daftar tilikan data kearifan lokal masyarakat bajo …€¦ · bab ii sejarah kedatangan masyarakat...

22
DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO DI KABUPATEN KONAWE UTARA I. GAMBARAN UMUM Persebaran Masyarakat Bajo Di Konut No Desa / Kelurahan Jumlah Penduduk Perkiraan Persentase Perkiraan Jumlah Warga Bajo 1 Mowundo 601 80% 480 2 Mandiodo 767 90% 690 3 Kel. Molawe 1.388 15% 208 4 Kel. Tinobu 970 25% 242 5 Basule 708 20% 142 6 Waturambaha 230 95% 218 7 Boenaga 327 90% 294 8 Boedingi 196 95% 186 9 Morombo 298 25% 74 10 Labengki 188 90% 169 11 Tapunopaka 513 20% 102 12 Tanjung Bunga 376 92% 345 13 Kampoh Bunga 497 85% 422 14 Lemo Bajo 395 95% 375 15 Barasanga 379 90% 341 16 Kampoh Cina 234 95% 222 17 Tokowuta 247 75% 185 18 Taipa 572 25% 143 19 Pasir Putih 539 65% 350 20 Kel. Sawa 616 20% 123 21 Laimeo 237 85% 237 22 Ulusawa 222 75% 166 23 Tanjung Laimeo 264 85% 224 24 lambuluo 335 15% 50 25 Ranombopulu 218 10% 21 JUMLAH TOTAL 4.247

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

DAFTAR TILIKAN DATA

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO DI KABUPATEN KONAWE UTARA

I. GAMBARAN UMUM

Persebaran Masyarakat Bajo Di Konut

No Desa / Kelurahan Jumlah

Penduduk

Perkiraan

Persentase

Perkiraan

Jumlah Warga

Bajo

1 Mowundo 601 80% 480

2 Mandiodo 767 90% 690

3 Kel. Molawe 1.388 15% 208

4 Kel. Tinobu 970 25% 242

5 Basule 708 20% 142

6 Waturambaha 230 95% 218

7 Boenaga 327 90% 294

8 Boedingi 196 95% 186

9 Morombo 298 25% 74

10 Labengki 188 90% 169

11 Tapunopaka 513 20% 102

12 Tanjung Bunga 376 92% 345

13 Kampoh Bunga 497 85% 422

14 Lemo Bajo 395 95% 375

15 Barasanga 379 90% 341

16 Kampoh Cina 234 95% 222

17 Tokowuta 247 75% 185

18 Taipa 572 25% 143

19 Pasir Putih 539 65% 350

20 Kel. Sawa 616 20% 123

21 Laimeo 237 85% 237

22 Ulusawa 222 75% 166

23 Tanjung Laimeo 264 85% 224

24 lambuluo 335 15% 50

25 Ranombopulu 218 10% 21

JUMLAH TOTAL 4.247

Page 2: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

BAB II

Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara

Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan

kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di

atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau

Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnyadirinya sebagai suku Same. Dan, mereka

menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.

Nama “Bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut.

Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman

dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku

Bajo. Artinya, ya suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga

ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan

sebagai suku Bajo! Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan.

Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau

bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak

semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga

kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan

demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian

sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat

mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”! Yang

pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak

lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun

kehidupan. Banyak pendapat yang mencoba untuk mencari tau asal muasal kedatangan

Masyarakat Bajo di konawe Utara, tetapi dari cerita dan beberapa Riwayat yang sering di

nyanyikan dalam Lagu Iko Iko, maka kita bias mengambil kesimpulan Bahwa Asala Masyarakat

Bajo yang berada doi kabupaten Konawe Utara berasal dari dua Wilyayah yaitu dari Provinsi

Sulawesi tengah dan Selatan

Naskah Lontarak Assalenna Bajo

Naskah Lontarak Assalenna Bajo secaraharfiah berarti “Lontarak tentang asal-usul suku Bajo”.

Naskah ini ditemukan di masyarakat Bajo di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara

Provinsi Sulawesi Tenggara, dan salinannya telah disimpan di Museum Negeri Sulawesi

Tenggara di Kendari. Naskah aslinya sendiri ternyata telah lapuk dimakan usia. Naskah ini ditulis

di atas kertas dengan huruf Lontarak dan Arab, dalam bahasa Bugis-Makassar dan Arab,

berbentuk, prosa.

Nama “lontarak” sendiri adalah nama aksara atau huruf yang digunakan dalam naskah-

naskah kuno berbahasa Bugis-Makassar, yang kemudian umumnya juga dijadikan sebagai

nama depan sebuah naskah. Nas Lontarak Assalenna Bajo yang ditelaah dalam makalah ini

adalah naskah yang telah diterjemahkan dan dialihaksarakan oleh Anwar ke dalam Bahasa

Indonesia dengan huruf Latin, Adapun metode yang digunakan adalah metode analisis-

deskriptif- interpretatif. Naskah Lontarak Assalenna Bajo ditelaah dan dianalisis untuk

Page 3: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

mengetahui bagian-bagian atau ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai keislaman atau

bernuansa ajaran Islam. Bagian-bagian atau ayat-ayat tersebut kemudian dideskripsikan,

diuraikan, dan diberikan penjelasan-penjelasan seputar konteks

yang disebut penghuni pertama bumi suami istri”. Kemudian dilanjutkan dengan ayat ketiga

sebagai berikut:

“Iyyana mula-mula ri paturung ri linoe, maddeppae, ri lapatella, nakonna riapanritannae ri

ware, nainappa ri paturung ri tanae”

Artinya sebagai berikut: “Dialah yang pertama diturunkan di dunia yang berkembang biak,

karena kemuliaannya ditempatkan di atas, kemudian diturunkan di bumi…” Dari ketiga ayat

yang dikutip di atas, jelaslah bahwa orang Bajo mengakui bahwa mereka adalah orang Islam,

yang berarti bahwa Islam menjadi bagian yang penting dalam identitas mereka. Namun

demikian, tidak dapat diketahui dengan pasti kapan Islam pertama kali masuk dan dianut oleh

orang Bajo. Dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri tidak disebutkan kapan orang Bajo

pertama kali memeluk Islam. Walaupun demikian, kita bisa melihat pada konteks naskah

tersebut, sehingga kemungkinan orang Bajo memeluk Islam karena pengaruh dari kerajaan-

kerajaan di sekitarnya. Konteks naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri ditulis sekitar abad ke-16

hingga ke17 di wilayah BajoE, perkampungan masyarakat Bajo di teluk Bone, yang dahulu

merupakan wilayah kerajaan Bone. Oleh karena itu, kemungkinan masyarakat Bajo memeluk

Islam karena pengaruh dari kerajaan Bone. Dalam naskah “Lontarak Assalenna Bajo” ayat 249

disebutkan:

“salama naengkangngE tturung pole ri Mekka ri ammulangenna asengnge Syaehe Al-Hajji

Yusupu, iyyana ammulangenna mappaselleng, pasellengngi to Bone nadipoanreguru tooni

Petta Matinroe ri Rompegading, iyya toona ripatettong Kali ri Bone nariasenna Mupeti Yusupu.

