bab-ii

29
BAB II TATA CARA PENDESKRIPSIAN 2.1 Jumlah Unsur Simetri Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik pusat dari kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam penggambarannya. Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah sebagai berikut: Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar kristal dengan poros pada sumbu utamanya. Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama. Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal. Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya titik pusat kristal. Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada. 2.2 Herman-Mauguin Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi

Upload: margono-uciha

Post on 07-Aug-2015

165 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: bab-ii

BAB II

TATA CARA PENDESKRIPSIAN

2.1 Jumlah Unsur Simetri

Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai yang ada

dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik pusat dari

kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat mengetahui

dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi patokan dalam

penggambarannya.

Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah

sebagai berikut:

Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap

nilai sumbu simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar

kristal dengan poros pada sumbu utamanya.

Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta

nilainya. Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.

Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada

kristal.

Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada

tidaknya titik pusat kristal.

Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.

2.2 Herman-Mauguin

Dalam pembagian Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu Herman-

Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara umum

(simbol Internasional).

Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri

dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini

dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.

Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan cara

penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.

1. Sistem Isometrik

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4.

Page 2: bab-ii

Bagian 2 : Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111, apakah bernilai

3 atau 3.

Bagian 3 : Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai

yang memiliki arah 110 atau arah lainnya yang terletak tepat

diantara dua buah sumbu utama.

2. Sistem Tetragonal

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau

4.

Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.

Bagian 3 : Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat

diantara dua sumbu utama lateral.

3. Sistem Hexagonal dan Trigonal

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.

Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.

Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak

tepat diantara dua sumbu utama horizontal, berarah 1010.

4. Sistem Orthorhombik

Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai dari

sumbu a, b, dan kemudian c.

5. Sistem Monoklin

Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.

6. Sistem Triklin

Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan pusat

simetri kristal.

Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus

terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu diikuti dengan huruf “m”

(bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu ditulis dengan “m” saja.

Page 3: bab-ii

Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian

kristal :

6/m : Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.

6 : Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus

terhadapnya.

m : Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri

yang tegak lurus.

2.3 Schoenflish

Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-unsur

simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi Schoenflish

akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan angka yang

masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.

Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada masing-

masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik. Sedangkan

system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.

1. Sistem Isometrik

Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.

Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan huruf O (Octaheder)

Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)

Bagian 2 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri.

Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka diberi notasi

huruf h.

Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka diberi notasi huruf h.

Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka diberi notasi huruf v.

Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.

2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan

Triklin

Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu :

Page 4: bab-ii

Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan, ada 2

kemungkinan :

Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)

Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)

Bagian 2 : Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan

menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D atau C

(dari bagian 1) dan ditulis agak kebawah.

Bagian 3 : Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan dengan

menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1.

Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal. Maka dinotasikan

dengan huruf h.

Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka dinotasikan dengan huruf

h.

Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka dinotasikan dengan huruf

v.

Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka dinotasikan dengan huruf d.

Tabel 2.1 Contoh Simbolisasi Schoenflish

No Kelas Simetri Notasi (Simbolisasi)

1 Hexotahedral Oh

2 Ditetragonal Bipyramidal D4h

3 Hexagonal Pyramidal D6h

4 Trigonal Pyramidal C3v

5 Rhombik Pyramidal C2v

6 Rhombik Dipyramidal C2h

7 Rhombik Disphenoidal C2

8 Domatic Cv

9 Pinacoidal C

10 Pedial C

4.2 Indeks Miller-Weiss

Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini

digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan

Page 5: bab-ii

Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-

bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan

menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang

tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.

Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus dilakukan

selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri. Penilaian

dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh sisi atau

bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong sumbu-sumbu

kristal.

Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan dan cara

penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri kristal.

Yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan yang

telah didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan satu.

Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut sama

dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak terbatas,

yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama dengan nol).

Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik Geologi, ITM,

disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau disamakan dengan

tidak mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer bentuk. Hal ini

adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan bidang-bidang

yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya.

BAB III

TATA CARA PENDISKRIPSIAN

3.1. Proyeksi

3.1.1  Proyeksi Orthogonal

Digunakan untuk mendapatkan gambar tiga dimensional dari suatu bentuk kristal diatas

bidang kertas. Pelukisan (penggambaran) tersebut dapat dilakukan dengan cara berikut :

1. Penggambaran Salib Sumbu

Salib sumbu digambarkan berdasarkan tabel 3.1.

