bab i pendahuluan latar belakang...

12
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia ialah negara hukum, hal ini tentunya kita telah mengetahuinya karena di dalam Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya Pasal 1 ayat (3) telah menyatakan demikian. Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan bangsa Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia tenaga kerja. Pada awal kemerdekaan produk-produk hukum sebagi pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 27 ayat (2) tentang hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan belum dapat terealisir. Ketentuan mengenai perburuhan saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burjgelijk Wetboek (KUH Perdata) berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Pengalihan Undang-Undang Dasar 1945 yakni segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sepanjang belum digantikan dengan yang baru. Ketentuan perburuhan dalam KUH Perdata diatur dalam buku III, Bab 7A, bagian pertama sampai bagian kelima. Peraturan perburuhan dalam KUH Perdata bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak buruh yang berada pada posisi yang lemah/rendah. Atas dasar

Upload: voque

Post on 11-May-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia ialah negara hukum, hal ini tentunya kita telah mengetahuinya

karena di dalam Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945

khususnya Pasal 1 ayat (3) telah menyatakan demikian. Sebagai negara hukum

segala aspek kehidupan bangsa Indonesia diatur oleh hukum termasuk dalam

hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi

terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran

terhadap Hak Asasi Manusia tenaga kerja.

Pada awal kemerdekaan produk-produk hukum sebagi pelaksanaan amanat

Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pasal 27 ayat (2) tentang hak warga

negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan belum dapat

terealisir. Ketentuan mengenai perburuhan saat itu masih sepenuhnya

memberlakukan hukum kolonial yakni Burjgelijk Wetboek (KUH Perdata)

berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Pengalihan Undang-Undang Dasar 1945

yakni segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku

sepanjang belum digantikan dengan yang baru.

Ketentuan perburuhan dalam KUH Perdata diatur dalam buku III, Bab 7A,

bagian pertama sampai bagian kelima. Peraturan perburuhan dalam KUH Perdata

bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam

banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu

menekan pihak buruh yang berada pada posisi yang lemah/rendah. Atas dasar

itulah, pemerintah secara berangsur – angsur turut serta dalam menangani masalah

perburuhan melalui berbagai peraturan di bidang perburuhan dimaksudkan untuk

memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun

pekerja/buruh.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum di bidang Ketenagakerjaan,

pemerintah bersama dengan legislatif dengan memperhatikan perkembangan

usaha di dunia usaha mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan. Didalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ini

dirumuskan istilah Ketenagakerjaan, yaitu segala hal yang berhubungan dengan

tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Menurut

Undang-Undang ini, tenaga kerja adalah “setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk masyarakat1”.

Ruang lingkup dari Hukum Ketenagakerjaan pada dasarnya masuk lingkup

hukum privat. Mengingat bidang-bidang kajian hukum itu merupakan satu

kesatuan dan tidak mungkin untuk dilakukan pemisahan maka menjadikan hukum

Ketenagakerjaan termasuk ke dalam hukum fungsional, yaitu mengandung bidang

hukum lainya.

Apabila ditinjau dari sifatnya, hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat

publik dan dapat pula bersifat privat/perdata. Bersifat publik karena pemerintah

ikut campur tangan dalam masalah-masalah perburuhan serta adanya sanksi

1 H.Dedi Ismatullah, Hukum Ketenagakerjaan,cet 1,Bandung Pustaka Setia,2013

pidana dalam peraturan hukum Ketenagakerjaan. Bersifat privat karena mengatur

hubungan antara orang perseorangan (pembuatan Perjanjian Kerja).

Salah satu Perjanjian yang harus dilaksanakan dalam kaitanya dengan

Ketenagakerjaan adalah Perjanjian Kerja, yang nantinya akan melahirkan adanya

hubungan kerja dan hubungan kerja akan lahir bila terjadi Perjanjian Kerja2.

