i - kumpulan pikiran – dengan berpikir kita … · web viewsalah satu contoh yang menunjukkan...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Perumusan Masalah
Pendidikan merupakan persoalan terpenting bagi semua ummat sebab pendidikan
mampu mengembangkan individu dan masyarakat yang memiliki cakrawala
berpikir kritis. Pendidikan juga merupakan alat untuk memajukan peradaban,
mengembangkan masyarakat serta menciptakan generasi baru yang dapat berbuat
banyak bagi kepentingannya.
Dunia pendidikan merupakan aset nasional dan sosial yang paling strategis dan
realistis dalam usaha meningkatkan harkat dan martabat manusia. Melalui
pendidikan, manusia dapat menguak tabir kehidupan sekaligus dapat
menempatkan dirinya sebagai subyek dalam setiap perubahan dan pergeseran
misalnya pada aspek kultural.
Pendidikan dapat mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan latihan dengan penuh tanggung jawab menuju arah
kedewasaannya sehingga tujuan dapat tercapai. Tujuan yang akan dicapai
dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Bab II Pasal 3 yang
berbunyi sebagai berikut : Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dan bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, berilmu cukup, kreatif, mandiri dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan milik semua bangsa, milik semua masyarakat tanpa memandang strata
sosial, ekonomi, agama, budaya dan ras. Pendidikan menjadi sumber kekuatan
dalam era globalisasi dan pasar bebas karena tanpa pendidikan manusia
dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Ibarat nelayan di
“lautan lepas” dapat tersesat jika tidak memiliki kompas sebagai pedoman untuk
bertindak dan mengarunginya. Begitu halnya dengan hubungan pendidikan
1
dengan lapangan kerja sangat linear dan memiliki keterpaduan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan antara sub komponennya. Apabila arus pendidikan tidak
mampu menembus dimensi lapangan kerja, maka mengakibatkan hubungan yang
tidak linier antara pendidikan dengan kebutuhan lapangan kerja, karena apa yang
terjadi di lapangan kerja sulit diikuti oleh dunia pendidikan, sehingga terjadi
kesenjangan. Untuk mengantisapasi hal ini maka pendidikan harus diletakkan
pada empat pilar yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan
(learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), dan
belajar menjadi diri sendiri (learning to be) (Syamsinar, 2008).
Suatu kenyataan bahwa pendidikan sudah dinikmati masyarakat, program
pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan sentuhan
pendidikan frekuensinya sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
ditingkatkannya dana pendidikan sebesar 20% oleh pemerintah. Bantuan
pendidikan dana BOS sangat membantu manajemen pendidikan. Begitu halnya
dengan program Gubernur Sulawesi Tenggara “Bahteramas” memberikan ruang
bagi dunia pendidikan untuk akses dan eksis di masyarakat. Tentunya, kebijakan
pemerintah ini dapat membawa angin surga bagi seluruh masyarakat Sulawesi
Tenggara secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Akan tetapi,
suatu hal yang miris bahwa anak-anak suku Bajo yang bermukim di wilayah
pesisir sampai hari ini masih belum menikmati manfaat pendidikan secara merata.
Dari aspek kualitas maupun kuantitas pendidikan masih sangat terbatas, slogan
sebagai komponen anak bangsa yang minim dalam menikmati pendidikan sampai
kejenjang yang lebih tinggi melekat erat dalam tubuh anak-anak suku Bajo. Hal
ini akan berdampak pada kualitas sumberdaya manusia yang sentrumnya adalah
ketidakberdayaan dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Sampai saat ini, kondisi pendidikan Sulawesi Tenggara, partisipasi sekolah hanya
mencapai 64%, namun khusus untuk suku Bajo hanya mencapai 0,5%. Hal ini
disebabkan masyarakat suku Bajo lebih memilih untuk mengikuti tradisi nenek
moyang mereka sebagai nelayan secara turun temurun.
Suku bajau atau suku Bajo banyak berdiam di perairan Sulawesi dan kepulauan
sekitarnya. Pemukiman suku Bajo memang banyak di sekitar pulau Sulawesi.
2
Antara lain perairan Manado, Kendari dan Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi,
Kaledupa, Tomia dan Binongko).
Dengan wilayah laut yang lebih luas tentu saja kekayaan hayati menjadi beragam.
Di perairan Sulawesi Tenggara saat ini terdapat banyak jenis Ikan, Kerang-
kerangan dan bermacam-macam hewan laut lainnya yang hidup berkembang biak.
Ini tentu saja dimanfaatkan oleh penduduk yang hidup di daerah pesisir pantai
maupun penduduk yang kesehariannya berprofesi sebagai nelayan termasuk
masyarakat suku Bajo. Masyarakat suku Bajo yang berprofesi sebagai nelayan
tidak semua memiliki kehidupan yang sejahtera. Hal ini disebabkan nelayan suku
Bajo tergolong nelayan tradisional dan anak-anaknya sedikit mendapat sentuhan
pendidikan dan jangan heran kalau anak-anak suku Bajo buta aksara dan buta
huruf. Hal ini akan berdampak terhadap masa depannya dan juga masa depan
sumberdaya perikanan.
Salah satu contoh yang menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan bagi anak-
anak suku Bajo adalah anak suku Bajo yang terdapat di desa Labotaone
Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan. Wilayah tersebut merupakan
daerah pesisir yang salah satu komunitas masyarakatnya adalah suku Bajo.
