bab iii wajah orang bajo masa kini 3.1.wilayah ......berada di perkampungan bajo kaledupa saat itu...

49
34 BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah Wakatobi Gambar 1.1: Peta Kepulauan Wakatobi (Sumber: http://discoveryourindonesia.com/how-to-get-to-wakatobi/, 2016) Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Tenggara.Wakatobi dikenal dengan pariwisata bawah lautnya, yang hampir dikenal di seluruh mancanegara. Singkatan Wakatobi ini diambil dari empat pulau yang berada di dalamnya, yakni Wa adalah pulau Wangi-Wangi, Ka adalah pulau Kaledupa, To adalah pulau Tomia, dan Bi adalah pulau Binongko. Keempat pulau itu mempunyai kekhasan masing-masing, khususnya mengenai wisata

Upload: others

Post on 23-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

34

BAB III

WAJAH ORANG BAJO MASA KINI

3.1.Wilayah Wakatobi

Gambar 1.1: Peta Kepulauan Wakatobi

(Sumber: http://discoveryourindonesia.com/how-to-get-to-wakatobi/, 2016)

Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Tenggara.Wakatobi

dikenal dengan pariwisata bawah lautnya, yang hampir dikenal di seluruh mancanegara.

Singkatan Wakatobi ini diambil dari empat pulau yang berada di dalamnya, yakni Wa adalah

pulau Wangi-Wangi, Ka adalah pulau Kaledupa, To adalah pulau Tomia, dan Bi adalah pulau

Binongko. Keempat pulau itu mempunyai kekhasan masing-masing, khususnya mengenai wisata

Page 2: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

35

yang ditonjolkan oleh masing-masing tempat. Penelitian ini mengambil subyek penelitian, yakni

dari orang Bajo. Sebagaimana diketahui bahwa orang Bajo merupakan suku yang hidup di laut,

dan mengembara di laut untuk memperoleh kehidupan.Di Wakatobi orang Bajo tersebar di

beberapa tempat, yakni di pulau Wangi –Wangi ada perkampungan Bajo di Desa mola, di pulau

Kaledupa ada orang Bajo yang hidup di daerah Mantigola, Sampela, dan La Hoa, serta yang

terakhir di pulau Tomia ada perkampungan Bajo La Manggau. Penelitian ini dilaksanakan di

desa Mola, pulau Wangi-Wangi, karena desa ini sudah mulai “terkontaminasi” oleh kebudayaan

global yang masuk melalui pariwisata di dalamnya, selain itu desa ini merupakan perkampungan

Bajo terbesar, karena penduduknya yang telah menetap, yang berjumlah kira-kira 6000

penduduk.

3.2. Wilayah Desa Mola Wakatobi

Gambar 2.1

(Sumber: Rancangan Pembangunan Jembatan di Desa Mola Wakatobi 2016)

Desa Mola terbagi atas lima desa, yakni Mola Selatan, Mola Utara, Mola Nelayan Bhakti,

Mola Bahari, dan Mola Samaturu. Berdasarkan sejarah lisan orang Bajo di desa Mola, yakni

Page 3: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

36

mereka berasal dari suku Bajo Bone (Sulawesi Selatan) pada tahun 1957, dan berpindah ke

Kaledupa, Wakatobi.Pada saat itu pulau Kaledupa menjadi suatu kawasan perdagangan yang

ramai didatangi oleh masyarakat.Kira-kira pada tahun 1960, terjadi pergolakan politik di daerah

Kaledupa yang melibatkan DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia). Orang Bajo yang

berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat

lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo berpindah awalnya ke Liya dan Sempu, dan

melakukan perjalanan lagi karena merasa tidak aman, yakni berpindah di pinggiran daerah

Wanci, pulau Wangi-Wangi, yang dikenal saat ini dengan perkampungan Bajo Mola.

3.3. Jumlah Penduduk Desa Mola Tahun 2015

No Desa Jumlah Penduduk Luas Wilayah (Km2)

1 Mola Selatan 2078 3,70

2 Mola Utara 883 0,76

3 Mola Nelayan Bhakti 1987 2,30

4 Mola Samaturu 992 0,74

5 Mola Bahari 1161 0,80

Total 8,3

(Sumber: Kecamatan Wangi-Wangi Selatan)

Menurut data penduduk terakhir yang diperbaharui oleh kecampatan Wangi-Wangi

Selatan, yakni pertumbuhan orang Bajo di desa Mola semakin pesat, sehingga desa Mola ini

diusulkan untuk menjadi satu kecamatan baru yang ada di pulau Wangi-Wangi. Orang Bajo yang

ada di desa ini mengalami banyak perubahan, baik pola hidup, pekerjaan dan ritual yang mereka

lakukan.Meskipun saat ini orang Bajo di desa Mola terbagi menjadi lima desa, namun kekhasan

orang Bajo tetap sama di setiap desa. Pembagian ini hanya sebagai cara untuk mempermudah

proses administrasi yang ada di desa tersebut. Rata-rata orang Bajo yang ada di desa Mola ini

mempunyai sumber penghasilan dari laut atau nelayan, meskipun sudah ada yang beralih profesi

untuk menjadi pegawai negeri, dan membuka usaha sendiri di lingkungannya. Namun, warna

Page 4: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

37

kebajoan yang ada di desa ini masih ada, hal ini terlihat dari pasar yang ada di Mola Raya, di

tempat ini orang Bajo menjual hasil laut yang mereka dapatkan.

Orang Bajo yang berada di desa Mola ini sedikit berbeda dengan orang Bajo lainnya,

yang tersebar di beberapa pulau di Wakatobi. Orang Bajo di desa ini sudah dimasuki dan

memasuki proses modernisasi. Hal ini terlihat dari pemukiman-pemukiman yang mereka miliki,

yang sudah berubah menjadi rumah batu, awalnya adalah rumah tancap. Pola kehidupan mereka

berubah, awalnya menggunakan sampan atau perahu kecil sebagai sarana transportasi, sekarang

digantikan oleh motor sebagai alat transportasi orang Bajo. Sejak pariwisata di kabupaten

Wakatobi ini dikenal, maka hal itu berdampak kepada masyarakat yang berada di desa Mola

Wakatobi. Karena itu, perubahan demi perubahan ini dirasakan oleh orang Bajo di desa Mola,

sehingga berusaha mempertahankan dan memperkuat identitasnya melalui kebudayaan yang

mereka miliki.

3.4. Desa Mola Wakatobi di Antara Kawasan Pariwisata Wakatobi

Di tengah tantangan pariwisata yang hadir di kabupaten Wakatobi, desa Mola menyikapi

hal ini dengan serius dan bertindak proaktif dalam mendukung pariwisata yang ada. Karena

wilayah desa Mola begitu strategis dalam mengembangkan pariwisata, hal ini terlihat dari

wisatawan lokal, nasional maupun internasional yang akan mengunjungi spot-spot (titik-titik)

tertentu untuk melakukan diving, khususnya di Hoga (berada di Pulau Kaledupa), dan juga di

Pulau Tomia, maka salah satu jalan alternatif untuk menuju ke sana adalah dengan cara melewati

desa Mola Wakatobi. Meskipun sudah ada Bandar udara di pulau Tomia, namun lebih banyak

wisatawan yang datang melalui pulau Wangi-Wangi dan melanjutkan perjalanan laut melalui

dermaga yang ada di desa Mola Samaturu, sehingga para pelancong harus masuk dalam desa

Mola Wakatobi untuk menyebrang ke pulau Kaledupa, Tomia maupun pulau Binongko.

Page 5: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

38

Meskipun masih banyak kekurangan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya sarana

dan prasarana, namun masyarakat desa Mola yakin bahwa mereka dapat menjalankan pariwisata

berdasarkan kekayaan budaya yang mereka miliki. Awalnya masyarakat tidak yakin akan

dibukanya obyek wisata di desa Mola, karena orang Bajo memiliki karakter yang rendah diri jika

bertemu dengan orang di luar Bajo (Sama).1 Namun, dengan berbagai pertimbangan dan bantuan

dari bank mandiri dan british council, maka desa Mola mulai mengembangkan pariwisata

budaya, sebagai ikonnya adalah Bajo Village (Perkampungan Bajo). Hal ini sedikit mengejutkan,

karena ini satu-satunya perkampungan orang Bajo yang dijadikan destinasi pariwisata.Adapun

paket wisata yang disediakan oleh Bajo Mola Tourism, yakni sebagai berikut:

3.4.1. Dolphin Watching

Mengamati lumba-lumba merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Bajo,

karena kehidupan keseharian mereka di laut, dan lumba-lumba sebagai alat untuk

memberi tahu tempat ikan-ikan berada.Hal ini dilihat sebagai satu kesempatan yang

menarik untuk dimasukan dalam paket wisata, karena yang menjadi ciri khas orang

Bajo adalah adaptasinya di tengah lautan, sehingga bisa mengetahui titik-titik (spot)

lumba-lumba biasa berada.Menurut pemandu wisata, yang sekaligus adalah orang

Bajo, mengatakan bahwa setiap mereka mendatangkan wisatawan untuk melihat

lumba-lumba, pasti para wisatawan merasa senang dan puas, karena benar-benar

merasakan sensasi kehidupan di laut yang sebenarnya.2 Orang Bajo mau

menunjukkan bahwa mereka memiliki budaya yang menjaga kelestarian laut,

sehingga laut bisa menjadi masa depan anak-cucu mereka.

1 Wawancara dengan penduduk Desa Mola Samaturu, Bapak Rosman. Desa Mola, Wakatobi. Agustus

2016. 2 Wawancara dengan penduduk Desa Mola Selatan, Bapak Albar. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

Page 6: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

39

3.4.2. Bajo Cultural Walking Tour

Gambar 3.1

(Sumber: Dokumentasi Peneliti)

Perjalanan wisata berkeliling di daerah desa Mola Wakatobi ini, bukan

perjalanan yang biasa.Dengan berjalan kaki melewati gang-gang sempit dari

pemukiman Bajo yang kini telah menetap di Mola. Hal yang menarik ketika

menelusuri pemukiman Bajo ini adalah para pengunjung diajak untuk mengenal

sejarah dan budaya Bajo, yang kaya akan filosofi dan nilai-nilai kehidupannya. Pada

akhirnya, belajar dari budaya Bajo ini akan memberi suatu refleksi kritis dari

kehidupan pengunjung di dalam konteks dan budaya yang berbeda.

Page 7: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

40

3.4.3. Canoeing

Gambar 3.2

(Sumber: Bajo Mola Tourism Dokumentasi)

Bersampan merupakan salah satu cara untuk mengingat dan melakukan

refleksi akan kebudayaan Bajo yang bertahan sekian lama di lautan. Orang Bajo

menyebut perahu dengan sebutan lepa, sehingga dengan menggunakan lepa ini,

mereka dapat hidup di berbagai tempat secara nomadik.Orang Bajo membuka paket

wisata ini dengan tujuan agar para pengunjung mengetahui sejarah orang Bajo dan

merasakan langsung kehidupan di atas lautan (mencari ikan, mengambil air dan

menikmati kehidupan di lautan).

