pembangunan perkampungan di kota …... · kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya pembangunan...

100
PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun oleh: Daryadi C.0504017 ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009

Upload: phungnhan

Post on 26-Feb-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN

MANGKUNEGARA VII

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

Daryadi C.0504017

ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2009

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN

MANGKUNEGORO VII

Disusun oleh

DARYADI C0504017

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing

Drs. Tundjung. W.S, M.Si NIP. 131 792 938

Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 131 570 156

PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN

MANGKUNEGARA VII

Disusun oleh

DARYADI C0504017

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada Tanggal.............................

Jabatan Nama Tanda Tangan Ketua (.................................) Sekretaris (.................................) Penguji I (.................................) Penguji II (.................................)

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Drs. Sudarno, MA NIP. 131 472 202

PERNYATAAN

Nama : Daryadi NIM : C0504017 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Juni 2009

Yang membuat pernyataan

Daryadi

MOTTO

Katakanlah, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun

berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan

memperoleh hasil yang baik dari dunia ini”. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu

tidak akan mendapat keberuntungan

(QS. Al An-am: 135)

Sebelum kita berani mati lebih baik kita berani hidup dahulu,

karena hidup adalah perjuangan

(Penulis)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

v Bapak dan Ibuku tercinta

v Kakak-Kakakku tersayang

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang

telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada penulis,

hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan

Mangkunegara VII”.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material

maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan

selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:

1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra

dan Seni Rupa, serta selaku Pembimbing Akademis penulis selama masa studi di

Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan

Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Tundjung W.S, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang memberikan banyak

dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu dan wacana

pengetahuan.

6. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas

Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, dan Perpustakaan

Sonopustoko Kasunanan.

7. Ibu Koestrini Soemardi, Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan

Reksopustoko Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada

penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

8. Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus

ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

9. Saudara-saudaraku: Mas Moch, Mbak Erna, dan Mas Triyadi yang selalu

memberikan dukungan baik moril maupun materiil.

10. Teman-temanku angkatan 2004, tetap kompak dan cepat menyelesaikan skripsi.

11. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan

skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini

menjadi lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surakarta, Juni 2009

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................... iv

HALAMAN MOTTO....................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vi

KATA PENGANTAR....................................................................................... vii

DAFTAR ISI..................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL............................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xiii

DAFTAR ISTILAH.......................................................................................... xiv

ABSTRAK........................................................................................................ xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1

B. Rumusan Masalah...................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian....................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian..................................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka........................................................................ 6

F. Metode Penelitian...................................................................... 10 1. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 11 2. Analisa Data.......................................................................... 12

G. Sistematika................................................................................ 14 BAB II WILAYAH ADMINISTRASI PRAJA MANGKUNEGARAN

PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII

A. Perkembangan Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran... 15

B. Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa

Mangkunegara VII....................................................................

25

C. Struktur Birokrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa

Mangkunegara VII.....................................................................

27

BAB III PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA

MASA MANGKUNEGARA VII

A. Struktur Penduduk di Kota Mangkunegaran Pada Masa

Mangkunegara VII..................................................................

36

B. Pola Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa

Mangkunegara VII

40

1. Perkampungan Pribumi....................................................... 41

2. Perkampungan Eropa.......................................................... 45

3. Pasar di Kota Mangkunegaran............................................ 46

C. Toponimi Perkampungan di Kota Mangkunegaran 48

1. Nama Kampung Berdasarkan Nama Orang yang

Terkenal............................................................................

48

2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan dalam

Pemerintahan......................................................................

50

3. Nama Kampung Berdasarkan Keadaan Setempat dan

Aktivitasnya........................................................................

52

4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru........................... 55

BAB IV PERANAN MANGKUNEGARA VII BAGI PEMBANGUNAN

PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN

A. Sikap dan Tindakan Mangkunegara VII Bagi Praja

Mangkunegaran.........................................................................

58

1. Mangkunegara VII Sebagai Raja yang Bijaksana.............. 60

2. Mangkunegara VII Sebagai Raja Pembaharu...................... 62

B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegara VII.................. 65

C. Dinas Pekerjaan Umum Pada Masa Pemerintahan

Mangkunegara VII....................................................................

69

D. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran........... 71

1. Pembangunan WC Umum / Kakus Umum......................... 72

2. Pembangunan Pancuran Umum.......................................... 73

3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air............................. 74

4. Perbaikan Jalan dan Jembatan............................................ 74

5. Pengadaan Penerangan Jalan.............................................. 76

6. Pembangunan Bale Kampung / Kantor Kalurahan............ 77

7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh...................................... 78

8. Pembangunan Mentalitas Penduduk.................................. 79

BAB V KESIMPULAN............................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 86

LAMPIRAN........................................................................................................ 87

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Luas awal wilayah Mangkunegaran........................................................21

Tabel 2 Perbandingan luas swapraja yang ada di Jawa Tengah..........................24

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 PetaKota Mangkunegaran Tahun 1939......................................................87

Lampiran 2 Gambar-Gambar Mangkunegaran...............................................................88

Lampiran 3 Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum........................93

Lampiran 4 Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air.........................................97

Lampiran 5 Surat Permohonan Penerangan Jalan..........................................................99

Lampiran 6 Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan...................................101

Lampiran 7 Pembukaan Bale Kampung Manahan.......................................................106

DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN DAN UKURAN

1. Istilah

Ajeg : Tetap sama

Akulturasi : Proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih

Antaka : Api

Bekel : orang yang mengurus apanage, pemungut pajak,

kepala desa, petani penghubung antara pemilik

desa/penguasa desa dengan penggarap tanah

Borjuis : golongan kaum hartawan

Budaya : hasil cipta, rasa dan karsa manusia

De Beweging : surat kabar milik Indische Partij

Epidemi pest : wabah penyakit pes

Instruktif : mengandung pelajaran

Legiun : pasukan bala tentara

Lurah : kepala kalurahan

Kecu : Perampok atau preman

Onderregentscap : se-tingkat kabupaten

Panewu : kepala rendahan yang membawahi 1000 cacah

Sepektur manekwesen : kepala pasar

Vaccin otten : vaksin untuk penderita penyakit pes

Villa park : pemukiman orang-orang Eropa

Vorstenlanden : Kerajaan Jawa

Wedana : kepala distrik

Zieken zorg : rumah sakit pusat

2. Singkatan

B.R.M : Bendara Raden Mas

B.R.M.H : Bendara Raden Mas Harya

H.I.S : Hollands Inlandshe Scholl

I.S.D.V : Indische Socialische Demokratie Vereeneeging

K.G.P.A.A : Kangjeng Gusti Pangeran Ario Adipati

K.P.A : Kangjeng Pangeran Ario

N.I.S : Nederlandsch Indische Spoorweg

R.M : Raden Mas

R.Tg : Raden Tumenggung

S.E.M : Solo Electricitiet Maatschappij

V.O.C : Vereenigde Oost Indische Compagnie

3. Ukuran

1 karya : 1 cacah

1 cacah : 1 bahu

1 bahu : 7000 m2

1 jung : 4 bahu

4 bahu : 2,8 ha

ABSTRAK

Daryadi. C0504017. 2009. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Alasan Mangkunegara VII mengembangkan pemukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran, (2) Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran.

Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonomi, dan sosiologi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan di perkampungan baru berlangsung pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. Sebelumnya perkampungan di kota Mangkunegaran tidak teratur dan lingkungan serta rumah-rumah penduduknya kumuh dan tidak sehat. Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII pembangunan perkampungan semakin ditingkatkan untuk menyejahterakan penduduknya. Pembangunan yang dilakukannya antara lain: pembangunan WC umum, pembangunan pancuran umum, pembangunan saluran pembuangan air, pembangunan jalan dan jembatan, pengadaan penerangan jalan, pembangunan bale kampung, perbaikan rumah-rumah kumuh, dan pembangunan mentalitas penduduk.

Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran mempunyai dampak, penduduk dapat menikmati hasil modernisasi di daerahnya dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas umum, sehingga penduduk dapat hidup dengan bersih, sehat dan teratur, serta dapat dengan mudah melakukan aktivitasnya di perkampungan.

ABSTRACT

Daryadi. C0504017. 2009. The Development of Countrified in Mangkunegaran Town At

The Mangkunegaran VII’s Governance Period. Skripsi: Department of Historical

Science, Letters and Fine Arts Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.

The title of this research is The Development of Countrified in Mangkunegaran Town

At Mangkunegaran VII’s Governance Period. The purpose of this research are to know :

( 1) reason of Mangkenagaran VII that developed countrified settlement in

Mangkunegaran Town, ( 2) how the pattern of kampong’s growth in Mangkunagaran

Town area.

This research is historical research, so that the steps that was done in this

research contain: heuristic, criticize of the source (both intern goodness and also

ekstern), interpretation, and histograft. Data collecting technique that was used in this

research were document study and book study. From the data collecting, then the data

was analysed and interpreted based on the chronologize. Data analize was done by the

other social science approach as historical scince assist. The approaches that were done

in this research were economical and sociological approach.

The result of this research shows that developing of the new countrified was

taken place at the Mangkunegaran VII’s governance period. Before that, countrified in

Mangkunegaran Town was irregular and the environmental and also environment and

houses of its resident was dirty and unhealthy. At the Mangkunegaran VII’s governance

period the countrified developing was improved progressively to increase its resident

prosperity. The developmences that were done were is public toilet building, public

douche building, water dismissal channel building, street and bridge buiding, street

lighting existing, kampong hall building, dirty houses reconstruction, and resident

mentality building.

The conclussion of this research is the development of countrified in

Mangkunegaran Town has effects, the resident could enjoy the results of their area

modernization by public facility building, so that the resident could life cleanly,

healthly, and regularly, and also could do their activity in their countrified easily.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau dan dikelilingi lautan

yang luas. Letak geografis Indonesia yang begitu sangat berpengaruh terhadap

perkembangan kota-kota di Indonesia. Kota-kota tua di Indonesia berada di daerah

pedalaman yang berada di sekitar sungai-sungai besar dan daerah pantai Jawa serta

pulau-pulau besar yang lainnya. Kota-kota tua tersebut selalu terletak berdekatan

dengan pusat-pusat pemerintahan di kerajaan yang menawarkan keamanan bagi kota-

kota itu.1

Kota-kota tua yang terdapat di Indonesia, baik kota pedalaman maupun kota

pesisir pantai mempunyai ciri-ciri yang berbeda, yakni:

1. Kota Pedalaman

Kota-kota di daerah pedalaman merupakan pusat-pusat administrative, sehingga

dari kota ini raja memiliki wewenang untuk mengatur wilayah yang ada

disekitarnya. Kota pedalaman mempunyai fungsi memberikan berbagai macam

barang dan jasa untuk keraton. Kota itu juga menikmati kemegahan yang

melimpah dari istana kerajaan.

2. Kota Pesisir Pantai

Kota pesisir mempunyai atmosfer yang lebih kosmopolitan. Pedagang asing dan

pengrajin ahli merupakan proporsi penduduk yang besar di kota pesisir. Kota

pesisir sangat terpengaruh oleh oleh berbagai kontak dengan negara asing. Para

1 Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.

Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal: 133 1

pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam wilayah, menurut negara asal di

bawah kepala kelompok mereka.

Sekitar abad 18 perkembangan kota di Indonesia mengalami babak yang baru,

itu terjadi atas prakarsa Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen yang ingin membangun

sebuah tiruan dari kota Belanda lama dalam bentuk Batavia, yang berada di pantai utara

Jawa. Jan Pieterszoon Coen mempunyai keinginan untuk mengisi kota Batavia dengan

warga Belanda dan juga ingin memindahkan karakter dan budaya borjuis Belanda ke

Indonesia. Kota itu dengan cepat berkembang menjadi Kota Timur yang khas dan

memberikan contoh akulturasi yang sangat instruktif.2 Perkembangan perkotaan di

Indonesia semakin pesat sekitar tahun 1870 dengan adanya system liberal atau

perusahaan bebas yang sangat memegang peranan penting bagi perkembangan

perkotaan di Indonesia.

Praja Mangkunegaran didirikan pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said. Praja

Mangkunegaran berdiri sebagai hasil perjuangan melawan Belanda. R.M Said baru

berusia 16 tahun ketika memimpin perjuangan melawan Belanda. Perjuangan R.M Said

ini tidak dapat dipisahkan dari kericuhan yang ada di kerajaan Mataram pada akhir abad

17. Sejak awal abad 17, daerah Mataram sudah diperintah secara langsung oleh Belanda

yang mengakibatkan golongan pro dan kontra di kerajaan Mataram. R.M Said mulai

tidak senang kepada Belanda berawal dari peristiwa pembuangan ayahnya ke Srilangka

yang disebabkan oleh fitnah Paku Buwono II dan Patih Danurejo yang mempunyai

hubungan yang baik dengan Belanda.3

2 Ibid, hal: 135 3 Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Objek Yang Menarik di

Jawa Tengah. Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yayasan Pariwisata-ABA Bandung. Hal:14

Pada tanggal 17 Maret diadakan perjanjian Salatiga antara R.M Said, Paku

Buwono III, dan Hamengkubowono I. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru

yaitu Praja Mangkunegaraan, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan

Surakarta. R.M Said diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Kanjeng Gusti

Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I. Perkembangan Praja Mangkunegaran selalu

mengalami pasang surut baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi.Praja

Mangkunegaran mengalami masa keemasaan pada masa pemerintahan Mangkunegoro

VII.

Adipati Mangkunegoro VII (1916-1944) lahir pada hari Kamis Wage tanggal 12

November 1885. Pada masa mudanya dikenal dengan sebutan Bandara Raden Mas

Suparta, kemudian terkenal dengan sebutan Bandara Raden Mas Surya Suparta, putera

Adipati Mangkunegoro V. R.M Suparta diangkat menjadi Prangwedana pada hari Jumat

Pahing tanggal 3 Maret 1916. R.M Suparta ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegoro

VII pada hari Kamis Wage tanggal 4 September 1916.4 pada masa pemerintahan

Mangkunegoro VII pembangunan-pembangunan diberbagai aspek kehidupan rakyat di

Praja Mangukunegaran semakin ditingkatkan.

Mangkunegoro VII banyak melakukan pembangunan irigasi, jalan, dan

jembatan. Pelaksanaan pembangunan tersebut dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan

Umum Praja Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan oleh Adipati

MangkunegoroVII juga keperkampungan di Kota Mangkunegaran. Istilah

4 Dr. Purwadi, M.Hum, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Hal: 566

perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun 1926,

perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan desa.5

Perkampungan yang ada di Kota Mangkunegaran mempunyai cirri-ciri yang

sama dengan kampung-kampung yang terdapat di Kasunanan Surakarta maupun di

Kasultanan Yogyakarta. Perkampungan di Kota Mangkunegaran terdiri dari

perkampungan orang-orang Belanda yang dinamakan Villa Park dan perkampungan

orang-orang pribumi. Perkampungan itu mempunyai ciri masing-masing yang dapat

menunjukkan perbedaannya.

1. Kampung Orang-Orang Belanda / Villa Park

Sesuai dengan namanya kampung tersebut merupakan tempat tinggal orang-orang

Belanda. Kampung Belanda memiliki perancanaan infrastruktur yang baik,

sehingga kampung tersebut mempunyai sarana dan prasarana yang memadai bagi

penduduknya. Kampung ini memiliki model seperti yang ada di negeri Belanda.

2. Kampung Pribumi

Kampung pribumi pada umumnya terdiri dari penduduk asli. Kampung tersebut

umumnya tidak didahulu oleh perencanaan infrastruktur, sehingga jaringan

kotanya kurang memadai. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII

perkampungan tersebut mengalami kemajuan yang pesat dibidang sarana dan

prasarana.

Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis dalam

mengkaji mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran menggunakan judul

“Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan

Mangkunegoro VII)”

5 Dr. Th. M. Metz, 1939. Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Roterrdam: NV Nijgh dan Van

Ditmar. Hal: 48

B. Perumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok

permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apa alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman perkampungan di

Kota Mangkunegaran?

2. Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran?

C. Tujuan Penelitian

Dari perumusan permasalahan diharapakan kajian tentang perkampungan di kota

Mangkunegaran mampu memberikan jawaban atas beberapa permasalahan. Adapun

tujuan dari penelitian ini adalah.

1. Untuk mengetahui alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman

perkampungan di Kota Mangkunegaran.

