bab 4 sistem kebudayaan orang bajo dalam...

32
83 BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN Komunitas orang Bajo membentuk suatu sistem kebudayaan dalam dirinya, yang terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sistem Kebudayaan ini bersifat simbolik dan subjektif, sehingga kebudayaan dapat ditularkan dari satu sistem ke sistem lainnya, yakni dari sistem sosial yang satu ke sistem sosial lainnya. 1 Talcott Parson, dalam bukunya social system, yang terbit tahun 1951, menyatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan salah satu dari tiga model dari sistematisasi tindakan sosial, yakni kepribadian, sistem kebudayaan yang berorientasi pada sistem nilai, dan sistem sosial. Definisi Parson menegaskan bahwa sistem kebudayaan berada di puncakan sistem tindakan masyarakat, sehingga dari sistem tersebut terjadi yang proses dekonstruksi dan rekonstruksi nilai dan norma. 2 Perubahan sistem kebudayaan komunitas orang Bajo di desa Mola, dipengaruhi oleh lebih dari satu faktor, yakni faktor dari dalam komunitas orang Bajo yang memilih untuk berubah maupun bertahan dengan kondisi yang ada. Selain itu, faktor eksternal berperan penting dalam mengubah sistem kebudayaan orang Bajo, Anthony Giddens menyatakan bahwa konsep ruang-waktu, yang mengarahkan perhatian kepada keterlibatan lokal dan interaksi lintas jarak, sehingga globalisasi mengacu pada intensifikasi relasi sosial sedunia yang menghubungkan lokalitas yang saling berjauhan, sehingga peristiwa sosial dapat terbentuk. 3 Parson melihat 1 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, trans. Saut Pasaribu, Rh. Widada, and Eka Adi Nugraha, Second ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 419. 2 Talcott Parsons, The Social System (New York: Free Press, 1951), 6. 3 Anthony Giddens, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (Bantul: Kreasi Wacana, 2014), 84.

Upload: doanlien

Post on 06-Mar-2019

270 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

83

BAB 4

SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN

Komunitas orang Bajo membentuk suatu sistem kebudayaan dalam dirinya, yang terus

mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sistem Kebudayaan ini bersifat simbolik dan

subjektif, sehingga kebudayaan dapat ditularkan dari satu sistem ke sistem lainnya, yakni dari

sistem sosial yang satu ke sistem sosial lainnya.1 Talcott Parson, dalam bukunya social system,

yang terbit tahun 1951, menyatakan bahwa sistem kebudayaan merupakan salah satu dari tiga

model dari sistematisasi tindakan sosial, yakni kepribadian, sistem kebudayaan yang berorientasi

pada sistem nilai, dan sistem sosial. Definisi Parson menegaskan bahwa sistem kebudayaan

berada di puncakan sistem tindakan masyarakat, sehingga dari sistem tersebut terjadi yang proses

dekonstruksi dan rekonstruksi nilai dan norma.2

Perubahan sistem kebudayaan komunitas orang Bajo di desa Mola, dipengaruhi oleh

lebih dari satu faktor, yakni faktor dari dalam komunitas orang Bajo yang memilih untuk

berubah maupun bertahan dengan kondisi yang ada. Selain itu, faktor eksternal berperan penting

dalam mengubah sistem kebudayaan orang Bajo, Anthony Giddens menyatakan bahwa konsep

ruang-waktu, yang mengarahkan perhatian kepada keterlibatan lokal dan interaksi lintas jarak,

sehingga globalisasi mengacu pada intensifikasi relasi sosial sedunia yang menghubungkan

lokalitas yang saling berjauhan, sehingga peristiwa sosial dapat terbentuk.3 Parson melihat

1 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, trans.

Saut Pasaribu, Rh. Widada, and Eka Adi Nugraha, Second ed. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 419. 2 Talcott Parsons, The Social System (New York: Free Press, 1951), 6. 3 Anthony Giddens, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (Bantul: Kreasi Wacana, 2014), 84.

Page 2: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

84

adanya pola yang konsisten antara sistem budaya yang berhubungan dengan kepribadian dan

sistem sosial, sehingga dapat mempengaruhi aktor di dalam sistem sosial.4

4.1. Skema Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo

Orang Bajo memiliki beberapa tahap pelaksanaan ritual dalam kehidupan mereka,

dimulai dari pra kelahiran sampai kematian. Setiap fase tersebut mempunyai alur seperti skema

di atas. Ritual tersebut wajib dilaksanakan bagi orang Bajo, karena hal itu sudah termasuk dalam

sistem kepercayaan mereka, yang mengandung nilai kesakralan dan terdapat kekuatan untuk

menyatukan setiap elemen masyarakat. Ritual pra kelahiran dilaksanakan oleh kaum ibu yang

4 Parsons, The Social System, 17.

Ritual Pra Kelahiran

Ritual Kelahiran

Ritual Pasca Kelahiran

Ritual Potong Rambut

Ritual Sunatan

Ritual Melaut

Ritual Perkawinan

Ritual Pengobatan

Ritual Kematian

Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo

Page 3: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

85

sedang mengandung, orang Bajo mempercayai bahwa ritual pra kelahiran adalah salah satu

syarat utama jika mau mendapatkan anak yang sehat secara jasmani dan rohani. Arnold van

Gennep menganalisis bahwa ketika wanita sedang hamil, di saat itulah fase pemisahan terjadi,

yakni keterpisahan antara kaum ibu yang sedang hamil dengan masyarakat di sekitarnya. Tujuan

utamanya untuk ‘mengisolasi’ kaum ibu agar sehat dalam masa kehamilannya dan melahirkan

bayi yang sehat kelak. Van Gennep juga menganalisis upacara-upacara kehamilan dalam ritus

peralihan yang ditelitinya, yakni banyaknya ritus yang mengandung rasa simpati atau yang

bersifat menular, baik secara langsung maupun tidak, bersifat animistik maupun dinamistik,

namun semua itu bertujuan untuk menjaga sang Ibu dan sang bayi (terkadang juga untuk

menjaga ayah, keluarga terdekat, keluarga besar atau seluruh klan) untuk melawan kekuatan iblis

yang dipersonifikasikan oleh kepercayaan masyarakat.5

Sependapat dengan pandangan dari van Gennep, orang Bajo mempercayai hal-hal yang

bersifat animistik, yakni mempercayai bahwa roh memiliki pengaruh dalam mengatur kehidupan

mereka. Daniel L. Pals mengutip pandangan Frazer yang menganaslis bahwa masyarakat primitif

selalu beranggapan bahwa prinsip-prinsip kerja alam selalu tetap, universal dan tidak bisa

dilanggar. Hal ini sama dengan prinsip sebab-akibat, yang dikenal di dunia modern saat ini,

sehingga Frazer mengembangkan konsep yang disebutnya ‘magis,’ yang dibangun berdasarkan

asumsi bahwa ketika suatu ritual atau perbuatan dilakukan secara tepat, maka akan terwujud

suatu akibat seperti yang diharapkan dalam masyarakat setempat.6 Orang Bajo mempercayai ada

kekuatan besar di luar dirinya, sehingga pada prinsipnya orang Bajo taat pada aturan-aturan lisan

yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya mengenai ritual yang wajib dilaksanakan ketika

5 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee (Chicago:

The University of Chicago Press, 1960), 41. 6 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 57.

Page 4: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

86

sedang melahirkan. Jika melanggar aturan tersebut, orang Bajo harus menanggung resikonya,

baik itu berdampak pada sang ibu maupun sang anak. Ada pendapat dari orang Bajo di desa

Mola bahwa pernah terjadi ‘musibah’ kepada keluarga yang tidak melaksanakan ritual pra

kelahiran itu, sehingga orang Bajo banyak belajar dan merefleksikan kejadian masa lampau serta

mengaitkannya pada masa kini.

