bab ii
TRANSCRIPT
BAB II
GEOLOGI REGIONAL DAERAH MAJALENGKA
2.1 Landasan Teori
Fosil adalah organisme/sisa kehidupan yg terawetkan secara alamiah yg umurnya lbh
tua dr Holosen/ sekitar 10.000 tahun yg lalu. Pada umumnya fosil bebrbentuk padat/ ompak/
keras. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini harus segera tertutup sedimen.
Fosil berasal dr bahasa Latin, fossa, yang berarti menggali keluar dari dalam tanah. Ilmu yang
mempelajari fosil adalah paleontologi, yang juga merupakan cabang ilmu yang direngkuh
arkeologi.
Kebanyakan fosil ditemukan dalam batuan endapan (sedimen) yang permukaannya
terbuka. Batu karang yang mengandung banyak fosil disebut fosiliferus. Tipe-tipe fosil yang
terkandung di dalam batuan tergantung dari tipe lingkungan tempat sedimen secara ilmiah
terendapkan. Sedimen laut, dari garis pantai dan laut dangkal, biasanya mengandung paling
banyak fosil. Fosil penting untuk memahami sejarah batuan sedimen bumi. Subdivisi dari waktu
geologi dan kecocokannya dengan lapisan batuan tergantung pada fosil.Organisme berubah
sesuai dengan berjalannya waktu dan perubahan ini digunakan untuk menandai periode waktu.
Fosilisasi adalah proses pengawetan suatu organisme/ sisa-sisa kehidupannya secara
alamiah menjadi fosil, baik mengalami pengawetan secara menyeluruh, sebagian ataupun
jejaknya saja, sehingga dari hasil pengawetannya dapat dikenali aspek kehidupannya
(organisme dan lingkungan hidupnya).
Syarat-syarat terjadinya fosilisasi :
1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras
2. Terbebas dari bakteri pembusuk, yaitu bakteri Scavenger sp.
3. Segera terhindar dari proses-proses kimia (oksidasi dan reduksi)
4. Terjadi secara alamiah
5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit
6. Kadar kelembaban dan salinitas rendah
7. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.
Proses fosilisasi :
1. Permineralisasi
Histometabasis pada hewan/ penggantian sebagian tubuh fosil hewan dengan pengisian
mineral lain dimana fosil tersebut diendapkan.
2. Penggantian (Replacement)
Penggantian seluruhbagian fosil dengan mineral lain.
3. Rekristalisasi
Berubahnya sebagian/ seluruh tubuh fosil akibat suhu dan tekanan yang tinggi sehingga
molekul-molekul dari tubuh fosil (non-kristal) akan mengikat agregat tubuh fosil itu
sendiri menjadi Kristal.
4. Destilasi
Tumbuhan/ bahan organic lainnya setelah mati dengan cepat tertutup oleh lapisan
tanah. Karena panas di dalam bumi maka gas dalam tumbuhan/ bahan organic tersebut
menguap dan meninggalkan zat organiknya. Hasilnya ialah terjadinya suatu gambaran/
tapak dari bagian fosil itu yang dapat terlihat dengan jelas di dalam batuan.
5. Impresi : Mold (Internal and External Mold) and Cast
Tanda fosil yang terdapat di dalam lapisan tanah, sedangkan fosilnya sendiri telah tiada.
Impresi dibagi menjadi :
a. Internal Mold : impresi yang ditinggalkan fosil dan dapat terlihat pada lapisan tanah,
jadi dapat dikatakan internal mold adalah gambaran bagian luar fosil itu sendiri.
b. External Mold : Impresi yang terjadi karena fosil itu sendiri lenyap dan rongga di
dalam lapisan tanah yang ditinggalkan diganti oleh zat lain, misalnya kapur, silica,
oksida besi, dan lain sebagainya.
c. Cast : Rongga antara internal mold dan external mold terisi oleh suatu zat lain dari
luar sedangkan fosil itu sendiri telah lenyap.
6. Histometabasis
Penggantian sebagian tubuh fosil tumbuhan dengan pengisian mineral lain (co: silica)
dimana fosil tersebut diendapkan.
7. Trail and Track
Cetakan/ jejak- jejak kehidupan binatang purba yang menimbulkan kenampakan yang
lebih halus.
