bab i rio

33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana kita ketahui bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dimana kedaulatan berada dia tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1 . sebagai bangsa yang cendrung ingin menikmati kehidupan dengan penuh rasa tenteram dan damai, serta penuh kasih sayang terhadap sesamanya selalu mendambakan suasana kedamaian, kebenaran, kejujuran, dan keadilan. 2 Negara Republik Indonesia mengandung prinsip yang menjamin kesederajatan bagi setiap orang dihadapannya hukum, artinya setiapa orang berhak 1 Lihat Kembali dalam UUD 1945 2 Locke John dalam Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT. Chandra Pratama, Jakarta

Upload: muhiddin-chandra

Post on 10-Nov-2015

226 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

fds

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSebagaimana kita ketahui bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum. Yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dimana kedaulatan berada dia tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar[footnoteRef:1]. sebagai bangsa yang cendrung ingin menikmati kehidupan dengan penuh rasa tenteram dan damai, serta penuh kasih sayang terhadap sesamanya selalu mendambakan suasana kedamaian, kebenaran, kejujuran, dan keadilan.[footnoteRef:2] [1: Lihat Kembali dalam UUD 1945] [2: Locke John dalam Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, PT. Chandra Pratama, Jakarta]

Negara Republik Indonesia mengandung prinsip yang menjamin kesederajatan bagi setiap orang dihadapannya hukum, artinya setiapa orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian untuk mengatur hubungan hukun dalam kepentingan bermasyarakat, di tentukan pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang subyek pelaku dan tingkah laku yang dirumuska dalam aturan (norma) serta ancaman hukumannya (saksi) yang tersebut sebagai hukum materil dan ditentukan pula bagaimana caranya badan-badan peradilan serta aparatnya melaksanakan enyelesaian terhadap pelanggaran hukum materil yang disebut hukum formil. Karenanya dapat ditentukan pula siapa-siapa yang salah dan yang benar, bedasarkan hukum positif yang berlaku serta keyakinan dan kebijaksanaan hakim demi tercapainya keadilan. Oleh karena itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ang berkaitan dengan hukum di dalam undang-undang telah diatur keberadaan empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai wewenang mengadili sendiri-sendiri yang meliputi badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, sedangkan badan peradilan tingkat terakhir adalah Mahkamah Agung. Keempat badan peradilan tersebut adalah peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.[footnoteRef:3] [3: Pasal 2 UU No. 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman]

Peradilan Umum adalah peradilan bagi warga Negara pada umumnya baik mengenai perdata maupun perkara pidana. Sedangkan ketia peradilan laiinya, merupakan peradilan khusus karena mengadili perara-perkara tertentu atau mengadili golongan atau kelompok rakyat tertentu.[footnoteRef:4] [4: Pasal 2 UU No. 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum]