Namun, ada perbedaan antara ritus yang diteliti oleh van Gennep di India dan orang Bajo

di desa Mola. Perbedaan itu antara lain: ketika perempuan sedang dalam masa kehamilan di

India, mereka benar-benar melalui tahap pemisahan dengan masyarakat dan tidak diperbolehkan

masuk ke dalam tempat-tempat ‘suci’ serta di India mempunyai upacara yang dikenal sebagai

upacara pemisahan dan upacara penyatuan kembali ke rumahnya.7 Orang Bajo memiliki tiga

ritual yang dilakukan oleh sang Ibu ketika dalam masa kehamilan, pertama, ritual pra kelahiran,

yang dilaksanakan orang Bajo untuk menurunkan tuli ke laut, agar kehamilan dapat berjalan

dengan baik dan mempunyai anak yang sehat secara jasmani dan rohani, serta dijauhkan dari

roh-roh jahat yang mengganggu kehidupan sang bayi dan sang ibu dalam masa kehamilan. Ritual

kedua, yakni ketika melahirkan sang bayi, terjadi suatu ritual yang dilaksanakan oleh sanro

untuk memotong ari-ari (orang Bajo menganalogikannya dengan sebutan kagumbarang atau

kembaran) dan juga sanro memandikan sang bayi dengan air laut yang telah ditaruh di ember,

tentu saja dalam prosesi tersebut sanro melakukanya sambil mengucapkan doa-doa. Jadi,

pemahaman mengenai ritual tidak hanya difokuskan kepada upacara yang bersifat sakral saja,

Barry Stephenson, professor dalam bidang agama dan budaya dari Kanada, menyatakan bahwa

ritual juga menghubungkan manusia kepada kerabat atau sanak saudara yang bersifat biologis.8

Senada dengan Stephenson, orang Bajo menganggap bahwa ritual pemotongan terhadap ari-ari

7 Van Gennep, The Rites, 42. 8 Barry Stephenson, Ritual: A Very Short Introduction (London: Oxford University Press, 2015), 5.

Page 5: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

87

merupakan suatu simbol keterhubungan antara orang Bajo dan saudaranya (ari-ari) itu. Ritual

kelahiran yang dilaksanakan orang Bajo memberi isyarat terima kasih kepada sang pencipta,

yang telah memberikan bayi kepada keluarga dan telah memberi ari-ari sebagai pelindung serta

pemberi kehidupan bagi sang bayi. Tahap ketiga, yakni suatu ritual yang dilaksanakan pasca

kelahiran bagi orang Bajo, ritual ini merupakan tahap lanjutan dari tahap kedua (memotong ari-

ari). Dalam tahap ini, perwakilan dari keluarga harus diwakili oleh sang ayah (jika tidak,

sekurang-kurangnya bisa diwakili oleh orang tua keluarga), yang melaksanakan ritual ini. Ritual

ini dilaksanakan ketika sang bayi lahir, kemudian ari-arinya telah dipisahkan dari tubuh sang

bayi oleh sanro, dan sang bayi telah dimandikan oleh sanro menggunakan air laut. Tahap

selanjutnya, ritual ini dilaksanakan oleh sang ayah, yakni menaruh ari-ari itu di bawah tangga

rumah, lebih tepatnya di air laut yang berada di bawah tangga rumah, prosesnya dilakukan

dengan perlahan. Sang ayah harus serius dalam melaksanakan tugas ini, karena sebagai kepala

rumah tangga, maka ini adalah tugas pertama pasca melahirkan sang bayi. Di dalam proses ini

mengandung esensi fungsionalisme dalam ranah domestik, meskipun terlalu dini

mengatakannya, namun melalui ritual pasca kelahiran ini, kedua pihak (ibu maupun ayah)

mempunyai peran dan fungsi masing-masing dalam kehidupannya. Sang ayah dalam masyarakat

Bajo dikenal sebagai pengembara dan pekerja untuk mencari ikan bagi keluarga, dan sang ibu

dikenal sebagai penata dan pemelihara dalam rumah tangga. Hal ini tidak dianggap sebagai

diksriminasi atau menonjolnya sistem patriarki dalam masyarakat Bajo, namun pembagian peran

dan fungsi ini telah lama dikenal bagi orang Bajo, sehingga konflik dalam ranah domestik sangat

jarang terjadi di masyarakat Bajo. Orang Bajo tidak hanya mewariskan kepada anak cucu tentang

proses ritual dalam siklus kehidupan mereka, namun juga mewariskan nilai mengenai pembagian

peran dan fungsi dalam masyarakat, baik itu dari perempuan maupun laki-laki. Hal itu dipahami

Page 6: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

88

oleh orang Bajo sebagai suatu cara untuk mengokohkan hubungan antara suami dan istri, dan

kepada komunitasnya (orang Bajo).

Selain ritual kelahiran di atas, orang Bajo memiliki ritual lain; ritual potong rambut, ritual

sunatan, ritual pernikahan dan ritual kematian. Keempat ritual itu telah masuk dalam kategori

ritual yang dibungkus dalam semangat keagamaan, karena ritual tersebut lebih banyak

mengandung nilai islami daripada tradisi budaya yang telah ada di masyarakat Bajo. Benny

Baskara, seorang peneliti agama orang Bajo, yang menganalisis bahwa terjadinya perpaduan

identitas keagamaan orang Bajo; keyakinan Islam dengan keyakinan asli orang Bajo. Hal ini

terwujud dalam kehidupan keagamaan orang Bajo, khususnya dalam melakukan elaborasi

terhadap ritual-ritual yang dilaksanakan orang Bajo.9

Di sela-sela ritual antara kelahiran dan kematian, terdapat ritual melaut dan ritual

pengobatan, Victor Turner mengkonsepsikan ini sebagai fase liminalitas, yang merupakan suatu

kondisi bagi manusia untuk memberdayakan dan mengembangkan dirinya, sehingga dapat

melakukan refleksi terhadap kejadian yang terjadi di masa lalu, evaluasi di masa kini, dan

penantian terhadap masa akan datang. Dalam fase ini masyarakat berada di ambang pintu,

sehingga terjadi keambiguan dalam hidup mereka.10 Orang bajo menyadari bahwa kehidupan di

masa kini tidak bisa dilakukan dengan kekuatan mereka sendiri, sehingga orang Bajo di satu sisi

menggunakan agama Islam sebagai penopang dalam tuntunan hidup bermasyarakat, sedangkan

di sisi lain, menggunakan keyakinan mereka sebagai orang Bajo dalam kehidupan pekerjaan

(melaut) maupun yang menyangkut dengan kesehatan mereka. Dalam kehidupan pekerjaan,

khususnya melaut, orang Bajo menyadari bahwa laut yang memberikan kehidupan bagi mereka,

9Benny Baskara, Islam Bajo Agama Orang Laut (Banten: Javanica, 2016), 261. 10 Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Cornell University Press,

1969), 95.

Page 7: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

89

dan mempercayai bahwa ada sang penguasa laut yang mengatur kehidupan mereka. Karena itu,

orang Bajo mempercayai beberapa ‘mitos’ yang berkembang di masyarakat bahwa jika

melakukan hal yang tidak sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat Bajo, maka pasti

akan kesulitan mendapatkan ikan di laut, bahkan bisa mendapat celaka (angin kencang maupun

ombak besar) akibat perbuatan yang dilakukannya. Jack Goody, antropolog sosial dari Inggris,

mengamati bahwa mitos digunakan sebagai suatu hal yang diduga oleh masyarakat berada di

bawah hukum budaya yang berlaku, yang berhubungan dengan simbol dalam masyarakat, hal itu

disebutnya sebagai "struktur bawah sadar dalam masyarakat."11 Goody menambahkan bahwa

mitos terbentuk dari literatur oral, yang sebagian besarnya merupakan bagian dari pemahaman

kosmologi masyarakat setempat, sehingga mitos dipertimbangkan sebagai penghargaan tertinggi

dari literatur oral dalam masyarakat.12

11 Jack Goody, Myth, Ritual and the Oral (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 6. 12 Goody, Myth, Ritual., 52.

Page 8: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

90

4.1. Ritus Kelahiran Sebagai Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo

Skema Ritus Peralihan Arnold van Gennep

Skema di atas merupakan teori ritus siklus peralihan (rites of passage) yang dibuat oleh

Arnold van Gennep untuk menjelaskan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, yang

dianalisis berdasarkan pada ritus peralihan dalam masyarakat. Van Gennep membagi tiga tahap

tersebut, yakni separation (pemisahan), transisition (transisi), incorporation (penggabungan).13

Dalam skema tersebut, van Gennep menganalisis tiga tahap tersebut dan mencoba untuk

mengembangkannya dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Van Gennep memulai

analisisnya dari ritus pemisahan, yakni diadakan pada saat ritual kematian. Dilanjutkan oleh

ritual transisi dalam kehidupan masyarakat, van Gennep menganalisisnya dari ritual kehamilan,

ritual inisiasi dalam masyarakat, dan sebagainya. Akhir dari ritus peralihannya, van Gennep

13 Van Gennep, The Rites, 166.

Pemisahan (Ritual

Kematian)

Transisi (Ritual Kehamilan, Inisiasi, dan sebagainya)

Penggabungan (Ritual

Perkawinan)

Page 9: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

91

menganalisis suatu tahap akhir, yang disebutnya sebagai tahap penggabungan, yang di dalamnya

terdapat penyatuan elemen dalam masyarakat, yakni dalam ritual perkawinan. Ketiga ritual ini

terus berlangsung, sifatnya seperi siklus, dan di dalam setiap tahap tersebut, tidak jarang ada

yang bersifat tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Karena ritus peralihan dari van Gennep

melihat lebih jelas fakta yang terjadi dalam setiap kondisi perubahan sosial dalam masyarakat.