Terjemahannya”

BAB III

AGAMA MAYORITAS MASYARAKAT BAJO

Islam Sebagai Identitas Suku Bajo

Islam telah menjadi bagian penting dalam identitas budaya orang Bajo, yang terbukti dari

ayat-ayat dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo yang diwarnai oleh nilainilai ajaran Islam

sebagai buah pikiran orang Bajo dalam melukiskan kehidupan mereka. Meskipun Islam telah

diterima oleh masyarakat Bajo sebagai identitasnya namun penerimaan ajaran Islam tersebut

tentu tidak terjadi dengan serta merta. Penerimaan Islam oleh masyarakat Bajo tentu melalui

proses negosiasi dan perkembangan terus-menerus, dalam rangka proses pembentukan dan

pembangunan identitas mereka. Proses negosiasi ini yang terpenting adalah proses negosiasi

antara penerimaan nilainilai Islam dengan kepercayaan tradisional mereka sebagai suku laut,

dan proses interaksi dengan masyarakat di luar mereka, yaitu dengan orang-orang darat. Oleh

karena itu, perlu dilihat konteks sejarah kehidupan orang Bajo, termasuk tentang asal-usulnya,

untuk mengetahui proses pembentukan identitasnya

Page 4: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

BAB 1V

BUSANA ADAT MASYARAKAT BAJO KONAWE UTARA

A. Makna Dan Fungsi Busana Adat

Tradisi masyarakat Bajau di Indonesia sejak zaman dahulu secara turun temurun menyadari

sepenuhnya bahwa keberadaan busana Adat Bajau merupakan anugerah dan bagian dari

nikmat Allah yang wajib disyukuri, karena busana tersebut memegang peran penting bagi

kelangsungan peradaban, tradisi dan budaya Bajau, sebagai penutup aurat guna

membedakan antara manusia dan hewan, dan sekaligus sebagai perhiasan yang perlu

dipelihara keindahan dan kemurniannya agar tidak punah dan bisa dinikmati ole anak-cucu

dari generasike generasi.

Tekstil bahan busana adat yang digunakan oleh masyarakat Bajau umumnya terbuat dari

bahan alam yang lazim ditemui pada setiap masa di setiap generasi, yaitu terbuat dari bahan

tumbuh-tumbuhan, kulit atau bulu binatang yang halal dikonsumsi kaum Muslimin. Misalnya

berupa kapas (cotton), wool, bulu, sutera, bulu burung dan lain sebagainya, dan ada pula yang

menyertakan desain kreasi aksesories berupa hiasan dari manilk-manik dan ada pula hiasan

bentuk sulaman atau bordir (embordery). Menyadari bahwa busana adat adalah anugrah dari

Allah, maka sebagai wujud rasa syukur, masyarakat Bajau wajib mematuhi adab berbusana

sebagaimana perintah-Nya, dan menjaga kelestarian bentuk-bentuk desain kreasi busana adat

amanat leluhur, serta menjaga kaidah-kaidah berbusana, yaitu memenuhi unsur syar’i dan tidak

berlebihan. Untuk itulah maka siapapun yang mengenakan busana adat Bajau wajib

menyadari, memahami dan mematuhi adab berbusana, sebagaimana uraian berikut ini:

1. Busana adat adalah anugrah Allah yang diturunkan melalui pemikiran dan rancangan

tangan-tangan terampil leluhur masyarakat Bajo. Untuk itulah maka keberadaan busana adat

wajib disyukuri mengingat betapa banyak ummat manusia yang hidup dari masa ke masa

berbusana apa adanya, bahkan hanya sekedar menutup bagian-bagian vital (aurat) saja.

2. Fungsi Busana Adat Bajau:

a. Menutupi Aurat, adalah fungsi utama busana adat Bajau. Secara sederhana ukuran yang

dapat difahami sebagai pendekatan hukum keabsahan busana “penutup aurat” adalah,

dalam kondisi tertentu, busana adat dimaksud boleh (syah) digunakan oleh kaum muslimin

untuk melaksanakan ibadahshalat;

b. Menjadi Perhiasan, adalah fungsi pelengkap. Tidak ditemukan ketentuan khusus yang

mengatur secara spesifik misalnya hiasan apa sajakah yang wajib ada diterakan sebagai

aksesories di setiap bagian dari busana Adat Bajau. Untuk itulah maka desain bentuk ornamen

atau gambar-gambar pada busana Adat Bajau, berpedoman pada ketentuan yang diatur

di dalam hukum syar’i, yaitu tidak boleh menampilkan gambar-gambar berupa mahluk

bernyawa.

Page 5: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

3. Busana Adat adalah sebaik-baik pakaian bagi masyarakat Bajau. Untuk itulah maka selama

mengenakan busana adat, masyarakat Bajau wajib menjaga sopan santun, tutur kata,

perbuatan, sehingga mencerminkan kepribadian bangsa yang beradab.