Pada dasarnya buruh/pekerja adalah seorang yang menjalankan pekerjaan

untuk orang lain atau badan dalam hubungan kerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pengertian Tenaga Kerja meliputi setiap

orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/jasa baik

untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat, baik yang sudah

mempunyai pekerjaan dalam hubungan kerja atau sebagai swapekerja-maupun

yang belum/tidak mempunyai pekerjaan3.

Di dalam Undang-Undangan yang baru, istilah majikan digantikan dengan

istilah pengusaha. Isitilah majikan dikenal karena sebelumnya (Undang-Undang

No. 25/ 1997) menggunakan istilah majikan. Istilah pengusaha secara umum

menunjukan beberapa kelompok sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat (5)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengartikan pengusaha adalah

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang enjalankan

suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara

berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

2 Jumiarti, hokum Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

2011 hlm 5.

3 Iman Soepomo, Prof.,S.H,Opcit, halaman 34.

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berda di

Indonesia yang mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Selain pengusaha Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 Tentang

Ketenagakerjaan juga menyebutkan adanya pemberi kerja, yaitu orang

perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainya yang

memperkajakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

lain. Pengaturan mengenai pemberi kerja ini dimaksudkan untuk menghindari

orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat digolongkan sebagai

pengusaha, khususnya pekerja di sektor informal.

Pada dasarnya sebagai suatu Undang-Undang yang tujuanya memberikan

perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan

kesejahteraan pekerja dan keluarga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

memberikan panduan mengenai Perjanjian Kerja. Menurut Undang-Undang ini,

Perjanjian Kerja dapat dibuat secara tertulis ataupun lisan4. Apabila Perjanjian

Kerja dibuat secara tertulis, hal-hal yang harus dimuat adalah :

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin,umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayaranya;

4 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cet 2, PT Pradnya Paramita, Jakarta 2007.

Hlm 43.

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha

dan pekerja/buruh;

g. Mulai dan jangka waktu berlaunya Perjanjian Kerja;

h. Tempat dan tanggal Perjanjian Kerjadibuat;

i. Tanda tangan para pihak dalam Perjanjian Kerja.

Ketentuan dalam Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e

dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, Perjanjian Kerja

bersama, dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku5.

Di dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha terdiri

atas hubungan kerja tetap dan hubungan kerja tidak tetap. Dalam hubungan tetap,

Perjanjian Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha berdasarkan Perjanjian

Kerja untuk waktu tidak tertentu (PKWTT), sedangkan dalam hubungan kerja

tidak tetap antara pekerja/buruh dengan pengusaha didasarkan pada Perjanjian

Kerja untuk waktu tertentu (PKWT).

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah “Perjanjian Kerja antara

pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu

tertentu atau untuk pekerjaan yang bersifat sementara”6. Jadi, Perjanjian Kerja

untuk waktu tertentu maksudnya dalam perjanjian telah ditetapkan suatu jangka

waktu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha.

5 Ibid hlm 44.

6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Trasmigrasi No. KEP 100 MEN/VI/2004 tentang ketentuan

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah

Perjanjian Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan

hubungan kerja yang bersifat tetap. Pada PKWTT ini dapat disyaratkan adanya

masa percobaan (maksimal tiga bulan). Pekerja/buruh yang dipekerjakan dalam

masa percobaan upahnya harus tetap sesuai dengan standar upah minimum yang

berlaku. Apabila PKWTT dibuat (maksudnya diperjanjian) secara lisan maka

pengusaha wajib membuat surat pengangkatan.

Dalam hal berakhirnya suatu hubungan kerja bisa terjadi secara

otomatis yaitu ketika jangka waktu hubungan kerja yang telah ditentukan para

pihak pekerja/buruh denga pihak pengusaha. Adapaun hubungan kerja itu dapat

berakhir karena adanya suatu yang dinamakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

yang pada hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu pengakhiran sumber nafkah

bagi pekerja atau buruhnya. PHK ini juga dapat juga disebabkan karena kehendak

dari si pekerja/buruh, yaitu dalam hal pekerja/buruh mengundurkan diri. Dalam

berakhirnya hubungan kerja diputuskan oleh pihak ke-tiga yaitu Mediator,

Konsiliator, Arbiter, atau Hakim, jika para pihak memperselisihkan pemutusan

hubungan kerja itu. Berakhirnya hubungan kerja juga bisa merupakan hasil

perundingan atau kesepakatan dari kedua belah pihak.