3.4.4. Bajo Culinary

Sebagaimana kehidupan sehari-hari orang Bajo, yang hidup dikelilingi oleh

laut dan hidup melalui itu, maka mereka membuat suatu makanan khas untuk

dikonsumsi dalam keseharian mereka. Khususnya ketika orang Bajo, yang

mayoritasnya adalah nelayan, dan akan berpergian untuk melaut dalam waktu yang

lama, sehingga membutuhkan makanan yang bisa tahan lama. Karena itu, makanan

Page 8: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

41

khas orang Bajo adalah Kasoami Bajo, yang terbuat dari singkong, sehingga dapat

menjadi pengganti nasi, dan dapat bertahan dalam waktu 3 hari.Kasoami ini

sebenarnya adalah makanan khas Wakatobi yang berbentuk kerucut, namun Kasoami

orang Bajo ini memiliki khas yang sama, namun berbentuk bulat pipih. Kuliner Bajo

ini disediakan kepada pengunjung, agar mereka dapat menikmati makanan khas orang

Bajo.Ada juga makanan khas lainnya, yakni roti Bajo, dinamakan roti Bajo karena

merupakan khas dari buatan tangan orang Bajo, dan roti ini dapat bertahan cukup

lama untuk dimakan. Selain itu, ada banyak kue-kue yang merupakan buatan tangan

dari orang Bajo di desa Mola, dan diperjualbelikan di pasar Mola Raya yang berada

dalam kawasan desa Mola, sehingga bukan hanya penduduk lokal (orang Bajo) yang

menikmati kuliner khas Bajo, tetapi penuduk luar desa Mola juga dapat

menikmatinya. Makanan utama yang menjadi kekhasan orang Bajo adalah hasil laut

yang didapatkan oleh penduduk desa Mola, karena mayoritas penduduknya adalah

nelayan, maka hasil laut mereka sangat bergantung pada laut.

3.4.5. Star Telling

Paket wisata yang dibuka ini merupakan satu hal yang menarik, karena

melalui cerita bintang, yang dilakukan oleh orang Bajo itu sendiri, mereka

memberitahu kepada para pengunjung bahwa mereka mempunyai cara tersendiri

untuk melihat arah angin, cuaca dan pasang surutnya air laut hanya melalui

pengamatan mereka terhadap benda-benda langit. Orang Bajo yang terbiasa hidup

di laut, mempunyai pola tersendiri untuk mengamati struktur benda langit dan

digunakan sebagai alat untuk mencari tempat tinggal ‘sementara’ maupun sebagai

Page 9: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

42

alat untuk menunjukkan waktu, yang berguna bagi orang Bajo dalam kehidupan

mereka sehari-hari.

3.5. Pola Hidup Orang Bajo Desa Mola

Orang Bajo di desa Mola Wakatobi merupakan suatu masyarakat yang hidup dalam

situasi tradisional di satu sisi, dan situasi modern di sisi lainnya. Kehidupan tradisional orang

Bajo Nampak dalam pola interaksi di antara masyarakat, yang begitu kental akan perasaan-

perasaan kebersamaan, serta kebudayaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat desa Mola.

Sesuai dengan observasi mendalam yang dilakukan oleh peneliti, terlihat bahwa kebanyakan dari

orang Bajo benar-benar memegang prinsip pembagian fungsi kerja dalam kehidupan rumah

tangga mereka. Misalnya, para nelayan yang adalah kaum pria, mempunyai tugas untuk mencari

makan dan kehidupan bagi keluarga yang ada di rumah. Sebaliknya, ibu rumah tangga dalam

masyarakat Bajo bertugas dalam hal domestik dalam rumah tangga. Banyak ibu rumah tangga

yang menunggu suaminya pulang dari laut dengan duduk di depan rumah, dan melihat perahu

maupun kapal yang ditumpangi suaminya, sehingga para ibu menyambut suami dengan cara naik

di atas perahu dan mengambil hasil tangkapan suami, kemudian mereka dapat mengelola hasil

tangkapan itu (ada yang langsung membagi lebih banyak hasil tangkapan untuk dijual di pasar,

namun ada juga yang mengatur dengan seimbang untuk rumah tangga dan dijual di pasar).

Dalam kesehariannya, orang Bajo, lebih banyak menghabiskan waktu berkumpul di

depan rumah dan hal itu sebagai simbol kebersamaan, serta kekeluargaan yang kental. Apabila

ada tetangga (nelayan) yang mendapatkan hasil laut berlebih, biasanya hasilnya dibagi-bagikan

kepada tetangga di sekitar rumahnya. Hal ini menjadi kebiasaan yang sampai sekarang berlaku,

dan bagi orang Bajo, mereka tidak pernah merasa kekurangan akan makanan. Karena menurut

masyarakat Bajo di desa Mola, laut itu sebagai sumber kehidupan mereka, dan mereka tidak

Page 10: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

43

pernah kekurangan, karena apapun yang ada di dalam laut itu adalah makanan yang tersedia bagi

mereka, bahkan orang Bajo lebih senang akan hasil laut yang dimakan ‘mentah’ tanpa dimasak

maupun dibakar. Hal itu diteruskan kepada anak-anak mereka, sebagai penerus keturunan Bajo,

mereka diajarkan untuk hidup sebagaimana identitas mereka adalah orang laut, maka sejak kecil

anak-anak diajar untuk hidup di laut dan jangan takut kepada air laut, sehingga banyak anak-

anak di desa Mola menikmati kehidupan mereka di laut. Selain itu, sejak anak-anak, mereka

dibiasakan untuk menikmati hasil laut tanpa dimasak maupun dibakar, dan menariknya bahwa

anak-anak di desa Mola Wakatobi menikmati semua itu.

3.6. Orang Sama dan Bagai di Masa Kini

Hal lain yang peneliti amati di desa Mola Wakatobi adalah mengenai kesadaran mereka

akan identitasnya sebagai orang sama (Bajo), yang membedakan mereka dengan orang Bagai

(Bukan Bajo). Hal ini terlihat ketika peneliti datang dan berkeliling desa Mola, maka kebanyakan

orang Bajo dengan cepat menyadari akan hadirnya orang asing (Bagai) yang datang di desa

mereka, tatapan mereka yang penuh kecurigaan memandang peneliti, apapun yang peneliti

lakukan, segala gerak-gerik diperhatikan. Bahkan, tidak jarang peneliti mendengar kata-kata

seperti, “woi Bagai ya.Bagai?”Artinya, “hei kamu orang luar ya?”. Sepanjang perjalanan,

peneliti melakukan observasi, tatapan itu terus hadir, dan seakan memberi jarak antara “kamu

dan aku.”Bukan hanya orang dewasa yang menyatakan hal itu (sebutan Bagai), namun anak-

anak kecil telah sadar akan identitas mereka sebagai orang sama dan menunjukkan bahwa

mereka berbeda dari orang luar komunitas mereka (Bagai). Menariknya, ketika peneliti

mendekat mereka dan mengajak untuk mengobrol, kebanyakan dari mereka memperhatikan

dengan baik, dan sesekali tersenyum akan setiap obrolan yang peneliti lontarkan. Kemudian

Page 11: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

44

melalui itu, peneliti membangun trust kepada masyarakat sekitar agar mereka dapat menerima

peneliti hadir di lingkungan mereka dengan baik.

Orang Bajo mempunyai karakter yang khas dalam kehidupannya, misalnya saja ketika

mereka akan melanjutkan studi ke luar daerah (Wakatobi), dan pasti mereka (orang Bajo)

memilih jurusan yang sama dengan teman-temannya, sehingga hal ini menjadi suatu kebiasaan

bagi orang Bajo, misalnya: ketika berada di perantauan, mereka selalu hidupnya bergerombolan

(sama seperti ikan), yang selalu bersama-sama di mana komunitasnya pergi, maka ia harus

mengikutinya.3 Hal ini menjadi suatu pola hidup orang Bajo perantauan, dan terkadang, masih

ada orang Bajo yang ketika berada di luar daerahnya (Wakatobi), mereka menyembunyikan

identitasnya di depan masyarakat. Mereka menunjukkan diri sebagai orang Wakatobi, namun

identitas sebagai orang Bajo ditutupi/disembunyikan oleh berbagai cara, salah satunya dengan

menggunakan bahasa Indonesia dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Karena ingatan masa lampau orang Bajo begitu kuat, yakni berdasarkan cerita-cerita

orang-orang tua, bahwa orang bagai itu lebih hebat dari orang sama, karena kehidupan orang

bagai tidak tergantung dari laut, dan sangat mudah memperoleh segala sesuatu di darat. Hal ini

membuat banyak orang Bajo membuat tingkat status sosial berdasarkan refleksi kritis dalam

kehidupan yang mereka alami.

3.7. Perekonomian Orang Bajo

Orang Bajo menganggap bahwa kehidupan ini hanya untuk saat ini saja, sehingga

pengelolaan uang masyarakat tidak berjalan dengan baik, akibatnya mereka merasakan sendiri

3 Wawancara dengan penduduk desa Mola Bahari, Bapak Jamarudin. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

Page 12: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

45

kurang sejahteranya kehidupan mereka.Ini dibuktikan dari hasil kelompok diskusi yang dibangun

oleh Bajo Mola Tourism dalam menelisik permasalahan yang dialami oleh orang Bajo di Desa

Mola saat ini. Kemudian dirumuskan dalam pohon persoalan yang dibangun sebagai upaya

penyadaran dan tindak lanjut aparat desa terhadap persoalan yang dialami oleh masyarakat.

Hasilnya menunjukkan bahwa orang Bajo di desa Mola Wakatobi, banyak yang merasa tidak

sejahtera dalam kehidupannya. Terlihat dari banyaknya pengangguran muda-mudi di desa

tersebut, kemudian masyarakat menyatakan bahwa kesempatan kerja yang kurang memadai, dan

kurangnya usaha dari orang Bajo untuk struggle (berjuang) dalam dunia kerja, hal ini

diakibatkan oleh karena habitus yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar untuk menjadi nelayan

(hidup di laut). Pandangan seperti ini yang masyarakat mau ubah, karena jika tidak dilakukan

penyadaran terhadap hal ini, maka perekonomian orang Bajo di desa Mola akan stagnan, tidak

berkembang, bahkan menurun akibat dari perilaku yang sulit lepas dari kehidupan laut.

Dari pohon persoalan yang dihadapi oleh orang Bajo di desa Mola Wakatobi tersebut,

ditemukan bahwa orang Bajo buruk dalam pengelolaan pendapatan. Alasan utamanya, yakni

kurangnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di desa Mola, yang menjurus kepada

kurangnya keterampilan kerja, kurangnya ilmu pengetahuan dan kurang bimbingan moral.

Karena hampir semua orang Bajo, khususnya yang hidup sebagai nelayan dan keluarga nelayan,

tidak mempunyai keterampilan lain agar bisa digunakan sebagai peningkat status perekonomian

keluarga mereka. Akar persoalan dari kurang sejahteranya orang Bajo, yaitu karena kurangnya

motivasi dari orang Bajo sendiri terhadap perubahan sosial yang terjadi. Orang Bajo sudah

sangat nyaman dengan komunitas dan pola hidup mereka yang berkecukupan, namun di sisi lain,

mereka menganggap bahwa kehidupan mereka kurang sejahtera, karena tidak mampu mengelola

perekonomian keluarga mereka.

Page 13: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

46

Aparat desa sudah beberapa kali mencoba

melakukan program pemberdayaan terhadap

masyarakat desa Mola, namun di tengah jalan

selalu berhenti, karena berbagai alasan dan

ketidaknyamanan akan program desa tersebut.

Salah satu program besar yang diadakan di desa

Mola adalah pasar tradisional desa Mola, yang

diresmikan tahun 2014 secara langsung oleh

ketua MPR RI dan Bupati Wakatobi sebagai

pasar tradisional khas suku Bajo yang berada di

desa Mola Wakatobi.4 Namun, sejak kali pertama

peneliti datang di desa ini tahun 2015, ternyata pasar tradisional ini sudah tidak berjalan lagi,

hingga sekarang, pasar tradisional desa Mola ini hanya sebagai pajangan saja, namun dalam

kesehariannya sudah tidak digunakan sama sekali. Seperti yang terlihat pada gambar di samping,

yang diambil oleh peneliti tahun 2016. Pasar tradisional ini berhenti di tengah jalan, karena

menurut pandangan masyarakat Bajo yang berjualan di daerah tersebut, bahwa pasar ini tidak

memberi keuntungan bagi mereka, karena pasar ini berada di dalam desa Mola, sehingga

dianggap kurang strategis untuk memasarkan hasil laut di rumah sendiri. Jadi, satu persatu

pindah haluan berjualan di pasar tradisional yang sudah lama ada di desa Mola Bahari.