8. Pembekuan
Hewan yang mati dan tertutup serta terlindung oleh lapisan es dapat membeku dengan
segera. Karena dinginnya es tersebut maka tidak ada bakteri pembusuk yang dapat
hidup dalam bangkai tersebut untuk membusukkannya dan udara pun tertahan oleh
lapisan es. Hewan yang mati secara demikian dagingnya terpelihara seperti semula dan
dapat bertahan lama sekali.
9. Fosilisasi di dalam Turf
Proses ini jarang terjadi, kecuali di daerah yang mempunyai udara kering ataupun di gua
yang juga memiliki udara yang sangat kering. Karena hawa/ udara yang sangat kering,
hewan yang mati segera menjadi kering, sehingga bakteri pembusuk tidak ada
kesempatan untuk membusukkan. Dengan cara tersebut, hewan yang mati akan
menjadi fosil berupa mumi meskipun tidak tertutup oleh lapisan tanah.
10. Pembentukan Kerak
Proses ini terjadi bila hewan/ tumbuhan terbungkus oleh kalsium karbonat (CaCO3) yang
berasal dari travertine ataupun stalaktit.
11. Kompresi Fosil/ Karbonisasi (C)
Tumbuhan yang tertimbun oleh lapisan tanah maka air dan gas yang terkandung dalam
bahan oragnik dari tumbuhan itu tertekan keluar oleh beratnya lapisan tanah yang
menimbunnya. Akibatnya adalah zat karbon dari tumbuhan itu tertinggal dan lama
kelamaan akan berubah menjadi batubara, lignit dan berbagai macam bahan bakar alam
lainnya.
2.2 Geologi Regional Daerah Majalengka
Kabupaten Majalengka terletak di Jawa Barat dengan Ibukota Majalengka. Secara
geografis, kabupaten Majalengka terletak pada 108061'-108048' Bujur Timur dan 6014'-7024'
Lintang Selatan dengan luas wilayah 1.204,24 Km2 (120.424 Ha) atau sekitar 2,71% dari luas
wilayah Propinsi Jawa Barat.
Perjalanan dari Kota Bandung ke Kota Majalengka berlangsung sekitar 2-3 jam melalui
jalur darat dan menempuh jarak sekitar 110 km, dan jarak dari Kota Majalengka ke DKI Jakarta
sekitar 300 km dan ditempuh selama 5-6 jam melalui jalur darat.
Perbatasan Kabupaten Majalengka adalah sebagai berikut:
Utara: Kota Indramayu ( jarak 40-50 km, waktu perjalanan 1 jam).
Timur: Kota Kuningan (jarak kurang lebih 45 km, waktu perjalanan sekitar 1 jam)
Barat: Kota Sumedang (jarak sekitar 50 km, waktu perjalanan 1 jam).
Selatan: Kota Ciamis dan Kota Tasikmalaya (jarak sekitar 60-70 km, waktu perjalanan
sekitar 1,5 jam)
Secara fisiografi, daerah Majalengka dan sekitarnya merupakan batas Zona Bogor di Jawa
Barat dan Zona Serayu Utara di Jawa Tengah, dimana kedua zona tersebut merefleksikan suatu
fisiografi suatu wilayah cekungan pengendapan. Untuk pengendapan berumur Miosen, daerah
Majalengka masih dimasukkan dalam Zona Serayu Utara sehingga sejarah geologi yang meliputi
kondisi tektonik, pola sedimentasi serta tatanan stratigrafi yang terjadi dalam zona tersebut
mengikuti sejarah dan perkembangan yang terjadi dalam cekungan Serayu Utara, namun untuk
Kala Pliosen dan Pleistosen, termasuk ke dalam Zona Bogor.
Formasi Cisaar, yang terdiri dari perselingan batupasir dan lempung, serpih gampingan atau
kadang berupa napal, berumur Miosen Tengah dan banyak mengandung fosil foraminifera dan
jejak binatang (bioturbasi). Formasi ini sebelumnya bernama Formasi Halang, karena secara
litologi dan lingkungannya mempunyai kemiripan dengan Formasi Halang yang terdapat pada
Cekungan Serayu Utara di Jawa Tengah. Selaras di atas formasi Cisaar, terdapat Formasi
Cinambo, terdapat batuan breksi polimik (fragmen terdiri atas berbagai jenis batuan) yang
tersingkap baik di Sungai Cicacaban. Breksi yang terdapat di daerah Majalengka ini dinamakan
juga sebagai Formasi Cantayan.
