3.1.1 Proyeksi Orthogonal
Digunakan untuk mendapatkan gambar tiga dimensional dari suatu bentuk kristal diatas
bidang kertas. Pelukisan (penggambaran) tersebut dapat dilakukan dengan cara berikut :
1. Penggambaran Salib Sumbu
Salib sumbu digambarkan berdasarkan tabel 3.1.
Tabel 3.1 : Pengambaran Salib Sumbu Sistem Kristal
No System Kristal Perbandingan Sumbu Sudut antar Sumbu
1 Isometric a : b : c = 1 : 3 : 3 a+ ^ b’ = 300
2 Tetragonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+ ^ b’ = 300
3 Hexagonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+ ^ 20’ = 200; d+^ b’ = 400
4 Trigonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+ ^ 20’ = 200; d+^ b’ = 400
5 Orthorombik a : b : c = sembarang a+ ^ b’ = 300
6 Monoklin a : b : c = sembarang a+ ^ b’ = 450
7 Triklin a : b : c = sembarang a+ ^ b’ = 450; ^ c’ = 800
2. Penggambaran Bentuk Kristal
− Cari semua symbol bentuk kristal (Indsches Miller) yang ada pada octanct I, yaitu semua bidang
yang memotong sumbu a+, b+, c+ .
− Untuk symbol tersebut ke Indische Weisz.
− Plotkan seluruh parameter kesusunan salib sumbu, dan hubungan semua titik yang bersesuaian
sehingga membentuk garis-garis. Upayakan penarikan garis dari semua garis dapat
terkombinasikan sehingga titik potongnya menghasilkan bidang-bidang semu dari bentuk yang
diinginkan.
− Bidang yang terbentuk diproyeksikan dengan cara simetri keberbagai octant.
− Perjelas garis-garis rusuk kristal dan hilangkan garis bantu yang dibuat sebelumnya.
− Lengkapi gambar tersebut dengan Indiches dan unsur-unsur simetrinya.
3.1.2. Proyeksi Stereografis.
Untuk mendapatkan ciri-ciri simetri yang lengkap pada suatu kristal maka
bentuk perspektif harus dikombinasikan dengan berbagai cara, salah satunya adalah proyeksi
sterografis.
Proyeksi stereografis dianggap sebagai proyeksi yang paling baik karena ini mencakup
proyeksi dari setengah bola. Bidang proyeksinya berupa lingkaran equatorial yang mempunyai
jari-jari sama panjang dengan jari-jari bola. Setelah bidang datar proyksi diambil seperti bidang
datar equatorial bola, garis khayal digambarkan pada ujung-ujung proyeksi bola ke ujung selatan
bola.
Selanjutnya titik-titik yang dihasilkan oleh pertemuan garis proyeksi bidang Kristal
dengan bidang equatorial disebut sebagai Proyeksi Stereografis Pengkonstruksian proyeksi
stereografis dalam bentuk tersendiri (keluar dari proyeksi bola), dapat dilakukan dengan
menggunakan Wulf Net, paku payung, kalkir dan jangka yaitu dengan cara sebagai berikut :
− Letakkan kalkir diatas Wulf Net dan ikuti/lukis lingkarannya diatas kalkir.
− Setelah pusat kedua lingkaran dihimpitkan dengan paku payung, letakkan posisi sumbu b
(bidang 010 dan 010) pada diameter horizontal (kutup E-W Wulf Net).
− Hitung sudut antar pedion plane atau basalt pinacold, kemudian plotkan kedalam kalkir sesuai
dengan busur Wulf Net.
− Hitung sudut antar bidang terhadap seluruh pedion plane, selanjutnya plotkan dengan cara yang
sama seperti point 3.
− Bidang lainnya akan ditemukan berdasarkan “Hukum Kompilasi” , yang merupakan
perpotongan masing-masing garis busur lingkaran vertical dan horizontal.
− Sempurnakanlah proyeksi tersebut dengan melengkapi nilai-nilai simetri kristalnya.
3.2. Sistem Kristal
Sistem isometrik
− Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4
− Bagian 2 : Menerangkan sumbu tambahan pada arah (111), apakah
bernilai bernilai 3 atau 3.
− Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai dua atau tidak
bernilai, yang memiliki arah (110) atau arah lainnya terletak
tepat diantara dua buah sumbu utama.
Sistem Tetragonal
− Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c (mungkin bernilai 4 atau 4).
− Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu horizontal.
− Bagian 3 : Menerangkan nilai tambahan yang terletak diantara dua sumbu
Utama lateral
Sistem Heksagonal dan Trigonal
− Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6, 6, 3 atau 3.
− Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal (sumbu a, b dan d)
− Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang tepat
diantara dua sumbu utama horizontal berarah (1010).
Sistem Orthorombik
Terdiri atas tiga bagian yang dimulai dengan menerangkan nilai sumbu a,b dan c.
Sistem monoklin
Terdiri dari satu bagian yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
Sistem Triklin
Sistem triklin hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan ada tidaknya pusat simetri.
3.3 Jumlah unsur Simetr
Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai
yang ada dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik
pusat dari kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat
mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi
patokan dalam penggambarannya.
Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah
sebagai berikut:
Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap nilai sumbu
simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar kristal dengan poros pada
sumbu utamanya.
Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya.
Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.
Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal.
Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya
titik pusat kristal.
Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.
3.4. Kelas Simetri
Dalam pembagian kelas Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu
Herman-Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara
umum (simbol Internasional).
3.4.1. kelas simetri menurut Herman-Mauguin
Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri
dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.
Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan
cara penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.
1.Sistem Isometrik
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4
Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111,apakah bernil 3atau3
Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai.yang memilikiah 110 atau arah
lainnya yang terletak tepat diantara dua buah sumbu utama.
2. Sistem Tetragonal
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau 4.
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat diantara dua sumbu utama lateral.
3. Sistem Hexagonal dan Trigonal
Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.
Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.
Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak tepat diantara dua sumbu utama
horizontal, berarah 1010.
4. Sistem Orthorhombik
Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai
dari sumbu a, b, dan kemudian c.
5. Sistem Monoklin
Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.
6. Sistem Triklin
Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan
pusat simetri kristal. Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang
simetri yang tegak lurus terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu
diikuti dengan huruf “m” (bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu
ditulis dengan “m” saja.
Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian
kristal :
6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.
6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus terhadapnya.
m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak
lurus.
3.4.2. Kelas Simetri menurut Schoenflish.
Schoenflish
Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-
unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi
Schoenflish akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan
angka yang masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.
Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada
masing-masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik.
Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.
1. Sistem Isometrik
Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :
− Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan
huruf O (Octaheder) Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)
− Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan
diagonal. Maka diberi notasi huruf h. Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical.
Maka diberi notasi huruf h. Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka
diberinotasi huruf v. Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.
2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan
Triklin
Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu
:
− Bagian 1: Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan,ada2
Kemungkinan:
Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)
Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)
− Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan
menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C (dari bagian 1) dan
ditulis agak kebawah.
− Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan
Dengan menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1. Jika mempunyai
bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal.
Maka dinotasikan dengan hruf h
Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka
dinotasikan dengan huruf h.
Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka
dinotasikan dengan huruf v.
Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka
dinotasikan dengan huruf d.
Tabel 3.2. Contoh Simbolisasi Schoenflish
No Kelas Simetri Notasi (Simbolisasi)
1 Hexotahedral Oh
2 Ditetragonal Bipyramidal D4h
3 Hexagonal Pyramidal D6h
4 Trigonal Pyramidal C3v
5 Rhombik Pyramidal C2v
6 Rhombik Dipyramidal C2h
7 Rhombik Disphenoidal C2
8 Domatic Cv
9 Pinacoidal C
10 Pedial C
3.5 Penentuan bentuk Kristal
3.5.1. Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal
kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang
lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu
c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua
sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Gambar.3.1 Sistem Isometrik
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan
nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3
(nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas yaitu :
Tetaoidal
Gyroida
Diploida
Hextetrahedral
Hexoctahedral
3.5.2. Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang
masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan
sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c
, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut
kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Gambar.3.2 Sistem Tetragonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan
nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai
bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas yaitu:
Piramid
Bipiramid
Bisfenoid
Trapezohedral
Ditetragonal Piramid
Skalenohedral
Ditetragonal Bipiramid
3.5.3. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga
sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama
lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih
panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan
sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ
= 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut
120˚ terhadap sumbu γ.
