bab i-vi

83
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan alamnya. Kekayaan tersebut antara lain tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Dari hasil inventarisasi, tercatat lebih kurang 30.000 jenis tanaman hidup di Indonesia dan lebih dari 10.000 jenis tanaman sudah di manfaatkan oleh masyarakat untuk penyembuhan, pencegahan penyakit, peningkatan daya tahan tubuh serta pengembalian kesegaran tubuh (Mursito, 2003). Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature) dengan memanfaatkan obat-obat alam. Banyak masyarakat yang meningkatkan derajat kesehatan dengan mengkonsumsi produk dari bahan alami. Hal ini yang mendorong masyarakat memilih tumbuhan obat karena relatif lebih aman dibandingkan obat-obat kimia (Hariana, 2007). Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik didalam negeri maupun diluar negeri berkembang pesat. Penelitian yang berkembang terutama pada segi farmakologi maupun fitokimia, berdasarkan indikasi tumbuhan obat yang telah digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara empiris. Hasil penelitian tersebut 1

Upload: elvinapurple

Post on 12-Jul-2016

40 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

fitokim

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-VI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan alamnya. Kekayaan

tersebut antara lain tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Dari hasil inventarisasi,

tercatat lebih kurang 30.000 jenis tanaman hidup di Indonesia dan lebih dari 10.000

jenis tanaman sudah di manfaatkan oleh masyarakat untuk penyembuhan, pencegahan

penyakit, peningkatan daya tahan tubuh serta pengembalian kesegaran tubuh

(Mursito, 2003).

Masyarakat semakin sadar akan pentingnya kembali ke alam (back to nature)

dengan memanfaatkan obat-obat alam. Banyak masyarakat yang meningkatkan

derajat kesehatan dengan mengkonsumsi produk dari bahan alami. Hal ini yang

mendorong masyarakat memilih tumbuhan obat karena relatif lebih aman

dibandingkan obat-obat kimia (Hariana, 2007).

Penelitian dan pengembangan tumbuhan obat baik didalam negeri maupun

diluar negeri berkembang pesat. Penelitian yang berkembang terutama pada segi

farmakologi maupun fitokimia, berdasarkan indikasi tumbuhan obat yang telah

digunakan oleh sebagian masyarakat dengan khasiat yang teruji secara empiris. Hasil

penelitian tersebut tentunya lebih memantapkan para pengguna tumbuhan obat akan

khasiat maupun kegunaannya (Dalimartha, 2003).

Flavonoida merupakan salah satu golongan fenol di alam yang terbesar.

Menurut perkiraan, kira-kira 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh

tumbuhan diubah menjadi flavonoida atau senyawa yang berkaitan erat dengannya.

(Markham, 1988). Flavonoida adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua

inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. (Sastrohamidjojo, 1996).

Flavonoida yang terdapat di dalam tumbuhan dapat digunakan sebagai pelindung

tubuh manusia dari radikal bebas dan dapat mengurangi resiko penyakit kanker dan

peradangan. (Nessa, 2003). Salah satu contoh flavonoida adalah antosianin yang

berperan dalam pewarnaan bunga-bunga (biru, ungu dan merah). (Manitto, 1992)

1

Page 2: BAB I-VI

Khusus daun Jambu Biji (Psidium guajava) penelitian yang pernah dilakukan

berkisar pada khasiatnya sebagai antidiare. Disamping itu, jambu biji mempunyai

khasiat sebagai anti inflamasi, anti mutagenik, anti mikroba dan analgesik. Beberepa

senyawa kimia yang terkandung dalam jambu biji antara lain, polifenol, karoten,

flavonoid dan tannin.

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang

berjudul ”Isolasi Senyawa Flavonoid Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L)”.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukan maka identifikasi

masalah adalah:

1. Bagaimanakah cara isolasi senyawa flavonoid dari daun Jambu Biji (Psidium

guajava)?

2. Apa jenis flavonoid yang ditemukan dalam isolasi senyawa flavonoid dari

daun Jambu Biji (Psidium guajava)?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini :

1. Untuk mengetahui cara isolasi senyawa flavonoid dari daun Jambu

Biji (Psidium guajava)

3. Untuk mengetahui jenis flavonoid yang ditemukan dalam isolasi senyawa

flavonoid dari daun Jambu Biji (Psidium guajava)

1.4. Manfaat Penelitian

Memberikan informasi ilmiah mengenai isolasi senyawa flavonoid yang

terkandung pada daun Jambu Biji (Psidium guajava).

2

Page 3: BAB I-VI

1.5. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Oktober 2015 sampai Desember 2015 di

Laboratorium Bahan Alam dan Laboratorium Instrument Sekolah Tinggi Farmasi

Indonesia, Jln. Soekarno Hatta No. 354 Bandung.

3

Page 4: BAB I-VI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Jambu Biji (Psidium guajava L)

2.1.1.Taksonomi Jambu Biji

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Myrtales

Familia : Myrtaceae

Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L. (Arief ,2010).

2.1.2.Morfologi Jambu Biji

Jambu Biji (Psidium guajava) banyak tersebar di Asia Tenggara termasuk

Indonesia, sampai Asia Selatan, India dan Srilangka. Jambu biji termasuk

tanaman perdu dan memiliki banyak cabang dan ranting; batang pohonnya

keras. Permukaan kulit luar pohon jambu biji berwarna coklat dan licin.

Apabila kulit kayu jambu biji tersebut dikelupas, akan terlihat permukaan

batang kayunya basah. Bentuk daunnya umumnya bercorak bulat telur dengan

ukuran yang agak besar. Bunganya kecil-kecil berwarna putih dan muncul dari

4

Page 5: BAB I-VI

balik ketiak daun. Tanaman ini dapat tumbuh subur di daerah dataran rendah

sampai pada ketinggian 1200 meter diatas permukaan laut. Pada umur 2-3 tahun

jambu biji sudah mulai berbuah. Bijinya banyak dan terdapat pada daging

buahnya.

Jambu biji ini akrab juga dengan nama Psidium guajava

(Inggris/Belanda), Jambu klutuk, Bayawas, tetokal, Tokal (Jawa); Jambu

klutuk, Jambu Batu (Sunda), Jambu bender (Madura).

2.1.3.Kandungan Kimia

Buah, daun, dan kulit batang pohon jambu biji mengandung tanin, sedang

pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun jambu biji juga

mengandung zat lain kecuali tannin, seperti minyak atsiri, asam ursolat, asam

psidiolat, asam kratogolat, asam oleanolat, asam guajaverin dan vitamin.

Kandungan buah jambu biji (dalam 100 gr), yaitu Kalori 49 kal; Vitamin A 25

SI; Vitamin B1 0,02 mg; Vitamin C 87 mg; Kalsium 14 mg; Hidrat Arang 12,2

gram; Fosfor 28 mg; Besi 1,1 mg; Protein 0,9 mg; Lemak 0,3 gram; dan Air 86

gram.

Daun jambu biji mengandung total minyak 6% dan minyak atsiri 0,365%

[Burkill, 1997], 3,15% resin, 8,5% tannin, dan lain-lain. Komposisi utama

minyak atsiri yaitu ±-pinene, ²-pinene limonene, menthol, terpenyl acetate,

isopropyl alcohol, longicyclene, caryophyllene, ²-bisabolene, caryophyllene

oxide, ²-copanene, farnesene, humulene, selinene, cardinene and curcumene

(Zakaria, 1994). Minyak atsiri dari daun jambu biji juga mengandung

nerolidiol,²-sitosterol, ursolic, crategolic, dan guayavolic acids. Selain itu juga

mengandung minyak atsiri yang kaya akan cineol dan empat triterpenic acids

sebaik ketiga jenis flavonoid yaitu; quercetin, 3-L-4-4- arabinofuranoside

(avicularin) dan 3-L-4-pyranoside dengan aktivitas anti bakteri yang tinggi

(Oliver-Bever, 1986).

2.1.4.Manfaat Jambu Biji

Pada jambu biji mengandung tannin, yang menimbulkan rasa sepat pada

buah yang berfungsi untuk memperlancar sistem pencernaan, sirkulasi darah,

5

Page 6: BAB I-VI

dan berguna untuk menyerang virus. Jambu biji juga mengandung kalium yang

berfungsi meningkatkan keteraturan denyut jantung, mengaktifkan kontraksi

otot, mengatur pengiriman zat-zat gizi lainnya ke sel-sel tubuh, mengendalikan

keseimbangan cairan pada jaringan dan sel tubuh  serta menurunkan kadar

kolesterol total dan trigliserida darah, serta menurunkan tekanan darah tinggi

(hipertensi). Menurut Dr. James Cerda  dengan memakan jambu biji 0,5 – 1

kg /hari selama 4 minggu resiko terkena penyakit jantung dapat berkurang

sebesar 16 %.