Perusahaan dapat melakukan PHK apabila pekerja/buruh melakukan

pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja

bersama (PKB). Akan tetapi, sebelum mem-PHK perusahaan wajib memberikan

surat peringatan secara 3 kali berturut-turut. Perusahaan juga dapat menentukan

sanksi yang layak, bergantung pada jenis pelanggaran, dan untuk pelanggaran

tertentu, perusahaan bisa mengeluarkan SP3 secara langsung atau langsung

memecat. Hal ini diatur dalam Perjanjian Kerja, peraturan persuahaan masing-

masing. Bagi pekerja yang di-PHK, berhak atau tidak berhak atas uang pesangon,

uang penghargaan dan uang penggantian hak.7

Pemutusan Hubungan Kerja yang terjadi karena adanya perselisihan, akan

sangat mungkin menimbulkan ekses negatif yang apabila tidak dikelola dengan

baik maka akan menimbulkan dampak serta kerugian bagi perusahaan itu sendiri

maupun bagi masyarakayt luas. Maraknya aksi-aksi buruh tekait PHK tersebut

merupakan cermin dari kurang profesionalitasnya pengelolaan terkait masalah

hubungan industrial pada umumnya dan PHK itu sendiri pada khususnya, Seperti

pada kasus Pekerja/buruh di dalam putusan pengadilan pengadilan penyelesaian

hubungan idustrial tingkat I No 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG dan kasasi No.

: 745 K/Pdt.Sus-PHI/2015 di dalam kasus ini duduk perkaranya sebagai berikut :

Dalam pokok perkara ini para Penggugat merupakan buruh dari

perusahaan PT. ASIA HEALTH ENERGY BEVERAGES yang merupakan

perusahaan milik Tergugat. Hubungan kerja Penggugat dan Tergugat didasarkan

dengan sistem kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Para Penggugat mulai bekerja pada waktu yang berbeda-beda, dengan posisi yang

sama yaitu pada bagian gudang jadi, dimana pekerjaan tersebut merupakan

pekerjaan yang berlangsung secara terus menerus. Akan tetapi perjanjian yang

telah di sepakati antara pekerja dengan pengusaha merupakan Perjanjian Kerja

7 R. Joni Bambang S., S.H., M.M.Hukum Ketenagakerjaan, Cet 1,Bandung,Pustaka Setia, 2013 hlm

300

Waktu Tertentu dimana apabila di telusuri lebih lanjut hal ini bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

MENGADILI

Dalam hal ini hakim memberikan putusan dengan mengabulkan gugatan

sebagian yaitu Penggugat berhak mendapat uang Tunjangan Hari Raya Idul Fitri

1435 H / Tahun 2014 untuk Penggugat Nana Suhendra, Roby Mulyana dan Sandi

Suandi masing-masing mendapatkan tunjangan hari raya sebesar Rp.804.510,00.

Menyatakan kontrak kerja yang disepakati para Penggugat dan Tergugat sah

menurut hukum dan Menyatakan para Penggugat Putus Hubungan Kerja karena

berakhirnya kontrak kerja untuk Penggugat pertama Dasep Awaludin terhitung

tanggal 30 September 2014 dan untuk Penggugat kedua, ketiga dan keempat yaitu

Nana Suhendra, Roby Mulyana, Sandi Suandi terhitung dari tanggal 30 Juni

20148. Bahwa dengan adanya putusan seperti di atas maka Penggugat lalu

memutuskan untuk mengajukanya di tingkat kasasi dengan permohonan yang

sama, Hakim memberikan putusanya sebagai berikut Menolak permohonan kasasi

dari Para Pemohon Kasasi: 1. Dasep Awaludin 2. Nana Suhendra, 3. Robi

Mulyana, dan 4. Sandi Suandi tersebut9.

