bab i - vi - lmai

131
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDS) adalah perusahaan yang bergerak dibidang pengerolan slab menjadi plate. PT. GDS terletak di kota Surabaya Provinsi Jawa Timur tepatnya di jalan Margomulyo No. 29 A. PT. GDS merupakan salah satu industri baja terkemuka di Indonesia dengan Produksi dengan cara di roll. PT. GDS mampu menghasilkan hingga total 350.000 ton pertahun, dan dipasok keluar Indonesia. Di bagian produksi PT.GDS terdapat sepuluh stasiun kerja dengan beberapa operator di setiap unitnya, yakni stasiun kerja cutting slab dengan 4 operator, 1 area reheating furnace dengan 2 operator, 1 area descaler dengan 2 operator, 1 area rolling mill dengan 2 operator, 1 area hot leveller dengan 2 operator, 1 area dividing shear dengan 2 operator, 1 area cooling bed dengan 2 operator, 14 area cutting plate dengan 26 operator, 1 area cropping & side shear 1

Upload: dwikyap92

Post on 13-Apr-2016

31 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

keluhan nyeri msds pekerja

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I - VI - LMAI

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDS) adalah perusahaan yang bergerak

dibidang pengerolan slab menjadi plate. PT. GDS terletak di kota Surabaya

Provinsi Jawa Timur tepatnya di jalan Margomulyo No. 29 A. PT. GDS

merupakan salah satu industri baja terkemuka di Indonesia dengan Produksi

dengan cara di roll. PT. GDS mampu menghasilkan hingga total 350.000 ton

pertahun, dan dipasok keluar Indonesia.

Di bagian produksi PT.GDS terdapat sepuluh stasiun kerja dengan

beberapa operator di setiap unitnya, yakni stasiun kerja cutting slab dengan 4

operator, 1 area reheating furnace dengan 2 operator, 1 area descaler dengan 2

operator, 1 area rolling mill dengan 2 operator, 1 area hot leveller dengan 2

operator, 1 area dividing shear dengan 2 operator, 1 area cooling bed dengan 2

operator, 14 area cutting plate dengan 26 operator, 1 area cropping & side shear

dengan 2 operator dan 1 area gudang penyimpanan plat yang telah jadi.

Risiko bahaya yang terdapat pada PT. GDS yakni kebisingan yang

terdapat pada seluruh area produksi, lingkungan kerja yang panas pada area

reheating furnace, hot leveller dan area cooling bed, risiko terkena Gram dibagian

workshop, risiko terkena semburan api pada Gas Cutting slab dan gas cutting

plate, bahaya ergonomi pada operator Gas cutting slab maupun operator Gas

cutting plate karena para operator bekerja yang berkaitan dengan mengangkat,

menurunkan, mendorong dan menarik alat kerjanya secara manual dengan

1

Page 2: BAB I - VI - LMAI

2

menggunakan satu atau dua tangan operator. Para operator bekerja dengan

pekerjaan manual handling.

Menurut Tarwaka (2014) pekerjaan dengan manual handling akan dapat

menyebabkan stress pada kondisi fisik pekerja seperti pengerahan tenaga, sikap

tubuh yang dipaksakan dan gerakan berulang yang dapat mengakibatkan cedera

sepert gangguan Musculoskletal ataupun gangguan tulang yang lain, energi yang

terbuang scara percuma dan waktu kerja menjadi tidak efisien.

Gangguan Musculoskletal adalah gangguan otot rangka yang disebabkan

karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam

jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan pada sendi, ligamen dan

tendon. Berdasarkan data dapertemen kesehatan RI (2006), gangguan kesehatan

yang dialam pekerja 40,5% dari pekerjaannya yaitu sebanyak 9482 pekerja di 12

kabupaten/kota di Indonesia, 16% dantaranya menderita gangguan

Musculoskletal, 8% penyakit kardiovaskuler, 6% ganguuan syaraf, dan gangguan

pernafasan sebanyak 3%.

Data ILO pada tahun 2013 menyebutkan bahwa gangguan Musculoskletal,

berada di urutan kedua penyakit akibat kerja setelah Pneumoconios. Gangguan

Musculoskletal, menyebabkan kerugian pada pekerja seperti jumlah hari yang

hilang akibat sakit dan besarnya kompensasi yang harus dikeluarkan. Menurut

ILO tahu 2007, 34% total hari kerja yang hilang karena cedera dan sakit

diakibatkan oleh Musculoskletal Disorder (MSDs)

2

Page 3: BAB I - VI - LMAI

3

World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa 2%-5% dari

karyawan di negara industri tiap tahun mengalami Gangguan Musculoskletal, dan

15% dari absenteisme di industri baja serta industri perdagangan disebabkan

karena Gangguan Musculoskletal. Data statistik Amerika Serikat memperlihatkan

angka kejadian sebesar 15%-20% per tahun. Sebanyak 90% kasus Gangguan

Musculoskletal bukan disebabkan oleh kelainan organik, melainkan oleh

kesalahan posisi tubuh dalam bekerja. Gangguan Musculoskletal menyebabkan

lebih banyak waktu hilang dari pada pemogokan kerja sebanyak 20 juta hari kerja

(Muheri,2010). National Academy of Science (1999) melaporkan lebih 1 juta

pekerja kehilangan jam kerjanya setiap tahun karena Gangguan Musculoskletal

menghabiskan $15 M per tahun, sedangkan jika dihitung dari biaya tidak langsung

seperti berkurangnya produktivitas, kehilangan pelanggan dan pergantian

karyawan, maka total biaya yang dikeluarkan per tahunnya mencapai $1 triliun

atau sekitar 10% dari Gross Domestic Product Amerika (Melhorn & Wilkinson,

2008).

MSDs dalam suatu industri seringkali kurang mendapat perhatian dan

dianggap sepele oleh pihak manajemen atau pengelola, bahkan di beberapa

perusahaan masih ada yang belom memahami apa saj yang menjadi faktor-faktor

penyebabnya, sehingga resiko MSDs dapat timbul di suatu perusahaan tanpa

disadari, padahal hal lain secara sadar ataupun tidak akan berpengaruh terhadap

produktivitass, efisiensi dan efektivitas pekerja dalam menyelesaikan

pekerjaannya, dan dapat menganggu kesehatan pekerja (Rohjani,2003)

3

Page 4: BAB I - VI - LMAI

4

Menurut NIOSH (1997) yang dimaksud dengan Muskuloskletal disorders

(MSDs) adalah sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal

dari jaringan halus sistem muskulosletal yang mencakup sistem syaraf, tendon,

otot, san struktur penunjang lain, MSDs dapat berupa peradangan dan penyakit

degeneratif yang menyebabkan melemahnya fungsi tubuh. Gangguan sistem

muskuloskletal ini hampir tidak pernah terjadi secara langsung, tetapi lebih

merupakan akumulasi dari benturan-benturan kecil maupun besar yang terjadi

terus menerusdan dalam waktu yang relatif lama. Hal ini bisa terjadi dalam

hitungan hari, bulan, atau tahun, tergantung dari berat ringannya trauma, sehingga

akan membentuk cidera yang cukup besar yang diekspresikan sebagai rasa sakit

atau kesemutan, nyari tekan, pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau

kelemahan pada jaringan atau anggota tubuh yang terkena trauma. Trauma timbul

jaringan karena kronisitas atau berulang-ulang proses penyebabnya.

MSDs dapat menjadi suatu permasalahan penting karema dapat

menyebabkan antara lain aktu yang hilang, menurunkann produktivitas kerja,

penanganannya membutuhkan biaya yang tinggi, penurunan kewaspadaan,

meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan (Bird, 2005). Macam-mcam gejala

kesehatan dirasakan oleh pekerja disebabkan faktor risiko MSDs yang memanajan

tubuhnya. Tiap bagian tubuh memiliki risiko ergonomi dan gangguan kesehatan

yang dapat melemahkan fungsi tubuh dan menurunkan kinerja pekerja, bagian-

bagian tubuh seperti lengan, leher, bahu, puggung, dan kaki merupakan bagian

tubuh yang sering digunakan pekerja dalam melakukan pekerjaannya (NIOSH,

2007).

4

Page 5: BAB I - VI - LMAI

5

Dari hasil wawancara penulis dengan 7 orang operator Gas Cutting Plate,

5 orang diantaranya mengeluhkan adanya rasa nyeri. Keluhan yang dirasakan

adanya rasa nyeri di bagian pingang dan bagian leher bagian atas.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan serta belum pernah

dilakukannya identifikasi permasalahan MSDs di PT. Gunawan Dianjaya Steel

Tbk Surabaya, maka penelti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan

untuk mengetahui bagaimana gambaran nyeri Muskuloskeletal Disorders(MSDs)

pada operator gas cutting plate di PT. Gunawan dianjaya Steel Tbk Surabaya.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah adalah sebagai berikut :

Bagaimanakah gambaran keluhan nyeri Muskuloskeletal Disorders(MSDs)

pada operator gas cutting plate di PT. Gunawan dianjaya Steel. Tbk Surabaya?

1.3 TUJUAN

1.3.1. Tujuan Umum

Menggambarkan Keluhan Nyeri Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada

operator gas cutting plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik responden (umur, status Gizi, lama bekerja,

dan kebiasaan merokok) pada operator gas cutting plate di PT. Gunawan

Dianjaya Steel Tbk

2. Mengidentifikasi keluhan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada

operator gas cutting plate di PT. Gunawan dianjaya Steel Tbk Surabaya.

5

Page 6: BAB I - VI - LMAI

6

1.4 MANFAAT

Kegiatan residensi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak

yang terkait di dalamnya.

1.4.1 Bagi Mahasiswa

1. Mahasiswa dapat berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan

dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan kerja.

2. Mahasiswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang lebih

aplikatif dalam bidang kesehatan masyarakat.

3. Mahasiswa mendapatkan pengalaman bekerja dalam tim untuk

memecahkan suatu permasalahan.

4. Mahasiswa menjalin hubungan langsung dengan personal di dunia

kerja sebagai bekal jejaring sosial di kemudian hari.

1.4.2 Bagi Program Studi S2 K3

Terbinanya suatu jejaring kerjasama antara institusi tempat residensi dalam

upaya meningkatkan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara

substansi akademik dengan kompetensi yang dibutuhkan di tempat kerja.

1.4.3 Bagi Perusahaan/Institusi

1. Pengembangan kemitraan antara FKM UNAIR dengan PT. Gunawan

Dianjaya Steel Tbk untuk kegiatan penelitian dan pengembangan di

bidang K3.

2. Memperoleh masukan tentang pemecahan masalah yang ada dengan

PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk terkait masalah Kesehatan dan

Keselamatan kerja.

6

Page 7: BAB I - VI - LMAI

7

3. Memperoleh gambaran tentang permasalahan Keluhan Nyeri

Muskuloskeletal Disorders (MSDs) pada Operator gas cutting plate

sehingga dapat merencanakan program pengendalian di perusahaan.

7

Page 8: BAB I - VI - LMAI

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Musculoskeletal Disorders (MSDs)

Menurut Humantech (1995) Musculoskeletal Disorders (MSDs) adalah

kelainan yang disebabkan penumpukan cidera atau kerusakan kecil-kecil pada

sistem muskuloskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak sempat

sembuh secara sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk

menimbulkan rasa sakit. Menurut OSHA (2002), MSDs merupakan sekumpulan

gejala/gangguan yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligament, kartilago,

sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. MSDs pada awalnya

menyebabkan rasa sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan,

gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar.

Menurut National Safety Council (2002), MSDs juga bisa diartikan

sebagai gangguan fungsi normal dari otot, tendon, saraf, pembuluh darah, tulang

dan ligament akibat berubahnya struktur dan berubahnya sistem muskuloskeletal.

MSDs adalah cidera atau penyakit pada sistem syaraf atau jaringan seperti otot,

tendon, ligament, tulang sendi, tulang rawan ataupun pembuluh darah. Rasa sakit

akibat MSDs dapat digambarkan seperti kaku, tidak fleksibel, panas/terbakar,

kesemutan, mati rasa, dingin dan rasa tidak nyaman. Keluhan muskuloskeletal

adalah keluhan pada bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari

keluhan ringan hingga keluhan yang terasa sangat sakit (Humantech, 2003).

8

Page 9: BAB I - VI - LMAI

9

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, MSDs bukanlah diagnosis

klinis, melainkan rasa nyeri karena kumpulan cedera pada sistem muskuloskeletal

ekstremitas atas akibat gerakan kerja biomekanik berulang-ulang. Pada beberapa

negara, digunakan istilah yang berbeda-beda untuk menggambarkan kejadian

MSDs tersebut, diantaranya (NIOSH, 1993):

a. Cumulative Trauma Disorders (CTDs)

b. Repetitive Strain Injuries (RSIs)

c. Occupational Overuse Syndrome

d. Neck and Limb Disorders

e. Overuse Syndrome

f. Wear and Tear Disorders

g. Occupational Cervico Bracial Disorders (OCD)

Menurut Humantech (1995), gejala MSDs biasanya sering disertai dengan

keluhan yang sifatnya subjektif, sehingga sulit untuk menentukan derajat

keparahan penyakit tersebut. MSDs ditandai dengan beberapa gejala yaitu sakit,

nyeri, rasa tidak nyaman, mati rasa, rasa lemas atau kehilangan daya dan

koordinasi tangan, rasa panas, agak sukar bergerak, rasa kaku dan retak pada

sendi, kemerahan, bengkak, panas, dan rasa sakit yang membuat terjaga di tengah

malam dan rasa untuk memijit tangan, pergelangan, dan lengan.

Menurut Suma’mur (1996), gejala-gejala MSDs yang biasa dirasakan oleh

seseorang adalah:

a. Leher dan punggung terasa kaku

b. Bahu terasa nyeri, kaku ataupun kehilangan fleksibelitas

9

Page 10: BAB I - VI - LMAI

10

c. Tangan dan kaki terasa nyeri seperti tertusuk.

d. Siku ataupun mata kaki mengalami sakit, bengkak dan kaku.

e. Tangan dan pergelangan tangan merasakan gejala sakit atau nyeri disertai

bengkak.

f. Mati rasa, terasa dingin, rasa terbakar ataupun tidak kuat.

g. Jari menjadi kehilangan mobitasnya, kaku dan kehilangan kekuatan serta

kehilangan kepekaan.

h. Kaki dan tumit merasakan kesemutan, dingin, kaku ataupun sensasi rasa

panas.

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal

yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat

sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang

lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligament,

dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan

keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) atau cedera pada sistem

muskuloskeletal (Grandjean, 1993). Secara garis besar keluhan otot dapat

dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

a. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang

apabila pembebanan dihentikan.

b. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap.

Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot

masih terus berlanjut.

10

Page 11: BAB I - VI - LMAI

11

Selain itu, menurut Humantech (1995), keluhan yang menggambarkan

keparahan penyakit MSDs terbagi menjadi:

1) Tahap 1

Nyeri dan kelelahan pada saat bekerja tetapi setelah beristirahat yang cukup

tubuh akan pulih kembali. Tidak mengganggu kapasitas kerja.

