laporan survei arkeologi komplek situs mangkunegaran 2011

Upload: danar-ariep-yudhoyono

Post on 14-Jul-2015

655 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM SURVEI KOMPLEK SITUS 2011MATA KULIAH ANGKATAN : METODE SURVEI ARKEOLOGI : 2010

TANGGAL PELAKSANAAN : 7 8 JUNI 2011 LOKASI : PURA MANGKUNEGARAN SURAKARTA

DOSEN PENGAMPU DRS. J. SUSETYO EDI Y AGUS T. HASCARYO, S.T, S.S, M.SC JAJANG AGUS SONJAYA, S.S, M.HUM

PENYUSUN FITALIA NORMA RACHIM DANAR ARIEF SUMARTONO SINTA AKHIRIAN DESY S.H. SURYA CHANDRA ADINUGRAHA (10/296314/SA/15108) (10/302510/SA/15674) (10/299147/SA/15290) (10/299357/SA/15339)

UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS ILMU BUDAYA JURUSAN ARKEOLOGI 2011

LAPORAN PRAKTIKUM SURVEI LAPANGAN 2011 Abstrak Survei komplek situs merupakan suatu kesatuan yang terdiri bangunan situs itu sendiri serta berbagai komponen yang melekat dan saling berhubungan dengan situs terebut baik di dalam ataupun di luar situs. Hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa berdiri sendiri dan saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk survei komplek situs ini Pura Mangkunegaran yang dijadikan objek survei. Pura Mangkunegaran yang keberadaannya turut menjadi bagian dalam sejarah bangsa ini memiliki segi arsitektur yang unik dan khas dengan adanya akulturasi dua budaya yang bisa menyatu tanpa adanya ketimpangan satu budaya yang dominan. Kedua budaya tersebut saling melengkapi sehingga terciptalah suatu gaya arsitektur tersendiri. Tujuan dari survei ini secara garis besar adalah mengetahui kesatuan keadaan kompleks situs baik dari segi bangunan, keadaan di sekitar situs baik persebarannya maupun pola yang dihasilkan. Beradasarkan survei yang telah dilakukan yang bisa disimpulkan adalah adanya akulturasi budaya Jawa dengan Eropa dan inkulturasi budaya Eropa yang di-Jawa-kan. Kata Kunci : Mangkunegaran, Komplek, situs

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Pura Mangkunegaran merupakan istana tempat tingal raja bernama Sri Paduka Mangkunegara yang bertempat tinggal di Surakarta yang dibangun tahun 1757 setelah Perjanjian Salatiga dan dua tahun setelah dilaksanakannya Perjanjian Giyanti. Perjanjian Giyanti yang dilaksanakan pada 13 Februari 1755 tersebut membagi pemerintahan Jawa menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dalam perjanjian tersebut menyebutkan bahwa wilayah Mataram di bagi menjadi dua yaitu sebelah timur sungai opak diberikan kepada Sunan Pakubuwana III yang berkedudukan di Surakarta dan sebelah barat diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono I yang berkedudukan di Yogyakarta. Jika dilihat dari luar bangunan Pura Mangkunegaran ini hampir sama seperti bangunan keraton biasanya. Namun Pura Mangkunegaran ini terlihat lebih kecil. Meskipun modelnya lebih kecil tapi bagian-bagian ruangan seperti Pamedan, Pendapa, Pringgitan serta Dalem Ageng tetap ada. Dari segi arsitektur Pura Mangkunegaran memiliki keunikan tersendiri dimana terjadi akulturasi antara budaya Jawa dengan Eropa. Disini terlihat dimana kebudayaan Jawa tidak hilang serta budaya Eropa yang masuk diberi ornemen budaya Jawa. Secara keseluruhan yang melatar belakangi memilih Pura Mangkunegaran sebagai objek survey kompleks situs adalah mencari sesuatu yang beda dan lain daripada yang lain yaitu ingin mengangkat objek yang berbeda dari kelompok lain. Selain itu juga karena adanya ketertarikan dari segi arsitektur serta pembagian dan persebaran dari bangunan yang merupakan kesatuan dari Pura Mangkunegaran.

B. PERMASALAHAN Permasalahan menjadi sorotan dalam survey ini adalah 1. Bagaimana arsitektur bangunan Pura Mangkunegaran?

2. Apa saja fungsi bangunan-bangunan di Pura Mangkunegaran? 3. Bagaimana pola dan bagian-bagian bangunan di Pura Mangkunegaran? 4. Apa saja perubahan-perubahan yang terjadi di Pura Mangkunegaran? 5. Bagaimana persebaran bangunan-bangunan di luar komplek yang masih merupakan bagian dan berhubungan dengan bangunan Pura Mangkunegaran?