2. Untuk mengetahui pola perkembangan kampung di wilayah Kota

Mangkunegaran.

D. Manfaat Penelitiaan

Dari kajian tentang perkampungan di kota Mangkunegaran, maka penelitian ini

diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang perkampungan

yang ada di Kota Mangkunegaran

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat

khususnya masyarakat Surakarta. Mengenai pembangunan perkampungan yang

dilakukan oleh Mangkunegoro VII.

E. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa literatur dan referensi yang

relevan dan menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan penulis jadikan bahan

acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur

yang penulis gunakan antara lain:

Mengenang BRM. Soerya Soeparto merupakan buku yang ditulis oleh

Bernardial Hilmiyah M.D, 1985. Buku ini membahas mengenai kehidupan Soerya

Soeparto sebelum beliau menjadi Mangkunegoro VII sampai menjadi Mangkunegoro

VII. Buku ini juga menceritakan bahwa ketika naik tahta, ia di hadapkan pada banyak

kesulitan, sebab dalam lingkungan masyarakatnya telah muncul kelompok baru yang

becita-cita memperjuangkan nasib serta penghidupan rakyat. Oleh karena itu tugas

Mangkunegoro VII adalah membawa kemajuan duniawi dan kemajuan spiritual

rakyatnya. Namun demikian, buku ini sebagian besar sumber acuannya berasal dari

sumber sekunder. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, tulisan Bernardial

Hilmiyah itu sangat berguna sekali. Membaca buku itu, penulis mendapatkan beberapa

informasi awal tentang modernisasi di Praja Mangkunegaran, yang kemudian memberi

inspirasi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam.

Buku yang berjudul Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa yang

ditulis oleh Dr. Th. M. Metz, dan telah diterjemahkan oleh RTg. Muhammad Husodo

Pringgokusumo, 1987. Buku ini berisi mengenai Praja Mangkunegaran pada masa

pemerintahan Mangkunegoro VII. Buku ini membahas mengenai perkembangan dan

kemajuan yang pesat di Kadipaten Mangkunegaran di bidang ekonomi yang terdiri dari

masalah agraria, irigasi, perusahaan-perusahaan dana milik, pekerjaan umum,

kehutanan, kredit rakyat, pasar, penyediaan pangan pada masa paceklik, kebudayaan

dan kesenian, dan keuangan Mangkunegaran.

Namun demikian, karya ini tidak boleh sebagai sumber primer murni karena

tidak semua nformasi yang ia sampaikan merupakan hasil pandangan mata si penulis,

tetapi ada beberapa yang berasal dari sumber lain. Akan tetapi sekalipun informasi yang

diberikan merupakan campuran antara sumber primer dan sumber sekunder, namun di

dalamnya banyak mengandung unsur-unsur yang bersifat primer. Buku ini menyajikan

sejumlah data tentang Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII. Data-data itu

sangat berguna untuk merekonstruksikan modernisasi, khususnya bagi perkampungan di

Praja Mangkunegaran dan juga untuk mengetahui peranan dan tindakan yang dilakukan

Dinas Pekerjaan Umum bagi pembangunan perkampungan di Kota Mangkunegaran.

Buku yang berjudul Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Adiningrat

yang ditulis oleh Drs. Radjiman, tahun 1984. Buku ini dibagi menjdi dua bagian yakni,

bagian pertama berisi mengenai Kerajaan Mataram Surakarta, Kasunanan Surakarta

Adiningrat, dan Toponomi Kota Surakarta. Bagian kedua berisi mengenai Struktur

Birokrasi Mataram, Struktur Birokrasi Kasunanan Surakarta, dan Struktur Birokrasi

Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono IX. Buku ini juga membahas mengenai Sejarah

pemberian nama kampung-kampung yang ada di wilayah Kasunanan maupun

Mangkunegaran. Akan tetapi, buku ini banyak menggunakan babad sebagai sumber

acuannya seperti Babad Tanah Jawi yang terlalu banyak diisi dengan folklore yang

berkembang di dalam masyarakat. Buku ini juga menggunakan sumber yang lain seperti

Rijksblad, Staatsblad, dan Bijblad yang digunakan untuk memperkuat tulisannya. Buku

ini membantu di dalam mengetahui batas-batas perkampungan di Kasunanan dan

Mangkunegaran dan asal-usul nama-nama kampung di Kota Mangkunegaran.

Dalam buku Ketataprajaan Mangkunegaran yang ditulis oleh Muhammad

Dalyono, SH dan diterjemahkan oleh R.M Sarwanto Wiryosaputro, 1977. buku ini

membahas mengenai ketataprajaan yang ada di Mangkunegaran yang terdiri dari

susunan dan pengisian jabatan, kewenangan ketataprajaan, lingkungan kerja dan

hubungan kekuasaan dengan negara, daerah/wilayah dan orang di Praja

Mangkunegaran. Oleh karena ia sebagai seorang ahli hukum maka cara

pengungkapannya lebih bersifat kaku dan menekankan pada aspek-aspek yuridis formal

dari Praja Mangkunegaran. Akan tetapi, karena buku ini ditulis oleh penulis yang hidup

sejaman dengan peristiwa yag diteliti dan juga diterbitkan pada masa itu, maka validitas

isi dari buku itu dapat dipertanggungjawabkan. Buku ini sangat membantu dalam

penelitian ini karena sebagian besar bertumpu pada peraturan-peraturan baik yang

dikeluarkan oleh Praja Mangkunegaran maupun Oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad

XIX – Pertengahan Abad XX), tahun 1994. merupakan tesis dari Drs. Wasino. Karya

ilmiah ini membahas mengenai pembaharuan pemerintahan di Praja Mangkunegaran di

masa pemerintahan Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini membahas pembaharuan di

bidang keuangan dan perekonomian serta pembangunan-pembangunan yang dilakukan

oleh Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini memang menarik karena banyak

menampilkan peranan- peranan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dan

Mangkunegoro VII bagi kemajuan yang pesat di Praja Mangkunegaran. Karya ilmiah

ini juga menggunakan sumber-sumber primer yang berupa arsip dari Mangkunegaran,

surat kabar, dan majalah. Karya ilmiah ini membantu penulis untuk mengetahui hal-hal

apa yang telah dilakukan oleh Mangkunegoro VII salah satunya terhadap perkembangan

di Kota Mangkunegaran.

F. Metode Penelitian.

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah

metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau tidaknya

tujuan yang dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Di dalam hal ini, suatu

metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek yang diteliti.

Terkait dengan hal itu, Koentjoroningrat mengungkapkan bahwa, dalam arti kata yang

sesungguhnya, maka metode (dalam bahasa Yunani methodos) adalah cara atau jalan.

Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu

cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.

Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah

metode historis. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode historis adalah

proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.6

Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan

yang lainnya. (a) Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber

sejarah. Dalam proses ini penulis mengumpulkan bahan di perpustakaan Rekso Pustoko

dan Sono Pustoko, karena di tempat tersebut banyak terdapat sumber-sumber primer

6 Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press. hal 32

yang sangat membantu dalam penulisan penelitian ini. (b) Kritik sumber yang bertujuan

untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern.7 Kritik

intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern

bertujuan untuk mencari keaslian sumber. (c) Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap

data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi

adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan

bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh.8 (d)

Historiografi, yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam

suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber berupa studi

dokumen dan studi pustaka.

a. Studi Dokumen

Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau,

maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen

dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan

dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam

arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat

kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.9 Di satu sisi dokumen dalam arti

luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya. Penggunaan dokumen

dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen

mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan

7 Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hal.58. 8 Ibid, hal. 64. 9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT.

Gramedia. hal. 98

dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga

dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa.10

Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran

tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian historis

tentang fenomena yang unik.11 Dokumen yang berhasil penulis kumpulkan

untuk penelitian ini antara lain: Arsip-arsip dari Dinas Pekerjaan Umum:

Anggaran pembangunan wc umum dan pancuran umum kode L. 436,

Anggaran pembangunan saluran pembuangan air kode H. 204, Rijksblad

Tahun 1939. No. 23, Peta Kota Mangkunegaran, dan sebagainya.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian.

Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan

dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah

pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber

pustaka yang digunakan antar lain: buku, majalah, surat kabar, artikel dan

sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Studi

pustaka dalam penelitian ini di lakukan di perpustakaan Reksa Pustaka

Mangkunegaran.

2. Teknik Analisa Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi

analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang

terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah

10 Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu

Alternati. Jakarta: PT. Gramedia. hal 97-122 11 Sartono Kartodirdjo. 1983. “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat,

Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. hal. 47.

itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah

diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah

diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan

dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12

Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah

analisa historis. Yaitu analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu

fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah

agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini

terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini

kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.

G. Sistematika Skripsi

Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab.

Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang

menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun

Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian, dan sistematika skripsi.

Bab II, dalam bab ini menguraikan gambaran umum yang mencangkup sejarah,

wilayah, dan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran.

12 Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: yayasan Indayu. hal

36

Bab III, dalam bab ini mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran

termasauk didalamnya struktur penduduk, pola perkampungan, dan asal-usul nama

kampong di Kota Mangkunegaran.

Bab IV, dalam bab ini mengenai peranan Mangkunegoro VII bagi pembangunan

perkampungan di Kota Mangkunegaran.

Bab V, dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan.

BAB II

WILAYAH ADMINISTRATIF PRAJA MANGKUNEGARAN

PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII

A. Perkembangan Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran

Praja Mangkunegaran didirikan oleh R.M Said. Ia merupakan putera dari K.P.A

Mangkunegoro, dan merupakan cucu dari Sunan Amangkurat IV. K.P.A Mangkunegoro

sebenarnya merupakan pengganti Sunan Amangkurat IV, tetapi dalam kenyataannya

yang menggantikan tahta adalah Sultan Sepuh, yang bergelar Sunan Paku Buwono II.

KPA Mangkunegoro karena menentang dan tidak disenangi Belanda maupun Sunan

Paku Buwono II, kemudian dibuang ke Ceylon, dan meninggal di Tanjung Harapan.13

Berdirinya Praja Mangkunegaran merupakan dampak dari konflik-konflik perang

perebutan tahta kerajaanyang telah terjadi pada masa sebelumnya. Geger Pacinan

merupakan konflik awal perebutan kekuasaan di Mataram Kartosura. Peristiwa ini

berawal dari pemberontakan orang-orang Cina di batavia pada tahun 1740 yang

kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa. Peristiwa ini juga melibatkan para

bangsawan Mataram, yang termasuk di dalamnya Raden Mas Said.14

Pemberontakan Cina di Mataram dipimpin oleh R.M Garendi atau yang lebih

dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Pemberontakan itu mengakibatkan jatuhnya

Istana Kartosuro ketangan musuh, kemudian oleh Sunan Paku Buwono II istana

dipindahkan ke sebelah timur yaitu ke desa Sala yang kemudian lebih dikenal dengan

nama Surakarta. Pada tahun 1743 pemberontakan Cina telah dipadamkan oleh kerajaan

13 Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. hal 4-5 14 Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir

Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 34

15

Mataram yang dibantu VOC. Paku Buwono II semakin tidak bebas dalam menentukan

kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya akibat intervensi dari VOC, karena

telah banyak membantu mengusir para pemberontak.15

R.M Said tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Paku

Buwono II, yang sebenarnya masih untuk menuntut hak-haknya sebagai putera dari

K.P.A Mangkunegoro. Dalam perlawananya Mas Said didukung oleh 18 pembantu

utama yang merupakan putera pejabat Keraton Kartosuro, yang kemudian dikenal

sebagi Punggawa Baku.16 Selain dibantu oleh 18 pemuda itu, Mas Said juga mendapat

bantuan dari Raden Sutowijoyo yang kemudian mendapat gelar Kyai Ronggo

Panambangan, dan Kyai Kudawarsa. Mas Said dan para punggawanya mempunyai ikrar

“tiji-tibeh” yaitu :mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh, yang artinya mati satu

mati semua, bahagia satu bahagia semua.17

Perlawanan Mas Said sangat menyulitkan Sunan Paku Buwono II dan VOC.

Paku Buwono II kemudian menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di

daerah Sukowati (Sragen) bagi mereka yang berhasil menghalau Mas Said dan kawan-

kawannya dari daerah itu. Pangeran Mangkubumi menerima tawaran dari Paku Buwono

II, walaupun sebelumnya juga berkonflik dengannya. Mas Said berhasil dikalahkannya

pada tahun 1746. Paku Buwono II, karena bujukan para penasehatnya tidak memberikan

hadiah kepada Mangkubumi, sehingga membuatnya merasa kecewa.18 Akhirnya

Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Mas Said untuk melawan Paku Buwono II

dan VOC.

15 Ibid 16 Ng. Satyapranawa, 1950. Babad Mangkunegaran. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 29 17 Ibid 18 Wasino, op.cit. hal 35

Mas Said di medan pertempuran pamornya semakin menonjol dan rakyat banyak

yang semakin simpati kepadanya, apalagi setelah Pangeran mangkubumi bergabung

dengannya. Pada tahun 1751 pasukan gabungan ini dapat menghancurkan pasukan

Belanda di bawah Mayor de Clery di lembah Bagawonto. Keberhasilan pertempuran ini

membuktikan bahwa Raden Mas Said seorang pemimpin yang berani dan ahli strategi

perang, sehingga mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo.19

Persatuan antara Mas Said dan Pangeran Mangkubumi menjadi semakin kuat,

setelah Mas Said menikah dengan Puteri Sulung Mangkubumi, yang bernama Raden

Ajeng Inten atau selanjutnya disebut dengan Ratu Bendara. Pada bulan-bulan terakhir

tahun 1752, terjadi perselisihan antara Mas Said dengan Mangkubumi. Mas Said kini

harus berjuang sendiri untuk menghadipi sekutu-sekutu Sunan dan VOC Belanda. Ia

juga menghadapi Mangkubumi yang merupakan mantan mertuanya sendiri. Komandan

Belanda van Honendarf menyarankan kepada Dewan Hindia agar ditawari jabatan

Putera Mahkota, karena melihat situasi yang semakin meruncing, dan usul itu ternyata

diterima. Perundingan kemudian dilakukakan pada tanggal 28 Februari 1753.20

Akan tetapi diperundingan tersebut Mas Said ingin dinobatkan menjadi Raja,

dan bukan sebagai Putera Mahkota. Tindakan Mas Said ini sebagai tekanan terhadap

Belanda, dikarenakan ia baru saja memukul mundur pasukan mangkubumi dalam

pertempuran di sebelah timur Surakarta. Kemenangan yang gemilang ini yang

menyebabkan Mas Said mendekte syarat-syarat perdamaian dengan Belanda yang telah

gagal menyelesaikan secara militer. Mas Said terlalu yakin akan keberhasilannya,

sehingga tidak mau membuat kompromi dengan pihak kompeni. Dalam hal ini ia

19 Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal 46 20 Wasino, op.cit. hal 36

kurang waspada terhadap Mangkubumi, yang justru bersedia mengadakan perundingan

dengan pihak VOC. Mangkubumi menyetujui kesepakatan yang agak realistis, yakni ia

menerima separo dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan VOC atas pesisir, dan

bersekutu dengan VOC untuk melawan Mas Said.21

Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi perjanjian Giyanti antara Pangeran

Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III. Kedua belah pihak akhirnya menerima

masing-masimng separo dari tanah kerajaan Mataram yang bukan menjadi wilayah

kekuasaan VOC. Konflik dinasti yang berkepanjangan di Surakarta ternyata belum

dapat diselesaikan. Mas Said tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan

pasukannya untuk melawan tiga kekuatan yang bersekutu. Pada bulan Oktober 1755 ia

masih berhasil mengalahkan pasukan VOC dan pada bulan Februari 1756 ia hampir

berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Pasukan-pasukan gabungan itu tidak

berhasil dan tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi ia yang berjuang sendirian tidak

mampu menaklukkan Jawa.22

Pasukan Mas Said mulai mengalami banyak kekalahan-kekalahan yang

dikarenakan semakin berkurangnya jumlah pasukan dan membelotnya beberapa

pengikut kepada pasukan-pasukan musuh. Situasi yang nampak semakin gawat, Mas

Said sudah dapat membaca ketidakseimbangan antara pasukannya dalam menghadapi

pasukan gabungan yang besar itu, maka ia berusaha untuk menghentikan peperangan

yang mulai tidak seimbang melalui perundingan dengan Sunan dan VOC. Melalui

adiknya Pangeran Timur, ia memberikan tawaran perdamaian kepada Sunan.