B. SARIJJA LILLA SAMA

SARIJJA adalah keseluruhan dari Busana Adat yang dikenakan oleh kaum pria Bajau atau dalam

Bahasa Bajau disebut “Sarijja Lilla Sama” yaitu mulai dari penutup kepala, baju, selendang,

sarung, hingga celana panjang. Kata Sarijja berasal dari bahasa Arab “Al-Libasul rijalu” yang

bermakna pakaian kaum pria. Sarijja terdiri dari:

(1) Penutup kepala (Sigar);

(2) Baju/kemeja lengan panjang tidak ber-krah (Kamas Lilla);

(3) Selendang (Salendah) dikenakan khusus oleh Tetua Adat dan Tokoh Masyarakat;

(4) Sarung yang dikenakan condong ke kiri

(Bidah Pasiri’); dan

(5) Celana Panjang (Kantiu). Selengkapnya Sarijja dapa j

dilihat pada gambar berikut ini:

GAMBAR-1, Bagian-bagian dari Sarijja. Foto model adalah Tetua Adat dan Tokoh

Masyarakat Bajo Konawe Utara. (Sumber: Dok. Pribadi).

Page 6: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Busana Adat Bajo Konawe Utara

Makna-makna simbolik serta bagian-bagian dari kelengkapan Sarijja busana adatkaum pria

Bajau, dijelaskan lebih lanjut sbb:

1. SIGAR ( Blangkon)

Sigar adalah penutup kepala bagi kaum pria Bajau yang secara turun temurundibuat dari

bahan kain tenun (bidah ditinnong) dan dipadukan sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari Sarijja. Bentuknya yang unik terutama pada saat dikenakan, menjadikan Sigar mudah

dikenali dan menjadi ciri khas Pakaian Tradisional masyarakat Bajau di Indonesia. Dalam tradisi

adat masyarakat Bajau, kepala adalah bagian terpenting dan terhormat dari tubuh manusia

yang harus selalu dilindungi dan diperhatikan. Syahdan, orang Bajo pada zaman dahulu

banyak yang memelihara dan memanjangkan rambutnya tapi tidak membiarkannya

tergerai acak-acakan. Rambut dimaksud biasanya digelung atau diikat dengan ikatan kain.

Ujung ikatan kain tersebut selanjutnya diikat dibelakang kepala. Secara filosofis Sigar

bermakna peringatan agar mampu mengendalikan diri. Pria Bajo pada zaman dahulu

membiarkan rambutnya tergerai hanya pada saat berada di rumah atau saat terjadi konflik.

Misalnya dalam peperangan atau saat terjadi perkelahian.

Membuka ujung ikatan kain di belakang kepala atau membuka tutup Kepala, berakibat

tergerainya rambut. Ini adalah pilihan terakhir, bermakna luapan emosi yang sangat dahsyat

dan tak tertahankan lagi. Jelas bahwa pemakaian Sigar mencegah rambut terurai dan

secara filosofis merupakan wujud nyata pengendalian diri. Sebutan kata Sigar dalam bahasa

Bajau berasal dari kata Sikker artinya dzikir, yaitu kegiatan yang hingga saat ini masih

diamalkan oleh masyarakat Bajo saat focus atau konsentrasi bermunajat kepada Allah SWT

dilakukan dalam upaya lebih mendekatkan diri antara manusia dengan Sang Pencipta. Pada

zaman dahulu kala, Sigar tidak berbentuk layaknya songkok atau topi yang siap pakai,

melainkan dibuat dari sehelai kain yang dililitkan di kepala.

Proses melilitkan sehelai kain hingga menjadi Sigar tentu saja memerlukan keahlian dan

keterampilan khusus. Bagi kalangan pemula tentulah akan terasa sangat rumit dan menyita

waktu yang cukup lama untuk layak menjadi bentuk Sigar yang sempurna. Seiring

berjalannya waktu, dalam upaya menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya leluhur, maka

tercipta suatu inovasi untuk membuat ikat kepala siap pakai namun tetap berpedoman pada

filosofi dan makna-makna simbolik serta tetap mempertahankan dan menyandang nama

kebesarannya dan yang tidak kalah pentingnya adalah produk dimaksud layak disebut

sebagai Sigar.

Page 7: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Beberapa motif kain sarung tenun (bidah ditinnong) yang kerap digunakan sebagai bahan

pembutan Sigar diangkat dari berbagai motif jenis biota laut. Beberapa diantaranya adalah

motif: Nyubba’, Birrah, Buntiti, Bolle, Garas, Kantapa’, dll. Sigar terbentuk atas bagian-bagian

yang disebutkan dalam bahasa Bajau sebagai: Lama mandiata’, Panoro’, Bodi, Lama

mandia’, dan Rumbei.Bagianbagian yang membentuk makna-makna simbolik sebuah Sigar

tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Makna-makna Simbolis di balik sebuah Sigar, adalah sbb:

a. Lama Mandiata’:

Bermakna “layar di bagian atas” yang biasa terdapat pada sebuah perahu, melambangkan

keberanian menjalankan sebuah prinsip secara hati-hati dan penuh kewaspadaan, berlaku

adil dan bijaksana dengan mengedepankan kearifan dan perhitungan yang matang.

Bagian berbentuk layar ini, menjadi peringatan bagi masyarakat Bajau akan makna sebuah

kata-kata bijak yang sangat populer di kalangan pelaut:

“Sekali Layar Terkembang Pantang Biduk Surut Ke Pantai”.

Page 8: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

b. Panoro’:

Bagian berbentuk segi tiga laksana ujung tombak yang mengarah ke ujung hidung (noro ka

toroh uroh). Ini melambangkan bahwa di dalam tingkah laku kehidupan masyarakat Bajau,

ditekankan untuk selalu melihat ke bawah, agar selalu bersyukur atas setiap nikmat dan

karunia yang telah diperoleh. Filosofi Panoro’ adalah “Selalu memandang ke bawah,

lihatlah, betapa banyak saudara-saudara kita di negeri ini yang susah payah menjalani

kehidupan jauh di bawah garis kemiskinan”.

c. Bodi:

Melambangkan badan perahu (bodi lepa), di dalam kehidupan seharihari perahu memiliki

beragam fungsi, diantaranya digunakan sebagai sarana transportasi sekaligus sarana

akomodasi dan sarana penunjang yang paling vital bagi masyarakat Bajau untuk mencari

nafkah yang sudah dikenal sejak zaman dahulu kala.

d. Lama mandia’:

Bermakna “layar di bagian bawah”, bermakna kesiapan dan kesiagaan dimanapun layar

membawa bahtera. Bagian ini melambangkan keberanian masyarakat Bajo menghadapi

resiko dan tantangan seberat apapun tetap memegang teguh kesetiaan kepada negara

dan keberanian menegakkan kebenaran meskipun nyawa sebagai taruhannya.

