bab i pendahuluan...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat bajo. budaya...

16
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Orang Bajo merupakan suku yang hidup di laut. Pola interaksi masyarakat Bajo terpusat pada laut yang merupakan sumber kehidupan mereka. Gaya hidup nomaden (mengembara atau berpindah-pindah) membuat orang Bajo merasakan perubahan nyata dalam budaya mereka. Akibatnya, orang Bajo sulit untuk menunjukkan identitasnya yang ‘asli’. Padahal identitas merupakan fenomena sosial yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial, dipelihara, dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh relasi sosial masyarakat. 1 Identitas orang Bajo kini menjadi samar-samar akibat perubahan sosial dan pembangunan yang terjadi begitu cepat. Selain itu, globalisasi yang menguat sampai ke setiap lini kehidupan membuat orang Bajo tidak bisa menahan arus perubahan global. Anthony Giddens memakai metafora Juggernaut (Panser Besar) untuk menggambarkan dunia yang tidak terkendali oleh arus globalisasi, sehingga menciptakan resiko dan kesempatan. 2 Globalisasi sering dianggap sebagai ancaman dalam masyarakat, khususnya dari pengaruhnya dalam melemahkan kebudayaan lain. Jadi, proses penduniaan (homogenitas) turut mengambil bagian dalam proses perubahan, pola pikir, gaya hidup, budaya, sistem kepercayaan, dan perubahan sosial yang menuntun ke arah universalisme itu sendiri. Michael Forse menyatakan bahwa “perubahan sosial merupakan hasil dari ketidakseimbangan mikrososial yang terjadi sehingga menyebabkan reaksi global dan berantai, serta akan menghasilkan perubahan makrososial dari masyarakat terhadap 1 Peter L. Berger and Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, trans. Hasan Basari, First ed. (Jakarta: LP3ES, 1990), 248. 2 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, trans. Saut Pasaribu, Rh. Widada, and Eka Adi Nugraha, Second ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 979.

Upload: others

Post on 17-Dec-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Orang Bajo merupakan suku yang hidup di laut. Pola interaksi masyarakat Bajo

terpusat pada laut yang merupakan sumber kehidupan mereka. Gaya hidup nomaden

(mengembara atau berpindah-pindah) membuat orang Bajo merasakan perubahan nyata

dalam budaya mereka. Akibatnya, orang Bajo sulit untuk menunjukkan identitasnya yang

‘asli’. Padahal identitas merupakan fenomena sosial yang timbul dari dialektika antara

individu dan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial, dipelihara,

dimodifikasi atau dibentuk ulang oleh relasi sosial masyarakat.1 Identitas orang Bajo kini

menjadi samar-samar akibat perubahan sosial dan pembangunan yang terjadi begitu cepat.

Selain itu, globalisasi yang menguat sampai ke setiap lini kehidupan membuat orang Bajo

tidak bisa menahan arus perubahan global. Anthony Giddens memakai metafora Juggernaut

(Panser Besar) untuk menggambarkan dunia yang tidak terkendali oleh arus globalisasi,

sehingga menciptakan resiko dan kesempatan.2 Globalisasi sering dianggap sebagai ancaman

dalam masyarakat, khususnya dari pengaruhnya dalam melemahkan kebudayaan lain. Jadi,

proses penduniaan (homogenitas) turut mengambil bagian dalam proses perubahan, pola

pikir, gaya hidup, budaya, sistem kepercayaan, dan perubahan sosial yang menuntun ke arah

universalisme itu sendiri.

Michael Forse menyatakan bahwa “perubahan sosial merupakan hasil dari

ketidakseimbangan mikrososial yang terjadi sehingga menyebabkan reaksi global dan

berantai, serta akan menghasilkan perubahan makrososial dari masyarakat terhadap

1 Peter L. Berger and Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Sebuah Risalah Tentang

Sosiologi Pengetahuan, trans. Hasan Basari, First ed. (Jakarta: LP3ES, 1990), 248. 2 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,

trans. Saut Pasaribu, Rh. Widada, and Eka Adi Nugraha, Second ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 979.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

2

perubahan tersebut.”3 Perubahan ini berdampak pada tatanan sosial, kultur, dan sistem

kepercayaan orang Bajo. Orang Bajo yang sifatnya terbuka menjadi “santapan segar” dalam

perubahan ini, khususnya terhadap pengaruh globalisasi. Akibatnya, “setiap hal” yang masuk

sulit disaring oleh masyarakat Bajo itu sendiri, karena sifat khas atau karakter kebudayaan

mereka yang terbuka terhadap hal baru. Ini menjadi persoalan ketika identitas global yang

digadang-gadang akan mengganti identitas manapun, bahkan identitas lokal yang ada. Dari

sisi ini, dampak dari globalisasi “menekan ke bawah,” yakni menciptakan tuntutan-tuntutan

dan kesempatan-kesempatan baru untuk meregenerasikan identitas lokal.4

Hal ini terjadi pula terhadap identitas lokal orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi.