Keadaan pendidikan anak-anak suku Bajo di wilayah tersebut sangat
memprihatinkan, karena 96% anak suku Bajo usia sekolah tidak mengenyam
pendidikan, walaupun orangtua dari anak-anak suku Bajo ini menghendaki
anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain jauhnya fasilitas sekolah dari perkampungan mereka.
Untuk sampai ke sekolah yang terletak di pusat desa mereka harus naik perahu
(mendayung) sendiri karena orang tua mereka pergi mencari makan yang
memiliki resiko kecelakaan yang cukup besar karena apabila ada gelombang yang
besar perahu mereka terbalik dan anak-anak tersebut hanyut dibawa gelombang.
Selain itu, mereka biasanya malu untuk bertemu dengan masyarakat banyak dan
daya dukung ekonomi yang terbatas, sehingga anak-anak suku Bajo tidak mampu
untuk menyekolahkan anaknya di desa tetangga. Berdasarkan pemikiran diatas
maka untuk menjawab tantangan pendidikan suku Bajo dan untuk memajukan
kehidupan masyarakat suku Bajo di berbagai aspek khususnya aspek pendidikan,
3
maka dibutuhkan suatu wadah atau tempat yang bisa menampung anak-anak Bajo
tersebut untuk mendapatkan pendidikan seperti model rumah singgah sehingga
suatu saat suku Bajo maju secara ekonomi dan pendidikan.
Salah satu program pendidikan yang berbasis kreativitas perikanan yang bersifat
nonformal seperti rumah singgah dimana merupakan wadah/tempat belajar bagi
anak-anak yang mengenyam pendidikan program ini, memiliki asas manfaat dan
motivasi pendidikan yang besar bagi anak suku Bajo. Program ini juga
mendukung visi gubernur dalam membebaskan anak bangsa di jazirah Sulawesi
Tenggara dari keterbelakangan pendidikan. Lomba karya tulis ilmiah merupakan
salah satu wahana penyaluran informasi dalam penguatan eksistensi model rumah
singgah berbasis kreativitas perikanan, sehingga diharapkan adanya komitmen dan
respon positif dari banyak pihak untuk peduli terhadap pendidikan anak Bajo
karena mereka adalah sama seperti anak suku lainnya yang butuh pendidikan dan
kesejahteraan hidup.
B. Gagasan Kreatif
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan
usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang dinamis yang menggantungkan
hidupnya pada hasil perikanan. Kecenderungan masyarakat pesisir Sulawesi
Tenggara adalah mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara terus menerus
tetapi dengan pengetahuan yang terbatas, masyarakat pesisir tidak mampu
mengelola sumberdaya alam yang ada dengan baik. Sehingga, mereka tidak bisa
bersaing dengan masyarakat yang berada di perkotaan dan selalu mendapat
predikat bahwa masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki
keterbelakangan pendidikan dan ekonomi. Oleh karena itu, dengan adanya rumah
singgah sebagai alternatif pendidikan nonformal ini diharapkan agar anak-anak
suku Bajo sederajat tingkat pendidikannya dengan anak-anak di perkotaan.
4
Untuk menerapkan pembangunan masyarakat pesisir khususnya di bidang
pendidikan maka perlu dilakukan beberapa cara:
1. Pemerintah konsisten terhadap tujuan pendidikan nasional yang tercantum
dalam UU. No. 20 Tahun 2003, dimana setiap warga Negara berhak untuk
memperoleh pendidikan yang sama baik yang terdapat didaerah terpencil
seperti masyarakat pesisir maupun yang berada di perkotaaan.
2. Memotivasi masyarakat pesisir agar peduli terhadap pendidikan melalui model
pendidikan rumah singgah berbasis perikanan sebagai alternatif pendidikan
nonformal yang memperkuat program pendidikan formal.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
a. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Untuk memberikan kajian teoritis tentang model rumah singgah berbasis
kreativitas perikanan sebagai alternatif pendidikan nonformal bagi anak-anak
suku Bajo.
2. Memberikan informasi kepada pelaku pendidikan dan pemerintah daerah
untuk mengarahkan implementasi program pendidikan secara intensif dan
berkelanjutan pada daerah-daerah terpencil khususnya suku Bajo.
3. Sebagai kajian tentang upaya komitmen dan konsistensi pemerintah dan
masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang berkeadilan dan berdaya saing global.
b. Manfaat Penulisan
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Adanya komitmen pemerintah bagi penerapan pendidikan adil makmur
merata bagi anak-anak suku Bajo,
2. Adanya informasi tentang manfaat pendidikan rumah singgah berbasis
kreativitas perikanan bagi anak-anak suku Bajo, sehingga menjadi bahan
referensi bagi pemerintah dalam penguatan kebijakan pendidikan.
5
3. Adanya model-model pembelajaran kreatif yang berbasis muatan lokal
produktif.
6
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Konsep Pendidikan
Secara umum, tujuan pendidikan adalah mewujudkan kedewasaan peserta didik
yang bersifat normatif. Selain itu kedewasaan mengarah pada kedewasaan psikis
(rohani) dengan tujuan menumbuh kembangkan rasa tanggung jawab terhadap
sikap, pola pikir dan tingkah laku dalam masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu
dibutuhkan waktu yang relatif lama sebab dibatasi oleh usia sehingga harus
diwujudkan secara bertahap dan dijabarkan secara jelas. Proses pendidikan tidak
terlepas dari lingkungan masyarakat dan kebudayaan. Untuk itu, pendidikan harus
mampu mendayagunakan struktur masyarakat.
