bab i - v dan daftar pustaka - digilib.uns.ac.id fileberpikir cara mengelompokkan berdasarkan...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Mengelompokkan Benda sesuai dengan Ukuran
Pengelompokkan benda merupakan salah satu kegiatan yang dapat
mengembangkan aspek perkembangan kognitif anak usia dini. Dalam proses
pengelompokkan benda, anak tidak hanya mengamati benda tetapi juga
berpikir cara mengelompokkan berdasarkan ukuran, bentuk, jenis, maupun
warna benda tersebut. Pengelompokkan benda dapat melatih anak untuk
berpikir secara logis dan mengasah kemampuan kognitifnya.
Dasar-dasar pengelompokkan benda merupakan salah satu
karakteristik dalam perkembangan kognitif anak usia dini. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 58 Tahun 2009
bahwa mengelompokkan atau mengklasifikasikan benda merupakan salah satu
indikator dalam tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak usia dini.
a. Perkembangan Anak Usia Dini
Perkembangan anak usia dini merupakan suatu proses perubahan
yang berkesinambungan yang terjadi secara progresif dari masa kelahiran
sampai usia 8 tahun (Ramli, 2005). Meskipun demikian, dalam kerangka
pendidikan anak usia dini di Indonesia, pelaksanaannya ditekankan pada
pelayanan pendidikan terhadap anak-anak yang berada paa masa usia lahir
sampai usia 6 tahun. Masa-masa usia dini memiliki peran yang sangat
penting bagi peningkatan kualitas perkembangan masa depan manusia. Hal
ini terjadi karena pada masa usia dinilah semua aspek perkembangan yang
terjadi secara pesat melebihi perkembangan pada masa-masa lainnya.
Pada masa usia dini anak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat cepat dari segi fisik, kognitif, bahasa, sosial
emosional, dan aspek-aspek perkembangan kepribadian lainnya. Hendrick
berpendapat bahwa setiap bidang perkembangan merupakan bagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
keseluruhan perkembangan suatu unit kesatuan yang terdiri atas banyak
aspek perkembangan (Ramli, 2005).
Aspek perkembangan yang terjadi pada diri anak saling berkaitan
antara satu dengan yang lainnya yaitu aspek fisik, kognitif, bahasa, dan
sosial emosional. Perkembangan pada satu aspek mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh perkembangan pada aspek yang lain.
b. Perkembangan Kognitif Anak
Perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan
manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu semua
proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari
dan memikirkan lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Myers, th
(Desmita, 2008: 103).
Senada dengan Myers, Drever menjelaskan bahwa kognisi adalah
istilah umum yang yang mencakup segenap model pemahaman, yakni
persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian dan penalaran.
Kemudian Chaplin juga menjelaskan bahwa kognisi adalah konsep umum
yang mencakup semua bentuk pengenal, termasuk di dalamnya mengamati,
melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan,
memperkirakan, menduga dan menilai (Desmita, 2008: 103).
Desmita memberikan pengertian bahwa kognitif adalah sebuah
istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas
mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan
informasi atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana
individu mempelajari, memperhatikan, mengamati, membayangkan,
memperkirakan, menilai, dan memikirkan lingkungannya (2008: 103).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kognitif merupakan suatu aktivitas mental untuk beradaptasi dan
menginterpretasikan objek-objek atau kejadian di lingkungan sekitarnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental dan
yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif maka
anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri
pengetahuan mereka tentang dunia. Piaget meyakini bahwa anak
membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri (Desmita, 2008:
104). Anak tidak pasif menerima informasi, melainkan berperan aktif di
dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas.
Perkembangan kognitif mengacu pada perkembangan anak dalam
berpikir dan kemampuan untuk memberikan alasan. Malkus, Feldman, dan
Gardner menyatakan perkembangan kognitif sebagai kapasitas untuk
bertumbuh untuk menyampaikan dan menghargai maksud dalam
penggunaan beberapa simbol yang secara kebetulan ditonjolkan dalam suatu
pengaturan. Sistem simbol tersebut meliputi kata-kata, gambaran, isyarat
dan angka-angka (Sujiono, 2009: 78).
Anak-anak tumbuh dengan mengumpulkan informasi yang semakin
banyak dari hari ke hari. Dalam perkembangan kognitif, pengetahuan
merupakan hal yang membangun dari interaksi anak-anak dengan
lingkungan mereka. Jadi perkembangan kognitif dipengaruhi oleh kedua hal
tersebut yaitu kematangan dan pengalaman.
Piaget meyakini bahwa proses-proses penting yang digunakan
anak-anak saat mereka membangun pengetahuan mereka tentang dunia
meliputi skema, asimilasi, akomodasi, organisasi, keseimbangan, dan
penyeimbangan. Berikut tabel proses-proses penting tersebut menurut
Piaget dalam Santrock (2007: 243) :
Tabel 2.1
Proses-proses Perkembangan Kognitif Piaget
Proses Deskripsi Skema Aksi atau representasi mental yang
mengorganisasikan pengetahuan Asimilasi Penggabungan informasi baru ke dalam
pengetahuan yang ada (skema) Akomodasi Pembentukan skema agar sesuai dengan informasi
dan pengalaman baru
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Organisasi Pengelompokan perilaku terisolasi menjadi sistem kognitif pada tingkat lebih tinggi yang berfungsi lancar, pengelompokkan atau pengaturan item ke dalam kategori
Penyeimbangan (equilibration)
Mekanisme perpindahan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Perpindahan terjadi ketika anak mengalami konflik kognitif atau ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam usaha memahami dunia. Akhirnya, anak menyelesaikan konflik dan mencapai keseimbangan atau ekuilibrium pikiran.
Piaget menguraikan perkembangan kognitif anak-anak dalam
beberapa langkah, yang mencakup tahap sensorimotor, tahap
praoperasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal.