Pemahaman dari Bapak Majarudin (orang Bajo) tepat jika diposisikan dalam konteks ini, bahwa

orang Bajo itu berkumpul layaknya ikan-ikan, sehingga jika diperhadapkan kepada suatu

4http://www.antarasultra.com/berita/273502/ketua-mpr-resmikan-pasar-tradisional-desa-mola, diunduh

pada tanggal 20 September 2015, pukul 12.28 AM.

Gambar 4.1 (Sumber: Dokumentasi Peneliti) Pasar Tradisonal orang Bajo.

Page 14: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

47

persoalan, maka mereka akan pindah secara bergerombol. Hal ini yang menjadi permasalahan

bagi orang Bajo di desa Mola untuk membangun perekonomian mereka.

3.8. Perekonomian Keluarga Orang Bajo

Peneliti melakukan observasi sekaligus terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari

orang Bajo di desa Mola wakatobi. Beruntungnya, tempat tinggal peneliti adalah di rumah

keluarga yang mempunyai kios (tempat berjualan), secara langsung maupun tidak, peneliti

mengobservasi pola hidup konsumerisme yang begitu kental menjamur di desa ini. Mulai dari

anak kecil sampai orang dewasa setiap hari membeli hal-hal yang seharusnya menjadi kebutuhan

mereka, salah satunya adalah membeli aqua gelas, yang seharusnya menjadi kebutuhan harian

keluarga, namun seringkali peneliti melihat bahwa mereka membeli hal seperti itu terus menerus.

Alasan yang peneliti dapatkan, yaitu bahwa orang Bajo di lingkungan tersebut lebih nyaman

dengan aqua gelas daripada minum melalui air galon. Padahal, harga aqua gelas (minimal lima

gelas setiap hari) jauh lebih mahal dibandingkan dengan isi ulang galon, dan ini telah menjadi

kebiasaan orang Bajo untuk mengeluarkan uangnya setiap saat. Apalagi jika anak-anaknya

meminta uang kepada orang tuanya untuk dibelikan snack (makanan ringan), dan itu terjadi

setiap hari, sehingga terlihat bahwa sejak dini, anak-anak di desa Mola Wakatobi diajarkan untuk

terlibat langsung dalam kehidupan konsumerisme. Orang tua menganggap hal ini sebagai hal

biasa, dan hal seperti ini sulit untuk diubah.

Pada tahun 2015, sempat ada beberapa mahasiswa/i dari Universitas Indonesia (UI)

Fakultas Ekonomi, melakukan penelitian terhadap pola perekonomian masyarakat di desa Mola

Wakatobi. Melalui informasi yang peneliti temukan, bahwa di setiap rumah dilakukan pendataan

secara terperinci, total pengeluaran dan pemasukan masing-masing keluarga. Rata-rata

pengeluaran dari setiap keluarga (orang Bajo di desa Mola Wakatobi) lebih besar, dibandingkan

Page 15: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

48

dengan pemasukan yang mereka dapatkan. Ternyata, banyak pengeluaran yang dipakai untuk

hal-hal yang bukan merupakan kebutuhan dari keluarga, sehingga lebih banyak adalah

keinginan-keinginan masyarakat untuk membelanjakan uangnya agar dilihat sebagai orang yang

memiliki status sosial di masyarakat.

3.9. Rumah Orang Bajo Sebagai Cerminan Identitas

Gambar 5.1

Rumah orang Bajo tampak belakang (gambar 1) dan rumah orang Bajo yang

sudah dimodifikasi (gambar 2)

(Sumber: Dokumentasi Peneliti)

Orang Bajo dikenal sebagai suku yang terbiasa hidup di atas laut (rumah di atas laut) dan

melaksanakan prosesi ritual melalui tangga-tangga yang ada depan rumah.Namun, seperti yang

terlihat dari gambar 2 di atas, bahwa sudah banyak rumah-rumah orang Bajo yang ditimbun oleh

karang, tanah maupun semen, sehingga rumah orang Bajo mengalami perubahan dari segi

arsitektur bangunannya. Rata-rata rumah orang Bajo di desa Mola sudah hampir sama dengan

rumah yang ada di darat, yakni dibangun berdasarkan kemampuan ekonomi dari masyarakat

Bajo dan berdasarkan keinginan masing-masing rumah tangga. Berdasarkan informasi yang

peneliti temukan, bahwa orang Bajo yang telah melakukan modifikasi pada bangunan rumahnya,

Gambar 1 Gambar 2

Page 16: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

49

merasa lebih nyaman terhadap kondisi tersebut.Dalam kondisi tersebut orang Bajo bisa menjadi

orang ‘darat’ karena rumah sebagai simbol untuk menunjukkan identitas komunitas maupun

budaya yang ada di dalamnya.

Rumah orang Bajo yang asli adalah rumah tancap, yang berada persis di atas laut, dan

rumah itu dibuat berdasarkan nilai-nilai luhur budaya yang terpelihara di dalamnya, yaitu harus

hidup berdampingan dengan laut, sehingga “haram” hukumnya untuk tinggal di darat. Karena

budaya orang Bajo terbentuk berdasarkan setiap ritual yang mereka lakukan, mulai dari kelahiran

hingga kematian mengikuti ritual budaya Bajo, meskipun di dalamnya sudah masuk nilai-nilai

dari agama islam. Namun, ritual itu terus dilakukan hingga saat ini, dan setiap ritual

membutuhkan tangga yang berjumlah ganjil di depan rumah, serta yang lebih penting adalah

tangga tersebut langsung bersentuhan dengan air laut. Karena itu, ‘diwajibkan’ secara adat setiap

rumah orang Bajo harus memiliki tangga, jika tidak, maka ritual tidak bisa dilaksanakan, karena

ritual penurunan adat (Kaka), harus dilakukan di bawah rumah yang mempunyai tangga, yang

langsung bersentuhan dengan air laut. Namun, kini ritual yang dilaksanakan tersebut ditoleransi

oleh pemuka adat dan Sanro (Dukun Adat Orang Bajo), yang menyatakan bahwa ritual itu bisa

dilaksanakan dengan cara ‘meminjam rumah’ orang yang masih mempunyai tangga di bawah

rumah untuk melaksanakan ritual.5 Melalui cara seperti itu, maka ritual tetap dijalankan seperti

biasa dan sebagian masyarakat yang ‘meminjam rumah’ untuk melaksanakan ritual, merasa hal

yang sedikit berbeda, karena tidak begitu terasa suasana seperti yang dirasakan di masa lampau,

yaitu langsung melaksanakan ritual di bawah rumah.

5 Wawancara dengan kepala desa Mola Nelayan Bakti, Bapak Jamrin. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

Page 17: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

50

3.10. Bahasa Lokal Sebagai Kekuatan Budaya

Menurut masyarakat Bajo desa Mola bahwa kehidupan mereka telah mengalami

perubahan ‘drastis’, terlihat dari perubahan rumah yang menjadi identitas orang Bajo, sehingga

sebagian masyarakat sadar akan bertahannya identitas orang Bajo melalui bahasa sebagai media

untuk melestarikan budaya orang Bajo.Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang Bajo,

yang lebih nyaman menggunakan bahasa Bajo daripada bahasa Indonesia. Sejak dini (anak-anak)

telah diajar menggunakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Bajo, yang sarat akan makna di dalam

kebudayaan mereka. Orang Bajo dikenal karena bahasanya, yang menjadi kekhasan tersendiri

adalah, di manapun orang Bajo berada dan menyebar di berbagai wilayah Indonesia maupun di

luar Indonesia, bahasa mereka tetap sama, meskipun ada dialek atau logat yang sudah

terkontaminasi oleh budaya tempat mereka (orang Bajo) tinggal.6 Hal ini yang terus bertahan

dan menjadi kekuatan terdepan bagi orang Bajo untuk mempertahankan identitas mereka di

tengah arus perubahan dunia.

3.11. Pembangunan dan Nilai Kehidupan Orang Bajo

Camat Wangi-Wangi Selatan menyatakan bahwa di

desa Mola terdapat dua pandangan yang muncul dalam

masyarakat Bajo tentang pembangunan jalan yang

dijalankan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Desa

(Bappeda). Pandangan pertama, yaitu melihat pembangunan

jalan maupun penutupan kanal-kanal sebagai hal yang baik

dalam memajukan desa, serta membuat masyarakat menjadi

6 Wawancara dengan Masyarakat Desa Mola. Desa Mola, Wakatobi. Agustus 2016.

Gambar 6.1 : Kanal di Desa Mola (Dokumentasi Peneliti)

Page 18: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

51

lebih modern, daripada sebelumnya.Pandangan seperti ini umumnya ditemui bagi masyarakat

yang telah hidup di rumah atas tanah (lihat Gambar 2). Sedangkan, pandangan kedua, yang

menyatakan bahwa pembangunan jalan yang merembes kepada penimbunan rumah-rumah

tancap (asli orang Bajo), membuat orang Bajo kehilangan identitas dan pemaknaan akan budaya

mereka.7

Pembangunan jalan dan jembatan di desa Mola Wakatobi merupakan salah satu program

pemerintah dalam hal pemerataan pembangunan. Karena itu, dalam perjalanannya, peneliti

melakukan observasi terhadap pembangunan jalan dan jembatan di desa Mola Wakatobi tahun

2016, yang menunjukkan bahwa aparat desa telah menyampaikan pandangannya kepada

Bapedda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) untuk membangun jembatan dan jalan di

desa Mola Wakatobi, dengan ketentuannya adalah tidak boleh menutup kanal-kanal tempat

perahu (Lepa) berjalan. Karena sudah banyak lokasi kanal ditimbun, dan mengakibatkan

semakin kecilnya tempat berjalan Lepa, dan ini mengakibatkan banyak orang Bajo yang berada

di desa bagian ujung (Mola Selatan dan Mola Utara) sudah jarang menggunakan Lepa sebagai

sarana transportasinya, melainkan menggunakan motor maupun ojek sebagai alat transportasi

untuk menuju ke pasar. Karena itu, aparat desa mengambil keputusan itu berdasarkan refleksi

masyarakat Bajo terhadap identitas budaya mereka yang tergerus oleh perubahan sosial yang

terjadi akibat dari pembangunan, apalagi telah menutup sebagian kanal, yang berfungsi sebagai

jalannya transportasi angkutan laut orang Bajo dalam mengambil air, menjual ikan di pasar, dan

berbagai aktifas lainnya dilakukan menggunakan perahu yang menelusuri kanal-kanal tersebut.

7 Wawancara dengan Camat Wangi-Wangi Selatan, Bapak Nursiddin. Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.

Agustus 2016.