Tabel 3.1 : Pengambaran Salib Sumbu Sistem Kristal

No System Kristal Perbandingan Sumbu Sudut antar Sumbu

1 Isometric a : b : c = 1 : 3 : 3 a+ ^ b’ = 300

2 Tetragonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+ ^ b’ = 300

3 Hexagonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+ ^ 20’ = 200; d+^ b’ = 400

4 Trigonal a : b : c = 1 : 3 : 6 a+ ^ 20’ = 200; d+^ b’ = 400

5 Orthorombik a : b : c = sembarang a+ ^ b’ = 300

6 Monoklin a : b : c = sembarang a+ ^ b’ = 450

7 Triklin a : b : c = sembarang a+ ^ b’ = 450; ^ c’ = 800

Page 6: bab-ii

2. Penggambaran Bentuk Kristal

−        Cari semua symbol bentuk kristal (Indsches Miller) yang ada pada octanct I, yaitu semua bidang

yang memotong sumbu a+, b+, c+ .

−        Untuk symbol tersebut ke Indische Weisz.

−        Plotkan seluruh parameter kesusunan salib sumbu, dan hubungan semua titik yang bersesuaian

sehingga membentuk garis-garis. Upayakan penarikan garis dari semua garis dapat

terkombinasikan sehingga titik potongnya menghasilkan bidang-bidang semu dari bentuk yang

diinginkan.

−        Bidang yang terbentuk diproyeksikan dengan cara simetri keberbagai octant.

−        Perjelas garis-garis rusuk kristal dan hilangkan garis bantu yang dibuat sebelumnya.

−        Lengkapi gambar tersebut dengan Indiches dan unsur-unsur simetrinya.

3.1.2. Proyeksi Stereografis.

Untuk mendapatkan ciri-ciri simetri yang lengkap pada suatu kristal maka

bentuk perspektif harus dikombinasikan dengan berbagai cara, salah satunya adalah proyeksi

sterografis.

Proyeksi stereografis dianggap sebagai proyeksi yang paling baik karena ini mencakup

proyeksi dari setengah bola. Bidang proyeksinya berupa lingkaran equatorial yang mempunyai

jari-jari sama panjang dengan jari-jari bola. Setelah bidang datar proyksi diambil seperti bidang

datar equatorial bola, garis khayal digambarkan pada ujung-ujung proyeksi bola ke ujung selatan

bola.

Selanjutnya titik-titik yang dihasilkan oleh pertemuan garis proyeksi bidang Kristal

dengan bidang equatorial disebut sebagai Proyeksi Stereografis Pengkonstruksian proyeksi

stereografis dalam bentuk tersendiri (keluar dari proyeksi bola), dapat dilakukan dengan

menggunakan Wulf Net, paku payung, kalkir dan jangka yaitu dengan cara sebagai berikut :

−        Letakkan kalkir diatas Wulf Net dan ikuti/lukis lingkarannya diatas kalkir.

−        Setelah pusat kedua lingkaran dihimpitkan dengan paku payung, letakkan posisi sumbu b

(bidang 010 dan 010) pada diameter horizontal (kutup E-W Wulf Net).

−        Hitung sudut antar pedion plane atau basalt pinacold, kemudian plotkan kedalam kalkir sesuai

dengan busur Wulf Net.

−        Hitung sudut antar bidang terhadap seluruh pedion plane, selanjutnya plotkan dengan cara yang

sama seperti point 3.

−        Bidang lainnya akan ditemukan berdasarkan “Hukum Kompilasi” , yang merupakan

perpotongan masing-masing garis busur lingkaran vertical dan horizontal.

−        Sempurnakanlah proyeksi tersebut dengan melengkapi nilai-nilai simetri kristalnya.

3.2. Sistem Kristal

  Sistem isometrik

−     Bagian 1     :    Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4

−     Bagian 2     :    Menerangkan sumbu tambahan pada arah (111), apakah

                            bernilai bernilai 3 atau 3.

−     Bagian 3     :    Menerangkan sumbu tambahan bernilai dua atau tidak

bernilai, yang memiliki arah (110) atau arah lainnya terletak

Page 7: bab-ii

tepat diantara dua buah sumbu utama.