Formasi Cisaar, Formasi Cinambo, dan Formasi Cantayan semuanya diendapkan dalam
cekungan laut dalam (bathyal) yang berupa kipas bawah laut (submarine fan) dengan sistem
aliran arus gravitasi yang menghasilkan endapan turbidit (Formasi Cisaar dan Formasi Cinambo)
dan endapan aliran debris (Formasi Cantayan). Keadaan cekungan ini pada saat pengendapan
ketiga formasi tersebut, ditunjukkan oleh banyaknya struktur sedimen yang terbentuk pada
saat sedimentasi (synsedimentary structure), yaitu berupa slump. Hal ini menunjukkan bahwa
saat proses sedimentasi berjalan, keadaan cekungan dipengaruhi oleh gerak-gerak tektonik
yang terjadi di Zona Bogor yang aktif selama Kala Miosen dan diikuti oleh kegiatan magmatisme
berupa intrusi dalam bentuk terobosan (dyke atau sill) batuan andesit seperti intrusi Gunung
Surian dan sill andesit yang menyisip dalam perselingan lapisan batupasir dan lempung Formasi
Cinambo dan Sungai Cinambo.
Kegiatan tektonik terus aktif sampai akhir Miosen yang disertai pula dengan proses
pengangkatan dan kemungkinan bersamaan dengan terjadinya proses eustatic sea level
change, menyebabkan terjadinya penurunan muka laut dan pendangkalan cekungan, sehingga
terjadi perubahan kedalaman cekungan dari laut dalam (bathyal) menjadi laut dangkal (neritik).
Dalam keadaan cekungan yang berubah menjadi relatif stabil dan tenang, diendapkan
batulempung yang tebal dengan sistem suspensi dari Formasi Subang, yang terendapkan pada
awal Pliosen dan mengandung fosil foraminifera. Kondisi cekungan yang tenang ini terus
berlangsung, namun keadaan cekungan terus mengalami pendangkalan dengan diendapkannya
batulempung dari Formasi Kaliwangu dalam lingkungan neritik dangkal-litoral, pada pliosen
akhir dan mengandung foraminifera dan moluska laut.
Setelah pengendapan pada Formasi Kaliwangu, pada Kala Plio-Pleistosen, keadaan tektonik
menjadi sangat aktif kembali yang menyebabkan terjadinya proses pengangkatan, perlipatan,
dan pensesaran semua batuan berumur Tersier (Miosen-Pliosen dari Formasi Cisaar, Cinambo,
Cantayan, Subang, dan Kaliwangu) yang terdapat dalam cekungan Zona Bogor dan merubah
wilayah cekungan tersebut dari laut menjadi cekungan daratan Kuarter berupa danau dan
rawa-rawa serta sungai. Tempat pengendapan dari Formasi Citalang/ Tambakan pada Kala
Pleistosen Awal hingga Tengah, menutupi ketidakselarasan batuan dari Formasi Kaliwangu.
Bagian bawah dari formasi ini diawali dengan endapan alur sungai berupa batupasir
konglomeratan yang mengandung moluska air tawar dan fosil vertebrata. Di atasnya berupa
endapan danau yang terdiri dari batulempung hitam dan serpih, karbonan, banyak
mengandung fosil moluska air tawar dan vertebrata. Di atas endapan danau Formasi Citalang/
Tambakan terdiri dari batupasir sedang-kasar, lempung hitam dengan fosil moluska, batupasir
tufaan yang mengandung fosil daun, yang merupakan endapan sungai. Bagian paling atas dari
Formasi Citalang/ Tambakan adalah konglomerat yang merupakan endapan sungai pada bagian
point bar atau meander.
Keadaan tektonik aktif kembali setelah pengendapan Formasi Citalang/ Tambakan, yang
mungkin terjadi pada akhir Pleistosen Tengah atau pada Pleistosen Akhir ditunjukkan dengan
terlipat dan tersesarkan formasi tersebut. Selama proses tektonik yang terakhir tersebut,
proses erosi dan sedimentasi juga terus berlangsung dengan terbentuknya endapan sungai
Pleistosen Akhir- Holosen yang membentuk undak-undak sungai akibat proses pengangkatan.
Daftar pustakanya:
http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Hystometabasis&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8
www.bapeda- majalengka .go.id
Syarifin. Paleontologi Invertebrata. Bandung: Teknik geologi UNPAD.