Sistem pendidikan di Indonesia dalam rumusan Undang-Undang sistem
pendidikan nasional dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun
2003 merumuskan bahwa pendidikan secara garis besar dikelompokkan dalam
satuan pendidikan. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan
terstruktur dan terjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar berjenjang dari sekolah dasar
(SD) selama enam tahun dan sekolah menengah pertama (SMP) yang
diselenggrakan selama 3 tahun, pendidikan menengah meliputi sekolah menengah
atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) atau pendidikan vokasi yang
diselenggarakan selama 3 tahun, sedangkan jenjang pendidikan formal meliputi
institut, akademi dan universitas. Pendidikan nonformal dalam rumusan ini
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang, termasuk dalam jenjang dalam pendidikan ini termasuk
kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan. Sedangkan pendidikan berbasis
masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama,
sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan
dari,oleh dan untuk masyarakat.
7
Dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 dijelaskan pula beberapa
defenisi yang menjadi tolak ukur bagi pendidikan yaitu :
1. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai
dengan tujuan pendidikan.
2. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan yang nonstruktural.
3. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
4. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
5. Kegiatan pendidikan nonformal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di
daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau
mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
a. Media Pendidikan
Media merupakan alat yang harus ada apabila kita ingin memudahkan sesuatu
dalam pekerjaan. Media merupakan alat bantu yang dapat memudahkan
pekerjaan. Setiap orang pasti ingin pekerjaan yang dibuatnya dapat diselesaikan
dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan (Peter, Q., 2005).
Raihani (2005), menyatakan bahwa penggunaan media tidak harus membawa
bungkusan berita-berita semua, siswa cukup dapat mengawasi suatu berita. Dari
pendapat tersebut, dapat dihubungkan bahwa penyampaian materi pelajaran
dengan cara komunikasi masih dirasakan adanya penyimpangan pemahaman oleh
siswa. Masalahnya adalah siswa terlalu banyak menerima sesuatu ilmu dengan
verbalisme. Apalagi dalam proses belajar mengajar yang tidak menggunakan
media dimana kondisi siswa tidak siap, akan memperbesar peluang terjadinya
8
verbalisme. Lebih lanjut Daniel, K. (2000), mengemukakan bahwa media yang
difungsikan sebagai sumber belajar bila dilihat dari pengertian harfiahnya juga
terdapat manusia didalamnya, benda, ataupun segala sesuatu yang memungkinkan
untuk anak didik memperoleh informasi dan pengetahuan yang berguna bagi anak
didik dalam pembelajaran.
Sasaran penggunaan media adalah agar anak didik mampu menciptakan sesuatu
yang baru dan mampu memanfaatkan sesuatu yang telah ada untuk dipergunakan
dengan bentuk dan variasi lain yang berguna dalam kehidupannya. Dengan
demikian mereka dengan mudah mengerti dan memahami materi pelajaran yang
disampaikan oleh guru kepada mereka (Robert, 2005). Selanjutnya Arhabib,
(2000), mengemukakan bahwa media merupakan alat yang memungkinkan anak
muda untuk mengerti dan memahami sesuatu dengan mudah dan dapat untuk
mengingatnya dalam waktu yang lama dibandingkan dengan penyampaian materi
pelajaran dengan cara tatap muka dan ceramah tanpa alat bantuan.
Syamsinar (2006) mengemukakan bahwa secara umum media mempunyai
kegunaan:
1. Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.
2. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra.
3. Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan
sumber belajar.
4. Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan
visual, auditori dan kinestetiknya.
5. Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan
menimbulkan persepsi yang sama.
Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Robert (2005) adalah :
1. Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar
2. Pembelajaran dapat lebih menarik
3. Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar
4. Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek
5. Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
9
6. Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun
diperlukan
7. Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses
pembelajaran dapat ditingkatkan
8. Peran guru berubahan kearah yang positif
Daftar kelompok media instruksional menurut Anderson (1976) dalam Syamsinar
(2006) pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Daftar Kelompok Media InstruksionalKelompok Media Media Instruksional
1. Audio pita audio (rol atau kaset) piringan audio radio (rekaman siaran)
2. Cetak buku teks terprogram buku pegangan/manual buku tugas
3. Audio – Cetak buku latihan dilengkapi kaset gambar/poster (dilengkapi audio)
4. Proyek Visual Diam film bingkai (slide) film rangkai (berisi pesan verbal)
5. Proyek Visual Diam dengan Audio
film bingkai (slide) suara film rangkai suara
6. Visual Gerak film bisu dengan judul (caption)7. Visual Gerak dengan
Audio film suara video/vcd/dvd
8. Benda benda nyata model tirual (mock up)
9. Komputer media berbasis komputer; CAI (Computer
Assisted Instructional) & CMI (Computer Managed Instructional
Syamsinar (2006), mengemukakan bahwa peranan guru dalam proses
pembelajaran adalah selain sebagai pendidik maka peran-peran guru diperluas
yaitu sebagai berikut :
Pelatih, guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya
bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai
dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip
dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak.
10
Konselor, guru harus menciptakan satu situasi interaksi belajar
mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana
yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dari guru.
Manajer pembelajaran, guru memiliki otonomi dan kemandirian
yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar mengajar
dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber peunjang pembelajaran.
Partisipan, Guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi
juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung
makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak akan
tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa.
Pemimpin, diharapkan guru menjadi seseorang yang mampu
menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama.
Disamping sebagai pengajar, harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan
dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di
luar mengajar.
Pembelajar, guru harus secara terus-menerus belajar dalam rangka
menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.
Pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan
berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas
profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang
harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga
yang kreatif dan mampu menghasilkan berbagai karya dalam bidangnya. Hal
ini harus di dukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai
basis kualitas profesionalismenya.
2.3. Rumah Singgah dan Pendidikan Alternatif
Salah satu bentuk penanganan anak pesisir khususnya anak Bajo adalah melalui
pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah Pekerja anak di
Indonesia pada bulan Juli 1996 mendefinisikan bahwa rumah singgah sebagai
tempat pemusatan sementara yang bersifat nonformal, dimana anak-anak bertemu
untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam
proses pembinaan lebih lanjut (Sander, 2006). Sedangkan menurut Departemen
Sosial RI, rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan
11
pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses
nonformal yang memberikan suasana pusat realisasi anak jalanan terhadap sistem
nilai dan norma di masyarakat.
Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak
mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah :
1. Membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat.
2. Mendukung upaya komitmen dan konsistensi pemerintah dan masyarakat
dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
berkeadilan dan berdaya saing global.
3. Memberikan berbagai alternatif pelayanan pendidikan dini untuk
pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga
menjadi masyarakat yang produktif (peran mutu layanan paud nonformal
dalam mendukung anak jalanan
menuntaskan wajib belajar pendidikan (Jawariah, 2008).
Ada berbagai bentuk pendidikan alternatif yang telah dilaksanakan oleh
masyarakat baik perorangan maupun secara kelompok LSM-LSM, seperti
“laboratorium edukasi dasar” oleh Romo Mangun dan Kelompoknya “Sekolah
Tanpa Dinding” ataupun “Sekolah Darurat Kartini” di kolong jembatan tol Rawa
bebek dan Kolong Tol Jembatan Tiga Jakarta oleh si kembar Ryan dan Rossi (ibu
kembar) yang mengorganisir dan membelajarkan ratusan anak-anak miskin,
terlantar yang hidup dijalanan.
Rumah singgah tidak menampung anak-anak secara permanen tapi hanya untuk
waktu tertentu. Konsep ideal dari rumah singgah adalah anak-anak yang berada di
pulau-pulau terpencil khususnya daerah pesisir yang didiami oleh suku Bajo dapat
singgah di rumah untuk melakukan kegiatan yang positif misalnya, bagi yang
putus sekolah dapat memperoleh pelajaran nonformal, dapat bermain,
memperoleh tambahan gizi seperti minum susu atau bubur kacang ijo atau
12
aktivitas lainnya yang merupakan pemenuhan hak anak-anak, yang tidak bisa
diperoleh di rumahnya (Fadli, 2007).
13
BAB III
METODE PENULISAN
3.1. Jenis Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini bersifat kajian pustaka dan studi kasus. Untuk itu
penulis menyusun berdasarkan bahan-bahan yang berasal dari buku teks, hasil
penelitian dan informasi lainnya yang relevan dengan topik bahasan karya tulis
ilmiah ini. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif, sehingga diharapkan
dapat menjadi bahan informasi tentang manfaat rumah singgah berbasis
kreativitas perikanan bagi pemerintah dan masyarakat suku Bajo.
3.2. Obyek Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini bertitik tolak pada kegiatan Program Kreativitas
Mahasiswa Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 yang bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Sedangkan obyek penulisan model rumah singgah berbasis kreativitas
perikanan sebagai alternatif pendidikan nonformal bagi anak suku Bajo.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Analisis Situasi
Sulawesi Tenggara adalah salah satu wilayah yang banyak didiami oleh suku
Bajo. Suku Bajo yang tersebar di beberapa wilayah sulawesi tenggara. Mereka
mendiami daerah pesisir Sulawesi Tenggara. Masyarakat Bajo yang ada di
Sulawesi Tenggara memiliki kesamaan dengan suku Bajo yang berada di wilayah
Indonesia. Masyarakat Bajo tergolong masyarakat dengan tingkat pendidikan dan
ekonomi yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi anak-anak suku Bajo
yang bersekolah jumlahnya sangat sedikit. Dari 64% partisipasi sekolah yang ada
di Sulawesi Tenggara hanya 0,5% saja anak-anak suku Bajo yang bersekolah. Hal
ini sangat memiriskan hati. Anak-anak suku Bajo tidak bersekolah disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain jarak antara rumah dan sekolah jauh, banyaknya
hambatan yang dilalui bila anak-anak suku Bajo pergi bersekolah, kurangnya
motivasi dan dorongan dari orang tua, anak-anak suku Bajo lebih senang bermain
dan mencari ikan di laut dari pada pergi bersekolah. Seperti masyarakat
masyarakat Bajo pada umumnya masyarakat Bajo Sulawesi Tenggara juga
memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada di sekitarnya. Mereka umumnya
menggantungkan hidupnya terhadap hasil tangkapan yang mereka dapatkan. Hasil
tangkapan yang tidak menentu menjadikan masyarakat Bajo sebagai salah satu
masyarakat pesisir yang dari segi ekonomi tidak sejahtera.
Data yang menunjukan rendahnya partisipasi pendidikan anak-anak suku Bajo
dari total 60 orang usia wajib sekolah (7-12 tahun), dapat dilihat pada Gambar 1
berikut.