Ketentuan tata cara mengadili pada masing-masing lingkungan sehubungan dengan hal tersebut sepertinya kita ketahui bersama, bahwa bagi Acara yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang lebih dikenal dengan singkatan KUHAP.KUHAP merupakan penyempurnaan dan atau perbaharuan dari Hukum Acara Pidana yang ada sebelumnya yang disebut Herziene Inlandisch Reglement disingkat HIR, sebagai warisan dari Pemerintah Kolonial Belanda Pembaharuan dalam bidang Hukum Acara ini merupakan suatu usaha dalam rangka pembangunan dan pembinaan Hukum Nasional sebagaimana telah digariskan dalam GBHN (TAP MPR No. IV/MPR/1978) yang menyatakan sebagai berikut:1. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, antara lain dengan mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu, dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat.2. Menetapkan kedudukan, peran badan-badan penegak hukum, sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing.3. Memantapkan sikap dan perilaku para penegak hukum serta kemampuannya dalam rangka meningkatkan citra dan wibawa hukum serta aparat penegak hukum.4. Meningkatkan penyelenggaraan bantuan hukum dan pemberian bantuan hukum bagi lapisan masyarakat yang kurang mampu.5. Meningkatkan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menunjang pembangunan dibidang hukum.Salah satu dari usaha tersebut diatas adalah tercapainya rumusan hukum acara pidana nasional yakni Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHP dimuat dalam Lembaga Negara tahun 1981 Nomor 76.Hukum Acara Pidana (KUHP) secara prinsip menegaskan adanya pembagian fungsi, tugas dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum, sehingga didalam pelaksanaannya mutlak ada keserasian hubungan kerja dan koordinasi antar sesama instansi penegak hukum yang disebut dengan integrated criminal justice system yang memandang prises penyelesaian perkara pidana sebagai suatu rangkaian kesatuan atau system, sejak dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi).Oleh karena itu, kerjasama antar instansi Penegak Hukum harus diperbaiki dan perlu mendapat tanggapan positif dari masing-masing instansi, agar tujuan dari hukum acara pidana untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materil atau kebenaran yang sesungguhnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan, Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dapat terlaksana dengan baik.Salah satu factor kegagalan penuntutan di Pengadilan, antara lain disebabkan kurangnya koordinasi yang baik antara Penyidik dan Penuntut Umum, sehingga tidak jarang terjadi seorang terdakwa diputus bebas oleh majelis hakim. Hal ini membuktikan bahwa keberhasilan penuntutan dalam proses perkara pidana banyak tergantung dari kesempurnaan hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Adanya anggapan bahwa setiap berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik kepada Penuntut Umum sudah dapat dipastikan akan terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan adalah tidak benar.Meskipun telah ada ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perkara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, namun dalam praktek sering terjadi penyidikan oleh penyidik yang kemudian dikompilasi menjadi berkas perkara, ternyata isinya belum memenuhi persyaratan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHP), untuk siap dilakukan penuntutan disidang pengadilan.Ketidaklengkapan suatu berkas perkara sudah tentu mempunyai akibat hukum yang tidak diharapkan, seperti putusan yang bisa berupa pembebasan dan atau lepas dari segala tuntutan hukum dan atau dapat diajukan Pra Peradilan serta gugatan-gugatan lainnya dari pihak tersangka/terdakwa.Hal tersebut dapat terjadi, karena kekurangmampuan para aparat penegak hukum melakukan koordinasi didalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai penegak hukum khususnya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam menyelesaikan perkara pidana. Kejaksaan selaku lembaga penuntut umum sudah diberikan oleh undang-undang kewenangan untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam melengkapi berkas perkara tertentu sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik (Pasal 30 ayat (1) huruf e, UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI.Dari pengalaman penulis sendiri sekitar 30 tahun mengemban tugas sebagai jaksa, sering ditemui hambatan-hambatan dalam berkoordinasi sehingga maksud untuk menyelesaikan perkara secara cepat dan tepat belum sepenuhnya mencapai sasaran dengan baik. Proses penyelesaian perkara pidana, berdasarkan KUHP merupakan proses yang sistematis, yakni adanya suatu rangkaian kesatuan dari muai tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksanaan perkara di sidang pengadilan sampai kepada pelaksanaan putusan (eksekusi).Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan secara tertulis hal itu kepada penuntut umum sebagaimana ketentuan dalam 109 ayat 1 KUHP. Maka sejak penuntutan umum menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) saat itu sudah dibangun koordinasi antara penyidik dan penuntut umum, hanya tinggal dalam praktik bagaimana memanfaatkan hubungan tersebut lebih lanjut untuk kesempurnaan berkas perkara.Dalam praktik, hal yang demikian tidak selalu terlaksana dengan baik, antara lain dapat dilihat dalam proses penyelesaian perkara di Kejaksaan Agung sesuai data awal tahun 2003 sampai dengan September 2003, yaitu : Jumlah Jaksa yang diserahi tugas penelitian = 31 orang Pemberitahuan dimulainya penyidikan = 1.621 orang Yang menjadi berkas perkara = 1.618 Yang dihentikan penyidikannya = 10 Lamanya waktu penelitian oleh Jaksa Peneliti rata-rata = 3 hari Yang dikembalikan kepada penyidik untuk disempurnakan = 316 (19,5% berkas perkara) Yang diterima kembali dari penyidik = 282 Lamanya waktu penyempurnaan oleh penyidik rata-rata = 10 hari Yang tidak diserahkan kembali oleh penyidik = 14 (10,7% berkas perkara) Dari contoh data tersebut diatas dalam proses penanganan perkara pidana, terdapat tantangan terhadap pelaksanaan KUHP itu sendiri. Untuk dapat memenuhi azas dalam KUHP bahwa suatu proses penyelesaian perkara harus dapat dilaksanakan secara cepat, tepat, biaya ringan (contante justitie) yang selama ini sulit terpenuhi dengan baik, merupakan salah satu tugas kejaksaan untuk menyikapinya apalagi dnegan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pada pasal 30 ayat 1 sub e yang menyatakan adanya kewenangan kejaksaan, dalam hal:di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Penyidik.Berdasarkan uraian pasal tersebut diatas dapat diartikan bahwa dengan kewenangan melakukan pemeriksaan tambahan, maka akan dapat meningkatkan kewibawaan para Penegak Hukum di mata masyarakat yang sekaligus untuk memelihara eksistensi Kejaksaan dalam menangani perkara-perkara tindak pidana yang dipandang cukup sulit pembuktiannya.