e. Rumbei:

Bermakna “rumbai”. Dimulai dari sehelai kain mengelilingi Bodi dan bertemu di ujung bagian

belakang Sigar sehingga membentuk dua helai ujung kain menjulur. Ujung kain yang satu

melambangkan Syahadat Tauhid (Asyhadu allaa Ilaha Illallah) sedangkan ujung kain lainnya

melambangkan Syahadat Rasul (Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah). Kedua ujung

kain tersebut kemudian diikat menjadi satu sehingga melambangkan Syahadat ’Ain

(Asyhadu Allaa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasuulullah). Setelah Sigar

terikat, kemudian dipakai di kepala, yaitu tempat yang bagi orang Bajau merupakan bagian

terhormat. Artinya, Syahadat ‘Ain haruslah ditempatkan pada bagian yang paling tinggi dari

sendi-sendi kehidupan manusia. Pemikiran apapun yang keluar dari hasil pemikiran (kepala)

harus dilingkupi oleh sendi-sendi Islam. Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa Sigar

adalah sebuah simbol pengendalian diri di kalangan masyarakat Bajo. Siapapun yang

mengenakan Sigar di kepala wajib hukumnya untuk senantiasa “menahan gejolak emosi”.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa rambut melambangkan gejolak emosi sehingga

perlu dikendalikan dengan cara merapikan dan mengikatnya di belakang Kepala. Ini

bermakna meski hati panas tetapi kepala harus tetap dingin. Maka apabila emosi sudah

tidak bisa ditahan lagi, meledak-ledak luar biasa dahsyatnya, kaum lelaki Bajau harus

melepaskan Sigar yang dipakainya dan membiarkan rambut panjangnya tergerai. Siapapun

yang mengenakan Sigar hendaknya memahami nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam

makna-makna simbolik dari keberadaan sebuah Sigar.

Page 9: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Gejolak emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak dahsyat adalah kodrat manusia yang

berpotensi terjadi pada siapapun, dimanapun. Nilai-nilai budaya Bajau sebagaimana

tertuang di dalam Falsafah Sigar sejak zaman dahulu dan dilestarikan hingga sekarang,

menegaskan arti penting suatu Pengendalian Diri dan Kecerdasan Emosi untuk keselamatan

bersama di dalam kehidupan di dunia dan kelak di akhirat. Untuk itulah maka meskipun anda

terlahir dari rahim wanita Bajau atau ada darah Bajau yang mengalir di dalam tubuh, namun

anda tidak mampu mengendalikan emosi, nafsu, dan syahwat, maka anda tidak berhak

mengenakan Sigar di kepala.

2. KAMAS LILLA ( Kemeja Pria )

Kamas Lilla adalah baju lengan panjang yang dibuat tanpa kerah. Terminologi kata Kamas

diserap dari Bahasa Arab Kamasun yang bermakna baju, sehingga Kamas yang biasa

digunakan oleh kaum pria maupun wanita biasa juga disebut sebagai Badu Sama. Model

baju tanpa kerah tersebut dikenal oleh sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa dengan

istilah-istilah, seperti: Gamis, Baju Koko atau Baju Taqwa, sebagaimana dapat dilihat pada

gambar berikut ini.

Kamas Lilla dibuat dari bahan kain tenun atau katun, atau bahan-bahan lainnya yang mudah

menyerap keringat agar nyaman dipakai. Warna-warni dasar bahan Kamas Lilla disesuaikan

dengan warna bahan celana (kantiu) dan warna-warni Sigar, Salendah (hanya untuk orang-

orang tertentu) serta Bidah Pasiri’ sehingga tercipta kesan paduan warna-warni busana yang

serasi. Hiasan-hiasan berupa bordir (embordery) atau manik-manik yang melingkari bagian

pundak, dada, hingga ke ujung bawah Kamas Lilla mengikuti jalur kancing adalah perkara yang

Page 10: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

dianjurkan namun bukan keharusan atau tidak wajib (opsional). Hiasan-hiasan dimaksud

cenderung merupakan selera pemakainya atau apabila hendak dibuat seragam, hendaknya

mengacu pada kearifan lokal. Pengertian Kamas sebagai pakaian kaum pria dan wanita

sekaligus sebagai perhiasan sesuai dengan persyaratan yang telah disebutkan dalam ketentuan

penerapan Sarijja di atas, mengacu pada Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 26: “Wahai anak cucu

Adam, sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutup auratmu dan untuk

perhiasan bagimu. Tetapi pakaian taqwa itulah yang lebih baik”. Atas dasar inilah maka

masyarakat Bajo yang mengenakan Kamas hendaknya tidak hanya mementingkan keindahan

busana semata, tetapi juga menjaga agar busana yang dipakainya suci dari najis serta

menghiasi perbuatannya dengan penuh rasa taqwa.

3. SALENDAH

Selendang atau dalam bahasa Bajau disebut Salendah, adalah kelengkapan busana Adat Bajo

yang digunakan sebagai penanda bagi orang-orang tertentu di dalam kelompok masyarakat

Bajo, baik yang dipilih dan ditunjuk melalui kesepakatan Musyawarah Adat, maupun tokoh

masyarakat yang diangkat melalui Keputusan Pemerintah. Sebagai bagian dari busana adat

Bajo, Salendah disematkan khusus kepada:

a. Para Tetua Adat atau sesepuh masyarakat Bajau, atau orang-orang yang dituakan dalam

komunitas masyarakat Bajau yang dipilih oleh masyarakat melalui Musyawarah Adat;

b. Kepala Pemerintahan minimal setingkat Kepala Desa di kawasan mayoritas masyarakat

Bajau, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Pemerintah;

c. Para pejabat Negara minimal setingkat Camat yang menyatakan minat dan kesediaannya

untuk diangkat menjadi “masyarakat kehormatan” ditetapkan berdasarkan kesepakatan

musyawarah Adat. Pada zaman dahulu Salendah dikenakan oleh kaum pria sebagai

lambang kekuasaan dan kebesaran kaum bangsawan dan para pembesar negeri. Seiring

Mata Pencaharian Masyarakat Bajo Saat Ini :