Pemerataan dalam hal pembangunan terjadi di daerah tersebut, yakni dalam rentang waktu

15-20 tahun ini, mengakibatkan orang Bajo tinggal menetap di daerah tersebut. Persoalan ini

menjadi masalah kultural bagi orang Bajo, karena mereka pada dasarnya sulit untuk tinggal

pada suatu kawasan tertentu dalam waktu yang lama, apalagi menetap untuk “selamanya.”

Orang Bajo dikenal karena hidup di atas air laut, melakukan setiap aktivitas kehidupannya

‘dari laut dan untuk laut.’ Siklus kehidupan orang Bajo mulai dari kelahiran, pernikahan,

pengobatan, sampai kematian selalu dihubungkan dengan laut. Itu yang menyebabkan orang

Bajo membuat satu sistem kepercayaan mereka sendiri yang berpusat dari laut dan untuk laut.

Namun kini, orang Bajo yang terkena dampak dari pembangunan telah tinggal menetap di

atas fondasi batu karang, layaknya rumah di darat. Hanya tersisa satu wilayah yang belum

terkena dampak pembangunan tersebut, yakni Desa Mola Nelayan Bakti. Di Desa ini, rumah-

rumah penduduk masih dari rumah panggung, dibangun dengan fondasi kayu atau beton cor

3 Michael Forse, "Teori-Teori Perubahan Sosial," in Sosiologi Sejarah Dan Berbagai Pemikirannya, ed.

Anthony Giddens, et al. (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 328. 4 Anthony Giddens, The Third Way, trans. Ketut Arya Mahardika, Fourth ed (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2002), 36.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

3

yang ditancapkan ke dasar laut, sehingga belum mendapatkan sertifikat tanah oleh

pemerintah.5

Dari segi kemanusiaan, hal ini penting dilakukan oleh pemerintah. Namun,

pemerintah melupakan pendekatan terhadap kebudayaan orang Bajo ini. Pemerintah sibuk

melakukan pembangunan dari segi fisik (bangunan), dan cenderung mengesampingkan aspek

psikis, sosial, dan budaya. Pemerintah Wakatobi menjadikan Desa Mola sebagai permukiman

orang Bajo. Dengan kata lain, pemerintah dengan kebijakannya telah mengubah ‘status’

masyarakat Bajo menjadi “masyarakat biasa,” karena dengan mengubah identitas fisiknya,

maka identitas kebudayaan orang Bajo ikut berubah. Awalnya orang Bajo tinggal di atas laut

dan memegang teguh ajaran nenek moyang, agar tidak tinggal di darat untuk mencegah

konflik yang terjadi. Kini, orang Bajo telah melanggar “hukum lisan” yang mereka percaya

selama ini, akibat dari pembangunan dan perubahan sosial yang terjadi. Baskara, seorang

antropolog yang melakukan penelititan di daerah Wakatobi berkata bahwa “jarak Desa Mola

dengan darat sangat dekat bahkan hampir menyatu, sehingga desa ini tidak tampak lagi

sebagai kampung Bajo di atas laut, karena timbunan-timbunan batu-batu karang yang lebih

tampak sebagai reklamasi pantai.”6 Jika pembangunan terus dilakukan tanpa disertai

pendekatan terhadap kebudayaan, identitas lokal masyarakat Bajo akan tinggal kenangan

saja. Orang Bajo tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, yang lebih utama adalah

peningkatan kesadaran terhadap orang Bajo, baik melalui pendidikan dan keterampilan yang

diberikan agar pembangunan berjalan seimbang.7 Peningkatan kesadaran di sini merujuk

pada pemahaman orang Bajo terhadap kebudayaannya secara objektif dan berdasar pada

kacamata orang Bajo itu sendiri, agar proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah

tidak mengubah esensi dan makna kebudayaan orang Bajo secara holistik.