2) Tahap 2

Keluhan rasa nyeri tetap ada setelah waktu semalam, istirahat, timbul

gangguan tidur, dan sedikit mengurangi performa kerja.

3) Tahap 3

Rasa nyeri tetap ada walaupun telah istirahat, nyeri dirasakan saat bekerja,

saat melakukan gerakan yang repetitif, tidur terganggu, dan kesulitan dalam

menjalankan pekerjaan yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya

inkapasitas.

Faktor risiko yang biasanya muncul memberikan kontribusi terhadap

timbulnya MSDs dapat dikategorikan dalam 3 kategori yaitu ( Bridger,1995)

a. Faktor Pekerjaan

1) Postur kerja

Postur tubuh dapat didefinisikan sebagai orientasi relatif dari bagian

tubuh terhadap ruang. Untuk melakukan orientasi tubuh tersebut selama

beberapa rentang waktu dibutuhkan kerja otot untuk menyangga atau

menggerakkan tubuh.

11

Page 12: BAB I - VI - LMAI

12

Postur dapat diartikan sebagai konfigurasi dari tubuh manusia, yang

meliputi kepala, punggung, dan tulang belakang (Pheasant, 1991).Secara

alamiah postur tubuh dapat terbagi menjadi:

a) Statis

Postur kerja statis didefinisikan sebagai postur kerja isometris

dengan sangat sedikit gerakan sepanjang waktu kerja sehingga dapat

menyebabkan beban statis pada otot, khususnya otot pinggang, seperti

duduk terus-menerus atau posisi kerja berdiri terus-menerus (Bernard et al,

1997).

Pada postur statis persendian tidak bergerak, dan beban yang ada

adalah beban statis. Dengan keadaan statis suplai nutrisi kebagian tubuh

akan terganggu begitupula dengan suplai oksigen dan proses metabolisme

pembuangan tubuh. Posisi tubuh yang senantiasa berada pada posisi yang

sama dari waktu ke waktu secara alamiah akan membuat bagian tubuh

tersebut stres (Bridger, 2003).

b) Dinamis

Stres akan meningkat ketika posisi tubuh menjauhi posisi normal

tersebut. Pekerjaan yang dilakukan secara dinamis menjadi berbahaya

ketika tubuh melakukan pergerakan yang terlalu ekstrim sehingga energi

yang dikeluarkan otot menjadi lebih besar atau tubuh menahan beban yang

cukup besar sehingga timbul hentakan tenaga yang tiba-tiba dan hal

tersebut dapat menimbulkan cedera.

12

Page 13: BAB I - VI - LMAI

13

Perbedaan antara postur statis dan dinamis juga dapat dilihat dari kerja otot,

aliran darah, oksigen dan energi yang dikeluarkan pada kedua jenis postur

tersebut. Berikut perbandingan kebutuhan otot pada postur statis dan dinamis

menurut Bridger (2003) :

Tabel 2.1 Perbandingan Kebutuhan Otot pada Postur Statis dan Dinamis

Otot Statis Otot Dinamis

Kontraksi otot secara terus menerus Pergantian fase konstruksi danRelaksasi

Aliran darah ke otot berkurang Aliran darah ke otot bertambah

Produksi energi bersifat oksigen independen Glikogen otot diubah menjadi asam laktat.

Produksi energi bersifat oksigen Dependen Glikogen otot=CO2 + H2O otot mengambil glukosa dan asam lemak dari darah

Sumber: Bridger (2003)

Untuk jenis bentuk postur tubuh terdiri dari (Pheasant, 1991) :

(1) Postur netral

Merupakan postur ketika seseorang sedang melakukan proses pekerjaannya

sesuai dengan struktur anatomi tubuh seseorang dan tidak terjadi penekanan

atau pergeseran tubuh pada bagian penting tubuh, serta tidak menimbulkan

keluhan.

(2) Postur janggal

Merupakan postur yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh seseorang untuk

membawa beban dalam jangka waktu yang lama dan dapat menyebabkan

terjadinya berbagai akibat yang merugikan tubuh seperti kelelahan otot, rasa

nyeri, serta menjadi tidak tenang.

13

Page 14: BAB I - VI - LMAI

14

2) Beban

Istilah beban tidak sama dengan berat, beban menunjuk kepada tenaga.

Dalam penilaian risiko, berat hanyalah salah satu aspek dari beban terhadap

tubuh, beban maksimal yang diperbolehkan untuk diangkat oleh orang dewasa

yaitu 23-25 kg untuk pengangkatan single (tidak berulang). Bentuk dan ukuran

objek ikut mempengaruhi hal tersebut, semakin kecil objek semakin baik agar

dapat diletakkan sedekat mungkin dari tubuh (Nursatya, 2008).

Ukuran objek yang dapat membebani otot pundak/bahu dengan leher

lebih dari 300-400 mm, panjang lebih dari 350 mm dan ketinggian lebih dari

450 mm (Idem). Beban dapat diartikan sebagai muatan (berat) dan kekuatan

pada struktur tubuh. Satuan beban dinyatakan dalam newton atau pounds, atau

dinyatakan sebagai sebuah proporsi dari kapasitas kekuatan individu (NIOSH,

1997).

Pembebanan fisik pada pekerjaan dapat mepengaruhi terjadinya

kesakitan pada muskuloskeletal tubuh. Pembebanan fisik yang dibenarkan

adalah pembebanan yang tidak melebihi 30-40% dari kemampuan kerja

maksimum tenaga kerja dalam 8 jam sehari dengan memperhatikan peraturan

jam kerja yang berlaku. Semakin berat beban maka semakin singkat waktu

pekerjaan (Suma’mur 1989).

Pada sebuah penelitian cross sectional, didapatkan hasil bahwa

pekerjaan dengan beban dan tingkat pengulangan yang rendah, memiliki kasus

muskuloskeletal yang lebih sedikit, dan pekerjaan dengan tingkat beban dan

14

Page 15: BAB I - VI - LMAI

15

peanggulangan yang tinggi, memiliki angka kesakitan muskuloskeletal 30 kali

lebih besar (Kumar, 1999).

3) Durasi

Menurut NIOSH (1997), durasi merupakan jumlah waktu dimana

pekerja terpajan oleh faktor resiko. Beberapa penelitian menemukan dugaan

adanya hubungan antara meningkatnya level atau durasi pajanan dan jumlah

kasus MSDs pada bagian leher. Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor

resiko. Durasi dapat dilihat sebagai menit-menit dari jam kerja/hari pekerja

terpajan resiko. Secara umum, semakin besar pajanan durasi pada faktor risiko,

semakin besar pula tingkat resikonya. Durasi dibagi sebagai berikut:

a) Durasi singkat : < 1 jam/hari

b) Durasi sedang : 1-2 jam/hari

c) Durasi lama : > 2 jam/hari

Risiko fisiologis utama yang dikaitkan dengan gerakan yang sering dan

berulang-ulang adalah keletihan dan kelelahan otot. Sepanjang otot mengalami

kontraksi, otot tersebut harus menerima pasokan tetap oksigen dan bahan gizi

dari aliran darah. Jika gerakan berulang-ulang dari otot menjadi terlalu cepat

untuk membiarkan oksigen yang memadai mencapai jaringan atau membiarkan

uptake kalsium, terjadilah kelelahan otot (Bird, 2005).

Selain itu, menurut Humantech (1995), pekerjaan yang menggunakan

otot yang sama untuk durasi yang lama dapat meningkatkan potensi timbulnya

fatigue dan menyebabkan MSDs, bila waktu istirahat/pemulihan tidak

mencukupi. Durasi terjadinya postur janggal yang beresiko bila postur tersebut

15

Page 16: BAB I - VI - LMAI

16

dipertahankan lebih dari 10 detik atau postur kaki bertahan selama lebih dari 2

jam sehari.

Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan

maksimum tidak dapat bertahan lebih dari 1 menit, jika kekuatan digunakan

kurang dari 20% kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus

untuk beberapa waktu. Sedangkan untuk durasi aktivitas dinamis selama 4

menit atau kurang seseorang dapat bekerja dengan intensitas sama dengan

kapasitas aerobik sebelum beristirahat (Grandjean, 1993). Lamanya waktu

kerja (durasi) berkaitan dengan keadaan fisik tubuh pekerja. Pekerjaan fisik

yang berat akan mempengaruhi kerja otot, kardiovaskular, sistem pernafasan

dan lainnya. Jika pekerjaan berlangsung dalam waktu yang lama tanpa

istirahat, kemampuan tubuh akan menurun dan dapat menyebabkan kesakitan

pada anggota tubuh (Suma’mur, 1989). Semakin lama durasi melakukan

pekerjaan yang beresiko maka waktu yang diperlukan untuk recovery

(pemulihan) juga akan semakin lama (NIOSH, 1997).

4) Frekuensi

Banyaknya frekuensi aktifitas (mengangkat atau memindahkan) dalam

satuan waktu (menit) yang dilakukan oleh pekerja dalam satu hari. Frekuensi

gerakan postur janggal ≥ 2 kali/menit merupakan faktor resiko terhadap

pinggang. Pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang dapat menyebabkan rasa

lelah bahkan nyeri/sakit pada otot karena adanya akumulasi produk sisa berupa

asam laktat pada jaringan. Akibat lain dari pekerjaan yang dilakukan berulang-

ulang akan menyebabkan tekanan pada otot dengan akibat terjadinya

16

Page 17: BAB I - VI - LMAI

17

penekanan di otot yang akan mengganggu fungsi syaraf. Terganggunya fungsi

syaraf, destruksi serabut saraf atau kerusakan yang menyebabkan berkurangnya

respon saraf dapat menyebabkan kelemahan pada otot (Humantech, 1995).

Frekuensi terjadinya postur janggal terkait dengan terjadinya repetitive

motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima

tekanan akibat kerja terus-menerus tanpa melakukan relaksasi. Secara umum,

semakin banyak pengulangan gerakan dalam suatu aktivitas kerja, maka akan

mengakibatkan keluhan otot semakin besar. Pekerjaan yang dilakukan secara

repetitif dalam jangka waktu lama akan meningkatkan risiko MSDs apalagi

bila ditambah dengan gaya/beban dan postur janggal (OHSC, 2007).

Menurut Bridger (1995) postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan

yang sering dapat mengakibatkan tubuh kurang suplai darah, asam laktat yang

terakumulasi, inflamasi, tekanan pada otot dan trauma mekanis.

5) Alat perangkai/genggaman

Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak sebagai

contoh pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang

lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat. Apabila hal ini

sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap (Tarwaka,

2004).

b. Faktor Pekerja

1) Usia

Menurut Supardi (2004) dalam Wibowo (2010), usia adalah lama

hidup responden atau seseorang yang dihitung berdasarkan ulangtahun

17

Page 18: BAB I - VI - LMAI

18

terakhir. Sejalan dengan meningkatnya usia akan terjadi degenerasi pada

tulang dan keadaan ini mulai terjadi disaat seseorang berusia 30 tahun

(Bridger, 2003). Pada usia 30 tahun terjadi degenerasi yang berupa kerusakan

jaringan, penggantian jaringan menjadi jaringan parut, pengurangan cairan.

Hal tersebut menyebabkan stabilitas pada tulang dan otot menjadi berkurang.

Jadi, semakin tua seseorang, semakin tinggi risiko orang tersebut mengalami

penurunan elastis pada tulang, yang menjadi pemicu timbulnya gejala MSDs

(Kurniasih, 2009).

Pekerja dengan usia dibawah 18 tahun memiliki risiko lebih tinggi

daripada pekerja dengan usia dewasa. Hal ini disebabkan karena pekerja

dengan usia dibawah 18 tahun masih mengalami perkembangan fisik. Pekerja

dengan usia dibawah 18 tahun tidak diperkenankan untuk melakukan aktifitas

manual handling dengan berat lebih dari 16 kg tanpa bantuan mekanik dan

pelatihan tertentu (OHSC, 2007).

Chaffin (1979) dalam Grandjean (1993) menyatakan bahwa pada

umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-26

tahun. Grandjean (1993), menyebutkan bahwa umur 50-60 tahun kekuatan

otot menurun sebanyak 60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang

yang berumur > 60 tahun tinggal mencapai 50% dari umur orang yang

berumur 25 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Rahardjo

tahun 2009, pekerja dengan umur 35 tahun atau lebih mempunyai risiko

2,556 kali lebih besar untuk mengalami MSDs dibandingkan pekerja dengan

18

Page 19: BAB I - VI - LMAI

19

umur dibawah 35 tahun. Hal ini diperkuat juga dengan hasil penelitian

Amalia (2010) pada pekerja kuli panggul didapatkan hasil bahwa kelompok

usia 31- 49 tahun memiliki tingkat keluhan paling tinggi yaitu sebesar 68.1%.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang terdapat dalam Oborne

(1995) bahwa keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia

kerja yaitu 24-65 tahun dan keluhan pertama biasa dialami pada usia 35 tahun

serta tingkat keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

2) Jenis Kelamin

Jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot rangka.

Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih rendah

daripada pria. Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan prevalensi

beberapa kasus MSDs lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria (NIOSH,

1997).

Studi dynamometri menyatakan bahwa wanita mengalami peningkatan

ketegangan otot yang tiba-tiba beberapa hari sebelum haid dimulai dan

berlanjut dengan tingkat ketegangan otot yang rendah selama haid. Selain itu,

kebiasaan-kebiasaan khas wanita dapat meningkatkan risiko terjadinya LBP

serta mengenakan sepatu hak tinggi atau menjinjing barang-barang belanjaan

secara tidak seimbang. Artinya beban bagian kanan atau kiri lebih berat dari

bagian satunya (Syafitri, 2010).

Astrand dan Rodahl (1977) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita

hanya sekitar dua pertiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria

pun lebih tinggi dibandingkan wanita. Hasil penelitian Betti’e et al (1989)

19

Page 20: BAB I - VI - LMAI

20

menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60%

dari kekuatan pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki.

Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang et al (1993), Bernard et al

(1994). Hales et al (1994), dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa

perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3 (Tarwaka, 2004).

3) Waktu Kerja

Penentuan waktu dapat diartikan sebagai teknik pengukuran kerja untuk

mencatat jangka waktu dan perbandingan kerja mengenai suatu unsur

pekerjaan tertentu yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu pula serta untuk

menganalisa keterangan itu hingga ditemukan waktu yang diperlukan untuk

pelaksanaan pekerjaan itu pada tingkat prestasi tertentu.

Berdasarkan hasil studi mengenai keluhan MSDs pada supir bis yang

dilakukan oleh Karuniasih (2009), diketahui 34 bahwa supir yang telah

bekerja/mengendarai lebih dari 2 jam merasakan pegal-pegal pada punggung

dan leher.

4) Kebiasaan Merokok

Meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan

tingkat kebiasaan merokok. Mereka yang telah berhenti merokok selama

setahun memiliki risiko LBP sama dengan mereka yang tidak merokok.

Kebiasaan merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga

kemampuannya untuk mengkonsumsi oksigen akan menurun. Bila orang

tersebut dituntut untuk melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga,

20

Page 21: BAB I - VI - LMAI

21

maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah

(Kurniasih, 2009).

Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Muliana (2003), kebiasaan

merokok dapat menyebabkan LBP karena merokok dapat menimbulkan batuk

dan zat nikotin yang ada dalam rokok tersebut. Satu hipotesa menyebutkan

bahwa LBP diakibatkan karena batuk terus-menerus akibat merokok.

Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah pinggang

daripada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat

daripada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk

setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991). Selain itu, menurut Tarwaka

(2004), semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula

tingkat keluhan yang dirasakan.

Pada sebuah survei di Britania oleh Palmer et al (1996) ditemukan

13.000 orang yang merokok sering mengeluhkan rasa tidak nyaman pada

muskuloskeletal dan rasa lumpuh terhadap cidera muskuloskeletal

dibandingkan mereka yang tidak pernah merokok. Hal ini disebabkan rokok

dapat merusak jaringan otot dan mengurangi respon syaraf terhadap rasa sakit.

Berdasarkan hasil survei oleh Annuals of Rheumatic Diseases diperoleh

hubungan antara perokok dengan munculnya keluhan MSDs dan dilaporkan

bahwa perokok memiliki risiko 50 % lebih besar untuk merasakan MSDs

(Tarwaka, 2004).

Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan

terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun saat

21

Page 22: BAB I - VI - LMAI

22

melewati umur 35 tahun efek rokok pada tulang akan mulai terasa karena

proses pembentukan tulang pada umur tersebut sudah berhenti (Boisvert,

2009).

Perokok juga beresiko mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan

tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Bila darah sudah tersumbat, maka

proses pembentukan tulang sulit terjadi. Hal ini dapat terjadi karena nikotin

pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain

itu, merokok dapat pula menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau

kerusakan pada tulang (Bernard et al, 1997).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syafitri (2010), didapatkan

hasil bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan

terjadinya keluhan LBP. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Tarwaka (2004) bahwa semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok,

semakin tinggi pula keluhan yang dirasakan.

5) Kebiasaan Olahraga

Olahraga dapat dikatakan sebagai terminologi umum dari semua

kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan jasmani. Bahkan dalam UU No.3

Tahun 2005 mempunyai arti yang lebih luas. Didefinisikan bahwa olahraga

adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina serta

mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial. (Bustan, 2007)

Departemen Kesehatan melalui Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001

menemukan masih tingginya prevalensi masyarakat yang kurang atau tidak

melakukan olahraga secara rutin dalam kehidupan sehari-harinya. Kurang atau

22

Page 23: BAB I - VI - LMAI

23

tidak melakukan olahraga merupakan salah satu faktor resiko utama penyakit

tidak menular diantaranya yang berhubungan dengan otot dan tulang. Hal ini

disebabkan karena salah satu manfaat dari olahraga adalah memperkuat otot-

otot, tulang, dan jaringan ligamen serta meningkatkan sirkulasi darah dan

nutrisi pada semua jaringan tubuh (Bustan, 2007).

Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran

tubuh atau kebiasaan olahraga yang dilakukan. Laporan NIOSH menyatakan

bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh rendah, maka risiko terjadinya keluhan

adalah 7.1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3.2%, dan tingkat

kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8% (Tarwaka, 2004).

Salah satu bentuk olahraga untuk kesehatan atau pencegahan penyakit

dapat dilakukan dalam bentuk olahraga aerobik yang sedang (moderate

physical activity) selama 30 menit dari waktu 1440 menit dalam sehari.

Seseorang dikategorikan kurang melakukan olahraga jika melakukan senam

pagi/olahraga < 5 x/minggu. Sebaliknya, dikategorikan cukup jika melakukan

senam pagi/olahraga ≥ 5 x/minggu. Bagaimana bentuk olahraga yang sehat itu

menjadi pilihan tersendiri, yang penting fun sehingga peserta tetap dapat

berminat dan tertarik secara terus-menerus melakukan olahraga itu. Bentuk-

bentuk itu bisa berupa jalan cepat, lari di taman, dancing, berenang, mengayuh

sepeda, dan lain-lain (Bustan, 2007).

Dari hasil penelitan yang dilakukan oleh Zulfiqor (2010) didapatkan

bahwa paling banyak pekerja yang mengalami keluhan MSDs adalah pekerja

yang kurang melakukan olahraga dan memiliki keluhan MSDs ringan yaitu

23

Page 24: BAB I - VI - LMAI

24

sejumlah 41 orang (54,7%). Sedangkan persentase pekerja yang paling sedikit

adalah yang kurang melakukan olahraga dan tidak memiliki keluhan MSDs

yaitu satu orang (1,3%).

6) Masa Kerja

Penyakit MSDs ini merupakan penyakit kronis yang membutuhkan

waktu lama untuk berkembang dan bermanifestasi. Jadi semakin lama waktu

bekerja atau semakin lama seseorang terpajan faktor risiko MSDs ini maka

semakin besar pula risiko untuk mengalami MSDs (Nursatya, 2008). Lamanya

seseorang bekerja sehari secara baik pada umumnya 6-8 jam dan sisanya untuk

istirahat. Memperpanjang waktu kerja dari itu biasanya disertai penurunan

efisiensi, timbulnya kelelahan dan penyakit akibat kerja. Secara fisiologis

istirahat sangat perlu untuk mempertahankan kapasitas kerja. Insiden tertinggi

untuk terjadinya keluhan sakit pada pinggang pekerja ada kaitannya dengan

penambahan waktu kerja dan lamanya masa kerja seseorang (Hasyim, 1999

dalam Syafitri, 2010).

Gangguan pada sistem muskuloskeletal ini hampir tidak pernah terjadi

secara langsung, tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan-

benturan kecil maupun besar yang terjadi secara terus-menerus dan dalam

waktu yang relatif lama.

Hal ini bisa terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau tahun, tergantung

dari berat ringannya trauma, sehingga akan terbentuk cidera yang cukup besar

yang diekspresikan sebagai rasa sakit atau kesemutan, nyeri tekan,

pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau kelemahan pada jaringan

24

Page 25: BAB I - VI - LMAI

25

anggota tubuh yang terkena trauma. Trauma jaringan timbul karena kronisitas

atau berulang-ulangnya proses penyebabnya (Nursatya, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2010) memperlihatkan bahwa

keluhan MSDs terbanyak pada responden dengan masa kerja diatas lima tahun.

Hal ini disebabkan karena pada masa kerja tersebut telah terjadi akumulasi

cidera-cidera ringan yang selama ini dianggap sepele.

Selain itu, menurut Zulfiqor (2010), keluhan MSDs berbanding lurus

dengan bertambahnya masa kerja. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hendra dan Rahardjo (2009), pekerja yang mempunyai masa

kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,775 kali dibandingkan pekerja

dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Rihiimaki et al (1989) dalam Tarwaka

(2004)menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan

keluhan otot.

7) Indeks Masa Tubuh (IMT)

Berat badan, tinggi badan, status gizi (IMT) dan obesitas

diidentifikasikan sebagai faktor resiko untuk beberapa kasus MSDs. Secara

rata-rata, populasi dengan LBP mempunyai tinggi badan lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak LBP.

Sedangkan asosiasi antara obesitas dan MSDs berkaitan dengan

degenerasi radiologi pada sendi (Muliana, 2003). Meskipun pengaruhnya

relatif kecil, tinggi badan dan berat badan merupakan faktor yang dapat

menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Schierhout (1995) menemukan

bahwa seseorang yang mempunyai ukuran tubuh yang pendek berasosiasi

25

Page 26: BAB I - VI - LMAI

26

dengan keluhan pada leher dan bahu (Karuniasih, 2009). Berdasarkan

penelitian Heliovara (1987) yang dikutip NIOSH (1997) menyebutkan bahwa

tinggi seseorang berpengaruh terhadap timbulnya herniated lumbar disc pada

jenis kelamin wanita dan pria, tapi berdasarkan IMT hanya berpengaruh pada

jenis kelamin pria.

Vessy et al (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai

resiko dua kali lipat dibandingkan wanita kurus untuk mengalami keluhan otot

skeletal. Hal ini diperkuat dengan oleh Werner et al (1994) yang menyatakan

bahwa bagi pasien gemuk mempunyai resiko 2,5 kali lebih tinggi

dibandingkandengan pasien yang kurus, khususnya untuk otot kaki. Keluhan

otot skeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi

keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat

tubuh maupun berat tambahan lainnya (Tarwaka, 2004).

Menurut Depkes (1994), kategori ambang batas IMT untuk Indonesia adalah

sebagai berikut:

a) Kurus jika IMT ≤ 18.

b) Normal jika IMT > 18,5-25,0.

c) Gemuk jika IMT > 25,5.

8) Riwayat Penyakit MSDs

Seseorang dengan riwayat penyakit Low Back Pain (LBP) mempunyai

kecenderungan untuk mengalami kejadian lanjutan (Nursatya, 2008). Penyakit

pada tulang belakang yang menyebabkan LBP adalah (Nolan dan Saladin,

2004) :

26

Page 27: BAB I - VI - LMAI

27

a) Spinal stenosis adalah sakit pada saluran tulang belakang atau invertebral

foramina yang disebabkan oleh hypertrophy tulang belakang. Kondisi ini

dapat dihasilkan dari penyakit lain, seperti sakit pada paget atau

osteoarthritis, dan hal itu paling sering terjadi pada orang usia menengah

dan usia tua.

b) Sakit degenerative disc terjadi ketika gelatinous nucleus pulpous berubah

menjadi fibrocartilage akibat penuaan, kadang-kadang menjadi tulang

belakang tidak stabil dan membuat tidak sejajarannya tulang belakang dan

putusnya disc.

c) Spondylolysis adalah kondisi dimana lamina tulang belakang bagian

pinggang tidak sempurna.

d) Spondylolisthesis terjadi ketika tidak sempurnanya tulang belakang

anteriorly, khususnya pada tingkat L5-S1. Berkurangnya derajat berat

Spondylolisthesis dapat dianggap hanya untuk meredakan (meringankan

nyeri), tetapi tingkat berat yang berlebih mungkin membutuhkan operasi

untuk meringankan tekanan pada syaraf tulang belakang atau menstabilkan

tulang belakang.

e) Osteoporosis, adalah suatu penyakit dengan tanda utama berupa

berkurangnya kepadatan massa tulang, yang berakibat meningkatnya risiko

patah tulang dan LBP (Junaidi, 2007 dalam Syafitri, 2010).

Menurut Beth Loy dari US. Departement of Labour dalam

Luthfiyah et al (2009) beberapa kondisi seperti patah dan/dislokasi tulang,

artritis, diabetes, gangguan kelenjar thiroid, menopause, dan beberapa

27

Page 28: BAB I - VI - LMAI

28

kondisi lain dapat memberikan kontribusi bagi timbulnya keluhan

Cummulative Trauma Disorders.

9) Kekuatan Fisik

Kejadian MSDs dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individu, salah

satunya adalah kekuatan fisik individu tersebut. Menurut Tarwaka (2004),

kekuatan/kemampuan kerja fisik adalah suatu kemampuan fungsional

seseorang untuk mampu melakukan pekerjaan tertentu yang memerlukan

aktifitas otot pada periode waktu tertentu.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973)

yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan

punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut

kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan

ototnya rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai

kekuatan tinggi (Bukhori, 2010).

c. Faktor Lingkungan

1) Suhu dan Kelembaban

Paparan suhu dingin maupun panas yang berlebihan dapat

menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan

pekerja menjadi lamban, sulit bergerak dan kekuatan otot menurun. Beda

suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan

sebagian besar energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh

28

Page 29: BAB I - VI - LMAI

29

untuk berdapatasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak

diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi

kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah

kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme

karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat

menimbulkan rasa nyeri otot (Tarwaka, 2004).

Berdasarkan NIOSH (1993) tentang kriteria suhu nyaman, suhu

udara dalam ruang dapat diterima adalah berkisar antara 20- 24°C (untuk

musim dingin) dan 23-26°C (untuk musim panas) pada kelembapan 35-

65%. Rata-rata gerakan udara dalam ruang yang ditempati tidak melebihi

0,15 m/det untuk musim dingin dan 0,25 m/det untuk musim panas.

Kecepatan udara di bawah 0,07 m/det akan memberikan rasa tidak enak di

badan dan rasa tidak nyaman. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa

pada temperatur 27-30°C, maka performa kerja dalam pekerjaan fisik akan

menurun. Sebagai bahan pertimbangan dimana Indonesia merupakan daerah

tropis yang mempunyai suhu udara lebih panas dengan kelembapan yang

jauh lebih tinngi, maka rekomendasi dari NIOSH (1993) tersebut perlu

doikoreksi apabila ditempatkan di daerah tropis. Temperatur yang normal

untuk orang Indonesia adalah 22.5-26°C dengan kelembapan udara sebesar

40-75% (Tarwaka, 2004). Suhu yang ekstrim akan memberikan efek

fisiologis heat stress dan cold stress. Stres fisik terjadi ketika jaringan tubuh

inadekuat terhadap suplai darah yang mengandung oksigen dan nutrisi

sehingga akan meningkatkan potensi terjadinya gangguan muskuloskeletal.

29

Page 30: BAB I - VI - LMAI

30

Bahaya yang spesifik akan terjadi pada saat suhu udara dingin dengan

menggunakan alat vibrasi (Amalia,2010).

2) Getaran

Vibrasi dapat menyebabkan perubahan fungsi aliran darah pada

ekstremitas yang terpapar bahaya vibrasi (Oborne, 1995). Getaran dengan

frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Konstruksi statis

ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat

meningkat, dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Tarwaka, 2004).

Paparan dari getaran lokal terjadi ketika bagian tubuh tertentu kontak

dengan objek yang bergetar, seperti kekuatan alat-alat yang menggunakan

tangan. Paparan getaran seluruh tubuh terjadi ketika berdiri atau duduk dalam

lingkungan atau objek yang bergetar, seperti ketika mengoperasikan kendaraan

mesin yang besar (Bridger, 1995). Pekerja yang mengalami vibrasi dapat

menyebabkan mati rasa pada tangan sehingga membutuhkan tenaga lebih saat

menggenggam (Nursatya, 2008).

3) Iluminasi

Depkes RI (1992) mendefinisikan pencahayaan sebagai jumlah

penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan

kegiatan secara efektif. Tingkat iluminasi berkaitan dengan sifat pekerjaan

yang membutuhkan ketelitian atau tidak. Pekerjaan yang membutuhkan

ketelitian tinggi maka memerlukan iluminasi yang cukup banyak yakni

mencapai 1000 lux sedangkan pekerjaan yang tidak membutuhkan ketelitian

hanya memerlukan tingkat iluminasi yang rendah. Jika tingkat iluminasi pada

30

Page 31: BAB I - VI - LMAI

31

suatu tempat tidak memenuhi persyaratan maka akan menyebabkan postur

leher untuk fleksi ke depan (menunduk) dan postur tubuh untuk fleksi

(membungkuk) yang berisiko mengalami MSDs (Bridger, 1995).

d. Faktor Psikososial

Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik

yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik

(Muliana, 2003). Menurut penelitian yang dikonduksi oleh National Institute of

Occupational Safety and Health (NIOSH, 1997) terdapat indikasi dan semakin

banyaknya bukti yang menunjukkan bahwa faktor psikososial turut

berkontribusi terhadap terjadinya MSDs pada ekstremitas atas dan bagian

belakang tubuh (Bernard et al, 1997).