21 Ibid. hal 37 22M.C Ricklefs, 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal

148-150

Perundingan ini diambil oleh Mas Said, karena ia berharap bahwa setelah Sunan

meninggal ia dapat menggantikannya sebagai Raja. Pangeran Timur yang menjadi

utusan menyampaikan permohonan Mas Said kepada Sunan agar tanah Jawa hanya

diperintah oleh seorang raja saja, tetapi apabila tidak bisa ia menerima saja keputusan

Sunan asal ia mendapat hak atas tanah Laroh, Matesih, Keduwang, dan Pacitan. Dari

pihak VOC melalui Hartingh juga mendesak agar diadakan perundingan untuk

mengakhiri perang saudara yang berlarut-larut.23 Pada tanggal 24 Februari 1757 di

Gogol, daerah sesbelah selatan kota Surakarta, Mas Said sembari bersujud ia

menyerahkan diri secara sukarela kepada Susuhunan Paku Buwono III.24 Pertemuan ini

merupakan awal dari pertemuan yang selanjutnya di Salatiga pada tanggal 17 Maret

1757.

Dalam pertemuan di Salatiga tanggal 17 Maret 1757, yang dihadiri pula oleh

Patih Danurejo dari Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan ini membahas mengenai

kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Pertemuai ini akhirnya dapat dicapai

beberapa kesepakatan, walaupun melalui perdebatan antara kedua belah pihak.

Kesepakatan ini isinya sebagai berikut: (1) Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji,

yang kedudukannya tepat dibawah Sunan. Ia memakai gelar Pangeran Adipati

Mangkunegoro, (2) Ia juga mendapatkan tanah sebesar 4000 karya, yang terletak di

Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu terletak disekitar Surakarta

Tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta, (3) Mas Said harus bersumpah setia

kepada Sunan, Sultan, VOC dan berjanji akan datang di hari-hari tertentu (senin, kamis,

dan sabtu). Mas Said juga harus selalu tunduk kepada perintah Raja. Ia juga harus

23 A.K Pringgodigdo, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta: Reksa

Pustaka. hal 8 24 G.P Rouffaer. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 34

tinggal dan berkedudukan di Ibu Kota Surakarta.25 Berdasarkan perjanjian Salatiga

tahun 1757, maka berdirilah Praja Mangkunegaran yang wilayahnya meliputi Laroh,

Matesih, Keduwang, dan Gunung Kidul.

Praja Mangkunegaran merupakan salah satu bagian dari empat swapraja yang

ada di Jawa Tengah. Wilayah Mangkunegaran terletak dibagian timur dan utara

Surakarta, juga sebagian terletak di wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Wilayah

Mangkunegaran di sebut sebagai desa Babok. Desa Babok merupakan tanah-tanah atau

wilayah permulaan dari Praja Mangkunegaran.26 Luas wilayah Praja Mangkunegaran

4000 karya ketika berdiri, dan terus mengalami perubahan sejak berdirinya kerajaan itu.

Tabel I

Desa Babok Mangkunegaran

Nama Daerah Jumlah (Jung)

Keduwang

Laroh

Matesih

Wiraka

Haribaya

Hanggabayan

Sembuyan

Gunung Kidul

Pajang (sebelah selatan jalan besar Surakarta-Kartosura)

Pajang (sebelah utara jalan besar Surakarta-Kartosura)

Mataram (pertengahan Yogyakarta)

Kedu

141

115,5

218

60,5

82,5

25

133

71,5

58,5

64,5

1

8,5

Jumlah 975,5

Sumber: Pringgodigdo, op.cit. hal 10 dan Rouffaer, op.cit. hal 9

25 A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 8-9 26 Sutrisno Adiwardoyo, 1974. Skripsi: Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai

Masuknya Ke Provinsi Jawa Tengah. Surakarta: IKIP Surakarta. hal 28

Menurut Wasino, wilayah dan batas-batas Praja Mangkunegaranyang didasarkan

perjanjian Salatiga 1757 itu memang kurang jelas. Hal ini di karenakan, surat

perjanjiannya sendiri hilang dan tidak dapat ditemukan. Dengan demikian data-data

mengenai wilayah Mangkunegaran yang dikemukakan oleh Rouffaer dan Pringgadigdo

itu hanyalah perkiraan saja.27

Dibawah Pemerintahan Mangkunegoro II (1796-1835), wilayah Praja

Mangkunegaran mengalami perubahan, yakni adanya pertambahan wilayah sebanyak

dua kali. Praja Mangkunegaran mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung atau 1000

karya yang terletak di Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung),

Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung), dan daerah di

lereng Gunung Merapi bagian timur (29,5 jung).28 Bertambahnya luas wilayah Praja

mangkunegaran dikarenakan adanya hubungan kerjasama antara Mangkunegoro II

dengan Inggris untuk melawan Sultan Hamengkubuwono II di Yogyakarta dan

Susuhunan Paku Buwono IV.

Praja Mangkunegaran mengalami penambahan luas wilayah lagi pada tahun

1830. penambahan luas wilayah ini sebagai atas jasa Praja Mangkunegaran dalam

membantu Belanda menghadapi pasukan Diponegoro. Praja Mangkunegaran

27 Wasino, op.cit. hal 51 28 Wasino, loc.cit

memperoleh hadiah berupa tanah 120 jung atau 500 karya yang terletak di Sukowati

bagian utara, sehingga luas wilayah Praja Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro II

menjadi 5500 karya.29

Masa pemerintahan Mangkunegoro II juga terjadi adanya perubahan wilayah

sebagai akibat tukar-menukar tanah yang dilakukan Mangkunegaran dan Kasultanan.

Pertukaran tanah ini dilakukan karena wilayah masing-masing swapraja itu semula

bersifat tumpang-tindih sehingga ada usaha untuk menyatukan wilayah agar tidak

terpencar wilayah swapraja yang lain.30 Perubahan-perubahan yang dilakukan didaerah

Gunung Kidul bagian barat (pajang dan semanu) sebesar 64 jung yang merupakan

daerah Mangkunegaran di tukar dengan 60 jung tanah yang terdiri dari desa-desa di

Yogyakarta didaerah Sembuyan (sebelah Tenggara Surakarta).31

Praja Mangkunegaran Setelah adanya dua kali perubahan luas wilayah dan

pertukaran tanah dengan Kasunanan, luas wilayah Mangkunegaran menjadi 2815, 14

km², meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu

sungai Bengawan Solo menuju ke daerah Gunung Kidul. Daerah selatan Praja

Mangkunegaran membentang pada bagaian timur dari Gunung Sewu yang sangat tandus

hingga ke Samudera Hindia. Di sebelah barat, daerahnya sebagian menuju barat melalui

dataran rendah bengawan Solo sampai pada lereng Gunung Merapi dan Merbabu yang

sangat subur. Batas swapraja Mangkunegaran dan Kasunanan melewati ibu kota

Surakarta. Sebelah utara masuk daerah Mangkunegaran dan sebelah selatan masuk

daerah Kasunanan. Di bagian utara daerah ini merupakan tanah-tanah yang cocok untuk

29 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 28

30 Wasino, op.cit. hal 51

31 A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 19

pertanian dan perhutanan, sedangkan dibagian selatan tidak begitu baik untuk budi daya

pertanian baah dan hanya cocok untuk kehutanan.32 Di daerah selatan ini merupakan

sebagian besar wilayah Praja Mangkunegaran, walaupun ada juga di daerah timur yang

subur di bawah lereng Gunung Lawu.

Wilayah Praja Mangkunegaran Luasnya tidak terpaut jauh dengan swapraja lain

yang ada di Jawa Tengah yakni Kasunanan dan Kasultanan. Jika dibandingkan dengan

wilayah Paku Alaman, wilayah Mangkunegaran lebih luas. Apabila dilihat dari

kesuburan tanahnya, Praja Mangkunegaran memiliki tingkat kesuburan tanah yang

buruk. Perbandingan luas wilayah dari keempat swapraja di Jawa Tengah itu dapat

dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel II

Perbandingan Luas Wilayah Swapraja di Jawa Tengah

No Nama Swapraja Luas Wilayah

1

2

3

4

Kasunanan Surakarta

Kasultanan Yogyakarta

Pura Mangkunegaran

Pura Paku Alaman

3.237.50 Km²

3.049.81 Km²

2.815.14 Km²

122.50 Km²

Sumber: Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Di Jawa. Surakarta: Rekso Pustaka. hal 15

Ibu Kota Mangkunegaran tidak terlalu luas, jika di bandingkan dengan

Kasunanan dan Kasultanan. Ibu Kota Mangkunegaran hanya seperlima dari seluruh

wilayah Karesidenan Surakarta, dan Ibu Kota Kasunanan menempati empat perlima dari

seluruh karesidenan itu. Di Karesidenan Yogyakarta, sebagian besar wilayahnya milik

32 Wasino, op.cit. hal 52

Kasultanan Yogyakarta, dan hanya sebuah wilayah kecil yang terletak disebelah barat

daya dan sebuah en clave disekitar istananya merupakan wilayah Paku Alaman.33

B. Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII.

Pembagian wilayah administrasi Praja Mangkunegaran telah mengalami

beberapa perubahan, yang dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan wilayah

tersebut untuk kemajuan dan kemakmuran Praja Mangkunegaran. Pada masa

pemerintahan Mangkunegoro III perubahan terjadi untuk pertama kalinya, pada

tahun1847 Praja Mangkunegaran dibagi atas tiga daerah Onderregentschap, yaitu:

Wonogiri (meliputi Laroh, Hanggabayan, dan Keduwang), Karanganyar (meliputi

Sukawati, Matesih, dan Haribaya), dan Malangjiwan.34 Di tahun 1875, perubahan

kembali dilakukan untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan penghapusan

Onderregenschap Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregenschap Baturetno

yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa

pemerintahan Mangkunegoro IV, Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga wilayah

admistrasi yaitu: Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno.

Perubahan pembagian wilayah dilakukan lagi pada tahun 1891 masa

pemerintahan Mangkunegoro V. Onderegenschap Baturetno dihapuskan dan

wilayahnya digabungkan dengan Onderregenschap Wonogiri.35 Pada tahun 1903 di

bawah pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi perubahan wilayah yang keempat

33 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta

1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal 1 34 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 30 35 Wasino, op.cit. hal 54

kalinya, yaitu dibentuk Onderregenschap Kota Mangkunegaran. Dengan demikian

daerah Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah administrasi yaitu: Kota

Mangkunegaran, Wonogiri, Karanganyar, dan di tambah enclave Ngawen.36

Pada masa awal pemerintahan Mangkunegoro VII wilayah administrasi Praja

Mangkunegaran tetap menjadi tiga wilayah, tetapi di tahun 1929 terjadi perubahan

wilayah administrasi lagi yang dilakukan dalam rangka penghematan. Hal itu dilakukan

oleh Mangkunegoro VII dikarenakan pada saat itu dampak-dampak krisis ekonomi

yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai dirasakan oleh Praja Mangkunegaran.

Oleh karena itu Mangkunegoro VII menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran, dan

wilayahnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten Karanganyar. Perubahan itu tidak

berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi yaitu penghidupan lagi

Kabupaten Kota Mangkunegaran. Bekas daerah Kabupaten Karanganyar menjadi

daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran.37

Dengan demikian pada tahun 1930 wilayah administrasi Praja Mangkunegaran

menjadi dua wilayah yaitu: Kabupaten Kota Mangkunegaran (meliputi Kawedanan

Kota Mangkunegaran, Kawedanan Karanganyar, Kawedanan Karang Pandan,

Kawedanan Jumapolo) dan Kabupaten Wonogiri (meliputi Kawedanan Wonogiri,

Kawedanan Jatisrono, Kawedanan Wuryantoro, Kawedanan Baturetno).

C. Struktur Birokasi Praja Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII

36 Daerah Onderregentschap disebut daerah Kabupaten. Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1917

No. 331 37 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 31

Praja Mangkunegaran merupakan salah satu dari empat daerah swapraja yang

ada di Jawa Tengah. Oleh karena itu, Praja Mangkunegaran memiliki struktur birokrasi

yang telah tertata dengan baik, Praja Mangkunegaran ini memiliki hubungan politik

yang baik dengan pemerintah kolonial Belanda, hubungan ini membawa dampak yang

baik bagi birokrasi di Praja ini. Praja Mangkunegaran sangat terpengaruh dengan

struktur birokrasi kolonial yang legal – rasional.

Pengageng Pura (Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro) merupakan jabatan

tertingi dan mengendalikan semua aparat yang ada di bawahnya didalam struktur

birokrasi di Praja Mangkunegaran. Pada awalnya pengangkatan pura ini atas kehendak

pemerintah Hindia Belanda dengan persetujuan Sri Susuhunan Surakarta. Akan tetapi

pada akhir abad XX, pengangkatan tidak harus melalui persetujuan dari Susuhunan

Surakarta.38 Mangkunegoro sebagai pimpinan Praja Mungkunegaran memegang sendiri

pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan simbol kerajaan, tetapi sebaliknya, ia

merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Mangkunegoro mempunyai

kekuasaan untuk dapat mengontrol semua aparat-aparat yang ada di bawahnya untuk

hanya tunduk kepada PAA Mangkungoro.

Di bawah PAA Mangkunegoro adalah Patih Mangkunegoro. Pada mula-

mulanya jabatan ini hanya bersifat pribadi tetapi dalam perkembangannya, jabatan Patih

di Mangkunegaran bersifat resmi dalam mengurus pemerintahan sejak Mangkunegoro II

dengan nama Bupati Patih dengan pangkat Tumenggung. Menurut Rijksblad

Mangkunegoro tahun 1917. No 37 Bupati Patih betugas untuk menyelenggarakan

pemerintahan pertama dari perintah raja. Seorang Patih di Mangkunegoro harus

bersumpah setia dihadapan Mangkunegoro, sebelum ia memangku jabatannya. Isi

38 Wasino, op.cit. hal 99-100

sumpah itu hanya akan setia dan melaksanakan tugas-tugas yang diemban sebagai

pegawai di Praja Mangkunegaran.39

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro I hingga Mangkunegoro III aparat-

aparat birokrasi pemerintah di bawah Patih hanya terdiri dari empat jabatan

pemerintahan dengan nama Priyayi Punggawa. Mereka adalah dua orang Lurah dan dua

orang Bekel. Masing-masing dari Priyayi Pungawa itu dibantu oleh 14 orang Jajar.

Tugas dan kewajiban para Pungawa itu menjalankan pemerintahan yang berasal dari

perintah Pangeran Mangkunegoro.40 Dengan demikian, pada masa pemerintahan

Mangkunegoro I sampai Mangkunegoro III pemerintahan hanya terbagi dalam dua

bagian yaitu kekuasan pusat yakni di Istana Mangkunegoro dan kekuasaan daerah yang

dipegang oleh Lurah dan Bekel.

Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV diadakan

pembaharuan didalam struktur pemerintahannya. Dengan Pranatan tanggal 11 Angustus

1867 telah ditetapkan Departemen-Departemen dalam Praja Mangkunegaran diluar

kesentanaan dengan legiun. Departemen-departemen itu disebut Kawedanan yang

terdiri dari 9 macam. Tiap-tiap Kawedanan dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut

Wedana.41 Pemerintahan di Praja Mangkunegaran terbagi menjadi dua bagian yaitu

pemerintah dalam praja dan pemerintah diluar praja. Pola yang digunakan pemerintah

Mangkunegaran mirip dengan struktur birokrasi di kerajaan Mataram yang dibagi

menjadi dua, yakni Wedana Lebet dan Wedana Jawi.42

39 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1924 No. 8 40 Wasino, op.cit. hal 104-105 41 Ibid. hal 106 42 Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.

hal 6

Struktur birokrasi Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan

Mangkunegoro IV. Bupati Patih mempunyai bawahan yakni Reh Jaba dan Reh Jero

yang membawahi beberapa Kawedanan dan Kemantren.

1. Reh Jaba

Pejabatnya : Wedana Reksa Praja yang membawahi tiga Kamantren.

a. Polisi yang bertugas menerima perkara, menjalankan bunyi surat

pemerintah, dan membantu kelancaran pemerintahan Praja.

b. Margatama yang betugas memperbaiki jalan-jalan, tanggul, jembatan,

rumah jaga, kantor pos dan sarana fisik di wilayah Praja Mangkunegaran.

c. Jaksa yang bertugas memutusi perkara dari mereka yang bersengketa,

berkewajiban menjalankan segala undang-undang dan peraturan negara.