5 Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 26. 6 Baskara, Islam Bajo, 25. 7 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia: Etika Politik Dan Perubahan Sosial, trans. A. Rahman

Tolleng, First ed. (Jakarta: LP3ES, 1982), 113.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

4

Di konteks Indonesia, penelitian terhadap orang Bajo mempunyai minat yang tinggi

akhir-akhir ini, baik dari sudut pandang antropologi, ekologi, sosiologi, politik maupun

ekonomi. Tidak sedikit ilmuan sosial yang berusaha meneliti tentang kehidupan orang Bajo,

isu identitas orang Bajo, dan isu tentang agama orang Bajo. Jika melakukan penelitian

terhadap orang Bajo, tidak bisa lepas dari tulisan Robert Zacot, seorang antropolog, yang

meneliti orang Bajo secara mendalam (Orang Bajo di Pulau Nain, di Sulawesi Utara dan

Torosiaje, di Gorontalo). Secara khusus, ia melihat kehidupan orang Bajo secara menyeluruh,

pada saat itu, kira-kira antara tahun 1970 dan 1990-an. Penelitiannya menggunakan metode

etnografi murni, dan masih melihat orang Bajo saat itu yang belum terpengaruh identitasnya

seperti saat ini.8 Kemudian, Suyuti, menjelaskan tentang perubahan makna sama (orang bajo)

dan bagai (bukan orang Bajo). Dari makna tersebut, ia mengidentifikasi perubahan sosial

yang terjadi kepada masyarakat Bajo, perubahan yang dianalisis di sini berkaitan dengan

interaksi orang Bajo dengan orang bukan Bajo, khususnya orang Bajo di Kolaka, Sulawesi

Tenggara.9

Penelitian terbaru mengenai orang Bajo, dilakukan oleh Baskara, yang meneliti orang

Bajo yang telah beradaptasi dengan agama pendatang (Islam), sehingga terjadi suatu proses

akulturasi dalam pembentukkan identitas orang Bajo tersebut. Dalam tulisannya, Baskara

memaparkan secara mendalam pembentukkan identitas orang Bajo dengan agama Islam.

Tulisan ini merupakan adaptasi dari penelitian Baskara yang menganalisis identitas Islam

Bajo dan tantangan yang dihadapi orang Bajo dari orang luar (Bagai) yang mencoba

mengidentifikasi Islam Bajo (Sama) sebagai agama kafir yang melanggar norma-norma

dalam Islam. Penelitian Baskara secara lugas mendeskripsikan kehidupan orang Bajo,

8 Bandingkan; Francois Robert Zacot, Orang Bajo Suku Pengembara Laut (Jakarta Selatan:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2002). 9 Bandingkan; Nasruddin Suyuti, Orang Bajo Di Tengah Perubahan (Yogyakarta: Penerbit Ombak,

2011).

Page 5: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

5

khususnya dalam ritus kehidupan mereka dan dihubungkan langsung dengan agama Islam

sebagai identitas mereka yang kedua.10

Meskipun banyak ahli telah meneliti kehidupan orang Bajo, tetapi penelitian-

penelitian tersebut tidak menyentuh bagaimana proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus

kehidupan orang Bajo pada masa kini. Bagian yang belum diteliti tersebut adalah research

gap yang akan digali secara mendalam oleh penelitian tesis ini. Tesis ini akan meneliti proses

hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar

(global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa Mola yang

kehidupannya dekat dengan daratan, akibat dari pembangunan, dan juga terdapat pariwisata

di tengah-tengah desa tersebut.

Perubahan makna dan identitas orang Bajo dipengaruhi oleh beberapa faktor:

pembangunan yang menyebabkan pergeseran makna terhadap kehidupan orang Bajo dan

hibridisasi budaya. Tesis utama hibridisasi adalah proses berkesinambungan dari

percampuran budaya,11 Ritzer menjelaskan bahwa “hibridisasi adalah suatu paradigma yang

menekankan pertemuan antara yang global dan yang lokal saling menerobos untuk

menciptakan realitas-realitas pribumi yang unik yang dapat dilihat sebagai “glokalisasi”,”

yang merupakan istilah dari Roland Robertson.12 Perubahan kebudayaan yang disebabkan

oleh perkawinan campuran antara orang asing (Bagai) dan penduduk lokal (Sama), pada

akhirnya membuat suatu anak budaya yang memberi pemahaman baru kepada orang Bajo.