Beberapa cara faktor psikososial dapat mempengaruhi terjadinya

MSDS adalah sebagai berikut:

1) Faktor Psikologis dapat mengakibatkan tekanan fisik

Teori tersebut menyatakan bahwa stres dapat meningkatkan tekanan

darah, kortikosterid, peripheral neurotransmitter, dan meningkatkan

tekanan pada otot. Dalam keadaan lemah dan kaku, otot punggung

mengalami spasme (kejang). Kondisi ini menyebabkan aliran darah yang

mengangkut oksigen menjadi terhambat, sehingga otot kekurangan

oksigen. Akibatnya penderita mengalami sakit yang semakin parah jika

tidak segera ditangani dokter.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Johanson dan

Aronson dalam Muliana (2003) menyebutkan bahwa tekanan psikologi,

31

Page 32: BAB I - VI - LMAI

32

seperti keterbatasan kebebasan dalam membuat keputusan, rasa bosan, dan

cara kerja yang berulang-ulang dapat mengakibatkan pula tekanan

fisiologis, seperti peningkatan tekanan darah, detak jantung, dan level

kortikosteroid. Menurut Smith dan Carayon (1996) dalam Bernard et al

(1997), reaksi fisiologis tersebut dapat meningkatkan kemmungkinan

kerusakan atau cedera pada urat syaraf dan otot.

2) Efek langsung faktor psikososial terhadap tekanan fisik

Menurut penelitian Lim dan Carayon dalam Bernard et al (1997),

tekanan psikososial dapat memperburuk kondisi ergonomi di tempat kerja.

Faktor psikososial seperti tekanan pekerjaan, standar produksi,

pengawasan kerja, dan sebagainya secara langsung dapat mempengaruhi

aspek ergonomi dari pekerjaan, seperti gerakan repetitif dan postur kerja

yang merupakan faktor risiko terjadinya MSDs.

Dampak yang diakibatkan oleh MSDs pada aspek ekonomi perusahaan yaitu

(Pheasant, 1991) :

a. Pada aspek produksi yaitu berkurangnya output, kerusakan material,

produk yang akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline/target

produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dan lainlain.

b. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan

penurunan keuntungan, biaya untuk pelatihan karyawan baru yang

menggantikan pekerja yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultan

atau agensi.

c. Biaya pergantian pekerja (turnover) untuk recruitment dan pelatihan.

32

Page 33: BAB I - VI - LMAI

33

d. Biaya asuransi.

e. Biaya lainnya (opportunity cost).

Sementara itu, menurut Bird (2005), MSDs dapat menjadi suatu

permasalahan penting karena dapat :

1) Waktu kerja yang hilang karena sakit umumnya disebabkan penyakit

otot rangka.

2) Menurunkan produktivitas kerja.

3) MSDs terutama yang berhubungan dengan punggung merupakan

masalah penyakit akibat kerja yang penanganannya membutuhkan

biaya yang tinggi.

4) Penyakit MSDs bersifat multikausal sehingga sulit untuk menentukan

proporsi yang semata-mata akibat hubungan kerja.

5) Penurunan kewaspasdaan.

6) Meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan.

2.2 Tindakan Pengendalian MSDs

Pengendalian pada umumnya terbagi menjadi tiga (Cohen et al, 1997):

a. Mengurangi atau mengeliminasi kondisi yang berpotensi bahaya

menggunakan pengendalian teknik.

b. Mengubah dalam praktek kerja dan kebijkan manajemen yang sering

disebut pengendalian administratif.

c. Menggunakan alat pelindung diri.

Agar tidak mengalami risiko MSDs pada saat melakukan pekerjaan,

maka ada beberapa hal yang harus dihindari. Hal tersebut adalah :

33

Page 34: BAB I - VI - LMAI

34

1) Jangan memutar atau membungkukkan badan ke samping.

2) Jangan menggerakkan, mendorong atau menarik secara sembarangan,

karena dapat meningkatkan risiko cidera.

3) Jangan ragu meminta tolong pada orang.

4) Apabila jangkauan tidak cukup, jangan memindahkan barang.

5) Apabila barang yang hendak dipindahkan terlalu berat, jangan

melanjutkan.Lakukan senam/peregangan otot sebelum bekerja.

2.3 Metode Penilaian Ergonomi

Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi

keluhan ergonomi untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan

risiko keluan sistem muskuloskeletal. Pengukuran terhadap tekanan fisik ini

cukup sulit karena melibatkan berbagai faktor subjektif seperti : kinerja,

motivasi, harapan dan toleransi kelelahan ( Waters & Anderson 1996).

Alat ukur ergonomi yang dapat digunakan cukup banyak dan bervariasi.

Namun demikian, dari berbagai metode yang ada tentunya mempunyai

kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada beberapa metode observasi

postur tubuh yang berkaitan dengan risiko gangguan muskuloskletal seperti

OWAS, RULA, REBA dan untuk penilaian subjektif terhadap tingkat

keparahan pada sistem muskluloskletal dengan metode Nordic Body Map serta

checlist sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi

bahaya pekerjaan dengan risiko MSDs.

34

Page 35: BAB I - VI - LMAI

35

Penulisan ini bertujuan untuk melihat tingkat keparahan keluhan MSDs

maka metode yang digunakan adalah metode Nordic Body Map, berikut

penjelasan tentang metode tersebut;

2.3.1 Nordic Body Map

Metode Nordic Body Map (NBM) merupakan metode yang digunakan

untuk menilai tingkat keparahan atas terjadinya gangguan otot skeletal. Nordic

Body Map merupakan metode penilaian yang sangat subjektif, artinya

keberhasilan aplikasi tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja

saat dilakukannya penilaian dan juga tergantung dari keahlian dan pengalaman

observer yang bersangkutan (Tarwaka, 2010). Kuesioner Nordic Body Map

merupakan salah satu bentuk kuesioner checklist ergonomi. Bentuk lain dari

checklist ergonomi adalah checklist International Labour Organization (ILO).

Kuesioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering

digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja, dan

kuesioner ini paling sering digunakan karena sudah terstandarisasi dan tersusun

rapi (Kroemer, 2001). Keluhan pada otot skeletal biasanya merupakan keluhan

yang bersifat kronis, artinya keluhan ini sering dirasakan beberapa lama setelah

melakukan aktivitas dan sering meninggalkan residu yang dirasakan pada hari

berikutnya. Nordic Body Map meliputi 28 bagian otot skeletal pada kedua sisi

tubuh kanan dan kiri yang dimulai dari anggota tubuh atas yaitu otot leher

sampai dengan bagian paling bawah yaitu otot pada kaki. Pengukuran

35

Page 36: BAB I - VI - LMAI

36

gangguan otot skeletal dengan menggunakan kuesioner sebaiknya digunakan

untuk menilai tingkat keparahan gangguan otot skeletal individu dalam

kelompok kerja yang cukup banyak.

Nordic Body Map dilakukan dengan menggunakan skala data nominal

maupun ordinal (tingkatan). Pada skala data nominal dapat dilakukan dengan

menggunakan dua jawaban sederhana yaitu YA (ada keluhan atau rasa sakit

pada otot skeletal) dan TIDAK (tidak ada keluhan atau rasa sakit pada otot

skeletal) (Tarwaka, 2010). Pada desain 4 skala Likert akan diperoleh skor

individu terendah adalah sebesar 28 dan skor tertinggi adalah 112. Langkah

terakhir dari metode ini adalah melakukan upaya perbaikan pada pekerjaan

maupun sikap kerja, jika diperoleh hasil tingkat keparahan pada otot skeletal

yang tinggi. Tindakan perbaikan yang harus dilakukan tentunya sangat

bergantung dari risiko otot skeletal mana yang mengalami adanya gangguan.

Pengisian kuesioner Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui

bagian tubuh dari operator gas Cutting Plate yang terasa sakit setelah selesai

bekerja. Dalam aplikasinya, Nordic Body Map dilakukan dengan

menggunakan lembar kerja berupa peta tubuh yang sangat sederhana, mudah

dipahami, murah, dan memerlukan waktu yang sangat singkat.

Peneliti dapat langsung wawancara atau menanyakan kepada

responden/subjek penelitian (operator gas Cutting Plate) bagian otot mana

yang mengalami gangguan nyeri atau sakit. Kuesioner ini menggunakan

gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu

36

Page 37: BAB I - VI - LMAI

37

leher, bahu, punggung bagian atas, siku, punggung bagian bawah,

pergelangan tangan atau tangan, pinggang atau pantat, lutut, tumit atau kaki.

Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi

menjadi 9 bagian utama, yaitu :

a) Leher

b) Bahu

c) Punggung bagian atas

d) Siku

e) Punggung bagian bawah

f) Pergelangan tangan

g) Pinggang/bokong

h) Lutut

i) Tumit/kaki

Sumber : Tarwaka, 2004

Gambar 2.1 Nordic Body Map

Adapun metode yang digunakan untuk mengetahui keluhan

Moskuloskletal Disorders (MSDs) yang dirasakan opreator dapat dengan

penyebaran kuesioner Nordic Body Map. Metode Nordic Body Map merupakan

metode penilaian yang sangat subjektif, artinya keberhasilan aplikasi metode ini

sangat tergantung dari kondisi dan situasi yang dialami pekerja pada saat

dilakukannya penelitian. Kuesioner Nordic Body Map ini telah secara luas

digunakan oleh para ahli ergonomi untuk menilai tingkat keparahan gangguan

37

Page 38: BAB I - VI - LMAI

38

pada sistem muskuloskeletal dan mempunyai validitas dan reabilitas yang cukup

(Tarwaka, 2004).

Penilaian Keluhan Nyeri MSDs dilakukan dengan skoring dengan

menggunakan skala likert, berikut dijelaskan 4 skala likert yang digunakan untuk

melihat keparahan Keluhan MSDs yang di rasakan pekerja :

Skor 0 : tidak ada keluhan/ kenyerian pada otot-otot atau tidak ada

rasa sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja.

Skor 1 : dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada

bagian otot, tetapi belum begitu menggangu pekerjaan.

Skor 2 : responden merasakan adanya keluhan . kenyerian atau sakit

ada bagian otot dan sudah mengganggu pekerjaan.

Skor 3 : responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri

ada bagian otot atau kenyerian tidak segera hilang meskipun

istirahat.

Langkah terakhir dari metode Nordic Body Map ini tentunya adalah

melakukan upaya perbaikan, jika diperoleh hasil yang menunjukkan tingkat

keparahan pada sistem muskuloskletal yang tinggi. Tindakan perbaikan yang

harus dilakukan tentunya sangat bergantung dari risiko sistem muskuloskletal

mana saja yang mengalami adanya gangguan atau ketidaknyamanan. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara melihat persentasi pada setiap bagian sistem

muskuloskletal dan menggunakan kategori tingkat risiko sistem muskuloskltal,

tabel 2.2 dibawah ini merupakan pedoman yang dapat digunakan untuk

menentukan klasifikasikan subjektvitas tingkat risiko sistem muskuloskletal.

38

Page 39: BAB I - VI - LMAI

39

Tabel 2.2 Klasifikasi Hasil perhitungan Kuesioner NBMTotal Skor

Keluhan Individu Tingkt Risiko Kategori Risiko Tindakan Perbaikan

0-20 0 RendahBelum diperlukan adanya tindakan perbaikan

21-41 1 SedangMungkin memerlukan tindakan dikemudian hari

42-62 2 Tinggi Diperlukan tindakan segera

63-84 3 Sangat TinggiDiperlukan tindakan menyeluruh sesegera mungkin

Sumber : Tarwaka, 2004

39

Page 40: BAB I - VI - LMAI

40

BAB III

METODE KEGIATAN RESIDENSI

3.1 Lokasi Residensi

Residensi ini dilaksanakan di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Jalan

Margomulyo, Tandes 29 A, Surabaya.

3.2 Waktu Residensi

Pelaksanaan residensi berlangsung pada tanggal 03 Agustus 2015 – 31

Agustus 2015. Adapun kegiatan residensi yang dilakukan adalah :

Tabel 3.1 Rincian Waktu Residensi Berdasarkan Waktu (Tahapan Minggu)

KEGIATANAgustus September

I II III IV I II III VI

Persiapan

Pelaksanaan Residensi

Supervisi Pembimbing

Pembuatan Laporan

Seminar/ujian

Perbaikan laporan

40

Page 41: BAB I - VI - LMAI

41

Adapun rincian pelaksanaan kegiatan residensi yang dilakukan di PT.

Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Surabaya, Adalah :

Tabel 3.2 Rincian kegiatan Residensi di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk No.

Minggu Ke- Tanggal Log Book

1

1

3 Agustus 2015 - Pemaparan Profil Perusahaan- Pengenalan area produksi- Diskusi penentuan tema residensi

dengan pembimbing lapangan2 4 Agustus 2015 Pembuatan activity plan residensi3 5 Agustus 2015 Pembuatan activity plan residensi4 6 Agustus 2015 Kunjungan ke workshop dan area

mekanik5 7 Agustus 2015 Kunjungan ke gudang bahan baku slab6

2

10 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja gas cutting slab7 11 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja gas cutting

plate8 12 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja reheating

furnance9 13 Agustus 2015 Kunjungan ke area kerja descaler10 14 Agustus 2015 Izin ke kampus11

3

18 Agustus 2015 - Kunjungan ke area kerja gudang produksi

- Pembagian kuisioner Nordic Body Map12 19 Agustus 2015 - Kunjungan ke area kerja diving shear

- Pembagian kuisioner Nordic Body Map13 20 Agustus 2015 - Kunjungan ke area kerja cooling bed

- Pembagian kuisioner Nordic Body Map14 21 Agustus 2015 - Kunjungan ke area Tempat

Pembuangan Sementara Limbah (TPS)- Pembagian kuisioner Nordic Body Map

15

4

24 Agustus 2015 Pengecekan APAR16 25 Agustus 2015 Pengecekan Hydrant17 26 Agustus 2015 Safety patrol keseluruh area kerja18 27 Agustus 2015 Safety patrol keseluruh area kerja19 28 Agustus 2015 Penyusunan laporan residensi20 5 31 Agustus 2015 Penyusunan laporan residensi

3.3 Metode Pelaksanaan Kegiatan

Kegiatan residensi dilakukan dengan mengumpulkan seluruh data yang

dibutuhkan untuk memberikan gambaran secara jelas untuk mengungkapkan

41

Page 42: BAB I - VI - LMAI

42

suatu masalah yang ada di lapangan sehingga dapat diidentifikasi dan dicari

penyelesaiannya. Ruang lingkupnya meliputi penilaian risiko kesehatan dan

keselamatan kerja dengan menggunakan IPBR (Identifikasi Bahaya, Penilaian

dan Pengendalian Risiko).

IPBR adalah bentuk metode penilaian dan pengendalian risiko yang

dimiliki oleh PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk yang bertujuan untuk

memastikan semua risiko yang mungkin terjadi dapat teridentifikasi, dapat

dikelola, dikendalikan secara tepat dan termitigasi.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2006).