Skema Ritus Siklus Kelahiran Orang Bajo

Melalui ritus peralihan dari van Gennep tersebut, peneliti mengembangkan suatu

pemikiran baru, yakni didasarkan pada ritus siklus kehidupan orang Bajo di desa Mola,

Wakatobi. Fokus utamanya tidak pada setiap fase kehidupan dalam masyarakat, seperti teori

yang dikembangkan oleh van Gennep, melainkan lebih spesifik pada satu fase, yakni fase

kelahiran dalam masyarakat Bajo. Peneliti menganalisis bahwa dalam fase kelahiran, ada ritual

yang tetap dan terus bertahan dalam masyarakat Bajo. Peneliti mengembangkannya dalam tiga

Penyatuan

(Ritual Pra Kelahiran dan

Ritual Kelahiran)

Pemisahan

(Ritual Pasca Kelahiran)

Transisi (Ritual Kaka)

Page 10: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

92

tahap, yang dimulai dari tahap penyatuan, di dalamnya terdapat ritual pra kelahiran dan ritual

kelahiran. Karena dalam ritual pra kelahiran tersebut, orang Bajo mempercayai bahwa

kehidupannya menyatu dengan kagumbarang-nya atau ari-ari, yang dianggap sebagai saudara

kembarnya, di sisi lain, orang Bajo menganggap hal tersebut sebagai bukti pemeliharaan dari

pencipta, yang memberikan kehidupan bagi orang Bajo. Ritual pra kelahiran tersebut

dilaksanakan untuk memberi keamanan dan kesehatan bagi sang bayi. Sedangkan ritual kelahiran

adalah ritual yang dilakukan oleh orang Bajo ketika sang bayi telah lahir, dan dilakukan

pemotongan terhadap ari-arinya, serta dimandikan menggunakan air laut oleh sanro, sehingga

dalam tahap tersebut dipahami terjadinya proses inisiasi bagi sang bayi untuk diterima dalam

masyarakat Bajo. Tahap selanjutnya, yakni tahap pemisahan, yang dilaksanakan pasca kelahiran.

Dalam tahap ini, sang bayi dipisahkan dengan kagumbarang-nya, yakni diletakkan di laut (di

bawah rumah) oleh sang ayah, yang dimaksudkan untuk memisahkan secara fisik antara sang

bayi dan ari-ari tersebut. Namun, terdapat penyatuan secara roh, ketika ari-ari itu ditempatkan di

laut, maka orang Bajo mempercayai bahwa ari-ari itu menyatu dalam kehidupan mereka,

meskipun tidak terlihat secara logika. Jadi, dalam tahap pemisahan, terdapat penyatuan yang

mempunyai yang sarat akan makna.Tahap ketiga adalah tahap transisi, peneliti mengembangkan

tahap ini sebagai suatu tahap bagi masyarakat Bajo untuk mengenal, mengidentifikasi dan

mengevaluasi setiap tindakan yang mereka lakukan dalam kehidupannya. Karena dalam tahap ini

terdapat ritual kaka, yang berfungsi sebagai kekuatan bagi orang Bajo untuk mempertahankan

identitasnya. Ritual kaka wajib hukumnya dilaksanakan oleh orang Bajo setiap tahun, namun

kini, akibat modernisasi dan perubahan yang begitu cepat, ritual kaka dijadikan sebagai alat

penyembuh semata. Ketika orang Bajo sudah sakit baru mengingat kagumbarang-nya, dan

melakukan ritual tersebut. Namun, secara keseluruhan, pola kehidupan orang Bajo tidak bisa

Page 11: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

93

terlepas dari ritual kaka, karena ritual ini telah menjadi pusat dari kehidupan orang Bajo. Jadi,

masa transisi bagi orang Bajo adalah situasi bagi orang Bajo untuk membangun hubungan

dengan kagumbarang-nya atau (kaka), sehingga melalui itu kekuatan secara fisik mereka

dapatkan dan identitas kebudayaan mereka semakin menguat, serta ritual kaka tersebut dapat

menjadi mempererat kohesi sosial dalam masyarakat Bajo.

4.1. Ritual Kaka Sebagai Strategi Tandingan

Tekanan dari arus ekonomi dan politik global membuat komunitas lokal menjadi terseok-

seok untuk menunjukkan identitasnya. Akibatnya, penyebaran ideologi yang tidak relevan

membuat komunitas lokal menjadi korban. Komunitas orang Bajo mencoba untuk

mempertahankan dan memperjuangkan identitasnya di tengah kerasnya tekanan dari dominasi

global atasnya. Salah satu strategi yang dilakukan oleh komunitas orang Bajo di desa Mola

adalah dengan menekankan pada pentingnya melaksanakan ritual kaka, yang adalah simbol

kehidupan dan persaudaraan komunitas orang Bajo.

Orang Bajo menjalankan ritual dalam kehidupannya berdasarkan pengalaman dan

refleksi atas sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Misalnya, ketika bayi lahir dalam komunitas

orang Bajo, komunitas itu membangun suatu pemahaman tentang aspek persaudaraan dan aspek

ketuhanan. Simbol yang digunakan untuk melegitimasi hal itu adalah kaka (saudara tertua) atau

kagumbarang (kembaran) orang Bajo, yang merupakan ari-ari (plasenta) manusia. Anthony

Ellioott mendefinisikan simbol sebagai jantung dari sistem budaya dan reproduksi makna terjadi

Page 12: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

94

melaluinya.14 Orang Bajo merefleksikan kaka sebagai bagian penting dalam kebudayaan mereka,

karena dengan dijadikannya kaka sebagai simbol orang Bajo, maka nilai-nilai kebajoan turut

serta dalam paradigma dan tindakan orang Bajo. Kaka dimaknai sebagai suatu hubungan

berkelanjutan dengan laut sebagai sumber kehidupan orang Bajo. Laut sebagai tempat bernanung

orang Bajo, dan tempat bagi setiap peralihan dalam fase hidup orang Bajo. Dengan menyadari

bahwa laut tidak hanya mengandung aspek mistis atau yang sakral saja, namun juga terdapat

aspek emosional, sejarah, dan budaya di dalamnya.

Kaka dijadikan sebagai simbol persaudaraan ketika orang Bajo melakukan produksi dan

reproduksi makna terhadap hal itu. Orang Bajo melihat bahwa kaka adalah saudara yang

menjaga individu (orang Bajo) dari hal-hal yang tidak diinginkan, namun kaka juga bisa

membuat orang Bajo jatuh sakit dan tak berdaya, hal itu sebagai konsekuensi orang Bajo yang

tidak bisa menjaga hubungan persaudaraan yang baik dengan kaka-nya. Di sisi lain, orang Bajo

sadar akan kelemahan yang dimiliki setiap individu, kelemahan itu berupa sesuatu yang tidak

dapat dikontrol dari diri mereka. Karena itu, orang Bajo melakukan sakralisasi terhadap kaka

sebagai simbol ketuhanan, yang merujuk pada kuasa yang ilahi menjaga sang bayi dalam

kandungan dikarenakan oleh kaka itu sebagai perantara kehidupan manusia. Nilai kesakralan itu

terwujud dalam setiap ritual yang dilakukan oleh orang Bajo, dan hingga sekarang kaka sebagai

simbol utama orang Bajo tetap dipertahankan serta dilestarikan melalui ritual adat orang Bajo.

Ritual sering diasosiasikan kepada ranah yang sakral, yang penuh dengan sesuatu yang mistik,

transenden, dan tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.

14 Anthony Ellioott, "symbol," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York:

Cambridge University Press, 2006), 618.