Page 19: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

52

3.12. Sanro Dalam Masyarakat Bajo

Proses pengobatan tradisional orang Bajo

dilakukan oleh sanro. Namun, Sanro di bidang

pengobatan berbeda dengan sanro dalam hal

kelahiran. Sanro yang menangani orang sakit

mendapatkan ilmu atau keahlian secara turun

temurun (garis keturunan keluarga), ada juga

yang belajar untuk menjadi seorang sanro dalam

masyarakat.Namun, tidak semua orang Bajo bisa

menjadi sanro dalam masyarakat, karena dibutuhkan keterampilan khusus dalam menjalankan

setiap proses ritual yang ada, dan setiap prosesnya mempunyai sifat kesakralan, sehingga harus

dengan sungguh-sungguh dilakukan. Sanro memiliki peran sentral dalam masyarakat Bajo,

karena sanro sebagai sosok perantara yang bisa menghubungkan dunia orang hidup dan dunia

supranatural. Gambar di atas menunjukan seorang sanro yang sudah berusia lanjut (Mbo Takide),

ia dikenal sebagai sanro dalam penyembuhan tradisional kepada orang Bajo. Kini, karena usia

lanjut, ia sudah tidak bisa melakukan ritual tersebut, dan ia akan menurunkan ‘ilmunya’ kepada

anaknya, yang telah bersedia untuk menjadi seorang sanro di desa Mola.

Di dalam masyarakat Bajo, sanro dikenal sebagai sosok yang ‘biasa saja’ karena

masyarakat menganggap bahwa sanro adalah orang Bajo juga, namun mempunyai kelebihan

(anugerah) dalam menyembuhkan seseorang. Di ruang publik, dalam kehidupan bermasyarakat,

sanro sama halnya dengan orang Bajo lainnya. Namun dalam ruang privat, sanro menampakkan

karismanya. Dengan keahlian yang ia miliki dan berbagai doa yang ia kuasai, yang membuatnya

tampil sebagai sosok yang ‘disegani’ ketika melakukan ritual dalam masyarakat. Dari setiap desa

Gambar 7.1 : Sanro Tertua di desa Mola

Page 20: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

53

yang ada, biasanya memiliki masing-masing sanro untuk melaksanakan ritual di desanya sendiri.

Namun, ada juga desa yang meminta sanro dari desa lain untuk melakukan ritual, hal itu terjadi

karena faktor kedekatan emosional orang Bajo yang telah lama mengenal sanro dari desa

sebelah. Sanro dari tiap-tiap desa mempunyai prosesi ritual yang sama, dan tidak ada yang

berbeda. Karena itu, nilai filosofis orang Bajo dan kesakralan tetap terasa ketika suatu ritual

dilaksanakan.

Hal yang menjadi persoalan orang Bajo saat ini adalah, kurangnya minat dari orang Bajo

(khususnya keturunan Sanro) untuk meneruskan profesi sebagai seorang sanro di dalam

masyarakat. Banyak pertimbangan oleh mereka, misalnya, profesi itu (sanro) tidak begitu

menjamin perekonomian dalam masyarakat, sulit untuk mempelajari ritual itu secara mendetail,

sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya sanro yang ada di desa Mola, khususnya sanro

di bidang pengobatan tradisional.

Page 21: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

54

3.13. Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo

Orang Bajo memiliki beberapa ritual yang biasa dilakukan dalam siklus kehidupan

mereka, misalnya ritual kelahiran, yakni dengan menurunkan ari-ari yang telah dipotong dan

dilaksanakan suatu ritual untuk itu.Selain itu, ritual yang paling sering dilakukan hingga kini

adalah, ritual penyembuhan, orang Bajo menyebutnya sebagai pengobatan tradisional Kaka, Tuli,

Kutta, Kadilaok Kadara. Keempat pengobatan tradisional orang Bajo itu masih dilakukan hingga

kini, dan keempat jenis pengobatan tersebut memiliki tahapan-tahapan dan kekhasan sendiri.

Pada akhirnya, jika telah mengikuti empat pengobatan tersebut, namun orang yang sakit belum

juga mendapatkan tanda-tanda kesembuhan, maka dilaksanakan ritual pengobatan terbesar orang

Bajo, yakni duata, yang merupakan suatu gabungan dari keseluruhan prosesi ritual orang Bajo,

sehingga membutuhkan biaya besar untuk melaksanakan hal itu.

3.13.1. Ritual Kelahiran orang Bajo

Ritual ini dilaksanakan sebagai pertanda lahirnya generasi baru orang Bajo, dan melalui

ritual ini, orang Bajo terus dikenal memiliki kedekatan emosional dan spiritual terhadap laut.

Karena kelahiran adalah tanda kebahagiaan bagi keluarga dan sanak saudara, sehingga ritual

menurunkan ari-ari di laut, lebih tepatnya di bawah rumah tancap orang Bajo merupakan hal

yang harus dilaksanakan bagi setiap keluarga di masyarkat Bajo. Pada masa lampau, ritual ini

dilakukan hanya oleh Sanro (dukun adat orang Bajo) saja, tanpa menggunakan bantuan medis.

Sanro memotong ari-ari bayi dengan menggunakan pisau yang terbuat dari sayatan bambu

(sembilu). Namun, kini melalui himbauan dari aparat desa selaku perwakilan pemerintah, yang

menyatakan bahwa tidak diperbolehkan lagi ritual dengan cara tradisional seperti itu, karena

akan membahayakan kesehatan dari bayi yang baru lahir. Karena itu, pemerintah bekerjasama

dengan lembaga kesehatan (rumah sakit, puskesmas dan puskesdes) untuk membentuk suatu

Page 22: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

55

strategi, yakni ritual itu bisa dilaksanakan, dengan syarat bahwa yang melakukan pemotongan

ari-ari adalah pihak dari lembaga kesehatan setempat. Kemudian, ritual itu bisa dilaksanakan

oleh sanro yang bersangkutan. Hal ini nampak dari adanya data tentang jumlah sanro yang ada

di salah satu desa di Mola.

Jadi, di masa sekarang, proses kelahiran ditangani oleh dua pihak, yakni pihak lembaga

kesehatan (dokter maupun perawat) dan pihak yang berkompeten menangani ritual kelahiran,

yang dikenal dengan sanro. Karena itu, proses melahirkan ditangani oleh lembaga kesehatan,

dan selanjutnya prosesi ritual ditangani oleh sanro. Proses melahirkan yang ditangani oleh

lembaga kesehatan sama dengan penanganan pada umumnya. Sedangkan, sanro bertugas untuk

mendampingi pihak kesehatan, dan sanro memiliki tugas utama untuk melihat kecenderungan

karakter dari si bayi yang baru lahir, yakni dengan cara melihat arah dari jatuhnya ari-ari ketika

dipotong. Jika ari-ari tersebut menghadap ke atas, berarti bayi itu memiliki kecenderungan

mengikuti karakter dari sang ayah (keras dan tegas), sehingga sanro mengamati bahwa bayi itu

mempunyai kagumbarang (kembaran) tuli, yang memiliki arti buaya. Buaya memiliki nilai

filosofis dari orang Bajo sebagai sosok binatang yang kuat, dan memiliki sifat menerkam

mangsanya dengan penuh keberanian.Jika ari-ari menghadap ke bawah, berarti bayi itu memiliki

kecenderungan mengikuti karakter yang persis dengan sang ibu, penuh kelembutan, merawat dan

melindungi. Kagumbarang bayi ini adalah kutta, yang mempunyai arti gurita. Gurita dilihat oleh

orang Bajo mempunyai sifat memeluk, yakni memiliki arti filosofis sebagai sosok yang lembut

dan menjaga, sehingga kutta dijadikan sebagai simbol dari identitas orang Bajo yang

dihubungkan dengan kecenderungan karakter yang dimiliki sang bayi.

Manfaat mengetahui kagumbarang bagi orang Bajo adalah mereka dapat memahami

dengan jelas identitas dirinya, yang berarti ia memiliki kecenderungan maupun karakter seperti

Page 23: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

56

siapa (ayah atau ibu), dan lebih penting bahwa ia dapat mengetahui di masa hidupnya kelak,

ritual pengobatan apa yang harus ia lakukan. Jadi, jika ia mempunyai kagumbarang tuli, maka

kelak jika ia sakit ia harus melakukan ritual maduai tuli (menurunkan tuli). Sebaliknya jika ia

mempunyai kagumbarang kutta, ia harus melakukan ritual maduai kutta (menurunkan kutta).

Selain itu, ada pemahaman dari masyarakat Bajo tentang kutta dan tuli itu sebagai suatu

penggambaran akan proses hubungan suami-istri, bapak digambarkan sebagai sosok tuli (buaya)

sebagai simbol penyergap, penerkam dan lainnya. Sedangkan ibu, digambarkan sebagai sosok

kutta (gurita) yang mempunyai sifat memeluk atau menerima. Melalui nilai filosofis dari

pemaknaan akan simbol tuli dan kutta tersebut, orang Bajo bisa menyadari akan realitas akan

penciptaan mereka hadir di dunia ini. Namun, ada pemahaman dari masyarakat, yang memahami

bahwa ia benar-benaradalah kagumbarang kutta dan tuli, sehingga pemahaman akan identitas

diri mereka berdasarkan cerita-cerita orang Bajo di masa lampau tentang pemaknaan

kagumbarang di dalam diri setiap orang Bajo. Meskipun ada dua pandangan dari orang Bajo

tentang kagumbarang ini, namun substansinya adalah, orang Bajo tetap melaksanakan ritual

tersebut.

3.13.2. Proses Inisiasi Dalam Ritual Kelahiran

Prosesi ritual yang dilakukan oleh sanro, yakni mulai dari mencuci pakaian ibu maupun

mencuci ari-ari dari bayi, serta dalam tahap selanjutnya, yaitu melakukan prosesi penurunan ari-

ari di laut yang dilakukan oleh ayah dari sang bayi, jika sang ayah tidak mengerti tata cara

penurunan ari-ari tersebut, maka diminta bantuan dari sanro untuk mendampingi prosesi

penurunan ari-ari itu ke laut. Waktu penurunan ari-ari ini pada umumnya dilaksanakan sore hari,

tetapi ada juga yang biasa melaksanakannya pada pagi hari. Ritual itu dilaksanakan dengan

tahapannya, yakni ari-ari itu dibungkus dengan sirih pinang, gambir dan tembakau, serta ditutup

Page 24: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

57

oleh kain putih. Kemudian sang ayah atau didampingi oleh sanro dalam mengantarkan ari-ari itu

untuk menurunkannya ke dalam laut, dan dalam proses menurunkannya tidak boleh secara

‘kasar’, namun menurunkannya dengan perlahan di dalam laut. Karena ari-ari menurut orang

Bajo adalah kagumbarang (kembaran) mereka atau disebut sebagai kaka (kakak atau saudara

kandung) dari orang Bajo. Karena itu, dalam proses penurunan ari-ari diharuskan secara

perlahan, sebagai tanda menghargai kagumbarang maupun kaka dari orang Bajo.

Pada masa lampau, setelah melahirkan, orang Bajo melakukan proses inisiasi dengan cara

langsung merendam bayi ke dalam laut, menurut cerita yang beredar dalam masyarakat bahwa

jika bayi itu mampu bertahan dalam waktu yang ditentukan oleh sanro, berarti bayi itu mampu

beradaptasi dengan lingkungan sekitar, khususnya dalam komunitas Bajo yang kehidupannya

bersumber dari laut. Sedangkan, jika bayi tersebut tidak mampu bertahan, berarti bayi tersebut

tidak tangguh menghadapi gemuruh laut, yakni kehidupan di atas laut. Namun kini, ritual

tersebut tidak digunakan lagi, karena dianggap berbahaya bagi sang bayi.8

Proses inisiasi di masa kini, melalui cara sebagai berikut, setelah proses pemotongan ari-

ari itu dilaksanakan, kemudian sanro bertugas untuk memandinkan bayi dengan air laut yang ada

di dalam baskom. Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi itu telah diterima dalam komunitas

orang Bajo. Air laut dijadikan sebagai simbol representatif bagi ‘orang baru’ yang masuk dalam

komunitas Bajo, sehingga bayi itu didoakan agar memegang teguh nilai-nilai Bajo dalam

hidupnya kelak. Suatu kebanggan dan kebahagiaan dari keluarga dan sanak saudara mempunyai

anak, karena anak-anak dapat meneruskan warisan dan nilai luhur Bajo dalam kehidupan

mereka.