Page 11: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman serta arus modernisasi, selendang tidak lagi

menjadi benda sakral pelengkap busana dan lambang kebesaran (derajat, kedudukan, posisi,

status sosial) kaum pria, namun dalam desain mode busana kaum wanita saat ini, selendang

dijadikan sekedar pelengkap busana, yang banyak disematkan pada berbagai busana

tradisional maupun mode busana modern. Emansipasi dalam pengertian budaya masyarakat

Bajo Konawe Utara adalah “kesetaraan”. Ada hal-hal di dalam kehidupan sosial yang hanya

bisa dilakukan oleh kaum pria, namun ada pula yang hanya bisa dilakukan oleh kaum wanita,

sehingga apabila diberikan penilaian (scoring) maka nilainya menjadi sama. Demikianlah

masyarakat Bajau menilai kesetaraan kedudukan pria dan wanita di dalam kehidupan

bermasyarakat. Salendah sebagai pelengkap busana adat, dan sebagai simbol bentuk nyata

adanya pengakuan kesetaraan gender di kalangan masyarakat Bajo Konawe Utara, maka

apabila pemuka masyarakat sebagaimana dimaksud pada butir 3.a. – 3.c. di atas ternyata

dijabat oleh kaum wanita, kepadanya berhak menyematkan Salendah pada setiap acara-

acara resmi, pagelaran budaya, menghadiri pesta pernikahan,

P

Page 12: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

4. SAMARRA DINDA SAMA

Samarra adalah busana adat yang diperuntukkan khusus bagi kaum wanita Bajau.

Terminologi kata Samara diserap dari bahasa Arab “Al-Libasul mar’a” yang bermakna

pakaian untuk kaum wanita. Bagian-bagian dari sebuah Samara terdiri dari: Sigadda,

Kamas Dinda, Juadda, dan (Rok-taha’ atau Bidah atau Kantiu) boleh menggunakan

salahsatunya.

1. SIGADDA

Sigadda dalam busana adat Bajau adalah hiasan layaknya sebuah mahkota yang

digunakan sebagai penutup kepala bagi kaum wanita dan dipadukan sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dengan Samarra. Ada beberapa bahan yang memungkinkan

untuk pembuatan Sigadda namun pada umumnya dibuat dari beberapa jenis bahan,

yaitu busa dan kain keras yang menempati bagian dalam untuk membentuk pola

sedangkan pada bagian akhir dilapisi kain warna-warni yang senada dengan bahan

kain pembuatan Juadda. Bentuknya yang unik terutama pada saat dikenakan oleh

kaum wanita Bajau, menjadikan Sigadda mudah dikenali dan menjadi ciri khas Pakaian

Tradisional wanita Bajau di Indonesia bahkan digunakan pula sebagai pelengkap

busana tradisional wanita-wanita Bajau di beberapa negara tetangga seperti Malaysia

dan Philippine dengan nama-nama berbeda di setiap negara. Setiap sisi dan lekuk dari

sebuah Sigadda dihiasi dengan ornamen yang secara simbolik melambangkan peran

wanita Bajau dalam berbagai aspek kehidupan. Sigadda terbentuk atas bagian-bagian

yang disebutkan dalam bahasa Bajau sebagai: Bullu’, Kuba, Tarusang, Bodi, Karagintah,

dan Sangambulang. Bagian-bagian yang membentuk sebuah Sigadda masing-masing

memiliki makna simbolik sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Page 13: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

BAB IV

TRADISI DAN MAKNA-MAKNA SIMBOLIK

Kata Bajo sendiri oleh beberapa kalangan diyakini berasal dari kata yang berkonotasi bajak laut.

Meski banyak kalangan yang membantah konotasi ini, menurut tutur yang berkembang bahwa

pada jaman dahulu banyak dari bajak laut yang memang berasal dari Suku Same, yakni satu suku

yang memang hidup dan tinggal di perahu ini dan menyebar hingga ke seluruh nusantara.

Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap di sama artikan sebagai suku Bajo.Pada

Suku Bajo, dikenal empat kelompok masyarakat yang didasarkan pada karakteristik mereka dalam

kaitannya dengan aktivitas mereka di lautan. Empat kelompok masyarakat ini dikenal dengan

sebutan sebagai berikut :

1. Kelompok LILIBU; yakni Suku Bajo yang biasanya mengarungi lautan hanya satu dua hari

untuk mencari ikan dan jarak melautnya pun tidak terlalu jauh. Setelah ikan didapat,

kelompok ini biasanya segera ‘pulang’ untuk bertemu keluarganya. Perahu kyang

digunakan oleh kelompok ini biasanya berukuran kecil yang bernama soppe dan

dikendalikan menggunakan dayung.

2. Kelompok PAPONGKA; yakni Suku Bajo yang bisa dikenali dengan aktifitas melautnya yang

hanya seminggu dua minggu saja untuk mencari ikan. Perahu yang digunakan oleh

kelompok ini hampir sama dengan kelompok Lilibu. Hanya saja, berbeda dengan kelompok

Lilibu, jarak tempuh mereka bisa lebih jauh dan keluar pulau. Bila dirasa telah memperoleh

hasil atau kehabisan air bersih, mereka akan menyinggahi pulau-pulau terdekat. Setelah

menjual ikan-ikan tangkapan dan mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut.

3. Kelompok SAKAI; yakni Suku Bajo yang memiliki kebiasaan mencari ikan yang wilayah

kerjanya jauh lebih luas. Bila kelompok Papongka hitungannya hanya keluar pulau, maka

kelompok Sakai hitungannya sudah antar pulau. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun

lebih lama. Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu selama sebulan atau dua bulan.

Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar dan saat ini umumnya telah bermesin.

4. Kelompok LAME; yakni Suku Bajo yang bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang lebih

modern. Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang besar dan mesin

bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga

menjangkau negara lain. Dan, mereka bisa berada di lahan nafkahnya itu hingga berbulan-

bulan.

Page 14: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Kepercayaan dan Adat Istiadat Suku Bajo

Meskipun Suku Bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur. Budaya

mantera-mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat masih mendominasi kehidupan mereka.

Peran dukun masih sangat dominan untuk menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau

memberikan ilmu ilmu. Orang Bajo sangat mempercayai setan-setan yang berada di lingkungan

sekitarnya. Rumah dan dapur-dapur mereka. Mereka percaya pantangan-pantangan dan

larangan, seperti misalnya larangan meminta kepada tetangga seperti minyak tanah, garam, air

atau apapun setelah magrib.