2. Reh Jero

a. Kawedanan Hamang Praja terdiri dari tiga kemantren

1) Sastrolukito: pekerjaannya menulis dan menghitung

2) Reksopustoko: pekerjaannya merawat dan menyusun surat-surat yang

dianggap penting

3) Pamong siswo: pekerjaannya mengembangkan kesenian dan

perpustakaan

b. Kawedanan Kartapraja, membawahi dua kemantren:

1) Kartahusada, pekerjaannya melakukan usaha dan berkewajiban

meningkatkan sumber pendapat negara dengan mudah

2) Martanimpura, pekerjaannya menerima setoran pajak dan pendapatan

luar biasa negara, kerig aji, dan semacamnya, yang kemudian

dimasukkan dalam gedong.

c. Kawedanan Martapraja, hanya membawahi satu kemantren, yakni

kemantren Reksahandara yang pekerjaannya menyimpan dan mengetahui

jumlah uang yang berada di gedong dan ditempat lainnya.

d. Kawedanan Karti Praja hanya membawahi satu kemantren, yakni kemantren

Kartipura yang dikerjakan mengadakan perbaikan dalam kota dan luar kota,

serta sebagai pemadam kebakaran.

e. Kawedanan Mandrapura, membawahi empat kemantren:

1) Mardrasena pekerjaannya merawat dan membersihkan perkakas Praja.

2) Reksa Pradipta, pekerjaanya membuat dan menghidupkan lampu.

3) Subapandaya pekerjaannya mengurusi masalah minuman Praja.

4) Reksasunggata pekerjaannya mengurusi penyediaan makanan istana.

f. Kawedanan Reksawibawa, membawahi tiga kemantren

1) Reksa Warastra, pekerjaannya memelihara senjata

2) Reksawahana pekerjaannya menjaga kendaraan beserta suku cadangan

3) Langenpraja pekerjaannya memperlengkapi dan merewat gamelan dan

wayang.

g. Kawedanan Prababaksana, membawahi tiga kemantren

1) Reksabaksana pekerjaannya memelihara dan membagi bahan pangan

2) Wreksapandaya, pekerjaannya menyediakan kayu jati untuk bahan

bangunan.

3) Tarulata pekerjaannya membagi penyerahan sirih, rumput dan padi.

h. Kawedanan Yogiswara, membawahi empat kemantren

1) Ketib pekerjaanya menikahkan orang akan menikah, mengurusi mayat,

dan menyeleaikan perkara yang akan dibawa ke Surambi

2) Nai’b pekerjaannya menikah orang yang akan menikah dan

berwewenang menyelesaikan talak wasiat dan semacamnya

3) Mardikan pekerjannya memberi pelajaran agama dan memelihara

makam dan tempat suci

4) Ngulama pekerjaannya berdoa agar negara hidup tentram sejahtera.43

Pada masa pe.merintahan Mangkunegoro VII pembaharuan didalam struktur

birokrasi Praja Mangkunegaran juga dilakukan. Pembaharuan itu dilakukakan untuk

memperbaiki kinerja aparatur yang ada di struktur birokrasinya agar lebih baik.

Perubahan-perubahan itu antara lain: Pertama, pembagian birokrasi reh jaba dan reh

jero dihapuskan. Kedua, beberapa jabatan yang semula bernama Kawedanan yang

dipimpin oleh seorang wedana kini diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin seorang

Bupati. Jabatan-jabatan yang diubah meliputi Kawedanan Hamong Praja diubah

menjadi Kabupaten Hamong Praja, Kawedanan Mandrapura diubah menjadi Kabupaten

Mandrapura, Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja,

Kawedanan Yogiswara diubah menjadi Kabupaten Yogiswara. Naiknya jabatan wedana

menjadi bupati membawa konsekuensi naiknya jabatan-jabatan dibawahnya, serta

pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat yang paling bawah. Jabatan yang

dulunya hanya kapenewon meningkat menjadi kawedanan, jabatan mantri tingkat I

menjadi penewu, dan seterusnya.44

Ketiga, adanya penghapusan beberapa Kawedanan lama yang diganti dengan

jabatan-jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan yang dihapus yakni: Reksa

Praja, Reksa wibowo, Mandrapura, Martapraja dan Purabaksana. Keempat, jabatan-

jabatan baru dibentuk sesuai dengan kebutuhan Praja Mangunegaran yang telah

43 Wasino, op.cit. hal 107-111 44 Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1923 No. 10

mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat. Jabatan-jabatan baru

itu yakni: Kabupaten Pangreh Praja, Parimpuna, Sindumarto, Wanamarta, Kawedanan

Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti, Martanimpuna, dan Pasianoan Dusun.45

Susunan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran dan tugas-tugasnya yang telah

mengalami pembaharuan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII.

1. Kabupaten Hamong Praja

Pejabat : Bupati

Tugasnya : Sebagai pusat pemerintahan dan mengurusi segala

jalannya pemerintahan

2. Kabupaten Pangreh Praja

Pejabatnya : Bupati

Tugasnya : Mengurusi masalah pemerintahan daerah dan kepolisian.

3. Kabupaten Parimpuna

Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Mengurus masalah pasar di wilayah Praja Mangkunegaran

4. Kabupaten Karti Praja

Pejabatnya : Belanda berpangkat Direktur

Tugasnya : Mengurus masalah pekerjaan umum

5. Kabupaten Mandra Pura

Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Mengurusi didalam Istana Mangkunegaran

6. Kabupaten Sindumarta

45 Wasino, op.cit. hal 113-114

Pejabatnya : Insiyur

Tugasnya : Mengurusi masalah irigasi

7. Kabupaten Yogiswara

Pejabatnya : Penghulu

Tugasnya : Mengurusi masalah nikahan, perceraian, dan kematian)

8. Kabupaten Kartausaha

Pejabatnya : Belanda berpangkat Super-Intendent

Tugasnya : Mengelola semua badan usaha dan keuangan praja yang

diperoleh dari badan-badan usaha itu, yang kemudian

dilembagakan dalam Dana Milik Mangkunegaran

9. Kabupaten Wonomarto

Pejabatnya : Belanda berpangkat Opperhoutvester

Tugasnya : Mengelola hutan yang ada di wilayah Mangkunegaran

10. Kawedanan Sinatriyo

Pejabatnya : Wedana

Tugasnya : Mengurusi putra sentono (putera Adipati Mangkunegoro)

11. Kawedanan Nata Praja

Pejabatnya : Wedana

Tugasnya : sebagai Sekretariat Praja Mangkunegaran

12. Kawedanan Niti Praja

Pejabatnya : Wedana

Tugasnya : sebagai Badan Perhitungan Praja Mangkunegaran

13. Paprentahan Pajeg Siti

Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Mengurusi pajak tanah di wilayah Mangkunegaran

14. Paprentahan kedokteran

Pejabatnya : Dokter

Tugasnya : Menjaga/memelihara kesehatan putera sentana dan para praja

dalam istana

15. Paprentahan Martanimpuna

Pejabatnya : Kliwon

Tugasnya : Menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa negara

16. Paprentahan Pasinaoan Dusun

Pejabatnya : Pejabat Goverment

Tugasnya : Mengatur dan memajukan sekolah-sekolah desa.46

.

46 Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 35-36 dan Wasino, Ibid. hal 11

BAB III

PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA

PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII

A. Struktur Penduduk Di Kota Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII

Penduduk di Praja Mangkunegaran sebagian besar memeluk agama Islam sesuai

dengan corak kerajaan yang ada di Jawa, yaitu Kerajaan Islam. Di kota Mangkunegaran

sebagian besar penduduknya juga memeluk agama Islam. Penduduk di kota

Mangkunegaran terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, yang tersebar di kampung-

kampung yang berada di kota tersebut. Suku-suku bangsa itu antara lain: suku Jawa,

suku Sunda, suku Madura, dan ada juga suku yang berasal dari luar pulau Jawa. Kota

Mangkunegaran juga terdapat bangsa-bangsa Eropa yang bermukim di tempat khusus

hanya untuk kalangan mereka saja.

Kota Mangkunegaran di tahun 1930 mempunyai penduduk 35.183 jiwa, yang

terdiri dari orang-orang Pribumi, orang Timur Asing, dan orang Eropa. Kepadatan

penduduk di kota Mangkunegaran pada tahun 1930 mencapai 859,93 per km².47 Kota

Mangkunegaran memiliki tingkat kepadatan yang paling tinggi diantara daerah-daerah

lain yang ada di praja Mangkunegaran. Itu dikarenakan kota Mangkunegaran

merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian di praja Mangkunegaran, sehingga

banyak penduduknya yang pindah ke daerah ibukota yakni kota Mangkunegaran, agar

mudah melakukan aktivitas ekonominya.

47 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 15

36

Penduduk di kota Mangkunegaran sama dengan penduduk yang ada di daerah-

daerah lain di praja Mangkunegaran merupakan masyarakat yang tradisional. Itu

dikarenakan penduduk di kota Mangkunegaran masih bersifat ajeg dan hampir-hampir

tanpa perubahan, dan apabila ada perubahan hanyalah sangat sedikit. Penduduk di kota

ini juga masih mempunyai sifat nrimo, yakni selalu menerima suatu keadaan dengan

apa adanya. Tradisi dan kebiasaan itu selalu diteruskan atau diwariskan pada generasi

berikutnya.

Menurut Sartono Kartodirdjo, untuk menentukan posisi seseorang dalam

masyarakat tradisional itu diperlukan dua kriteria, yaitu: (1) prinsip kebangsawanan

yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan penguasa, dan (2) kedudukan

seseorang dalam struktur birokrasi kerajaan. Seseorang yang memenuhi dua kriteria itu

disebut dengan golongan elit, sedangkan mereka yang berada di luar golongan itu

dianggap sebagai rakyat (kawula).48

Menurut Suyatno, secara tradisional di Surakarta terdapat tiga macam kelas

sosial yaitu: (1) Sentana Dalem, yang terdiri dari keluarga raja, (2) Abdi Dalem, yang

terdiri dari pegawai kerajaan, dan (3) Kawula Dalem, yang terdiri dari rakyat

kebanyakan.49 Rakyat kebanyakan, yakni semua rakyat yang masih tinggal di dalam

praja tetapi tidak termasuk dalam golongan bangsawan maupun narapraja dan tidak

mengabdi pada praja lain.

Kota Mangkunegaran struktur penduduknya di bagi menjadi empat golongan

yang memiliki peranan masing-masing, yakni: Golongan Bangsawan (Kasatriyan),

48 Sartono Kartodirdjo,1983. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. hal 159 49 Suyatno, dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia. Surakarta: Hapsara. hal 27

Golongan Pegawai Sipil (Narapraja), Golongan Militer (Wirapraja), dan Rakyat

(Kawula).50 Struktur penduduk itu juga terdapat di daerah-daerah lain di praja

Mangkunegaran. Penggolongan ini tidak didasarkan terutama dari segi ekonomis atau

keunggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan dari kawula dengan

bandara, dan tempat atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pembagian

golongan ini dapat diartikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing kelas sosial telah

ditakdirkan.

Struktur penduduk di kota Mangkunegaran sejak pemerintahan Mangkunegoro I

sampai Mangkunegoro VII, sebenarnya tidak ada yang berubah. Pertama, golongan

bangsawan (kasatriyan) terdiri dari Adipati Mangkunegoro, putera, menantu, dan ipar

Mangkunegoro, serta Sentana Dalem. Kedua, golongan pegawai sipil (narapraja) terdiri

dari Bupati Patih, para wedana dari berbagai departeman, para mantri dari berbagai

kemantren, dan para pegawai rendahan atau priyayi rendahan.

Ketiga, golongan militer (wirapraja) didasarkan atas tingkat kepangkatan

seseorang yaitu opsir dan bawahan. Opsir terdiri dari seseorang yang berpangkat mayor

sampai kolonel, dan letnan sampai kapten. Bawahan meliputi sersan sampai ajudan

opsir bawah, dan fusiler sampai dengan kopral atau anak buah. Keempat, golongan

rakyat kebanyakan (kawula) mereka bekerja sebagai tukang tukang, buruh industri

perkebunan, tukang cukur, pedagang, dan sebagian besar adalah petani.51

Selama pemerintahan Kolonial Belanda berkembanglah suatu sistem kelas

lainnya yang sejajar dengan struktur masyarakat pribumi, yaitu kelas-kelas yang

setingkat dengan kaum bangsawan, priyayi dan orang-orang biasa. Kelas baru yang

50 Th. M. Metz, op.cit. hal 17 51 Wasino, 1994. Skripsi: Kebijakan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hal 61-64

makin mapan dan sejajar dengan kelas atas adalah orang-orang Belanda. Mereka terdiri

dari kelompok kecil tetapi kehadirannya mencolok dikarenakan adanya perbedaan ras,

warna kulit, kekayaan material, kebudayaan, dan kekuasaan mereka yang melebihi

penguasa pribumi.52

Pada masa ini muncul golongan elit baru yang gaya hidup kesehariannya seperti

kaum bangsawan Jawa, bahkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan bangsawan

Jawa tersebut. Elit baru ini terdiri dari orang-orang Belanda. Untuk mempertahankan

statusnya, golongan elit baru ini sengaja menciptakan struktur sosial yang berdasarkan

pada perbedaan ras.

Struktur sosial tersebut yaitu orang-orang Eropa (terutama orang Belanda)

merupakan status teratas dalam masyarakat. Orang-orang Indo dan Timur Asing

menduduki status menengah, dan orang-orang Pribumi (bangsawan maupun rakyat

kebanyakan) merupakan kelas terbawah. Stuktur sosial ini juga berlaku di seluruh

daerah kekuasaan Kolonial Belanda, termasuk daerah Praja Mangkunegaran.

B. Pola Perkampungan Di Kota Mangkunegaran

Pada Masa Mangkunegoro VII

Salah satu yang menjadi ciri dari perkembangan kota adalah adanya wilayah

permukiman yang di huni oleh sekelompok orang. Mereka tinggal pada satu lingkungan

disalah satu kawasan yang menjadi bagian dari kota dan di tempat itu berbaur berbagai

suku bangsa dengan karakteristik tersendiri yang khas mewarnai pertumbuhan dan

perkembangan kota. Sejak kehadiran bangsa Belanda, banyak kota di Hindia Belanda

52 Selo Soemardjan, 1981. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss. hal 37

yang pola permukimannya meniru model di Belanda. Penduduk kota di warnai dengan

kehadiran empat kelompok utama ras di kawasan perkotaan yaitu Belanda, Indo-Eropa,

Timur Asing, dan Pribumi. Orang-orang pribumi tinggal di daerah perkampungan dan

bangsa Eropa sebagian besar tinggal didekat jalan utama.53

Istilah perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun

1926, Menurut T.h. Metz, perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan

desa. Kampong merupakan struktur birokrasi dan administrasi yang berada di bawah

kalurahan.54 Kota Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII pola permukiman

perkampungannya hanya terdiri dari dua perkampungan, yakni Perkampungan Pribumi

dan Perkampungan Eropa (terutama orang-orang Belanda). Di kota ini juga terdapat

beberapa pasar yang menjadi fokus dari kehidupan ekonomi bagi masyarakat

perkampungan di Kota Mangkunegaran.

1. Perkampungan Pribumi

Perkampungan orang-orang pribumi di kota Mangkunegaran terbagi menjadi

beberapa kalurahan. Kalurahan merupakan struktur pemerintahan di praja

Mangkunegaran di bawah Panewu. Kalurahan di kota ini dipimpin oleh seorang Lurah

Kampung. Di dalam setiap kebijakan pemerintahannya, seorang lurah harus patuh

terhadap anjuran dari Bupati Patih. Lurah di bantu oleh Punggawa Kampung dalam

pemerintahannya. Jumlah dan pangkat dari punggawa di tentukan oleh Bupati Patih.