Page 13: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

95

4.2. Ikatan Sosial dalam Ritual

Orang Bajo melaksanakan ritual dalam setiap fase peralihan kehidupan mereka, yang

peneliti sebut sebagai ritus siklus kehidupan. Hal itu terwujud dalam fase pertama dan terpenting

dalam masyarakat Bajo, yakni kelahiran. Kelahiran berarti suatu generasi baru telah hadir dan

sebagai tanda bahwa masyarakat Bajo terus bertahan serta survive dalam derasnya arus

perubahan yang ada. Dalam fase ini, orang Bajo melakukan ritual untuk melakukan internalisasi

nilai kepada penerus warisan orang Bajo, yakni dengan melaksanakan ritual yang bersifat privat

di ruang publik (di laut). Ritual dalam fase pertama, yakni kelahiran, bertujuan untuk

menunjukkan kepada orang Bajo bahwa adat dan tradisi leluhur terus dijaga dan dilestarikan. Inti

dari ritual kelahiran adalah pada momen ketika ari-ari atau kaka itu telah berpisah dengan sang

bayi, kemudian dibersihkan oleh sanro (dukun adat), dan prosesi terakhir, yakni menurunkan

kaka di laut. Hal itu sebagai tanda kebersatuan dan keterpisahan. Sang bayi menyatu dengan

kaka terjadi dalam dua waktu, pertama, peneliti sebut sebagai masa temporal, ketika berada

dalam kandungan selama kurang lebih sembilan bulan, yakni ketika kaka sebagai simbol

pemersatu antara ibu dan sang bayi selama masa mengandung, karena melalui kaka, kehidupan

nutrisi dan oksigen yang menuju ke otak sang bayi terpenuhi. Ketika sang bayi berada dalam

kandungan, kaka menjadi aspek vital dalam kehidupan manusia. Orang Bajo memandang kaka

sebagai saudara tertua karena memiliki nilai bersejarah dalam kehidupan sang bayi, dan

keterikatan lahiriah itu tidak terputus begitu saja. Di satu sisi, kaka yang disimpan di dalam laut

merupakan tanda berpisahnya sang bayi dari kaka-nya, namun orang Bajo melihat itu sebagai

suatu tanda penyatuan antara orang Bajo dan kehidupannya di laut, karena itu, peneliti menyebut

tahap ini sebagai tahap kebersatuan selanjutnya, yang bersifat continuing atau berkelanjutan di

sepanjang hidup orang Bajo. Kehidupan orang Bajo tidak bisa dilepaskan dengan kaka, dan ini

Page 14: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

96

menjadi suatu hal yang wajib untuk dilaksanakan bagi orang Bajo untuk melestarikan budaya di

satu sisi, serta membangun persaudaraan di antara orang Bajo melalui hubungan personalnya

dengan kaka.

4.3. Pemaknaan Memori Kolektif Orang Bajo dalam Ritual

Orang Bajo di desa Mola memandang ritual sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan mereka, karena ritual merupakan hal primer dan terpenting dalam kehidupan

manusia, Barry Stephenson mendefinisikan ritual sebagai cara pikir dan mengetahui.15 Orang

Bajo memandang bahwa ritual yang mereka lakukan tidak berbeda dengan kehidupan yang

mereka jalani sehari-hari, sehingga distingsi antara yang sakral dan profan memiliki batas yang

tipis, serta dapat dimasuki kapanpun ketika orang Bajo melalui proses ritual yang mereka miliki.

Ritual menjadi tempat berbagi dan menguatkan solidaritas kolektif dari orang Bajo yang

memiliki permasalahan fisik maupun psikis. Dalam pelaksanaannya, ritual menjadi sarana bagi

orang Bajo untuk mengingat, merefleksikan, dan membangun hubungan kepada leluhur mereka.

Ritual merupakan bagian dalam kebudayaan yang menjadi suatu mekanisme kontrol dalam

masyarakat untuk mengatur tingkah laku masyarakat, sehingga integrasi sosial dapat terjalin

erat.16 Orang Bajo melaksanakan ritual secara kolektif, yakni dari keluarga inti (orang tua dan

saudara/i kandung), keluarga besar yang terdiri dari: kakek, nenek, tante, om, sepupu,

keponakan, maupun dari keluarga orang Bajo, yang termasuk di dalamnya adalah tetangga

maupun orang Bajo lainnya, yang mengikuti ritual tersebut. Ritual orang Bajo didasarkan pada

memori kolektif mereka terhadap orang-orang terdekat yang berada di sekitar mereka maupun

terhadap leluhur mereka.

15 Stephenson, A Very Short, 3. 16 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 55.

Page 15: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

97

Ritual kaka yang dilakukan oleh orang Bajo menjadi satu kesatuan utuh yang

dilaksanakan oleh orang Bajo, dan ritual kaka dilaksanakan untuk membangun ingatan-ingatan

masa lampau ketika orang Bajo berlayar dan hidup di tengah lautan, sehingga dengan

menjadikan kaka sebagai bagian dari kehidupan orang Bajo, maka orang Bajo terus

memperbaharui hubungannya dengan penguasa laut, yaitu Mbo Janggo, Mbo Ma Dilao, Mbo

Dugah. Keyakinan orang Bajo terhadap penguasa laut tersebut merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari ritual yang dilaksanakan orang Bajo, yakni sebagai sarana untuk

mengekspresikan nilai budaya dan model yang ada di dalamnya, ritual juga berfungsi sebagai

perantara untuk membawa pesan kepada budaya yang ada di dalamnya, sehingga ritual

mengizinkan masyarakat setempat untuk melakukan modifikasi terhadap tatanan sosialnya, pada

saat yang sama, ritual berfungsi untuk memperkuat tatanan budaya yang ada di dalamnya.17

Benny Baskara melihat bahwa peristiwa-peristiwa penting dalam daur kehidupan orang Bajo

diwujudkan dalam ritual-ritual yang merupakan ekspresi dari nilai-nilai yang diyakini oleh orang

Bajo, khususnya hubungan antara nilai keislaman sebagai keyakinan religious orang Bajo dan

nilai kebajoan sebagai nilai budaya dari orang Bajo, sehingga kedua nilai tersebut telah berpadu

dalam daur kehidupan orang Bajo yang dilaksanakan dalam ritual.18

4.4. Integrasi Sosial dalam Ritual Orang Bajo

Orang Bajo secara umum mempunyai pekerjaan yang berhubungan dengan laut, yakni

nelayan, penambang pasir, pengangkut batu karang, dan berdagang hasil laut. Kehidupan orang

Bajo terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu, namun kekuatan dari integrasi sosial

dalam masyarakat Bajo berpengaruh dalam perkembangan perekonomian mereka. Integrasi

17 Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimensions (USA: Oxford University Press, 2009), 65. 18 Benny Baskara, Islam Bajo (Banten: Javanica, 2016), 115.

Page 16: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

98

sosial berarti suatu pengalaman kolektif dalam suatu kelompok yang memiliki suatu perasaan

memiliki, yang berdasar dari norma-norma, kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai.19 Perasaan

memiliki itu terwujud dalam kehidupan orang Bajo yang memiliki kepercayaan yang sama

terhadap leluhur mereka maupun penguasa yang ada di laut, sehingga ritual menjadi salah satu

media bagi orang Bajo untuk memupuk solidaritas di antara suku Bajo. Ritual secara heuristik

didefinisikan sebagai suatu 'pengulangan dari prosedur atau tata cara yang biasa dilaksanakan,

yang diasosiasikan dengan agama dan setidaknya dua orang yang berpartisipasi di dalamnya.

Ritual tidak perlu diasosiasikan dengan agama, tetapi di dalam ritual terdapat tumpang tindih

antara ritualisasi, institusi sosial dari agama, dan berbagai variasi pengalaman fenomenologikal

yang merujuk pada kesadaran kosmik atau ide dari yang kudus.20

Melaut merupakan pekerjaan ‘turunan’ yang tidak bisa dipisahkan dari orang Bajo,

karena dengan melaut mereka dapat menghidupi keluarga dan membangun relasi yang baik

dengan orang Bajo lainnya. Secara umum orang Bajo di desa Mola memiliki kehidupan yang

sederhana, meskipun dana pembangunan yang dikucurkan kepada desa itu tidak sedikit, namun

pola hidup orang Bajo tetap sederhana dan menjunjung tinggi kebersamaan. Hal itu

menunjukkan adanya sabuk sosial yang kuat dalam masyarakat Bajo, sehingga konflik sosial

tidak terjadi di antara orang Bajo. Integrasi erat kaitannya dengan kohesi sosial, yang mengacu

pada kapasitas masyarakat untuk menetapkan tujuan dan mengimplementasikannya untuk

mencapai tujuan tersebut. Di satu sisi, masyarakat yang baik dalam kohesi sosialnya dapat

bertindak sebagai unit yang efektif. Di sisi lain, masyarakat yang tidak memiliki kohesi, maka

19 Steve Bruce and Steven Yearley, "Subculture," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE

Publications Inc, 2006), 154. 20 Mary Catherine Bateson, Ritualization: A Study in Texture and Texture Change, in Religious Movements

in Contemporary America, ed: Irving I. Zaretsky & Mark P. Leone (Princeton, Oxford: Princeton University Press, 1974), 150-151.