Mereka juga percaya dengan upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya

kehidupan pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda

yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya. Masyarakat Suku Bajo menyebut

rumah PALEMANA atau rumah di atas perahu. Karena masyarakat Suku Bajo bermukim dan

mencari nafkah di atas laut. Karena itulah mereka mendapat julukan sebagai MANUSIA PERAHU.

Menurut masyarakat Suku Bajo bahwa pemanasan global sekarang, orang-orang Bajo kesulitan

memantau perubahan iklim. Padahal biasanya mereka sangat presisi dalam mengantisipasi.

Gelombang pasang, letusan gunung berapi bisa diprediksi jauh hari sebelumnya.

Untuk berlayar di siang hari, pada saat mereka tidak bisa melihat pantai, mereka mengandalkan

ombak dan angin. Pada malam hari, bintang bintanglah yang menunjukan jalan. Mereka

menyebut bintang itu MAMAU atau KARANGITA. Mamau atau karangita bisa menjadi penunjuk

arah yang dituju.

Suku Bajo, memiliki keyakinan penuh atas sebuah ungkapan, bahwa Tuhan telah memberikan bumi

dengan segala isinya untuk manusia. Keyakinan tersebut tertuang dalam satu Falsafah hidup

masyarakat Bajo yaitu, (“Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga

kolekna mangelolana‘”) artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita

sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.

Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil

terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Dalam suku Bajo, laki-laki atau pria biasa dipanggil

dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda.

Page 15: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Sementara itu, Lagu dan tarian Bajo di antaranya, Lagu Lampa-Lampa Pisang, Tarian Igal Igal,

Tarian dan Lampa-Lampa Pisang.

Suku Bajo di Sulawesi Selatan tidak lagi disebut sebagai suku tertinggal dan termarjinalkan

khususnya di Kabupaten Bone. Mereka sudah melakukan hubungan sosial dengan suku Bugis

seperti yang ada di kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete Riattang Kabupaten Bone. Meskipun

mereka masih kebanyakan berdomisili di Tepian Laut Teluk Bone.

RITUAL CELUP BAYI KELAUT

Sebelumnya bayi yang lahir saat perjalanan berlayar, akan langsung dicelupkan dalam air laut.

Tapi, berbeda dengan bayi Suku Bajo yang ada di daratan. Mereka tidak langsung dicelupkan

dari air laut melainkan dimandikan dalam air laut setelah usia mereka menginjak 40 hari.

Menurut ABD HALIM ALKAF ketua adat Suku Bajo Kabupaten Konawe Utara, bayi yang terlahir

dalam perjalanan laut sengaja di celupkan dalam air laut supaya ia bisa menyatu dan akrab

dengan kehidupan laut. Diharapkan, kelak bayi tersebut menjadi orang yang berani menyelam

dan akrab dengan makhluk hidup yang ada di dalam lautan .

Terlahir di dunia lautan, anak-anak Suku Bajo sangat akrab dengan semua makhluk hidup yang

ada di dalam lautan. Terbukti, mereka bisa bermain-main dengan hewan yang ada di sela-sela

karang tanpa bantuan alat bantu sama sekali. Bahkan, di kedalaman laut tertentu mereka dapat

berenang bebas untuk menangkap ikan-ikan kecil yang ada di sela-sela rumput laut.

Page 16: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

NGAMPUAN (sebuah kebiasaan suku Bajo untuk saling mengunjungi)

Maduai Duata merupakan puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo.

Kebiasaan ini akan dilakukan bila ada salah satu di antara mereka mengalami sakit keras dan tak

lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.

Saat menjalani prosesi Duata pengobatan, sejumlah tetua adat biasanya berkumpul di sebuah

ruangan dan meramu jenis pelengkap ritual, seperti beras aneka warna, dupa, daun sirih, kelapa,

dan pisang.

Sementara itu, orang yang akan diobati dibawa menuju ke laut dengan diiringi nyanyian lagu

masyarakat Bajo yaitu lilligo dan tarian ngigal. Selesai dari laut, orang yang sakit dan tetua adat

bertemu di tempat semula dan berlangsung lah pengobatan. Tak terbatas pada pengobatan,

tradisi Duata juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Duata juga dilaksanakan

saat menyambut tamu.

TRADISI NGAMPUAN ( Berkunjung Ke Tetangga )

Sebagai Suku pengembara laut (sea nomad) orang Bajo tergolong paling sering berpindah-pindah

tempat dalam menentukan pemukiman, pun demikian dengan penghuni perahu yang selalu

berlayar ke suatu tempat tanpa menetap, kondisi ini sebenarnya bisa saja memutuskan kerukunan

antar sesama orang Bajo sebab intensitas pertemuan yang sangat jarang, lain halnya jika

kebetulan berpapasan di tengah laut atau juga kebetulan memilih titik lokasi penangkapan ikan

yang sama. Nah, di dalam pengembaraannya, orang Bajo bukannya menjadi individualis dan

"soliter" namun nampaknya kerinduan akan sesama Bajo yang bertebaran di tempat lainnya

membuat kerinduan bertemu yang sangat tinggi, terlebih lagi jika itu adalah keluarga dan kerabat

terdekat, namun ternyata orang Bajo punya jurus tersendiri untuk tetap memperkuat rasa

kekeluargaan dan kekerabatan sesama Bajo, kadang di kala Purnama datang, dimana aktifitas

sebagai nelayan istirahat maka dapat disaksikan kerumunan perahu yang diayun ombak di

permukaan laut di biasan cahaya purnama, kadang dari kejauhan terdengar tawa kelakar orang-

orang Bajo itu. Pertemuan itu disebut SIAMPUANAN berasal dari kata AMPUAN (bertamu/saling

mengunjungi dengan tujuan menjaga silaturrahim), di dalam Siampuanan-nya, orang-orang Bajo

memakai pakaian yang bagus untuk menghargai sesama, sedangkan isi pertemuan tersebut

membahahas panjang lebar tentang laut, ikan, mitos, ilmu-ilmu navigasi, spiritualisme, dan seputar

areal tangkap ikan Lain halnya yang menunggang perahu, Suku Bajo yang sudah menetap di