53 Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada. hal 22 54 Th. M. Metz, op.cit. hal. 48

Lurah juga merupakan wakil dari kampung di pengadilan dan pada waktu mengajukan

hal-hal yang berhubungan dengan keperluan kampungnya.55

Di Kota Mangkunegaran kantor Kalurahan letaknya selalu berada dipojok. Hal

ini secara filosofis melambangkan bahwa setiap pemimpin harus selalu mengayomi

rakyatnya. Makna filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Tri Dharma yang dianut

oleh Praja Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegoro VII Kota Mangkunegaran terdiri

dari 10 kalurahan, antara lain:

a. Kalurahan Stabelan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kampung

Kepatihan yang merupakan wilayah dari Kasunanan, di sebelah barat berbatasan

dengan Pasar Legi dan Villa Park, di sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan

Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Keprabon. Kalurahan

Stabelan terdapat kampung: Jogobayan, Tambak Segaran, Margoyudan, dan

Stabelan.

b. Kalurahan Timuran

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Keprabon, di

sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen, di sebelah utara

berbatasan dengan kalurahan Ketelan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan

kampung Kemlayan merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan Timuran terdapat

kampung: Beskalan, Tumenggungan, Priyabadran, dan Timuran.

c. Kalurahan Keprabon

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Kampung Baru merupakan

wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Timuran dan

55 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1939. No 23

Ketelan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Stabelan, dan di sebelah

selatan berbatasan dengan Kampung Kauman merupakan wilayah Kasunanan.

Kalurahan Keprabon terdapat kampung: Purawan, Nataningrat, Pringgading,

Niyagan, Kusumodiningratan, dan Keprabon.

d. Kalurahan Kestalan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Pasar Legi, di sebelah barat

berbatasan dengan kalurahan Punggawan, di sebelah utara berbatasan dengan

kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Ketelan.

Kalurahan Kestalan terdapat kampung: Ngebrusan, Kestalan, Ngambakan, Kauman,

dan Balapan.

e. Kalurahan Ketelan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Keprabon, di

sebelah barat berbatasan dengan Kalurahan Punggawan, di sebelah utara berbatasan

dengan kalurahan Kestalan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan

Timuran. Kalurahan Ketelan terdapat kampung: Grogolan, Ketelan, Ngadisoeman,

dan Jageran.

f. Kalurahan Punggawan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Ketelan, di

sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen, di sebelah utara

berbatasan dengan kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan

kalurahan Timuran. Kalurahan Punggawan terdapat kampung: Pethetan,

Madyataman, Tempelredjo, Bramantakan dan Punggawan.

g. Kalurahan Mangkubumen

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Timuran dan

Punggawan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Manahan, di sebelah

utara berbatasan dengan kalurahan Gilingan dan Manahan, dan di sebelah selatan

berbatasan dengan Kampung Sriwedari merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan

Mangkubumen terdapat kampung: Turisari, Gumuk, dan Mangkubumen.

h. Kalurahan Manahan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Kalurahan Mangkubumen,

di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kerten, di sebelah utara berbatasan

dengan kalurahan Nusukan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Purwosari,

yang masih merupakan wilayah Mangkunegsaran. Kalurahan Manahan terdapat

kampung: Gremet, Tempuran, Badran, Tirtomoyo, Tirtoyoso, Purworejo, Sidoredjo,

Gondang, dan Manahan.

i. Kalurahan Gilingan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Jebres merupakan

wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen

dan Manahan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Nusukan, dan di

sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Kestalan dan Stabelan. Kalurahan

Gilingan terdapat kampung: Gumunggung, Cinderejo, Gilingan, Sambeng,

Ngemplak, Margorejo, Redjosari, dan Bibis.

j. Kalurahan Nusukan

Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan daerah Mojosongo

merupakan wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan daerah

Malangjiwan yang masih merupakan wilayah Mangkunegaran, di sebelah utara juga

berbatasan dengan daerah Kalioso, dan di sebelah selatan berbatasan dengan

kalurahan Gilingan. Kalurahan Nusukan terdapat kampung: Joglo, Prawit,

Cangakan, Nayu, Bonorejo, dan Nusukan.

2. Perkampungan Eropa

Perkampungan elit orang Eropa (terutama orang-orang Belanda) biasa di sebut

dengan nama Villa Park. Perkampungan ini berada di sebelah utara Istana

Mangkunegaran. Perkampungan ini memiliki luas kurang lebih sekitar 1,5 ha. Villa

Park dibangun pada masa Mangkunegoro VI. Perkampungan tersebut dibuat berbanjar,

dan kelihatan indah. Rumah-rumah diperkampungan ini merupakan bangunan yang

disewakan untuk para pembesar Belanda.56 Villa Park dinyatakan sebagai lingkungan

elit dengan peraturan tentang penggunaan tanah negara di wilayah kota

Mangkunegaran. Lingkungan Villa Park sebagian besar dihuni oleh orang-orang Eropa

yang bekerja di sektor perkebunan. Peraturan tentang daerah Villa Park telah ditetapkan

pada tanggal 1 November !913.57

Pertumbuhan permukiman di Villa Park juga disertai dengan segala infrastruktur

yang dibutuhkan bagi orang-orang Eropa yang tinggal di tempat tersebut. Kebutuhan

infrastruktur ini terdiri atas fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah, kesenian, dan

kebudayaan. Pada tahun 1930-an terjadi adanya suatu perubahan di Kota

Mangkunegaran, permukiman orang-orang Eropa tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh

orang-orang Eropa saja. Memang pada awalnya daerah Villa Park merupakan daerah

yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda, namun karena perkembangan dan

kemajuan zaman telah membuat golongan pribumi masuk ke dalam lingkungan

56 Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. hal 105 57 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No 1

tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November

1913.58 Pada tahun 1942 kawasan Villa Park berubah namanya menjadi Banjarsari.

3. Pasar Di Kota Mangkunegaran

Pasar merupakan perusahaan praja. Praja membangun gedung-gedungnya dan

menyewakan los-losnya. Pasar merupakan fokus dari kehidupan ekonomi bagi rakyat.

Di Praja Mangkunegaran, pasar dipimpin oleh seorang Inspektur yang dinamakan

Sepektur Manekwesen yang di tunjuk langsung oleh Adipati Arya Prabu Prangwedana

VII. Inspektur Pasar dibantu oleh beberapa Punggawa Pasar, yakni Ajung Inspektur 1,

Lurah Pasar, dan pembantu yang diperlukan untuk melakukan kewajibannya

mengontrol dan mengawasi pasar setiap harinya. Pedagang-pedagang pasar di Praja

Mangkunegaran setiap harinya harus membayar uang sewa sesuai dengan tempat yang

digunakan untuk berjualan, baik itu los maupun pelataran pasar. Para pedagang tersebut

setelah membayar akan mendapatkan karcis yang telah diberi cap.59 Adapun pasar yang

terletak di kota Mangkunegaran antara lain:

a. Pasar Legi

Pasar Legi yang berada di sebelah utara Istana Mangkunegaran. Pasar ini

memiliki gedung yang besar dan pendapat yang besar di antara pasar-pasar yang ada

di Praja Mangkunegaran. Dari lokasinya Pasar Legi diibaratkan sebagai tempat

pemenuhan kebutuhan duniawinya. Pasar ini dinamakan Pasar Legi karena pasar ini

ramai pada hari pasaran Legi. pada tahun 1936, Mangkunegoro VII, melakukan

renovasi pada pasar ini, sehingga kondisi pasar menjadi lebih rapi, indah, dan tertib.

b. Pasar Pon

58 Ibid 59 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No 23

Pasar Pon terletak di sebelah utara Pura Mangkunegaran yang berbatasan

langsung dengan kampung Kemlayan (wilayah Kasunanan). Pasar ini dinamakan

Pasar Pon karena pasar ini ramai pada hari pasaran Pon. Sejak tahun 1929, pasar ini

berubah menjadi pusat pertokoan, terdiri dari toko-toko yang menjual barang-barang

rumah tangga (toko klontong). Pasar Pon sebagian besar pedagangnya adalah etnis

Cina.

c. Pasar Triwindu

Pasar Triwindu terletak di sebelah selatan Pura Mangkunegaran. Pasar ini

dibangun oleh Mangkunegoro VII untuk memperingati 24 tahun kenaikan tahtanya

dan diresmikan pada tahun 1939. Barang yang diperdagangkan di pasar ini hanya

barang yang terbuat dari logam, antara lain: besi, tembaga, emas, dan perak.60

Di kota Mangkunegara selain pasar-pasar yang disebutkan di atas masih ada

beberapa pasar kecil yang tersebar di seluruh kalurahan, antara lain: Pasar Ngapeman,

Pasar Nongko, Pasar Nusukan, Pasar Umbul, Pasar Joglo, dan Pasar Ngemplak,

C. Toponomi Perkampungan Di Kota Mangkunegaran

Pembagian wilayah di kota Mangkunegaran atas kampung-kampung yang

mempunyai spesifikasi tertentu atau ciri-ciri yang khas membentuk toponimi yang dapat

dibagi dalam beberapa kelompok, yakni berdasarkan nama orang yang terkenal di

tempat itu, berdasarkan nama jabatan dalam pemerintahan, berdasarkan keadaan

setempat, dan nama-nama bentukan baru.

1. Nama Kampung Berdasarkan Nama Orang Yang Terkenal

Tradisi pemberian nama tempat berdasarkan nama orang ini berlatar belakang

pada jabatan seseorang yang pantas dihormati, kesetian orang itu, dan pengaruh orang

60 Nina Astiningrum, 2006. Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di

Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 101

itu terhadap masyarakat. Pemberian nama itu merupakan sebagai wujud penghormatan

bahwa orang itu sebagai Abdi Dalem atau Sentana Dalem yang disegani oleh rakyat.

Dia dihormati karena berkelakuan baik, berjasa kepada raja, berwibawa atau masih

keturunan bangsawan.61 Nama-nama kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk

dalam kelompok ini adalah:

a. Mangkubumen

Kampung Mangkubumen terletak mulai depan pertigaan Sriwedari ke utara

samapi permpatan Pasar Beling ke barat sampai pertigaan lapangan Mangkubumen,

ke selatan sampai perempatan Gendengan. Dahulu merupakan tempat tinggal

B.R.M.H. Mangkubumi, adik dari Paku Buwana IV. Agaknya sebutan Mangkubumi

itu bukan nama orang, tetapi sebutan bagi sebuah jabatan. Dia adalah pembantu

terdekat raja yang berkuasa, bahkan mungkin saja sebagai wali raja. Hal ini kita

lihat bahwa nama Mangkubumi sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit. Gajah

Mada menjabat Patih Amangkubumi. Sultan Agung mempunyai wakil di bidang

pemerintahan di samping Patih, ialah Pangeran Mangkubumi. Pada Masa Kerajaan

Mataram Kartosura kita kenal nama Pangeran Mangkubumi. Di sini jelas, jabatan

Mangkubumi dipegang oleh seseorang yang masih dekat hubungan saudara dengan

raja.

b. Keprabon

Kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal dari menantu Paku Buwana

III, yang bernama Kangjeng Pangeran Arya Prabuwijaya, yang letaknya berada di

depan Istana Mangkunegaran. Kampung ini kemudian bernama Keprabon.62

c. Timuran

61 Radjiman, op.cit. hal 79 62 R.M Sayid. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 60

Kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal putera laki-laki dari selir

Mangkunegoro yang belum dewasa (Gusti Timur). Kampung ini kemudian

dinamakan Timuran. Di daerah ini terdapat tempat yang bernama Gendingan,

artinya tempat tinggal pembuat gamelan atau gending-gending Jawa (Niyaga

Mangkunegaran).63

2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan Dalam Pemerintahan

Daerah ini merupakan tempat tinggal sekelompok abdi dalem yang memiliki

tugas dan jabatan sama. Mereka terdiri dari para prajurit, pejabat, abdi dalem kriya,

pengrajin, pemelihara binatang, dan sebagainya.64 Nama-nama kampung di kota

Mangkunegaran yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain:

a. Kauman

Kampung ini terletak di sebelah barat Pasar Legi dan di sebelah timur

Ngebrusan. Kampung Kauman merupakan tempat tinggal para abdi dalem putihan

(penghulu).65 Saat ini kampung Kauman telah menjadi pemukiman rakyat biasa

(kawula)

b. Stabelan

Kampung ini terletak di sebelah timur Pasar Legi. Stabelan berasal dari bahasa

Belanda “kon-stabel”, artinya prajurit meriam yang terdiri dari orang-orang

63 Radjiman, op.cit. hal 111 64 Ibid, hal 80 65 Nina Astiningrum., op.cit. hal 7

Belanda. Stabelan merupakan tempat tinggal prajurit meriam dari Legiun

Mangkunegaran, tetapi sekarang menjadi pemukiman biasa.

c. Madyataman

Kampung ini terletak di sebelah utara Pethetan dan sebelah barat Jageran.

Madyataman dari kata Madya-Tamtaman, artinya tempat tinggal prajurit Tamtaman

golongan menengah dalam Legiun Mangkunegaran. Semasa pemerintahan

Mangkunegoro I, terdapat 37 macam prajurit yang dikelompokan menjadi 44

kelompok. Setiap kelompok rata-rata terdiri dari 44 orang, tetapi ada pula yang

hanya terdiri dari 22 orang dan bahkan 88 orang.

d. Jageran

Kampung ini terletak di sebelah timur Grogolan. Jageran dari kata “Jager”,

artinya pemburu. Jageran merupakan tempat tinggal para pemburu.

e. Ngebrusan

Kampung ini terletak di sebelah barat Stabelan. Ngebrusan dari kata “Obrus”,

yaitu Overste (sebuah pangkat di dalam system kemiliteran Belanda, yakni Letnan

Kolonel). Ngebrusan merupakan tempat tinggal Overste Belanda.

f. Bramantakan

Kampung ini terletak di sebelah selatan jembatan merah (kreteg bang).

Menurut Sutarto, Bramantakan berasal dari kata Brama (api) dan Antaka (mati),

artinya tempat tinggal abdi dalem pemadam kebakaran termasuk di dalamnya abdi

dalem bagian listrik. Menurut Tonaya, Bramantakan merupakan tempat tinggal abdi

dalem prajurit berani mati di dalam Legiun Mangkunegaran. Ada juga yang

mengatakan Bramantakan dahulu bernama Jabang Bayen, ialah tempat

meninggalnya seorang bayi, yang tidak diketahui siapa orang tuanya. Sampai

sekarang kuburannya masih ada, dan dipelihara oleh orang-orang yang senang

tirakat.

g. Punggawan

Kampung ini terletak di sebelah timur Tumenggungan. Punggawan dari kata

“Punggawa”. Punggawa ialah sebutan bagi para pengikut Raden Mas Said selama

dalam pemberontakan. Kampung Punggawan merupakan tempat tinggal punggawa

yang menjadi Pamong Desa. Jumlah Punggawa tersebut mula-mula hanya 22 orang.

Para punggawa tersebut memakai nama “jaya”, antara lainnya: Jayautama,

Jayaprameya, Jayawilanten, Jayawiguna, Jayasutirta, Jayanimpuna,

Jayaprabata,Jayasantika, Jayapuspita, Jayasudargo, Jayasudarma, Jayadipuara,

Jayaleyangan, Jaya Jagaulatan, Jaya Alap-Alap, Jayapanamur, Jaya Pamenang, Jaya

Panantang, Jaya Tilarsa, Jaya Pangrawit, Jaya Winata, dan Jaya Prawira.

h. Tumenggungan

Kampung ini terletak di sebelah utara Ngapeman. Tumenggungan berasal dari

kata “Tumenggung”, ialah punggawa prajurit Mangkunegaran yang berpangkat

bupati atau patih. Tumenggungan merupakan tempat tinggal para punggawa prajurit

serta Patih Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro II sampai

dengan Mangkunegoro VII.66

3. Nama Kampung Berdasarkan Nama Keadaan Setempat dan Aktivitasnya

Nama-nama di dalam kelompok ini dapat dihubungkan dengan benda-

bendayang ada di suatu tempat atau kegunaan dari tempat tersebut, dan kadang-kadang

66 Radjiman, op.cit. hal 106-107 dan 110

dihubungkan dengan benda-benda yang aneh di tempat tersebut.67 Nama-nama

kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk di dalam kelompok ini, antara lain:

a. Kestalan

Kampung ini terletak mulai dari belakang RRI Surakarta menyusur Jembatan

Balapan (Srambatan) menyusur ke timur sampai Jembatan Pasar Legi, ke utara

sampai simpang lima Balapan. Kestalan berasal dari bahasa Belanda “Staal”, yang

artinya kandang kuda. Kampung ini merupakan kandang kuda milik

Mangkunegaran.68

b. Grogolan

Kampung ini berada di sebelah utara Kestalan. Grogolan berasal dari kata

Grogol-an, artinya tempat untuk mengikat hewan-hewan hasil perburuan. Tempat

ini digunakan untuk menampung hewan hasil perburuan sebelum di sembelih untuk

diambil dagingnya.

c. Tambak Segaran

Kampung ini terletak di sebelah timur Pasar Legi dan sebelah barat Widuran.