Page 17: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

99

individu atau kelompok yang berada di dalamnya gagal untuk berkontribusi dalam tindakan

kolektif yang efektif.21

4.5. Pembentukan Identitas Kultural Orang Bajo

Orang sama merupakan istilah bagi orang Bajo, khususnya yang memiliki keturunan

orang Bajo. Sama, memiliki arti sama-sama atau memiliki kemiripan, dan konsep sama dimaknai

oleh orang Bajo sebagai identitas yang tidak bisa terlepas dari dirinya. Identitas kultural

merupakan sesuatu yang individu miliki dan itu merupakan salah satu dasar dari identitas sosial

yang pasti dalam diri individu.22 Orang sama adalah identitas kultural masyarakat Bajo yang

terus bertahan, beradaptasi dan berevolusi dengan perubahan yang terjadi. Kini, identitas orang

sama dapat terbentuk dari hasil kawin silang atau kawin campur antara orang sama dan

bagai,hasilnya adalah, sang anak langsung memiliki identitas kultural, yakni orang sama. Hal itu

terjadi sebagai akibat dari internalisasi nilai-nilai adat orang Bajo, yang begitu terbuka dengan

perubahan yang ada, khususnya mengenai perpindahan penduduk dan cepatnya arus perubahan

sosial yang terjadi. Nilai-nilai kebajoan itu sebagai bentuk dari reaksi terhadap ‘pendatang’ yang

hadir dan hidup bersama dalam lingkungan mereka, sehingga orang Bajo melihat itu sebagai

peluang untuk mempertahankan dan melestarikan suku mereka. Pada masa lampau, orang sama

hidup berdampingan hanya bersama orang sama saja. Orang sama biasa menyebut orang bagai

dengan asal daerahnya, seperti bagai Bugis, bagai kendari, bagai Jawa, dan seterusnya. Dengan

penyebutan tersebut, orang Bajo membuat perbedaan identitas yang jelas kepada orang Bagai.

Hubungan antara orang sama dan orang bagai saat itu terlihat dalam proses interaksi sosial

21 Jeffrey G. Reitz, Assessing Multiculturalism as a Behavioural Theory, in Multiculturalism and Social

Cohesion: Potentials and Challenges of Diversity, ed: Jeffrey G. Reitz, Raymond Breton, Karen Kisiel Dion, and Kenneth L. Dion (Canada: Springer: 2009), 20.

22 Jonathan Friedman, Cultural Identity and Global Process (London: Sage Publication, 1994), 30.

Page 18: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

100

mereka ketika berada di pasar, yakni proses jual-beli sebagai satu-satunya tempat bertemu antara

orang ‘laut’ dan orang ‘darat’, sebagai istilah bagi orang darat yang menyebut perbedaan tersebut

demikian.

Pada saat itu, orang sama atau orang laut biasa diidentikkan sebagai suku yang

‘kampungan’, dan status sosialnya jauh di bawah orang bagai atau orang darat. Orang bagai

menganggap bahwa ketergantungan orang sama yang begitu kuat dengan laut, membuat mereka

tidak bisa berkembang dan memiliki pemikiran yang sama seperti orang darat atau orang bagai.

Akibatnya, orang sama merasa minder ketika bertemu dengan orang bagai, karena takut untuk

bersaing dan tidak mau terjadi konflik, lebih baik orang sama mundur serta hidup dalam

komunitasnya saja. Orang sama dikenal sebagai suku yang tidak suka terlibat dalam

permasalahan, sehingga di masa lampau mereka dikenal sebagai suku yang nomadik atau hidup

berpindah-pindah, akibat ketikdaknyamanan dan ketidakamanan yang mereka rasakan.

Ketidaknyamanan itu berhubungan dengan aspek cuaca maupun alam yang berada di sekitar

mereka, sehingga orang sama dapat memprediksi kekuatan dan ketahanan dari lepa atau perahu

tempat mereka tinggal itu. Ketidakamanan berhubungan dengan gesekan maupun konflik yang

terjadi antara orang sama dan orang bagai, yang paling dikenal adalah kerusuhan akibat DI/TII

(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang menyerbu orang-orang sama dan mengganggu

aktivitas keseharian mereka. Ditarik dari akar sejarahnya, itulah yang membuat orang sama

memiliki jarak pemisah dengan orang bagai.

4.6. Trust di Antara Dua Identitas

Orang sama di masa kini memiliki pandangan yang relatif sama dengan pandangan masa

lalu mereka kepada orang bagai, aspek utama yang menonjol adalah tentang trust atau

Page 19: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

101

kepercayaan. Piotr Sztompka melihat bahwa pentingnya aspek trust sebagai kualitas

fundamental dari tindakan manusia. Khususnya dalam melakukan interaksi dengan orang lain,

kita harus membentuk ekspektasi tentang tindakan yang terjadi di masa yang akan datang.

Kepercayaan menjadi sebuah strategi yang krusial untuk menyepakati hal-hal di luar kontrol

yang tidak dapat diprediksi. Karena itu, trust terdiri dari dua komponen utama, yakni beliefs

(kepercayaan) dan commitment (komitmen).23 Beliefs terbentuk dari hubungan emosional antar

individu maupun institusi, dan hal itu terjadi jika ada kesepakatan antar dua pihak, baik secara

langsung maupun tidak. Beliefs saja tidak cukup untuk mencapai kondisi trust antar kedua pihak,

dibutuhkan juga commitment untuk mempertahankan dan menindaklanjuti nilai-nilai yang telah

ada dalam beliefs tersebut. Melalui kedua hal itu, maka trust dapat terwujud. Secara sederhana,

trust memiliki definisi mempercayakan, yang berarti menaruh kepercayaan penuh kepada orang

lain. Hubungan orang sama dan orang bagai diselimuti oleh kegelisahan, kekhawatiran, dan

prasangka yang disebabkan oleh aspek trust yang tidak berjalan dengan baik, sehingga terjadi

relasi yang tidak sehat dari kedua pihak.

Relasi antara orang sama dan orang bagai secara sepintas dilihat biasa saja atau memiliki

interaksi yang tidak berbeda, seperti yang dilakukan oleh orang darat atau orang bagai pada

umumnya. Namun, Erving Goofman menyebut hal ini sebagai performance front (pertunjukkan

depan panggung), yang secara umum fungsi dan penampilan didefinisikan maupun diatur

(setting) begitu rupa dalam konteks yang dialami oleh manusia. Terdapat performer (pelaku) di

dalamnya yang berperan melalui situasi dan konteks mereka berada.24 Hal ini sama seperti

hubungan antara orang sama dan orang bagai, yang dalam tampilan depan panggung atau ketika

23 Piotr Sztompka, "trust," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York:

Cambridge University Press, 2006), 639-640. 24 Erving Goofman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of Edinburgh, 1956),

13-14.