8 Wawancara dengan kepala desa Mola Nelayan Bakti, Bapak Jamrin. Desa Mola, Wakatobi, Agustus 2016.

Page 25: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

58

3.13.3. Ritual Pengobatan Tradisional Orang Bajo

Ritual yang masih dijalankan oleh orang Bajo sampai saat ini adalah ritual kaka, ritual ini

seharusnya dilaksanakan setiap tahun oleh setiap individu dalam komunitas Bajo. Karena makna

dalam ritual ini adalah perayaan hari ulang tahun kepada kagumbarang (kembaran) orang Bajo,

yang dianggap sebagai saudara yang tidak kelihatan, dan kagumbarang itu berguna untuk

menjaga setiap individu suku Bajo. Namun saat ini, pemahaman tentang dirayakannya ulang

tahun kagumbarang orang Bajo bukan menjadi sesuatu yang ‘benar-benar wajib’, karena ini

tergantung dari setiap keluarga maupun setiap orang yang ingin merayakan ulang tahun

kagumbarang-nya itu. Rata-rata orang Bajo saat ini melakukan ritual kaka hanya dalam momen

tertentu saja, misalnya ketika sedang sakit, kurang semangat dalam beraktifitas, merasa tidak

nyaman dalam hidup kesehariannya dan lainnya. Jadi, ritual untuk merayakan ulang tahun

kagumbarang sudah berubah menjadi ritual yang bersifat pengobatan. Karena orang Bajo

mempercayai bahwa ketika mereka mengalami sakit maupun kurang semangat dalam menjalani

kehidupannya, berarti ada ritual yang belum dilaksanakan dalam hidupnya, yakni ritual kaka,

yang harusnya setiap tahun dilaksanakan, terlebih khusus di saat bulan kelahirannya. Orang Bajo

menyadari bahwa kagumbarang-nya sedang mengganggunya, dan berusaha membuat

kehidupannya tidak semangat, serta itu merupakan tanda bagi orang Bajo agar segera

melaksanakan ritual kaka tersebut. Menurut masyarakat Bajo, setelah melaksanakan ritual kaka,

biasanya tidak lama setelah itu mereka merasa lebih segar dan lebih sehat dari sebelumnya. Ini

menunjukkan adanya dampak spiritual dari yang sakral itu terhadap kehidupan orang Bajo,

khususnya jika dihubungan dengan kepercayaan orang Bajo. Ritual yang dilaksanakan oleh

orang Bajo tidak mempunyai waktu yang menentu, karena semuanya sesuai dengan permintaan

dari keluarga atau orang yang sakit. Biasanya ada keluarga yang tidak mengijinkan setiap prosesi

Page 26: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

59

ritualnya dilihat oleh orang luar (Bagai), karena ingin menjaga kesakralan dalam ritual tersebut,

namun ada juga yang memperbolehkannya untuk dilihat oleh orang luar.

3.13.3.1. Prosesi Ritual Kaka

Sanro yang melaksanakan ritual ini bernama Mbo Canni yang berasal dari Mola Utara.

Mbo Canni dipanggil oleh keluarga untuk melakukan ritual ini. Dalam pelaksanaannya, Ritual

Kaka membutuhkan beberapa bahan-bahan khusus untuk dilaksanakan, dan bahan-bahan ini

biasanya yang mempersiapkan adalah keluarga, bahan-bahan yang digunakan adalah tempurung

kelapa, nasi sembilan kepal, garam, tiga buah sarung, benang kenur, cangkir, kendi, lilin, kelapa,

beras, janur dan sirih pinang atau rokok. Ritual kaka ini dilaksanakan ketika waktu air surut,

yang dalam bahasa Bajo disebut meti. Waktu meti adalah sore hari, sekitar jam lima sore

biasanya ritual ini dilaksanakan. Dalam prosesinya, sanro datang ke rumah keluarga yang akan

melaksanakan ritual, kemudian sanro mempersiapkan bahan-bahan tersebut. Pada awalnya,

sanro ini datang dan duduk di atas tikar dalam rumah keluarga. Sedangkan orang yang sakit

Pasien berbaju merah dan didampingi keluarga, dan di depannya adalah sanro yang melaksanakan ritual.

(Gambar 8.1: Dokumentasi Peneliti)

Page 27: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

60

didampingi oleh keluarga, serta duduk berhadapan dengan sanro, serta mengikuti setiap proses

dari ritual kaka itu, mulai dari persiapan sampai berakhirnya ritual tersebut. Menariknya, dalam

mempersiapkan bahan-bahan untuk ritual tersebut, sanro membangun percakapan dengan orang

sakit, yang isinya adalah sudah berapa lama ia mengalami sakit tersebut, sudah berobat dimana

saja, bagaimana perasaannya saat ini, dan lainnya. Sanro dan orang yang sakit beserta

keluarganya membangun interaksi guna membuat suatu kedekatan emosional di antara orang

Bajo, apalagi dalam percakapannya menggunakan bahasa Bajo, yang sarat akan makna dan

perasaan orang Bajo.

Peneliti mengobservasi bahwa ritual kaka melalui tiga tahap di dalamnya.Tahap pertama,

Sanro melipat sarung yang dipersiapkan oleh keluarga, lipatan demi lipatan mempunyai teknik

tersendiri.Sanro melanjutkan persiapannya dengan mengambil benang kenur untuk diikatkan

pada kendi. Sambil proses ritual itu dipersiapkan, kemudian dupa dibakar, sehingga rumah

dipenuhi dengan asap-asap kecil, yang menjadi tanda bahwa ritual kaka sedang dilaksanakan.

Setelah itu, sanro mengambil garam dan meletakkannya di dalam tempurung kelapa.Sanro

melanjutkan persiapannya dengan mencelupkan tangannya ke dalam air yang berada dalam

baskom, hal itu dilakukan agar tangannya basah, sehingga dapat mengepal nasi dengan baik.

Sanro membuat Sembilan kepalan-kepalan nasi, yang berbentuk seperti bola tenis meja

(pingpong), dan setiap kali sanro mengepal nasi tersebut, sambil doa-doa diucapkan. Setelah

sanro mengepal setiap nasi itu, kemudian nasi yang berbentuk bulat tersebut dimasukan ke

dalam tempurung kelapa. Kepalan nasi itu dimasukan dengan rapi, agar setiap kepalan nasi yang

berjumlah total sembilan kepalan dapat menjadi lapisan yang baik di dalam tempurung kelapa

tersebut. Nasi merupakan lapisan kedua, seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa garam

Page 28: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

61

sebagai lapisan pertama yang berada di dalam tempurung kelapa. Karena garam diibaratkan

sebagai air laut, tempat orang Bajo berasal dan hidup melalui itu.

Lapisan ketiga adalah ikatan dari sirih pinang dan rokok (buatan sendiri dan bisa

diperoleh di pasar) yang berjumlah sembilan buah, masing-masing ikatan tersebut dimasukan

dalam tempurung kelapa. Berikutnya, dimasukkan potongan-potongan kecil kelapa yang

berjumlah sembilan buah, yang melengkapi lapisan yang ada dalam tempurung kelapa tersebut,

sehingga tempurung kelapa semakin berisi oleh karena setiap lapisannya. Selanjutnya, sanro

mengambil lilin-lilin dan menancapkannya satu persatu di sekeliling tempurung kelapa tersebut.

Setelah mempersiapkan bahan-bahan yang telah dimasukan dalam tempurung kelapa, kemudian

sanro mengambil satu persatu kain yang telah dilipatnya, dan memasukan beras ke dalam setiap

lipatan kain tersebut, jadi ketiga kain tersebut di dalamnya berisi beras yang dimasukan oleh

sanro.

Dalam ritual ini, angka sembilan menjadi simbol yang menarik, mulai dari kepalan nasi

yang harus berjumlah sembilan, sembilan buah sirih pinang dan rokok yang telah diikat menjadi

satu, dan sembilan buah lilin. Sembilan dijadikan simbol kesempurnaan oleh orang Bajo, yang di

dalamnya mengandung makna proses mengandung seorang ibu dalam kandungan, yang

berjumlah sembilan bulan, dan pada akhirnya lahirlah seorang anak, sehingga menjadi simbol

kesempurnaan (lengkapnya) anggota keluarga.

Page 29: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

62

Bahan Ritual Kaka yang telah dipersiapkan oleh sanro (Gambar 8.2: Dokumentasi Peneliti)

Ritual dilanjutkan dengan mengambil sumbu dan dinyalakan oleh sanro menggunakan

korek api, dan mengambil satu lilin sebagai alat untuk menyalakan atau membakar sembilan

lilin, yang telah dibuat oleh sanro di atas tempurung kelapa.Sekilas, ketika melihat bahan ritual

yang telah selesai sama seperti kue ulang tahun, karena berisi lilin-lilin disertai dengan

bentuknya yang bundar dan memiliki isi yang padat di dalamnya. Dalam prosesi penyalaan lilin

yang dilakukan oleh sanro, keluarga mematikan lampu yang ada dalam rumah, sehingga hanya

nyala lilin yang terlihat dalam rumah. Kemudian dimasukan cangkir di dalam tempurung kelapa

tersebut atau lapisan teratas, yang berada di antara lilin-lilin. Kemudian, Sanro membakar dupa,

dan mengambil tempurung kelapa tersebut untuk diasapi oleh dupa. Proses ritual telah

berlangsung, yakni ketika sanro mengambil tempurung kelapa tersebut (berisi bahan ritual),

kemudian diangkat di atas dupa yang berasap, dan sambil membaca doa-doa, tempurung kelapa

itu diperhadapkan di depan orang sakit, pada waktu yang sama tempurung kelapa tersebut

diputar sebanyak tiga kali, yang putarannya berlawanan dengan detak jarum jam. Setelah itu,

tempurung kelapa diturunkan kembali di atas tikar dan lilin tetap menyala, kemudian cangkir

yang ada dalam tempurung kelapa dikeluarkan oleh sanro. Sekarang giliran dari orang sakit yang

Page 30: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

63

bertindak, dan diberi kesempatan memakai jari telunjuknya untuk menusuk kepalan nasi yang

ada dalam tempurung kelapa tersebut. Setelah itu, Sanro kembali memasukan cangkir di dalam

tempurung kelapa dan dibaca-baca (didoakan) untuk melanjutkan proses ritual kaka.

Tahap kedua, Ritual dilanjutkan dengan mengambil tempurung kelapa itu dan beras yang

dipersiapkan oleh keluarga. Selanjutnya, seorang dari anggota keluarga mengangkat tempurung

kelapa dan beras itu, dan membantu sanro untuk mengantarkannya ke depan rumah, lebih

tepatnya di bawah tangga depan atau belakang rumah yang langsung bersentuhan dengan air laut.

Masyarakat Bajo menyatakan bahwa lilin yang ada di sekitar tempurung kelapa itu harus tetap

menyala sampai proses penurunannya di laut, tetapi sanro menyatakan bahwa tidak apa-apa jika

lilinnya mati dalam perjalanan, yang penting sudah didoakan sebelum diturunkan di laut. Dalam

ritual penurunan tempurung kelapa itu, orang yang sakit tidak melihat proses ini, dan hanya

Gambar 8.3 Proses Menurunkan Sesajen.