Nama dari kampung ini diambil karena dahulu sungai Pepe sebelum dibuatkan

sungai Susukan, sering banjir. Oleh karena itu supaya tidak membanjiri Istana

Mangkunegaran, maka dibuatkan bendungan atau ditambak. Oleh karena itu

kampung ini bernama Tambak Segaran.

d. Pethetan

Kampung ini terletak di sebelah barat Grogolan. Pethetan artinya taman bunga

yang indah dan teratur. Tempat ini di bangun pada masa pemerintahan

Mangkunegoro V. Tempat itu sekarang telah menjadi permukiman warga.

67 Ibid. hal 81 68 R.M. Sayid, op.cit. hal 64

e. Nusukan

Kampung ini terletak di sebelah utara sungai Pepe. Nusukan dari kata “Susuk”,

yang berarti sudet atau tembus. Sungai Susukan merupakan sungai buatan, yang

dibuat pada masa Mangkunegoro VI bersama-sama dengan Paku Buwana IX pada

tahu 1908. Sungai ini digunakan sebagai terusan untuk mengalirkan air sungai Pepe,

agar tidak menggenangi Kota Surakarta apabila banjir. Sungai Susukan biasa

disebut dengan Kali Anyar dan bermuara di Sungai Bengawan Solo yang berada di

sebelah utara Jurug.

f. Joglo

Kampung ini berada di sebelah utara kampung Prawit. Dinamakan Joglo,

karena pada tahun 1911 pada masa pemerintahan Mangkunegoro VI. Ia

memerintahkan membangun sebuah rumah joglo umtuk menyaksikan pertama kali

mendaratnya pesawat terbang di Solo (Panasan). Pada masa Mangkunegoro VII

rumah tersebut kemudian di pindahkan ke Partini-tuin.

g. Gilingan

Kampung ini terletak di sebelah utara Stasiun Kereta Api Balapan. Pada masa

Mangkunegoro I dan II masih merupakan sawah, kemudian tempat itu dibangun

sebuah benteng di bawah pimpinan KPH Nataningrat I ketika akan menangkap

Puteri Serang, yang akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh, kemudian mayatnya

dimakamkan di sebelah utara sungai Susukan. Setelah benteng itu tidak dipakai lagi

digunakan sebagai pabrik gula, dan akhirnya dipergunakan sebagai tempat

penggilingan padi.69 Saat ini benteng tersebut tidak ada dan menjadi permukiman

warga yang terdapat di belakang Pasar Besi di kampung Gilingan.

69 Radjiman, op.cit. hal 106-107 dan 112

h. Balapan.

Kampung ini dulu merupakan arena pacuan kuda yang dilengkapi tribun pada

masa pemerintahan Mangkunegoro IV, kemudian tempat ini berubah menjadi

Stasiun Kereta Api Balapan. Tempat pacuan kuda kemudian dipindahkan ke

Manahan.70

4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru

Pemberian kelompok ini berdasarkan atas kreasi baru. Nama tempat ini biasanya

dihubungkan dengan nama-nama dalam pewayangan, nama-nama bahasa asing,

kenangan pada kelahiran putera-puteri raja, atau lainnya.71 Nama-nama tempat yang ada

yang ada di Kota Mangkunegaran yang berada dikelompok ini, antara lain:

a. Partini-tuin

Tempat ini terletak di sebelah utara lapangan Manahan. Partini-tuin biasa

disebut Bale Kambang, artinya rumah yang mengapung di tengah telaga buatan.

Taman ini di buka pada hari Rabu Kliwon, tanggal 26 Sapar 1853 atau 1922 Masehi

oleh Mangkunegoro VII untuk kenang-kenangan terhadap puterinya yang bernama

Bandara Raden Ajeng Partini, yang kemudian menikah dengan Prof. Dr. Husein

Jayadiningrat. Tempat ini sekarang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan

Bale Kambang dan telah selesai direnovasi dan semakin menjadi lebih menarik.

b. Partinah Bosch

Tempat ini berada di sebelah utara Partini-tuin. Partinah Bosch merupakan

hutan kecil milik Mangkunegaran. Tempat ini diberi nama sesuai dengan nama

puterinya, yakni Bandara Raden Ajeng Partinah, kemudian menikah dengan putera

70 Nina Astiningrum, op.cit. hal 7 71 Radjiman, op.cit. hal 81

Bupati Batang yang bernama Mr. RM. Murdakusuma.72 Tempat ini masih tetap ada

dan berfungsi sebagai hutan kota dan daerah resapan air hujan.

c. Kusumawardhaniplein

Tempat ini diambil dari nama salah seorang puteri Mangkunegoro VII yang

bernama Gusti Bandara Raden Ajeng Siti Nurul Kamaril Ngasarati

Kusumawardhani. Kusumawardhaniplein merupakan tempat olahraga para prajurit

Mangkunegaran (terutama prajurit wanita Mangkunegaran). Kusumawardhaniplein

sekarang ini telah menjadi taman yang berada di sebelah utara Monumen Pers.

d. Tri Windu

Tempat ini merupakan sebuah pasar yang terletak di sebelah selatan

Ngarsapura (Pamedan). Pasar ini dibangun untuk memperingati tiga windu (24

tahun) berkuasanya Mangkunegoro VII, sehingga diberi nama Tri Windu.73 Pasar ini

sekarang masih berdiri dan telah selesai direnovasi dan berganti nama menjadi

Pasar Windu Jenar.

72 Nina Astiningrum, op.cit. hal 7 73 Radjiman, op.cit. hal 13

BAB IV

PERANAN MANGKUNEGORO VII BAGI PEMBANGUNAN

PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN

A. Sikap dan Tindakan Mangkunegoro VII Bagi Praja Mangkunegaran

Mangkunegoro VII merupakan anak dari Mangkunegoro V. Ia merupakan anak

yang ketujuh dan putera yang ketiga. Ia lahir pada tanggal 12 November 1885, yang

menurut hitungan Jawa jatuh pada hari Kamis Wage, tanggal 3 Sapar tahun Dal 1815.

mangkunegoro memiliki nama kecil B.R.M. Soeparto. Sewaktu kecil Soeparto telah

diangkat putera oleh pamannya, yakni R.M. Soenito. Ia sangat dimanja dan disayangi

oleh pamannya yang belum memiliki keturunan. Soeparto hanya memiliki satu adik

kandung yang bernama R.A. Soeparti.74

Ketika berumur 11 tahun Soeparto telah ditinggal mati oleh ayahnya, yakni

Mangkunegoro V. Ia meninggalkan putra-putri sebanyak 24 orang serta hutang negara

yang belum dapat terlunasi. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengangkat R.M.

Soenito, yang tidak lain adik dari Mangkunegoro V dan paman dari Soeparto. Ia

dianggap mampu untuk diserahi tanggung jawab dan kewajiban mengelola praja,

terutama karena beratnya tanggungan hutang yang harus dibayar kembali dan untuk

menyelamatkan Mangkunegaran dari bahaya kemlaratan yang mengancam negara dan

rakyat. Mangkunegoro VI adalah raja yang bijaksana dan sederhana dalam

kehidupannya. Ia melakukan penghematan demi untuk memperbaiki perekonomian

Praja Mangkunegaran. Di masa pemerintahan telah terjadi peningkatan ekonomi yang

74 Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII. ,2007.

Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 1

58

dapat membawa kesejahteraan rakyat dan praja, sehingga terdapat cadangan uang yang

cukup besar bagi praja.75 Di bawah asuhan pamannya, Soeparto tumbuh menjadi

pemuda yang gagah dan kekar. Itu dikarenakan Mangkunegoro VI merupakan figur

yang disiplin dan inovatif, maka sedikit banyak mempengaruhi kepribadian Soeparto.

Soeryo Soeparto juga ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ia

bergabung dengan perkumpulan yang ingin memperjuangkan kemerdekaan melalui

pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, yakni Budi Utomo. Pendapatnya dan

pemikirannya untuk mendukung dan mempropagandakan Budi Utomo di Surakarta

selalu dituangkan dalam tulisan pada surat kabar Dharmo Kondo, sehingga ia dikenal

sebagai propagandis pergerakan bangsa yang patut dipuji.76 Ia mulai mempunyai cita-

cita agar Praja Mangkunegaran, walaupun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil di

bawah Pemerintahan Hindia Belanda, namun bisa memiliki keunggulan-keunggulan

yang dapat membawa nama baik Praja Mangkunegaran di seluruh daerah kekuasaan

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Cita-cita ini kemudian diwujudkan oleh Soeryo

Soeparto, setelah ia naik tahta menjadi Mangkunegoro VII.

Soeryo Soeparto diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa

Praja Mangkunegaran setelah Mangkunegoro VI meletakkan jabatan atas

permintaannya sendiri . Soeparto diangkat menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran

ketika ia baru berumur 21 tahun. Pengangkatannya itu terjadi pada tanggal 13 Maret

1916. Selama masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII dianggap oleh rakyat praja

Mangkunegaran sebagai raja yang bijaksana dan raja pembaharu.

1. Mangkunegoro VII Sebagai Raja Yang Bijaksana

75 Benardial Hilmiyah, 1985. Mengenang Soeryo Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 7 76 A. Muhlenfeld, 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M. Soeparto. Surakarta:

Reksa Pustaka. hal 3-4

Soeryo Soeparto setelah diangkat menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran

namanya berubah menjadi K.G.P.A.A Mangkunegoro VII. Ia merupakan raja yang

bijaksana di masa pemerintahannya. Dalam menghadapi situasi yang menghadangnya ia

selalu berpikir secara bijak dan di masa pemerintahannya telah terjadi adanya perubahan

sosial politik dan sosial budaya di Hindia Belanda, termasuk di Praja Mangkunegaran.

Perubahan sosial politik menyangkut kebijaksanaan negeri Belanda terhadap daerah

jajahan, tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan, dan sikap Sunan terhadap

keberadaan Mangkunegaran. Sementara itu perubahan sosial budaya adalah ditandai

dengan semakin meresapnya faham dan gagasan-gagasan barat dalam masyarakat

Jawa.77

Mangkunegoro VII karena bersikap secara moderat, maka ia sering

mendapatkan kritikan keras dari organisasi-organisasi pergerakan yang radikal,

terutama I.S.D.V dan Sarikat Islam. Mangkunegoro VII dianggap oleh organisasi itu

sebagai partner dari Pemerintahan Hindia Belanda. Kritikan ini banyak dimuat dalam

surat kabar di Jawa Tengah seperti di surat kebar Sarotama milik Sarikat Islam.

Sementara itu, Cipto Mangunkusumo dalam De Beweging mengkritik bahwa

Prangwedana merupakan seorang pemburu laba yang jorok, sebagai seorang penguasa

yang menjual kemakmuran rakyatnya untuk memperoleh ringgit putih. Misbah, tokoh

I.S.D.V di Surakarta juga menyerang Mangkunegoro VII sebagai raja feodal yang

menghisap rakyat.78

77 Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir

Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal 95 78 G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta

1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 77-131

Dalam situasi demikian itu, Mangkunegoro VII selalu berpikir secara bijak. Ia

lebih bersikap kooperatif kepada Pemerintahan Hindia Belanda, karena itu akan dapat

membantunya untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan di dalam praja dan dapat

menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Ia juga berpikir bahwa jika ikut menentang

kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh Pemerintahan Kolonial, itu malah akan

menghambat Praja Mangkunegaran untuk berkembang dan maju.

Pada tanggal 6 September 1920, Mangkunegoro VII menikah dengan putri

Hamengkubuwono VII, yang bernama Gusti Kangjeng Ratu Timur.79 Perkawinan ini

membawa dampak positif terhadap hubungan kedua swapraja yang dulunya saling

bertentangan. Perkawinan itu juga memperkuat stabilitas politik di kedua belah pihak,

antara Pura Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.

2. Mangkunegoro VII Sebagai Raja Pembaharu

Mangkunegoro VII juga merupakan raja pembaharu. Di masa pemerintahannya,

ia melakukan pembaharuan tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi meliputi

segala bidang. Mangkunegoro VII menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam

penggunaan keuangan praja. Ia juga melakukan pembaharuan di bidang Birokrasi

Pemerintahan. Di Praja Mangkunegaran juga banyak dilakukan pembangunan-

pembangunan yang ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.

Pembangunan yang paling menonjol adalah pembangunan irigasi seperti bendungan,

saluran air, dan prasarana lainnya yang berkaitan dengan irigasi itu. Mangkunegoro VII

memandang irigasi merupakan kebutuhan yang mendesak buat rakyatnya, karena

79 Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, op.cit.

Hal 4

mengingat keadaan tanah dan topografi daerah Mangkunegran, terutama di daerah

selatan sangat tidak menguntungkan untuk pertanian basah, terutama padi.

Pemerintahan praja Mangkunegaran perlu mengatur air di daerah itu agar ketika

musim hujan dapat mengalir pelan-pelan, melewati sawah-sawah dan menyimpannya

untuk keperluan pada musim kemarau. Irigasi ini sekaligus berguna sebagai

pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang subur yang berasal

dari lereng-lereng gunung dan lumpur-lumpur itu akan mengendap di sawah-sawah.80

Pada Masa Mangkunegoro VII telah dibangun lima buah waduk yang berfungsi

sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara lain: (1) Waduk Kedung Uling

yang dibangun pada tahun 1918. Waduk ini mempunyai luas 15,4 ha dengan kedalaman

rata-rata 9,7 m berisi 712.500 m³ air dan dapat mengaliri 800 ha sawah. (2) Waduk

Plumbon dibangun dalam dua tahap, yaitu tahun 1918-1919 dan tahun 1924-1929.

Waduk ini mempunyai luas 12,5 ha dengan kedalam rata-rata 15 m ini berisi 1.200.000

m³ air yang dapat mengairi 815 ha sawah. (3) Waduk Tirtomarto dibangun pada tahun

1920-1924. Waduk ini luasnya 56,5 ha dengan kedalaman rata-rata 16 m ini berisi

4.000.000 m³ air yang dapat mengairi 12.700 ha sawah. (4) Waduk Cengklik dibangun

pada tahun 1930-1932. Waduk ini mempunyai luas 301, 2 ha dengan kedalaman rata-

rata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 ha sawah. (5) Waduk

Jombor dibangun pada tahun 1925-1926. Waduk ini luasnya hanya 16 ha dengan

kedalaman 4,5 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,3 ha sawah.81

Pembangunan jalan dan jembatan selain untuk kepentingan istana juga ditujukan

untuk menembus daerah-daerah yang terisolasi. Dari sejumlah daerah di

Mangkunegaran, daerah Wonogiri yang mendapatkan perhatian khusus dalam

80 Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 42

81 Wasino, op.cit. hal 203-204

pembangunan jalan dan jembatan. Hal itu disebabkan daerah-daerah ini masih banyak

yang terisolir dengan dunia luar. Mangkunegaran juga membangun jalan-jalan yang

menuju jalan kereta api NIS. Jalan ini diperlukan untuk mempermudah pengangkutan

barang dari pedalaman ke stasiun kereta api. Usaha-usaha pembangunan jalan dan

jembatan di Mangkunegaran telah membawa hasil yang memuaskan untuk ukuran

swapraja sekecil itu.

Pembangunan pendidikan juga dilakukan Mangkunegoro VII, antara lain:

memberikan motivasi untuk bersekolah, didirikannya sarana dan prasarana berupa

pendirian sekolah-sekolah desa, sekolah H.I.S. Siswo, Sisworini, merupakan suatu

usaha untuk membawa rakyatnya pada kemajuan, dan pemberian beasiswa bagi para

siswa yang ingin sekolah tetapi mengalami kesulitan biaya. Demikian pula dengan

pembangunan kebudayaan Jawa merupakan sebuah prestasi yang gemilang dengan di

bentuknya Jawa Institut.82

Pembaharuan yang digalakkan oleh Mangkunegoro VII juga dilakukan di

daerah-daerah perkampungan khususnya di kota Mangkunegaran. Adapun beberapa

alasan yang mempengaruhi pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran,

yaitu: Mangkunegoro VII sebagai pemimpin wajib melakukan pembangunan di

kampung-kampung demi terciptanya kesejahteraan penduduknya. Mangkunegoro VII

menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat menikmati modernisasi yang

dilakukannya. Mangkunegoro VII menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat

hidup dengan bersih, sehat, dan teratur.