Teori yang digunakan adalah teori Appadurai sebagai pisau analisis penelitian ini,

yakni dengan merujuk pada lanskap yang dikembangkan Appadurai, di tengah dinamika

tantangan global yang dialami oleh dunia saat ini. Lima lanskap itu sebagai berikut: lima

10 Bandingkan; Baskara, Islam Bajo. 11 Abderrahman Hassi and Giovanna Storti, "Globalization and Culture: The Three H Scenarios,"

(licensee InTech, 2012), 13. 12 Ritzer, Teori Sosiologi, 392.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

6

scapes, yakni ethnoscapes, ideoscapes, financescapes, technoscapes dan mediascapes. Bagi

Appadurai, memahami globalisasi perlu melihat landscapes tersebut, karena globalisasi

merupakan proses yang kompleks, dinamis dan interaktif.13 Selain itu, peneliti menggunakan

teori glokalisasi: untuk meneliti isu-isu dan permasalahan yang berhubungan dengan

pertemuan identitas lokal dan global, sehingga fokus utama bukan identitas global yang

mempengaruhi yang lokal, melainkan identitas lokal dapat memberi pengaruh terhadap

identitas global. Hal ini mengindikasikan bahwa topik tentang kebudayaan berkaitan dengan

konsep lokal dan global, sehingga akan terjadi proses konstruksi dan reproduksi kebudayaan

oleh masyarakat, melalui interaksi sosial, negosiasi sosial, sampai pada proses internalisasi

kebudayaan dalam suatu masyarakat. Robertson menyatakan bahwa teori glokalisasi

dikembangkan pada pertengahan tahun 1990-an. Masalah semakin muncul tentang hubungan

antara glokalitas dan motif-motifnya, seperti polietnisitas, kosmopolitanisme, lintas

kebudayaan, sinkronisitas, hibriditas, transkultural, kreolisasi, pribumisasi, dan diasporisasi.

Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa gagasan global memiliki berbagai makna di berbagai

konteks "lokal." Dengan cara yang sama, konsep lokal dapat mengglobal.14 Penekanan dalam

teori glokalisasi ini merujuk pada individu dan semua kelompok lokal sebagai agen sosial

yang penting dan kreatif yang mempunyai kekuatan untuk beradaptasi, dan berinovasi dalam

sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Ritzer menambahkan bahwa teori glokalisasi

paling cermat terhadap berbagai perbedaan di dalam dan di antara berbagai kawasan di

dunia.15

Dalam hal ini, Roland Robertson menyatakan bahwa glokalisasi merupakan

pencampuran antara yang global dan lokal, sehingga terdapat dua relasi yang terus saling

terhubung antara homogenisasi dan heterogenisasi, universalisme dan partikularisme. Untuk

13 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A DIctionary Of Globalization," 35. 14 Roland Robertson, "Coping with Binaries: Bays, Seas and Oceans," Glocalism: Journal of Culture,

Politics and Innovation.1, DOI: 10.12893/gjcpi.2013.1.10. 15 Ritzer, Teori Sosiologi, 1000.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

7

itu lokalitas (glokalisasi) melakukan resistensi terhadap dominasi universalisme

(globalisasi).16 Tulisan ini hendak menganalisis kebudayaan orang Bajo akibat pertemuan

yang lokal dan global di ruang publik ini. Wagner menyatakan dalam tesisnya, “penting

untuk menambahkan konsep tambahan dari glokalisasi, yakni hibridisasi, karena keduanya

membahas proses pertemuan lokal dan global dalam interaksinya dengan kebudayaan.”17

Orang Bajo yang hidup dinamis dengan alam mengembangkan ritualnya dari lingkungan laut

dan untuk lingkungan laut, mulai dari kelahiran sampai kematian. Persoalannya adalah,

akibat hibridisasi yang terjadi, maka ritus siklus hidup yang seharusnya dipertahankan orang