15
Gambar 1. Partisipasi sekolah anak suku Bajo di Desa Labotaone (BPS. Desa Labotaone, 2008)
Rendahnya partisipasi sekolah dari anak suku Bajo, ditunjang dengan minimnya
sarana pendidikan. Contoh kasus di Desa Labotaone bahwa satu-satunya sekolah
formal yang ada di desa ini adalah Sekolah Dasar Labotaone yang kondisinya
sangat memprihatinkan dan hanya memiliki 2 orang guru tetap dan 4 orang Guru
honor. Selain itu, akses transportasi menuju kecamatan lain yang meiliki sekolah
yang lebih baik kualitasnya baik fisik maupun non fisik sangat jauh dan harus
menyeberang laut. Hal ini yang memungkinkan tidak adanya motivasi bagi
masyarakat Bajo untuk menyekolahkan anaknya. Dari 60 anak suku Bajo yang
masuk dalam kategori umur wajib belajar 9 tahun, hanya 6 orang yang bersekolah.
Oleh karena itu, dari aspek respon pendidikan bagi anak suku Bajo di Desa
Labotaone sangat rendah sekali.
4.2 Masyarakat Bajo dan Kehidupannya
Masyarakat suku Bajo menyebut dirinya sebagi orang laut. Hal ini disebabkan
oleh kehidupannya yang lebih banyak beraktifitas di sekitar daerah pesisir.
Sebenarnya masyarakat suku Bajo memiliki penghasilan yang besar, namun
mereka tidak mampu mengelola penghasilan mereka dengan baik. Ini dapat
dilihat pada kehidupan sehari-harinya, mereka tergolong masyarakat yang miskin.
Menurut Manan presiden suku Bajo seluruh Indonesia (2008) mengatakan, pada
dasarnya pendapatan rata-rata suku Bajo dibelanjakan pada hari itu juga, atau
16
untuk membeli perhiasan emas. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan
masyarakat Bajo yang ada di Tanjung Lemo. Contohnya mereka memiliki banyak
furniture (Kulkas, DVD, VCD, TV, Parabola ) padahal itu cuma sebagai pajangan
belaka, karena barang-barang itu tidak digunakan juga, sebab di daerah tanjung
Lemo tersebut tidak ada aliran listrik, ketergantungan yang tinggi terhadap
aktifitas melaut dan gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang
berorientasi ke masa depan Pada kehidupan mereka belum memiliki konsep
menabung apalagi memanajemen keuangan keluarga. Soal pendidikan mereka
kurang mendapat perhatian. Tercatat hanya 0,5% suku Bajo yang tersentuh
pendidikan dari 64% angka partisispasi sekolah di Sulawesi Tenggara. Hal ini
disebabkan masyarakat suku Bajo lebih memilih untuk mengikuti tradisi nenek
moyang mereka sebagai nelayan secara turun temurun. Anak-anaknya lebih
senang terjun mencari ikan dari pada sekolah.
(Doc: Pribadi, 2009)Gambar 2. Kondisi pemukiman suku Bajo dan aktivitas anak usia belajar anak-
anak suku Bajo Tanjung Lemo Desa Labotaone (Sawonua, dkk. 2009)
4.2. Model Rumah Singgah Berbasis Kreativitas Perikanan sebagai
Alternatif Pendidikan Nonformal
Rumah singgah adalah suatu wadah untuk proses belajar dan mengajar bagi anak-
anak yang tidak memperoleh pendidikan yang layak. Rumah singgah ini
berbentuk nonformal yang berorientasi pada pengembangan kapasitas anak didik,
baik dari aspek keilmuan maupun pengembangan potensi dan kreativitasnya Fadli
17
(2007), mengemukakan bahwa umumnya rumah singgah dibentuk oleh LSM-
LSM atau masyarakat yang peduli terhadap pendidikan bagi anak-anak yang
terlantar, hidup dijalanan, tidak sejahtera dan tidak mendapatkan kehidupan yang
layak. Selain itu, Qaimudin (2005), menyatakan bahwa rumah singgah
merupakan sarana yang produktif bagi anak putus sekolah untuk dibina dan dilatih
agar menjadi generasi yang tangguh, mandiri dan siap pakai dalam dunia kerja.
Disini perlu ditekankan bahwa rumah singgah tidak dapat menggantikan
pendidikan formal. Rumah singgah berfungsi untuk memperkuat pendidikan
formal. Selain itu, rumah singgah juga berfungsi memotivasi anak-anak untuk
mengikuti pendidikan formal dan di dalam rumah singgah juga diajarkan
mengenai muatan lokal. Muatan lokal yang di desain dalam rumah singgah sesuai
dengan kondisi atau keadaan lingkungan sasaran siswa yang mengikuti rumah
singgah. Selain itu, rumah singgah sebagai salah satu media agar siswa yang
dibina dalam rumah singgah tersebut bisa belajar mandiri melalui kewirausahaan.