Gambar 3.3 Sistem Hexagonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan
nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai
bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal
ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ
membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7 yaitu :
Hexagonal Piramid
Hexagonal Bipramid
Dihexagonal Piramid
Dihexagonal Bipiramid
Trigonal Bipiramid
Ditrigonal Bipiramid
Hexagonal Trapezohedral
3.5.4. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu
Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal
Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem
Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga
dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠
c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak
sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini
berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap
sumbu γ.
Gambar.3. 4 Sistem Trigonal
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan
nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai
bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal
ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ
membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas yaitu :
Trigonal piramid
Trigonal Trapezohedral
Ditrigonal Piramid
Ditrigonal Skalenohedral
Rombohedral
3.5.5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang
saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang
berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau
berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti,
pada sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).
Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan
menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya
a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelasyaitu yaitu :
Bisfenoid
Piramid
Bipiramid
3.5.6. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang
dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi
sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang
tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a
≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu
sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini,
sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).
Gambar 3.6 Sistem Monoklin
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan
menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya
a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas yaitu :
Sfenoid
Doma
Prisma
3.5.7. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak
lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b
≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu
sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini,
sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Gambar 3.7 Sistem Triklin
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran
panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+=
80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ
membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas yaitu :
Pedial
Pinakoidal
3.6 indeks miller dan weiss
Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini
digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan
Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-
bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan
menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang
tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.
Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus
dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri.
Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh
sisi atau bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong
sumbu-sumbu kristal.
Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan
dan cara penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri
kristal. Yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan
yang telah didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan
satu. Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut
sama dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak
terbatas, yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama
dengan nol). Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik
Geologi, ITM, disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau
disamakan dengan tidak mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer
bentuk. Hal ini adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan
bidang-bidang yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya.
3.7 contoh mineral
3.7.1. Sistem Kristal Isometrik
Beberapa contoh mineral pada system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena,
halite, Fluorite.
3.7.2. Sistem Kristal Tetragonal
Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite,
pyrolusite, Leucite, scapolite.
3.7.3. Sistem Kristal Hexagonal
Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum,
hematite, calcite, dolomite, apatite
3.7.4. Sistem Kristal Trigonal
Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Trigonal ini adalah tourmaline dan
cinnabar.
3.7.5. Sistem Kristal Orthorhombik
Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite,
chrysoberyl, aragonite dan witherite.
3.7.6. Sistem Kristal Monokli
Beberapa contoh mineral pada Sistem kristal Monoklin ini adalah azurite, malachite,
colemanite, gypsum, dan epidot
3.7.7. Sistem Kristal Triklin.
Beberapa contoh mineral pada Sistem kristal Triklin ini adalah albite, anorthite,
labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase
Sabtu, 16 Juli 2011
Sistem Kristal dan Simbolisasi Hermann-Mauguin
Sistem Kristal
Suatu Kristal pada dasarnya memiliki suatu sistem tersendiri yang dapat dibedakan
berdasarkan jumlah sumbu Kristal, letak sumbu Kristal terhadap sumbu yang lain, nilai simetri
dan besarnya parameter masing-masing sumbu. Sistem-sistem tersebut antara lain adalah :
1. Sistem Isometrik
2. Sistem Tetragonal
3. Sistem Ortorombik
4. Sistem Heksagonal
5. Sistem Trigonal
6. Sistem Monoklin
7. Sistem Triklin
Ketujuh sistem Kristal tersebut dapat dibagi lagi menjadi 32 sistem Kristal dan tiap-tiap
sistem Kristal diatas memiliki modifikasinya sendiri-sendiri. Bagaimana tentang lebih
jelasnya akan ditampilkan pada bagian skhir paper ini, yaitu tentang detail sistem Kristal.
SIMBOLOSASI HERMANN-MAUGUIN
Simbolisasi Hermann-Mauguin ini berfungsi untuk mengidentikfikasi lebih detail
mengenai sistem Kristal atau sebagai penciri sistem Kristal, dilihat dari sudut pandang nilai
sumbu dan ada tidaknya pusat simetri tergantung aturan-aturan pada simbolisasi ini. Aturan-
aturan tesebut terbagi dalam :
1. Sistem Isometrik
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :
Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan
mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.