Bajo, lama kelamaan surut dan semakin terhisap oleh kebudayaan baru yang hadir di tengah-

tengah masyarakat Bajo. Melalui ritus tersebut manusia dan alam raya saling meresapi. Oleh

karena itu, kekuatan manusiawi dan ilahi saling melebur.18 Hal ini tergambar dalam ritus

siklus hidup orang Bajo pada masa lampau dan masa kini. Hudson menjelaskan bahwa dalam

siklus hidup atau lingkaran hidup dimulai dari saat kelahiran sampai kematian, hal ini

terungkap juga dari peran individu tersebut dalam suatu kebudayaan, upacara-upacara yang

khas dalam kebudayaan itu, sehingga menggambarkan secara jelas organisasi sosial di

dalamnya.19

Ketika hibridisasi itu terjadi bukan hanya kebudayaan yang berubah, melainkan juga

ritus dalam siklus kehidupan orang Bajo turut mengambil peran dalam perubahan itu. Peneliti

meminjam istilah "Rite of Passage," yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis 'ritual

de passage,' hal itu menunjuk pada upacara atau ritual yang terjadi sebagai bagian dari siklus

hidup. Ini merupakan cara untuk melihat perubahan status dan identitas sosial bahkan

16 Roland Robertson, "Glocalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity," in Global

Modernities, ed. M. Featherstone, L. Lash, and R. Robertson (London UK: Sage, 1995), 28-29. 17 Jesse Harold Wagner, "Cultural Hybridization, Glocalization and American Soccer Supporters: The

Case of the Timbers Army" (Portland State University, 2012), 126. 18 C. A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, trans. Dick Hartono, Second ed. (Yogyakarta: Kanisius,

1988), 46. 19 A.B. Hudson, "Siklus Hidup," in Pokok-Pokok Antropologi Budaya, ed. T.O. Ihromi (Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia, 2013), 140.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

8

perubahan emosi yang kuat terlibat dalam transisi tersebut.20 Teori yang digunakan adalah

ritual de passage (Ritus siklus kehidupan) diciptakan oleh Arnold Van Gennep (1873-

1957),21 ia merupakan seorang antropolog yang melihat kehidupan individu di setiap

masyarakat sebagai rangkaian peristiwa yang berurutan dari satu usia ke usia yang lain. Ritus

ini menarik karena menjelaskan transisi individu dari satu situasi ke situasi yang lain, dan

kehidupan masyarakat dapat diidentifikasi dalam ritual siklus kehidupan.22 Ritus yang

diadakan secara kolektif berfungsi agar masyarakat disegarkan dan dikembalikan akan

pengetahuan dan makna-makna kolektif, terkhusus makna realitas dalam masyarakat (makna

sosial).23 Makna tersebut yang akan membentuk identitas orang Bajo dalam kehidupannya.

Akibat hibridisasi budaya itu, orang Bajo mengalami perubahan paradigma tentang

ritus siklus kehidupannya. Mobilitas kelompok masyarakat (Bagai) telah mendorong

rekonstruksi identitas orang Bajo, sehingga telah terjadi adaptasi kultural dari pendatang,

yang berarti adanya pembentukan hubungan-hubungan sosial baru. Selain itu, terjadi

redefinisi sejarah kehidupan individu karena ada suatu fase kehidupan yang terbentuk, sesuai

dengan konteks sosial yang berbeda. Pada akhirnya, terjadi proses pemberian makna baru

bagi identitas seseorang, yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali identitas kultural

dirinya dan asal-usulnya.24 Hibridisasi budaya yang menjadi fokus penulisan ini, adalah

pertemuan budaya lokal (orang Bajo) dan budaya global (pariwisata) yang masuk di tengah-

tengah masyarakat Bajo, dan telah menjadi satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan orang

Bajo Desa Mola, Wakatobi.

20 Steve Bruce and Steven Yearley, "Rite of Passage," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE Publications Inc, 2006), 263.

21 Miri Rubin, "Introduction: Rites of Passage," in Rites of Passage: Cultures of Transition in the Fourteenth Century, ed. Nicola F. McDonald and W. M. Ormrod (University of York’s: York Medieval Press, 2004), 1.

22 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 13.

23 Johannes Supriyono, "Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian," in Teori-Teori Kebudayaan, ed. Mudji Sutrisno and Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.