B. Rumusan MasalahDengan pesatnya perkembangan kehidupan sosial masyarakat di Era Globalisasi dewasa ini yang harus dihadapi secara langsung maupun tidak langsung tentu akan berpengaruh pula terhadap kebutuhan pembangunan di sector hukum. Sejauh ini, hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum ternyata masih mengalami kendala dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.Untuk itu Perencanaan penyidikan dan perencanaan penuntutan harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Berdasarkan pemikiran tersebut maka masalah yang diteliti adalah :1. Bagaimanakah ketentuan hubungan antara penyidik POLRI dengan jaksa penuntut umum dalam menangani perkara?2. Bagaimanakah ketentuan pra penuntutan terkait dengan tugas penyidik POLRI dan Jaksa Penuntut Umum?

C. Tujuan dan Manfaat PenelitianPenelitian bertujuan untuk mengetahui tentang:a. Proses penanganan perkara dari penyidik POLRI yang tidak selalu mengikuti prosedur di dalam KUHPb. Pengaturan dan hubungan antara POLRI sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum. Di samping itu juga, penelitian ini dapat memberikan manfaat terhadap:1. Dunia ilmiah, khususnya mahasiswa hukum, masyarakat luas dan pemerhati di bidang tindak pidana umum sebagai suatu sumbangan pemikiran dalam menambah khasanah dunia ilmu pengetahuan.2. Dunia praktek, khususnya yang bertugas dibidang tindak pidana umum pada POLRI dan Kejaksaan atau praktisi hukum lainnya, sebagai suatu sumbangan pemikiran.