Seperti itulah gambaran atau duduk perkara dari kasus tersebut. Bertolak

dari uraian di atas, Peneliti mengajukan judul penelitian Studi Kasus tentang

Perubahan Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT) Menjadi Perjanjian Kerja Waktu

Tidak Tertentu (PKWTT) dalam Putusas Pengadilan Hubungan Industrial

8 Putusan Tingkat I Nomor 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BD

9 kasasi No. : 745 K/Pdt.Sus-PHI/2015

Tingkat I NO 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG Dan Kasasi NO. : 745 K/Pdt.Sus-

PHI/2015.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah penulis uraikan diatas maka penulis mencoba

mengidentifikasi masalah yang berkaitan diantaranya sebagai berikut :

Apakah dasar Pertimbangan Hukum Dari Majelis Hakim pada Putusan

Tingkat I Nomor 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG Dan Kasasi Nomor 745

K/Pdt.Sus-PHI/2015 telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diharapkan untuk mencapai tujuan yaitu :

untuk menganalisis kesesuaian pertimbangan Hukum dari Majelis Hakim pada

Putusan Tingkat I I NO 75/PDT. SUS-PHI/2015/PN.BDG Dan Kasasi NO. : 745

K/Pdt.Sus-PHI/2015 telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan.

D. Manfaat Penelitian

a. Bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Hukum pada

khususnya terutama Hukum Ketenagakerjaan ;

b. Untuk memberikan gambaran yang jelas apakah putusan Mahkamah

Agung nomor No. : 745 K/Pdt.Sus-PHI/2015 telah sesuai ketentuan

hukum yaitu Undang – undang Ketenagakerjaan;

a. Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisa yang akan

membentuk pola pikir dinamis, sekaligus mengukur sejauh mana

kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan yang digunakan

Pendekatan yang dilakukan oleh penulis lebih kepada pendekatan

Undang – Undang dan pendekatan kasus, dimana pendekatan Undang –

Undang dilakukan dengan menelaah Undang – Undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani penulis. Pendekatan

kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus – kasus yang

berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.10

Dengan pendekatan

tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai

isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan – pendekatan yang

digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan

pendekatan konseptual (conceptual approach). 11

10

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal

. 94. 11

ibid. 12.

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat kepada masyarakat, seperti Norma Dasar, Peraturan

Dasar,Peraturan perUndang-Undangan, Bahan Hukum Tidak Tertulis,

Yurisprudensi, Perjanjian Internasional dan Peraturan Jaman

Penjajahan yang masih berlaku. Perihal badan hukum primer yang

berhubungan dengan penulisan ini adalah Kitab Undang – undang

Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

b. Bahan Hukum Sekunder, Bahan hukum sekunder tidak mengikat

namun menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan

pemikiran dan pendapat dari para pakar atau ahli yang mempelajari

suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk

untuk penulisan penelitian. Yang digunakan oleh penulis adalah

doktrin – doktrin dan asas – asas yang ada di dalam buku, jurnal

hukum dan internet.

c. Bahan hukum tersier, merupakan penjelasan atas bahan hukum primer,

antara lain; buku-buku, makalah hasil penelitian yang berhubungan

dengan hubungan kerja dan Perjanjian Kerja.

2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini mempergunakan teknik pengumpulan data berupa studi

pustaka atau kepustakaan yaitu dengan mempelajari literature-literatur

yang ada berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Disamping itu untuk melengkai data juga dilakukan penelurusan dan

melalui internet.

3. Teknik pengolahan data

Pengolahan ata disusun secara sitematis melalui proses editing

yaitu mengolah kembali data yang telah diproses dengan memilih data

yang sesuai degan keperluan dan tujuan penelitian sehingga di dapat

suatu kesimpulan akhir secara umum yang nantinya akan dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataaan yang ada.