Dalam jambu biji juga ditemukan likopen yaitu zat nirgizi potensial lain

selain serat. Likopen adalah karatenoid (pigmen penting dalam tanaman) yang

terdapat dalam darah (0,5 mol per liter darah) serta memiliki aktivitas

antioksidan. Riset-riset epidemologis likopen pada studi yang dilakukan peneliti

Itali, mencakup 2.706 kasus kanker rongga mulut, tekek, kerongkongan,

lambung, usus besar dan dubur, jika mengkonsumsi likopen yang meningkat,

khususnya pada jambu biji yang daging buahnya berwarna merah, berbiji

banyak dan berasa manis mempunyai efek memberikan perlindungan pada

tubuh dari beberapa jenis kanker.

Disamping manfaat jambu biji untuk menjaga kesehatan jantung dan

pembuluh darah serta mencegah munculnya kanker, memperkuat daya tahan

tubuh terhadap serangan penyakit, meningkatkan kesehatan gusi, gigi dan

pembuluh kapiler serta membantu penyerapan zat besi dan penyembuhan luka.

Jambu biji juga berkhasiat anti radang, anti diare dan menghentikan

pendarahan, misalnya pada penderita demam berdarah dengue (DHF).

Khusus daun jambu biji, penelitian yang pernah dilakukan umumnya

khasiatnya sebagai antidiare. Di samping itu, jambu biji mempunyai khasiat

sebagai anti-inflamasi, antimutagenik, antimikroba dan analgesik. Beberapa

senyawa kimia yang terkandung dalam jambu biji antara lain polifenol, karoten,

flavonoid dan tannin

6

Page 7: BAB I-VI

2.2. Senyawa Flavonoid

Senyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol yang

mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan

menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-senyawa

flavonoid adalah senyawa 1,3 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa

neoflavonoid adalah 1,1 diaril propana.

Istilah flavonoid diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal

dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu jembatan

oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil

yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi

yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang

mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai

struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini. (Manitto, 1981).

Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk

daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan flavonoid ini

berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga flavonoid yang

terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah.

Dalam sayap kupu - kupu dengan anggapan bahwa flavonoid berasal dari tumbuh-

tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam

tubuh mereka. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan yang tersebar

yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita. (Markham, 1988).

2.1.1.Struktur dasar senyawa flavonoid

Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas

dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar

flavonoid dapat digambarkan sebagai berikut :

Kerangka dasar senyawa flavonoid. Cincin A adalah karakteristik

phloroglusinol atau bentuk resorsinol tersubstitusi.

7

Page 8: BAB I-VI

Namun sering terhidroksilasi lebih lanjut :

Cincin B adalah karakteristik 4-, 3,4-, 3,4,5- terhidroksilasi

R = R’ = H, R’ = OH R = H, R’ = R” = OH R = R’ = R” = OH (juga, R = R’ =

R” = H) (Sastrohamidjojo, 1996)

2.1.2.Klasifikasi Senyawa Flavonoid

Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga

menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan

spektrum sinar tampak, umumnya dalam tumbuhan terikat pada gula yang

disebut dengan glikosida.(Harborne, 1996)

Pada flavonoida O-glikosida, satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih)

terikat pada satu gula (lebih) dengan ikatan yang tahan asam. Glukosa

merupakan gula yang paling umum terlibat dan gula lain yang sering juga

terdapat adalah galaktosa, ramnosa, silosa, arabinosa, dan rutinosa. Waktu yang

diperlukan untuk memutuskan suatu gula dari suatu flavonoid O-glukosida

dengan hidrolisis asam ditentukan oleh sifat gula tersebut.

Pada flavonoid C-glikosida, gula terikat pada atom karbon flavonoid dan

dalam hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu

ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Gula yang terikat pada atom C hanya

ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid, misalnya pada

orientin. (Markham, 1988)

8

Page 9: BAB I-VI

Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan

keragaman pada rantai C3 yaitu :

a. Flavonol

Flavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-

glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan

mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Flavonol

lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur

sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi

oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga penggunaan basa pada

pengerjaannya masih dapat dilakukan.

Struktur flavonol

b. Flavon

Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak

terdapat gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya,

gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga

sebagai glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada flavonol.

Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan luteolin.

Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di Eropa. Jenis

yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga flavon yang

terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya luteolin 8-C-

glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok

senyawa flavonoid.

Struktur flavon

9

Page 10: BAB I-VI

c. Isoflavon

Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit

dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam

tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon

sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna

manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna

biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi

kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar

dengan ammonia berubah menjadi coklat.

Struktur Isoflavon

d. Flavanon

Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam

kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama

dari tanaman genus prenus dan buah jeruk; dua glikosida yang paling

lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan

jeruk.

Struktur Flavanon

e. Flavanonol

Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat

sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoid lain. Sebagian besar

senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.

Struktur Flavanonol

10

Page 11: BAB I-VI

f. Katekin

Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada

tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar

dari ekstrak kental Uncaria gambir dan daun teh kering yang mengandung

kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.

Struktur Katekin

g. Leukoantosianidin

Leukoantosianidin merupakan senyawa warna, terutama terdapat

pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida,

contohnya melaksidin, apiferol.

Struktur Leukoantosianidin

h. Antosianin

Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling

tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut

dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah

marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan

tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur

aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen

sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau

dengan metilasi atau glikosilasi.

Struktur Antosianin

11

Page 12: BAB I-VI

i. Khalkon

Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat

dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat

dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk

glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam

pengembang air. (Harborne, 1996)

Struktur Khalkon

j. Auron

Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga

tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros

dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar

ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi

uap amonia. (Robinson, 1995)

Struktur Auron

2.1.3.Metoda isolasi senyawa flavonoid

a. Metoda Isolasi Senyawa Flavonoid oleh Chowdhurry

Pada metoda ini, daun tumbuhan dikeringkan terlebih dahulu

sebanyak 100 gram. Lalu diekstraksi dengan Petroleum Eter (60-80 oC)

dalam alat soklet selama 10 jam.

Selanjutnya diekstraksi dengan Benzena selama 10 jam. Ekstrak

Benzena diuapkan pelarutnya, menghasilkan semi padat berwarna coklat.

Lalu dilarutkan dalam Eter dan dipisahkan dalam suasana asam, basa dan

netral. Fraksi pertama (ada empat macam) masing-masing 50 ml dielusi

dengan Benzena memberikan residu padat dengan titik lebur 151-152 oC.

12

Page 13: BAB I-VI

Kristalisasi dengan Metanol menghasilkan senyawa flavonoid (I),

kristal tidak berwarna dengan titik lebur 156 oC. Penelitian ini juga

dilakukan oleh Prof. Dreyer, L., D., dengan melakukan pengukuran titik

lebur, kromatografi lapis tipis dengan Spektrum Infra Merah. Dari fraksi

lima sampai delapan masing-masing dilarutkan dengan Benzena lalu

menghasilkan zat padat berwarna kuning terang dengan titik lebur 191-

193 oC. Kristalisasi dilakukan dengan Metanol menghasilkan Hibiscetin

Hepta Metil Eter, titik lebur 196-197 oC, kristal berwarna kuning

sebanyak 50 gram. (Chowdhurry, 1971)

b. Metoda Isolasi Senyawa Flavonoid oleh Joshi

Daun tumbuhan yang telah dikeringkan diekstraksi dengan n-

heksana, lalu ekstrak n-heksana dikromatografi kolom dengan fasa diam

alumina, menghasilkan kristal dengan titik lebur 125-126 oC sebanyak

0,1%. Diidentifikasi, ekotin C23H26O10. (Joshi, 1969)

c. Metoda Isolasi Senyawa Flavonoid oleh Dreyer, L.D

Dalam metoda ini, daun diekstraksi dengan Aseton, kemudian

pelarut dievaporasi dan diperoleh ekstrak pekat. Ektrak pekat yang

diperoleh dikromatografi kolom dengan menggunakan alumina sebagai

fasa diam dan Benzena sebagai fasa gerak hingga dihasilkan residu. Lalu

direkristalisasi dengan campuran Etil asetat : n-heksana dan dilanjutkan

dengan Metanol. Diperoleh kristal kuning terang, diidentifikasi sebagai

3,3`,4`,5,5`,6,7-hepta metoksi flavon dengan titik lebur 156-157oC.