Rumah singgah yang berbasis kreativitas perikanan memiliki peranan yang sangat
besar bagi anak-anak suku Bajo. Selain dapat meningkatkan sumberdaya manusia
masyarakat pesisir pada umumnya, juga yang menjadi dampak utama adalah
peningkatan kualitas sumberdaya manusia anak suku Bajo. Dilihat dari tingkat
konsumsi sumberdaya perikanan yang sangat besar dapat menjadi peluang yang
baik untuk mengembangkan pola pemikiran generasi penerus bagi masyarakat
pesisir. Orang Bajo sebenarnya cerdas, jika selama ini terlihat tertinggal itu
karena kebijakan pemerintah dan sistem yang layak saja yang belum berpihak
kepada mereka. Oleh karena itu, rumah singgah dijadikan sebagai salah satu
upaya untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang setara tingkat pengetahuan dan
kemandiriannya dengan masyarakat perkotaan pada umumnya. Sebenarnya,
masyarakat suku Bajo merupakan salah etnis yang memiliki disiplin tinggi. Salah
satu contohnya adalah ketika mereka menambatkan perahu di pesisir pantai,
mereka mengetahui satu atau dua jam kemudian harus diambil. Jika tidak diambil,
masyarakat Bajo tidak akan jadi melaut, karena air sudah surut dan perahu tidak
bisa ditarik ke lepas pantai, jadi jika membentuk rumah singgah di sekitar
lingkungan masyarakat Bajo tidak akan menemukan kesulitan yang berarti karena
18
dilihat dari hal tersebut mereka merupakan tipe masyarakat yang disiplin dengan
budaya dan kearifan lokalnya. Jadi sendi modernitas dan kaum terpelajar sudah
dimiliki masyarakat Bajo, cuma formalnya saja yang belum mereka nikmati
sehingga kecerdasan dan keterampilan sepertinya tertutupi.
Syamsinar (2006), mengemukakan bahwa 90% rumah singgah yang dibentuk di
Sulawesi Tenggara yang saat ini berjumlah 5 buah berhasil baik dari aspek
pelaksanaan maupun tujuan pembentukannya. Siswa rumah singgah sangat
respek dan peduli dengan program rumah singgah karena orientasi programnya
pengembangan sumberdaya manusia dan pemberdayaan.
Umumnya rumah singgah dikelola secara mandiri oleh yayasan, kelompok
masyarakat dan kelompok binaan lembaga pendidikan formal. Program
kurikulumnya juga berbeda dengan lembaga pendidikan formal seperti SD, SMP
dan SMA. Akan tetapi katagori program rumah singgah teori 40% dan praktek
lapangan 60%. Fadli (2007), menyatakan bahwa terjadi perubahan karakter siswa
dalam memahami materi yang frekuensinya lebih banyak prakteknya jika
dibandingkan dengan teori.
Rumah singgah berbasis kreativitas perikanan memiliki model pengajaran antara
lain : a) Belajar sambil bermain, b) belajar melalui komik, c) belajar melalui film
dan, d) belajar sambil berwirausaha. Materi yang diajarkan adalah mata pelajaran
umum 30% (bahasa Indonesia/membaca dan menulis), pendidikan agama dan
motivasi 10% dan materi perikanan (pengenalan ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang serta budidaya laut) sebesar 50% serta praktek usaha 10%..
Materi umum khususnya membaca dan menulis memiliki peringkat kedua dalam
jumlah persentase materi, tetapi menjadi faktor utama dan terpenting diajarkan
pada anak suku Bajo. Hal ini disebabkan 98% anak suku Bajo yang tergabung
dalam rumah singgah belum mengetahui baca dan tulis. Sawonua, (2009),
menyatakan bahwa anak-anak suku Bajo yang tidak menikmati dunia pendidikan
formal rata-rata tidak dapat membaca dan menulis dan bahkan ada diantara siswa
rumah singgah yang kurang memahami bahasa Indonesia. Selanjutnya dikatakan
bahwa muatan lokal yang didesain dalam rumah singgah disesuaikan dengan
karakteristik lingkungan, dukungan sumberdaya perikanan dan pola hidupnya.
19
Muatan lokal menjadi keyword dalam rumah singgah berbasis kreativitas
perikanan.
Pola pengajaran dalam rumah singgah berbasis kreativitas perikanan, yaitu guru
dominan dan aktif dalam membina dan memotivasi siswa rumah singgah. Hal ini
disebabkan karena salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak suku Bajo
tidak bersekolah pada sekolah formal adalah faktor motivasi dan budaya nenek
moyang mereka yang hanya melaut tanpa memperhatikan kualitas pendidikan dan
sumberdaya manusianya.
Ubaidillah (2007), menyatakan bahwa tingkat keberhasilan model pembelajaran
pada rumah singgah disajikan pada Tabel 2 berikut:
Tabel 2. Model Pembelajaran dan Implementasinya
No. Model Pembelajaran Implementasi Persentase Keberhasilan (%)
1. Belajar sambil bermain 6 pertemuan 24,302. Belajar melalui komik 6 pertemuan 21.703. Belajar melalui film 6 pertemuan 16,804. Belajar sambil berwirausaha 6 pertemuan 37,2
Model pembelajaran belajar sambil berwirausaha memiliki persentase
keberhasilan yang lebih tinggi karena siswa yang dididk dalam rumah singgah
memiliki motivasi berwirausaha dan wadah ini dijadikan sebagai media
pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan dirinya dalam berusaha untuk
membantu kehidupan keluarganya.
Tati (2004), mengemukakan bahwa program rumah singgah umumnya kreatif dan
inovatif serta produktif. Kreativitas bahan ajar sangat menentukan keberhasilan
daya serap siswa karena motivasi siswa berbeda dengan pelajar pada sekolah
formal.
Sawonua, (2009), mengemukakan bahwa rumah singgah berbasis perikanan dapat
ditempuh beberapa tahap, mulai dari tahap persiapan sampai dengan tahap
pelaksanaan. Materi pelajaran yang akan disajikan berupa materi umum (Bahasa
indonesia dan pendidikan agama) dan materi khusus (Pengenalan potensi
sumberdaya hayati perairan yang harus dilindungi dan dilestarikan sampai dengan
20
bagaimana mengolah hasil perikanan tersebut dalam skala yang lebih besar,
Budidaya rumput laut, Pengenalan ekosistem terumbu karang, Pengenalan
Ekosistem Mangrove, Pengenalan Ekosistem Lamun dan Belajar berwirausaha).