D. Kerangka TeoritisKitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan wewenang kepada pejabat kepolisian negara republic Indonesia untuk melakukan suatu proses penyidikan terhadap tersangka atau terdakwa. Untuk meninjau secara yuridis tentang hal-hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut: penyidik, menurut ketentuan pasal 1 butir 1 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ialah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan yang dapat menjadi penyidik, diatur dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa: penyidik adalah, pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus oleh Undang-Undang.Dalam hal ini suatu sector Kepolisian tidak ada pejabat penyidik maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara dibawah pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah Penyidik sebagaimana yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wewenang penunjukkan dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan pada hakekatnya merupakan upaya-upaya yang dilakukan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti. Dengan bukti dapat diketahui tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.Penyidikan sebagai salah satu tahap dari penegakkan hukum pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam melaksanakan penyidikan perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum acara pidana yang menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM). Telah disinggung sedikit mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memahami hak asasi yang terdapat dalam penjelasan umum Kitan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang akan diuraikan dengan perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan.Sedangkan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan Undang-Undang.Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan lalu dituntut atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Kepada orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi. Sejak tingkat penyidikan dan para penegak hukum yang dengan sengaja atau kelalaiannya menyebabkan asas hukum itu dilanggar, dituntut, di pidana, atau dikenakan hukuman administrasi.Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) ditentukan bahwa disamping penyidik, penyidik pembantu ada juga yang disebut penyidik yaitu Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penyidikan.Adapun penyidikan menurutpasal 1 butir 5 KUHP yaitu serangkaian tindakan penyidikan. Untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Sedangkan yang dapat menjadi Penyidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.Dalam hal penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntut dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.Perbedaan laporan dan pengaduan dapat dijelaskan bahwa, laporan ialah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang ia telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sedangkan pengaduan ialah pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum. Seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.Di dalam laporan dan pengaduan itu ialah laporan yang mempunyai arti pemberitahuan tersebut merupakan hak dan kewajiban yang harus disampaikan setiap orang kepada yang berwajib yaitu Kepolisian Negara. Hal yang dilaporkan merupakan tindak pidana umum, sedangkan pengaduan mempunyai arti pemberitahuan yang merupakan hak atau kewajiban oleh seorang tertentu yang disampaikan kepada yang berwajib dengan permintaan agar yang berwajib mengambil atau melakukan tindakan, hal yang diadukan merupakan tindak pidana aduan.Seorang penyidik dapat melakukan penyidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga keras sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, apabila dalam penyidikan ditemukan bukti permulaan yang cukup sebagai tindak pidana. Dalam melakukan tindak penangkapan, penyelidik atau penyidik serta pembantu mempunyai tata cara atau prosedur antara lain: pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Republik Indonesia dengan membawa surat perintah tugas yang dikeluarkan oleh Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berwenang melakukan penyidikan di wilayah hukumnya: surat perintah penangkapan yang dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan dan yang berhak mengeluarkan yaitu pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia di wilayah hukumnya. Isi surat perintah penangkapan tersebut harus ada, identitas tersangka, alasan penangkapan, uraian singkat perkara yang disangkakan dan tempat diperkirakan.Surat perintah penangkapan harus diberikan apda tersangka dan tembusan pada keluarganya, setelah melaksanakan surat perintah penangkapan, petugas membuat berita acara penangkapan. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan dengan tanpa surat perintah dengan catatan bahwa harus segera menyerahkan tersangka beserta barang bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.Lamanya penangkapan dapat dilakukan paling lama satu hari, waktu satu hari tersebut cukup bagi penyidik atau penyidik pembantu untuk menangkat serta memerikasa guna menentukan dapat atau tidaknya diadakan penahanan.Apabila dalam penangkapan, tersangka telah melarikan diri, maka surat perintah penangkapan tersebut diberlakukan sampai tersangka tertangkap. Setelah dilakukan penangkapan harus dibuat berita acara penangkapan yang ditandatangani oleh petugas dari orang yang ditangkap.Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksa untuk dapat menentukan apakah perlu diadakan penahanan atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan berlaku hanya 1 x 24 jam. Terhadap terhadap tersangka pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan kecuali dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.Di dalam prakteknya, tindakan penangkapan mayoritan akan segera diikuti dengan tindakan lanjutan berupa penahanan yang berkaitan erat dengan pembatasan bergerak individu, oleh karena itu harus dipergunakan apabila memang diperlukan sekali. Menurut KUHAP, pengertian penahanan pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih. Tembusan surat perintah penahan atau penahanan lanjutan penetapan Hakim diatas harus diberikan kepada keluarganya.Penahanan terhadap seorang harus ada landasannya, dalam hal ini adalah metiputi dasar hukum keadaan atau keperluan penahanan serta syarat-syarat yang memberikan kemungkinan bagi suatu tindak penahanan. Ketiga dasar penahanan di atas tersebut saling menopang kepada unsur yang lain, sehingga kalu salah satu unsur tidak ada tindakan penahanan kurang memenuhi syarat ditinjau dari segi hukum.Ada (2) dua unsur dalam landasan dasar penahanan yaitu :a. Landasan Unsur yang merupakan dasar hukum karena Undang-Undang sendiri telah menentukan Pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat dilakukan. Dasar yuridisnya terdapat Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menetapkan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadao tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana.b. Landasan unsur keperluan yang menitik beratkan kepada keadaan atau keperluan penahanan itu sendiri. Adanya keadaan tersebut adalah yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti serta dikhawatirka akan mengulangi tindakan pidana.Setelah penangkapan dan melaksanakan suatu pemeriksaan tentang tindak pidana yang dilakukan tersangka atau terdakwa dan diperoleh keterangan-keterangan yang memenuhi syarat-syarat penahanan, seorang penyidik atau penyidik pembantu dengan wewenangnya dapat melakukan penahanan.Penanggulangan penahanan adalah suatu penahan tersangka atau terdakwa ditangguhkan sementara waktu sebelum batas waktu penahanannya berakhir. Jadi masa tahanan yang resmi dan saha masih dan belum habis, namun pelaksanaan penahanan yang masih harus dijalani tersangka atau terdakwa ditangguhkan penangguhan penahanan yang tercantum di dalam kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat diupayakan oleh tersangka dengan perantara kelarga atau terdakwa. Berbagai upaya yang haruss dilakukannya adalah pada awal pemerintahan penangguhan penahanan tersangka dengan perantara keluarga atau penasehat hukumnya mengajukan surat permohonan tersebut dapat di ajukan kepada Penyidik Penuntut atau Hakim yang menangani perkara dari tersangka tadi.Seorang tersangka atau terdakwa dapat dikabulkan penangguhan penahannya, asalkan dianggap tidak akan melarikan diri, tersangka atau terdakwa akan berdomisili tetap di suatu tempat tinggal atau alamat yang telah ditentukan. Penangguhan penahan diwujudkan sebagai suatu perjanjian antara tersangka atau terdakwa dengan Hakim bahwa, terdakwa apabila ditangguhkan penahanannya tidak akan meloloskan diri dari penangkapan atau penahanan.Penegasan perjanjian di atas bahwa terdakwa yang akan dimerdekakan tersebut harus berjanji tidak akan menyulitkan usaha Polisi atau Jaksa Untuk memasukkan tersangkan atau terdakwa lagi dalam penjara. Perjanjian yang dilakukan antara tersangka dengan petugas atau penjabat yang berwenang mengabulkan penangguhan penahanan dan mengenai jaminan tidak akan melarikan diri tersangka disamping upaya-upaya yang dilakukan tersangaka, maka usaha perjanjian penangguhan penahanan juga diadakan perjanjian mengenai jaminannya, baik jaminan berupa uang maupun jaminan orang.Adanya jaminan orang dapat dikarenakan dalam penangguhan penahanan ini, maka masalah jaminan penangguhan penahanan tidak begitu memberatkan tersangka karena dalam mengupayakannya tidak harus disediakan sejumlah uang sehingga tersangka tidak perlu harus bersusah payah menyediakan uang guna pangguhan penahan.Prosedur pengajuan permohonan penangguhan penahanan dapat terjadi, karena permintaan tersangka atau terdakwa mengajukan permohonan penangguhan penahanan pada penjabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan itu dan disertai dengan alasan-alasan permintaan. Permintaan penangguhann penahanan kemudian disetujui oleh intansi yang memohon atau yang bertanggung jawab secara yutidis atas penahanan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan serta mematuhi jaminan yang telah ditetapkan.Dalam penangguhan penahanan ada syarat-sayarat yang ditetapkan yaitu, wajib lapor seminggu tiga kali atau seminggu sekali dan tidak keluar rumah atau keluar kota. Penangguhan penahan diberikan kepada tersangka apabila pemeriksaan telah selesai, sebab jika pemeriksaan telah selesai dan permohonan penangguhan penahannya tidak dikabulkan, sedangkan penahanan masih ada, maka tersangka tetap menjalani masa penahanan yang masih ada.Penangguhan penadahanan dapat diberikan apabila tersangka tidak mempersulit jalannya pemeriksaan yang dilakukan penyidik dan tersangka tidak akan berbuat tindak pidana dan tidak akan melarikan diri. Penolakan penangguhan penahanan dapat dilakukan juga tersangka dimungkinkan akam melarikan diri, tempat tinggal tersangka tidak tetap, tidak melaksanakan tersangka akan menghilangkan barah bukti untuk mengaburkan jalannya pemeriksaan baik tingkat penyidik maupun di tingkat pemeriksaan lainnya.Kewenangan menangguhkan penahan dengan sendirinya tanggal apabila tahanan sudah beralih menjadi tanggung jawab yuridis instansi lain.Penyidik hanya berwenang menangguhkan penahanan selama atas penahanan sudah beralih keterangan instansi Penuntut Umum, maka peralihan penahanan kepada instansi Penuntut Umum, maka tangguhlah kewenangan penyidik, terhitung sejak tanggal saat terjadinya peralihan penahanan kepada instansi Penuntu Umum. Demikian juga Hakim tidak dapat mencampuri penangguhan penahanan selama tahanan masih berada dalam tanggung jawab yuridis Penuntut Umum, Hakim hanya berwenang mengurus penangguhan penahanan apabila berada dalam tanggung jawab yuridisnya.Penangguhan penahanan diberikan kepada tersangka manakala pemeriksaan telah selesai, maka dapat dikaitkannya panangguhan penahanan, sebab jika pemeriksaan telah selesai dan ternyata permohonan Penangguhan penahanan tidak dikabulkan maka tersangka tetap menjalani masa penahanan yang masih ada. Proses yang kedua waktu pemeriksaan mudah dipanggil dam ditemui serta tidak memberikan suatu keterangan yang mempersulit pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik atau penyidik terhadap tersangka atau terdakwa harus berdasarkan bukti yang cukup. Dalam pelaksanaan tugas penangkapan tersebut harus membawa surat perintah penahanan, surat perintah penahanan, tempat tersangka atau terdakwa diperiksa serta memberikan tembusan surat penahanan atau penahanan lanjutan yang harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa.