Berikut tabel deskripsi tahap perkembangan kognitif anak menurut Piaget
dalam Desmita (2008: 46-47).
Tabel 2.2
Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Tahap Usia/Tahun Perilaku Sensorimotor 0 2 Bayi membangun suatu
pemahaman tentang dunia melalui pengkoordinasian pengalaman-pengalaman sensor dengan tindakan fisik.
Praoperasional 2 7 Anak mulai merepresentasikan dunia dengan pemikiran simbolis berupa kata-kata dan gambar.
Operasional Konkret
7 11 Anak dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret.
Operasional Formal
11 15 Anak remaja berpikir dengan cara yang lebih abtrak dan logis.
Melengkapi teori perkembangan kognitif di atas, Piaget membagi
tahap praoperasional menjadi 3 sub fase berpikir, yaitu:
(1) Berpikir secara simbolik, (2-4 tahun), yaitu kemampuan berfikir tentang objek dan peristiwa secara abstrak. Anak sudah dapat menggambarkan objek yang tidak ada dihadapannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Kemampuan berfikir simbolik, ditambah dengan perkembangan kemampuan bahasa dan fantasi sehingga anak mempunyai dimensi baru dalam bermain. Anak dapat manggunakan kata-katanya untuk menandai suatu objek dn membuat substitusi dari objek tersebut.
(2) Berfikir secara egosentris (2-4 tahun), anak melihat dunia dengan perspektifnya sendiri, menilai benar/tidak berdasarkan sudut pandang sendiri. Sehingga anak belum dapat meletakkan cara pandangnya dari sudut pandang orang lain.
(3) Berpikir secara intuitif (4-7 tahun), yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu (mengggambar/menyusub balok), tetapi tidak mengetahui alasan pasti mengapa melakukan hal tersebut. Pada usia ini anak sudah dapat mengklasifikasi objek sesuai dengan kelompoknya (Sujiono, 2009: 121).
Anak usia 5-6 tahun umumnya berada pada tahap akhir berpikir
praoperasional khususnya tahap berpikir intuitif. Setelah anak melewati
masa awal berpikir praoperasional yang berupa kemampuan berpikir
simbolis, maka anak-anak berkembang ke arah kemampuan berpikir intuitif,
yaitu anak mampu membuat klasifikasi meskipun sebenarnya tidak
memahami tentang mengapa dan bagaimananya. Dalam hal ini, menurut
Woolfolk, anak-anak membuat lompatan imajinatif kepada persepsi yang
benar atau penyelesaian yang dapat dilaksanakan. Secara perlahan anak-
anak mulai berpikir berdasarkan kelompok, menangani konsep-konsep
bilangan, dan melihat hubungan sederhana (Ramli, 2005: 203).
Syamsu Yusuf dalam Masitoh, dkk. (2005) mengemukakan
perkembangan kognitif pada masa prasekolah adalah sebagai berikut:
a. Mampu berpikir dengan menggunakan simbol b. Berpikir masih dibatasi oleh persepsi. Mereka meyakini apa
yang dilihatnya, dan hanya terfokus pada satu dimensi terhadap sato objek dalam waktu yang sama. Cara berfikir mereka bersifat memusat.
c. Berpikir masih kaku. Cara berfikirnya terfokus pada keadaan awal atau akhir suatu transformasi, bukan kepada tranformasi itu sendiri.
d. Anak sudah mulai mengerti dasar-dasar mengelompokkan sesuatu atas dasar satu dimensi, seperti atas kesamaan warna, bentuk, dan ukuran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Berdasarkan perkembangan kognitif pada masa prasekolah di atas,
salah satu karakteristiknya adalah anak mulai mengerti dasar-dasar
mengelompokkan. Hal ini sesuai dengan ruang lingkup atau tingkat
pencapaian perkembangan anak usia 5-6 tahun pada lingkup perkembangan
konsep bentuk, warna, ukuran, dan pola yaitu
warna, bentuk dan ukuran (3 variasi); 3) mengklasifikasikan benda yang lebih banyak ke dalam kelompok yang sama atau kelompok berpasangan yang lebih dari 2 variasi; 4) mengenal pola ABCD-ABCD; 5) mengurutkan benda berdasarkan ukuran dari paling keci ke paling besar atau sebaliknya (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 58 Tahun 2009).
Pada dasarnya pengembangan kognitif dimaksudkan agar anak
mampu mengeksploitasi terhadap dunia sekitar melalui pancaindranya
sehingga dengan cerdas yang didapatnya tersebut anak akan dapat
melangsungkan hidupnya dan menjadi manusia seutuhnya.
Proses kognisi meliputi berbagai aspek seperti persepsi, ingatan, pikiran,
simbol, penalaran dan pemecahan masalah. Sehubungan dengan hal ini
Piaget (Sujiono, 2008) berpendapat bahwa pentingnya mengembangkan
kognitif pada anak adalah sebagai berikut:
1) Agar anak mampu mengembangkan daya persepsinya berdasarkan apa
yang ia lihat, dengar dan rasakan sehingga anak akan memiliki
pemahaman yang utuh dan komprehensif
2) Agar anak mampu melatih ingatanya terhadap semua peristiwa dan
kejadian yang pernah dialamimya
3) Agar anak mampu mengembangkan pemikiran-pemikirannya dalam
rangka menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain
4) Anak mampu memahami berbagai simbol yang tersebar di dunia
sekitarnya.
5) Agar anak mampu melakukan penalaran-penalaran baik yang terjadi
melalui proses alamiah (spontan) ataupun melalui proses ilmiah
(percobaan)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
6) Agar anak mampu memecahkan persoalan hidup yang dihadapinya
sehingga pada akhirnya ia akan menjadi individu yang mampu menolong
dirinya sendiri.
c. Kemampuan Mengelompokkan Benda sesuai dengan Ukuran
Kemampuan menerima pembelajaran berbeda-beda untuk masing-
masing anak. Anak mempunyai karakter sendiri-sendiri untuk menerima
pembelajaran sesuai dengan kematangan dan tingkat perkembangannya.