Page 20: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

102

melakukan interaksi satu dengan lainnya, sehingga yang nampak dalam interaksinya adalah

sebatas personal front (tampilan depan dari individu) itu sendiri, yang sudah banyak dimodifikasi

oleh nilai-nilai dan norma-norma masing-masing komunitas. Hal ini terlihat ketika peneliti

tinggal bersama masyarakat Bajo desa Mola, Wakatobi, yakni timbul persoalan sosial antara

orang sama dan orang bagai. Meskipun masih dalam taraf mikro, namun inti persoalannya jelas,

yakni terjadinya pergesekan di antara kedua pihak yang menyebabkan orang bagai semakin

menanggap rendah orang sama dalam hubungan kepercayaan mereka, dan sebaliknya, orang

sama semakin kurang percaya kepada orang bagai jika melakukan transaksi maupun di dunia

pekerjaan. Karena ada beberapa pemilik modal di kampung Bajo desa Mola yang berasal dari

luar atau orang bagai, yang memiliki taraf ekonomi yang cukup untuk membeli bodi atau perahu

besar untuk melaksanakan aktifitas melaut. Sebaliknya, ada sebagian dari orang Bajo yang tidak

memiliki cukup modal untuk membeli bodi, dan dengan terpaksa, orang Bajo bekerja kepada

orang bagai untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Adapun orang Bajo yang bekerja di

tempat orang bagai tersebut sebagai upaya untuk membangun trust kepada orang bagai, yang

selama ini tidak memiliki hubungan yang sehat. Namun, dalam perjalanannya, orang Bajo

mendapati kesan bahwa tindakan dan kontrak sosial yang mereka telah pegang bersama

seringkali tidak ditaati oleh orang bagai, yang adalah pemilik modal itu sendiri. Hal ini membuat

merenggangnya hubungan antara orang sama dan bagai. Orang sama semakin sulit untuk

menaruh trust kepada orang bagai, karena orang bagai dikenal dengan karakternya yang senang

jika terjadi konflik. Sedangkan orang sama tidak menyukai konflik apapun alasannya, karena hal

itu mengganggu harmoni sosial yang terjadi dalam komunitas orang Bajo.

Page 21: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

103

4.7. Kesadaran Ekologis Orang Bajo

Anthony Giddens menyatakan bahwa modernitas mengandung unsur kesempatan yang

lebih luas bagi manusia untuk berekspresi dan memperjuangkan identitasnya. Di sisi lain,

modernitas mempunyai sisi yang mengerikan,25 yakni dengan kemajuan yang begitu pesat,

membuat manusia sibuk terhadap produksi sumber daya alam yang berlebihan, bahkan di

beberapa tempat, alam dijadikan sebagai objek bagi kaum kapitalis. Mirisnya, di era global ini,

mereka yang merusak alam, justru dengan lantangnya menyuarakan untuk menjaga alam. Sebuah

fenomena yang menarik, ketika dialektika pertemuan di antara peradaban global, yang berusaha

mengambil keuntungan atas alam, dan di sisi lain memperjuangkan untuk mempertahankannya.

Isu ekologis merupakan isu global yang terbentuk akibat kebijakan dari sistem ekonomi lokal,

regional maupun global yang tidak memperhatikan pembangunan yang bersahabat terhadap

lingkungan dan alam.

Orang Bajo terlebih dahulu sadar akan hal ini, dan telah menjadi bagian dalam kehidupan

mereka untuk memberi perhatian lebih terhadap lingkungan laut. Orang Bajo menganggap laut

sebagai sumber penghasilan dan sumber kehidupan mereka, sehingga orang Bajo menjaga dan

melestarikan kehidupan laut. Ada opini dari luar komunitas orang Bajo yang menyatakan bahwa

orang Bajo mengambil ikan di laut dengan cara ilegal, seperti melakukan bom ikan dan

meracunnya, sehingga merusak terumbu karang yang ada di dalamnya. Setelah diselidik lebih

jauh, ternyata orang-orang yang melakukan pengrusakan terumbu karang itu adalah orang luar

komunitas Bajo, dan orang Bajo dijadikan kambing hitam terhadap hal tersebut. Orang Bajo

yang memiliki kedekatan emosional dan historis dengan laut tidak memiliki alasan untuk

merusak laut, karena mereka percaya bahwa jika mereka merusak laut, sama saja seperti merusak

25 Anthony Giddens, Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas (Bantul: Kreasi Wacana, 2014), 9.

Page 22: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

104

kehidupan mereka sendiri. Orang Bajo memiliki trust kepada laut, namun tidak kepada orang

darat atau orang bagai, karena tindakan mereka yang menangkap ikan dengan cara ilegal tersebut

membuat terumbu karang rusak dan ikan-ikan semakin menjauh dari pemukiman orang Bajo.

Aspek kultural yang melekat dalam diri orang Bajo kepada laut membuat mereka sadar bahwa

laut adalah rumah mereka yang utama dan harus dijaga untuk dilestarikan. Ada beberapa

penelitian mengenai orang Bajo sebagai pelindung terumbu karang dan sebagai penjaga

ekosistem laut, salah satunya penelitian dari Julian Clifton dan Chris Majors, yang meneliti

orang Bajo melalui budayanya, konservasi, dan konflik: dari sudut pandang penjaga lautan di

antara orang Bajo dari Asia Tenggara. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat

indegenous (asli) dan etnik minoritas seringkali dirasakan sebagai sahabat dari upaya konservasi

yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga dari keterbukaan orang Bajo dapat menolong upaya

konservasi lautan yang semakin lama rusak oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.26

Orang Bajo menyatakan bahwa laut dijadikan sebagai sumber kehidupan yang tidak terbatas jika

dapat dikelola dengan baik, sama seperti lahan pertanian yang ada di darat, begitu pula yang

terjadi bagi masyarakat Bajo, yang kehidupannya tidak lepas dari laut.

4.8. Orang Bajo dalam Percaturan Politik

Desa Mola dibagi menjadi lima desa, yang memiliki keunggulan masing-masing.

Meskipun memiliki identitas yang sama, yakni sebagai orang Bajo, namun kepentingan politis

menjadi aparat desa merupakan suatu hal yang berpengaruh dan dapat mengangkat status

sosialnya dalam masyarakat. Menariknya, program di setiap desa Mola berpengaruh dari

26 Julian Clifton & Chris Majors: Culture, Conservation, and Conflict: Perspectives on Marine Protection

Among the Bajau of Southeast Asia, Society & Natural Resources: An International Journal, (2012):, 716-725.

Page 23: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

105

identitas kebajoan mereka, yakni suatu bentuk ‘peniruan’ dari satu desa dengan desa yang lain.

Orang Bajo menyadari hal ini sebagai suatu identitas yang tidak bisa terlepas di antara mereka.

Jumlah penduduk yang tidak sedikit membuat desa Mola, Wakatobi, sebagai desa yang

cukup berpengaruh dalam percaturan politik di daerah Wakatobi. Desa Mola, yang dikenal

sebagai kampung Bajo ikut serta dalam politik praktis ketika masyarakatnya telah terdata dan

menjadi bagian dalam penduduk Indonesia. Hal itu didukung oleh peran aparat desa yang

berfungsi untuk menyuarakan aspirasi penduduk desa kepada pemerintahan setempat. Orang

Bajo yang awalnya dipandang sebelah mata oleh orang darat, karena dianggap tidak memiliki

kemampuan apa-apa, khususnya dalam pendidikan yang tidak sama dengan orang darat. Namun,

seiring berjalannya waktu dan perubahan yang terus bergulir membuat orang Bajo belajar lebih

banyak dan masuk dalam politik praktis, ada orang Bajo yang telah masuk dalam ranah legislatif

(DPRD), karena memang kemampuan ekonomi juga berpengaruh terhadap hal ini. Seperti yang

terjadi pada pemilihan bupati akhir tahun 2015 lalu, ketika persaingan ketat dan panas antar

kepentingan, khususnya di dalam masyarakat Bajo desa Mola yang mendukung salah satu

pasang calon, dan seringkali terjadi gesekan dan konflik dengan pendukung lawannya. Hal ini

membuat orang Bajo desa Mola semakin terlihat eksistensinya, dan masyarakat Bajo sendiri

memiliki dasar politik yang kuat melalui setiap pengalaman, pemikiran dan refleksi kritis mereka

terhadap perubahan demi perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan mereka.

4.9. Globalisasi dan Kontradiksi Kultural

Anthony Giddens melihat bahwa globalisasi secara langsung merupakan konsekuensi

dari modernisasi yang terjadi begitu cepat, Anthony Giddens dalam bukunya The Consequences

of Modernity, yang diterbitkan tahun 1991, memberi suatu distingsi antara hubungan time and

Page 24: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

106

space (waktu dan ruang), ia memaparkan bahwa karateristik dari globalisasi ditemukan dari

reorganisasi dari ruang dan waktu dalam kehidupan sosial dan budaya.27 Sebagai hasil dari

distingsi time-space itu adalah, hubungan sosial menjadi disembedded (tidak melekat) atau

terpisah, dalam kata lain berarti tercabut dari akar konteks mereka, sehingga menjadi terstruktur

kembali melalui time-space.28

Dengan adanya pariwisata yang masuk di desa Mola, Wakatobi, orang Bajo memiliki

suatu kesadaran global yang mendorong mereka untuk melakukan suatu perubahan, yang

berdampak pada identitas kultur mereka. Identitas kultur merupakan suatu proses yang berjalan

dan mengalami perubahan sesuai dengan situasi yang terjadi. Dengan kata lain, global

consciousness (kesadaran global) tidak hanya sebuah hasil dari proses, tetapi merupakan motor

dari globalisasi.29 Pariwisata yang kreatif merupakan salah satu cara untuk menyediakan hal

ini……30

Giulianotti dan Robertson mendiskusikan pola dari imigrasi terhadap proses yang disebut

glokalisasi, mereka membagi dalam empat jenis proyek dari glokalisasi:

1. Relativisasi atau suatu pemeliharaan oleh aktor sosial, dengan demikian mempunyai

kontribusi kepada diferensiasi dari budaya tuan rumah.