Sumber data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang penulis kumpulkan melalui pihak pertama,

mebiasanya melalui kuisionert, wawancara, jajak pendapat dan lain-lain.

Data primer pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner.

Pengisian kuesioner dilakukan secara langsung dengan 25 operator Gas

cutting plate.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui pihak kedua

biasanya diperoleh melalui badan atau instansi yang bersangkutan dalam

proses pengumpulan data. Data sekunder pada penelitian ini adalah

profil PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya dan data-data

42

Page 43: BAB I - VI - LMAI

43

pendukung lain seperti data struktur organisasi K3 dan data mengenai

pelaksanaan pengelolaan K3, dan lain sebagainya.

Adapun Teknik Pengumpulan Data yang dilakukan di PT. Gunawan

Dianjaya Steel Tbk. Surabaya, adalah :

1. Observasi Lapangan

Objek yang diobservasi adalah implementasi K3 di seluruh area produksi

pembuatan Plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk. Surabaya.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan bagian K3 dari PT. Gunawan Dianjaya Steel

Tbk. Surabaya dan pekerja mengenai masalah K3 (Kesehatan dan

Keselamatan Kerja), dan operasional kerja.

3. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara mempelajari dokumen dan catatan-

cacatan perusahaan yang berhubungan dengan masalah kesehatan dan

keselamatan kerja pada bagian K3, prosedur kerja operasional yang

berhubungan dengan bahaya di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk.

Surabaya.

4. Kuisioner

Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

data memberi seperangkat pertanyaan atau pemyataan tertulis kepada

responden untuk dijawabnya. Keluhan MSDs diukur menggunakan metode

penilaian nordic body map. Metode ini merupakan alat ukur yang subjektif

yang artinya bahwa hasil dari metode ini akan ditentukan tergantung dari

43

Page 44: BAB I - VI - LMAI

44

kondisi dan situasi yang dialami oleh operator Gas cutting plate. Kuisioner

diisi dan dijawab operator Gas cutting plate setelah bekerja, saat

menjawab kuisioner setiap operator Gas cutting plate didampingi agar

lebih mudah dalam menjawab.

3.5 Teknik Penyajian Data

Cara penyajian data dalam bentuk persentase angka untuk selanjutnya di

deskripsikan sesuai dengan hasil yang didapatkan. Analisis data dilakukan untuk

mengetahui distribusi dan persentase dari jawaban setiap pertanyaan yang terdapat

pada lembar kuisioner. Penilaian dalam kuisioner menilai keluhan nyeri yang

dirasakan para pekerja. Peresentase yang diperoleh setelah melakukan

pengamatan dan pengisian kuisioner oleh operator gas cutting plate, yang

didampingi oleh Petugas K3 di lapangan.

44

Page 45: BAB I - VI - LMAI

45

BAB IV

HASIL KEGIATAN RESIDENSI

4.1 Gambaran Umum PT. Gunawan Dianjaya Steel

PT Gunawan Dianjaya Steel, Tbk. (GDS) didirikan pada tahun 1989 di

Surabaya. Pendirian perusahaan tercatat dalam akta notaris Jamilah Nahdi, SH No.

6 tanggal 8 April 1989 dan disahkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia

berdasarkan surat keputusan No. C-2.11174.HT.01.01.Th.1989 tanggal 11

Desember 1989. Pada tahun 2004 status GDS mengalami perubahan menjadi

Penanaman Modal Asing sesuai dengan Surat Persetujuan dari Badan Koordinasi

Penanaman Modal dengan No. 15/V/PMA/2004 tanggal 26 Februari 2004.

Anggaran Dasar Perusahaan telah beberapa kali mengalami perubahan.

Perubahan terakhir tercatat pada Akta Notaris Dian Silviyana Khusnarini, SH. No.

52 tanggal 26 Juni 2014, mengenai perubahan susunan Dewan Komisaris dan

Direksi. Akta tersebut masih belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum

dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Sesuai Anggaran Dasar Perusahaan, ruang lingkup kegiatan perusahaan

adalah bidang industri penggilingan pelat baja canai panas (Hot Roll Steel Plate).

Terletak di atas lahan seluas kurang lebih 20 hektar, PT GDS memulai kegiatan

produksi komersial sejak akhir tahun 1993 guna melayanipasar ekspor dan

domestik.

45

Page 46: BAB I - VI - LMAI

46

Sejak didirikan, GDS terus berupaya untuk mewujudkan komitmen atas

pertumbuhan melalui inovasi berkelanjutan. Didukung teknologi four high rolling

terkini dan sumber daya manusia berkualitas, GDS senantiasa siap menghadapi

tantangan industri baja di lingkup global. Hingga kini, GDS merupakan salah satu

industri rolling mill plat baja yang terkemuka di kawasan ASEAN.

GDS mampu memproduksi plat baja hingga total 350.000 ton per tahun.

Plat baja produksi GDS tidak hanya dipasok ke pasar domestik, namun juga

diekspor keluar Negeri di antaranya Asia, Timur Tengah, Eropa, Australia, dan

Kanada. GDS terus berkembang karena produk baja mereka bisa dikatakan bagus.

Hal tersebut disebabkan karena GDS mengambil bahan baku dari China dan Rusia

dengan kualitas baja yang sangat padat dan bagus.

PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya memiliki visi perusahaan

“Menjadi industri rolling mill plat baja canai panas terkemuka di lingkungan

negara-negara ASEAN yang senantiasa memegang komitmen atas mutu produk

dan waktu serah (delivery time)”.

Misi perusahaan PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya “Melalui

pengelolaan perseroan yang transparan dan akuntabel disertai dengan

peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan teknologi produksi yang

dilaksanakan secara berkesinambungan dan efisien”.

Strategi bisnis yang selaras dengan visi dan misi Perseroan dalam

mengembangkan program di masa mendatang sangatlah penting untuk pendukung

pertumbuhan Perseroan. Oleh sebab itu disusun strategi bisnis yang dapat

memenuhi objektivitas Perseroan, antara lain:

46

Page 47: BAB I - VI - LMAI

47

a. Berupaya tetap mempertahankan penjualan untuk pasar domestik sekaligus

berupaya meningkatkan penjualan langsung kepada end user serta selalu

membina komunikasi yang baik dengan distributor, sehingga mampu

meningkatkan nilai tambah bagi hubungan bisnis kedua belah pihak.

b. Secara selektif berupaya untuk meningkatkan ekspor terutama ke negara-

negara yang tidak menerapkan hambatan perdagangan dengan Indonesia

seperti Taiwan, Mexico, Singapore, Afrika Selatan dan Timur Tengah.

Strategi ini sangat efektif untuk memperkuat cashflow dan sebagai upaya

lindung nilai (hedging) atas risiko pergerakan kurs US Dollar terhadap

Rupiah.

c. Mengamati strategi pesaing produk sejenis, baik domestik maupun importir,

yang biasanya menggunakan harga sebagai strategi bersaing yang bisa

diantisipasi dengan strategi fleksibilitas dalam menerima kuantitas order,

memastikan ketepatan waktu serah (delivery time), menambah variasi

standarisasi produk dan fleksibilitas syarat pembayaran tanpa menambah

risiko bagi Perusahaan.

Sumber Daya Manusia (SDM), dalam berbagai posisi yang diembannya,

merupakan salah satu pilar keberhasilan Perseroan. Dengan jumlah karyawan

sebanyak 534 orang, manajemen GDS selalu mengupayakan terciptanya SDM

berkualitas melalui serangkaian pembinaan dan pelatihan yang diikuti secara

berkala.

47

Page 48: BAB I - VI - LMAI

48

Pada tahun 2014 Perusahaan telah mengikutsertakan sejumlah

karyawannya untuk mengikuti pelatihan, seminar, dan sosialisasi peraturan-

peraturan yang diadakan lembaga swasta maupun pemerintah, antara lain:

a. Seminar Perpajakan terbaru;

b. Sosialisasi Peraturan OJK dan BEI;

c. Seminar pengembangan di bidang IT;

d. Training Ahli K3 dan SMK3 kepada karyawan dan manajemen;

e. Training mengenai manajemen lingkungan hidup;

f. Training mengenai manajemen dan audit energi.

PT. Gunawan Dianjaya steel Tbk Surabaya memiliki karyawan dari

berbagai tingkatan pendidian berikut pada tabel 4.1 akan dijelaskan komposisi

karyawan PT GDS pada tahun 2014;

Tabel 4.1 Komposisi Pendidikan Karyawan PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk tahun 2014

Pendidikan 2014 2013

Sarjana 54 56Ahli Madya 8 8Sekolah Menengah Umum 356 349Sekolah Menengah Pertama 48 48Sekolah Dasar 20 20Jumlah 486 481Sumber : PT. GDS

Selain komposisi karyawan yang diijelaskan ada tabel 4.1 , Perusahaan

juga menggunakan tenaga kerja kontrak (outsourcing) sebanyak 48 orang.

Jam kerja pada PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya terbagi

menjadi tiga sift, (sift I, II dan III) sift satu dimulai pukul 07.00 – 15.00, kemudian

48

Page 49: BAB I - VI - LMAI

49

dilanjutkan dengan sift II pad pukul 15.00 hingga pukul 23.00 dan sift III dimulai

pada pukul 23.00 dan berakhir pada pukul 07.00 pagi. Rutinitas ini dimulai hari

Senin – minggu. Tetapi untuk hari minggu dihitung lembur. Pada PT. GDS

perhitungan Jam kerja sudah sesuai dengan peraturan mentri tentang penerapan 8

jam kerja perhari dan lebih dari itu dihitung lembur.

Tahun 2014 PT GDS memperoleh sertifikasi “Proper” dari Kementerian

Lingkungan Hidup R.I. dengan kategori “Biru” dan pada tahun yang sama,

Perseroan juga memperoleh sertifikasi SMK3 yang diterbitkan oleh PT. Surveyor

Indonesia.

3.2 Alur Produksi

Ada beberapa tahapan proses yang terjadi dalam memproduksi plated PT

GDS dimulai dari penyediaan bahan bakau (slab) hingga menjadi sebuah plate,

pada gambar 4.1 berikut akan dijelaskan alur produksi:

49

Page 50: BAB I - VI - LMAI

50

Sumber : PT GDS

Gambar 4.1 Alur Produksi PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk

a. Slab

Slab atau bahan baku berupa baja tebal yang di datangkan dari luar negeri.

yang memiliki reputasi internasonal.

b. Slab Cutting

Slab Cutting merupakan pemotongan bahan baku hingga menjadi beberapa

bagian, pemotongan sesuai ukuran yang ditentukan.

c. Reheating Furnace

Setelah terbagi menjadi beberapa potong, baja tersebut dipanaskan di dapur

pemanas sampai suhu standar, sesuai dengan kualitas dan ukurannya.

d. Descaler

Slab yang membara dibersihkan dengan mesin pembersih kerak dengan

cara disemprotkan air berkecepatan tinggi untuk menghilangkan kotoran

dari prosees sebelumnya.

e. 4-High Roughing &Finishing Mill

Setelah dipanaskan, slab tersebut ditipiskan dengan mesin 4-High

Roughing &Finishing Mill hingga slab menjadi plate

f. Hot leveller

Untuk memastikan kerataan dan mutu plat yang prima, digunakan mesin

perata permukaan plat.

g. Diving Shear

50

Page 51: BAB I - VI - LMAI

51

Plat yang memanjang akibat tahap sebelumnya dipotong lebih pendek

dengan mesin pembagi.

h. Cooling bed

Meja pendingin membantu mendinginkan secara alami alat yang panas

hingga mencapai suhu lingkungan.

i. Plate Cutting

Plat di potong sesuai ukuran pemesanan, jika tebal plat lebih atau sama

dengan 15mm maka digunakan flame cutting atau pemotongan dengan las

campuran LPG dan oksigen. Namun bula ketebalan kurang dari 15 mm,

digunakan machanized side shear atau pemotong samping dengan mesin

pemotong.

j. Stenciled

Pemberian Label pada bagian atas plat besi, sesuai dengan nomer seri

pemesanan dan warna sesuai dengn ketebalan.

k. Storage

Plat yang telah dilabel sudah selesai dan disimpan di ruang penyimpanan

dan siap dikirim ke pemesanan

l. Shipment

Plat-plat baja yang berkualitas siap di kirim ke pemesan melalui jalur darat

serta laut.

3.3 Risiko Bahaya

51

Page 52: BAB I - VI - LMAI

52

Didalam proses produksi, terdapat beberapa risiko bahaya yang

memungkinkan timbulnya kecelakaan kerja apabila tidak dilakukan pengendalian

bahaya tersebut. Berikut penjelasan mengenai area kerja yang terdapat di

perusahaan sekaligus risiko bahaya yang ada didalamnya

Tabel 4.2 Risiko Bahaya yang terdapat di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk tahun 2015

AREA KERJA BAHAYA

Gudang Bahan Baku Terjepit, Terhimpit dan Debu

Produksi - Slab Cutting

- Reheating Furnunce- Descaler- 4-High Roughing &Finishing Mill- Diving Shear- Cooling bed- Plate Cutting

- Bahaya Ergonomi, Suhu Panas, Bising dan Debu, Risiko Peledakan

- Suhu Panas dan Debu - Suhu Panas dan Debu- Suhu Panas Bising dan Debu- Suhu Panas Bising dan Debu- Suhu Panas Bising dan Debu- Bahaya Ergonomi , Debu, Risiko

Peledakan

Gudang Hasil Produksi Terjepit, Terhimpit dan Debu

WorkShop Terpeleset¸ Terkena Gam, Bahaya Ergonomi , Risiko Terjepit Mesin

4.4 Gambaran Keselamatan Dan Kesehatan Kerja di PT. Gunawan Dianjaya Steel (GDS) Tbk Surabaya.

Industri rolling mill plat baja yang memiliki risiko kerja yang tinggi

dmana sewaktu-waktu menimbulkan resiko kecelakan, khususnya bagi karyawan,

Manajemen telah menetapkan dan menerapkan prinsip-prinsip keselamatan dan

kesehatan kerja dan lingkungan (K3L) sebagai standar kerja yag berlaku bagi

seluruh unit kerja dan kantor.

52

Page 53: BAB I - VI - LMAI

53

PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk telah dibentuk organisasi Panitia

Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) sebagai bentuk

pengaplikasian Peraturan mentri tenaga kerja No.04 tahun 1987 tentang panitia

pembina keselamatan dan kesehatan kerja serta tata cara penunjukan ahli

keselamatan kerja, dimana organisasi ini bertugas untuk menjaga dan memelihara

agar risiko bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dicegah dan

dihindari sehingga keselamatan dan kesehatan kerja dapat terwujud. Berikut

struktur organisasi P2K3 :

53

Page 54: BAB I - VI - LMAI

54

Sumber :PT GDSGambar 4.2 Struktur Organisasi Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan

Kerja (P2K3) PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk

4.4.1 Kebijakan K3 PT. Gunawan Dianjaya Steel, Tbk Surabaya

Kebijakan keselamatan kerja adalah pernyataan tentang cita-cita, tujuan

dan prinsip-prinsip yang mengatur organisasi perusahaan. kebijakan dibuat dan

disetujui pada level teratas oleh direktur utama, pejabat eksekutif dan memberikan

garis-garis besar kegiatan. pada umumnya berisi pernyataan kebijakan, instruksi,

keragaman dan pengecualian, penjelasan untuk situasi yang kompleks atau kritis

dan bentuk-bentuk penerapan atau pelaporan.