Menurut Sujiono, anak harus diarahkan untuk menjadi pembelajar yang
aktif, sehingga anak akan terbiasa belajar dan mempelajari berbagai aspek
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melalui berbagai aktivitas
mengamati, mencari, menemukan, mendiskusikan menyimpulkan, dan
mengemukakan sendiri berbagai hal yang ditemukan pada lingkungan
sekitar (2009).
Dari penjelasan di atas salah satu aspek dalam pembelajaran adalah
kemampuan. Desmita mendefinisikan arti ability (kemampuan atau
kecakapan) sebagai suatu potensi untuk menguasai keterampilan (2008:
257). Mohammad Zain mengartikan bahwa kemampuan adalah
kesanggupan, kecakapan, kekuatan kita berusaha dengan diri sendiri.
Sedangkan Anggiat M.Sinaga dan Sri Hadiati mendefenisikan kemampuan
sebagai suatu dasar seseorang yang dengan sendirinya berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil (Yusdi, 2011).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan atau potensi seseorang
individu untuk melakukan atau mengerjakan suatu hal yang ia inginkan atau
keinginannya untuk menguasai keterampilan.
Mengelompokkan atau mengadakan klasifikasi merupakan suatu
cara pengelompokkan atau pemilahan berdasarkan kategori-kategori tertentu
(Sudono, dkk., 2007). Pada proses mengelompokkan ini anak tidak hanya
mengamati benda tetapi juga berpikir dengan cara mengklasifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
berdasarkan ukuran, bentuk, sifat-sifat benda tersebut, jenis warna, dan
sebagainya.
Senada dengan pendapat Sudono, Sarama dan Clements (2009:
314) mendefinisikan pengertian mengelompokkan atau klasifikasi
(Classification) sebagai berikut:
This category includes grouping, sorting, or categorizing by attributes. A child cleaned up the blocks on the rug, for example, by taking one block at a time and placing it in a box that contained the same size and shape of blocks. Also a girl took all the plastic bugs out of the container and sorted them by type of bug and then by color. They were classifying. Dalam kategori mengkasifikasikan meliputi kegiatan
pengelompokan, pengurutan, atau mengkategorikan berdasarkan atribut.
Anak-anak mengelompokkan atau menyortir benda-benda berdasarkan
ukuran, bentuk, jenis maupun warna.
Seefeldt dan Wasik berpendapat bahwa mengelompokkan atau
mengklasifikasi benda-benda yang serupa atau memiliki kesamaan adalah
salah satu proses yang penting untuk mengembangkan konsep bilangan
(2008: 394). Ginsburg dan Seo menyatakan supaya anak-anak mampu
mengelompokkan atau menyortir benda-benda, mereka harus
Kegiatan-kegiatan di kelas yang mendukung perkembangan kemampuan
anak-anak untuk mengelompokkan dan menyortir benda-benda ke dalam
kategori yang sama dan berbeda dapat memperkuat pengembangan konsep
pada anak.
Mengelompokkan atau menyortir merupakan pengembangan dari
kegiatan mengumpulkan benda yang dilakukan anak. Mengumpulkan benda
adalah kegiatan yang menguntungkan, karena kegiatan ini membantu
mengajarkan klasifikasi dan penghitungan yang bermanfaat. Polonsky,
Freedman, Lesher, dan Morrison berpendapat bahwa ketika anak sedang
memikirkan koleksinya dan bermain dengannya, anak-anak membentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
kategori berdasar ukuran, bentuk, tempat asal, fungsi, desain, atau ciri lain
yang semuanya merupakan bentuk pemikiran matematis (2005: 20).
Seefeldt dan Wasik (2008: 394) mengutarakan bahwa anak usia
tiga sampai lima tahun belajar menggolongkan atau mengelompokkan lewat
hal-hal sebagai berikut:
a. Menyortir alat pemainan di ruang kelas ke dalam kategori-kategori yang
sesuai.
b. Memberi anak-anak benda dalam berbagai bentuk dan ukuran serta
membimbing mereka untuk menyortir benda-benda tersebut ke dalam
kelompok yang sama.
c. Memberi anak-anak koleksi barang-barang, seperti kancing, manik-
manik, kerang. Minat anak untuk menyortir mereka ke dalam kelompok-
kelompok dan menjelaskan alasan dari keputusan-keputusan mereka.
d. Minat anak untuk menyortir diri mereka sendiri ke dalam kelompok
kesukaan mereka.
e. Dengan menggunakan benda-benda umum di ruang kelas, suruh anak
menyortir ke dalam kelompok-kelompok yang sama dan berbeda.
Keterampilan dan kecakapan mengelompokkan benda sangat
penting bagi anak, karena kegiatan ini dapat memberikan kemudahan dalam
pengelompokkan benda dan mengasah kemampuan mengamati pada anak
tentang persamaan dan perbedaan. Dalam kegiatan mengelompokkan anak-
anak menyortir benda-benda berdasarkan persamaan bentuk, ukuran, jenis
maupun warna. Manfaat dari kegiatan mengelompokkan atau menyortir ini
adalah dapat melatih anak untuk berpikir secara logis dan mengasah
kemampuan kognitifnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kemampuan mengelompokkan adalah kemampuan anak untuk
mengklasifikasikan atau menyortir benda-benda ke dalam kategori yang
sama berdasarkan bentuk, ukuran jenis maupun warna. Ciri-ciri jika anak
sudah dapat mengelompokkan adalah anak sudah mengenal ciri-ciri yang
dimiliki benda tersebut baik dari bentuk, ukuran, jenis maupun warna, anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dapat mengelompokkan warna, mengelompokkan benda berdasarkan
ukuran, mengelompokkan benda berdasarkan jenis dan mengelompokkan
benda berdasarkan bentuk. Sehingga kemampuan mengelompokkan benda
sesuai dengan ukuran adalah keterampilan anak dalam mengelompokkan
benda-benda sesuai dengan ukuran benda tersebut.