(Dreyer, 1968)

13

Page 14: BAB I-VI

d. Metoda Isolasi Senyawa Flavonoid oleh Harborne

Dalam metoda ini, daun yang segar dimaserasi dengan MeOH, lalu

disaring. Ekstrak MeOH dipekatkan dengan rotari evaporator. Lalu

ekstrak pekat yang dihasilkan, diasamkan dengan H2SO4 2M, didiamkan,

lalu diesktraksi dengan Kloroform. Lapisan Kloroform diambil, lalu

diuapkan, sehingga dihasilkan ekstrak polar pertengahan (Terpenoida atau

senyawa Fenol). (Harborne, 1996)

2.1.4.Sifat kelarutan flavonoid

Aglikon flavonoida adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat

kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa.

Tetapi harus diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa, dan disamping itu

terdapat oksigen, banyak yang akan terurai. Karena mempunyai sejumlah gugus

hidroksil, atau suatu gula,flavonoida merupakan senyawa polar, maka

umumnya flavonoid cukup larut dalam pelarut polar seperti Etanol (EtOH),

Metanol (MeOH), Butanol (BuOH), Aseton, Dimetilsulfoksida (DMSO),

Dimetilformamida (DMF), Air dan lain-lain.

Adanya gula yang terikat pada flavonoid (bentuk yang umum ditemukan)

cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air dan dengan

demikian campuran pelarut yang disebut diatas dengan air merupakan pelarut

yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti

isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung

lebih mudah larut dalam pelarut seperti Eter dan Kloroform.

2.3. Teknik Pemisahan

Tujuan dari teknik pemisahan adalah untuk memisahkan komponen yang akan

ditentukan berada dalam keadaan murni, tidak tercampur dengan komponen-

14

Page 15: BAB I-VI

komponen lainnya. Ada 2 jenis teknik pemisahan yaitu pemisahan kimia dan

pemisihan fisika.

Pemisahan kimia adalah suatu teknik pemisahan yang berdasarkan adanya

perbedaan yang besar dari sifat-sifat fisika komponen dalam campuran yang akan

dipisahkan.

Pemisahan fisika adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada

perbedaan-perbedaan kecil dari sifat-sifat fisik antara senyawa-senyawa yang

termasuk dalam suatu golongan. (Muldja, 1995)

2.3.1.Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia

dengan menggunakan pelarut tertentu. Disamping itu ekstraksi merupakan

proses penarikan senyawa kimia dari suatu bahan dengan menggunakan metode

yang sesuai. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut

polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Agoes, 2007).

Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari

bahan obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan

kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati

sempurna (Ansel, 1989).

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut menurut Ditjen

POM (2000) yaitu:

1. Cara dingin

Merupakan metode yang tidak mengalami proses pemanasan selama

proses ekstraksi.

a. Maserasi

Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan

pada temperatur kamar. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi

adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana.

Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariaannya

kurang sempurna. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan

15

Page 16: BAB I-VI

pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk

simplisia.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut selalu baru, umumnya

dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan

pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan atau penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh

ekstrak cair yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2. Cara panas

Merupakan metode yang melibatkan proses pemanasan selama proses

ekstraksi.

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif

konstan dengan adanya pendinginan balik. Umumnya dilakukan

pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali.

b. Ekstraksi sinambung dengan alat Soxhlet

Ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya

dilakukan dengan menggunakan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi

sinambung dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya

pendinginan balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-500C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas

air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur

terukur 96-980C) selama 15-20 menit.

16

Page 17: BAB I-VI

e. Dekok

Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama ≥300C dan

temperatur sampai titik didih air.

2.3.2.Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur

yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fasa, satu dari fasa-fasa ini

membentuk lapisan stasioner dengan luas permukaan yang besar dan yang

lainnya merupakan cairan yang merembes lewat.

Fasa stasioner mungkin suatu zat padat atau suatu cairan dan fasa yang

bergerak mungkin suatu cairan atau suatu gas. (Underwood, 1981). Cara-cara

kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat – sifat dari fasa diam, yang

dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa diam berupa zat padat disebut

kromatografi serapan, jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi.

Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa

senyawa – senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fasa gerak dan fasa

diam dalam perbandingan yang sangat berbeda – beda dari satu senyawa

terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1991).

a. Kromatografi lapis tipis

Kromatografi Lapis Tipis pada plat berlapis yang berukuran lebih

besar, biasanya 5x20 cm, 10x20 cm, atau 20x20 cm. Biasanya

memerlukan waktu pengembangan 30 menit sampai satu jam. Pada

hakikatnya KLT melibatkan dua fase yaitu fase diam atau sifat lapisan,

dan fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat

berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap atau

penyangga untuk lapisan zat cair. Fase gerak dapat berupa hampir segala

macam pelarut atau campuran pelarut. (Sudjadi, 1986).

Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti

senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan

dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal.

Jumlah cuplikan beberapa mikrogram atau sebanyak 5 g dapat ditangani.

17

Page 18: BAB I-VI

Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah pelarut dan jumlah

cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah

satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan menggunakan

plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut tertentu.

(Gritter,1991).

Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian senyawa

flavonoid ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat

sedikit. Menurut Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna

untuk tujuan berikut:

Mencari pelarut untuk kromatografi kolom

Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom

Identifikasi flavonoid secara ko-kromatografi.

Isolasi flavonoid murni skala kecil

Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan

penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi

kertas. (Markham, 1988).

b. Kromatografi kolom

Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan

metode kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih

dari 1 g). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan

diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada

dalam tabung kaca, tabung logam, dan tabung plastik. Pelarut atau fasa

gerak dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan

oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa larut

bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah, dan

dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom (Gritter, 1991).

Dengan menggunakan cara ini, skala isolasi flavonoida dapat

ditingkatkan hampir ke skala industri. Pada dasarnya, cara ini meliputi

penempatan campuran flavonoida (berupa larutan) diatas kolom yang

berisi serbuk penyerap (seperti selulose, silika atau poliamida),

18

Page 19: BAB I-VI

dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen memakai pelarut

yang cocok. Kolom hanya berupa tabung kaca yang dilengkapi dengan

keran pada salah satu ujung. (Markham, 1988).

2.3.3.Fraksinasi

Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa pada suatu

ekstrak dengan menggunakan pelarut yang saling tidak tercampur. Pelarut yang

umum dipakai adalah n-heksana, etil asetat, dan n-butanol (Harbone, 1987).

Metode fraksinasi yaitu:

a. Ekstraksi Cair-Cair (ECC)

Ekstraksi Cair-Cair (ECC) merupakan teknik pemisahan yang

sederhana dan umum. Pemisahan dilakukan menggunakan dua pelarut

yang tidak bercampur atau sangat sedikit tercampur. Ekstraksi cair-cair

dilakukan terhadap reaksi awal untuk menghilangkan lemak dari ekstrak

tersebut jika bagian tumbuhan yang diekstraksi belum dihilangkan

lemaknya pada ekstrak awal (Gritter, 1991). Pemisahan dilakukan

menggunakan dua pelarut yang tidak tercampur atau sangat sedikit

tercampur. Contoh senyawa dilarutkan dalam salah satu pelarut

(raffinate), kemudian dicampur dengan pelarut yang lain (extractant)

dalam corong pisah, pengocokan dilakukan dengan hati-hati untuk

meningkatkan kontak antara kedua pelarut. Biasanya salah satu

komponen tertinggal dalam pelarut raffinate dan komponen lainnya

tertarik ke dalam pelarut extractant.

b. Kromatografi Cair Vakum

Merupakan kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada

kondisi vakum, fase gerak digerakkan dengan kondisi vakum sehingga

prosesnya berlangsung cepat. Kolom kromatografi dikemas kering dalam

keadaan vakum agar diperoleh kerapatan maksimum. Alat yang

digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang

dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi.

19

Page 20: BAB I-VI

2.3.4.Teknik Spektroskopi

Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang

mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik.

Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan

spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada

bidang fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut

dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut

spektrofotometer (Muldja, 1955).

Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya

gugus fungsi dalam satu molekul dan Resonansi Magnetik Inti yang

memberikan informasi tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen dan

juga memberikan informasi yang menyatakan tentang lingkungan dari setiap

tipe dari atom hidrogen.

Kombinasinya dan data yang ada kadang – kadang menentukan struktur

yang lengkap dari molekul yang tidak diketahui. (Pavia, 1979).

a. Spektrometri ultra violet

Serapan molekul di dalam derah ultra ungu dan terlihat dari

spektrum bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul.

Penyerapan sejumlah energi, menghasilkan percepatan dari elektron

dalam orbital tingkat dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam

keadaan tereskitasi (Silverstein, 1986).

Ciri spektrum golongan flavonoid utama dapat ditunjukkan sebagai

berikut:

Tabel 1. Ciri spektrum golongan flavonoid utama

20

Page 21: BAB I-VI

Spektrum Flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan

pelarut Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH). Spektrum khas terdiri atas

dua maksimal pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I).

Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksima tersebut memberikan

informasi yang berharga mengenai sifat flavonoida dan pola

oksigenasinya. Ciri khas spektrum tersebut ialah kekuatan nisbi yang

rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol, dan isoflavon

serta kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin yang

terdapat pada panjang gelombang yang tinggi.

Tabel 2. Pita absorpsi UV dari flavonoid

21

Page 22: BAB I-VI

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini gelas ukur, gelas kimia, corong

saring, tabung reaksi, spatula, plat tetes, neraca analitik, batang pengaduk, pipet tetes,

cawan penguap, kapas, oven, tanur, kurs, mortir, stamper, kaca arloji, vial, kertas

saring, plat KLT, pipa kapiler, bejana kromatografi, kolom kromatografi dan vakum,

rotary evaporator, Spektrofotometer.

3.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan uji dan bahan kimia

3.2.1.Bahan Uji

Simplisia daun daun jambu biji (Psidium guajava). Simplisia dibuat

ekstrak etanol.

3.2.2.Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan etanol, etil asetat, n-heksan, aseton, eter,

kloroform, butanol, metanol, silika gel, NH3, FeCl3, KOH, sitro borat, HCl,

AlCl3, pereaksi Dragendroff, pereaksi Mayer, gelatin 1%, Magnesium, vanilin

sulfat, perekasi Liberman-Burcahard.

3.3. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah metode eksperimental laboratorium meliputi proses

persiapan bahan baku, skrining fitokimia awal, karakterisasi simplisia, ekstraksi

dengan metode maserasi, kromatografi lapis tipis, fraksinasi dengan metode

kromatografi cair vakum, kromatografi kolom, KLT preparatif dan spektroskopi.

3.3.1.Persiapan Bahan Baku

Simplisa daun Jambu Biji diserbukkan dengan cara digiling menggunakan

alat penggiling.

22

Page 23: BAB I-VI

3.3.2.Skrining Fitokimia

Skrining untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat

dalam daun Jambu Biji, maka dilakukan skrining fitokimia berdasarkan metode

pada Materia Medika Indonesia. Analisisnya meliputi pengujian alkaloida,

flavonoid, tanin, dan polifenol, monoterpen dan seskuiterpen, steroid dan

triterpenoid, kuinon, saponin. Penapisan fitokimia dilakukan terhadap serbuk

simplisia, Prosedur skrining fitokimia adalah:

a. Alkaloid

Sejumlah sampel dalam mortir, dibasakan dengan amonia sebanyak

1 ml, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat. Cairan

kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian

ditambahkan HCl 2N, campuran dikocok, lalu dibiarkan hingga terjadi

pemisahan. Dalam tabung reaksi:

Filtrat 1: Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Dragendorff diteteskan

kedalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan

terbentuknya endapan atau kekeruhan berwarna hingga

coklat.

Filtrat 2: Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Mayer di teteskan ke

dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan

terbentuknya endapan atau kekeruhan berwarna putih.

Filtrat 3: Sebagai blangko atau kontrol negatif (MMI V, 1989)

b. Flavonoid

Sejumlah sampel digerus dalam mortir dengan sedikit air,

pindahkan dalam tabung reaksi, tambahkan sedikit logam magnesium dan

5 tetes HCl 2N, seluruh campuran dipanaskan selama 5-10 menit. Setelah

disaring panas-panas dan filtrat dibiarkan dingin, kepada filtrat

ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat-kuat, reaksi positif dengan

terbentuknya warna merah pada lapisan amil alkohol (MMI V, 1989).

23

Page 24: BAB I-VI

c. Tanin dan Polifenol

Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan 100 ml air panas, didihkan

selama 5 menit kemudian saring. Filtrat sebanyak 5 ml dimasukkan ke

dalam tabung reaksi, ditambahkan pereaksi besi (III) klorida, timbul

warna hijau biru kehitaman, dan ditambahkan gelatin akan timbul

endapan putih, bila ada tanin (MMI V, 1989).

d. Monoterpen dan Sesquiterpen

Sampel digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan dalam

cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi larutan

vanilin sulfat atau anisaldehid sulfat. Terbentuknya warna-warni

menunjukkan adanya senyawa monoterpen dan sesquiterpen (MMI V,

1989).

e. Steroid dan Triterpenoid

Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan

dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi

Lieberman-Burchard. Terbentuknya warna ungu menunjukkan kandungan

triterpenoid sedangkan bila terbentuk warna hijau biru menunjukkan

adanya senyawa steroid (Farnsworth, 1996).

f. Kuinon

Sampel ditambahkan dengan air, didihkan selama 5 menit kemudian

disaring dengan kapas. Pada filtrat ditambahkan NaOH 1 N, Terjadinya

warna merah menunjukkan bahwa dalam uji mengandung senyawa

golongan kuinon (Farnsworth, 1966).

g. Saponin

Sampel ditambahkan dengan air, didihkan selama 5 menit kemudian

dikocok. Terbentuknya busa yang konsisten selama 5-10 menit ± 1 cm,

Menunjukkan bahwa bahan uji mengandung saponin (MMI V, 1989).

24

Page 25: BAB I-VI

3.3.3.Karakterisasi Simplisia

Karakterisasi simplisia dilakukan untuk mengetahui mutu dan kualitas

simplisia dengan membandingkan hasil yang didapatkan dengan data dari

literatur. Pengujian karakterisasi simplisia meliputi:

a. Penetapan kadar sari larut air

Serbuk simplisia dikeringkan diudara dimaserasi 5 gram serbuk

dengan 100 mL air, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali

selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam. Lalu disaring

dan diuapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang

telah ditara, dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Selanjutnya,

kadar dihitung dalam persen, sari yang larut dalam air terhadap bahan

yang telah dikeringkan di udara.

b. Penetapan kadar sari larut etanol

Serbuk simplisia dikeringkan di udara, dimaserasi 3 gram serbuk

dengan 100 mL etanol 95%, menggunakan labu bersumbat sambil

berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18

jam. Disaring cepat dan diuapkan 20 mL hingga kering dalam cawan

penguap yang telah ditara, lalu dipanaskan sisa dalam oven pada suhu

105oC hingga bobot tetap. Selanjutnya kadar dihitung dalam persen, sari

yang larut dalam etanol 95% terhadap bahan yang telah dikeringkan di

udara.

c. Penetapan kadar abu

Sebanyak 1 gram simplisia dimasukkan dalam masing-masing krus

silikat yang telah dipijarkan dan ditara. Kemudian keduanya dipijarkan

pada suhu 600oC dalam tanur hingga arang habis, didinginkan lalu

ditimbang. Jika cara ini jarang tidak dapat dihilangkan ditambahkan air

panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Dipijarkan sisa dalam

kertas dan kertas saring pada krus yang sama. Dimasukkan filtrat ke

dalam krus, lalu diuapkan dan dipijarkan hingga bobot tetap lalu

ditimbang.

25

Page 26: BAB I-VI

3.3.4.Pembuatan Ekstrak Daun Jambu Biji

Pembuatan ekstrak etanol daun jambu biji dilakukan dengan cara

ekstraksi dingin yaitu maserasi. Simplisia daun jambu biji sebanyak 500g

direndam menggunakan etanol 96%, disimpan dalam wadah tertutup rapat

terlindung dari cahaya. Selama proses maserasi, rendaman simplisia diaduk

sesekali yang bertujuan untuk menghomogenkan pelarut, kemudian didiamkan

selama 24 jam untuk menarik zat aktif yang ada dalam simplisia. Setelah itu

filtrat disaring dengan kertas saring dan maserat dimaserasi kembali, kemudian

didiamkan selama 24 jam untuk hasil penarikan yang optimal, setelah itu

disaring kembali menggunakan kertas saring. Proses tersebut diremaserasi

hingga 8 kali. Tahapan selanjutnya adalah proses pengentalan eksrak dengan

menggunakan alat rotary evaporatory pada suhu 700C agar didapatkan ekstrak

kental.

3.3.5.Analisis KLT Dari Ekstak Daun Jambu Biji

Analisis kromatografi Lapis Tipis dilakukan terhadap ekstrak etanol

dengan menggunakan fasa diam silika gel. Fasa gerak yang digunakan adalah

campuran pelarut 1:1 v/v dari n-heksan : kloroform, n-heksan : eter, n-heksan :

etil asetat, n-heksan : aseton, n-heksan : butanol, n-heksan : etanol dan n-heksan

: metanol. Dimasukkan larutan fase gerak dalam berbagai perbandingan

tersebut kedalam bejana kromatografi, kemudian dijenuhkan. Ditotolkan

ekstrak pekat etanol pada plat KLT. Dimasukkan plat ke dalam bejana yang

telah berisi pelarut yang telah dijenuhkan, lalu ditutup dan dielusi. Plat yang

telah dielusi dikeluarkan dari bejana, lalu dikeringkan. Diamati warna bercak

yang timbul dibawah sinar Ultra Violet. Hasil analisis KLT dengan pemisahan

yang baik selanjutnya dilakukan percobaan KLT kembali dengan perbandingan

eluen 7:3 v/v dan 3:7 v/v.