Peningkatan kemampuan SDM merupakan hal yang sangat menentukan
keberhasilan pengelolaan sumberdaya dalam menjaga lingkungan, sehingga dalam
pengelolaan sumberdaya perairan yang ada lebih terjaga kelestariannya. Dalam
model pembelajaran rumah singgah yang berbasis perikanan ada fokus pembinaan
yang dilakukan adalah mendidik anak-anak suku Bajo dengan pendidikan yang
mengarah kepada model kreativitas perikanan. Melalui model pendidikan rumah
singgah berbasis perikanan ini diharapkan anak-anak suku Bajo dapat
menggunakan pengetahuan yang didapatkan di dalam mengelola sumberdaya
perairan yang ada. Selain itu, model pendidikan rumah singgah berbasis
perikanan ini diadakan guna menumbuhkembangkan serta memajukan
sumberdaya manusia yang lebih maju. Dalam model rumah singgah berbasis
perikanan, tidak merubah budaya yang ada pada masyarakat Bajo, sehingga anak-
anak suku Bajo selain mendapatkan pendidikan mereka juga tidak kehilangan jati
diri mereka sebagai “orang laut”.
Perbandingan antara Model pembelajaran pada rumah singgah dan Model
pembelajaran pada Pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
Model Pembelajaran Rumah Singgah Model pembelajaran Pendidikan
Formal
Proses belajar dan mengajar tidak formal berdasarkan kebutuhan dan kondisi diri dan lingkungan sekitarnya.Tidak terdapat mekanisme formal dan terstruktur serta berjenjang pada tingkatan pendidikan lanjutan.Tidak menggunakan seragam sekolah pada umumnyaHubungan sosial antara pengajar dan diajar lebih erat karena guru harus menjadi bagian dari siswa agar dapat mentransfer ilmu yang diajarkan
Proses belajar dan mengajar formal
Pendidikannya berjenjang dari Taman Kanak-Kanak, SD, SLTP, SMA dan Perguruan Tinggi.Wajib menggunakan seragam sekolah sesuai dengan ketentuan yang ada.Interaksi guru dan siswa terbatas dalam batasan tteori yang disampaikan.
21
Proses belajar dan mengajar dapat ditentukan atas dasar kesepakatan bersama antara pengelola, guru dan siswa.Materi lebih berorientasi pada ilmu dan kemandirian serta profesionalismePengelolaan materi dilakukan secara parsial oleh guru
Proses belajar dan mengajar terikat oleh waktu.
Materi pembelajarannya terstruktur berdasarkan kurikulum yang ada.
Pengelolaan materi secara kolektif.
Sumber : (Sawonua, 2009 dan Fadli, 2007)
Zumrah (2006), mengemukakan bahwa model rumah singgah juga
menitikberatkan pada pendidikan karakter, bergerak dari knowing menuju doing
atau acting. Salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang anak suku Bajo
adalah motivasi untuk knowing sangat rendah, sehingga sangat minim doing atau
acting yang produktif dan ramah lingkungan.
Untuk mencapai pendidikan karakter tersebut sentuhan motivasi yang diberikan
mencapai 10%, dimana motivasi yang diberikan bagaimana anak suku Bajo dapat
lepas dari belenggu keterbelakangan pendidikan menuju kecerdasan anak bangsa.
Selanjutnya agar dapat menuju acting, maka sentuhan pembelajaran yang
diberikanan dalam rumah singgah untuk kategori praktik mencapai 50%.
Pengajaran diarahkan bagaimana mereka memenej lingkungan dan memelihara
lingkungannya baik kekayaan potensi terumbu karangnya, padang lamun maupun
ekosistem mangrovenya, Selain itu dikembangkan aspek praktik budidaya laut
seperti belajar berwirausaha rumput laut, belajar berwirausaha budidaya ikan.
Untuk mendukung hal tersebut, pengelola rumah singgah harus mampu membuat
kerjasama atau kemitraan dengan pelaku bisnis ditingkat petani, sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu media percontohan pembelajaran langsung di
lapangan. Hal tersebut dapat mengikis dan membuka rantai kemiskinan,
sehingga anak suku Bajo dapat lepas dari keterbelakangan ekonomi menuju
kemandirian hidup yang baik dan sejahtera.
22
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Simpulan
Simpulan karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Partisipasi sekolah anak suku Bajo di Desa Labotaone sangat rendah yaitu 10%
bersekolah (6 orang) dan 90% tidak bersekolah (54 orang).
2. Rumah singgah berbasis kreativitas perikanan memiliki model pengajaran
antara lain : a) Belajar sambil bermain, b) belajar melalui komik, c) belajar
melalui film dan, d) belajar sambil berwirausaha.
3. Pola pengajaran dalam rumah singgah berbasis kreativitas perikanan, yaitu
guru dominan dan aktif dalam membina dan memotivasi siswa rumah singgah.
4. Model rumah singgah rumah singgah berbasis kreativitas perikanan merupakan
alternatif pendidikan informal yang tepat, cepat dan produktif bagi anak-anak
suku Bajo.
5.2. Rekomendasi
Rekomendasi dalam Karya Tulis Ilmiah ini adalah :
1. Kebijakan pemerintah lebih berorientasi pada pendidikan anak-anak Bajo
khususnya peningkatan kapasitas instrument pendidikan dan sarana
pendukung lainnya
2. Perguruan tinggi dapat bermitra dengan pemerintah untuk membina anak
putus sekolah, sehingga mereka dapat produktif dan berdaya saing.