  Sistem Tetragonal

−        Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c (mungkin bernilai 4 atau 4).

−        Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu horizontal.

−        Bagian 3 : Menerangkan nilai tambahan yang terletak diantara dua sumbu

Utama lateral

  Sistem Heksagonal dan Trigonal

−        Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6, 6, 3 atau 3.

−        Bagian 2 : Menerangkan nilai sumbu utama horizontal (sumbu a, b dan d)

−        Bagian 3 : Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang tepat

                                   diantara dua sumbu utama horizontal berarah (1010).

  Sistem Orthorombik

Terdiri atas tiga bagian yang dimulai dengan menerangkan nilai sumbu a,b dan c.

  Sistem monoklin

Terdiri dari satu bagian yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.

  Sistem Triklin

Sistem triklin hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan ada tidaknya pusat simetri.

3.3 Jumlah unsur Simetr

Jumlah unsur simetri adalah notasi-notasi yang digunakan untuk menjelaskan nilai-nilai

yang ada dalam sebuah kristal, nilai sumbu-sumbunya, jumlah bidang simetrinya, serta titik

pusat dari kristal tersebut. Dengan menentukan nilai jumlah unsur simetri, kita akan dapat

mengetahui dimensi-dimensi yang ada dalam kristal tersebut, yang selanjutnya akan menjadi

patokan dalam penggambarannya.

Unsur simetri yang diamati adalah sumbu, bidang, dan pusat simetri. Cara penentuannya adalah

sebagai berikut:

  Pada posisi kristal dengan salah satu sumbu utamanya, lakukan pengamatan terhadap nilai sumbu

simetri yang ada. Pengamatan dapat dilakukan dengan cara memutar kristal dengan poros pada

sumbu utamanya.

  Perhatikan keterdapatan sumbu simetri tambahan, jika ada tentukan jumlah serta nilainya.

Menentukan nilainya sama dengan pada sumbu utama.

  Amati keterdapatan bidang simetri pada setiap pasangan sumbu simetri yang ada pada kristal.

  Amati bentuk kristal terhadap susunan persilangan sumbunya, kemudian tentukan ada tidaknya

titik pusat kristal.

  Jumlahkan semua sumbu dan bidang simetri (yang bernilai sama) yang ada.

3.4. Kelas Simetri

Dalam pembagian kelas Sistem kristal, ada 2 simbolisasi yang sering digunakan. Yaitu

Herman-Mauguin dan Schoenflish. Simbolisasi tersebut adalah simbolisasi yang dikenal secara

umum (simbol Internasional).

3.4.1. kelas simetri menurut Herman-Mauguin

Page 8: bab-ii

Simbol Herman-Mauguin adalah simbol yang menerangkan ada atau tidaknya bidang simetri

dalam suatu kristal yang tegak lurus terhadap sumbu-sumbu utama dalam kristal tersebut. Hal ini

dapat dilakukan dengan mengamati sumbu dan bidang yang ada pada kristal tersebut.

Pemberian simbol Herman-Mauguin ini akan berbeda pada masing-masing kristal. Dan

cara penentuannya pun berbeda pada tiap Sistem Kristal.

1.Sistem Isometrik

Bagian 1       :    Menerangkan nilai sumbu utama, mungkin bernilai 2, 4, atau 4

Bagian 2       :    Menerangkan Sumbu tambahan pada arah 111,apakah bernil 3atau3   

Bagian 3       :    Menerangkan sumbu tambahan bernilai 2 atau tidak bernilai.yang memilikiah 110 atau arah

lainnya yang terletak tepat diantara dua buah sumbu utama.

2. Sistem Tetragonal

Bagian 1       :    Menerangkan nilai sumbu c, mungkin mungkin bernilai 4 atau 4.

Bagian 2       :    Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.

Bagian 3       :    Menerangkan nilai sumbu tambahan yang terletak tepat diantara dua sumbu utama lateral.

3. Sistem Hexagonal dan Trigonal

Bagian 1       :    Menerangkan nilai sumbu c, mungkin bernilai 6 atau 3.

Bagian 2       :    Menerangkan nilai sumbu utama horizontal.