3.3.6.Fraksinasi Ekstrak Daun Jambu Biji

Dilakukan proses fraksinasi dengan metode Kromatografi Cair Vakum

(KCV) dengan membuat serbuk dari 5 g ekstrak pekat ditambah dengan 2 g

silika. Serbuk tersebut dimasukkan kedalam kolom KCV dan dielusi secara

26

Page 27: BAB I-VI

terus menerus dengan n-heksan sampai terbentuk kolom yang kompak dan

padat. Kemudian kolom yang berisi serbuk ekstrak dielusi dengan pelarut n-

heksan : etil asetat dengan 11 perbandingan (100:0, 90:10, 80:20, 70:30, 60:40,

50:50, 40:60, 30:70, 20:80, 0:100) v/v

3.3.7.Analisis KLT Hasil Fraksinasi KCV

Analisis KLT ini dilakukan terhadap 11 fraksi hasil fraksinasi metode

KCV, eluen yang digunakan yaitu n-heksan : etil asetat (7:3 dan 3:7). Fraksi-

fraksi ditotolkan kedalam plat KLT dan dimasukkan kedalam chamber berisi

eluen yang telah dijenuhkan. Setelah dielusi, angkat dan keringkan. Kemudian

amati warna bercak pada sinar UV λ 366 dan 254. Untuk dapat melihat spot

yang terbentuk agar lebih jelas, plat diuapi dengan amoniak selama 15-30

menit, dilakukan pula penyemprotan plat dengan pereaksi FeCl3, KOH dan sitro

borat. Dari hasil spot dapat ditentukan jenis flavonoid. Hasil analisis KLT

dengan pemisahan yang baik selanjutnya dilakukan percobaan Kromatografi

Kolom.

3.3.8.Analisis Kromatografi Kolom

Hasil fraksi dengan pemisahan terbaik pada KLT sebelumnya dibuat

serbuk sampel dengan penambahan silika sama banyak. Pembuatan bubur

kromatografi kolom dilakukan dengan cara kering. Dimasukkan n-heksan

kedalam kolom kemudian sebanyak 5 g silika dimasukkan secara hati-hati

kedalam kolom, kolom dielusi secara terus-menerus hingga menjadi padat.

Sampel yang telah diserbukkan tadi dimasukkan kedalam kolom dan diratakan,

kemudian dielusi dengan 16 perbandingan eluen, eluen yang digunakan adalah

n-heksan : etil asetat (10:0, 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5, 4:6, 3:7, 2:8, 1:9 dan 0:10)

v/v dan etil asetat : metanol (8:2, 6:4, 4:6, 2:8 dan 0:10) v/v. Hasil fraksi

kromatografi kolom ditampung masing-masing 5 ml dalam vial.

3.3.9.Analisis KLT Hasil Fraksinasi Kromatografi Kolom

Analisis KLT ini dilakukan terhadap 16 fraksi hasil fraksinasi metode

kromatorafi kolom, eluen yang digunakan yaitu n-heksan : etil asetat (7:3, 3:7,

6:4 dan 4:6) v/v. Fraksi-fraksi ditotolkan kedalam plat KLT dan dimasukkan

27

Page 28: BAB I-VI

kedalam chamber berisi eluen yang telah dijenuhkan. Setelah dielusi, angkat

dan keringkan. Kemudian amati warna bercak pada sinar UV λ 366 dan 254.

Untuk dapat melihat spot yang terbentuk agar lebih jelas, plat diuapi dengan

amoniak selama 15-30 menit. Hasil analisis KLT dengan pemisahan yang baik

selanjutnya dilakukan percobaan KLT Preparatif.

3.3.10. Analisis KLT Preparatif

Hasil fraksi dengan pemisahan terbaik pada KLT sebelumnya dilakukan

KLT preparatif. Digunakan fasa diam silika gel dan fasa gerak (pemisahan

pemisahan terbaik pada KLT sebelumnya). Dimasukkan larutan fasa gerak ke

dalam bejana kromatografi, lalu dijenuhkan. Ditotolkan fraksi pada plat KLT,

Setelah pelarut fasa gerak sampai batas tanda, plat KLT dikeluarkan dari

bejana. Plat KLT diamati dibawah sinar UV, spot yang terbentuk ditandai

dengan pensil untuk kemudian dikerok. Hasil kerokan ditampung dalam vial

dan dilarutkan dengan metanol, bagian yang beningnya diambil untuk

dilakukan analisis menggunakan Spektrofotometri.

3.3.11. Analisis Spektrofotometri UV/Vis

Dilakukan analisis sampel yang diduga mengandung flavonoid, larutan

blanko yang digunakan yaitu metanol. Kemudian amati pita serapan panjang

gelombangnya. Analisis flavonoid dilakukan dengan bantuan pereaksi geser

seperti HCl dan AlCl3 untuk melihat lebih jelas meliahat spektrum serapan

flavoniod yang dicari.

28

Page 29: BAB I-VI

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Persiapan Bahan Baku

Bahan baku simplisia daun jambu biji dihaluskan dengan alat penggiling,

dipisahkan sebanyak 500 g untuk dimaserasi.

4.2. Skrining Fitokimia

Tabel Hasil Skrining Fitokimia Simplisia Daun Jambu Biji

Golongan Senyawa Simplisia Ekstrak Etanol

Alkaloid + +

Fenol + +

Tanin + +

Flavonoid + +

Monoterpen - -

Sesquiterpen + +

Steroid + +

Triterpenoid - -

Quinon + +

Saponin - -

Keterangan:

+ : Menunjukkan senyawa terdeteksi

- : Menunjukkan senyawa tidak terdeteksi

4.3. Karakterisasi Simplisia

Tabel Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Jambu Biji

Jenis Penetapan Hasil Pengamatan (%)

Kadar abu 29,7

Kadar sari larut air 18

Kadar sari larut etanol 19

4.4. Pembuatan Ekstrak Daun Jambu Biji

29

Page 30: BAB I-VI

Daftar Rendemen Ekstrak Daun Jambu Biji

Berat simplisia (g) Berat Ekstrak (g) Rendemen (%)

500

4.5. Analisis KLT Dari Ekstak Daun Jambu Biji

Tabel Daftar Eluen

Eluen Perbandingan

Kloroform : N-heksan 1:1

Eter : N-heksan 1:1

Etil asetat : N-heksan 1:1

Aseton : N-heksan 1:1

Butanol : N-heksan 1:1

Etanol : N-heksan 1:1

Metanol : N-heksan 1:1

Gambar KLT Dibawah Sinar UV 366 nm

30

Page 31: BAB I-VI

Gambar KLT Dibawah Sinar UV 254 nm

hasil terbaik pada etil asetan dan aseton

Dari hasil KLT diatas, pemisahan terbaik didapat dari perbandingan eluen

etil asetat: n-heksan dan aseton : n-heksan

Tabel Daftar Eluen

Eluen Perbandingan

Etil asetat : n-heksan 7:3

Etil asetat : n-heksan 3:7

Aseton : n-heksan 7:3

Aseton : n-heksan 3:7

Gambar KLT Dibawah Sinar UV 366 nm

31

Page 32: BAB I-VI

Gambar KLT Dibawah Sinar UV 257 nm

4.6. Fraksinasi Ekstrak Daun Jambu Biji Metoda KCV

Tabel Daftar Eluen n-heksan : etil asetat

N-heksan Etil Asetat

100 0

90 10

80 20

70 30

60 40

50 50

40 60

30 70

20 80

10 90

0 100

32

Page 33: BAB I-VI

4.7. Analisis KLT Hasil Fraksinasi KCV

Eluen n-heksan : etil asetat (7:3)

Gambar Sebelum diuapi NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm Dibawah Sinar UV 257 nm

Gambar Setelah diuapi NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm Dibawah Sinar UV 257 nm

Eluen n-heksan : etil asetat (3:7)

33

Page 34: BAB I-VI

Gambar Sebelum diuapi NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm Dibawah Sinar UV 257 nm

Gambar Sesudah diuapi NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm Dibawah Sinar UV 257 nm

Hasil Perekasi Semprot FeCl3 Yang Dibandingkan Dengan NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm

34

Page 35: BAB I-VI

Dibawah Sinar UV 254 nm

Hasil Perekasi Semprot KOH Yang Dibandingkan Dengan NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm

Dibawah Sinar UV 254 nm

Hasil Perekasi Semprot Sitro Borat Yang Dibandingkan Dengan NH3

Dibawah Sinar UV 366 nm

35

Page 36: BAB I-VI

Dibawah Sinar UV 254 nm

Dari hasil KLT diatas, pemisahan terbaik didapat dari fraksi perbandingan

eluen n-heksan : etil asetat (90:10)

4.8. Analisis Kromatografi Kolom

Tabel Daftar Eluen n-heksan : etil asetat

N-heksan Etil Asetat

10 0

9 1

8 2

7 3

6 4

5 5

4 6

3 7

2 8

1 9

0 10

36

Page 37: BAB I-VI

Tabel Daftar Eluen etil asetat : metanol

Etil Asetat Metanol

8 2

6 4

4 6

2 8

0 10

Tabel Daftar Berat Vial dan Berat Fraksi Setelah Diuapkan

No

Vial

Berat Vial Kosong

(g)

Berat Vial Berisi Fraksi

Setelah Diuapkan (g)

Berat Fraksi

(g)

1 12,29 12,29 0

2 11,96 11,99 0,03

3 12,18 12,21 0,03

4 11,95 11,98 0,03

5 12,26 12,36 0,1

6 12,40 12,42 0,02

7 10,24 10,26 0,02

8 9,82 9,83 0,01

9 12,51 12,54 0,03

10 11,80 11,88 0,08

11 9,75 9,78 0,03

12 12,23 12,26 0,03

13 12,12 12,16 0,04

14 11,54 11,58 0,04

15 12,22 12,24 0,02

16 12,22 12,26 0,04

4.9. Analisis KLT Hasil Fraksinasi Kromatografi Kolom

37

Page 38: BAB I-VI

Eluen n-heksan : etil asetat (3:7)

Dibawah Sinar UV 366 nm Dibawah Sinar UV 257 nm

Eluen n-heksan : etil asetat (7:3)

Dibawah Sinar UV 366 nm Dibawah Sinar UV 257 nm

Eluen n-heksan : etil asetat (4:6)

38

Page 39: BAB I-VI

Dibawah Sinar UV 366 nm

Eluen n-heksan : etil asetat (4:6)

Dibawah Sinar UV 366 nm

Dari hasil KLT diatas, pemisahan terbaik didapat dari fraksi vial no.14 yaitu etil

asetat : metanol (4:6).

4.10. Analisis Spektrofotometri UV/Vis

Gambar Peak Sampel Vial No.14

39

Page 40: BAB I-VI

Serapan spektum pita I : 374.6 nm

Serapan spektrum pita II : 280.6 nm

Dugaan senyawa flavonoid jenis flavonol (3-OH bebas), sesuai buku K.R.

Markam rentang serapan spektrum pita I (350-385 nm) dan pita II (250-280

nm) adalah jenis flavonoid flavonol (3-OH bebas).

Gambar Peak Sampel Ditambah Pereaksi Geser AlCl3

40

Page 41: BAB I-VI

.

Serapan spektum pita I : dari 374.6 nm bergeser menjadi 360.80 nm,

terjadi pergeseran 13,8 nm

Serapan spektrum pita II : 278.8 nm

Dugaan senyawa flavonoid masih jenis flavonol (3-OH bebas)

Gambar Peak Sampel Ditambah Pereaksi Geser HCl

41

Page 42: BAB I-VI

Serapan spektum pita I : dari 374.6 nm bergeser menjadi 359.6 nm,

terjadi pergeseran sebesar 15 nm.

Serapan spektrum pita II : 280.6 nm

Dugaan senyawa flavonoid masih jenis flavonol (3-OH bebas)

Gambar Peak Sampel Ditambah Pereaksi Geser AlCl3 dan HCl

Dugaan senyawa flavonoid jenis flavonol (3-OH bebas)

42

Page 43: BAB I-VI

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Persiapan Bahan Baku

Proses persiapan bahan baku simplisia daun jambu biji yang dihaluskan

didapatkan 500 g. Tujuan dihaluskannya simplisia daun jambu biji yaitu untuk

menyamakan ukuran simplisia dan untuk memperluas permukaan simplisia berkontak

dengan cairan penyari. Hal ini penting untuk mengupayakan proses ekstraksi yang

maksimal.

5.2. Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan pada simplisia dan ekstrak etanol daun jambu

biji dengan tujuan untuk mengetahui metabolit sekunder yang terkandung di dalam

simplisia, ekstrak etanol dan fraksi-fraksi daun jambu biji. Berdasarkan hasil

penelitian dapat diketahui bahwa simplisia dan ekstrak etanol daun jambu biji

memberikan hasil yang sama yaitu mengandung flavonoid, fenol, tanin, alkaloid,

sesquiterpen, steroid dan quinon. Dari hasil ini dapat diketahui senyawa yang akan

kita isolasi yaitu flavonoid terkandung didalam simplisia daun jambu biji ini. Selain

itu, dari hasil ini pula diketahui bahwa etanol dapat menarik metabolit sekunder

dalam daun jambu biji. Hasil penapisan fitokimia disajikan pada berikut:

Golongan Senyawa Simplisia Ekstrak Etanol

Alkaloid + +

Fenol + +

Tanin + +

Flavonoid + +

Monoterpen - -

Sesquiterpen + +

Steroid + +

Triterpenoid - -

Quinon + +

43

Page 44: BAB I-VI

Saponin - -

Keterangan:

+ : Menunjukkan senyawa terdeteksi

- : Menunjukkan senyawa tidak terdeteksi

5.3. Karakterisasi Simplisia

Karakterisasi simplisia dilakukan untuk mengetahui mutu dan kualitas dari

simplisia untuk digunakan sebagai bahan obat. Hasil penetapan kadar abu sebesar

29,7%. Pemeriksaan kadar abu ini digunakan untuk mengidentifikasi besarnya

cemaran bahan-bahan anorganik yang terdapat dalam simplisia yang terjadi pada saat

pengolahan ataupun dalam pengemasan simplisia. Hasil penetapan kadar sari larut

air sebesar 18% dan hasil penetapan kadar sari larut etanol sebesar 19%. Hasil kadar

sari larut etanol lebih besar daripada kadar sari larut air, artinya senyawa yang

terkandung dalam simplisia daun daun jambu biji lebih banyak larut dalam etanol.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dapat dilihat pada tabel berikut:

Jenis Penetapan Hasil Pengamatan (%)

Kadar abu 29,7

Kadar sari larut air 18

Kadar sari larut etanol 19

5.4. Hasil Ekstraksi Daun Jambu Biji

Pembuatan ekstrak daun jambu biji dilakukan menggunakan metode maserasi

dengan pelarut etanol 96%. Pemilihan metode maserasi karena pengerjaan dan

peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan serta untuk menghindari

kerusakan senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan. Pemilihan etanol sebagai

cairan penyari karena etanol merupakan pelarut yang dapat menarik semua metabolit

sekunder yang terkandung dalam simplisia daun jambu biji. Selain itu, panas yang

diperlukan untuk proses pemekatan lebih sedikit.

Maserasi dilakukan dengan cara merendam 500 gram simplisia dengan pelarut

etanol 96% selama 8x24 jam dan setiap 24 jam diganti dengan pelarut yang baru.

44

Page 45: BAB I-VI

Pada saat maserasi, sesekali dilakukan pengadukan agar dapat terjadi keseimbangan

konsentrasi golongan senyawa aktif yang lebih cepat di dalam cairan penyari.

Maserasi dilakukan sampai maserat terakhir hampir berwarna bening dengan tujuan

agar golongan senyawa aktif dapat tertarik secara sempurna dan didapat jumlah

maserat yang sesuai dengan yang dikehendaki.

Hasil ekstraksi yaitu ekstrak etanol cair daun jambu biji yang didapat,

dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 60oC supaya golongan senyawa

yang terdapat dalam daun jambu biji tidak mudah rusak. Proses evaporasi dilakukan

hingga didapat ekstrak yang agak kental. Ekstrak dikisatkan kembali dalam waterbath

pada suhu 400C untuk menghilangkan sisa pelarut yang masih tertinggal dalam

ekstrak. Ekstrak etanol daun jambu biji yang sudah mengental ditimbang dan dihitung

rendemennya. Rendemen diperoleh dengan cara membandingkan ekstrak kental total

dengan berat simplisia yang digunakan. Rendemen yang diperoleh menyatakan

jumlah ekstrak atau senyawa- senyawa dalam daun jambu biji yang dapat ditarik oleh

pelarut etanol selama proses ekstraksi. Ekstrak etanol daun jambu biji yang diperoleh

berwarna hitam dengan bau khas. Ekstrak etanol daun jambu biji selanjutnya

difraksinasi untuk memisahkan senyawa berdasarkan kepolarannya.