Kolom II : Nilai sumbu yang terletak antara tiga sumbu atau sumbu yang menembus bidang
(111) dan ada tidaknya mirror
Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara dua sumbu Kristal atau sumbu yang
menembus bidang (110) serta ada tidaknya mirror
2. Sistem Tetragonal, Trigonal, dan Heksagonal
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :
Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan
mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.
Kolom II : Nilai sumbu Kristal yang horizontal (a, b, atau d) dan ada tidaknya mirror
Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara 2 sumbu horisotal serta ada tidaknya
mirror
3. Sistem Ortorombik
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :
Kolom I : Nilai sumbu a dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan
mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.
Kolom II : Nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror
Kolom III : Nilai sumbu c serta ada tidaknya mirror
4. Sistem Monoklin
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu
nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror
5. Sistem Triklin
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu
ada tidaknya pusat simetri.
1 berarti tidak memiliki pusat simetri
1 berarti memiliki pusat simetri
Sistem Kristal dan Simbolisasi Hermann-Mauguin
Kristalografi
Apa itu kristalografi? Dari kata dasarnya, Crystal, sudah dapat diketahui secara umum bahwa
Crystalgraphy merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang Kristal. Kristal sendiri sebenarnya
merupakan suatu zat padat yang mempunyai susunan atom atau molekul yang teratur. Keteraturannya
tercermin dalam permukaan kristal yang berupa bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti polapola
tertentu, dan sebenarnya memiliki suatu hukumyang dikenal sebagai Law of Constancy of Interfacial
Angles (Steno.1669), yaitu suatu hokum yang memiliki kandungan bahwa sudut pembentuk bidang
Kristal besarnya adalan konstan.
Relasi dengan Mineralogy
.
MINERALOGY,adalah ilmu yang secara alami mengikutsertakan substansi padat yang merupakan bagian
dari alam semesta. Mineral adalah zat atau benda yang biasanya padat dan homogen dan hasil
bentukan alam yang memiliki sifat-sifat fisik dan kimia tertentu serta umumnya berbentuk kristalin.
Meskipun demikian ada beberapa bahan yang terjadi karena penguraian atau perubahan sisa-sisa
tumbuhan dan hewan secara alamiah juga digolongkan ke dalam mineral,seperti batubara, minyakbumi,
tanahdiatome.
Jadi, sebenarnya Kristalografi adalah salah satu cabang ilmu dari Mineralogy. Dalam konteks ini,
Crystallography merupakan ilmu ini berkenaan dengan bentuk geometris, simetri eksternal dan properti
optikal dari kristal. Tujuan utama dari teknik crystallography moderen adalah penentuan struktur kristal.
Hal ini menyediakan informasi lokasi dari semua atom, posisi ikatan dan tipe ikatannya, ikatan simetri
dan isi kimiawi dari unit sel.
Daya Ikat Kristal
Daya yang mengikat atom (atau ion, atau grup ion) dari zat-zat yang terdapat pada kristal
bersifat elektrostatis secara alami.. Tipe dan intensitasnya sangat berkaitan dengan sifat-sifat fisik dan
kimia dari mineral. Kekerasan, belahan, daya lebur, kelistrikan dan konduktivitas termal, dan koefisien
ekspansi termal berhubungan secara langsung terhadap daya ikat. Secara umum, ikatan kuat memiliki
kekerasan yang lebih tinggi, titik leleh yang lebih tinggi dan koefisien ekspansi termal yang lebih rendah.
Ikatan kimia dari suatu kristal dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu: ionik, kovalen, logam dan van der
Waals.
Unsur-unsur Simetri Kristal
Bidang Simetri
Bidang simetri merupakan suatu bidang khayal yang menembus dan membagi
Kristal menjadi dua bagian yang sama besar dengan salah satu sisi / bagian merupakan suatu
pencerminan dari bidang yang lain. Bidang simetri dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Bidang Simetri Aksial, merupakan suatu bidang simetri yang melewati 2 sumbu Kristal.