Bagian 3       :    Menerangkan ada tidaknya nilai sumbu tambahan yang terletak tepat diantara dua sumbu utama

horizontal, berarah 1010.

4. Sistem Orthorhombik

Terdiri atas tiga bagian, yaitu dengan menerangkan nilai sumbu-sumbu utama dimulai

dari sumbu a, b, dan kemudian c.

5. Sistem Monoklin

Pada sistem ini hanya terdiri dari satu bagian, yaitu hanya menerangkan nilai sumbu b.

6. Sistem Triklin

Untuk sistem ini hanya mempunyai dua kelas simetri yang menerangkan keterdapatan

pusat simetri kristal. Keseluruhan bagian tersebut diatas harus diselidiki ada tidaknya bidang

simetri yang tegak lurus terhadap sumbu yang dianalisa. Jika ada, maka penulisan nilai sumbu

diikuti dengan huruf “m” (bidang simetri) dibawahnya. Kecuali untuk sumbu yang bernilai satu

ditulis dengan “m” saja.

Berikut ini adalah beberapa contoh penulisan simbol Herman-Mauguin dalam pendeskripsian

kristal :

           6/m    :    Sumbu simetri bernilai 6 dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak lurus.

           6        :    Sumbu simetri bernilai 3, namun tidak ada bidang simetri yang tegak lurus terhadapnya.

           m       :    Sumbu simetri bernilai 1 atau tidak bernilai dan terhadapnya terdapat bidang simetri yang tegak

lurus.

3.4.2. Kelas Simetri menurut Schoenflish.

Schoenflish

Simbolisasi Scoenflish digunakan untuk menandai atau memberi simbol pada unsur-

unsur simetri suatu kristal. Seperti sumbu-sumbu dan bidang-bidang simetri. Simbolisasi

Page 9: bab-ii

Schoenflish akan menerangkan unsur-unsur tersebut dengan menggunakan huruf-huruf dan

angka yang masing-masing akan berbeda pada setiap kristal.       

Berbeda dengan Herman-Mauguin yang pemberian simbolnya berbeda-beda pada

masing-masing sistemnya, pada Schoenflish yang berbeda hanya pada sistem Isometrik.

Sedangkan system-sistem yang lainnya sama cara penentuan simbolnya.

1. Sistem Isometrik

Pada sistem ini, simbolisasi yang dilakukan hanya terdiri dari 2 bagian, yaitu :

−       Bagian 1 : Menerangkan nilai sumbu c, apakah bernilai 2 atau 4.Bila bernilai 4, maka dinotasikan dengan

huruf O (Octaheder) Bila bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf T (Tetraheder)

−       Bagian 2 :  Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Jika mempunyai bidang simetri horizontal, vertical dan

diagonal. Maka diberi notasi huruf h. Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical.

Maka diberi notasi huruf h. Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka

diberinotasi huruf v. Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal. Maka diberi notasi huruf d.

2. Sistem Tetragonal, Hexagonal, Trigonal, Orthorhombik, Monoklin dan

Triklin

Pada sistem-sistem ini, simbolisasi Schoenflish yang dilakukan terdiri dari 3 bagian, yaitu

:

−        Bagian 1:  Menerangkan nilai sumbu lateral atau sumbu tambahan,ada2

                              Kemungkinan:

      Kalau bernilai 2, maka dinotasikan dengan huruf D (Diedrish)

      Kalau tidak bernilai, maka dinotasikan dengan huruf C (Cyklich)

−        Bagian 2 :  Menerangkan nilai dari sumbu c. penulisan dilakukan dengan

 menuliskan nilai angka nilai sumbu c tersebut didepan huruf D   atau C (dari bagian 1) dan

ditulis agak kebawah.

−        Bagian 3 :  Menerangkan keterdapatan bidang simetri. Penulisan dilakukan

       Dengan menuliskan huruf yang sesuai sejajar dengan huruf dari bagian 1. Jika mempunyai

bidang simetri horizontal, vertical dan diagonal.

       Maka dinotasikan dengan hruf h

       Jika mempunyai bidang simetri horizontal dan vertical. Maka

       dinotasikan dengan huruf h.

       Jika mempunyai bidang simetri vertical dan diagonal. Maka

       dinotasikan dengan huruf v.