2. Akomodasi atau penyerapan oleh aktor sosial dari pemaknaan dan tindakan yang berhubungan

dengan masyarakat lainya.

27 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity (Stanford: Stanford University Press, 1990), 18 28 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, A Dictionary of Globalization (London: Routledge, 2010), 149. 29 Chris Rumford, Cosmpolitan Spaces: Europe, Globalization, Theory (New York: Routledge, 2008), 135. 30 Anya Diekmann and Melanie Kay Smith, Aspects of Tourism: Ethnic and Minority Culture as Tourist

Attractions, ed. Anya Diekmann and Melanie Kay Smith (United Kingdom: Channel View Publications, 2015), 25.

Page 25: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

107

3. Hibridisasi atau suatu percampuran dan campuran oleh aktor sosial dan representasi sosial

budaya lainnya, serta kebiasaan-kebiasaan untuk memproduksi suatu bentuk-bentuk baru yang

khusus.

4. Transformasi atau suatu keadaan yang bebas oleh aktor sosial dari tradisi mereka di dalam

kepentingan yang berhubungan dengan sistem sosial budaya lainnya.31

4.10. Respon Globalisasi: Pariwisata

Pariwisata merupakan suatu hal yang menarik dalam kajian sosiologis, alasannya bahwa

dampak dari pariwisata yang menghubungkan antara orang asing (turis) dan orang lokal. Di

dalam pariwisata ini terdapat suatu hal yang saling bertentangan, yakni akibat dari pembangunan

pariwisata menyebabkan hancurnya hal-hal yang bersifat otentik dan lingkungan yang murni.

Hal tersebut berpengaruh kepada budaya lokal dan pembangunan ekonomi dan sosial yang

terjadi di sekitar masyarakat.32 Pariwisata melakukan transformasi dalam bentuk yang berbeda

melalui diskursus global dari konsumerisme, yang merupakan sebuah proses melalui 'orang lain'

menjadi sebuah komoditi untuk dikonsumsi.33 Jika menggunakan kacamata Marx dalam

tulisannya Das Kapital, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikaan antara

penampilan luar dan realitas yang sebenarnya dari produksi budaya yang dilakukan.34 Karena

dalam realitanya, pariwisata digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pasar saja, tetapi

melupakan nilai yang sejati dari budaya itu. Bahkan budaya telah dijadikan sebagai ruang jual-

beli yang mempertemukan antara budaya global dan budaya lokal, sehingga pertemuan ini

31 Diekmann and Kay Smith, Aspects of Tourism, 10. 32 Steve Bruce and Steven Yearley, "Tourism," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE

Publications Inc, 2006), 304. 33 Stroma Cole, Tourism, Culture and Development: Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia (Great

Britain: Cromwell Press, 2008), 21. 34 Chris Jenks, Culture: Studi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2013), 110.

Page 26: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

108

menyebabkan status quo dalam masyarakat lebih kuat, karena masyarakat lokal dijadikan

sebagai alat untuk memuaskan keinginan ‘pelanggan’, dan dibalik itu ada pihak-pihak luar yang

lebih untung daripada masyarakat lokal. Jadi, terdapat kebudayaan borjuis dalam masyarakat

yang hanya menilai segala sesuatu dari nilai materialnya saja, dan melihat nilai budaya dari sudut

pandang untung-rugi semata.35

Dengan melihat fenomena tersebut, tepat yang dikatakan Clifford Geertz bahwa terjadi

ketegangan budaya, sosial dan psikologis.36 Ketegangan di sini mencakup suatu realitas di dalam

masyarakat lokal (orang Bajo) dan masyarakat global (pendatang atau turis). Ketegangan ini bisa

menciptakan sesuatu yang baik untuk memberdayakan masyarakat, sebaliknya hal ini bisa

menyebabkan ketidakharmonisan dalam struktur sosial. Dalam konteks masyarakat Bajo di desa

Mola, menunjukan bahwa ketegangan antara orang Bajo dan turis merupakan suatu bentuk

ketegangan yang kreatif. Pertemuan yang kreatif ini merupakan hasil dari pembangunan aspek

pariwisata yang menghasilkan produk-produk yang inovatif.37 Ketegangan tersebut bukan

semata-mata menjadi perselisihan, namun memberi kontribusi yang baik kepada kedua pihak.

Orang Bajo sebagai fasilitator dalam pariwisata yang mereka kembangkan, sedangkan turis

maupun pendatang sebagai tamu yang menikmati suguhan, yang disediakan oleh orang Bajo.

Pariwisata bukan hanya pertemuan dari warisan budaya masa lalu, tetapi lebih dari itu

teristimewa bagi orang-orang atau komunitas yang hidup dalam sebuah konteks tertentu.

Pariwisata memberi kontribusi terhadap komunitas lokal, khususnya dari berbagai bentuk

warisan budaya yang tidak terlihat, namun dapat dirasakan melalui pengalaman hidup di dalam

35 Jenks, Culture: Studi Kebudayaan, 107. 36 Clifford Geertz, Politik Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 32. 37 Mike Robinson & David Picard, Tourism, Culture and Sustainable Development (France: Unesco, 2006),

21.

Page 27: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

109

komunitas tersebut, sehingga turis melihat dan mengalami secara langsung tampilan budaya dan

ritual yang terjadi dalam komunitas tersebut.38 Budaya lokal yang ditampilkan oleh orang Bajo

ini tampil sebagai lawan tanding budaya global yang menghempas nilai dan tradisi orang Bajo.

Dengan kehadiran pariwisata di tengah masyarakat Bajo ini memberi peluang sekaligus

tantangan untuk melakukan revitalisasi nilai kebajoan bagi masyarakat Bajo. Nilai merupakan

suatu prinsip etis dan ideal, yang berhubungan dengan hal universal, secara spesifik merupakan

persepsi moral yang ada sesuai dengan konteks masing-masing.39 Orang Bajo menerima

kehadiran pariwisata yang masuk dalam kehidupan mereka, meskipun pada awalnya mereka

tidak begitu menerima kehadiran pariwisata ini, namun dengan pemahaman baru yang diberikan

kepada mereka bahwa pariwisata berfungsi untuk menguatkan identitas lokal (kebajoan) mereka,

sehingga orang Bajo di desa Mola mulai menerima dan memberdayakan pariwisata yang ada di

desa mereka.

Pada satu sisi, pariwisata sangat dipengaruhi oleh sektor publik, khususnya infrastuktur

dasar (energi, jalan, persedian air, dan sebagainya). Di sisi lain, sektor pariwisata terdiri dari

kepemilikan pribadi dan kepentingan bisnis yang dioperasikan sedemikian rupa, sehingga sulit

untuk dilakukan koordinasi dan mengatur hal-hal tersebut.40

Pariwisata tidak hanya sebagai bentuk menguatnya identitas lokal, tetapi juga merupakan

bentuk lain dari dominasi kekuatan global yang menjelajahi setiap sudut dunia ini. Hibriditas

dilihat sebagai sebuah efek sejarah dari kolonialisme yang merupakan sebuah diskursus dari

sebuah kondisi yang disebut sebagai pos-kolonialisme. Hal ini dapat membentuk suatu identitas

38 Robinson & Picard, Tourism, Culture and Sustainable Development, 19. 39 Steve Bruce and Steven Yearley, "Values," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE

Publications Inc, 2006), 314. 40 Robinson & Picard, Tourism, Culture., 9.

Page 28: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

110

baru dalam masyarakat, yakni sebuah budaya global. Budaya global disebut juga sebagai

mélange, yang memiliki definisi sederhana, yaitu suatu percampuran dari hal-hal yang berbeda.