Kebijakan K3 dari suatu organisasi adalah merupakan pernyataan yang

menyebarluaskan kepada umum dan ditandatangani oleh manajemen senior

sebagai bukti pernyataan komitmennya dan kehendaknya untuk bertanggung

jawab terhadap K3. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kepada

karyawan, pemasok, pekerja, tamu, pelanggan bahwa K3 adalah bagian yang tak

terpisahkan dari seluruh operasi. Komitmen ini selanjutnya diperkuat dengan

manajemen yang secara aktif ikut serta dalam peninjauan ulang dan peningkatan

kinerja K3 secara berkesinambungan.

Kebijakan K3 PT. Gunawan Dianjaya Steel Surabaya adalah sebagai

berikut:

1. Mencegah kecelakaan dan penyakit akibat tkerja dengan melakukan

penilaian dan pengendalian risiko untuk mengkaji opersasional

organisasi secara sistematis

54

Page 55: BAB I - VI - LMAI

55

2. Mematuhi peraturan perundangan dan persyaratan lain baik penilaian

internasional yang relevan dengan opersional organisasi.

4.4.2 Prosedur Tanggung Jawab Manajemen

Dalam peraturan perusahaan telah di atur tentang tanggung jawab

manajemen terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan K3. Berikut

penjelasan ;

1. Penunjukan Wakil Manajemen

a. Direktur Utama menunjuk Manager Quality Control sebagai Wakil

Manajemen atau Management Representative.

b. Tugas dan wewenang Wakil Manajemen adalah: Memastikan bahwa

sistem manajemen K3 disusun, diterapkan, dan dipelihara

kesinambungannya.

2. Penetapan Kebijakan K3 dan Sasaran dan Program K3

a. Direktur Utama menetapkan dan mengesahkan kebijakan K3. Kesesuaian

isi kebijakan mutu dengan tujuan perusahaan ditinjau pada saat rapat

tinjauan manajemen dan dapat direvisi jika diperlukan.

b. Perusahaan menetapkan paling sedikit sebuah sasaran dan Program K3

yang terukur dan konsisten dengan Kebijakan K3 tersebut.

c. Salah satu dasar penetapan sasaran dan Program K3 adalah hasil analisis

terhadap data dari:

1) Tingkat insiden K3 dari aktivitas yang ada di area Kantor/Perusahaan.

2) Kinerja pemasok yang dilakukan oleh Departemen Pembelian.

55

Page 56: BAB I - VI - LMAI

56

d. Wakil manajemen mengkomunikasikan Kebijakan K3 dan sasaran dan

Program K3 melalui poster maupun metode lain. Safety Prosedur

Pelatihan Tenaga Kerja.

e. Realisasi dari perbaikan K3 direkam dan disimpan oleh Sekretaris P2K3

dan dilaporkan kepada Wakil Manajemen dalam rapat tinjauan

manajemen atau sebelum rapat dilaksanakan, sesuai kebutuhan.

f. Setiap perubahan baik struktur organisasi, kebijakan K3, sasaran dan

Program K3 maupun dokumen K3 harus dikomunikasikan kepada Wakil

Manajemen sehingga integritas dari sistem dapat dijaga.

3. Komunikasi Internal dan Rapat Tinjauan Manajemen

a. Tinjauan manajemen, sebagai bagian dari komunikasi internal,

dilaksanakan minimal 2 kali setahun dengan dipimpin oleh salah satu

Direktur yang hadir.

b. Jika rapat memutuskan untuk melakukan tindakan perbaikan atau

peningkatan, maka rencana perbaikan tersebut harus dicatat di dalam

notulen dan selanjutnya dituangkan ke dalam formulir CAR (Corrective

Action Request) sesuai jenisnya.

c. Agenda rapat dapat meliputi, tetapi tidak terbatas, pada:

1) Tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar.

2) Perubahan produk dan kegiatan produksi yang berpengaruh pada K3.

3) Perubahan struktur organisasi perusahaan.

4) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk

epidemiologi.

56

Page 57: BAB I - VI - LMAI

57

5) Hasil kajian kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

6) Adanya pelaporan.

7) Adanya saran dan pekerja/buruh.

8) Evaluasi kebijakan K3.

9) Tujuan sasaran dan kinerja K3.

10) Hasil temuan audit K3.

11) Evaluasi efektivitas penerapan SMK3 dan kebutuhan

pengembangan SMK3.

4.4.3 Prosedur Identifikasi dan Penilaian Bahaya & Risiko K3

Proses Identifikasi dan Penilaian Bahaya & Risiko K3 terdiri dari beberapa

proses, seperti yang dijelakan dibawah ini;

1. Identifikasi Bahaya K3

a. Sekretaris P2K3 membentuk tim di unit kerja masing-masing yang

terdiri dari personil berpengalaman dan memiliki pengetahuan tentang

K3 dan dipimpin kepala bagian & Manajer masing-masing.

b. Pembentukan tim dilakukan di awal implementasi SMK3, saat ada

perubahan proses/peralatan maupun proses/peralatan baru. Identifikasi

dilakukan juga diawal informasi proyek untuk diidentifikasi

kemungkinan pengendalian K3 yang harus disiapkan.

c. Masing-masing tim melakukan identifikasi bahaya K3 dengan

memperhatikan:

1) Kondisi rutin dan non rutin untuk bahaya K3.

57

Page 58: BAB I - VI - LMAI

58

(a) Kondisi rutin: bahaya yang aktual terjadi terjadi akibat aktivitas

produk dan jasa yang rutin dilakukan.

(b) Kondisi non rutin: bahaya yang berpotensi terjadi akibat adanya

aktivitas tidak rutin atau sesekali dilakukan/terjadi.

2) Aktivitas seluruh personel baik karyawan maupun pihak luar

(subkontraktor, supplier, & pengunjung).

3) Perilaku yang berbahaya dan berdampak pada lingkungan.

4) Lokasi/ruangan/kondisi tempat kerja.

5) Sumber daya yang akan dipergunakan.

6) Alat, mesin dan sumber tenaga yang ada (aliran listrik, genset, dsb) serta

jenis material.

7) Penanganan secara manual dan mekanis.

8) Modifikasi proses atau proses baru.

9) Kerja lainnya yang mungkin menimbulkan bahaya K3.

d. Tim melakukan tinjauan awal untuk mengidentifikasi semua bahaya K3 serta

memperkirakan risiko K3 yang akan terjadi.

e. Tim melakukan identifikasi dengan melihat kondisi lapangan/ruangan/tempat

kerja dan lingkungan sekitarnya.

f. Tim melakukan observasi dan wawancara kepada personil terkait dalam suatu

kegiatan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam mengenai

kemungkinan risiko K3 yang akan terjadi.

g. Setelah diperoleh data bahaya K3 yang terkait, kemudian diperkirakan

dampaknya.

58

Page 59: BAB I - VI - LMAI

59

h. Membuat daftar semua bahaya K3 yang telah teridentifikasi.

2. Penilaian Risiko K3

a. Mengidentifikasi peraturan dan perundangan yang berlaku yang berkaitan

dengan bahaya K3, jika terdapat peraturan dan perundangan yang terkait

dengan aktivitas perusahaan, maka dampak yang terjadi dikategorikan

sehingga sebagai dampak yang signifikan.

b. Untuk bahaya K3 yang tidak terkait dengan peraturan dan perundangan yang

berlaku, diadakan penilaian dampak & risiko dengan mempertimbangkan

faktor Kemungkinan (probability) dan faktor Keparahan (severity).

3. Pengendalian Risiko

a. Risiko K3 yang signifikan, dilakukan kontrol untuk mengurangi risiko K3.

Jenis tindakan dan skala waktu kontrol tergantung dari hasil penilaian

dampak dan risiko.

b. Jenis pengendalian adalah sebagai berikut:

1) Desain & proses

Melakukan perubahan desain atau proses kegiatan ke arah yang lebih aman

untuk menghilangkan semua potensi bahaya dan sumber bahaya (jika

mungkin) dengan mengganti unsur/proses yang lebih aman. Contoh:

tenaga manusia diganti peralatan untuk mengangkat beban berat, mesin

tenaga solat diganti dengan listrik/uap.

2) Engineering control

Untuk mengurangi risiko dengan menggunakan unsur/materiil yang lebih

aman. Contoh: listrik 1, penggunaan kran otomatis, lampu hemat energi.

59

Page 60: BAB I - VI - LMAI

60

3) Administratif dan pengendalian prosedur

a) Pengendalian secara administratif: ijin kerja, persetujuan penggunaan

material yang aman.

b) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, bimbingan

fungsional, induksi.

c) Pembuatan prosedur dan IK dan dilaksanakan secara konsisten.

d) Penyelenggaraan inspeksi K3L.

e) Peralatan yang aman (safety equipment) dan hemat energi.

f) Memberi proteksi lokasi berbahaya: memasang pagar pengaman,

rambu, tanda B3.

4) Alat Pelindung Diri (APD)

Wajib menggunakan APD sesuai potensi bahaya yang ada seperti: helm,

safety harness, sarung tangan.

5) Rencana tindak darurat

Menyediakan fasilitas pencegahan, memasang denah evakuasi,

menentukan muster area.

4. Pemantauan Tindakan Pengendalian Risiko

a. Jika ada perubahan proses, produk, mesin, personel dan aktivitas baik

berupa penambahan, pengurangan maupun penggantian, maka identifikasi

bahaya & Risiko K3 akan ditinjau oleh masing-masing bagian dan

Manajer untuk update/diperbaiki.

60

Page 61: BAB I - VI - LMAI

61

b. Identifikasi bahaya & risiko K3 secara periodik akan ditinjau

kesesuaiannya oleh sekretaris P2K3 minimal 1 tahun sekali untuk

memastikan kesesuaiannya dengan kondisi terkini.

c. Hasil pengendalian dampak, harus disetujui oleh pimpinan/manajer yang

terkait di masing-masing tingkat dalam organisasi perusahaan.

d. Hasil identifikasi dapat dijadikan dasar pertimbangan penyusunan tujuan,

sasaran dan program K3.

4.4.4 Prosedur Komunikasi, Partisipasi & Konsultasi

A. Rincian Prosedur

1. Induksi K3

Induksi K3 akan diberikan kepada karyawan baru, karyawan lama yang

pindah tugas atau dipromosikan, tamu, subkontraktor dan pihak lain yang

berkepentingan.

2. Rapat K3

Rapat K3 dilakukan dengan melibatkan Manajer, Ka.Shift, Ka.Sie,

Waka.Sie, Anggota, AK3, wakil manajemen dan wakil dari subkontraktor

(jika dibutuhkan) dan hasilnya dicatat sebagai risalah rapat, untuk menjadi

dasar dalam implementasi K3. Contoh: HSE meeting, safety talk,

pertemuan sasaran K3, dll.

3. Rapat Tinjauan Manajemen

Rapat tinjauan manajemen dilakukan sesuai prosedur tinjauan manajemen.

4. Papan Pengumuman K3

61

Page 62: BAB I - VI - LMAI

62

Papan pengumuman akan dipasang ditempat yang strategis agar mudah

dibaca oleh seluruh pihak yang berkepentingan.

5. Akses ke dinas setempat

Dilakukan oleh sekretaris P2K3 dengan cara melakukan kunjungan ke

dinas K3 mengupdate dan memperbaharui jika terdapat peraturan

perundangan yang terbaru atau dengan cara mengakses website dinas

kementerian.

6. Telepon, Faximile, Email, Surat

Setiap telepon, faximile, email, atau surat yang terkait dengan K3

diserahkan ke document controller untuk didata dan didistribusikan sesuai

keperluan serta ditindaklanjuti.

7. Pertemuan dengan masyarakat sekitar dan pihak eksternal lainnya yang

terkait dilakukan oleh sekretaris P2K3 bila diperlukan dan sesuai

kebutuhan serta kondisi yang ada untuk memfasilitasi agar proses

operasional dapat berjalan lancar dan efektif. Setiap perubahan Sistem

Manajemen K3 yang akan berpengaruh di tempat kerja dikomunikasikan

dan dikonsultasikan ke seluruh pegawai dan pihak eksternal yang terkait.

Semua kegiatan komunikasi dan konsultasi akan didokumentasikan oleh

perusahaan dengan menggunakan formulir konsultasi dan dokumentasi,

jika tidak tercover dengan formulir lainnya. Jika dalam pelaksanaan

komunikasi atau konsultasi ditemukan suatu hal yang dapat memperbaiki

kinerja K3 maka akan diajukan ke pihak manajemen untuk dijadikan

sebagai agenda dalam rapat tinjauan manajemen.

62

Page 63: BAB I - VI - LMAI

63

4.4.5 Prosedur Investigasi dan Pelaporan Insiden

Kegiatan investigasi dan pelaporan insiden kecelakaan yang terjadi

didalam dan di luar perusahaan PT GDS telah disusun dalam bentuk standar

operasional prosedur yang telah disusun pada saat adanya komitmen perusahaan

dalam keikut sertaan dalam program pemerintah yakni pada program Sistem

Manajemen K3 (SMK3), berikut rincian prosedut tersebut :

1. Pelaporan Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian

a. Semua karyawan yang terlibat dalam kegiatan perusahaan wajib lapor

kepada atasannya/wakilnya jika melihat kecelakaan, sakit akibat kerja,

dan ketidaksesuaian lain.

b. Pelaporan dilakukan secepatnya, bisa secara lisan dulu agar dapat

ditangani segera.

c. Pelaporan secara tertulis menggunakan form Laporan Investigasi

Kecelakaan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Insiden, tidak harus dilaporkan tertulis, tetapi dicatat dalam form

Konsultasi & Komunikasi Log Book

2) Kecelakaan ringan harus segera dilaporkan

2. Penanganan Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian

Penanganan Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian pada PT

GDS telah disusun dalam bentuk standar operasional prosedur yang telah

disusun pada saat adanya komitmen perusahaan dalam keikut sertaan dalam

program pemerintah yakni pada program Sistem Manajemen K3 (SMK3),

berikut rincian prosedut tersebut :

63

Page 64: BAB I - VI - LMAI

64

a. Sekretaris P2K3 wajib mengambil tindakan begitu mendapat laporan

atau melihat kecelakaan, insiden, atau ketidaksesuaian.

b. Pencatatan stok obat-obatan P3K untuk memantau insiden dari

penggunaan obat-obatan P3K.

c. Investigasi Kecelakaan, Sakit, Insiden & Ketidaksesuaian

d. Semua kecelakaan, sakit, insiden dan ketidaksesuaian harus diinvestigasi

untuk mengetahui penyebabnya.

e. Metode Investigasi mencakup:

1) Teknik pengumpulan data

2) Teknik analisa data untuk mengetahui penyebab langsung, penyebab

dasar (faktor personal & pekerjaan) dan kontrol manajemen.