       Jika hanya mempunyai bidang simetri diagonal saja. Maka

       dinotasikan dengan huruf d.

Page 10: bab-ii

Tabel 3.2.  Contoh Simbolisasi Schoenflish

No Kelas Simetri Notasi (Simbolisasi)

1 Hexotahedral Oh

2 Ditetragonal Bipyramidal D4h

3 Hexagonal Pyramidal D6h

4 Trigonal Pyramidal C3v

5 Rhombik Pyramidal C2v

6 Rhombik Dipyramidal C2h

7 Rhombik Disphenoidal C2

8 Domatic Cv

9 Pinacoidal C

10 Pedial C

3.5 Penentuan bentuk Kristal

3.5.1. Sistem Isometrik

Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal 

kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang

lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan

sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu

c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua

sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar.3.1 Sistem Isometrik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik

memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan

nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3

(nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini

menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas  yaitu :

Tetaoidal

Gyroida

Page 11: bab-ii

Diploida

Hextetrahedral

Hexoctahedral

3.5.2. Sistem Tetragonal

Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang

masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan

sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.

Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c

, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga

memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut

kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar.3.2 Sistem Tetragonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal

memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan

nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai

bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini

menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas yaitu:

Piramid

Bipiramid

Bisfenoid

Trapezohedral

Ditetragonal Piramid

Skalenohedral

Ditetragonal Bipiramid

3.5.3. Sistem Hexagonal

Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga

sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama

lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih

panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan

sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan

sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ

Page 12: bab-ii

= 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut

120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar 3.3 Sistem Hexagonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal

memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan

nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai

bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal

ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ

membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem  ini dibagi menjadi 7 yaitu :

Hexagonal Piramid

Hexagonal Bipramid

Dihexagonal Piramid

Dihexagonal Bipiramid

Trigonal Bipiramid

Ditrigonal Bipiramid

Hexagonal Trapezohedral

3.5.4. Sistem Trigonal

Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu

Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal

Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem

Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga

dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.

Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠

c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak

sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini

berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap

sumbu γ.

Gambar.3. 4 Sistem Trigonal

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal

memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan

nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai

bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal

Page 13: bab-ii

ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ

membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas yaitu :

Trigonal piramid

Trigonal Trapezohedral

Ditrigonal Piramid

Ditrigonal Skalenohedral

Rombohedral

3.5.5. Sistem Orthorhombik

Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang

saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang

berbeda.

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan

sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau

berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti,

pada sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).

Gambar 3.5 Sistem Orthorhombik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik

memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan

menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya

a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem ini dibagi menjadi 3 kelasyaitu yaitu :

Bisfenoid

Piramid

Bipiramid

3.5.6. Sistem Monoklin

Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang

dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c, tetapi

sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang

tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling pendek.

Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a

≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu

sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini,

sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Page 14: bab-ii

Gambar 3.6 Sistem Monoklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin

memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan

menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya

a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas yaitu :

Sfenoid

Doma

Prisma

3.5.7. Sistem Triklin

Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak

lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama.

Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b

≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu

sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini,

sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Gambar 3.7 Sistem Triklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki

perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran

panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+=

80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ

membentuk sudut 80˚ terhadap c+.

Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas yaitu :

Pedial

Pinakoidal

3.6 indeks miller dan weiss

Indeks Miller dan Weiss adalah salah satu indeks yang sangat penting, karena indeks ini

digunakan pada ancer semua ilmu matematika dan struktur kristalografi. Indeks Miller dan

Weiss pada kristalografi menunjukkan adanya perpotongan sumbu-sumbu utama oleh bidang-

Page 15: bab-ii

bidang atau sisi-sisi sebuah kristal. Nilai-nilai pada indeks ini dapat ditentukan dengan

menentukan salah satu bidang atau sisi kristal dan memperhatikan apakah sisi atau bidang

tersebut memotong sumbu-sumbu utama (a, b dan c) pada kristal tersebut.

Selanjutnya setelah mendapatkan nilai perpotongan tersebut, langkah yang harus

dilakukan selanjutnya adalah menentukan nilai dari indeks Miller dan Weiss itu sendiri.