Mélange juga merupakan suatu istilah yang menunjukkan dialektika antara lokal dan global,

yang melahirkan peningkatan budaya yang berbeda, khususnya memberi bentuk komunitas lokal

baru, yang terbentuk dari bentuk hybrid dan identitas-identitas baru.41

Budaya ketiga merupakan hasil bentukan dari homogenitas dan heterogenitas, yang

membuat suatu bentuk hybrid transnasional budaya ketiga. Budaya ketiga terbentuk melalui

tindakan-tindakan maupun gaya hidup yang mempengaruhi proses global baru, yang membuat

kemungkinan terbentuknya budaya baru. Di satu sisi, hal itu membuat budaya yang ada dalam

dunia bersifat tunggal dan secara bersamaan membuat berbagai tempat lebih berbeda. Di sisi

lain, hal itu tidak membuat sebuah 'budaya global' yang tunggal, namun terdapat interaksi antara

lokal dan global itu sendiri.42

Proses globalisasi mempunyai dampak besar terhadap produk pada pariwisata. Produk-

produk itu menyediakan pengakuan, penglihatan dan kesetiaan, yang begitu relevan untuk saat

ini daripada sebelum hadirnya ekspansi pasar global dan perbedaan dari produk-produk

pariwisata yang ada.43 Di era global saat ini, produk-produk pariwisata memiliki tantangan yang

kuat, khususnya mengenai perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang begitu

pesat, sehingga produk-produk pariwisata harus bersaing secara bebas untuk mendapatkan

keuntungan.

41 Jens-Uwe Wunderlich and Meera Warrier, "A Dictionary Of Globalization," (London: Routldege Taylor

and Francis Group, 2007), 176. 42 Wunderlich and Warrier, "A Dictionary Of Globalization, 261. 43 Ana Maria Munar, "Challenging the Brand," in Tourism Branding: Communities in Action, ed. Liping A.

Cai, William C. Gartner and Ana Maria Munar, (United Kingdom: Emerald Group Publishing Limited, 2009), 33.

Page 29: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

111

4.11. Pariwisata Budaya Sebagai Lanskap Lokalitas

Ethnoscapes merupakan salah satu dari lima istilah yang dikembangkan oleh Arjun

Appadurai, ia melihat bahwa globalisasi merupakan suatu proses yang kompleks, sehingga tidak

bisa hanya melihat satu aspek saja, namun dibutuhkan berbagai pandangan yang berbeda agar

dapat mengidentifikasi pergerakan global itu sendiri. Globalisasi bukan sebuah fenomena satu

dimensi, tetapi merupakan sebuah proses multideminsi, yang melibatkan berbagai bidang dari

aktifitas dan interaksi.44 Proses dalam globalisasi yang bersifat multidimensi melibatkan aspek

teknologi, ekonomi, politik dan dimensi kultural.45 Karena itu, pariwisata sebagai bagian dari

proses globalisasi memiliki berbagai aspek yang mempengaruhi di dalamnya. Aspek teknologi

sebagai pemberi informasi dan sebagai wadah pertemuan antara turis dan komunitas lokal.

Orang Bajo tidak seperti yang diberitakan oleh berbagai media, bahwa mereka

merupakan suku yang masih otentik hidup di atas laut, dan kehidupan mereka benar-benar

tergantung akan laut, serta tidak dipengaruhi oleh kehidupan luar. Semua budaya adalah plural,

hybrid dan multikulural dari dalamnya. Tidak ada lagi budaya yang benar-benar otentik, murni,

tradisional, dan budaya yang terisolasi di dunia, bahkan jika kehadiran mereka masih eksis

hingga sekarang.46 Mediascape merupakan faktor pendukung berkembangnya pola pikir dari

masyarakat yang menganggap suatu budaya itu benar-benar masih terjaga keasliannya. Turis

berkeinginan untuk menjelajahi tempat-tempat yang bersifat otentik, yakni mendapatkan suatu

pengalaman dari komunitas lokal, sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar bagi lembaga

pariwisata, agar dapat menangkap kesempatan ini dalam merangkul backpackers di tempat yang

44 Nasser Momayezi, "Cultural Globalization," in Public Administration and Public Policy, ed. Ali Farazmand

and Jack Pinkowski (London: CRC Press, 2006), 27. 45 Momayezi, Cultural Globalization, 36. 46 Momayezi, Cultural Globalization, 34.

Page 30: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

112

terpencil. Hal ini dimanfaatkan oleh aspek pariwisata yang melihat bahwa turis atau pengunjung

dari luar lebih senang melihat dan mengalami kehidupan orang-orang yang berada di pedalaman,

serta merasakan secara langsung kehidupan mereka.

Wisata budaya yang dikembangkan oleh orang Bajo memiliki pengaruh yang besar di

‘dunia luar,’ sebab para pelancong maupun turis lebih memilih untuk mendatangi hal-hal yang

berbeda dari kehidupan mereka sebelumnya. Hal ini disebut sebagai glokalisasi, suatu istilah

yang dikembangkan oleh Roland Robertson dalam melihat suatu hubungan antara tekanan global

dan reaksi dari komunitas lokal terhadap tekanan itu. Melalui hal tersebut, lokalitas dapat

dihormati dalam hubungannya dengan yang global. Glokalisasi mengarah kepada suatu

komunitas lokal yang bersifat subyektif dan mengarah pada ruang privat dari masing-masing

individu.47 Istilah glokalisasi ini tepat apabila ditempatkan pada komunitas orang Bajo yang

berupaya untuk memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan lokal mereka dalam ranah publik.

Ranah publik ini bersifat terbuka dan arus peredaran informasi begitu cepat, sehingga komunitas

lokal tidak bisa melawan kekuatan media yang begitu cepat dan kuatnya. Komunitas lokal tidak

bisa bersikap apatis terhadap perubahan yang ada, namun diperlukan kekuatan mediascape

sebagai wadah utama bagi komunitas lokal untuk mengembangkan dan memberdayakan wisata

budaya yang ada dalam komunitasnya.

47 Wunderlich and Warrier, A Dictionary of Globalization, 165.

Page 31: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

113

4.12. Skema Perubahan dan Dinamika Orang Bajo

Lanskap Appadurai

Sistem Sosial-Ekologi Dinamika dan Struktur Lokal-Regional-Global

Peneliti mengemukakan bahwa tahap perubahan dalam komunitas orang Bajo memiliki

lebih dari satu faktor untuk mengubah wajah orang Bajo, karena bukan hanya faktor internal dari

komunitas orang Bajo yang dapat mempengaruhi sistem kebudayaan tersebut. Namun, faktor

eksternal, seperti lima scapes dari Arjun Appadurai, yakni ethnoscapes, ideoscapes,

financescapes, technoscapes dan mediascapes, yang mempengaruhi arus pemikiran, perseberan

pandangan hidup, gaya hidup, dan perubahan struktur serta komunitas lokal. Selain itu, ada

sistem sosial ekologi, yang mempengaruhi sistem kebudayaan orang Bajo, sehingga terlihat ada

proses memberi pengaruh, sekaligus intervensi dalam sistem kebudayaan orang Bajo. Hal ini

membentuk suatu bangunan sistem kebudayaan yang tidak indigenous lagi, karena berbagai

faktor yang membentuk dan memberi pengaruh terhadapnya. Setelah tahap itu, sistem

Sistem Kebudayaan

Orang Bajo

(Ritus Siklus

Kehidupan)

Hibridisasi Budaya

(Pariwisata Budaya)

Tahap Pertama: Pengaruh, Intervensi, dan Konstruksi

Tahap Kedua: Respon dan Reproduksi

Tahap Ketiga: Dampak dan Keuntungan

dan

Page 32: BAB 4 SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13349/4/T2_752015031_BAB IV... · SISTEM KEBUDAYAAN ORANG BAJO DALAM PERUBAHAN . ... 1 George Ritzer,

114

kebudayaan orang Bajo memberi respon terhadap faktor eksternal tersebut, sehingga sistem

kebudayaan orang Bajo memproduksi bentuk hibrida baru dalam budaya orang Bajo, seperti

pariwisata budaya yang hadir, hal itu terlihat sama seperti kloning kebudayaan. Namun di sisi

lain, pariwisata budaya orang Bajo memberi dampak positif dalam mempertahankan identitas

dan memberi manfaat terhadap arus global, sekaligus memberi keuntungan terhadap lima scapes

Appadurai dan sistem sosial ekologi dalam prakteknya.