82 Jawa Instituut merupakan lembaga yang membahas secara ilmiah tentang kebudayaan jawa, mulai dari karya sastra, arsitektur, seni tari, permainan anak, dan lain sebagainya. Hasil-hasil pembahasan ilmiah itu kemudian dimuat dalam majalah berkalanya, yakni Majalah Djawa. Ibid. hal 262

B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegoro VII

Praja Mangkunegaran konsep mengenai pemusatan kekuatan kosmis masih

seperti di zaman Mataram, yakni keraton masih merupakan pusat kekuatan kosmis yang

dikelilingi oleh kekuatan mahkluk hidup dan unsur alam semesta dari arah timur, barat,

utara, dan selatan. Keraton didirikan berdasarkan “pangolahing budi”, yaitu pakarti

lahiriyah dan pakarti batiniyah. Pakarti lahiriyah mengandung tuntunan bahwa manusia

hidup dalam tingkah laku serta ucapan yang tidak menyimpang dari budi luhur. Pakarti

batiniyah yakni dengan cara semedi, meditasi, atau bertapa untuk mendekatkan diri

dengan Tuhan. Hasil dari pangolahing budi disebut dengan budaya.83 Dengan demikian

dapat diartikan bahwa budaya keraton merupakan tuntunan hidup berdasarkan

pangolahing budi. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa budaya keraton tidak dapat

lepas dengan kepercayaan mengenai Tuhan. Kekuasaan di keraton merupakan sebuah

wahyu Illahi. Menurut kepercayaan bahwa kearton Jawa tidak akan berdiri dan tidak

akan lestari tanpa adanya wahyu tersebut.

Keraton merupakan pusat kekuatan kosmis yang akan menentukan paham

negara. Apabila kekuatan yang ada dipusat semakin jauh maka akan semakin redup

kekuatan tersebut. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat dipusat ibukota

dan kekuatan raja memancar samapi ke desa-desa. Kekuatan itu ada karena seluruh

kekuatan menjaga keraton dan memberikan perlindungan serta memberi keselamatan

pada para penghuninya.

Kekuatan yang berawal dari berbagai kekuatan mahkluk hidup, unsur alam dari

arah timur, selatan, barat, dan utara yang disatupadukan di keraton untuk dipanjatkan

dengan suatu persembahan melalui upacara ritual kepada sumber dari sumber kekuatan

83 Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata. Hal 2

yaitu Tuhan. Keberadaan keraton akan tetap langgeng (tidak punah) karena adanya

kekuatan-kekuatan yang berada di keraton itu. Keraton juga dipercaya dilindungi dan

dijaga oleh kekuatan halus yang berad di keblat empat. Adapun kekuatan itu terletak

diempat arah mata angin, yakni: di sebelah utara: Kangjeng Ratu Kalayuwati di hutan

Krendhawahana, di sebelah barat: Kangjeng Sunan Lawu di gunung Lawu, di sebelah

utara: Kangjeng Ratu Kencana Sari (Ratu Kidul) di Samudera Hindia, dan di sebelah

barat: Kangjeng Ratu Kedhaton di gunung Merapi dan Merbabu.84

Pura Mangkunegaran memiliki dua bangunan, yakni bangunan utama berupa

joglo atau limasan dan bangunan disekelilingnya didirikan berdasarkan arsitektur

Belanda. Bangunan kedua digunakan sebagai asrama tentara kavaleri. Bangunan yang

ada di Pura Mangkunegaran, antara lain:

1. Pamedan yaitu halaman luas yang berfungsi sebagi tempat latihan militer legion

Mangkunegaran.

2. Reksa Wahana yaitu sebagai tempat menyimpan kereta-kereta dan memelihara

kuda, terletak di sebelah kanan pamedan.

3. Pendopo Ageng yang terletak di tengah-tengah bangunan utama dan merupakan

tempat pertunjukan kesenian, menyimpan gamelan, dan terutama sebagai tempat

jamuan dan upacara-upacara resmi.

4. Pringgitan yang disebut juga sebagai beranda dalem, yang letaknya lebih tinggi

dari pendopo. Pringgitan ini berbentuk kutuk ngambang dan sering dipakai

untuk pertunjukan wayang, tetapi fungsi utamanya sebagai tempat menerima

tamu.

84 Nina Astiningrum, 2006. Skripsi: Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan

Perkotaan di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 25

5. Panetan merupakan jalan bagi kereta tamu dan terletak diantara pendopo dengan

pringgitan.

6. Dalem Ageng yaitu bangunan yang terletak di sebelah dalam pringgitan,

merupakan tempat diadakannya upacara-upacara resmi.

7. Dimpil merupakan tempat pemujaan nenek moyang dan menyimpan pusaka.

8. Bale Warni merupakan tempat tinggal permaisuri dan putri-putrinya.

9. Pracimusana merupakan tempat untuk menerima tamu sehari-hari dan tempat

tinggal keluarga Pura Mangkunegaran.

10. Bale Peni merupakan tempat tinggal Mangkunegoro dan menerima tamu laki-

laki.

11. Purwosana yang terletak diseputar bale warni dan bale peni merupakan tempat

tinggal para wanita yang mempunyai hubungan keluarga dengan Mangkunegoro

yang sudah memerintah.

12. Panti Putra yaitu tempat tinggal putra-putra yang masih ada hubungan keluarga

dengan Mangkunegoro.

13. Prangwedanan merupakan tempat tinggal putra mahkota calon pengganti

Mangkunegoro yang sedang memerintah. Letaknya diantara perkantoran

mandrapura dan panti putra.

14. Mandrapura merupakan perkantoran dimana semua pekerjaan yang

berhubungan dengan penataan dan pengaturan administrasi. Letaknya diantara

timur dan barat pendopo.

15. Reksa Pustaka yaitu perpustakaan yang terletak di sebelah timur pendopo.

Pura Mangkunegaran merupakan sentrum dari teori sentrifugal yang menghadap

ke utara dibangun jalan poros lurus sampai titik teologis tugu pemandengan ndalem. Hal

ini dimaknai, yakni: Pertama, untuk membedakan nilai kosmis magis antara ruang-

ruang publik bagi rakyat (njobo) merupakan lingkungan mikrokosmos dengan istana

kerajaan (njeron) makrokosmos yang bernuansa sakral magis. Kedua, sumbu poros ini

juga dimaknai sebagi simbol pemisahan antara prinsip dunia sekuler (Pasar Legi) di

timur jalan dengan dunia spiritual (Masjid Wustho) di barat jalan yang ditandai dengan

keberadaan kampung kauman yang merupakan tempat tinggal abdi dalem reh pangulon.

Dalam pengertian kiblat kulon (arah matahari terbenam) sebagai abdi dalem urusan

kiblat.85 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII konsep praja kejawen di atas,

masih dijadikan acuan dalam membangun tata ruang kota di praja Mangkunegaran,

yang masih mengutamakan poros sakral utara-selatan.

C. Dinas Pekerjaan Umum Pada Masa Pemerintahan Mangkunegoro VII

Dinas Pekerjaan Umum di Praja Mangkunegaran sudah ada sejak pemerintahan

Mangkunegoro IV, yang disebut dengan Kawedanan Karti Praja. Kawedanan ini

dipimpin oleh seorang wedana. Ia membawahi sebuah kemantren, yakni Kemantren

Kartipura, yang mempunyai tugas mengadakan perbaikan di dalam kota dan di luar

kota. Kemantren ini juga bertugas sebagai pemadam kebakaran. Sehubungan untuk

mempermudah pengawasan dan pekerjaannya terhadap keadaan kota, ia dibantu oleh

beberapa pekerja, antara lain: bramataka, tukang batu, juru taman, undagi, pande besi,

pengangsu, jagapiyara, narajomba, serta pekerja tidak tetap seperti jagahastana dan

wiratana.86

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII terjadi sedikit perubahan di Dinas

Pekerjaan Umum, yakni jabatan dari Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten

85 Ibid, hal 18 86 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 37

Karti Praja. Kabupaten ini dipimpin oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yang

berpangkat direktur. Pada masa Mangkunegoro VII tugas dari Dinas Pekerjaan Umum

masih sama seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.87 Dinas ini mempunyai tugas

melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan sarana-sarana umum yang

terdapat di Praja Mangkunegaran.

Sekitar Tahun 1934-an Mangkunegoro VII melakukan penggabungan antara

Kabupaten Karti Praja dan Kabupaten Sindumarta menjadi Kabupaten Sindupraja. Ia

melakukan penggabungan itu dalam rangka penghematan, karena di tahun tersebut

sedang terjadi krisis ekonomi dunia yang juga melanda praja Mangkunegaran.

Kabupaten Sindupraja mempunyai tugas sebagai pengelola irigasi dan pekerjaan umum

di praja Mangkunegaran.

Dinas Pekerjaan Umum Mangkunegaran telah melakukan berbagai

pembangunan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pada masa Mangkunegoro

VII, dinas ini telah mengerjakan beberapa fasilitas-fasilitas umum di kota

Mangkunegaran, seperti: pembangunan Partini-tuin dengan pemandian dan lapangan

olahraga (tempat ini sekarang bernama Taman Bale Kambang), sebuah gedung

pertemuan untuk para pegawai sipil (sekarang telah menjadi Monumen Pers) dan para

bintara/militer (sekarang telah menjadi kantor Pramuka Surakarta), sebuah perpustakaan

umum (Reksa Pustaka), sebuah lapangan sepak bola yang ada di Gilingan (sekarang

telah menjadi Terminal Tirtonadi, yang berada di sebelah timur), sebuah kantor polisi

(sekarang telah menjadi Polsek Banjarsari), masjid Al-Wustha Mangkunegaran,

beberapa gedung sekolah (H.I.S. Siswo sekarang telah menjadi SMP Negeri 5

87 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No. 10.

Surakarta, H.I.S. Siswo-rini sekarang tidak digunakan lagi dan tempatnya berada di

sebelah timur Akademi Seni Mangkunegaran).88

Pembangunan Rumah Sakit Pusat “Zieken Zorg”, yang ada di daerah

Mangkubumen, merupakan rumah sakit yang pertama di Surakarta. Rumah sakit itu

dalam pembangunannya mendapat subsidi dari Pemerintah Swapraja dan mendapat

subsidi setiap tahunnya sebesar f. 5.000. Rumah sakit ini pada saat berdirinya dipimpin

oleh tiga orang dokter, mantri, pembantu mantra, bidan, dan juru rawat.89 Rumah sakit

ini sekarang telah tidak ada, dan lahan bekas rumah sakit ini dibangun sebuah

apartemen.

Pembangunan yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum juga sampai ke daerah-

daerah perkampungan di kota Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan dinas itu,

antara lain: Pembangunan tiga buah kantor kalurahan/bale kampung di Kestalan,

Punggawan, dan Manahan. Pembangunan wc umum di kampung Ngebrusan, Grogolan,

Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. Pembangunan pancuran umum di

kampung Cinderejo, Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan

Turisari. Perbaikan jalan di kampung Bibis, Nayu, dan Gilingan. Perbaikan jembatan

kecil di kampung Pringgading. Pembangunan saluran pembuangan air di kampung

Stabelan.

D. Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII kondisi keuangan di praja

Mangkunegaran telah kembali sehat, bahkan telah mengalami kemajuaan yag pesat.

Oleh karena itu pemerintah praja Mangkunegaran berusaha untuk mengadakan

88 Th. M. Metz, op.cit. hal 71 89 Ibid, hal. 71

pembangunan-pembangunan dibidang infrastruktur, pertanian, pendidikan dan

kebudayaan, dan lain-lain. Pembangunan itu juga dilaksanakan di daerah-daerah

perkampungan, khususnya di kota Mangkunegaran. Di masa pemerintahannya,

Mangkunegoro VII selalu berkeliling ke kampung-kampung di kota Mangkunegaran

untuk melihat langsung keadaan masyarakat dan sarana-sarana umum yang perlu

mendapatkan perbaikan.

Dalam pembangunan di perkampungan pemerintah praja Mangkunegaran masih

tetap mendapatkan bimbingan dan bantuan dari pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini

merupakan strategi politik dari para Pengageng Pura Mangkunegaran, yang lebih

memilih menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial, yang berguna untuk

kemajuan dan kemakmuran praja. Adapun pembangunan-pembangunan itu, antara lain:

1. Pembangunan WC Umum/Kakus Umum

Pembangunan wc umum merupakan program pemerintah praja Mangkunegaran

di masa pemerintahan Mangkunegoro VII. Pembangunan sarana umum ini dimaksudkan

agar penduduk di perkampungan tidak membuang hajat disembarang tempat yang dapat

menggangu kesehatan maupun kebersihan lingkungan. Pembangunan itu juga

dimaksudkan untuk menghilangkan jumbleng, yakni tempat pembuangan hajat

tradisional yang dilakukan dengan menggali tanah dan telah dipakai secara turun-

temurun.

Pembuatan wc umum ini biasanya diletakkan di tempat-tempat yang strategis

dan bersifat umum. Lahan yang akan digunakan untuk membangun wc umum ini

merupakan lahan milik rakyat tanpa diberikan ganti rugi, tetapi akan dibuatkan wc

pribadi. Pembangunan wc umum ini dilakukan di kampung-kampung yang terdapat di

kota Mangkunegaran, seperti: kampung Ngebrusan, grogolan, Ngentak, Manahan,

Stabelan, dan Cinderejo.90

2. Pembangunan Pancuran Umum

Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan dan harus dipenuhi

secara mutlak. Air juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sehari-harinya,

baik sebagai air minum maupun untuk kepentingan lainnya, yakni mandi dan mencuci.

Dalam hal ini, untuk memenuhi kebutuhan air bersih pemerintahan praja

Mangkunegaran membagun pancuran-pancuran umum disetiap kalurahan yang ada di

kota Mangkunegaran. Pancuran ini dibangun di kampung Cinderejo,

Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan Turisari.91

Pembangunan pancuran umum ini maksudkan untuk memenuhi keutuhan air bersih bagi

masyarakat, sebab air pancuran lebih bersih dan sehat dari pada air sumur. Namun

demikian usaha ini agak mengalami hambatan karena penduduk dperkampungan kurang

membutuhkan air pancuran, hal ini dikarenakan mereka telah memiliki sumur sendiri.

Pemenuhan air bersih di Surakarta semakin teratasi dengan didirikannya

perusahaan air minum pada tahun 1931, yang merupakan inisiatif dari Residen

Surakarta. Perusahaan air minum ini diberi nama N.V. Hoodgruk Water Leiding

Hoofdplaats Surakarta en Omstreken (PT Air Minum Bertekanan Tinggi di Ibukota

Surakarta dan Sekitarnya). Sumber air bersih yang digunakan oleh perusahaan air

minum ini berasal dari daerah Cakratulung.92 Dengan berdirinya perusahaan ini

90 “Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Arsip

Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode L. 436 91 Ibid 92 Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada

Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 79

pemerintah praja Mangkunegaran telah berusaha meningkatkan kesadaran akan

pentingnya kesehatan, yakni menyediakan air bersih melalui leiding.

3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air

Pembangunan saluaran pembuangan air juga dilakukan oleh Mangkunegoro VII.

Pembangunan saluran air ini digunakan untuk pembuanagn limbah maupun luapan

banjir. Saluaran air ini digunakan untuk menyerap air kotor agar tidak mengenang di

daerah permukiman perkampungan di kota Mangkunegaran. Pemerintah praja kemudian

membangun saluran pembuangan air dari Pura Mangkunegran yang dialirkan ke sungai

Toklo yang dibuka pukul 8.30 pagi dan 6.30 sore, agar tidak menganggu pemandangan.