Penilaian dilakukan dengan mengamati berapa nilai dari perpotongan sumbu yang dilalui oleh

sisi atau bidang tersebut. Tergantung dari titik dimana sisi atau bidang tersebut memotong

sumbu-sumbu kristal.

Pada dasarnya, indeks Miller dan Weiss tidak jauh berbeda. Karena apa yang dijelaskan

dan cara penjelasannya sama, yaitu tentang perpotongan sisi atau bidang dengan sumbu simetri

kristal. Yang berbeda hanyalah pada penentuan nilai indeks. Bila pada Miller nilai perpotongan

yang telah didapat sebelumnya dijadikan penyebut, dengan dengan nilai pembilang sama dengan

satu. Maka pada Weiss nilai perpotongan tersebut menjadi pembilang dengan nilai penyebut

sama dengan satu. Untuk indeks Weiss, memungkinkan untuk mendapat nilai indeks tidak

terbatas, yaitu jika sisi atau bidang tidak memotong sumbu (nilai perpotongan sumbu sama

dengan nol). Dalam praktikum laboratorium Kristalografi dan Mineralogi jurusan Teknik

Geologi, ITM, disepakati bahwa nilai tidak terbatas ( ~ ) tersebut digantikan dengan atau

disamakan dengan tidak mempunyai nilai (0). Indeks Miller-Weiss ini juga disebut sebagai ancer

bentuk. Hal ini adalah karena indeks ini juga akan mencerminkan bagaimana bentuk sisi-sisi dan

bidang-bidang yang ada pada kristal terhadap sumbu-sumbu utama kristalnya.

3.7 contoh mineral

3.7.1. Sistem Kristal Isometrik

Beberapa contoh mineral pada system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena,

halite, Fluorite.

3.7.2. Sistem Kristal Tetragonal

Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite,

pyrolusite, Leucite, scapolite.

3.7.3. Sistem Kristal Hexagonal

Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum,

hematite, calcite, dolomite, apatite

3.7.4. Sistem Kristal Trigonal

Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Trigonal ini adalah  tourmaline dan

cinnabar.

3.7.5. Sistem Kristal Orthorhombik

Beberapa contoh mineral pada sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite,

chrysoberyl, aragonite dan witherite.

3.7.6. Sistem Kristal Monokli

Beberapa contoh mineral pada Sistem kristal Monoklin ini adalah azurite,  malachite,

colemanite, gypsum, dan epidot

3.7.7. Sistem Kristal Triklin.

Beberapa contoh mineral pada Sistem kristal Triklin ini adalah albite, anorthite,

labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase

Page 16: bab-ii

Sabtu, 16 Juli 2011

Sistem Kristal dan Simbolisasi Hermann-Mauguin

Sistem Kristal

Suatu Kristal pada dasarnya memiliki suatu sistem tersendiri yang dapat dibedakan

berdasarkan jumlah sumbu Kristal, letak sumbu Kristal terhadap sumbu yang lain, nilai simetri

dan besarnya parameter masing-masing sumbu. Sistem-sistem tersebut antara lain adalah :

1. Sistem Isometrik

2. Sistem Tetragonal

3. Sistem Ortorombik

4. Sistem Heksagonal

5. Sistem Trigonal

6. Sistem Monoklin

7. Sistem Triklin

Ketujuh sistem Kristal tersebut dapat dibagi lagi menjadi 32 sistem Kristal dan tiap-tiap

sistem Kristal diatas memiliki modifikasinya sendiri-sendiri. Bagaimana tentang lebih

jelasnya akan ditampilkan pada bagian skhir paper ini, yaitu tentang detail sistem Kristal.

SIMBOLOSASI HERMANN-MAUGUIN

Simbolisasi Hermann-Mauguin ini berfungsi untuk mengidentikfikasi lebih detail

mengenai sistem Kristal atau sebagai penciri sistem Kristal, dilihat dari sudut pandang nilai

sumbu dan ada tidaknya pusat simetri tergantung aturan-aturan pada simbolisasi ini. Aturan-

aturan tesebut terbagi dalam :

1. Sistem Isometrik

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :

Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan

mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.