24 Irwan Abdullah, Konstruksi Dan Reproduksi Kebudayaan, Fifth ed. (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2015), 45.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

9

Objek wisata yang dikembangkan di Desa Mola, Wakatobi, terbagi atas: wisata

bahari, wisata alam dan wisata budaya. Di Desa Mola, fokus objek wisatanya adalah wisata

bahari dan wisata budayanya. Kepala Desa Mola Nelayan Bakti berkata bahwa “Desa Mola

Nelayan Bakti akan dijadikan “wisata budaya” bagi pengunjung, sehingga akan dijaga

keotentikannya oleh masyarakat dan melalui kerja sama dengan pemerintah.”25 Cole

menganalisis bahwa wisata budaya melibatkan keinginan penuh dari wisatawan untuk

mengakses masyarakat "primitif," dalam bahasa yang lebih halus, yakni masyarakat

tradisional, sehingga wisatawan terlibat langsung untuk melihat kehidupan masyarakat,

sekaligus praktik kehidupannya. Pariwisata, sebagai bentuk penting dari globalisasi

menghasilkan integrasi sosial-ekonomi yang lebih besar dengan dunia yang lebih luas,

sehingga menghasilkan 'kekayaan' material bagi pembangunan. Di sisi lain, desa-desa harus

tetap "primitif," tradisional, dan eksotis, agar membawa daya tarik bagi wisatawan.26 Ini

merupakan sisi lain dari pariwisata budaya, khususnya yang terjadi kepada orang Bajo, di

Desa Mola Nelayan Bakti. Memakai bahasa Piliang bahwa hal di atas sama dengan “kloning

kebudayaan,” yakni perubahan makna pada kebudayaan, yang sesungguhnya bersifat historis

menjadi bersifat ahistoris, merujuk pada rekayasa oleh pemerintah, sehingga menyebabkan

lenyapnya aura kebudayaan yang sesungguhnya.27

Di satu sisi pariwisata berfungsi untuk mengangkat orang Bajo ke permukaan

(global), di sisi lain pariwisata yang ada telah mereduksi pemahaman masyarakat Bajo

terhadap budayanya (misalnya ritual duwata atau ritual pengobatan). Perlunya analisis

mengenai hubungan antara pariwisata dan budaya, identitas dan representasi sosial. Oleh

karena itu, penting untuk melihat beyond (melampaui) pariwisata untuk memahami

25 Wawancara dengan Kepala Desa Mola Nelayan Bakti. Desa Mola, Wakatobi, Desember 2015. 26 Stroma Cole, Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia

(Great Britain: Cromwell Press, 2008), 212. 27 Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan Dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta:

Percetakan Jalasutra, 2009), 126.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

10

kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, nilai-nilai, dan kekuasaan yang bermain di

sekelillingnya. Khususnya terhadap komodifikasi budaya atas nama pariwisata.28 Pada

awalnya, ritual duwata dilakukan untuk proses pengobatan yang bersifat magis dan tertutup,

sekarang telah menjadi ajang tari-tarian terbuka yang dikomersialkan oleh pemerintah dalam

pariwisata tersebut. Budaya telah dikomodifikasikan oleh kepentingan ekonomi dan politik,

tentu saja hal ini tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang meresap dalam kehidupan

masyarakat. Ritzer mendefinisikan globalisasi sebagai penyebaran praktik, relasi, kesadaran,

dan organisasi di seluruh penjuru dunia.29

Dengan demikian, fokus penelitian ini adalah mengenai siklus hidup orang Bajo di

Desa Mola, Wakatobi, sejak kelahiran, ritual pengobatan, pernikahan, dan sampai kematian.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah, bagaimana

proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi?,

dan mengapa hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang Bajo di Desa Mola,

Wakatobi terjadi? Mengacu pada pertanyaan tersebut, maka penelitian ini bertujuan

mendeskripsikan dan menganalisis proses hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan

orang Bajo di Desa Mola, Wakatobi. Tujuan selanjutnya, yaitu untuk menganalisis faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya hibridisasi budaya dalam ritus siklus kehidupan orang

Bajo di Desa Mola, Wakatobi.

1.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk memahami secara mendalam proses ritus siklus

kehidupan budaya orang Bajo, yang terjadi akibat hibridisasi budaya. Jadi, tulisan ini

memberi pemahaman baru mengenai paradigma orang Bajo terhadap hibridisasi kebudayaan

28 C. Michael Hall, "Power in Tourism: Tourism in Power," in Tourism, Power and Culture:

Anthropological Insights, ed. Donald V.L. Macleod and James G. Carrier (Great Britain: Short Run Press Ltd, 2010), 211.