5.5. Analisis KLT Dari Ekstak Daun Jambu Biji

Pengujian KLT dari hasil ekstrak daun jambu biji dilakukan untuk megetahui

serta menentukan jenis serta perbandingan eluen yang cocok untuk memisahkan

komponen senyawa yang ada didalam ekstrak daun jambu biji tersebut. Eluen yang

digunakan yaitu eluen dari tingkat kepolaran rendah sampai tingkat kepolarannya

tinggi, eluen-eluen tersebut adalah kloroform, eter, etil asetat, aseton, butanol, etanol

dan metanol. Ketujuh eluen ini campur dengan n-heksan dengan perbandingan 1:1,

hasil pemisahan komponen senyawa pada plat KLT yang baik ternyata terdapat pada

perbandingan eluen etil asetat : n-heksan dan aseton : n-heksan. Dapat dikatakan

komponen senyawa yang terambil bersifat semi polar.

Dari hasil tersebut dilakukan KLT ulang dengan menggunakan eluen yang

menghasilkan pemisahan baik tadi, yaitu etil asetat : n-heksan dan aseton : n-heksan.

45

Page 46: BAB I-VI

Masing-masing perbandingan eluen yang digunakan adalah 3:7 dan 7:3.

Dilakukannya lagi perbandingan yang berbeda ini agar didapatkan kembali

pemisahan komponen yang paling baik, karna dari hasil KLT ini perbandingan eluen

yang terbaik akan dipakai untuk perbandingan eluen pada pengujian-pengujian

selanjutnya. Pemisahan komponen yang baik terdapat pada eluen etil asetat : n-

heksan (3:7).

5.6. Fraksinasi Ekstrak Daun Jambu Biji

Fraksinasi dilakukan dengan metode Kromatografi Cair Vakum (KCV).

Kromatografi Cair Vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja

pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet,

pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi.

Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian diketuk-ketuk dengan

batang pengaduk bersalut dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke

dalam larutan ekstrak tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan

bobot ekstrak. Campuran ini digenis sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan

kedalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben ditutup

dengan kertas saring.

Pada KCV ini proses pemadatan kolom membutuhkan waktu yang lama, tetapi

untuk prosesnya sangat cepat karna di bantu dengan vakum. Proses KCV dengan

pelarut menggunakan n-Heksan : etil asetat dengan 11 perbandingan, penggunaan

pelarut ini berdasarkan hasil KLT sebelumnya yang paling baik ada pada pelarut n-

heksan : etil asetat. Setelah kolom padat, ekstrak daun jambu biji yang sudah

terbentuk ekstrak kental kemudian di serbukan sebnyak 5 gr dan silikanya 2 gr. Dari

hasil KCV tersebut didapat 11 fraksi yang selanjutnya akan dianalisis kembali dengan

KLT.

5.7. Analisis KLT Hasil Fraksinasi KCV

46

Page 47: BAB I-VI

Kromatografi Lapis Tipis merupakan proses isolasi yang terjadi berdasarkan

perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen

kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen. Oleh karena daya serap

adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan

kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan Setelah

KCV selesai kemudian di lakukan KLT dari 11 fraksi hasil KCV tersebut, eluen

digunakan adalah n-heksan : etil asetat (7:3). Setelah ke 11 hasil fraksi dari KCV di

KLT dan diamati dibawah lampu UV, untuk lebih jelas plat KLT tersebut diuapi NH3

selama 30 menit sehingga dihasilkan spot yang akan lebih jelas ketika diamati

dibawah sinar UV.

Selain dengan bantuan pereaksi NH3, plat KLT juga diberi perekasi semprot

FeCl3, KOH dan Sitroborat. Hasil palat KLT yang selah disemprotkan perekasi

semprot tersebut dianalisis kembali dibawah lampu UV dan bandingkan hasilnya

dengan hasil diuapu NH3, hasil sebelum diberi perekasi semprot dan hasil sesudah

diantara yang sudah diberi perekasi semprot. Secara umum, tidak ada perbedaan yang

signifikan. Pemisahan yang baik tetap terjadi di spot yang dihasilkan dari fraksi KCV

n-heksan e til asetat (90:10) yaitu warna biru. Jenis flavonoid yang diduga dalah

flavon, flavanon, flavanol dan isoflavon.

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai

metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau preparatif. Kedua, dipakai

untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam

kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi pada proses analisis

selanjutnya.

5.8. Analisis Kromatografi Kolom

Dilakukan kromatografi kolom dengan fraksi yang digunakan n-hexane dan etil

asetat dengan perbandingan 90:10. Alasan penggunaan fraksi ini karena pada

pengujian sebelumnya menggunakan Kromatografi Lapis Tipis didapat hasil berupa

bercak warna biru, berbeda dengan bercak lainnya yang berwarna kuning – merah.

Bercak biru ini berasal dari fraksi yang digunakan n-hexane dan etil asetat dengan

47

Page 48: BAB I-VI

perbandingan 90:10. Juga dapat diperkirakan bahwa fraksi yang digunakan n-hexane

dan etil asetat dengan perbandingan 90:10 ini mengandung flavonoid. Hal yang

pertama dilakukan adalah penguapan hasil fraksi digunakan n-hexane dan etil asetat

dengan perbandingan 90:10, karena fraksi belum juga mengental setelah dibiarkan

selama beberapa hari. Tujuan dikentalkan, supaya memudahkan dalam pengamatan

kolom. Kemudian dibuat kolom, dari silica coloidal yang ditimbang seberat 9 gram.

Disiapkan buret yang telah disumbat ujungnya menggunakan kapas. Dibilas buret

menggunakan metanol. Isi buret dengan metanol, lalu masukkan sedikit demi sedikit

silica koloidal. Dipastikan bahwa silica memadat dengan mengetuk ngetuk buret, jika

terdapat udara dalam kolom, dikompres menggunakan kapas yang dibasahi etanol

pada permukaan buret. Kemudian dikeluarkan metanol sampai ± 1 cm diatas

permukaan atas kolom. Kemudian dibuat eluen dengan perbandingan yang berbeda

beda antara n-hexan dan etil asetat. Tujuannya supaya dapat diketahui eluen dengan

konsentrasi yang paling baik.

Sampel fraksi yang telah diuapkan pada water bath sampai menjadi agak kental,

ditambahkan silica koloidal sama banyak, kemudian digerus sampai kering dan

homogen. Dikeringkan supaya hasil fraksi tersebut tidak menggumpal dalam kolom,

yang dapat menimbulkan kekeliruan dalam penelitian. Kemudian ditaburkan sedikit

demi sedikit serbuk yang telah dikeringkan menggunakan silika kedalam kolom yang

telah dibuat. Dijaga supaya bagian atas kolom tetap dalam keadaan rata, supaya

penyerapan yang terjadi dapat merata. Masukkan eluen satu persatu kedalam kolom

mulai dari yang polar ke non polar, agar zat uji yang bersifat polar keluar terlebih

dahulu. Hasil yang didapat ditampung pada vial yang terlebih dahulu ditimbang satu

persatu bobotnya dan dikalibrasi 5 ml tiap vial.

5.9. Analisis KLT Hasil Fraksinasi Kromatografi Kolom

Pengujian menggunakan Kromatografi Lapis Tipis dari hasil yang didapat

Kromatografi Kolom. Kromatografi Lapis Tipis dilakukan supaya dapat dianalisis di

vial yang mana terdapat pemisahan dengan kandungan flavonoid. Fraksi yang didapat

dalam vial-vial ditotolkan pada pelat KLT secara berurutan. Dibuat eluen dalam

48

Page 49: BAB I-VI

chamber menggunakan eluen n-hexane dan etil asetat dengan perbandingan 3:7, hasil

yang didapat adalah pemisahan yang baik dari vial nomor 14 yaitu etil asetat :

metanol (4:6). Untuk memastikan hasil dilakukan pula eluen dengan konsentrasi

terbalik yaitu n-hexane dan etil asetat dengan perbandingan 7:3, hasil yang didapat

adalah pemisahan yang baik dengan warna biru. Dilakukan KLT kembali dengan

eluen n-hexane dan etil asetat dengan perbandingan 6:4 dan 4:6, untuk memperjelas

hasil dari vial no 14. Tetapi hasil yang didapat tetap pemisahan yang tidak terlalu jauh

dengan perbandingan eluen sebelumnya yaitu warna biru pada plat KLT.

5.10. Analisis KLT Preparatif

Pada pengujian analisis KLT preparatif dilakukan pada sampel vial no.14 yang

diduga mengandung flavonoid, Pemisahan dengan KLT preparative pada dasarnya

hampir sama dengan analisis KLT kualitatif sebelumnya, pebandingan eluen yang

digunakan yaitu perbandingan terbaik pada pemisahan KLT sebelumnya yaitu n-

heksan : etilasetat (7:3). Sebelum ditotolkan pada plat KLT Preparatif, sampel

dilarutkan terlebih dahulu dalam sedikit pelarut metanol. Sampel yang ditotolkan

harus sesempit mungkin karena baik tidaknya pemisahan juga bergantung pada

lebarnya totolan. Setelah ditotolkan sampel vial no.14 plat KLT Preparatif dielusi.