Kolom II : Nilai sumbu yang terletak antara tiga sumbu atau sumbu yang menembus bidang

(111) dan ada tidaknya mirror

Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara dua sumbu Kristal atau sumbu yang

menembus bidang (110) serta ada tidaknya mirror

2. Sistem Tetragonal, Trigonal, dan Heksagonal

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :

Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan

mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.

Kolom II : Nilai sumbu Kristal yang horizontal (a, b, atau d) dan ada tidaknya mirror

Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara 2 sumbu horisotal serta ada tidaknya

mirror

3. Sistem Ortorombik

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :

Kolom I : Nilai sumbu a dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan

mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.

Page 17: bab-ii

Kolom II : Nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror

Kolom III : Nilai sumbu c serta ada tidaknya mirror

4. Sistem Monoklin

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu

nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror

5. Sistem Triklin

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu

ada tidaknya pusat simetri.

1 berarti tidak memiliki pusat simetri

1 berarti memiliki pusat simetri

Sistem Kristal dan Simbolisasi Hermann-Mauguin

Kristalografi

Apa itu kristalografi? Dari kata dasarnya, Crystal, sudah dapat diketahui secara umum bahwa

Crystalgraphy merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang Kristal. Kristal sendiri sebenarnya

merupakan suatu zat padat yang mempunyai susunan atom atau molekul yang teratur. Keteraturannya

tercermin dalam permukaan kristal yang berupa bidang-bidang datar dan rata yang mengikuti polapola

tertentu, dan sebenarnya memiliki suatu hukumyang dikenal sebagai Law of Constancy of Interfacial

Angles (Steno.1669), yaitu suatu hokum yang memiliki kandungan bahwa sudut pembentuk bidang

Kristal besarnya adalan konstan.

Relasi dengan Mineralogy

.

MINERALOGY,adalah ilmu yang secara alami mengikutsertakan substansi padat yang merupakan bagian

dari alam semesta. Mineral adalah zat atau benda yang biasanya padat dan homogen dan hasil

bentukan alam yang memiliki sifat-sifat fisik dan kimia tertentu serta umumnya berbentuk kristalin.

Meskipun demikian ada beberapa bahan yang terjadi karena penguraian atau perubahan sisa-sisa

tumbuhan dan hewan secara alamiah juga digolongkan ke dalam mineral,seperti batubara, minyakbumi,

tanahdiatome.

Jadi, sebenarnya Kristalografi adalah salah satu cabang ilmu dari Mineralogy. Dalam konteks ini,

Crystallography merupakan ilmu ini berkenaan dengan bentuk geometris, simetri eksternal dan properti

optikal dari kristal. Tujuan utama dari teknik crystallography moderen adalah penentuan struktur kristal.

Hal ini menyediakan informasi lokasi dari semua atom, posisi ikatan dan tipe ikatannya, ikatan simetri

dan isi kimiawi dari unit sel.

Daya Ikat Kristal

Page 18: bab-ii

Daya yang mengikat atom (atau ion, atau grup ion) dari zat-zat yang terdapat pada kristal

bersifat elektrostatis secara alami.. Tipe dan intensitasnya sangat berkaitan dengan sifat-sifat fisik dan

kimia dari mineral. Kekerasan, belahan, daya lebur, kelistrikan dan konduktivitas termal, dan koefisien

ekspansi termal berhubungan secara langsung terhadap daya ikat. Secara umum, ikatan kuat memiliki

kekerasan yang lebih tinggi, titik leleh yang lebih tinggi dan koefisien ekspansi termal yang lebih rendah.

Ikatan kimia dari suatu kristal dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu: ionik, kovalen, logam dan van der

Waals.

Unsur-unsur Simetri Kristal

Bidang Simetri

Bidang simetri merupakan suatu bidang khayal yang menembus dan membagi

Kristal menjadi dua bagian yang sama besar dengan salah satu sisi / bagian merupakan suatu

pencerminan dari bidang yang lain. Bidang simetri dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Bidang Simetri Aksial, merupakan suatu bidang simetri yang melewati 2 sumbu Kristal.

2. Jika bidang tersebut terbentuk tegak lurus dengan sumbu c, maka disebut dengan Bidang Simetri

Horizontal.n Jjika bidang tersebut terbentuk sejajar dengan sumbuu c, maka disebut dengan Bidang

Simetri Vertikal.