E. Metode PenelitianDalam penyusunan penelitian ini penulis mengumpulkan bahan-bahan dengan menggunakan metode penelitian sebagai berikut :a. Metode PendekatanPendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative dan social research.Menurut Sunaryanti Hartono untuk dalam rangka penulisan ini pengguna metode sosio legal research disamping metode penelitian normative akan memberi bobot lebih pada penelitian yang bersangkutan.[footnoteRef:5] [5: Cfg. Sunaryanti Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni, Bandung, 1994, hal 142.]

Dalam penelitian hukum normative ini dilakukan penelaahan terhadap peraturan-peraturan yang ada relevansinya dengan judul penelitian yang akan di bahas. Pendekatan sosio legal research dimaksudkan untuk menjelaskan secara internal dan exsternal permasalahan yang diteliti beserta yang diperoleh dalam hubungan dengan aspek hukumnya.b. Spesifikasi PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan prekriptif, penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambara mengenai penyidikan dan penuntutan dengan melihat pada masalah-masalah yang terjadi.Selain itu dalam penelitian preskriptif, analisinya mengarah pada prediksi masa yang akan datang guna menemukan kebijakan yang tepat.c. Penelitian Kepustakaan.Dengan metode penelitian kepustakaan ini, penulis berusaha mencari dan mendapatkan bahan-bahan untuk memproleh pengertian, perbandingan maupun dasar hukum yang berhubungan dengan tulisan ini. Adapun bahan-bahan tersebut berada atau ditemukan dalam pesal-pasal dari Undang-undang yang ada, hasil-hasil pemikiran para ahli yang terdapat dalam buku-buku yang berada di perpustakaan maupun yang dimiliki sendiri, demikian juga bahan-bahan kuliah yang penulis peroleh baik baik secara langsung maupun tidak langsung dari para pengajar selama mengikuti kuliah study ilmu hukum.

F. Sistematika PenulisanAgar penelitian dalam tulisan ini dengan mudah dibaca, dipahami dan dimengerti oleh para pembaca dan khususnya kepada para dosen pembimbing dan penguji, maka dalam hal ini penulis susun secara rinci dan sistematis ke dalam lima bab.Adapun sistematika dari bab-bab tersebut, sebagai tersebut :Bab I : PENDAHULUAN.Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan.Bab II : TINJAUAN PUSTAKADalam bab ini, penulis menguraikan tentang Konsep Dalam Teori Penegakan Hukup, Penyidikan Menurut Hukum Acara Pidana dan Penuntut Umum Menurut Hukum Acara Pidana.Bab III : PENANGANAN PERKARA OLEH PENYIDIK POLRIDalam bab ini, penulis menjelaskan tentang Polisi Sebagai Penyidik dan Kewenangannya, Jaksa Sebagai Penuntut Umum dan Kewenangannya dan Hubungan Penyidik Dengan Penuntut Umum.Bab IV : KOORDINASI ANTARA PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM DALAM PRO PENUNTUTANDalam bab ini, penulis menguraikan secara umum tentang Pra Penuntutan dan fungsinya serta Penuntutan dan Kendala Yang Dihadapi.BAB V : PENUTUPDalam bab ini, penulis membuat kesimpulan dan selanjutnya memberikan saran guna menambah khazanah dan wawasan kita dalam ilmu hukum