29 Ritzer, Teori Sosiologi, 976.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

11

mereka, yang berdampak terhadap proses interaksi sosial dan kultural dalam kehidupan

sehari-hari. Manfaat hasil penelitian ini secara teoretis akan menjadi sumbangan terhadap

analisis antropologis terhadap suku Bajo yang lebih mendalam. Penelitian ini akan mengkaji

siklus hidup orang Bajo yang tengah diperhadapkan oleh arus globalisasi yang terjadi. Pada

akhirnya, penelitian ini akan memberikan suatu pemahaman baru tentang teori hibridisasi

budaya dan ritus siklus kehidupan, ditinjau dari konteks orang Bajo. Secara praktis,

penelitian ini akan menjadi suatu sumber acuan orang Bajo Desa Mola untuk

mengaktualisasikan diri mereka, baik dalam budaya maupun ritual kepercayaannya.

1.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena

menggambarkan kehidupan "dari dalam ke luar," yakni dari sudut pandang orang-orang yang

berpartisipasi di dalam penelitian tersebut. Jadi, penelitian ini memberi pemahaman yang

lebih baik dalam proses, pola makna, dan ciri struktural dalam masyarakat dapat dikaji secara

mendalam.30 Tujuan menggunakan pendekatan kualitatif ini untuk menganalisis budaya, dan

mendapatkan wawasan baru tentang individu serta kompleksitas sosial yang terjadi.31 Hal ini

berkaitan dengan metode yang digunakan oleh peneliti, yakni metode etnografi. Metode ini

mengacu pada penjelasan ilmiah sosial tentang manusia dan landasan budaya

kemanusiaannya.32 Metode etnografi ini memiliki fungsi untuk mendalami kebudayaan

tertentu, berdasarkan kata-kata dan tingkah laku mereka. Jadi, peneliti menganalisis pada

pengembangan budaya dan cara kerja budaya tersebut dari waktu ke waktu, dengan kata lain,

30 Uwe Flick, Ernst von Kardorff, and Ines Steinke, "What Is Qualitative Research? An Introduction to

the Field," in A Companion to Qualitative Research (London: SAGE Publications Ltd, 2004), 3. 31 Johnny Saldaña, Fundamentals of Qualitative Research ( Oxford University: Oxford University Press,

Inc, 2011), 4. 32 Arthur J. Vidich and Stanford M. Lyman, "Metode Kualitatif: Sejarahnya Dalam Sosiologi Dan

Antropologi," in Handbook of Qualitative Research, ed. Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 30.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

12

melihat pola individu dan budaya berhubungan satu dengan yang lainnya.33 Metode ini tepat

menjadi dasar penelitian ini, yakni melihat kebudayaan orang Bajo, ritus siklus kehidupan

mereka, dan pertemuannya dengan masyarakat secara luas.

Terdapat dua cara mengumpulkan sumber data. Pertama, pengumpulan data primer

yang berasal dari lapangan, yakni dari individu, informan kunci dan kelompok responden

yang secara khusus dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini. Kedua, pengumpulan

data sekunder, yakni pengumpulan data melalui buku, jurnal ilmiah, artikel, publikasi

pemerintah, dan bahan kepustakaan lainnya.34 Metode sekunder juga bermanfaat untuk

menyusun landasan teoretis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisis data penelitian

guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian. Informan yang dibutuhkan guna

menunjang penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan data, dan informasi

yang akurat, serta tepat guna untuk mendukung keakuratan hasil penelitian.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni dengan wawancara terstruktur

yang dilakukan oleh peneliti setelah mengetahui secara jelas dan detail informasi apa yang

dibutuhkan, serta daftar pertanyaan yang sudah ditentukan sebelumnya yang akan

disampaikan kepada responden.35 Oleh karena itu, pengumpulan data di lapangan menjadi

terarah, efektif dan efisien. Pengambilan data dengan teknik pengambilan sampel purposif,

yakni sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti, sesuai dengan sumber data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini.36 Dalam teknik ini peneliti mengumpulkan data bersama-

sama dengan masyarakat, hidup, dan berinteraksi dengan masyarakat agar tercipta “trust”

33 Isabelle M. Flemming, "Ethnography and Ethnology," in 21st Century Anthropology a Reference

Handbook Volume 1 & 2, ed. H. James Birx (Thousand Oaks, California: SAGE Publications, 2010), 153. 34 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 289. 35 Silalahi, Metode Penelitian, 313. 36 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 67.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