2. Jika bidang tersebut terbentuk tegak lurus dengan sumbu c, maka disebut dengan Bidang Simetri
Horizontal.n Jjika bidang tersebut terbentuk sejajar dengan sumbuu c, maka disebut dengan Bidang
Simetri Vertikal.
2. Bidang Simetri Intermediet, apabila bidang simetri tersebut hanya melewati 1 sumbu saja (Bidang
Simetri Diagonal)
Sumbu Simetri
Sumbu simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus pusat kristal, dan bila kristal
diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu putaran penuh akan didapatkan beberapa kali
kenampakan yang sama.
1. Gire, atau sumbu simetri biasa,cara mendapatkan nilai simetrinya adalah dengan
memutar Kristal pada porosnya dalam satu putaran penuh. Bila terdapat dua kali
kenampakan yang sama dinamakan digire, bila tiga trigire (3),dst..
2. Giroide adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya dengan
memutar kristal pada porosnya dan memproyeksikannya pada bidang horisontal.
3. Sumbu inversi putar adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya
dengan memutar kristal pada porosnya dan mencerminkannya melalui pusat kristal.
Penulisan nilai simetrinya dengan cara menambahkan bar pada angka simetri itu. Bila
tiga tribar (3), empat tetrabar (4),dst
Pusat Simetri
Suatu kristal dikatakan mempunyai pusat simetri bila dalam kristal tersebut dapat dibuat
garis bayangan tiap-tiap titik pada permukaan kristal menembus pusat kristal dan akan
menjumpai titik yang lain pada permukaan di sisi yang lain dengan jarak yang sama terhadap
pusat kristal pada garis bayangan tersebut Semua Kristal memiliki pusat Kristal, namun belum
tentu memiliki sumbu simetri.
Sabtu, 16 Juli 2011
Sistem Kristal
Suatu Kristal pada dasarnya memiliki suatu sistem tersendiri yang dapat dibedakan berdasarkan
jumlah sumbu Kristal, letak sumbu Kristal terhadap sumbu yang lain, nilai simetri dan besarnya
parameter masing-masing sumbu. Sistem-sistem tersebut antara lain adalah :
1. Sistem Isometrik
2. Sistem Tetragonal
3. Sistem Ortorombik
4. Sistem Heksagonal
5. Sistem Trigonal
6. Sistem Monoklin
7. Sistem Triklin
Ketujuh sistem Kristal tersebut dapat dibagi lagi menjadi 32 sistem Kristal dan tiap-tiap sistem Kristal
diatas memiliki modifikasinya sendiri-sendiri. Bagaimana tentang lebih jelasnya akan ditampilkan
pada bagian skhir paper ini, yaitu tentang detail sistem Kristal.
SIMBOLOSASI HERMANN-MAUGUIN
Simbolisasi Hermann-Mauguin ini berfungsi untuk mengidentikfikasi lebih detail mengenai
sistem Kristal atau sebagai penciri sistem Kristal, dilihat dari sudut pandang nilai sumbu dan ada
tidaknya pusat simetri tergantung aturan-aturan pada simbolisasi ini. Aturan-aturan tesebut terbagi
dalam :
1. Sistem Isometrik
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :
Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan
mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.
Kolom II : Nilai sumbu yang terletak antara tiga sumbu atau sumbu yang menembus bidang
(111) dan ada tidaknya mirror
Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara dua sumbu Kristal atau sumbu yang
menembus bidang (110) serta ada tidaknya mirror
2. Sistem Tetragonal, Trigonal, dan Heksagonal
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :
Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan
mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.
Kolom II : Nilai sumbu Kristal yang horizontal (a, b, atau d) dan ada tidaknya mirror
Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara 2 sumbu horisotal serta ada tidaknya
mirror
3. Sistem Ortorombik
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :
Kolom I : Nilai sumbu a dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan
mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.
Kolom II : Nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror
Kolom III : Nilai sumbu c serta ada tidaknya mirror
4. Sistem Monoklin
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu
nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror
5. Sistem Triklin
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu
ada tidaknya pusat simetri.
1 berarti tidak memiliki pusat simetri
1 berarti memiliki pusat