Sudono, dkk. (2007: 84) memberikan acuan penilaian pada
perkembangan matematika bidang pengembangan kognitif bahwa, anak
dikatakan dapat mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran jika anak
dapat menyebutkan dan menunjukkan ukuran-ukuran benda tersebut, anak
teliti dalam membedakan ukuran benda serta anak tepat dalam
mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran.
2. Hakikat Permainan Kooperatif
a. Bermain dan Permainan Anak
Bermain dan permainan merupakan istilah yang sangat dekat
dengan dunia anak. Dalam proses pembelajaran pun bermain merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan belajar anak, karena anak
bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain. Menurut Musfiroh
bermain dan belajar adalah satu kesatuan proses yang terjadi dalam satu
kesatuan waktu, karena di dalam bermain itulah sebenarnya terjadi proses
belajar, dan proses belajar itu terjadi dalam kegiatan bermain (2005: 35).
Hurlock mendefinisikan bahwa bermain merupakan kegiatan yang
dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa
memepertimbangkan hasil akhir (2007: 320). Bermain dilakukan secara
suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban.
Parten dalam Sujiono memandang kegiatan bermain sebagai sarana
sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberi kesempatan anak
bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan
belajar secara menyenangkan (2009: 144). Selain itu, kegiatan bermain
dapat membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa ia hidup
dan lingkungan tempat di mana ia hidup.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Soegeng Santosa dalam Kamtini dan Tanjung (2005) berpendapat
bahwa bermain merupakan suatu kegiatan atau tingkah laku anak yang
dilakukan secara sendirian atau berkelompok dengan menggunakan alat atau
tidak untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, Johnson et Al
mendefinisikan bermain sebagai suatu kegiatan yang dilakukan berulang-
ulang untuk mendapatkan kesenangan (Kamtini & Tanjung, 2005).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa bermain
adalah suatu kegiatan anak yang dilakukan secara sendirian atau
berkelompok menggunakan alat atau tidak untuk mencapai tujuan tertentu
dan mendapatkan kesenangan.
Permainan adalah salah satu bentuk aktivitas sosial yang dominan
pada awal masa anak-anak. Sebab, anak-anak menghabiskan lebih banyak
waktunya di luar rumah bermain dengan teman-temannya dibanding terlibat
dalam aktivitas lain.
Hetherington dan Parke dalam Desmita (2008: 141) mendefinisikan
A nonserious and self-contained activity engaged in for
Jadi, permainan bagi anak-anak adalah
suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan semata-mata
untuk aktivitas itu sendiri, bukan karena ingin memperoleh sesuatu yang
dihasilkan dari aktivitas tersebut. Menurut Schwartzman, bagi anak-anak
proses melakukan sesuatu lebih menarik daripada hasil yang akan
didapatkannya (Desmita, 2008: 141).
Piaget dan Vigotsky mendefinisikan permainan adalah suatu
aktivitas yang dapat mendorong perkembangan kognitif (Santrock, 2007)..
Bermain memungkinkan anak mempraktikkan kemampuan mereka dengan
cara menyenangkan. Sementara itu, Daniel Berlyne menggambarkan
permainan sebagai aktivitas yang seru dan menyenangkan karena permainan
dapat mendorong anak-anak untuk bereksplorasi. Permainan adalah alat
dimana anak-anak dapat menggali dan mencari informasi baru yang
mungkin tidak dilakukan di luar permainan (Santrock, 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Cosby dan Sawyer
mengemukakan bahwa permainan dapat mempengaruhi seluruh area
perkembangan anak dengan memberikan kesempatan anak untuk belajar
tentang dirinya, orang lain dan lingkungannya (Sujiono, 2007: 154).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
permainan merupakan suatu aktivitas yang dapat memberikan kesenangan
dan kebebasan anak untuk berimajinasi, bereksplorasi, dan menggali
bakat/potensinya, serta berkreativitas.
b. Tahapan Bermain
Kegiatan bermain memiliki tahapan-tahapan sesuai dengan tingkat
perkembangannya. Piaget dalam Kamtini dan Tanjung (2005)
mengemukakan tahapan bermain yang sejalan dengan perkembangan
kognitif anak, yaitu:
1) Sensory Motor Play (usia 3 bulan - 2 tahun)
Anak lebih banyak bereksplorasi dengan kemampuan sensorik yang
dikuasainya untuk mendapatkan pengalaman baru.
2) Symbolic (Make Believe Play) (usia 2-7 tahun)
Anak senang bermain dan berkhayal serta bermain pura-pura. Pada masa
ini anak mulai mencoba berbagai hal yang berkaitan dengan konsep
angka, ruang, kuantitas dan sebagainya.
3) Social Play Games with Rules (usia 8-11 tahun)
Kegiatan bermain anak banyak dikendalikan oleh aturan permainan yang
disepakati dengan teman-teman sebayanya,
4) Games with Rules and Sport (usia 11 tahun ke atas)
Kegiatan bermain yang memiliki aturan, seperti olahraga. Kegiatan
bermain ini masih menyenangkan dan dinikmati anak-anak meskipun
aturannya jauh lebih ketat dan diberlakukan secara lebih kaku
dibandingkan permainan sosial tahap sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Senada dengan Piaget, Hurlock (1978: 324) juga membagi tahapan
perkembangan menjadi 4 tahapan, yaitu:
1) Tahap Eksplorasi (Exploratory stage)
Pada tahap ini, bayi mencoba menjangkau atau meraih benda di
sekelilingnya, lalu mengamatinya.