Page 31: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

64

berada di dalam rumah saja, sehingga sanro yang melanjutkan proses ritual ini. Setelah sampai di

bawah tangga, sanro naik di atas perahu kecil dan mengambil beras yang berada dalam

mangkuk, sanro menggenggam beras itu sambil menaikan doa-doa, kemudian beras itu

dilemparkannya sebanyak tiga kali di air laut yang berada di hadapannya. Dilanjutkan dengan

mengambil tempurung kelapa yang telah dipersiapkan dan menurunkannya di laut. Karena itu,

ritual ini dinamakan sebagai ritual maduai kaka (menurunkan kaka/saudara tertua), seperti dalam

proses ritualnya, tempurung kelapa serta isinya diturunkan di laut, sambil doa-doa itu dinaikan

oleh sanro. Ketika tempurung kelapa dan isinya telah tenggelam, yang diambil hanyalah cangkir

putih oleh sanro, dan cangkir tersebut didoakan oleh sanro yang berada di atas perahu, kemudian

dimasukan air laut dalam cangkir itu sebanyak tiga kali, sementara cangkir dimasukan air laut,

sanro membaca doa-doa, dan kembali memasukan cangkir itu ke dalam lingkaran rotan, yang

tadinya dijadikan sebagai pengalas tempurung kelapa. Kemudian, sanro mengambil kendi yang

berada di samping beras yang berisi air, lalu dituangkannya air dalam kendi tersebut ke dalam

laut sebanyak tiga kali, sambil doa dibaca oleh sanro (bismillah). Setelah air dalam kendi kecil

itu habis, kemudian sanro memasukan air laut ke dalam kendi tersebut sebanyak tiga kali

pengambilan (diambil sedikit-sedikit). Kemudian tangan kiri sanro tetap memegang kendi kecil

itu, dan pada saat yang sama, tangan kanan sanro bergerak mengambil segenggam beras yang

berada dalam wadah yang berwarna hijau itu, lalu menuangkannya kembali ke dalam laut

sebanyak tiga kali. Setelah itu, kendi kecil itu dimasukan ke dalam wadah hijau yang berisi

beras.

Page 32: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

65

Tahap ketiga, Sanro dan keluarga yang berada di luar rumah kembali masuk untuk

melanjutkan ritual di dalam rumah. Ketika berada di dalam rumah yang masih dalam suasana

‘gelap’ karena lampu dipadamkan, sanro kemudian mengambil benang dan memegang benang

itu memakai tangan kanannya, sedangkan di tangan kiri sanro terdapat lilin yang menyala

sehingga berfungsi sebagai penerang untuk mencelupkan benang itu ke dalam cangkir. Benang

ini dikenal oleh orang Bajo sebagai tali sumanga atau tali semangat, benang ini berfungsi sebagai

penyemangat orang sakit akibat ketidakharmonisannya dengan kaka-nya. Sementara benang itu

dicelupkan ke dalam cangkir yang berisi air laut, sanro mengutarakan dari mulutnya doa-doa,

kemudian lilin yang berada di tangan kirinya dimasukan ke dalam tempatnya yang semula.

Benang yang telah dibasahi oleh air laut yang berada di tangan kanan sanro kemudian diangkat

ke wajah, lebih tepatnya menempelkan tali sumanga di dahi orang yang sakit itu, dan sanro

mendekat ke hadapan orang yang sakit itu, lalu tangan kirinya memegang belakang kepala orang

yang sakit, sanro membaca doa di dahi orang yang sakit itu, yakni mulut sanro berdempetan

Gambar 8.4 Tali Sumanga yang diikat

di tangan orang sakit.

Page 33: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

66

dengan benang sumanga itu, yang berada di dahi orang sakit itu, setelah membaca doa, sanro

meniup dahi orang yang sakit itu. Kemudian sanro mengusap dahi orang yang sakit itu sebanyak

tiga kali, dan setelah itu sanro mengikat benang atau yang disebut tali sumanga itu ke tangan

kanan orang yang sakit. Orang Bajo mempercayai dengan tali sumanga yang diikatkan di tangan

kanannya, maka mereka akan memperoleh semangat baru menjalani kehidupannya, kalau yang

sakit diberi kekuatan untuk semangat dan lebih bergairah dalam beraktifitas. Kepercayaan orang

Bajo lainnya adalah, bahwa mereka meyakini tali sumanga itu akan terlepas dengan sendirinya,

dan tidak perlu dibuka secara manual, karena lambat laun tali sumanga itu akan terlepas.

Setelah tali sumanga itu dipasangkan di tangan orang yang sakit, kemudian sanro

mengambil tiga sarung (berisi beras) yang telah dipersiapkan, dan diangkat di atas dupa, setelah

itu ketiga sarung itu diangkat ke hadapan orang yang sakit itu, sambil diputar satu kali kearah

yang berlawanan dengan jarum jam. Prosesi itu dilakukan sebanyak tiga kali (mengangkat

sarung ke atas dupa dan memutar ke hadapan orang yang sakit itu). Kemudian, ketiga sarung itu

diletakkan di bawah dan diberikan kepada keluarga orang yang sakit (berjumlah tiga orang),

sanro memberikan sarung itu satu per satu kepada anggota keluarga untuk dipegangi.

Selanjutnya, sanro meminta kepada orang yang sakit untuk memilih salah satu dari ketiga

sarung, yang akan dibuka dan dilettakan oleh sanro di atas kepala orang yang sakit. Setelah

selesai menunjuk sarung mana yang akan diletakkan oleh sanro, kemudian sanro mengangkat

sarung tersebut ke atas kepala orang yang sakit dan membuka sarung itu, sehingga terlihat bulir-

bulir beras berjatuhan di kepala orang yang sakit itu. Sarung yang pertama itu tetap tinggal di

atas kepala orang yang sakit, kemudian sarung kedua diambil oleh sanro dan hanya dibuka di

atas kepala orang yang sakit, dan sarung itu ditaruh kembali ke tempatnya yang semula.

Page 34: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

67

Kemudian sarung ketiga diambil dari tangan anggota keluarga, dan sarung itu dibuka di atas

kepala orang yang sakit, dan mengembalikan sarung ketiga itu ke tempatnya.

Setelah itu, sanro mengambil satu genggam beras, sambil menaikan doa, dan kemudian

membagikan beras itu kepada ketiga anggota keluarga, yang telah memegang sarung tadi. Sanro

berdoa sambil meniup beras yang ada di tangannya, dan melemparkan beras itu ke tubuh orang

yang sakit, kemudian secara otomatis, anggota keluarga yang memegang beras tadi ikut

melemparkan beras ke tubuh orang yang sakit itu. Diakhiri dengan doa yang dibacakan oleh

sanro di dahi orang yang sakit itu, sambil meniup dahinya, dan memegang dahi orang yang sakit

dengan tangan kanannya, serta mengangkat sarung yang berada di atas kepala orang yang sakit

itu untuk diletakkan di tempatnya yang semula. Sanro menutup ritual itu dengan mengambil air

laut yang berada di dalam kendi kecil, dan memercikannya ke hadapan orang yang sakit

kemudian sanro mengambil air laut itu lagi untuk memercikan di belakang sanro, hal itu

dilakukan secara berulang selama tiga kali di hadapan orang yang sakit dan tiga kali di belakang

sanro. Akhirnya, setelah ritual itu selesai dilaksanakan, sanro mengambil ‘tanda terima kasih’

dari keluarga yang diletakkan di bawah sarung, biasanya keluarga memberikan uang sebagai

tanda terima kasih antara Rp 20.000-Rp 30.000, hal itu biasa dilakukan oleh orang Bajo yang

telah melaksanakan ritual.

Itulah akhir dari ritual kaka, dan beberapa gambaran runtutan proses ritual kaka yang

peneliti temukan di lapangan, dan ritual itu secara umum mempunyai pola yang sama, meskipun

sanro yang dipanggil untuk melakukan pengobatan berbeda. Orang Bajo mempercayai bahwa

setelah melaksanakan ritual kaka, keluarga tidak diperbolehkan untuk menyapu beras yang

berserakan di lantai rumah selama kurang lebih tiga hari. Karena beras yang berada di rumah

Page 35: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

68

menjadi tanda bahwa suatu ritual telah dilaksanakan di rumah itu, dan setelah tiga hari baru

diperbolehkan untuk menyapu beras itu keluar dari rumah.

3.13.4. Ritual Maduai Tuli

Ritual ini dilaksanakan bagi orang Bajo yang memiliki kagumbarang tuli (kembaran

buaya), yang telah dilihat oleh sanro ketika orang Bajo itu baru lahir. Ritual tuli dilaksanakan

bagi ibu-ibu yang sedang mengandung, dan ritual ini wajib hukumnya dilakukan bagi semua

orang Bajo yang sedang mengandung. Orang Bajo percaya bahwa jika tidak melaksanakan ritual

ini, anak yang akan dilahirkan akan mengalami sakit maupun kelainan yang tidak seperti anak

lainnya. Karena itu, ritual tuli merupakan salah satu dari beberapa ritual yang ada di masyarakat

Bajo yang dijaga kesakralannya.

Hal ini yang peneliti alami di lapangan, yakni ketika peneliti akan melihat dan merekam

proses ritual tuli terhadap ibu yang sedang mengandung. Awalnya, tetangga sekitar menyetujui

dan memperbolehkan untuk melihat ritual itu, karena mereka menganggap bahwa itu adalah hal

biasa yang dilakukan oleh orang Bajo.Namun, ketika peneliti datang sekitar lima belas menit

sebelum ritual itu dilaksanakan, pihak dari keluarga menyatakan bahwa ritual itu tidak jadi

dilaksanakan karena sanro yang menangani ritual tersebut mempunyai banyak pasien, dan tidak

bisa hari ini dilaksanakan. Kemudian keluarga dan tetangga yang berada di sekitar menggunakan

bahasa Bajo ketika berada di belakang peneliti. Ini menjadi pertanda penolakan kepada peneliti,

karena sebelum datang ke rumah keluarga yang akan melaksanakan ritual, peneliti datang kepada

sanro yang menangai ritual tersebut untuk meminta izin melihat ritual tersebut, dan akhirnya

diperbolehkan untuk mengikuti proses ritual itu dari awal hingga selesai. Kemudian peneliti

bertanya kepada teman yang mengantar saat itu, mengenai bahasa Bajo yang disampaikan oleh

Page 36: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

69

keluarga, pada saat peneliti berada di depan rumah itu. Arti dari bahasa Bajo yang disampaikan

oleh keluarga, yakni tidak diperbolehkan orang luar untuk melihat proses ritual ini, karena ritual

ini harus dijaga kesuciannya dan takut bayi yang dikandungnya mengalami sesuatu yang tidak

diinginkan oleh keluarga. Benar dugaan dari peneliti, setelah peneliti pergi dari rumah itu,

ternyata proses ritual itu dilaksanakan, dan hanya keluarga dan tetangga yang boleh untuk datang

melihat ritual kaka itu. Kejadian ini tidak untuk melakukan generalisasi kepada semua orang

Bajo di desa Mola, namun untuk memberi gambaran bahwa orang Bajo masih kuat memegang

kepercayaan mengenai kesakralan dalam ritual yang mereka laksanakan.

Selain itu, ritual ini juga dilaksanakan sebagai tahap berikutnya dari ritual kaka, artinya

jika ritual kaka tidak juga mendapat hasil yang baik, kemudian orang Bajo melaksanakan ritual

tuli ini. Berbeda dari ritual kaka yang dilaksanakan sore hari, khususnya ketika air laut meti

(surut), ritual tuli dilaksanakan siang hari, yakni ketika air laut sedang naik. Hal berikut yang

membedakan antara ritual tuli dan kaka adalah dalam bahan ritualnya. Ritual tuli menggunakan

pisang, telur,dan beras empat warna: hitam, putih, kuning dan merah, yang dibuat dari bahan-

bahan alami. Orang Bajo percaya bahwa warna itu sebagai bagian dari unsur-unsur yang ada di

bumi ini, yakni warna hitam sebagai tanah, warna putih sebagai air, warna kuning sebagai angin,

dan warna merah sebagai api.

Ritual ini dilaksanakan oleh orang Bajo karena berhubungan dengan kagumbarang tuli

atau kembaran buaya mereka, sehingga orang Bajo harus melaksanakan ritual ini untuk

membangun relasi yang baik dengan kagumbarang tuli mereka yang dipercaya berada di laut.

Seperti ritual maduai tuli (menurunkan tuli) yang peneliti observasi ini, yakni ada seorang anak

yang telah bernazar akan melaksanakan ritual ini ketika ia akan sembuh dari penyakitnya. Janji

yang diucapkan oleh orang Bajo itu didengarkan oleh ‘penguasa laut’ yang mereka percayai

Page 37: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

70

sebagai Mbo Ma Dilao.Jika orang Bajo yang telah berjanji dan tidak melaksanakan ritual itu,

penyakit itu akan kembali ke dalam diri orang yang sakit itu. Karena itu, keluarga ini

melaksanakan ritual maduai tuli untuk anaknya.

a) Tahap Pertama Ritual Maduai Tuli

Ritual maduai tuli ini dilakukan oleh seorang sanro yang bernama Mba Muder, sanro ini

sudah biasa dipanggil oleh masyarakat Bajo dalam pelaksanaan ritual, khususnya yang

berkenaan dengan ritual maduai kaka, maduai tuli dan maduai kuta. Bahan-bahan pelaksanaan

ritual ini dipersiapkan oleh keluarga, dan estimasi biaya yang diperlukan untuk bahan-bahan ini

kurang lebih Rp 100.000. Ritual maduai tuli ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama,

proses persiapan yang adalah bagian penting dari ritual ini, dan sanro yang mempersiapkan

bahan-bahan yang telah tersedia di rumah keluarga itu. Di tahap persiapan, sanro dengan

keahliannya mengambil daun pisang dan memotongnya satu persatu, yakni dengan melipat daun

pisang itu, lalu dipotong setengah lingkaran, sehingga daun pisang itu berbentuk bundar.

Langkah selanjutnya, sanro menarik daun pisang itu ke dua arah, yakni menarik daun pisang itu

ke sisi dalam sanro dan sedikit melipat daun pisang itu ke arah kiri. Akhirnya daun pisang itu

dimasukan di dalam tampan atau orang Bajo menyebutnya tampah dalam posisi terbalik (lihat

gambar di bawah).

Page 38: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

71

Daun Pisang yang ada di atas Tampah

(Gambar 9.1: Dokumentasi Peneliti)

Dalam ritual maduai tuli ini, ada dua tampah yang digunakan untuk melaksanakan ritual,

yang pertama untuk di rumah dan kedua untuk di luar rumah (tengah laut). Karena itu, sanro

memotong masing-masing tiga daun pisang ke dalam setiap tampah, dan bukan hanya daun

pisangnya yang dipotong, melainkan tulang daunnya juga dipotong merata (lihat gambar di atas).

Kemudian, sanro mengikat dua buah gelang ke dalam sarung bantal yang disediakan oleh

keluarga. Sementara sanro mempersiapkan hal lain, ibu dari sang anak mengikat benang di

sekeliling kendi kecil, dan memasukan bambu-bambu kecil, serta memasukan air tawar di dalam

kenci kecil itu. Sanro melanjutkan mempersiapkan daun sirih yang telah disiapkan oleh keluarga,

sanro memilih daun sirih terbaik (ukurannya lebih besar dari biasanya), dan menghitungnya

hingga berjumlah tujuh daun. Setelah itu, sanro mengambil pinang dan sedikit memotongnya,

namun tidak sampai terbelah. Lalu Sanro mengambil segenggam kapur dan menuangkannya tiga

kali di atas piring.

Sanro melanjutkan persiapan dengan mengambil daun sirih itu satu persatu, dan

memasukan kapur yang disertai dengan daun sirih dan serbuk gula merah, lalu melipat daun sirih

itu, serta mengikatnya. Kemudian, sanro mengikis sebatang kelapa tua yang telah dibakar, dan

Page 39: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

72

serbuk dari kelapa itu dikumpulkan ke atas satu piring. Tahap selanjutnya, sanro mengambil

beras putih yang tersedia dalam satu piring, dan kemudian membagi beras itu menjadi tiga

piring. Setelah itu, sanro mengambil kunyit yang telah diolah dalam bentuk cair, lalu

menuangkan kunyit itu ke dalam dua piring yang berisi beras putih tersebut, dan menuangkan

sedikit minyak kelapa ke dalam satu piring tersebut.Kemudian, sanro menuangkan sedikit air ke

dalam dua piring tersebut dan mencampur atau mengaduk menggunakan tangannya sendiri,

hingga beras di salah satu piring itu berubah menjadi warna kuning. Selanjutnya, sanro

mencampur beras di piring lainnya yang telah dicampurkan oleh gula merah, kunyit dan minyak

kelapa di dalamnya, sehingga beras itu berubah menjadi warna kemerah-merahan. Setelah itu,

sanro mengambil sepiring beras yang telah dicampur oleh serbukan kelapa yang telah dibakar,

sehingga beras yang dicampur itu berubah menjadi warna hitam.

Beras Empat Warna (Kuning, Merah, Putih, dan Hitam)

(Gambar 9.2: Dokumentasi Peneliti)

Setelah bahan-bahan selesai dipersiapkan, khususnya beras yang telah tersedia di atas

piring, prosesi ritual resmi dijalankan. Pertama-tama sanro mengambil dupa dan membakarnya

di padupaan (tempat dupa ditempatkan), setelah dupa itu berasap, sanro mengambil segenggam

beras yang berwarna putih di dalam mangkuk, dan beras itu dibagi setengah-setengah di dua

Page 40: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

73

telapak tangannya, kemudian beras itu digenggamnya, serta di letakkan di atas dupa sambil

didoakan oleh sanro. Setelah didoakan, sanro melemparkan beras itu ke hadapan anak yang sakit

(kearah depan) dan melemparkan beras itu ke arah belakang sanro, dan itu dilakukan sebanyak

tiga kali, jadi totalnya enam kali lemparan, yang prosesnya secara berbalasan, yakni depan dan

belakang. Setelah itu, sanro membakar kembali dupa dan mengangkat secangkir air, serta

memutar cangkir kecil itu sebanyak tiga kali di atas padupaan. Sanro kemudian mengambil

mencelupkan tangannya ke dalam air, dan mengolesinya di atas tulang daun pisang itu sebanyak

tiga kali, dan menambah olesannya di tengah tulang daun pisang tersebut, yang akan digunakan

untuk meletakkan beras-beras tersebut.

Langkah selanjutnya, sanro mengambil beras putih yang ada dalam mangkuk itu dan

membuat lingkaran kecil di atas tulang pisang itu, sanro membuat itu menggunakan kedua

tangannya dengan jeli dan teratur. Jadi, beras putih itu sebagai lapisan inti atau yang berada di

pusat sebagai lapisan pertama di tulang pisang itu. Lapisan kedua berasal dari beras yang

berwarna kuning, sanro membuat lapisan di luar lapisan beras putih itu, dan beras-beras itu

berdampingan satu dengan lainnya. Kemudian, lapisan ketiga diambil dari beras yang berwarna

Lingkatan Beras Empat Warna

(Gambar 9.3: Dokumentasi

Peneliti)

Page 41: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

74

merah, sama seperti proses di atas, beras itu diletakkan di luar lapisan kedua (beras warana

kuning), sehingga semakin terlihat lingkaran yang ada di atas tulang pisang itu semakin besar.

Selanjutnya, lapisan keempat, diambil kembali beras yang berwarna kuning sebagai lapisan

selanjutnya yang membentuk lingkaran. Lapisan kelima berasal dari beras yang berwarna merah

dan membentuk lingkaran untuk melapisi lapisan sebelumnya. Kemudian, lapisan keenam,

diambil dari beras yang berwarna hitam untuk membentuk lapisan selanjutnya. Lapisan ketujuh

atau lapisan terakhir, diambil dari beras yang berwarna putih, yang tadinya sebagai lapisan pusat,

dan sekarang menjadi lapisan pinggiran.

Setelah lingkaran beras empat warna telah selesai dibuat, kemudian sanro mengambil

satu telur dan membasahi telur itu dengan air yang telah didoakan, kemudian diangkat di atas

padupaan, lalu telur itu diletakkan di pusat lingkaran atau lapisan pertama dari lingkaran itu.

Selanjutnya, di sekeliling telur itu di letakkan satu per satu daun sirih hingga berjumlah tujuh ikat

daun sirih, dan akhirnya ketujuh ikat daun sirih menutupi telur itu. Kemudian, sanro menghitung

satu sisir pisang raja yang disediakan oleh keluarga, dan pisang itu harus berjumlah ganjil, jika

pisang yang disiapkan berjumlah genap, sanro akan mengambil satu pisang dan

Gambar 9.4 Telur yang diletakkan di atas beras empat warna

Page 42: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

75

mengeluarkannya.Pisang raja itu selanjutnya dilap sebanyak tiga kali oleh sanro menggunakan

air yang diambil di ujung-ujung jarinya.

Langkah selanjutnya, yakni meletakkan satu sisir pisang raja itu di atas tampah, lebih

tepatnya berada di pusat tampah atau di atas telur yang dibungkus oleh daun sirih itu. Kemudian,

sanro mengambil dua batang bambu kecil, yang berada dalam kendi kecil yang berisi air, dan

memasukkan bambu kecil itu ke tengah tampah itu, yakni di dekat pisang tersebut. Lalu sanro

mengambil sarung bantal yang diikat oleh dua gelang, dan sarung bantal itu menutupi pisang dan

tampah itu. Hal itu diulang dan dilakukan untuk tampah kedua, yakni dengan proses dan cara

yang sama. Tahap persiapan dua tampah yang diletakkan di atas bantal telah selesai, kemudian

sanro mengangkat tampah pertama di atas padupaan sambil mendoakannya, lalu sanro memutar

tampah itu di atas kepala anak yang melaksanakan ritual, putarannya berlawanan dengan arah

jarum jam. Hal itu dilakukan sebanyak tiga kali.

Gambar 9.5 Bahan Ritual yang diletakkan di atas bantal.

Page 43: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

76

Kemudian, sanro mengangkat tampah kedua dan prosesnya sama dengan mengikuti pola

dari tampah pertama, yaitu sebanyak tiga kali mengangkat tampah di atas padupaan sambil

mendoakannya, kemudian memutar tampah itu di atas kepala anak tersebut, yang arahnya

berlawanan dengan arah jarum jam. Tahap pertama dari ritual ini telah selesai, yakni ritual yang

dilaksanakan di dalam rumah, selanjutnya dalam tahap kedua ritual dilaksanakan di luar rumah,

yakni di tengah laut.

b) Tahap Kedua Ritual Maduai Tuli

Tahap kedua, yakni setelah sanro memutar tampah itu di atas kepala anak kecil itu,

kemudian sanro memberikan tampah itu kepada keluarga untuk dibantu memegang ke atas

perahu. Tampah yang satunya disimpan di dalam rumah, dan tampah kedua ini yang di

bawa.Sanro berjalan menuju ke perahu kecil (sampan) dengan memegang padupaan dan beras.

Karena dalam tahap selanjutnya, ritual ini akan dilaksanakan jauh dari rumah, yakni di tengah

laut (kira-kira 30-50 Meter dari rumah). Dalam pelaksanaannya, minimal empat orang yang

berada dalam perahu, karena satu orang bertugas sebagai pemegang payung untuk menutupi

Gambar 9.6 Sanro mendoakan anak yang sakit.

Page 44: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

77

tampah yang berisi dengan sesajen yang telah didoakan oleh sanro, dua orang lainnya yang

berada di depan dan belakang perahu bertugas untuk mendayung perahu itu, sehingga sampai ke

tempat pelaksanaan ritual dengan baik. Ketika sudah sampai di tempat pelaksanaan ritual tahap

kedua, kemudian sanro mengambil segenggam beras yang ia bawa sambil mendoakannya, dan

melemparkannya ke laut sebanyak tiga kali. Selanjutnya, sanro mengambil pisau sambil

mendoakannya, dan membentuk suatu tanda di laut, yakni semacam tanda tambah (+).Pertama,

pisaunya menarik dari kiri ke kanan (horizontal), kedua, pisaunya ditarik lurus, dari atas ke

bawah (vertikal). Hal itu memberi isyarat bahwa daerah yang digaris itu sebagai tempat maduai

tuli.

Proses Maduai Tuli di Tengah Laut

(Gambar 9.7: Dokumentasi Peneliti)

Setelah menandai daerah itu, sanro mengambil sesajen, yang ditutupi oleh sarung bantal

tadi, dan sanro mengangkat sesajen itu dari tampah, yakni mengangkat dengan kulit pisang

beserta dengan pisang yang ada di atasnya. Kemudian, sanro mendoakannya sambil menurunkan

sesajen itu di laut, hal itu dilakukan sambil sesajennya menyentuh air laut. Orang Bajo

mempercayai bahwa pisang raja yang diturunkan dalam ritual maduai tuli itu bisa diambil dan

dimakan, namun tidak diperbolehkan untuk menggorengnya atau merebusnya, jadi langsung

pisang itu dimakan saja, tanpa melalui proses di ‘dapur’. Selanjutnya, sanro mengambil air tawar

Page 45: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

78

yang berasal dari kendi kecil, dan menuangkannya tiga kali, sambil mendoakannya. Kemudian

menggantikan air tawar itu dengan air laut, yakni dengan cara mengambil di laut sebanyak tiga

kali juga. Menutup ritual di tengah laut ini, sanro mengambil segenggam beras dan

melemparkannya sebanyak tiga kali di laut, dan mengulanginya sekali lagi, yakni mengambil

segenggam beras lalu melemparkannya sebanyak tiga kali di laut. Kemudian, sanro dan orang-

orang yang berada di sampan segera mendayung dan kembali ke rumah untuk melanjutkan ritual

tahap terakhir dari ritual kaka.

c) Tahap Ketiga Ritual Maduai Tuli

Ketika sampai di rumah, ritual langsung dilanjutkan oleh sanro, yakni dengan mengambil

seutas tali yang dipersiapkan oleh keluarga, dan mencelupkannya ke dalam kendi kecil, yang

berisi air laut tadi. Kemudian, sanro mengangkat tali itu, yang orang Bajo sebut dengan tali

sumanga (tali semangat). Sanro menempelkan tali sumanga itu, sambil mendoakan anak kecil itu

di dahinya, dan meniupnya.Selanjutnya, sanro mengikatkan tali sumanga itu di tangan kanan

anak kecil itu. Setelah tali sumanga itu terikat di tangan anak kecil itu, kemudian anak kecil itu

diberikan kendi kecil yang berisi air laut oleh sanro, dan mengambil air itu dari tangannya, serta

membasuh sendiri wajah dan tubuhnya menggunakan air laut, yang sudah didoakan itu.

Sementara anak kecil itu membasuh tubuhnya dengan air laut, sanro mempersiapkan nampan

yang telah dipersiapkan keluarga, yakni nampan yang menggunakan tali dan digantung di dalam

rumah, yang berisi dengan tampah yang berada di rumah. Kemudian, nampan itu di asapi oleh

dupa sambil didoakan oleh sanro, dan diangkat di hadapan wajah anak itu berlawanan dengan

arah jarum jam. Hal itu dilakukan sebanyak tiga kali, yakni dengan pola yang sama: didoakan

dan diputar di hadapan anak kecil itu. Setelah itu, sanro mengikat nampan itu dengan baik untuk

digantung di dalam rumah keluarga, kemudian memegang dua gelang yang ada di atas nampan

Page 46: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

79

itu, dan menempelkannya di dahi anak kecil itu sambil mendoakannya, lalu meniup dahi anak

kecil itu. Kemudian, sanro mengambil segenggam beras, mendoakannya, dan menyebarkan

beras ke atas nampan itu sebanyak tiga kali. Prosesi terakhir, sanro mendoakan nampan itu dan

mengupas tiga buah pisang yang ada dalam nampan, kemudian memberikannya kepada anak

kecil itu, dan anak kecil itu harus memakan tiga pisang itu, meskipun setiap pisang hanya digigit

ujungnya saja.

Menariknya, dalam prosesi ini tidak hanya anak kecil itu yang dilibatkan, tetapi juga

keluarga dan orang yang datang melihat proses ritual itu dipersilahkan untuk makan pisang yang

sudah dikupas oleh sanro. Setelah sanro mengupas pisang dan meletakkannya di atas piring,

kemudian sanro mengambil dua gelang yang ada di atas nampan dan menempelkannya di atas

dahi anak kecil itu sambil mendoakannya lagi. Proses selanjutnya, sanro menaikan doa di atas

dupa, dan memegang nampan itu sebanyak tiga kali sebagai pertanda bahwa ritual tuli telah

selesai.Akhir dari prosesi ritual ini, yakni sanro membuka tali yang digantung di nampan itu, dan

mengupas lagi pisang yang masih tersisa, serta mengambil satu butir telur untuk diberikan

kepada anggota keluarga.

Gambar 9.8 Pisang yang disediakan oleh sanro.

Page 47: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

80

3.13.5. Ritual Kadilaok Kadara

Ritual kadilaok kadara berbeda dengan ketiga ritual di atas, karena ritual ini bertujuan

untuk mengusir jin atau roh jahat yang masuk dalam diri orang Bajo, sehingga pengobatannya

juga berbeda dari ritual di atas, karena ritual ini lebih mengedepankan aspek magis, yang biasa

melakukan pengobatan ini adalah dukun kampung dari masyarakat Bajo. Dukun kampung itu

hanya bisa melakukan pengusiran terhadap jin atau roh jahat, namun tidak bisa melakukan ritual

yang berhubungan dengan kehidupan orang Bajo (Ritual Kaka, Tuli, Kuta).

3.13.6. Ritual Duata

Ritual duata merupakan ritual puncak orang Bajo, yang dilasanakan ketika ritual

pengobatan tradisional Kaka, Tuli, Kutta, Kadilaok Kadara tidak membuahkan hasil. Maka,

keluarga yang tergolong mampu akan melanjutkan hingga tahap terakhir, yakni ritual duata. Saat

ini, ritual duata menelan biaya yang besar bagi yang akan melaksanakannya. Karena ritual duata

dilaksanakan lebih dari satu hari, lebih tepatnya tiga hari. Pak Daseng, sanro yang spesialis

dalam ritual duata ini menyatakan bahwa peralatan yang dilakukan untuk duata yang membuat

mahal, bahan untuk sesajen, dan setiap persiapan yang harus dibuat sebelum ritual itu

dilaksanakan, serta untuk penari yang akan hadir dalam ritual tersebut. Penuturan Pak Daseng,

bahwa ritual itu dilaksanakan bisa mencapai jutaan rupiah, bahkan bisa lebih dari sepuluh juta

rupiah. Karena semakin lama dan mendalam proses ritual duata tersebut, maka semakin mahal

juga biaya yang dibebankan bagi keluarga yang melaksanakan ritual tersebut. Ritual duata ini

melibatkan komponen seni musik (didengungkan oleh suara pukulan gendang dan gong), seni

tari, yang melibatkan orang sakit dan orang yang mempunyai riwayat atau turunan duata,

artinya: orang Bajo yang orang tuanya pernah melaksanakan ritual ini, sehingga dapat menari,

Page 48: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

81

dan merasakan kehadiran roh lain yang masuk dalam tubuhnya, dan seni pertunjukkan, yang

diperankan oleh sanro yang sudah pakar dalam ritual duata ini.

Ritual duata dilaksanakan melalui tiga tahap, tahap pertama ritual yang dilaksanakan

dalam rumah, khususnya dalam ruangan kira-kira berukuran 4×4 meter persegi, dalam ruangan

tersebut telah disediakan oleh sanro setiap bahan sesajen dan peralatan untuk melaksanakan

ritual, dan terdapat kasur bagi orang sakit untuk tidur di atasnya, yang telah dilengkapi oleh

janur yang terbuat dari daun kelapa, dan pernak-pernik warna-warni yang ada di sekitar tempat

tidur yang telah disiapkan oleh sanro, juga terdapat ula-ula sebagai bendera orang Bajo, yang

melambangkan kehidupan bagi orang Bajo. Hal yang menarik dalam peran yang dimainkan oleh

sanro adalah ketika ia mengambil keris dan menancapkannya di atas kepala orang sakit,

anehnya, orang yang sakit itu tidak merasakan kesakitan sedikit pun. Dalam prosesnya, ketika

ritual itu dilaksanakan, kemudian gendang dipukul oleh sanro, tidak lama kemudian, orang yang

sakit tiba-tiba bangun dari atas tempat tidur dan menari sesuai dengan irama pukulan gendang

sanro, orang Bajo mempercayai bahwa orang yang sakit itu kemasukan roh, ketika sanro

berhenti memukul gendang tersebut, orang sakit itu tiba-tiba mengikuti irama dan berhenti

seketika. Ada hal menarik lainnya, yakni ketika gendang dipukul oleh sanro, bukan hanya orang

yang sakit dimasuki roh, tetapi juga, orang yang dianggap memiliki keturunan duata juga ikut

menari dan dimasuki oleh roh, sehingga mengikuti irama yang didendangkan oleh sanro. Hari

terakhir pelaksanaan ritual duata, yakni dilakukan di atas perahu, sanro dan orang sakit berada di

atas perahu untuk menyelesaikan ritual terakhir tersebut. Menurut kepercayaan orang Bajo,

bahwa ketika ritual duata telah selesai dilakukan, maka orang yang sakit akan sembuh

berangsur-angsur, bahkan ada yang langsung sembuh ketika selesai mengikuti rangkaian ritual

duata tersebut.

Page 49: BAB III WAJAH ORANG BAJO MASA KINI 3.1.Wilayah ......berada di perkampungan Bajo Kaledupa saat itu merasa tidak aman dan mulai mencari tempat lain untuk tinggal. Kemudian, orang Bajo

82

Penjelasan di atas merupakan ritual duata pengobatan yang masih dirasakan

kesakralannya oleh orang Bajo. Berbeda halnya dengan ritual duata yang berorientasi pada

pertunjukkan semata, sehingga para penari dalam ritual duata tidak lagi mengikuti gerakan yang

sesuai dengan ritual aslinya, yakni sesuai dengan roh yang masuk dalam tubuh orang yang sakit

maupun orang yang mempunyai turunan duata. Khususnya, para penari yang telah disediakan

untuk menyambut tamu di setiap acara besar maupun mengikuti pertunjukkan seni tari

tradisional. Setiap gerakan dari tarian duata telah dibuat sedemikian rupa untuk menyelaraskan

gerakan bersama-sama, sehingga membentuk suatu bentuk tarian khas dari suku Bajo.