C. TUJUAN SURVEI Tujuan dari survey komplek bangunan Pura Mangkunegaran ini adalah 1. Mengetahui kompleks bangunan yang akan disurvei dengan melihat landskap dan keadaan di sekitar kompleks tersebut. 2. Mengetahui sejarah Pura Mangkunegaran. 3. Mengetahui arsitektur Pura Mangkunegaran 4. Mengetahui fungsi bangunan di kompleks Pura Mangkunegaran 5. Mengetahui pola dan juga bagian-bagian bangunan di Pura Mangkunegaran 6. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi di Pura Mangkunegaran?

BAB II METODE SURVEI A. AREA DAN WAKTU SURVEI Survei komplek situs yang dijadikan objek survei adalah komplek Pura Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran terletak di RT 27 Kecamatan Banjarsari Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Provinsi Jawa Tengah yang terletak pada koordinat 49M 0480472 9163609 UTM elevasi 116 dengan akurasi 3 meter. Secara geografis sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Ronggowarsito sebelah barat berbatasan dengan Jalan Kartini sebelah utara berbatasan dengan Jalan R.M Said dan di sebelah timur berbatasan dengan Jalan Teuku Umar. Pura Mangkunegaran memiliki luas areal 93.396 m2 dengan panjang 302,50 meter dan lebar 308,25 meter. Bagian-bagian dari Istana Pura Mangkunegaran terdiri dari Pamedan, Pintu Gerbang, Pendapa Ageng, Pringgitan dan Dalem Ageng. Dalam survei yang dilaksanakan, tidak bisa mengukur bagian dalam Dalem Ageng dikarenakan alasan privasi jadi tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Survei dilaksanakan mulai tanggal 7 juni 2011 sampai 8 juni 2011. Dalam rentang dua hari tersebut terbagi ke dalam beberapa tahap. Pada hari pertama dari pukul 11.00 sampai pukul 13.00 sembari menunggu surat ijin dari pihak yang bersangkutan kita mencari data pendukung survei di perpustakaan Pura Mangkunegaran dilanjutkan dengan searching di internet. Survei hari kedua dimulai dari pukul 12.00 sampai pukul 16.00. Setelah mendapatkan ijin dari pihak Pura Mangkunegaran dilanjutkan dengan mulai mengukur ukuran per bangunan dengan menggunakan GPS dan rol meter. Selain melakukan kegiatan tersebut juga dilakukan kegiatan pendokumentasian setiap bangunan baik bentuk, atap dan bahan yang digunakan. Ada beberapa kendala dalam pelaksanaan pengukuran bagian Dalem Ageng dikarenakan bangunan tersebut masih dihuni oleh raja. Namun berkat bantuan kakak tingkat arkeologi angkatan 2008,bisa masuk ke dalem ageng tapi hanya sebagian saja.

B. PERALATAN DAN BAHAN no 1 2 Nama alat Rol meter dan meteran Kompas Kegunaan Untuk mengetahui ukuran suatu bidang Untuk mengetahui arah dan bisa untuk mengetahui tinggi suatu bangunan

dengan membidikkan pada bangunan 3 Penggaris dan alat tulis tersebut sebagai 4 Millimeter block pelengkap dan pendukung

dalam menulis ataupun menggambar media untuk menggambar gambar

5 6

Kamera GPS

sebenarnya di bidang datar dengan menggunakan skala untuk mendokumentasikan gambar

7

Laptop

Untuk mengetahui letak suatu tempat. Selain itu juga bisa untuk mengukur luasan dan jarak suatu tempat. Untuk mengamati kenampakan atas dari Mangkunegaran dan bangunan lainnya yang masih berhubungan,

dengan software Google Earth

C. CARA PELAKSANAAN Cara pelaksanaan survei komplek bangunan ini dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu 1. Mencari informasi bangunan yang akan disurvei dengan cara searching internet dan juga rekomendasi dari salah satu teman anggota kelompok. 2. Setelah mendapatkan kompleks bangunan yang akan disurvei,

mengkonsultasikannya kepada dosen pembimbing mata kuliah Metode Survei Arkeologi. 3. Lalu setelah mendapat ijin dari dosen pembimbing dilanjutkan dengan mengurus surat ijin dari jurusan dan fakultas. 4. Sembari menunggu surat ijin dari fakultas keluar, salah satu teman anggota kelompok menanyakan langsung ke pihak Pura Mangkunegaran bagaimana proses dan persyaratannya. 5. Setelah surat ijin keluar dan berbagai persyaratan yang diajukan pihak Pura Mangkunegaran dipersiapkan, anggota kelompok mendatangi tempat yang akan disurvei. 6. Karena surat ijin dari fakultas harus diproses terlebih dahulu oleh pihak pura mangkunegaran, studi literatur di perpustakaan pura mangkunegaran dipilih untuk mencari sumber literatur yang mendukung. 7. Setelah surat ijin dari pihak pura mangkunegaran keluar kemudian mulai dilakukan kegiatan survei. Untuk mengukur panjang dan lebar bangunan menggunakan GPS dan rol meter. Sebelumnya membuat sket kasar denah kompleks bangunan pura mangkunegaran dengan mencarinya di google earth. 8. Mendokumentasikan setiap kegiatan dan bangunan yang disurvei. 9. Menyalin sket kasar ke millimeter block dengan skala yang telah ditentukan.