3) Tindakan perbaikan segera yang harus diambil

4) Rekomendasi perbaikan yang bersifat pencegahan

5) Monitoring keefektifan tindakan perbaikan yang diambil

6) Investigasi dilakukan oleh Wakil manajemen dan pihak yang terkait.

3. Laporan Tertulis

Dalam pelaporan kejadian kecelakan padaPT GDS pihak

managemen telah membuat SOP tentang tata cara pelaporan tertulis, hal ini

berfungsi untuk mempermudah mengidentifikasi penyebab kecelakaan

nantinya, berikut rincian prosedur tersebut:

a. Laporan kejadian kecelakaan harus dibuat dalam bentuk/format K.2

Laporan ini akan dibuat oleh Sekretaris P2K3, Kepala Bagian terkait dan

64

Page 65: BAB I - VI - LMAI

65

aslinya diserahkan kepada JAMSOSTEK Cab.Surabaya, sesegera

mungkin dan tidak boleh lebih dari 24 jam setelah kejadian.

b. Kepala Bagian terkait akan meninjau ulang laporan, mensirkulasi dan

mendistribusikan sesuai dengan instruksi yang tertera dalam lembar bentuk

laporan. Laporan investigasi kecelakaan diminta:

1) Kecelakaan menyebabkan hari hilang

2) Kecelakaan tidak ada hari hilang

3) Kerusakan harta benda dan kerugian

4) Kebakaran

5) Kejadian dengan potensi kecelakaan berat (nyaris celaka)

c. Pelaporan kepada DISNAKER hanya dibuat untuk kecelakaan yang terjadi

pada karyawan perusahaan.

d. Laporan-laporan kecelakaan, investigasi dan analisis akan dirangkum

dalam laporan bulanan keselamatan dan kerugian yang dibuat oleh Ketua

K3. Laporan ini akan didistribusikan kepada seluruh Kepala Bagian/Ketua

Regu dan didiskusikan dalam rapat Safety Committee/P2K3.

4. Investigasi dan Tindakan Perbaikan

Investigasi dan tindakan perbaikan perbaikan merupakan tindakan

lanjutan setelah proses pelaporan selesai dilakukan, berikut rincian prosedur

tersebut:

a. Kecelakaan dan Insiden Berat

1) Kepala Bagian/Ketua Regu akan mempertimbangkan dengan segera

setiap kecelakaan atau kejadian yang berat. Setelah dilakukan

65

Page 66: BAB I - VI - LMAI

66

tindakan emergensi yang tepat dan pelaporan diselesaikan, prosedur

dibawah ini harus dimulai untuk investigasi dan tindakan perbaikan.

2) Kepala Bagian/Ketua Regu terkait harus menjaga bukti fisik,

sepanjang diminta, untuk investigasi. Bilamana seseorang yang

cidera yang dapat menjadi cidera berat atau potensi cidera berat,

tempat kejadian harus diamankan sampai ada pemberitahuan dari

yang berwenang atau manajemen perusahaan.

3) Kepala Bagian/Ketua Regu terkait akan melakukan tahap awal

investigasi segera setelah kecelakaan atau kejadian. Ini akan

mencakup wawancara terhadap orang yang langsung terlibat dan

suatu tinjauan ulang secara cermat serta mendiskusikan laporan-

laporan tertulis mereka. Wawancara ini secara pribadi dan harus

dilakukan secara kekeluargaan dan pengertian.

4) Inspeksi tempat kecelakaan atau insiden harus dilakukan saat itu

juga. Hasil dari tahap investigasi ini harus dicatat dengan baik,

dimana apabila dianggap penting, diambil foto untuk dokumentasi

investigasi.

5) Kepala Bagian/Ketua Regu terkait harus juga mengevaluasi

penyebab kejadian dan menyiapkan tindakan perbaikan untuk

mencegah terulang kembali kejadian yang sama. Salinan

dokumentasi investigasi, bersamaan dengan laporan investigasi

kecelakaan harus diserahkan oleh Ketua Regu terkait kepada

atasannya dengan tembusan kepada Ketua K3 sesegera mungkin.

66

Page 67: BAB I - VI - LMAI

67

6) Kepala Bagian terkait yang menerima laporan investigasi

kecelakaan, bersama dengan Ketua K3 menentukan siapa yang harus

dilibatkan dalam tim investigasi dan dalam menentukan tindakan

perbaikan.

7) Untuk seluruh kecelakaan yang sangat berat (meninggal, kerusakan

harta benda yang berat, kebakaran), Kepala Bagian terkait harus

melakukan investigasi di tempat kejadian. Bilamana perlu dia akan

diantar oleh anggota manajemen.

8) Bila dianggap perlu, ad-hoc team investigasi kecelakaan juga akan

dibentuk. Team bertanggung jawab untuk:

a) Mengevaluasi laporan dan dokumen terkait.

b) Melakukan wawancara dan atau inspeksi.

c) Menganalisa informasi yang ada untuk menentukan faktor-

faktor yang memberikan kontribusi terjadinya kecelakaan.

d) Membuat dan merekomendasikan rencana tindakan praktis

untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

9) Setelah melakukan investigasi, suatu pertemuan peninjauan ulang

akan dilakukan oleh Direktur untuk menentukan kualitas investigasi

dan mengevaluasi tindakan perbaikan yang diusulkan dan

menetapkan rencana tindakan yang paling tepat. Pertemuan ini harus

dihadiri Ketua K3, dan para Kepala Bagian terkait.

b. Kecelakaan Sedang

67

Page 68: BAB I - VI - LMAI

68

1) Kecelakaan sedang yang dilaporkan dalam bentuk Laporan

Investigasi Kecelakaan, investigasi harus dilakukan secepatnya

oleh Ketua Regu terkait, yang akan melakukan tindakan perbaikan

dan atau pengendalian untuk mencegah kejadian yang sama

terulang kembali.

2) Laporan investigasi kecelakaan akan ditinjau kembali oleh

Ka.Bag.-nya dan Ketua K3. Investigasi selanjutnya, tindakan

perbaikan atau distribusi informasi yang terkait bisa diperoleh dari

tinjauan ini. Semua kecelakaan/insiden dan tindakan perbaikan

akan ditinjau kembali oleh Safety Committee/P2K3.

c. Kecelakaan Ringan

Kecelakaan ringan harus dilaporkan dengan bentuk No. K.2.

kejadian-kejadian tersebut harus mendapat perhatian Kepala

Bagian/Ketua Regu terkait dan harus didiskusikan dalam safety meeting

bulanan. Ketua K3 akan mengevaluasi laporan, untuk mengidentifikasi

trennya dan melaporkan ke P2K3 untuk tindakan selanjutnya.

d. Tindakan Pencegahan

Dalam rangka pencegahan terjadinya kecelakan pada PT GDS pihak

managemen telah membuat suatu SOP yang disusun secara sistematis,

berikut rincian tersebut:

1) Mencatat semua ketidaksesuaian yang berpotensi menimbulkan

kecelakaan, insiden atau sakit di Form Tindakan Koreksi &

Pencegahan.

68

Page 69: BAB I - VI - LMAI

69

2) Mengkomunikasikan insiden yang terjadi dan hasil investigasi

untuk mencegah tidak terulang dan meningkatkan kewaspadaan

pekerja.

3) Menganalisa data untuk pencegahan dengan memperhitungkan

dampak yang mungkin terjadi.

4) Mengkaji apakah tindakan pencegahan sudah efektif/belum.

4.5 Identifikasi Keluhan MSDs Pada Operator Gas Cutting Plate di PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk dengan menggunakan Nordic Body Map

Pengambilan data dengan kuisioner Nordic Body Map telah dilakukan

tanggal 18-28 Agustus di Bagian Produksi PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk

dengan 25 Operator Gas Cutting Plate sebagai responen . Tujuan peyebaran

kuisioner untuk mengetahui gambaran Keluhan Nyeri Muskuloskeletal pada

operator gas cutting plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya tahun

2015.

4.6 Karakteristik Operator Gas Cutting Plate

Berdasarkan Identifikasi yang telah dilakukan pada Operator Gas Cutting

Plate di PT. Gunawan Dianjaya Steel Tbk Surabaya diperoleh karakteristik

operator sebagai berikut :

4.6.1 Usia

Usia adalah umur responden dalam tahun dihitung dari waktu kelahiran

sampai tahun penelitian dilakukan. Distribusi frekuensi usia responden dalam

penelitian ini dapaat dilihat pada tabel 4.3 :

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan UsiaUsia Frekuensi Persentase (%)

< 40 Tahun 6 24

69

Page 70: BAB I - VI - LMAI

70

41-50 Tahun 18 72>51 1 4Jumlah 25 100%

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 25 responden, sebanyak 6 responden

(24%) berusia <40 tahun, sebanyak 18 responden (72%) berusia 41-51 tahun dan

hanya 1 responden (4%) yang berusia 51 tahun.

4.6.2 Masa Kerja

Masa kerja adalah lama waktu responden bekerja dihitung dalam tahun

sejak awal kerja sampai pada saat penelitian dilakukan. Berdasarkan hasil

kuesioner dan wawancara yang dilakukan pada operator diperoleh data distribusi

frekuensi berdasarkan masa kerja yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Masa KerjaMasa Kerja Jumlah Persentase (%)

Sedang ( 5-10 tahun) 1 4%Lama ( >11 tahun) 24 96%Jumlah 25 100%

Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa para responden sebagian besar

24 orang (96%) mempunyai masa kerja yang lama. sedangkan hanya 1 responden

(4%) yang memiliki masa kerja sedang.

4.6.3 Status Gizi

Status gizi merupakan sebuah keadaan yang dimiliki responden terkait gizi

dan kesehtan. Diketahui berdasarkan Indeks Massa Tubuh dengan cara pembagian

antara berat badan dan tinggi badan melalui kuesioner, diperoleh data responden

berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) sebagai berikut:

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status GiziStatus Gizi Jumlah Persentase (%)Kurus ( < 18) 2 8% Normal ( > 18,5 – 25,0 ) 22 88%

70

Page 71: BAB I - VI - LMAI

71

Gemuk ( > 25,5 – 27,0 ) 1 4%Jumlah 25 100%

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian yakni sebanyak

25 responden, sebanyak 2 atau sebesar 8% memiliki status gizi kurus, sebanyak

22 responden atau sebesar 88% memiliki status gizi normal, dan hanya 1

responden (4%) memiliki stastus gizi gemuk. Hal tersebut menggambarkan bahwa

responden sebagian besar memiliki status gizi normal.

4.6.4 Kebiasaan Merokok

Data kebiasaan merokok responden diperoleh melalui pertanyaan melalui

kuesioner, diperoleh data responden berdasarkan kebiasaan merokok sebagai

berikut:

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan kebiasaan MerokokKebiasaan Merokok Jumlah Persentase (%)Merokok 23 8%Tidak Merokok 2 92%Jumlah 25 100%

Dari tabel 4.6 diketahui bahwa sebagian besar 23 responden atau sebesar

92% memiliki kebiasaan merokok dan selebihnya 8% tidak memiliki kebiasaan

merokok dalam kesehariannya.

4.7 Keluhan Nyeri Muskuloskletal Disoders (MSDs)

Keluhan Nyeri Muskuloskletal (MSDs) pada para operator gas Cutting

Plate dihitung dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map dimana

terdapat 28 bagian otot pada sistem muskuloskletal pada kedua sisi tubuh kanan

dan kiri. Yang dimulai dari anggota tubuh bagian atas yaitu otot leher sampai

dengan bagian bawah yaitu otot kaki, terdapat 4 skala yang terdapat dalam

kuesioner ditandai dengan angka 0 yang menandakan tidak adanya rasa nyeri yang

71

Page 72: BAB I - VI - LMAI

72

dirasakan, angka 1 untuk adanya sedikit rasa nyeri, angka 2 untuk merasakan

nyeri dan angka 3 untuk merasakan sangat nyeri. Berdasarkan hasil kuesioner

yang telah dilakukan pada operator gas cutting plate di peroleh data keluhan nyeri

sebagai berikut:

Berdasarkan pengumpulan data dengan kuesioner terhadap 25 operator gas

cutting plate, diketahui bahwa semua responden 25 operator (100%) memiliki

keluhan nyeri Muskuloskletal (MSDs).

Berikut ini frekuensi keluhan MSDs responden pada 28 bagian otot pada

sistem muskuloskletal yang dirasakan ada keluhan oleh respoden, disajikam pada

gambar 4.3 sebagai berikut :

Leher

Bagian

Atas

Bahu Kiri

Lenga

n Atas Kiri

Lenga

n Atas Kan

an

pantat

(buttock)

Siku Kiri

Lenga

n Bawah

Kiri

Pergela

ngan Ta

ngan Kiri

Tangan

Kiri

Paha K

iri

Lutut Kiri

Betis K

iri

Pergerl

anga

n Kaki Kiri

kaki K

iri0

5

10

15

20

25

20

10 9

13

4

19

7

20

85 4 3 4 3 4 4

6 57 6 6 5

8 86 5

75

Bagian Keluhan

Gambar 4.3 Distribusi Frekuensi Keluhan MSDs berdasarkan Bagian Tubuh Pada Operator Gas Cutting Plate tahun 2015

72

Page 73: BAB I - VI - LMAI

73

Berdasarkan gambar 4.3 diatas dapat diketahui bahwa keluhan yang

dirasakan terbanyak terdapat pada bagian pinggang serta leher bagian atas yakni

sebanyak 20 keluhan, kemudian pada bagian punggung (19 Keluhan) dan keluhan

pada bahu kanan sebanyak 13 keluhan.

Tingkat keparahan rasa nyeri yang dirasakan operator Gas Cutting plate

akan disajikan pada gambar 4.4 berikut :

Leher Bagian Atas

Bahu Kanan Punggung Pinggang0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2018

10

14

16

2 2

43

01 1 1

Agak nyeriNyeriSangat Nyeri

Gambar 4.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri MSDs berdasarkan Bagian Tubuh Pada Operator Gas Cutting Plate tahun 2015

Gambar 4.4 diatas dapat diketahui bahwa pada leher bagian atas sebagian

besar keluhan atau sebesar 18 responden merasakan agak nyeri dan 2 responden

lain mengelukan nyeri, pada bagian bahu kanan dari 13 keluhan terapat 10

keluhan responden merasakan agak nyer, 2 responden merasakan nyeri dan 1

responden merasakan sangat nyeri, pada bagian punggung terdapat 14 keluhan

agak nyeri, 4 responden merasakan nyeri dan 1 respon merasakan sangat nyeri dan

73

Page 74: BAB I - VI - LMAI

74

pada bagian pinggang dari 20 keluhan sebanyak 16 keluhan dengan agak nyeri, 3

keluhan responden merasakan nyeri dan satu responden merasakan sangat nyeri.

Langkah terakhir dari metode Nordic body map adalah melakukan

penjumlahan total besarnya keluhan pada setiap responden, tentunya hasil akhir

dari penjumlahan tersebut berfungsi untuk menentukan tindakan pengendalian

yang harus dilakukan, berikut total skor keluhan individu disajikan pada tabel 4.7:

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Total Keluhan IndividuTotal Skor

Keluhan IndividuTingkat Risiko

Kategori Risiko Jumlah Persentase (%)

0-20 0 Rendah 21 8421-41 1 Sedang 3 1242-62 2 Tinggi 1 463-84 3 Sangat Tinggi - -Jumlah 25 100%

Dari penyajian tabel 4.7 menunjukkan bahwa dari 25 responden, sebagian

besar responden atau 21 responden (84%) memiliki kategori risiko rendah,

3 responden (12%) dengan kategori risiko sedang dan terdapat 1 responden atau

4% memiliki total skor keluhan dengan risiko tinggi sehingga membutuhkan

pengendalian dengan segera.

4.8 Pemecahan Masalah

Berdasarkan uraian masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, yang

dilakukan ialah melakukan mapping dan mengidentifikasi keluhan terkait MSDs

yang telah dirasakan operator gas cutting plate sebagai upaya pencegahan

kecelakaan di tempat kerja, mempelajari potensi bahaya hasil inspeksi dan

memberikan rekomendasi sebagai upaya tindak lanjut.

74

Page 75: BAB I - VI - LMAI

75

4.9 Rekomendasi

Dari hasil identifikasi masalah MSDs yang dilakukan dengan kuisioner

Nordic Body Map pada para operator didapatkan hasil sebagian besar operator

Gas Cutting Plate memiliki risiko kategori rendah dan berikut rekomendasi yang

diberikan pada operator seseuai dengan kategori risiko MSDs yang terjadi :

Kategori Risiko Jumlah Tindakan Perbaikan Rekomendasi

Rendah 21 Operator Belum diperlukan adanya tindakan perbaikan

1. Devisi K3 sebagai penanggung jawab K3 dilapangan membuat program sosialisasi tentang MSDs bagi seluruh pekerja yang memiliki risiko MSDs.

Sedang 3 Operator Mungkin memerlukan tindakan dikemudian hari

1. Devisi K3 sebagai penanggung jawab K3 dilapangan membuat program sosialisasi tentang MSDs bagi Operator.

2. Memberikan pelatihan cara mengangkat beban yang benar bagi para operator gas Cutting Plate

3. Memberikan informasi bagi operator gas Cutting plate untuk melakukan stretching yang dilakukan setiap 15 menit setiap 2 jam kerja,. Hal ini bertujuan

75

Page 76: BAB I - VI - LMAI

76

untuk memberi relaksasi bagi operator yang melakukan pekerjaan dengan posisi statis selama 4 jam, sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya MSDs.

Tinggi 1 Operator Diperlukan tindakan segera

1. Melakukan pemeriksaan lanjutan ke fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama dengan PT. GDS untuk mengurangi dampak cedera yang mungkin ditimbulkan akibat keluhan MSDs.

2. Melakukan rotasi pekerja ke bagian lain dengan tingkat mobilitas yang lebih rendah memiliki risiko MSDs

76

Page 77: BAB I - VI - LMAI

77

BAB V

PEMBAHASAN

Hasil penyebaran kuisioner Nordic Body Map yang telah dilakukan,

didapat informasi bahwa responden sebesar 72% berusia 41-50 tahun, 24%

berusia 31-40 tahun, dan 4% >51 tahun. Hal ini dapat mempengaruhi keluhan

MSDs yang dialami. Hal ini diperkuat juga dengan hasil penelitian Amalia

(2010) pada pekerja kuli panggul didapatkan hasil bahwa kelompok usia 31- 49

tahun memiliki tingkat keluhan paling tinggi yaitu sebesar 68.1%. Hasil

penelitian tersebut sesuai dengan teori yang terdapat dalam Oborne (1995)

bahwa keluhan otot skeletal biasanya dialami seseorang pada usia kerja yaitu 24-

65 tahun dan keluhan pertama biasa dialami pada usia 35 tahun serta tingkat

keluhan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Masa kerja juga mempengaruhi keluhan MSDs yang dapat dirasakan

pekerja. Pekerja GDS yang menjadi responden mayoritas memiliki masa kerja

10 tahun (96%) dan sisanya (4%) memiliki masa kerja 5-10 tahun. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2010), bahwa keluhan MSDs

terbanyak pada responden dengan masa kerja diatas lima tahun. Hal ini

disebabkan karena pada masa kerja tersebut telah terjadi akumulasi cidera-cidera

ringan yang selama ini dianggap sepele. Selain itu, menurut Zulfiqor (2010),

keluhan MSDs berbanding lurus dengan bertambahnya masa kerja. Hal ini

77

Page 78: BAB I - VI - LMAI

78

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendra dan Rahardjo (2009),

pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,775

kali dibandingkan pekerja dengan masa kerja ≤ 4 tahun. Rihiimaki et al (1989)

dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan

yang kuat dengan keluhan otot.

Status gizi dapat mempengaruhi kejadian MSDs. Berdasarkan data yang

telah didapatkan, sebagian besar pekerja PT GDS yang menjadi responden yaitu

sebesar 88% memiliki status gizi normal jika dilihat dari IMT. Status gizi dapat

dilihat dari index masa tubuh seseorang. Meskipun pengaruhnya relatif kecil,

tinggi badan dan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan

terjadinya keluhan otot skeletal. Schierhout (1995) menemukan bahwa

seseorang yang mempunyai ukuran tubuh yang pendek berasosiasi dengan

keluhan pada leher dan bahu (Karuniasih, 2009). Berdasarkan penelitian

Heliovara (1987) yang dikutip NIOSH (1997) menyebutkan bahwa tinggi

seseorang berpengaruh terhadap timbulnya herniated lumbar disc pada jenis

kelamin wanita dan pria, tapi berdasarkan IMT hanya berpengaruh pada jenis

kelamin pria.

Berdasarkan hasil survei oleh Annuals of Rheumatic Diseases diperoleh

hubungan antara perokok dengan munculnya keluhan MSDs dan dilaporkan

bahwa perokok memiliki risiko 50% lebih besar untuk merasakan MSDs

(Tarwaka, 2004). Dari data yang telah didapat, diketahui bahwa 92% responden

merupakan perokok, dan sisanya yaitu 8% bukan perokok. Saat masih berusia

muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses

78

Page 79: BAB I - VI - LMAI

79

pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun saat melewati umur 35 tahun efek

rokok pada tulang akan mulai terasa karena proses pembentukan tulang pada

umur tersebut sudah berhenti (Boisvert, 2009).

Perokok juga beresiko mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan

tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Bila darah sudah tersumbat, maka

proses pembentukan tulang sulit terjadi. Hal ini dapat terjadi karena nikotin pada

rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu,

merokok dapat pula menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau

kerusakan pada tulang (Bernard et al, 1997).

Berdasarkan hasil Identifikasi yang telah dilakukan, didapatkan hasil

bahwa semua responden (100%) mengalami keluhan MSDs. Bagian-bagian

tubuh yang paling banyak dikeluhkan responden adalah bagian leher bagian atas,

terdapat 20 keluhan pada area ini hal ini dikarenakan pekerja selalu

menundukkan kepala dan membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi untuk

mengatur mata gas potong sesuai dengan orderan.

Menurut Sim et al (2006) risiko terjadinya nyeri leher dan ekstermitas

atas akan meningkat sebesar 44% pada pekerjaan posisi leher menunduk dalam

waktu lama, pekerjaan mengangkat obyek yang berat secara berulang , bekerja

dangan lengan pda atau di atas tinggi bahu, dan duduk lebih dari 95% jam kerja.

Keluhan berikutnya pada bahu kanan sebanyak 13 keluhan, hal ini

dikarena para operator bekerja mengangkat alat potong fortable, dari analisa

peneliti banyak operator yang mengangkat hanya dengan menggunakan satu

tangan saja, sehingga terjadi perbedaan keluhan antara bahu kanan dan bahu kiri.

79

Page 80: BAB I - VI - LMAI

80

Terdapat 19 keluhan pada area punggung dan 20 keluhan pada daerah

pinggang. Hal ini diakibatkan posisi kerja yang tidak alamiah, pekerja bekerja

dengan cara membungkuk dan menjongkok. Menurut Idyan (2006) pekerja yang

mengeluhkan nyeri dibagian punggung bawah (low back pain) termasuk salah

satu gangguan muskuloskletal yang sering terjadi di perusahaan yang di

akibatkan dari mobilisasi yang salah. Pada dasarnya nyeri pada punggung bawah

timbul akibat terjadinya tekanan pada saraf tepi daerah pinggang.

Menurut Tarwaka (2005), beberapa hal yang dapat mempengaruhi

timbulnya nyeri punggung bawah adalah kebiasaan duduk, bekerja membungkuk

dalam waktu yang relatif lama, ,megangkat dang mengangkut beban dengan

sikap yang tidak ergonomis, tulang belakang yang tidak normal, atau akibat

penyakit tertentu sseperti penyakit degeneratif.

Menurut analisis penulis banyaknya keluhan nyeri pada operator Gas

Cutting Plate pada bagian leher bagian atas, bahu kanan, punggung, dan

pinggang. Di sebabkan oleh pekerjaan operator gas cutting plate bekerja dengan

cara mendorong, menarik mengangkat dan menurunkan alat potong plate secara

manual handling.

Hasil ini sejalan dengan pendapat Sastrowinoto (1985) yang menyatakan

bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk biasanya bagian tubuh

yang dikeluhkan adalah pada bagian pinggang, punggung, dan leher. Hal ini juga

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ikrimah (2009) yang menyatakan

bahwa pada pekerja penjahit, prevalensi gangguan MSDs paling tinggi terjadi

pada bagian leher dan punggung. Keluhan tersebut terjadi karena sikap kerja

80

Page 81: BAB I - VI - LMAI

81

yang membungkuk dengan gerakan-gerakan memutar pada daerah pinggang,

leher menunduk, posisi kaki tertekuk maksimal, dan gerakan repetitif tanpa

diselingi istirahat yang cukup.

Macam-macam keluhan yang dirasakan oleh pekerja disebabkan faktor

resiko MSDs yang memajan tubuhnya. Tiap bagian tubuh memiliki risiko

ergonomi dan gangguan kesehatan yang dapat melemahkan fungsi tubuh dan

penurunan kinerja pekerja. Bagian-bagian tubuh seperti tangan, leher, bahu,

punggung, dan kaki merupakan bagian tubuh yang sering digunakan pekerja

dalam melakukan pekerjaannya (NIOSH, 2007).

Beberapa teori dan hasil penelitian telah menyatakan bahwa ada beberapa

faktor yang berhubungan dengan keluhan MSDs pada pekerja diantaranya

resiko/faktor pekerjaan dan faktor individu (umur, indeks masa tubuh, masa

kerja, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, dan riwayat penyakit MSDs).

Berdasarkan identifikasi yang dilakukan dengan kuisisoner Nordic Body

map maka didapati total skor keluhan individu, sebanyak 21 responden (84%)

termasuk pada kategori risiko rendah sehinga menurut Tarwaka (2004) tindakan

perbaikan bagi pekerja yang memilik total skor keluhan individu 0-20 atau yang

memiliki risko rendah belum memerlukan adanya tindakan perbaikan. Namun

terdapat 1 responden 4% memiliki risiko tinggi. Hal ini memberiakan gambaran

bagi perusahan untuk memberiakan pelayanan kesehatan bagi tenaga kerja

tersebut.

81

Page 82: BAB I - VI - LMAI

82

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil Identifikasi Keluhan MSDs yang telah dilakukan terhadap

25 operator gas cutting plate di bagian Gas Cutting Plate PT. Gunawan Dianjaya

Steel Tbk, Surabaya. tahun 2015 didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Total 25 responden semua responden (100%) mengalami keluhan MSDs.

2. Area yang paling banyak dikeluhakan adalah area Leher bagian Atas, Bahu

Kanan, Punggung dan Pinggang

3. Dari Penjumlahan metode Nordic Body Map didapati sebagian besar

responden memiliki kategori risiko rendah.

4. Berdasarkan data karakteristik resPponden, didapat bahwa:

a. Berdasarkan usia, responden terbanyak berusia 41-50 tahun

b. Berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT), kelompok responden dengan

IMT normal (18,5-25).

c. Berdasarkan masa kerja, responden termasuk pada masa kerja yang lama

(>10 tahun).

d. Berdasarkan kebiasaan merokok, seagian besar responden memiliki

kebiasaan merokok.

82

Page 83: BAB I - VI - LMAI

83

6.2. Saran

6.2.1. Bagi Pekerja

a. Meskipun pada hasil identifikasi keluhan MSDs pada seagian besar

operator memiliki kategori risiko termasuk pada kategori rendah,

disarankan kerpada pekerja secara rutin melakukan peregangan otot

sebelum bekerja.

b. Pekerja sebaiknya melakukan istirahat atau peregangan disaat sudah mulai

merasakan stres pada otot tubuh.

c. Melihat dari hasil penelitian sebagian besar pekerja memiliki kebiasaan

merokok disarankan pada pekerja untuk mengurangi kebiasaan merokok

karena kebiasaan merokok menjadi salah satu faktor terjadinya gangguan

Muskuloskletal.

d. Jika pekerja mengalami keluhan MSDs dianjurkan untuk langsung

memeriksakan diri ke dokter agar mendapat pengobatan medis.

6.2.2. Bagi Perusahaan

a. Melihat besarnya dampak dari faktor pekerjaan, sebaiknya perusahaan

melakukan intervesi ergonomi dengan cara mendesain kursi kerja yang

mempunyai sandaran kursi atau menggunakan back support guna

meminimalisir keluhan MSDs.

83

Page 84: BAB I - VI - LMAI

84

b. Untuk menghindari terjadinya keluhan MSDs akibat dari risiko pekerjaan

dapat dilakukan dengan menghimbau pekerja untuk melakukan istirahat

disaat pekerja sudah mulai merasakan stres pada otot tubuh.

c. Perusahaan dapat melakukan rotasi pekerjaan untuk menghindari stres

pada otot tubuh.

d. Secara administratif dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan atau

training pada pekerja mengenai resiko pekerjaan dan tata cara bekerja

yang sesuai dengan prinsip ergonomi serta pihak perusahaan dapat

membuat SOP yang dapat digunakan oleh pekerja untuk menciptakan

sistem kerja yang aman, nyaman, dan tetap sehat bagi pekerja saat bekerja.

e. Perusahaan dapat menyelenggarakan pelatihan yang bertujuan untuk

mengurangi kebiasaan merokok pada pekerja, potensi bahaya postur

janggal ketika bekerja, motivasi untuk melakukan sikap kerja yang

ergonomis ketika bekerja, dan pentingnya waktu istirahat atau peregangan

(relaksasi) ketika bekerja ataupun setelah bekerja

f. Untuk mencegah keluhan MSDs yang diakibatkan kurangnya kebiasaan

olahraga, perusahaan harus mewajibkan pekerjanya untuk melakukan

senam sebelum bekerja dan memberikan sanksi bagi pekerja yang tidak

mengikuti senam pagi yang diselenggarakan oleh perusahaan.

g. Melakukan pemeriksaan medis terkait keadaan otot dan tulang pekerja

(keluhan MSDs).

84