2) Tahap Permainan (Toy stage)
Anak mulai mengeksplorasi alat permainannya, kemudian mereka
membayangkan bahwa mainannya mempunyai sifat hidup, seperti dapat
bergerak, berbicara dan merasakan.
3) Tahap Bermain (Play stage)
Tahap ini terjadi bersamaan dengan mulai masuknya anak ke sekolah
dasar, dengan jenis permainan yang semakin banyak.
4) Tahap Melamun (Daydream stage)
Tahap ini diawali saat anak mendekati masa pubertas. Mereka kehilangan
minat dalam permainan yang sebelumnya disenangi dan banyak
menghabiskan waktunya dengan melamun.
Santrock (2007: 219) membagi tahapan bermain dengan
menekankan aspek kognitif dan sosial dari permainan menjadi 5 tahapan,
yaitu:
1) Permainan sensorimotor, perilaku bayi yang bertujuan mendapatkan kesenangan dan melatih sistem sensorimotor mereka; Permainan praktik, permainan yang melibatkan pengulangan perilaku ketika keterampilan baru dipelajari atau ketika penguasaan fisik atau mental dan koordinasi keterampilan dibutuhkan dalam permainan dan olahraga. Permainan sensorimotor yang sering kali melibatkan permainan praktik, terutama dimainkan pada masa bayi, sementara permainan praktik bisa dimainkan seumur hidup.
2) Permainan pura-pura/simbolis, permainan yang terjadi ketika anak mengubah lingkungan fisik menjadi sebuah simbol.
3) Permainan sosial, permainan yang melibatkan interaksi dengan sebaya.
4) Permainan konstruktif, permainan yang mengombinasikan aktivitas praktik/sensorimotor yang berulang dengan representasi simbolis dari gagasan-gagasan. Permainan konstrukstif terjadi ketika anak terlibat dalam penciptaan produk atau solusi masalah sediri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
5) Games, aktivitas yang dilakukan demi kesenangan, yang memiliki peraturan dan sering melibatkan kompetisi dengan satu individu atau lebih.
c. Jenis-jenis Permainan
Studi klasik terhadap aktivitas permainan anak-anak prasekolah
dilakukan oleh Mildred Parten. Menurut Parten dalam Desmita (2008: 142)
ada 6 kategori permainan anak-anak, yaitu:
a) Permainan Unoccupied
Anak memperhatikan dan melihat segala sesuatu yang menarik
perhatiannya dan melakukan gerakan-gerakan bebas dalam tingkah laku
yang tidak terkontrol.
b) Permainan Solitary
Anak dalam sebuah kelompok asyik bermain sendiri-sendiri dengan
bermacam-macam alat permainan, sehingga tidak terjadi kontak antara
satu sama lain dan tidak peduli terhadap apa pun yang terjadi.
c) Permainan Onlooker
Anak melihat dan memperhatikan anak-anak lain bermain. Anak ikut
berbicara dengan anak-anak lain itu dan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, tetapi ia tidak ikut terlibat dalam aktivitas permainan
tersebut.
d) Permainan Parallel
Anak-anak bermain dengan alat-alat permainan yang sama, tetapi tidak
terjadi kontak antara satu dengan yang lain atau tukar menukar alat
permainan.
e) Permainan Assosiative
Anak bermain bersama-sama saling pinjam alat permainan, tetapi
permainan itu tidak mengarah pada satu tujuan, tidak ada
pembagianperanan dan pembagian alat-alat permainan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
f) Permainan Cooperative
Anak-anak bermain dalam kelompok yang terorganisir, dengan kegiatan-
kegiatan konstrukstif dan membuat sesuatu yang nyata, di mana setiap
anak mempunyai peranan sendiri-sendiri.
Kategori permainan di atas ditinjau dari partisipasi anak dalam
kegiatan bermain atau sudut tingkah laku sosial anak. Berikut tabel levels of
social play menurut Parten dalam Padmonodewo (2000):
Tabel 2.3
Tabel Levels of Social Play
Levels Description Solitary Play Play in which children paly without regard for
what other children around them are doing. A child may be constructing a tower with blocks and be completely oblivious to what other children in the room are doing.
Onlooker Play Play in which the child who is play individually is simultaneously observing those playing in the same area. The child may be talking to peers children who watch other children play may after their own play behavior after watching. Children engaged in onlooker play may seem to be sitting passively while children aroud them are playing but they are very alert to the action around them.
Paralel Play Play in which several children are playing with the same materials but each is playing independently. What one child does is not dependent on what others do. Children working puzzles are usually an engaged in paralel play. They usually talk to each other but if one laves the others continue playing.
Associative Play Play in which several children play together but in a loosely organized fashion. Several children may decide to play moneters, for example, and may run around the playground chasing each other, but there are not definite roles and if one child does not run and chese continue to play.
Cooperative Play Play in which each child accepts a designated role and each is dependent on the other for
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
achieving the goals of the play. When children
role of store clerk and others must be shoppers. If a child refuses to play unless she can be the sotrekeeper, the play episode will end.
Berdasarkan tingkat bermain sosial (levels of social play) di atas,
dapat diuraikan bahwa pada tingkat bermain soliter anak-anak bermain
tanpa memperhatikan apa yang dilakukan anak lain yang ada di dekatnya.
Tingkat bermain selanjutnya adalah bermain sebagai penonton/pengamat,
dimana anak bermain sendirian sekaligus melakukan pengamatan terhadap
apa yang terjadi di sekitarnya. Pada tingkat bermain paralel anak-anak
bermain dengan materi yang sama, tetapi masing-masing bermain sendiri.