13

antara peneliti dan subjek yang diteliti, melalui itu diharapkan akan mendapat data yang lebih

akurat dan valid.37

Setelah peneliti mendapatkan data empiris yang diperoleh di lapangan, yakni dalam

bentuk kata-kata yang diperoleh dalam observasi mendalam, wawancara, dokumen-dokumen,

dan rekaman audio. Kemudian, dilanjutkan pada proses analisis data. Peneliti akan

menggunakan tiga cara dalam menganalisis data, yakni dengan (1) reduksi data, (2) penyajian

data, dan (3) penarikan kesimpulan/verifikasi. Silalahi berpendapat bahwa itu merupakan

suatu proses siklus dan interaktif pada saat penelitian, baik itu sebelum, selama maupun

sesudah pengumpulan data.38 Hal tersebut penting dilakukan dalam melakukan pendekatan

kualitatif, agar data yang didapatkan melalui proses yang objektif, sistematis, dan

komperhensif.

Penelitian dilakukan di Desa Mola, Wakatobi. Peneliti memilih lokasi tersebut, karena

daerah itu merupakan daerah dengan suku Bajo terbesar di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Bahkan, merupakan salah satu kampung Bajo yang terbesar di Indonesia, dengan luas sekitar

8,3 km2 dan jumlah penduduk sekitar 6.000 jiwa.39 Bukan hanya itu, di Desa Mola tersebut

suku Bajo semakin hidup menetap di daratan, akibat kebijakan yang dilakukan oleh

pemerintah. Adapun, sebagian orang Bajo yang masih menetap di rumah kayu (atas laut). Hal

yang menarik di desa ini, yakni adanya sektor pariwisata yang baru masuk di tengah-tengah

desa ini kira-kira 4-5 tahun yang lalu, sehingga membuat kebudayaan Bajo berhadapan

dengan modernisasi yang begitu cepatnya. Hal ini menjadi isu penting dalam penelitian ini.

Dengan memilih tempat yang jauh dari tempat tinggal peneliti, maka penelitian ini

diharapkan semakin bersifat objektif dalam mengambil dan menganalisis data yang ada.

37 Michael Bloor and Fiona Wood, Keywords in Qualitative Methods: A Vocalbulary of Research

Concepts (London: SAGE, 2006), 173. 38 Silalahi, Metode Penelitian Sosial, 339. 39 Baskara, Islam Bajo, 25.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

14

1.4. Kerangka Penulisan

Secara garis besar tesis ini ditulis dalam beberapa bagian yang dibagi menjadi

beberapa bab, yakni sebagai berikut: Pada Bab I memuat Pendahuluan; dalam bagian ini

penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk mensistematisasikan

laporan hasil penelitian.

Pada Bab II menjelaskan “Teori Ritual dan Lanskap Globalisasi,” yang bersumber

dari teori ritus peralihan dalam siklus kehidupan oleh Arnold van Gennep, teori Roland

Robertson tentang Glokalisasi dan teori Arjun Appadurai mengenai landscape dalam

Globalisasi.

Pada Bab III menjelaskan: “Wajah Orang Bajo Masa Kini” yang mencakup uraian

mengenai “Individu dan Budaya,” Pertemuan “Budaya Lokal (Orang Bajo) dan “Budaya

Global,” “Pembangunan dan Pariwisata,” dan “Identitas Orang Bajo Masa Kini” yang

merupakan suatu proses dari pengumpulan data dengan teknik observasi mendalam,

wawancara, dan dari dokumen-dokumen pendukung yang berfungsi untuk mendeskripsikan

proses hibridisasi kebudayaan orang Bajo, Desa Mola, Wakatobi.

Pada Bab IV pembahasan dan analisis data “Sistem Kebudayaan Orang Bajo Dalam

Perubahan” yang mencakup uraian mengenai: “Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo Masa

Lalu dan Masa Kini,” “Makna Ritus Bagi Orang Bajo di Tengah Perubahan,” “Pariwisata dan

Sistem Kepercayaan Orang Bajo,” “Ritus Siklus Kehidupan dan Penguatan Identitas Lokal,”

dan “Lokalitas sebagai yang Global,” dengan berlandaskan teori Robertson mengenai

glokalisasi.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

15

Pada bab V kesimpulan, yang merupakan refleksi dari temuan teoretis maupun

praktis, dan saran-saran bagi orang Bajo di desa Mola, Wakatobi

Page 16: BAB I PENDAHULUAN...hibridisasi budaya sebagai bagian dari glokalisasi pada masyarakat Bajo. Budaya luar (global) telah mempengaruhi ritus siklus hidup orang Bajo, khususnya di desa

16