Page 17: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

pesisir dan pulau-pulau kecil pun tetap memelihara budaya ngampuan ini, tentunya pada waktu

purnama datang sebagai tanda jeda untuk melaut, maka perahu pun dikeringkan untuk diperiksa

kerusakan-kerusakannya, tak ubahnya memasuki masa hibernasi pada hewan tertentu seperti

lobster dll. Ngampuan ini sendiri tak terbatas harus di rumah, namun di tempat perawatan perahu

pun jadi, tak urung orang-orang Bajo membawa anak dan isterinya untuk ngampuan, yang

menarik pula untuk dilihat adalah ngampuan ini tidak harus yang muda mengunjungi yang tua,

namun bukti kasih sayang yang tua pun kadang ngampuan pada yang muda, sehingga menurut

penuturan orang Bajo, siampuanan (saling mengunjungi) ini merupakan lema perekat yang ampuh

untuk memelihara kekerabatan Suku Bajo yang menyebut dirinya suku Sama/same, memang

menurut pengamatan kita kondisi ini dapat mencegah benih-benih konflik dan perselisihan paham,

dengan siampuanan itu pula orang Bajo dapat mengetahui keadaan satu sama lain.

Posisi ngampuan di kalangan Suku Bajo sendiri bukan merupakan hal yang wajib, namun lebih

kepada kebutuhan setiap orang Bajo untuk bersilaturrahim sebagai makhluk sosial pengembara,

sehingga tanpa perintah pun, ngampuan dapat dilaksanakan. Semakin banyak ngampuan ini

dilakoni, maka semakin banyak pula kabar yang dibawa tenta

Page 18: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

BAB V

MATA PENCAHARIAN

Kesamaan cerita banyak kampung Bajo bahwa mereka punya hubungan dengan kerajaan Johor

dan kerajaan Bone, menjadi cerita pengikat kesatuan etnik Bajo yang menyebar di kepulauan

nusantara. Tradisi Palilibu, Bapongka, Babangi, Lamma yang menangkap ikan sampai jauh dan

berlama-lama akhirnya menetap,telah menyebabkan persebaran atau diaspora orang Bajo.

Mata pencaharian di Pesisir Kecamatan Lasolo, Molawe Lasolo Kepulauan serta Kecamatan Sawa

didominasi nelayan dengan perkembangan terbaru perahu-perahu yang dominasi perahu fiber,

perahu yang dikembangkan dari model yang ada di desa Laimeo dan Desa Tanjung Bunga yakni

perahu Lepa. Perahu fiber nelayan setempat lebih diperuntukkan bagi penangkapan ikan Tuna,

disamping memancing atau menebar soma untuk menangkap ikan Deho, Malalugis, Tongkol, dan

ikan karang.

Dahulu orang Bajo di Pesisir Konawe Utara hanya menggunaan perahu sampan yang dijalankan

dengan panggayung atau busai. sepertinya perahu orang bajo berkembang dari jenis-jenis

perahu lepa dan soppe, meski telah dimodifikasi dalam bentuk perahu fiber, akan tetapi modelnya

masih sama dengan Lepa dan Sope. Pengembangan perahu Bajo tersebut selanjutnya sudah

menggunakan mesin untuk menggantikan tenaga manusia dalam bapanggayung. Peralihan ke

pemakaian motor tempel terjadi pada era tahun 1960-an dan 1970-an, terjadi motorisasi pada

perahu-perahu Bajo Lemo Bajo Kampoh Bunga dan sekitarnya Motorisasi tidak merubah bentuk

perahu secara drastis, bentuk perahu Lepa dan Sope masih dipertahankan.Pernah ada perahu

besar digerakan motor, yakni guiop. Kemunculan Guiop ini, adalah pengembangan dari Soppe

(perahu lebih besar dari Leppa), Digunakan bagi Soma besar yang yakni soma Chang yang

menjadi tren melaut orang Bajo Konawe Utara pada era 90-an.

Kemampuan mengendalikan perahu ini dirasa akan tergantikan dengan peralatan modern,

sehingga sedapat mungkin mempertahankan kebiasaan menggunakan perahu tradisionalnya,

hanya sekedar menambah mesin penggerak dan bahan fiber menggantikan kayu yang sudah

sulit didapat. Perubahan pada tradisi perahu di Nain, sebagai perubahan yang tidak

meninggalkan penuh nilai-nilai tradisi perahu sebelumnya. Motorisasi dan bahan baku pabrikan

Page 19: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

diberi peluang besar masuk ke warga nelayan Bajo Konut, akibat kedekatan pulau ini dengan

bebrapa pulau yang masuk wilayah kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali

Tradisi penangkapan ikan orang Bajo termasuk Konawe Utara, telah mengalami perubahan, kalau

dahulu mereka menangkap ikan sampai sejauh mungkin dan menetap di daerah yang dituju

(Palilibu, Bapongka, Babangi, Lamma), kini nelayan Bajo Nain telah menetap di kampungnya dan

menangkap ikan beberapa hari saja di daerah operasi penangkapan, setelah itu pulang ke

kampung Nain.

Contohnya Nelayan Kampoh Bunga, dan Mandiodo mencari Tuna sampai wilayah Sulawesi

Tengah di Kabupaten Morowali dan Banggai Kepulauan, kemudian terus ke. Informan

menyatakan, sumber daya ikan Tuna di sekitar pulau Labengki, dan Menui dahulunya sangat

besar. Namun ada musim-musim tertentu Tuna sini sangat melimpah, Ada tempat-tempat atau

lokasi, kalau dilanggar bisa berbahaya karena dianggap kramat. Dilarang membuang sisa-sisa

makanan,All, harus meminta permisi. Kalau hal-hal ini dilanggar maka akan mendatangkan

bencana, bahwa dewa laut atau mbo akan murka. Ini pula yang membuat alam laut di wilayah

Bajo Konawe Utara, masih kelihatan lestari dengan kondisi karang yang baik dan tingginya potensi

ikan laut.Terjaganya kondisi alam lestari adalah hubungan tidak langsung dari kepercayaan

masyarakat, jadi berdiri sendiri masing-masing faktor. Kesadaran menjaga lingkungan laut akan

justru dimunculkan pada saat pamali dan pantangan tersebut membuahkan dampak pelestarian

lingkungan, ditambah pengetahuan berdasar logika berpikir manusia melihat adanya hubungan

kerusakan laut dengan rusaknya sumber daya laut, dan oleh karena ilmu pengetahuan yang

didapatkannya melalui pendidikan ataupun program-program penyadaran pelestarian

lingkungan hidup. Budaya kesadaran memelihara lingkungan laut adalah sebuah proses belajar

masyarakat terhadap lingkungannya. Pada nelayan Nain, telah muncul kesadaran akan kearifan

lokal masyarakat Bajo berdampak pada pelestarian alam lautnya, dan terjaganya alam laut

tersebut dihasilkan oleh sikap dan perilaku yang arif terhadap ekosistem laut.