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2001. Intelektual Anak Usia Dini. C.V. Triasco : Jakarta.
Anonim, 2009. PAUD. Jadi Prioritas DEPDIKNAS. Harian Rakyat Merdeka.
Arhabib, 2000. The Character Education, New Delhi: Qazi Publishers, hlm. 1
Daniel, K., 2000. Instructional Media and Technologies for Learning. Prentice-Hall.
Fadli, 2007. Perubahan Karakter Anak Didik Pendidikan Nonformal. Jurnal Muhasanah. Edisi 2. Vol. 1 No. 1. Hal 1-4.
Hasan, H., 2004. Strategi Pengembangan dan Pemasaran Pusat. PAUD. DEPDIKNAS.
Jawariah, 2008. Penerapan Pendidikan Berbasis Agama Islam bagi Siswa Pendidikan Nonformal pada Kelompok Usia 7-12 Tahun. Jurnal Muhasanah. Edisi 2. Vol. 2 No. 1. Hal 1-5.
Raihani, 2005. Media Pembelajaran yang Efektif bagi Pendidikan Usia Dini. Jurnal Muhasanah. Edisi 1. Vol. 1 No. 1. Hal 1-4.
Robert, 2005. “The Relation between Media Use and Children’s Civic Awareness”, Journalism Quarterly, hlm. 52, 531-538.
Syamsinar, 2008. Pendidikan Anak Bangsa Kini dan Mendatang. C.V. Triasco : Jakarta.
Sander, D.Z., 2006. Pemberdayaan Keluarga Sebagai Basis Utama Pendidikan Anak. C.V. Media Pendidikan : Jakarta.
Sawonua, H.P., 2009. PKM Perintisan Rumah Singgah Berbasis Perikanan Bagi Anak-anak suku Bajo Di Labotaone Kecamatan Laonti Kabupaten Konawe Selatan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003. Pendidikan Nasional.
Undang-undang Republik Nomor 14 Tahun 2005. Pendidikan Nasiuonal.
Ubaidillah, 2007. Model Rumah Singgah Berbasis Muatan Lokal. Gautama Press. Bandung.
Peter, Q., 2005. Instructional Media and Technologies for Learning. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
24
Qaimudin, 2005. Model Pembelajaran Rumah Singgah yang Efektif bagi Anak-Anak Jalanan. Skripsi. IAIN Alauddin Makassar.
Zumrah, 2006. Penguatan Karakter Islami Siswa Rumah Singgah “Studi Kasus Rumah Singgah bagi Pemulung dan Anak-Anak Jalanan di Makassar. Skripsi. IAIN Alauddin Makassar.
25
BIODATA PENULIS
Nama
NIM
Tempat Tanggal Lahir
Program Studi
Fakultas
Perguruan Tinggi
:
:
:
:
:
:
Paiga Hanurin Sawonua
I1A1 07 029
Asera, 25 Maret 1990
Manajemen Sumberdaya Perairan
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Haluoleo
Kegiatan Ilmiah Yang Pernah Diikuti :
a. Mengikuti lomba KIR (Karya Ilmiah Remaja) tahun 2006.
b. Mengikuti Pelatihan Pembuatan proposal PKM Tahun 2007.
c. Mengikuti Pelatihan Penyusunan Proposal PKM Tahun 2008
Pengalaman Organisasi
a. Wakil Ketua OSIS SMA Negeri 3 Kendari tahun 2006/2007.
b. Wakil Ketua PMR SMA Negeri 3 Kendari tahun 2006/2007.
c. Pengurus HMPS MSP Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan 2007 sampai
sekarang.
e. Pengurus BEM Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan 2009
f. Pengurus ASC (Amphiprion Scientific Club) tahun 2007 sampai sekarang
g. Pengurus LDC (Langkoe Diving Club) tahun 2007 sampai sekarang.
Nama
Nim
Tempat Tanggal Lahir
Program Studi
Fakultas
Perguruan Tinggi
:
:
:
:
:
:
Wiwin Arisandi Ngationo
I1A107 019
Kendari, 17 Februari1990
Manajemen Sumberdaya Perairan.
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Haluoleo
Kegiatan Ilmiah Yang Pernah Diikuti :
Mengikuti Pelatihan Pembuatan proposal PKM Tahun 2007
Mengikuti Pelatihan Penyusunan Proposal PKMTahun 2008
26
Pengalaman Organisasi
a. Pengurus OSIS SMA Negeri 5 Kendari.
b. Pengurus PMR SMU 5 Kendari Tahun 2006.
c. Pengurus Kegiatan Penalaran FPIK Tahun 2007.
Nama
Nim
Tempat Tanggal Lahir
Program Studi
Fakultas
Perguruan Tinggi
:
:
:
:
:
:
Febrianty Dahlan
I1A107054
Kendari, 17 Februari 1989
Manajemen Sumberdaya Perairan.
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Haluoleo
Kegiatan Ilmiah Yang Pernah Diikuti :
Mengikuti Pelatihan Pembuatan proposal PKM Tahun 2007
Mengikuti Pelatihan Penyusunan Proposal PKM Tahun 2008
Pengalaman Organisasi
a. Pengurus OSIS SMA 2 Kendari Tahun 2006.
b. Pengurus Pramuka Gudep 1 SMA 2 Kendari Tahun 2006.
27