Berikutnya adalah bermain asosiatif, dimana anak-anak bermain bersama-
sama tetapi tanpa suatu organisasi. Tingkat bermain yang terakhir adalah
bermain kooperatif, yaitu anak-anak bekerja sama dalam bermain untuk
mencapai tujuan bersama.
Sementara itu, Seifert dan Hoffnung mengidentifikasikan 4 macam
permainan yang berkembang sejalan dengan tahap-tahap perkembangan
kognitif anak (Desmita, 2008: 143). Keempat macam permainan itu adalah:
a) Permainan fungsional (functional play)
Permainan fungsional terjadi selama periode sensorimotorik, yang
ditunjukkan dengan gerakan yang diulang-ulang, seperti gerakan-gerakan
tangan dan kaki bayi dan terfokus pada badan sendiri.
b) Permainan konstruktif (constructive play)
Permainan konstruktif merupakan bentuk permainan dengan
menggunakan objek-objek fisik untuk membangun atau membuat
sesuatu.
c) Permainan dramatik (dramatic play)
Permainan dramatik merupakan bentuk permainan yang dilakukan secara
berpura-pura, yang dimulai ketika anak dapat mensimbolisasi atau
menghadirkan objek-objek secara mental.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
d) Permainan dengan aturan (games with play)
Permainan dengan aturan adalah permainan yang menggunakan suatu
aturan tertentu dalam bermain. Aturan permainan pada awalnya diikuti
anak berdasarkan yang diajarkan orang lain. Lambat laun anak
memahami bahwa aturan itu dapat dan boleh diubah sesuai kesepakatan
orang yang terlibat dalam permainan.
d. Fungsi dan Manfaat Permainan
Permainan mempunyai arti yang sangat penting bagi
perkembangan kehidupan anank-anak. Hetherington dan Parke dalam
Desmita (2008: 141) menyebutkan tiga fungsi utama dari permainan, yaitu:
a) Fungsi kognitif
Permainan membantu perkembangan kognitif anak. Melalui permainan,
anak-anak menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek di
sekitarnya, dan belajar memecahkan masalah yang dihadapinya.
b) Fungsi sosial
Permainan dapat meningkatkan perkembangan sosial anak, khususnya
dalam permainan fantasi dengan memerankan suatu peran, anak belajar
memahami orang lain dan peran-peran yang akan ia mainkan di
kemudian hari setelah tumbuh menjadi orang dewasa.
c) Fungsi emosi
Permainan memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari
masalah emosionalnya, mengatasi kegelisahan dan konflik batin.
Permainan memungkinkan anak melepaskan energi fisik yang berlebihan
dan membebaskan perasaan-perasaan yang terpendam. Karena tekanan-
tekanan batin terlepaskan di dalam permainan, anak dapat mengatasi
masalah-masalah kehidupan.
Bermain memberikan banyak manfaat bagi tumbuh kembang anak.
kegiatan yang menyenangkan menstimulasi seluruh aspek perkembangan
anak. Kegiatan bermain melibatkan sejumlah aktivitas belajar. Hal tersebut
sejalan dengan hasil riset dari Keles dan Soyler (2013: 335) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
menyebutkan
teachers share the view that play is a significant field in terms of
Dengan kata lain, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa guru prasekolah berbagi pandangan bahwa bermain
adalah bidang yang signifikan dalam hal pembelajaran dan perkembangan.
Hasil studi lain yang senada dengan pendapat di atas menyebutkan
bahwa significant mathematical thinking and
reasoning in their play, especially if they have sufficient knowledge about
the toys or materials they are using, if the task is understandable and
motivating, and if the context is familiar and comfortable (Alexander, White,
and Daugherty 1997). Such a knowledgeable adult helps children transform
foundational play into mathematical knowledge and abilities. Children
benefit from richer play experiences, preparation for learning later
mathematics, and new ways to understand their world (Sarama &
Clements, 2009: 332).
Pendapat tersebut berarti anak-anak terlibat dalam pemikiran
matematika yang signifikan dan penalaran dalam permainan mereka,
terutama jika mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang mainan
atau bahan yang mereka gunakan, jika tugas dimengerti dan memotivasi,
dan jika konteksnya adalah akrab dan nyaman (Alexander, White, dan
Daugherty 1997). Orang dewasa yang berpengetahuan seperti membantu
anak mengubah dasar bermain dalam pengetahuan dan kemampuan
matematika. Anak-anak mendapatkan pengalaman dari bermain, persiapan
untuk belajar matematika, dan cara-cara baru untuk memahami dunia
mereka.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bermain
mempunyai hubungan dengan perkembangan anak atau berkontribusi
dalam meningkatkan perkembangan anak.
Berdasarkan jenis-jenis permainan yang telah peneliti uraikan di
atas, peneliti memilih salah satu jenis permainan untuk meningkatkan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
mengembangkan kognitif anak dalam mengelompokkan benda sesuai
dengan ukuran yaitu permainan kooperatif.
Permainan kooperatif dipilih dengan alasan karena permainan
kooperatif berbeda dengan permainan-permainan yang lain. Perbedaan
permainan kooperatif dengan permainan yang lain yaitu selain
meningkatkan kemampuan kognitif anak, permainan kooperatif juga dapat
mengembangkan kemampuan sosial anak dan memperluas empati terhadap
orang lain serta mengurangi sikap egosentrisme. Melalui permainan
kooperatif anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu giliran,
kerja sama, saling membantu dan berbagi (Sujiono, 2009: 63).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permainan
kooperatif tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif anak, tetapi
juga dapat mengembangkan kemampuan sosial anak dalam bekerja sama
dengan teman kelompoknya.
e. Permainan Kooperatif
Parten mendefinisikan bahwa permainan kooperatif (Cooperative
play) merupakan permainan yang melibatkan interaksi sosial dalam satu
kelompok dibarengi dengan adanya perasaan identitas kelompok dan
aktivitas yang yang terorganisir (Santrock, 2007: 218). Permainan
kooperatif terlihat pada permainan formal anak-anak, kompetisi dengan
sasaran kemenangan, dan kelompok-kelompok yang dibentuk oleh guru
untuk melakukan hal tertentu bersama-sama. Lebih lanjut Wahyuningsih
mengemukakan bahwa bermain secara kooperatif melibatkan anak secara
aktif dalam menggalang hubungan dengan anak yang lain dalam kelompok
dan saling mengikat (2009: 57).