Kepercayaan tradisional orang Bajo terhadap lingkungan laut, bersinggungan dengan keyakinan

terhadap ajaran agama Islam yang dianut oleh sebagain besar orang Bajo Konawe Uatra. Secara

kasat mata, kepercayaan akan roh-roh laut dikatakan telah hilang, namun demikian kepercayaan

ini telah tertanam dalam budaya masyarakat Bajo Konawe Utara,

Page 20: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Kegiatan-Kegiatan Sosial Budaya Yang Biasa di Lakukan Oleh Masyarakat Bajo (Seperti

Acara-Acara Atau Upacara Adat, Dan Lain-Lain)

Kearifan Lokal

Kearifan Lokal Masyarakat berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local).

Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan

setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan

diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Kearifan lokal merupakan salah satu warisan dari nenek moyang, warisan tersebut bisa berupa

tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya ataupun adat istiadat

Masyarakat Suku Bajo hidup berpindah-pindah secara berkelompok menuju tempat

yang berbeda lokasi untuk penangkapan ikan. Karena laut dijadikan sebagai sumber

kehidupan utama bagi sukunya.

Mereka mempunyai prinsip bahwa “ pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare “

yang berarti memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke

darat atau dengan kata lain merenggut kehidupannya.

Bahkan kepala mereka akan pusing jika tidak mendengar suara ombak atau tidak

mencari ikan di laut.

Masyarakat Bajo memiliki mitos bahwa Sang Dewata membuat lautan hanya untuk

orang-orang Bajo.

Mereka menggunakan berbagai peralatan tradisional untuk menangap ikan yang

dibuat sesuai lokasi penangkapan, yaitu di perairan dalam (panah, tombak, dan

pancing ), di gugusan karang ( panah ), dan di pantai ( pancing ).

Setiap bayi orang Bajo harus dicelupkan ke laut untuk mengakrabkan mereka dengan

laut yang dianggap sebagai saudara

Masyarakat Suku Bajo merupakan suku yang pada awalnya hidup di atas perahu yang

selalu berada di lautan atau mencari barang kebutuhannya di laut. Perahu yang

digunakan disebut Leppa atau Soppe.

Masyarakat suku Bajo mampu menyelam ke dalam lautan selama satu jam untuk

mencari ikan.

BENTUK DAN STRUKTUR RUMAH MASYARAKAT BAJO

Rumah mereka dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas.

Rumah berbentuk panggung yang berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas laut

yang saling berhubungan

Rumah orang-orang bajo sangat jarang dipenuhi perabotan seperti kursi dan meja.

Dibangun dengan menggunakan kayu jati.

Page 21: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

a.

Pantangan Atau Yang menjadi Pamali Bagi Masyarakat Bajo

Suku Bajo Konawe Utara memiliki kegiatan yang dinamakan Bapongka atau biasa juga disebut

babangi. Bapongka merupakan istilah untuk kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan

bulan dengan perahu berukuran kurang lebih 4 x 2 meter yang disebut Leppa dengan

mengikutsertakan anak istri.

Page 22: DAFTAR TILIKAN DATA KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BAJO …€¦ · BAB II Sejarah Kedatangan Masyarakat Bajo di Konawe Utara Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena

Selama kegiatan Bapongka terdapat suatu kearifan yang sangat bermanfaat bagi kelestarian

lingkungan perairan yaitu berupa larangan atau pamali, yaitu

b. Tidak boleh membuang air bekas cucian beras,

c. Tidak boleh membuang air arang kayu bekas memasak,

d. Tidak boleh membuang air ampas kopi,

e. Tidak boleh membuang air air cabe,

f. Tidak boleh membuang air air jahe,

g. Tidak boleh membuang air kulit jeruk,

h. Tidak boleh membuang air abu dapur

i. Para nelayan Suku Bajo dilarangan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil dan

memakannya. Mereka hanya boleh mengkonsumsi ikan yang memiliki ukuran besar atau

layak panen.

j. Mereka juga tidak mengambil jenis ikan tertentu yang tengah memasuki siklus musim kawin

maupun bertelur dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan populasi dan regenerasi

spesies tersebut.

k. Suku Bajo memiliki ritual adat seperti upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik

ikan dan spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies yang

populasinya tengah menurun di saat bersamaan. Misalnya: melepas penyu saat populasi

penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dll.

l. Atraksi orang Bajo menjala ikan dengan menebarkan jaring lalu menepuk laut secara

beramai-ramai adalah salah satu tradisi untuk menarik perhatian dari ikan.

Nilai-nilai konservasi dalam Tradisi Suku Bajo

Duata Sangal : Ritual mengambil beberapa jenis ikan kecil yang terancam punah dan

melepaskannya ke laut , ikan yang dilepas itu diharapkan bisa

mengundang ikan-ikan lainnya untuk berkumpul dan hidup bersama.

Parika : yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak serta

membatasi penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu yang

disepakati oleh pemuka adat dan tokoh komunitas.

Pamali : Daerah terlarang” yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk menangkap ikan

di suatu kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu bagi yang melanggar.

Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun kembali melaut di lokasi

pamali.

Maduai Pinah yaitu ritual yang dilakukan oleh Sandro atau nelayan ketika turun untuk melaut dan

mengolah hasil. Maduai pinah biasa di lakukan pada sore dan subuh hari,bahan-bahanya terdiri

dari daun sirih,pinang,rokok,kapur,gambir ,air putih ,lilin,dan berbagai kelengkapan lainnya