Pembuatan saluran air hujan juga dilakukan di kampung Stabelan untuk menghindari

luapan dan genangan air hujan dan limbah rumah tangga, sehingga air kotor dapat

mengalir dengan lancar dan tidak menyebabkan munculnya bibit penyakit.93

4. Perbaikan Jalan dan Jembatan

Pembangunan infrastruktur lain yang menjadi urgen bagi pemerintahan praja

Mangkunegaran adalah pembangunan jalan dan jembatan. Pembangunan infrastruktur

ini dipandang mendesak karena mengingat ditinjau dari teknik lalu lintas, letak

Mangkunegaran tidak baik sekali. Walaupun ibukotanya merupakan titik persilangan

jalan kereta api yang terpenting di Jawa, yakni dua perusahaan kereta api SS (dari

Jakarta dan Bandung lewat Yogyakarta dan Surakarta) dan NIS (dari Semarang ke

Yogyakarta lewat Surakarta), namun ibukota Mangkunegaran hanya sebagian kecil saja

yang disinggahi. Sebagian besar dari daerah-daerah Mangkunegaran masih merupakan

daerah terisolir dan sulit untuk dilalui dengan kendaraan umum. Pembangunn jalan dan

jembatan di Mangkunegaran semakin diperhatikan pada masa Mangkunegoro VII. Pada

93 “Anggaran Pembuatan Saluran Air”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Kode H. 204

tahun 1931 di praja Mangkunegaran terdapat 530 km jalan yang telah dapat dilalui

kendaraan bermotor.94

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan jalan dan jembatan

tidak hanya di jalan-jalan utama (protokol) dan jembatan-jembatan besar saja, tetapi

juga di daerah-daerah perkampungan, seperti mengadakan pelebaran jalan dan

pengerasan jalan serta pembagunan jembatan yang menghubungkan antara kampung

satu dengan kampung yang lainnya, agar penduduknya mudah berinteraksi.95 Jalan

perkampungan yang diperbaiki yakni seperti di kampung Nayu, Bibis, dan Gilingan.

Perbaikan jembatan dilakukan di kampong Gondang dan Pringgading. Pembangunan

jalan dan jembatan merupakan hasil inspeksi berkuda Mangkunegoro VII beserta

perwira dan keluarga serta abdi dalem yang dilakukan secar teratur, sehingga ia

mengetahui keadaan jalan dan jembatan yang ada di kampung-kampung di kota

Mangkunegaran.96 Pada mulanya pembangunan jalan dan jembatan ini mengalami

sedikit kesukaran dalam hal tenaga kerja, itu dikarenakan penduduk diperkampungan

Kota Mangkunegaran belum terbiasa dalam pekerjaan itu secara sistematik, namun

lama-kelamaan penduduk di perkampungan itu dapat menyesuaikan pekerjaan-

pekerjaan baru itu.

5. Pengadaan Penerangan Jalan

Listrik merupakan salah satu kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat,

khususnya di malam hari. Pada zaman dahulu kota Surakarta di waktu malam hari

sangat gelap, sebelum adanya penerangan listrik. Di jalan-jalan kota sebagai penerangan

94 Wasino, op.cit. hal 207-209 95 Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka.

Hal 294. 96 Pernyataan R.M. Gondosubariyo, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa

Pustaka. Hal 56

masih menggunakan Lampu Ting, yakni lampu teplok yang memakai kaca dimasukkan

dalam suatu tempat yang terbuat dari seng, dan berbentuk persegi empat. Lampu-lampu

tersebut digantungkan pada pertengahan jalan yang ramai pada setiap satu meter

dipasang satu buah lampu penerangan. Ketika musim penghujan banyak lampu yang

mati karena terkena air dan tertiup angin kencang.97 Keadaan tersebut juga dialami oleh

Praja Mangkunegaran, sebelum adanya listrik di kota itu.

Pada tanggal 12 Maret 1902 di Surakarta didirikan sebuah perusahaan listrik

yang bernama S.E.M (Solo Electricitiet Maatschappij). Lampu-lampu baru bisa menyala

pada tanggal 19 April 1902, sehingga di kota Surakarta di waktu malam hari menjadi

terang. Pemerintah praja Mangkunegran pada sekitar tahun 1902 masih belum bisa

menyuplai listrik untuk daerah-daerah diperkampungan, yang dikarenakan harganya

mahal. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII mulai melakukan pemasangan

lampu-lampu listrik di tepi-tepi jalan diperkampungan. Kampung-kampung yang

mendapatkan penerangan listrik, antara lain: Kampung Badran, Tirtomoyo, Manahan,

Timuran,.98 Penerangan jalan-jalan di perkampungan itu bermanfaat untuk

mempermudah hubungan antar kampung di waktu malam hari dan juga dapat

mengurangi tindak kejahatan (begal dan kecu) di Kota Mangkunegaran.

6. Pembangunan Bale Kampung/Kantor Kalurahan

Bale kampung merupakan kantor dinas dari Lurah Kampung dan Punggawa

Kampung. Bale kampung digunakan sebagai tempat untuk mengurusi masalah

diperkampungan, seperti: administrasi, perpajakan, pengadilan, dan lain sebagainya.

Bale Kampung di kota Mangkunegaran biasanya terletak di pojok perempatan jalan

97 R.M. Sayid, 1984. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 74 98 “Surat Permohonan Penerangan Jalan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Kode P.1938

diperkampungan. Pada masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII melakukakan

pembangunan bale kampung yang dianggapnya sudah tidak layak digunakan sebagai

tempat kerja. Tanah yang digunakan untuk pembangunan bale kampung adalah tanah

milik rakyat, yang telah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah praja Mangkunegaran.

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII telah dibangun tiga buah bale kampung,

yang antara lain: Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan.99

7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh

Epidemi Pest yang menyebar di seluruh Jawa Tengah ternyata juga sampai

menyebar ke kota Mangkunegaran. Penyakit pest ditimbulkan oleh kutu yang dibawa

oleh tikus dan kemudian menyerang manusia lewat baju atau barang yang ada di dalam

rumah, di mana kebersihan masyarakat pada waktu itu sangat memprihatinkan. Hal ini

dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan.

Rumah-rumah di perkampungan yang rata-rata terbuat dari alang-alang dan kayu

sederhana serta berlantai tanah sangat mendukung untuk berkembangnya penyakit yang

ditimbulkan oleh binatang pengerat itu.

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII, melalui Dinas Kesehatan

Mangkunegaran selalu menganjurkan kepada rakyatnya untuk menciptakan perumahan

yang sehat. Kriteria rumah sehat pada waktu itu adalah lantai harus kering, harus ada

pintu dan jendela, harus ada ventilasi, di sekitar rumah tidak ada air yang

mengenang, di setiap sumur harus dibuatkan penghalang di pinggirnya agar tidak

tercemari air kotor, dan bagi yang mampu dianjurkan untuk membuat kakus di setiap

rumah.100 Pemerintah Praja juga memberikan bantuan berupa pinjaman uang bagi rakyat

99 “Pembangunan Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 159, P. 2607, dan P. 2583

100 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11. Surakarta: Reksa Pustaka

yang ingin memperbaiki rumahnya. Dalam anggaran belanja praja tahun 1918,

pemerintah menyediakan dana sebesar f. 66.000 untuk perbaikan rumah rakyat dan f.

25.000 untuk biaya pembangunan kampung-kampung.101

Selain memberikan bantuan berupa pinjaman uang untuk perbaikan rumah dan

kampung, ia juga memberikan vaccin otten yang telah ditemukan pada tahun 1935,

untuk penderita penyakit pest dan juga melakukan penyemprotan obat serta

pembasmian tikus.102 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII itu

sangat membantu di dalam program pemberantasan penyakit menular, khususnya

penyakit pest di kota Mangkunegaran. Program itu juga diharapkan menciptakan

masyarakat yang sehat. Usaha-usaha pemberantasan penyakit menular yang dilakukan

oleh pemerintahan Mangkunegoro VII merupakan suatu bukti bahwa pemerintah tidak

menginginkan rakyatnya menderita akibat adanya penyakit menular yang mengancam

jiwa mereka. Mangkunegoro VII juga menyadari bahwa keselamatan dan kelangsungan

hidup rakyat menjadi tanggung jawabnya.

8. Pembangunan Mentalitas Penduduk

Mangkunegoro VII di masa pemerintahannya, ia tidak hanya membangun

sarana-sarana umum saja, tetapi ia juga membangun mentalitas penduduk di kota

Mangkunegaran. Mangkunegoro VII selalu memerintahkan patihnya untuk

mengaktifkan para lurah dan punggawa kampung, termasuk rukun kampung supaya

setiap hari tertentu menyelenggarakan penyuluhan-penyuluhan yang bersifat

memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman kepada warga masyarakat,

101 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No.2. Surakarta: Reksa Pustaka 102 Ratih Widayati, 1998. Skripsi: Yatna Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun

1943-1953. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 87

khususnya bagi ibu-ibu. Di samping memberi tambahan pengalaman, juga hal-hal yang

berkaitan dengan pendidikan dan memberikan motivasi bagi putra-putrinya.

Mangkunegoro VII Pada tanggal 29 April 1924, memerintahkan patihnya untuk

menyelenggarakan penyuluhan untuk warga masyarakat di sekitar Istana

Mangkunegaran. Acara itu bertempat di pendopo Prangwedanan. Acara itu juga diikuti

oleh para putra-putri sentana. Penyuluhan itu dimaksudkan untuk memberi tambahan

pengetahuan dan pengalaman tentang pembinaan keluarga, yang berguna untuk

kemajuan bagi praja Mangkunegaran. Di dalam acara itu Mangkunegoro VII juga

menghimbau agar penduduk di perkampungan hidup dengan sehat dan teratur yakni

dengan selalu menjaga kebersihan dilingkungannya masing-masing.103

103 Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII. Op.cit. hal 295

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab dimuka, maka

dapat ditarik kesimpulan, yakni: Mangkunegoro VII menggantikan kedudukan dari

Mangkunegoro VI pada tahun 1916. Pada awal pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi

kesulitan keuangan yang hampir membuat kebangkrutan praja Mangkunegaran.

Keberhasilan yang diperoleh Mangkunegoro VI salah satunya adalah mampu

memperbaiki kondisi keuangan praja yang kembali menjadi baik.

Mangkunegoro VII merupakan seorang terpelajar yang menempuh pendidikan

negeri Belanda. Mangkunegoro VII pada masa pemerintahannya melakukan

pembaharuan-pembaharuan disegala bidang yang merupakan terobosan baru dalam

sejarah kerajaan Jawa. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang sudah mapan, serta

didukung oleh keadaan geografis yang ada mendorong untuk melakukan pembaharuan

yang berguna untuk kesejahteraan praja dan rakyat Mangkunegaran.

Mangkunegoro VII juga melakukan pembaharuan ke daerah perkampungan,

khususnya di kota Mangkunegaran. Ada beberapa alasan yang mempengaruhi

pembangunan perkampungan di kota mangkunegran, yaitu: Mangkunegoro VII sebagai

pemimpin wajib melakukan pembangunan di kampung-kampung demi terciptanya

kesejahteraan penduduknya. Ia juga menginginkan agar penduduk di perkampungan

dapat menikmati modernisasi yang dilakukannya. Ia juga ingin agar penduduk di

perkampungan dapat hidup dengan bersih, sehat, dan teratur.

Pemerintahan Mangkunegoro VII selama 28 tahun telah terjadi perkembangan

ke arah modernisasi dibidang pendidikan, pertanian, infrastruktur, dan irigasi. Ia juga

81

sangat memperhatikan keadaan yang ada di perkampungan kota Mangkunegaran. Di

kampung-kampung banyak didirikan wc umum, seperti: kampung Ngebrusan,

Grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. Pembangunan pancuran umum

juga dibangun di kampung Cinderejo, Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan,

Stabelan, Grogolan, dan Turisari agar penduduknya dapat hidup dengan bersih dan

sehat. Pembuatan saluran air yang ada di kampung Stabelan dapat mengatasi luapan

banjir dan mengalirkan air hujan yang ada di rumah-rumah agar tidak menimbulkan

bibit penyakit.

Mangkunegoro VII juga membangun bale kampung Manahan, Kestalan, dan

Punggawan untuk mengurusi masalah penduduknya baik itu administrasi, pajak,

maupun pengadilan. Ia juga memperbaiki jalan dan jembatan yang ada di

perkampungan, seperti di kampung Gilingan, Nayu, Bibis, dan Pringgading yang

bermanfaat untuk berinteraksi antar penduduknya. Mangkunegaran VII juga

mengadakan penerangan jalan di perkampungan untuk mempermudah aktivitas di

malam hari dan mencegah tindak kriminalitas. Kampung-kampung yang mendapatkan

penerangan jalan antar lain: kampung Timuran, Badran, Tirtomoyo, dan Manahan.

Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII perbaikan rumah-rumah kumuh

juga dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit pest yang sangat berbahaya,

karena penduduk perkampungan pada masa itu hidup secara seadanya, itu dikarenakan

keadaan ekonomi yang tidak mencukupi. Mangkunegoro VII tidak hanya melakukan

pembangunan fisik saja,tetapi juga pembangunan mentalitas penduduk perkampungan

agar selalu hidup secar sehat, bersih, dan teratur, serta mendidik anak-anaknya secara

baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arsip-Arsip

Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran Umum Di Mangkunegaran.

Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka.

Anggaran Pembuatan Saluran Air. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Anggaran Pembangunan Bale Kampung Punggawan. Arsip Mangkunegoro VII.

Surakarta: Reksa Pustaka Pembukaan Bale Kampung Manahan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa

Pustaka Perumahan Yang Akan Dibuat Bale Kampung Kestalan. Arsip Mangkunegoro VII.

Surakarta: Reksa Pustaka. Surat Permohonan Penerangan Jalan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa

Pustaka. Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 23 (Bab Mengenai Pasar) dan No. 331

(Bab Mengenai Perubahan wilayah Administrasi Mangkunegaran). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No. 2 (Bab Mengenai Dana Untuk Perbaikan

Rumah dan Kampung). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No 10 (Bab Mengenai Perubahan Struktur

Birokrasi Mangkunegaran). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1924. No. 8 (Bab Mengenai Tugas Bupati Patih). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11 (Bab Mengenai Kriteria Rumah Sehat). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1939. No. 3 (Bab Mengenai Desa dan Kampung).

2. Buku-Buku

Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Ringkasan Riwayat Dalen Suwarga Sampeyan Dalen K.G.P.A.A Mangkunegoro ke VII,

2007. Surakarta: Reksa Pustaka

Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A Prabu Prangwedana VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka

Bernardinal Hilmiyah M.D, 1985. Mengenang Soerya Soeparto. Surakarta: Reksa

Pustaka. Dudung Abdurrrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Gondosubariyo R.M, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Heine-Geldern, Robert. 1981. Konsepsi Tentang Raja dan Kedudukan raja di Asia

Tenggara. Jakarata: Penerbit Rajawali. Larson G.D, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di

Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss. Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai

Pustaka. Moedjanto G, 1987. Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Muhammad Dalyono, 1977. Ketataprajaan Mangkunegaran. Rekso Pustoko

Mangkunegaran. Muhlenfeld A, 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M Soeparto.

Surakarta: Reksa Pustaka. Metz Th.M, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV

Nijgh dan Van Ditmar. Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: yayasan

Indayu. Pringgodigdo A.K, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta:

Reksa Pustaka. Purwadi, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. Rouffer G.P. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT.

Gramedia.

. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia.

. 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah, Jakarta: PT.

Gramedia. . 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu

Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia. . 1983, “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat, Metode-

Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia. Sayid R.M,1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran. Selo Soemardjan, 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada

University Perss. Suyatno dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Surakarta:

Hapsara. Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

3. Karya-Karya Ilmiah

Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada. Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Obyek Wisata

Yang Menaraik Di Jawa Tengah. Bandung: ABA Bandung. Nina Astiningrum, 2006. Skripsi: Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan

Perkotaan Di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Ratih Widayati, 1998. Skripsi: Yatma Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran

Tahun 1943-1953. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran

(Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

LAMPIRAN 1

LAMPIRAN 2

Gambar 1 K.G.P.A.A Mangkunegoro VII

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 2 WC Umum dan Pemandian Umum, di kampung Ngebrusan di bangun pada tahun 1943.

Sekarang di kenal dengan nama Monumen Jamban Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 3 Pancuran di daerah Villa Park, di bangun pada tahun 1943

Pancuran tersebut sekarang telah berubah menjadi Monumen 45 Banjarsari

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 4

Bale Kampung Manahan, di bangun pada tahun 1938 Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko

Gambar 5 Pembangunan Jalan di Gilingan pada tahun 1935

Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko

Gambar 6 Perkampungan Sebelum Adanya Pembangunan tahun 1924

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 7 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan tahun 1930

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 8 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan tahun 1932

Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka

Gambar 9 Jembatan Penghubung Antara Kampung Gondang dan Kampung Gumunggung,

di bangun pada tahun 1934 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka