mengenal lebih dekat perkampungan cina benteng, kampung betawi setu babakan dan perkampungan luar...

30
MAKALAH SOSIOLOGI MENGENAL LEBIH DEKAT PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG Disusun Oleh: DIAN ANISA PUTRI KELAS : XI IPS 1 SMA NEGERI 54 JAKARTA 0

Upload: dian-anisa-putri

Post on 25-Jun-2015

818 views

Category:

Travel


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

MAKALAH SOSIOLOGI

MENGENAL LEBIH DEKAT PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Disusun Oleh:DIAN ANISA PUTRI

KELAS : XI IPS 1

SMA NEGERI 54 JAKARTA

2012

0

Page 2: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini, dengan judul “Mengenal Lebih Dekat Perkampungan Cina Benteng, Kampung Betawi Setu Babakan dan Perkampungan Luar Batang”. Makalah ini kami susun tidak hanya untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sosiologi tahun ajaran 2011/ 2012, tetapi juga untuk menambah pengetahuan dan wawasan agar kita lebih mencintai budaya asli negeri kita sendiri.

Kami sadar bahwa terselesaikannya makalah ini tak lepas dari pihak-pihak yang

membantu dan memberikan dukungan kepada kami. Oleh karena itu, kami sampaikan

banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat,

1. Bu Tisnawati selaku Wali Kelas XI IPS 1 dan Guru Mata Pelajaran Sosiologi SMA

Negeri 54 Jakarta.

2. Bapak Sudadi selaku Narasumber Kampung Betawi Setu Babakan dan Ketua RT.

009/010 Kelurahan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

3. Bapak Saumin selaku Narasumber Perkampungan Luar Batang dan Ketua Pengurus

Masjid Jami Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara.

4. Semua pihak yang telah membantu tersusunnya makalah ini sehingga makalah ini

dapat terselesaikan dengan baik.

Seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak, yang artinya tiada makhluk yang

sempurna di dunia ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun dari segenap pembaca sehingga makalah ini dapat digunakan dengan baik.

Harapan kami semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah

pengetahuan bagi pembaca serta bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Jakarta, 10 Mei 2012

Penyusun

1

Page 3: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR........................................................................................................ 1

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang............................................................................................................ 4

1.2. Tujuan......................................................................................................................... 5

1.3. Manfaat Penulisan...................................................................................................... 5

BAB II. PERKAMPUNGAN CINA BENTENG

2.1. Sejarah Cina Benteng................................................................................................ 6

2.2. Penggolongan Warga Cina Benteng.......................................................................... 7

2.3. Cina Benteng Masa Kini............................................................................................. 7

2.4. Seni dan Kebudayaan Cina Benteng

2.4.1. Bahasa.................................................................................................................... 8

2.4.2. Ekonomi................................................................................................................... 8

2.4.3. Kesenian.................................................................................................................. 8

2.4.4. Pakaian Adat............................................................................................................ 8

2.4.5. Upacara Pernikahan............................................................................................... 9

2.4.6. Makanan Khas......................................................................................................... 9

2.4.7. Tempat Bersejarah.................................................................................................. 10

BAB III. KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN

3.1. Sejarah Suku Betawi.................................................................................................. 11

3.2. Sejarah Kampung Betawi Setu Babakan................................................................... 12

3.3. Aktivitas Wisata Budaya............................................................................................. 13

3.4. Seni dan Kebudayaan Betawi

3.4.1. Bahasa.................................................................................................................... 14

3.4.2. Kesenian.................................................................................................................. 14

BAB IV. PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

4.1. Sejarah Perkampungan Luar Batang......................................................................... 16

4.2. Asal- Usul Nama Luar Batang.................................................................................... 16

4.3. Wisata Perkampungan Luar Batang.......................................................................... 18

4.4. Masjid Jami’ Keramat Luar Batang......................................................................... 18

BAB V. PENUTUP

Kesimpulan....................................................................................................................... 20

2

Page 4: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Saran.................................................................................................................................. 20

3

Page 5: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

BAB I

PENDAHULUAN

 

1. 1.     Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan begitu banyak pulau dan suku

bangsa, sudah tentu di dalamnya terdapat banyak kebudayaan dan corak kehidupan serta

latar belakang yang berbeda-beda. Karena itulah maka bangsa Indonesia dikenal sebagai

bangsa yang majemuk. Multikulturalisme merupakan ideologi yang mengagungkan

perbedaan budaya atau suatu keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya

pluralisme (keberagaman) budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Istilah

pluralisme bukan berarti sekadar pengakuan terhadap adanya hal yang berjenis-jenis,

melainkan juga mempunyai implikasi atau dampak politis, sosial, ekonomi, filsafat dan lain

sebagainya. Pluralisme berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang

terdapat dalam suatu komunitas dengan budaya mereka masing-masing. Jadi,

multikulturalisme bukan sekadar pengenalan terhadap berbagai jenis budaya di dunia ini,

melainkan juga tuntutan dari berbagai komunitas yang memiliki budaya-budaya tersebut.

Pada makalah ini akan dibahas tiga contoh komunitas budaya yang masih

dilestarikan hingga saat ini oleh anggota-anggota komunitas tersebut. Kami secara langsung

melakukan penelitian ke lokasi dan mewawancarai narasumber terpercaya yang mengetahui

segala seluk-beluk kampung kebudayaan tersebut. Pertama, kami mengunjungi

Perkampungan Cina Benteng yang berada di daerah Pasar Lama kawasan Kota

Tangerang, Provinsi Banten, sebelah Barat Jakarta. Sesuai dengan namanya,

perkampungan ini dihuni oleh warga keturunan Cina yang bermukim di kota Tangerang atau

biasa disebut keturunan Cina Benteng. Kedua, kami mengunjungi Kampung Betawi Setu

Babakan yang berlokasi di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Kampung budaya ini cukup terkenal di kalangan warga ibukota, di dalamnya kita bisa

mengenal lebih jauh kebudayaan Betawi asli yang saat ini makin tenggelam digerus era

globalisasi. Pada kunjungan terakhir kami mendatangi Perkampungan Luar Batang yang

berada di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Tepatnya di belakang bangunan bekas

gudang yang sekarang menjadi Museum Bahari. Di sini kami mengunjungi Masjid Jami

Keramat yang cukup terkenal. Ulasan lebih lanjut kami akan bahas di bab selanjutnya.

 

4

Page 6: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

1.2. Tujuan

Tujuan khusus:

Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sosiologi kelas XI tahun ajaran 2011/2012

Tujuan umum:

Sebagai tambahan wawasan informasi serta menperbanyak pengetahuan.

Menanamkan  rasa cinta tanah air.

Mengenal kebudayaan nusantara.

1.3. Manfaat Penulisan

Sebagai tambahan materi sekolah.

Menambah pembendaharaan pustaka sekolah yang menunjang minat baca siswa agar

pengetahuannya lebih luas.

5

Page 7: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

BAB II

PERKAMPUNGAN CINA BENTENG

2.1.  Sejarah Cina Benteng

Nama "Cina Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat

itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane,

difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten,

benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat

Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang

menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota

Tangerang Selatan.

Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari

Parahyangan), keberadaan komunitas Cina di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-

tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama

dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane,

yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.

Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi

Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik.

Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Cina Benteng.

Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut

dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa

menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan

Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Cina

Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy,

kelompok pemuda Cina Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan

mengungsikan masyarakat Cina Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya

kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy

and tentara Kolonial Belanda.

Saat itu, semua etnis Cina Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak

lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah

diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata

dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi

pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan

daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

6

Page 8: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

2.2. Penggolongan Warga Cina Benteng

Orang Cina Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan

mereka dari Tiongkok:

Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang

untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan

menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama

dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini

kebanyakan orang Cina Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah

terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di

pedesaan.

Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan

mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal

terhadap Cina dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal

dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak

dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda.

Cina Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu

"One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek

pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan

Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% Tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi

dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah

Belanda.Cina Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.

2.3. Cina Benteng Masa Kini

 Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap

(walaupun tetap berkulit kuning) dibandingkan warga keturunan Cina lainnya di Indonesia,

mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok. Kesenian

mereka yang terkenal adalah kesenian campuran betawi-tionghoa, Cokek yaitu sebuah

tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong. Agama

yang dianut beragam antara lain Konghucu, Buddhisme, Taoisme, Katholik, Protestan,

Pemujaan Leluhur, Pemujaan Surga, dan ada sedikit yang beragama Islam.

2.4. Seni dan Kebudayaan Cina Benteng

7

Page 9: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

2.4.1. Bahasa

Yang unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi

dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari,

misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah

sangat Sunda pinggiran bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina

Singkawang, Kalimantan Barat, yang berbahasa Cina meskipun hidup kesehariannya juga

banyak yang petani miskin.

Logat Cina Benteng memang khas. Ketika mengucapkan kalimat, “Mau ke mana”,

misalnya, kata “na” diucapkan lebih panjang sehingga terdengar “mau kemanaaaa”.

Demikian pula panggilan encek, encim, dan engkong masih digunakan sebagai tanda

hormat kepada orang yang lebih tua.

2.4.2. Ekonomi

Secara ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai

petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

2.4.3. Kesenian

Di bidang kesenian, mereka memainkan musik gambang kromong yang merupakan

bentuk lain akulturasi masyarakat Cina Benteng. Sebab, gambang kromong selalu

dimainkan dalam pesta-pesta perkawinan, umumnya diwarnai tari cokek yang sebenarnya

merupakan budaya masyarakat Sunda pesisir seperti Indramayu.

2.4.4. Pakaian Adat

Pakaian adat suku Cina Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku

besar Tionghoa (yang didominasi suku Hokian) dan pakaian adat suku Betawi. Pakaian adat

prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang, dengan topi yang khas yang mirip

dengan caping. Sedangkan pakaian adat wanitanya dinamakan hwa kun, yang berupa blus

dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah. Namun seringkali

digunakan pula kebaya encim, dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala, yang

menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.

2.4.5. Upacara Pernikahan

8

Page 10: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Chiou-Thau merupakan upacara pernikahan adat tradisional masyarakat Tionghoa

yang sudah ada sejak ratusan tahun. Secara harfiah, chiou-thau berarti "mendandani

rambut", sebuah ritual pelintasan yang harus dilaksanakan sebagai pemurnian dan inisiasi

memasuki masa dewasa. 

Acara pernikahan chio-thau sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur

hidup sesaat menjelang pernikahan. Seorang duda atau janda yang menikah lagi tidak

diperkenankan melakukan ritual ini untuk kedua kalinya. 

Serangkaian acara adat dengan pakaian khusus, dengan perhitungan khusus serta

dilengkapi hidangan yang khusus pula, upacara ‘chi-thau’ di tutup dengan acara Teh Pai.

Setelah itu dilanjutkan dengan acara makan bersama dengan hidangan istimewa khas

Tangerang yakni bakso Lohwa, juga capcay, sambal godok, ayam goreng bumbu kuning,

pare isi , rujak penganten.

Tradisi leluhur itu masih hidup terutama di kantong-kantong Cina Benteng di

pedalaman Banten seperti Panongan, Curug, Kelapadua, Tigaraksa, dan Legok.

2.4.6. Makanan Khas

Kehadiran kaum keturunan Tionghoa yang sudah lebih dari enam abad di sana

dengan sendirinya juga telah meninggalkan jejak kuliner yang nyata. Salah satu masakan

Peranakan Tionghoa yang hingga kini masih eksis di Tangerang adalah ikan ceng cuan.

Kaum keturunan Tionghoa di Tangerang pun tidak ada yang tahu apa arti ceng cuan ini.

Tetapi, umumnya mereka yakin bahwa ikan masak ceng cuan ini adalah hidangan sehari-

hari - bukan jenis masakan yang hanya tampil pada perayaan atau pesta-pesta.

Kaum keturunan Tionghoa umumnya memasak ceng cuan dari ikan samge (ikan alu-alu =

ikan kacang-kacang = barakuda). Pada hari-hari perayaan, mereka menggunakan ikan

bandeng yang dalam budaya Betawi selalu dianggap sebagai ikan yang mewah. Tetapi,

umumnya, ikan tenggiri juga sering digunakan untuk memasak ceng cuan.

Bumbu utama ikan ceng cuan adalah tauco dan kecap manis. Harap diingat,

Tangerang dari dulu memang dikenal sebagai penghasil kecap manis dan tauco yang

terkenal. Hingga kini, istilah Kecap Benteng masih tetap dipakai untuk menyebut kecap

manis buatan Tangerang. Beberapa merk lama juga masih eksis hingga sekarang, dan

masih pula dengan teknik serta proses pembuatan cara dulu.

9

Page 11: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Ikannya digoreng dulu, dan kemudian dimasak dalam kuah tauco dan kecap manis

itu. Nada-nada cabe, jahe, bawang merah, dan bawang putih tampil bareng menciptakan

citarasa yang sungguh gurih dan segar. Biasanya, bila saya disuguhi ikan ceng cuan

dengan nasi putih, saya tidak rela citarasa khas ini "diganggu" dengan masakan lain.

Artinya, ikan ceng cuan dimakan sebagai lauk tunggal. 

Di kalangan keturunan Tionghoa di Tangerang, ikan ceng cuan hingga kini masih

cukup dikenal dan disukai. Maklum, selain membuatnya cukup mudah, masakan ini

memang cocok di lidah, dan disukai segala usia. 

Satu lapak makanan di Pasar Lama Tangerang merupakan salah satu tempat favorit

untuk menemukan masakan khas Peranakan ini.

2.4.7. Tempat Bersejarah

Salah satu tempat bersejarah di Cina Benteng adalah Kelenteng Boen Tek Bio.

Memasuki kelenteng, dua buah patung singa akan langsung menyapa kita di halaman

depan. Masuk lebih dalam lagi ke Kelenteng, kita langsung berhadapan dengan Altar

Utama. Di dalam altar utama, terdapat beberapa altar dewa, seperti altar penguasa langit,

bumi dan air, altar Sang Buddha, altar Tuhan dan terutama altar dewi Kwan In, yang

menjadi tuan rumah di kelenteng ini. Selain di altar utama, juga terdapat patung dewa-dewi

lainnya yang disembah oleh umat Buddha, Kong Hu Cu dan Tao, seperti dewa pelindung

Kelenteng, raja neraka, dewa imigran, dewa peperangan,dan dewa-dewi lainnya. Semua

patung dewa ini tidak terletak di altar utama, melainkan di altar terpisah yang letaknya

berjejer disisi altar utama.

Selain terdapat patung para dewa-dewi. Kelenteng Boen Tek Bio juga memiliki

beragam barang antik, seperti Lonceng, altar Tuhan, Singa Batu dan tambur batu. Semua

barang-barang antik ini diperoleh dari sumbangan para umat. Kelenteng Boen Tek Bio atau

kelenteng Kebajikan Benteng atau Wihara Padumattara ini dulunya hanya berupa bangunan

sederhana yang terbuat dari tiang bambu dan atap rumbia. Namun seiring dengan

berjalannya waktu dan bertambahnya umat Boen Tek Bio, kelenteng ini kemudian diperbaiki

dan direnovasi sebanyak dua kali hingga tercipta bangunan yang ada seperti sekarang ini.

BAB III

10

Page 12: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN

3.1. Sejarah Suku Betawi

Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu.

Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum

berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan olehBelanda ke Batavia. Apa

yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di

Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah

lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orangSunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon,

dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.

 Etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan

ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan

Australia,Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus,

yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk

Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak

ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan

hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab

dan Moor, orang Bali, Jawa, Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa,

orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa

Nusantara dan Arab Moor ini dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi

(Belanda: inlander) di Batavia yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan

sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru

muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan

“Perkoempoelan Kaoem Betawi”. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar

mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat

campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup

penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di

luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan

di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

11

Page 13: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

3.2. Sejarah Kampung Betawi Setu Babakan

           Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah

Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara

berkesinambungan.

Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah satu objek

wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan atau

menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung.

Setu Babakan berlokasi di Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa,

Jakarta Selatan, Propinsi DKI Jakarta, Indonesia.

Di perkampungan ini, masyarakat Setu Babakan masih mempertahankan budaya

dan cara hidup khas Betawi, seperti membudidayakan ikan dalam keramba, memancing,

bercocok tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas

Betawi. 

Perkampungan ini diapit oleh dua danau (setu/situ) dan mempunyai luas wilayah

sekitar 165 hektar dan didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar

penduduknya adalah orang asli Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut.

Sedangkan sebagian kecil lainnya adalah para pendatang yang sudah tinggal lebih dari 30

tahun di daerah ini.

Setu Babakan sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi sebenarnya

merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya

dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474.

Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi,

seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.

Dalam sejarahnya, penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya

Betawi sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI

Jakarta juga pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai

kawasan Cagar Budaya Betawi, namun urung dilakukan karena seiring perjalanan waktu

perkampungan tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya.

Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI Jakarta kemudian merencanakan kawasan

baru sebagai pengganti kawasan yang sudah direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur

No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya

Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan masyarakat mulai berusaha merintis dan

12

Page 14: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

mengembangkan perkampungan tersebut sebagai kawasan cagar budaya yang layak

didatangi oleh para wisatawan.

Setelah persiapan dirasa cukup, pada tahun 2004, Setu Babakan diresmikan oleh

Gubernur DKI Jakarta saat itu yaitu Sutiyoso, sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi.

Perkampungan Setu Babakan juga merupakan salah satu objek yang dipilih /Pacific Asia

Travel Association/ (PATA) sebagai tempat kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA

di Jakarta pada bulan Oktober 2002.

3.3. Aktivitas Wisata Budaya

Perkampungan Setu Babakan adalah sebuah kawasan pedesaan yang lingkungan

alam dan  budayanya masih terjaga secara baik. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan

cagar budaya ini akan disuguhi panorama pepohonan rindang yang akan menambah

suasana sejuk dan tenang ketika memasukinya. Di kanan kiri jalan utama, pengunjung juga

dapat melihat rumah-rumah panggungberarsitektur khas Betawi yang masih dipertahankan

keasliannya.

Di perkampungan ini juga banyak terdapat warung yang banyak menjajakan

makanan-makanan khas Betawi, seperti ketoprak, kerak telor, ketupat sayur, bakso, laksa,

arum manis, soto betawi, mie ayam, soto mie, roti buaya, bir pletok, nasi uduk, kue apem,

toge goreng, dan tahu gejrot. Tak hanya makanan, aksesori khas Betawi juga dijajakan di

pinggir-pinggir jalan utama, seperti kacamata, mainan anak khas Betawi, dan aksesori

lainnya.

Wisatawan yang berkunjung ke Setu Babakan juga dapat menyaksikan pagelaran

seni budaya Betawi, antara lain tari cokek, tari topeng, kasidah, marawis, seni gambus,

lenong, tanjidor, gambang kromong, dan ondel-ondel yang sering dipentaskan di sebuah

panggung terbuka berukuran 60 meter persegi setiap hari Sabtu dan Minggu. Selain

pagelaran seni, pengunjung juga dapat menyaksikan prosesi-prosesi budaya Betawi, seperti

upacara pernikahan, sunat, akikah, khatam Al-Qur'an, dan nujuh bulan, atau juga sekedar

melihat para pemuda dan anak-anak latihan menari dan silat khas Betawi.

Selain hal-hal tersebut di atas, Setu Babakan juga menawarkan jenis wisata alam

yang tak kalah menarik, yakni wisata danau, yakni Setu Mangga Bolong dan Setu Babakan.

Danau-danau ini ini dimanfaatkan oleh wisatawan untuk memancing atau sekedar duduk-

duduk menikmati suasana sejuk di pinggir danau. Selain itu, wisatawan juga dapat menyewa

perahu untuk menyusuri dan mengelilingi danau.Tidak hanya itu, pengunjung juga dapat

berkeliling kampung dengan cara menyewa delman yang sering berlalu-lalang di

perkampungan ini.

13

Page 15: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Wisatawan yang berkunjung ke perkampungan ini juga dapat berkeliling ke

perkebunan, pertanian, serta melihat tanaman-tanaman khas Betawi di pelataran rumah-

rumah penduduk. Apabila berkunjung ke pelataran rumah penduduk, tak jarang pengunjung

akan dipetikkan buah sebagai tanda penghormatan. Jika wisatawan tertarik untuk memetik

dan berniat membawa pulang buah-buahan tersebut, maka pengunjung dapat membelinya

dengan terlebih dulu bernegosiasi harga dengan pemiliknya. Buah-buahan yang tersedia di

perkampungan ini antara lain belimbing, rambutan, buni, jambu, dukuh, menteng, gandaria,

mengkudu, nam-nam, kecapi, durian, jengkol, kemuning, krendang, dan masih banyak lagi.

3.4. Seni dan Kebudayaan Betawi

3.4.1. Bahasa

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa

informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi

sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi

tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau

tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota

Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing,

Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi

pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga

ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida

Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan

Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile.

Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi

tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati

dalam cara baca mengaji Al Quran.

3.4.2. Kesenian

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang

Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada

tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang

berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan

seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki

lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat

yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi

14

Page 16: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki

pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas

pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain

seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional

ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,

pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi

langsung dengan penonton.

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal

seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang

yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya

yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga

dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya

ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

BAB IV

15

Page 17: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

4.1. Sejarah Perkampungan Luar Batang

Kampung Luar Batang, itulah nama sebuah pemukiman penduduk yang berada

diwilayah Penjaringan-Jakarta Utara. Tepatnya di belakang bangunan bekas gudang yang

sekarang menjadi Museum Bahari.

Siapa menyangka lokasi padat dengan luas kurang lebih 16,5 hektar ini merupakan

salah satu lokasi perkampungan tertua di Jakarta.

Diperkirakan perkampungan ini terbentuk pada masa-masa awal kekuasaan VOC

tahun 1620-an. Saat itu, guna memenuhi kebutuhan pekerja dalam membangun kawasan

pelabuhan Sunda Kelapa serta bangunan-bangunan penting lain seperti Kastil dan benteng

Batavia, pemerintahan VOC menggunakan banyak tenaga kerja yang ditempatkan di lokasi

ini.

Wilayah ini sempat mendapat julukan sebagai “Kampung Jawa”, karena sebagian

besar pekerja yang ditempatkan disini berasal dari suku jawa .

Bahkan dalam sebuah peta yang dibuat oleh Gubernur Jendral Van Der Parra tahun

1780 wilayah ini dinamakan sebagai Javasche Kwartier.

4.2. Asal- Usul Nama Luar Batang

Terdapat banyak versi mengenai asal muasal nama “Luar Batang”. Salah satunya

berkaitan dengan peristiwa “ganjil” yang melegenda tentang hilangnya jenasah seorang guru

agama bernama Habib Husein Bin Abubakar Bin Abdullah Alaydrus dari dalam “kurung

batang” (keranda pengangkut jenasah).

Habib Husein Bin Abubakar Bin Abdullah Alaydrus merupakan seorang ulama

keturunan Yaman yang hidup di abad 17 Masehi.

Sebagai musafir kehidupan Habib Husein kerap berpindah-pindah hingga pada suatu

saat ia berlabuh di Sunda kelapa dan memutuskan menetap di sebuah perkampungan tidak

jauh dari pelabuhan.

Habib Husein dikisahkan mempunyai banyak mukzizat. Ia diceritakan dapat

menghilang dari dalam penjara untuk sekedar memberikan petuah agama pada malam hari

dan kembali ke penjara pada siang harinya tanpa sepengetahuan penjaga (Habib Husein

16

Page 18: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

pernah mendekam di penjara Glodok akibat kecurigaan pemerintah VOC terhadap aktivitas

dakwahnya).

Habib Husein wafat tanggal 24 Juni 1756 atau 27 Ramadhan 1169 (ada yang

menyebutkan bahwa Habib Husein wafat tanggal 27 Juni 1756 atau 17 ramadhan 1169).

Diceritakan, sebelum wafat Habib Husein pernah berpesan agar ia dimakamkan di tempat

tinggalnya.

Namun entah kenapa warga dan para pengikutnya memutuskan untuk memakamkan

beliau di sebuah pemakaman yang terletak diluar kampung. Dari sinilah yang cerita ganjil itu

bermula. Dikisahkan jenasah sang habib selalu keluar dari dalam kurung batang saat

hendak dibawa kelokasi pemakaman. Peristiwa terus terjadi hingga akhirnya Sang Habib di

makamkan di tempat tinggalnya.

Begitu terkenalnya cerita ini hingga kampung tempat terjadinya peristiwa keluarnya

jenasah tersebut dinamakan kampung “Luar Batang” Yang berarti keluarnya jenasah dari

dalam kurung batang. Wallahu alam

Versi lain asal nama kampung Luar Batang diambil dari letaknya yang berada diluar

pintu masuk pelabuhan Sunda Kelapa.

Saat itu, guna mengontrol keluar masuknya kapal ke wilayah pelabuhan,

dibangunlah pos penjagaan di muara sungai Ciliwung. Pos penjagaan ini dilengkapi pagar

yang dibuat dari batang-batang kayu besar yang diletakkan melintang. Seiring dengan

berkembangnya pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan yang sibuk maka, areal

seputar pelabuhan pun mulai hidup. Satu per satu wilayah perkampungan bermunculan.

Salah satunya adalah kawasan perkampungan pekerja kasar dan nelayan yang berada

diluar pintu masuk pelabuhan.

Entah siapa yang memulai, akhirnya orang mengenal perkampungan tersebut

sebagai kampung “Luar Batang”. Nama Luar Batang sendiri tidak memiliki arti apa-apa

kecuali bahwa kampung tersebut berada di luar wilayah pelabuhan yang dipagari dengan

batang-batang kayu besar.

4.3. Wisata Perkampungan Luar Batang

17

Page 19: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Meskipun saat ini kondisi Kampung Luar Batang tidak begitu teratur akibat padatnya

perumahan penduduk disekitar lokasi, namun secara garis besar kawasan Kampung Luar

Batang merupakan salah satu tempat menarik untuk dikunjungi. Tipe rumah-rumah nelayan

yang dilengkapi oleh berbagai jenis perahu kecil merupakan salah satu objek tersendiri

selain adanya dua buah bangunan tua berupa sebuah masjid dan makam milik Habib

Husein Bin Abubakar Bin Abdulah Alaydrus yang selalu rutin dikunjungi para peziarah.

Sementara, disekitar kawasan ini dikenal memiliki banyak bangunan peninggalan

sejarah yang masih terjaga. Adanya bangunan bekas gudang tua yang dialih fungsikan

sebagai “Museum Bahari”, bangunan menara Syahbandar dan Pasar Ikan serta lokasi

pelabuhan Sunda Kelapa dengan kapal kayu dan kesibukannya dapat dijadikan satu paket

wisata saat akan berkunjung ke wilayah Kampung Luar Batang.

4.4. Masjid Jami’ Keramat Luar Batang

Sejarah Masjid Luar Batang belum dapat disusun dengan jelas karena sumber-

sumber historis yang tersedia bertentangan dengan pandangan umum sekarang ini, dan

kurang lengkap. Berita tertua berasal dari seorang turis Tionghoa, yang menulis bahwa pada

tahun 1736 ia meninggalkan Batavia dari sheng mu gang, artinya 'pelabuhan makam

keramat', yaitu dari pelabuhan Sunda Kelapa sekarang, maka pada tahun 1736 sudah

terdapat suatu makam yang dianggap keramat di daerah pelabuhan Batavia, walaupun

Habib Hussein belum meninggal dunia.

Pada tahun 1916 telah dicatat diatas pintu masjid, bahwa gedung ini selesai

dibangun pada 20Muharam 1152 H yang sama dengan 29 April 1739. Kiblat masjid ini

kurang tepat dan ditentukan lebih persis oleh Muh. Arshad al-Banjari waktu singgah

perjalanan pulang dari Hejaz ke Banjar pada tahun 1827. Masjid ini kurang berkiblat, sama

seperti Masjid Kebon Sirih dan Cikini. Oleh karena itu, ada penulis (mis. Abubakar Atjeh)

yang beanggapan, bahwa semula ruang masjid ini adalah bekas rumah kediaman orang,

yang kemudian digunakan sebagai mushola atau masjid.

Pada sebuah batu dalam Masjid Luar Batang ditulis, bahwa 'al Habib Husein bin

Abubakar Bin Abdillah al-Alaydrus yang telah wafat pada hari kamis 27 Puasa 1169

berkebetulan 24 Juni 1756. Batu ini dibuat antara tahun 1886 dan 1916. sebab, L.W.C, Van

18

Page 20: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

Berg dalam buku yang termasyur tentang orang Hadhramaut, menyebut, bahwa Habib

Husein baru wafat 1798. Sedangkan Ronkel sudah menyebut batu peringatan tersebut

dalam karangannya yang diterbitkan pada tahun 1916.

Koran Bataviaasche Caurant, tanggal 12 Mei 1827, memuat suatu karangan tentang

Masjid Luar Batang. Dicatat dalam tulisan ini, bahwa Habib Husein meninggal pada tahun

1796, setelah lama berkhotbah diantara surabaya dan Batavia. Pada tahun 1812 makamnya

dikijing dengan batu dan masih terletak di luar gedung masjid sampai tahun 1827. Pada

waktu ini rupanya derma tidak lagi diterima oleh komandan(semacam lurah) daerah Luar

Batang, tetapi dinikmati oleh(pengurus) masjid sehingga gedung bisa diperluas.

Di lain pihak suatu masjid bukan surau telah dicatat pada peta yang dibuat

C.F.Reimer pada tahun 1788.

Dengan merangkumkan segala data yang tersedia, dapat dikatan bahwa suatu

makam yang dianggap keramat sudah terdapat di Luar Batang pada tahun 1736 Mushola

atau masjid didirikan 1739, Habib Husein tinggal diadaerah itu dan meninggal tidak sebelum

1756 (mungkin baru pada tahun 1796 atau 1798), makam keramat Habib Huseinlah yang

menarik banyak peziarah, sehingga Masjid Luar Batang menjadi Masjid terkenal di Batavia

lama. Walaupun data-data ini (agak) pasti, masih timbul beberapa pertanyyan yang

mengyangkut sejarah masjid ini. Sebelum diusahakan suatu jawaban, maka disajikan

beberapa kutipan dari pengarang lain.

Dan Masjid ini banyak dikunjungi oleh para pejabat-pejabat Negara baik kalangan

dalam negeri mapun Luar negeri, Masjid ini sekarang in sudah banyak direnovasi dan

penanggung jawab langsung adalah Bapak Gubenur DKI Jakarta ( Bpk. Fauzi Bowo).

BAB V

PENUTUP

19

Page 21: MENGENAL LEBIH DEKAT  PERKAMPUNGAN CINA BENTENG, KAMPUNG BETAWI SETU BABAKAN DAN PERKAMPUNGAN LUAR BATANG

 

 

A.    Simpulan

Setelah menyusun karya tulis ini, kami menyimpulkan :

1. Walaupun era globalisasi sudah mengubah seluruh aspek kehidupan, ternyata masih

ada beberapa orang yang melestarikan dan menjaga eksistensi budaya asli mereka.

2. Multikulturalisme bangsa Indonesia bisa dijadikan sebagai daya tarik wisatawan

domestik maupun asing untuk mengunjungi Indonesia.

3. Keberadaan kampung budaya bisa dijadikan sebagai lapangan pekerjaan bagi warga

sekitar.

4. Kampung budaya bisa dijadikan alat pembelajaran bagi para generasi muda agar

lebih mengenal budaya asli Indonesia tanpa harus membayar mahal.

 

B.     Saran

Setelah menyusun karya tulis ini, kami menyarankan :

1. Pemerintah dan masyarakat di sekitar kampung budaya diharapkan tetap menjaga

kampung budaya yang sudah ada agar tetap lestari.

2. Hendaknya pemerintah dan masyarakat sekitar kampung budaya lebih

meningkatkan sarana dan prasarana tanpa mengurangi kesan asli kebudayaan

tersebut agar lebih menarik banyak pengunjung.

3. Pemerintah diharapkan lebih mempromosikan kampung budaya yang sudah ada ke

khalayak luas agar keberadaan kampung budaya bisa lebih dikenal.

20