2. Bidang Simetri Intermediet, apabila bidang simetri tersebut hanya melewati 1 sumbu saja (Bidang

Simetri Diagonal)

Sumbu Simetri

Sumbu simetri adalah garis bayangan yang dibuat menembus pusat kristal, dan bila kristal

diputar dengan poros sumbu tersebut sejauh satu putaran penuh akan didapatkan beberapa kali

kenampakan yang sama.

1. Gire, atau sumbu simetri biasa,cara mendapatkan nilai simetrinya adalah dengan

memutar Kristal pada porosnya dalam satu putaran penuh. Bila terdapat dua kali

kenampakan yang sama dinamakan digire, bila tiga trigire (3),dst..

2. Giroide adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya dengan

memutar kristal pada porosnya dan memproyeksikannya pada bidang horisontal.

3. Sumbu inversi putar adalah sumbu simetri yang cara mendapatkan nilai simetrinya

dengan memutar kristal pada porosnya dan mencerminkannya melalui pusat kristal.

Penulisan nilai simetrinya dengan cara menambahkan bar pada angka simetri itu. Bila

tiga tribar (3), empat tetrabar (4),dst

Pusat Simetri

Suatu kristal dikatakan mempunyai pusat simetri bila dalam kristal tersebut dapat dibuat

garis bayangan tiap-tiap titik pada permukaan kristal menembus pusat kristal dan akan

menjumpai titik yang lain pada permukaan di sisi yang lain dengan jarak yang sama terhadap

pusat kristal pada garis bayangan tersebut Semua Kristal memiliki pusat Kristal, namun belum

tentu memiliki sumbu simetri.

Page 19: bab-ii

Sabtu, 16 Juli 2011

Sistem Kristal

Suatu Kristal pada dasarnya memiliki suatu sistem tersendiri yang dapat dibedakan berdasarkan

jumlah sumbu Kristal, letak sumbu Kristal terhadap sumbu yang lain, nilai simetri dan besarnya

parameter masing-masing sumbu. Sistem-sistem tersebut antara lain adalah :

1. Sistem Isometrik

2. Sistem Tetragonal

3. Sistem Ortorombik

4. Sistem Heksagonal

5. Sistem Trigonal

6. Sistem Monoklin

7. Sistem Triklin

Ketujuh sistem Kristal tersebut dapat dibagi lagi menjadi 32 sistem Kristal dan tiap-tiap sistem Kristal

diatas memiliki modifikasinya sendiri-sendiri. Bagaimana tentang lebih jelasnya akan ditampilkan

pada bagian skhir paper ini, yaitu tentang detail sistem Kristal.

SIMBOLOSASI HERMANN-MAUGUIN

Simbolisasi Hermann-Mauguin ini berfungsi untuk mengidentikfikasi lebih detail mengenai

sistem Kristal atau sebagai penciri sistem Kristal, dilihat dari sudut pandang nilai sumbu dan ada

tidaknya pusat simetri tergantung aturan-aturan pada simbolisasi ini. Aturan-aturan tesebut terbagi

dalam :

1. Sistem Isometrik

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :

Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan

mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.

Kolom II : Nilai sumbu yang terletak antara tiga sumbu atau sumbu yang menembus bidang

(111) dan ada tidaknya mirror

Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara dua sumbu Kristal atau sumbu yang

menembus bidang (110) serta ada tidaknya mirror

2. Sistem Tetragonal, Trigonal, dan Heksagonal

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :

Kolom I : Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan

mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.

Kolom II : Nilai sumbu Kristal yang horizontal (a, b, atau d) dan ada tidaknya mirror

Page 20: bab-ii

Kolom III : Nilai sumbu yang terletak antara 2 sumbu horisotal serta ada tidaknya

mirror

3. Sistem Ortorombik

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom, yaitu :

Kolom I : Nilai sumbu a dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus (disebut dengan

mirror,dalam simbolisasi di tuliskan “m” jika ada) sumbu tersebut.

Kolom II : Nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror

Kolom III : Nilai sumbu c serta ada tidaknya mirror

4. Sistem Monoklin

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu

nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror

5. Sistem Triklin

Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi 1 kolom, yaitu

ada tidaknya pusat simetri.

1 berarti tidak memiliki pusat simetri

1 berarti memiliki pusat