Spot yang terpisahkkan pada KLT preparatif yang kedudukannya telah diketahui

dikerok dari plat. Selanjutnya hasil dari kerokan yang berisi senyawa flavonoid

tersebut diekstraksi dari adsorben dengan pelarut methanol, lalu dibiarkan selama

beberapa waktu agar adsorbennya dapat menegendap. Isolat yang diperoleh tersebut

kemudian diidentifikasi dengan spektrofotometri UV/Visible.

5.11. Analisis Spektrofotometri UV/Visible

Identifikasi senyawa flavonoid dengan spektrofotometri UV/Visible

berdasarkan pada serapan cahaya oleh molekul dalam daerah ultraviolet dan tampak

tergantung dari transisi elektroniknya. Markham (1988), Spektrofotometri serapan

Ultra Violet dan serapan Tampak (UV/Vis) barangkali merupakan cara tunggal yang

paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid. Analisis dengan

49

Page 50: BAB I-VI

spektrofotometri UV/Vis berguna dalam mengidentifkasi jenis golongan senyawa

flavonoid dan menentukan pola oksigenasinya. Kedudukan gugus hidroksil fenol

bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambah pereaksi geser ke

dalam larutan cuplikan dan mengamati puncak serapan yang terjadi. Senyawa

flavonoid mengandung cincin aromatik yang tersusun dari 15 atom karbon dengan

inti dasar tersusun dalam konjungasi C6-C3-C6 (dua inti aromatik dihubungkan

dengan atom karbon). Pita spektrumnya dapat terserap kuat pada panjang gelombang

UV disebabkan oleh keberadaan dari cincin aromatik tersebut.

Dari hasil analisis pita spektrum didapatkan serapan spektum pita I 374.6 nm

dan serapan spektrum pita II 280.6 nm. Dugaan jenis senyawa flavonoid yaitu

flavonol (3-OH bebas), sesuai buku K.R. Markam rentang serapan spektrum pita 1

(350-385 nm) dan pita 2 (250-280 nm) adalah jenis flavonoid flavonol (3-OH bebas).

Spektra dari flavon dan flavonol memperlihatkan dua puncak utama pada

daerah 240 – 400 nm. Dua puncak utama ini biasanya memperlihatkan pita I (300 –

380 nm) dan pita II  (240 – 280 nm). Pita I menunjukkan absorbsi yang sesuai untuk

cincin B sinamoil, sedang pita II berhubungan absobsi cincin benzoil. Peran gugus

hidroksil pada cincin A pada flavon dan flavonol menghasilkan menghasilkan

pergeseran batokromik yang nyata pada pita II dan sedikit pada pita I. Metilasi

dan glikosilasi juga berefek pada absorpsi pada flavon dan flavonol. Jika gugus 3, 5,

dan 4’ – OH pada flavon dan flavonol termetilasi dan terglikosilasi terjadi pergeseran

hipsokromik terutama pita I. Pergeseran yang terjadi terbesar 12 – 17 nm, bisa

mencapai 22 – 25 nm pada flavon yang tidak mempunyai gugus 5 – OH.

Profil pita yang memberikan spektrum UV khas flavonoid dapat diidentifikasi

lebih lanjut dengan pereaksi geser. Pereaksi geser ini untuk menentukan kedudukan

gula dan gugus hidroksil fenol pada inti flavonoid dengan cara mengamati pergeseran

puncak (peak) serapan yang terjadi.

Pereaksi geser yang digunakan adalah AlCl3 dan HCl. Dari spektrum UV/Vis

setelah penambahan pereaksi geser AlCl3, didapat serapan spektum pita I dari 374.6

nm bergeser menjadi 360.80 nm, terjadi pergeseran 13,8 nm dan serapan spektrum

pita II : 278.8 nm. Dugaan senyawa flavonoid masih jenis flavonol (3-OH bebas).

50

Page 51: BAB I-VI

Sedangkan pada penambahan pereaksi geser HCl didapat serapan spektum pita I dari

374.6 nm bergeser menjadi 359.6 nm, terjadi pergeseran sebesar 15 nm dan serapan

spektrum pita II 280.6 nm. Dugaan senyawa flavonoid masih jenis flavonol (3-OH

bebas).

Spektrum AlCl3 dan HCl membentuk kompleks tahan asam antara gugus

hidroksil dan keton yang bertetangga dan membentuk kompleks tahan asam dengan

gugus ortho-dihidroksil, pereaksi ini dapat digunakan untuk mendeteksi kedua gugus

tersebut. Jadi spektrum AlCl3 merupakan penjumlahan pengaruh semua kompleks

terhadap spektrum, sedangkan spektrum AlCl3 dan HCl hanya merupakan pengaaruh

kompleks hidroksi-keton. Dari hasil analisis menggunakan spektrofotometri UV/Vis

ini dapat jenis senyawa flavonoid yaitu flavonol.

51

Page 52: BAB I-VI

BAB VI

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini kita dapat mengetahui cara isolasi senyawa flavonoid

dari daun Jambu Biji (Psidium guajava) salah satunya dengan metode dingin yaitu

maserasi. Metode maserasi ini dilakukan merendam simplisia dengan pelarut etanol

sehingga didapatkan ekstrak etanol. Jenis flavonoid yang didapatkan dari isolasi

senyawa flavonoid dari daun Jambu Biji (Psidium guajava) ini yaitu flavonol (3-OH

bebas).

52

Page 53: BAB I-VI

DAFTAR PUSTAKA

Creswell,C.J. 1982. Analisa Spektrum Senyawa Organik. Edisi ke-2. Terjemahan

Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: ITB Press.

Effendy,S. 1982. Ensiklopedia Tumbuh-tumbuhan Berkhasiat yang ada di Bumi

Nusantara. Surabaya: PT.Karya Anda.

Gritter,R.J. 1991. Pengantar Kromatografi. Terbitan ke-2.Terjemahan Kosasih

Padmawinata. Bandung: ITB Press.

Harbone,J.B. 1996. Metode Fitokimia. Penentuan Cara Modern Menganalisa

Tumbuhan. Terbitan ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro.

Bandung: ITB Press.

Markham,K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoida. Terjemahan Kosasih

Padmawinata. Bandung: ITB Press.

Muldja,M.H. 1995. Analisis Instrumental. Cetakan ke-1. Surabaya: Universitas

Airlangga Press.

Rianto,D.S. 2009. Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Tumbuhan Harimonting. Medan:

Departemen Kimia. FMIPA USU

Robinson,T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-4 Terjemahan

Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB Press.

Sastrohamidjojo,H. 1991. Kromatografi. Edisi ke-1. Yogyakarta: PT.Liberty.

Sastrohamidjojo,H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

53

Page 54: BAB I-VI

LAMPIRAN

Diagram Alir Prosedur Isolasi Flavonoid Dari Daun Jambu Biji

54

Simplisia daun jambu biji

Skrining fitokimia Karakterisasi simplisia

500g simplisia daun jambu biji

Maserasi 2 L etanol Filtrat di evaporasi

Ekstrak kental

KCV

Eluen n-heksan:e.asetat 11 perbandingan

KLT hasil fraksi KCV

Eluen n-heksan:e.asetat (7:3 & 3:7)

Plat diuapi NH3 & perekasi semprot AlCl3,KOH,sitroborat

hasil terbaik fraksi n-heksan:e.asetat (90:10). Spot biru. Dugaan: flavon, flavonon, flavonol, isoflavon

K.Kolom

Sampel fraksi n-heksan:e.asetat (90:10) eluen n-heksan:e.asetat 11 perbandingan, e.asetat:metano 5 perbandingan, total 16 vial

KLT hasil fraksi K.kolom

Eluenn-heksan:e.asetat (7:3,3:7,6:4,4:6) hasi terbaik vial no.14 e.asetat:metanol 4:6 . spot biru

KLT preparatif

Sampel vial no.14

eluenn-heksan:e.asetat 7:3 spot dikerok, dilarutkan dgn metanolAnalisis spektofotometri UV/Vis

+ perekasi geser AlCl3 & HCL

Dugaan flavonol

KLT

7 eluen perbandingan 1:1Hasil terbaik n-heksan:e.asetat & n-heksan:aseton

KLT

Eluen n-heksan:e.asetat (7:3 & 3:7)n-heksan:aseton (7:3 & 3:7)hasil terbaik n-heksan:e.asetat (7:3)