Permainan kooperatif adalah permainan yang melibatkan anak
bermain dalam kelompok. Dalam bermain kooperatif, anak-anak akan
terlibat di dalam kegiatan bermain bersama yang ditandai oleh kerja sama.
Menurut Parten, saat anak bermain bersama secara lebih terorganisasi dan
masing-masing menjalankan peran yang saling mempengaruhi satu sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
lain. Anak bekerja sama dengan anak lain untuk mencapai tujuan kegiatan
bermain (Sujiono, 2009: 148).
Garaigordobil (2008: 304) mendefinisikan permainan kooperatif
sebagai berikut:
Cooperative and creative games are defined on the basis of five structural characteristics: 1) participation, as in these games, all the members of the group participate, nobody is ever eliminated, and there are no winners or losers; the objective consists of achieving group goals, for which each participant has a necessary role in the game; 2) communication, because all of the games in the program structure intragroup communication processes that involve listening, dialogue, decision-making, negotiation, and so on; 3) cooperation, as the games in the program stimulate the players to help each other in order to contribute to a common aim, a group goal; 4) fiction and creation, given that the games involve
tables, and so on, as well as the combination of stimuli to create something new; and 5) fun, because with these games, the aim is for the group members to enjoy interacting in a positive, constructive, and creative way with their colleagues. The play program assessed in this study contains cooperative games with and without socio-dramatic components. Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa permainan kooperatif
didefinisikan berdasarkan lima karakteristik yaitu partisipasi, komunikasi,
kerjasama, fiksi dan penciptaan, serta bersifat menyenangkan. Permainan
kooperatif melibatkan semua anggota kelompok untuk berpartisipasi dan
berinteraksi serta bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam
kelompok.
Permainan kooperatif sejalan dengan asas pembelajaran anak usia
dini yaitu asas kerja sama (kooperatif). Kerja sama menjadi asas karena
dengan bekerja sama keterampilan sosial anak akan berkembang optimal.
Anak akan bertanggung jawab terhadap kelompok, menghargai pendapat
anak lain, aktif dalam kerja kelompok, dan membantu anak lain (Sujiono,
2009: 95).
Bermain memberikan jalan bagi perkembangan sosial anak ketika
berbagi dengan anak lain. Bermain adalah sarana yang paling utama bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
kemampuan bersosialisasi dan memperluas empati terhadap orang lain serta
mengurangi sikap egosentrisme. Bermain dapat menumbuhkan dan
meningkatkan sosialisasi anak. Catron dan Allen berpendapat bahwa
melalui bermain anak dapat belajar perilaku prososial seperti menunggu
giliran, kerja sama, saling membantu dan berbagi (Sujiono, 2009: 63).
Permainan kooperatif pada intinya sama dengan belajar kooperatif.
Masitoh, dkk. (2005) berpendapat bahwa dalam belajar kooperatif anak-
anak bekerja sama dalam kelompok yang cukup kecil, dan setiap anak dapat
berpartisipasi dalam tugas-tugas untuk mencapai tujuan bersama. Belajar
kooperatif juga melibatkan anak untuk berbagi tanggung jawab antara guru
dan anak untuk mencapai tujuan pendidikan, guru mendukung anak untuk
belajar bersama-sama sedangkan anak-anak melakukan tugas berperan
sebagai teman sekelompoknya dan tutor bagi anak lainnya.
Harmin dalam Masitoh, dkk. (2005), mengungkapkan karakteristik
belajar kooperatif sebagai berikut:
1) Semua anggota kelompok bertanggung jawab untuk belajar dari dirinya
sendiri dan belajar dari orang lain.
2) Anak-anak memberi kontribusi terhadap anak lainnya dengan cara
membantu dan memberikan dorongan.
3) Setiap anak bertanggung jawab untuk mencapai hasil kelompok.
Kegiatan dibangun sehingga setiap anak berbagi tanggung jawab untuk
mencapai tujuan bersama. Umpan balik diberikan kepada setiap anak
dalam kelompok secara keseluruhan.
4) Anak-anak harus mempunyai kesempatan yang sama dalam kerja
kelompoknya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
permainan kooperatif adalah permainan yang melibat interaksi sosial
kelompok yang bermain secara aktif dan bekerja sama untuk mencapi tujuan
bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
f. Penerapan Permainan Kooperatif dalam Meningkatkan Kemampuan
Mengelompokkan Benda sesuai dengan Ukuran
Permainan kooperatif merupakan teknik permainan yang digunakan
untuk meningkatkan kemampuan mengelompokkan benda sesuai dengan
ukuran pada anak. Penerapan permainan kooperatif dalam pembelajaran
didukung dengan media yang akan memperjelas materi. Benda-benda yang
dapat dijadikan media dalam permainan ini adalah kancing baju, sedotan,
stik es krim, balok batu bata, balok kayu, dan balok sterofom.
Penerapan permainan kooperatif dalam meningkatkan kemampuan
mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran dibuat secara berkelompok
yang terdiri dari 2-3 anak tiap kelompok. Permainan ini dibuat secara
berkelompok agar anak termotivasi dengan teman satu kelompoknya jika
ada diantara mereka yang masih susah dalam mengklasifikasikan atau
mengelompokkan, maka akan termotivasi dan terbantu teman satu
kelompoknya.
Langkah-langkah permainan kooperatif dalam kegiatan
mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran adalah sebagai berikut:
1) Guru menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan yaitu mengelompokkan
benda sesuai dengan ukuran.
2) Guru menjelaskan media dan cara kerja media dalam permainan
kooperatif mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran.
3) Anak dibagi ke dalam kelompok kecil satu kelompok terdiri dari 2-3
anak, pembagian dapat dilakukan secara acak maupun berdasarkan
tingkat kemampuan anak.
4) Masing-masing kelompok bekerjasama untuk mengelompokkan benda
sesuai dengan ukuran dengan media yang disediakan sesuai dengan
intruksi guru, kegiatan dapat dilakukan dengan maju bergiliran setiap
kelompok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian relevan merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti Penerapan
Permainan Kooperatif untuk Meningkatkan Kemampuan Mengelompokkan
Benda sesuai dengan Ukuran pada Anak Kelompok B TK Dharma Wanita
Mlopoharjo I Tahun Ajaran 2013/2014 sebagai berikut:
Siti
mengelompokkan benda berdasarkan warna dengan menggunakan media botol
susu plastik bekas pada kelompok A TK Dharma Wanita Persatuan Dohoagung
pada siklus I
rata-rata 56,25% dan pada siklus II meningkat menjadi 81,25% .
Sulistyowati (2011)
untuk meningkatkan kemampuan sosial emosional anak TK Kelompok A di TK
Dharma Wanita Persatuan Sengkaling Tahun Aj
pada skor awal kemampuan sosial emosional anak hanya 394 poin (70%), setelah
dilakukan tindakan pada Siklus I meningkat sebesar 473 poin (84 %), dilanjutkan
dengan siklus ke II, juga meningkat menjadi 516 poin (92,1 %).
Pat Broadhead (2009) dengan judul
Behaviour: Observing and Understanding Social and Cooperative Play in Early
Years Educational Settings menyimpulkan bahwa anak-anak bermain untuk
menggambarkan kebutuhan mereka dalam memperdalam pemahaman dan
pengetahuan tentang lingkungan.
Perihan Dinc Artut (2009) denga judul Experimental Evaluation of The
Effects of Cooperative Learning on Kindergarten
Ability yang meyimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif dapat
diterapkan untuk mengajarkan konsep matematika di TK.
Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas terdapat perbedaan
variabel yang pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu untuk meningkatkan
kemampuan kognitif anak melalui kegiatan permainan. Sedangkan dalam penelitian
ini menggunakan penerapan permainan kooperatif untuk meningkatkan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31 kognitif yaitu mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran pada anak kelompok B
TK Dharma Wanita Mloharjo I Tahun Ajaran 2013/2014.
C. Kerangka Berpikir
Kemampuan kognitif anak dalam mengelompokkan benda-benda sesuai
dengan ukuran pada kelompok B di TK Dharma Wanita Mlopoharjo I tergolong
masih rendah. Rendahnya kemampuan mengklasifikasikan benda-benda pada
anak tersebut dikarenakan pembelajaran yang dilaksanakan guru masih bersifat
konvensional.Strategi pembelajaran yang digunakan guru yaitu dengan
menggunakan metode cerita, mengerjakan LKA,tanya jawab, bernyanyi dan
media gambar dinding seadanya. Selain itu pembelajaran masih berpusat pada
guru, anak kurang diberi kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya
tentang sesuatu hal. Guru lebih banyak ceramah dan krang menggunakan media
yang menarik, sehingga pembelajaran kurang bermakna, pengetahuan yang
didapat anak tidak dapat bertahan lama dari ingatannya. Hal ini juga
mengakibatkan anak kurang mengerti terhadap tujuan pembelajaran dan
menganggap pembelajaran yang sulit, kurang menarik dan membosankan.
Untuk mengatasi hal tersebut perlu diadakan pembenahan dalam proses
pembelajaran yang dilakukan guru khususnya dalam pembelajaran kognitif
mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran. Penerapan permainan kooperatif
diharapkan akan meningkatkan kemampuan kognitif anak dalam
mengklasifikasikan atau mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran, karena
dengan menerapkan permainan kooperatif anak akan lebih tertarik dan antusias
dalam mengikuti pembelajaran bidang kognitif. Jika ada diantara mereka yang
masih susah dalam mengklasifikasikan atau mengelompokkan, maka akan
termotivasi dan terbantu teman satu kelompoknya. Dengan permainan ini kegiatan
belajar kognitif anak akan berkembang bersama teman kelompoknya. Melalui
permainan memungkinkan anak-anak mengembangkan kompetensi-kompetensi
dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dengan cara yang menyenangkan.
Setelah penerapan permainan kooperatif maka kemampuan kognitif anak dalam
mengelompokkan benda-benda sesuai dengan ukuran pun akan meningkat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Berdasarkan uraian di atas, maka alur kerangka berpikir dalam penelitian
ini dapat digambarkan seperti bagan 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir di atas dapat diajukan
meningkatkan kemampuan mengelompokkan benda sesuai dengan ukuran pada
anak kelompok B di TK Dharma Wanita Mlopoharjo I Tahun Ajaran 2013/2014.
Siklus II
KONDISI AKHIR
Kemampuan mengelompokkan benda
sesuai dengan ukuran akan meningkat
Siklus I
KONDISI AWAL
TINDAKAN Penerapan Permainan Kooperatif
Guru mengajar menggunakan
metode konvensional
Kemampuan Kognitif dalam
mengelompokkan benda sesuai dengan
ukuran Rendah
KONDISI AWAL
KONDISI AWAL
Siklus ISiklus I Penerapan Permainan Kooperatif
Penerapan Permainan Kooperatif
TINDAKANTINDAKAN