D. HASIL SURVEI Berdasarkan survei yang telah dilaksanakan selama 2 hari yaitu tanggal 7-8 juni 2011 yang terbagi ke dalam beberapa tahap, hal-hal yang didapatkan yang juga menjadi sorotan permasalahan dalam survei komplek situs kali ini antara lain 1. Arsitektur bangunan Pura Mangkunegaran Dari segi arsitektur Pura Mangkunegaran memiliki arsitektur yang unik beraliran klasik dengan perpaduan gaya Eropa dan Jawa. Perpaduan ini terlihat pada adanya patung-patung bergaya eropa dengan warna keemasan serta bentuk bangunan yang mengadopsi gaya eropa seperti adanya serambi atau teras yang pada bangunan jawa hal tersebut tidak dikenal tapi merupakan kekhasan ciri dari villa-villa di eropa. Hal lain yang mencirikan adanya pengaruh eropa adalah bahan bangunan yang digunakan. Pada pendopo memang yang digunakan untuk tiang berbahan kayu namun emperan pada pendopo bahan untuk tiang menggunakan besi. Selain itu penggunaan ornament bangunan seperti bentuk jendela dan pintu yang tinggi dan lebar, penggunanan atribut pelengkap seperti model lampu yang digunakan juga menunjukkan adanya pengaruh dari eropa. Dalam bentuk atap bangunan juga terlihat adanya pengaruh yang sama. Arsitektur jawa juga masih melekat pada bangunan pura mangkunegaran ini. Hal tersebut terlihat pada bentuk bangunan joglo, limasan dan atap yang masih tumpang. Pada bangunan tertentu masih tetap mempertahankan arsitektur jawa nya walaupun ada penggabungan dengan gaya eropa. Penggabungan arsitektur eropa dan jawa semakin membuat Pura Mangkunegaran terlihat elok dan megah. Disamping itu juga tidak mengesampingkan budaya jawa sendiri namun memasukkan budaya jawa tersebut ke dalam style eropa yang mengakulturasi ke style jawa. Hal tersebut terlihat pada patung-patung yang bergaya eropa terdapat ukir-ukiran yang menggambarkan ke-jawa-an. Arsitektur yang ditawarkan pada pura mangkunegaran menunjukkan adanya akulturasi budaya antara Jawa dan Eropa yang kedua unsur ini saling bergabung sehingga menghasilkan budaya yang khas dan terciptalah suatu perpaduan arsitektur yang megah karena saling melengkapi dan tidak ada yang dominan satu dan lainnya.

2. Fungsi bangunan di Pura Mangkunegaran Komplek Mangkunegaran memiliki lima bagian utama, yaitu Pamedan, Pintu Gerbang, Pendapa, Pringgitan serta Dalem Ageng. Masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Seperti fungsi pada bangunan keraton pada umumnya, dapat dipastikan bahwa fungsi komplek Mangkunegaran adalah khas dan eksklusif. bangunan yang ada pada pura mangkunegaran antara lain Pamedan Pamedan merupakan hamparan tanah lapang yang luas yang berada di depan sebelum masuk ke halaman Pura yang melewati sebuah pintu gerbang. Tempat ini dahulu berguna sebagai tempat latihan prajurit kerajaan. Selain itu digunakan sebagai pusat kegiatan-kegiatan legiun. Sekarang digunakan untuk acara-acara kebudayaan kota. Pintu gerbang Pintu gerbang yang terbuat dari jajaran batang besi ditata scara vertical yang ujung-ujungnya seperti ujung tombak ini berada di sebelah selatan, barat dari jalan Kartini dan timur dari jalan Teuku Umar. Di Gerbang bagian selatan ini jarang sekali di buka, hanya dibuka pada saat acara-acara penting saja seperti Kirab pusaka dan upacara adat. di Gerbang bagian selatan ini paling berbeda dengan gerbang yang lainnya terdapat 2 patung Bima yang ada dalam pewayangan. Pendapa Ageng Pada bagian halaman pendapa terdapat kolam yang berbentuk bulat dengan patung bocah yang berambut ikal, wajah bulat dan pipi montok di atas angsa sebagai hiasan taman. Angsa tersebut merupakan penjelmaan dewa dalam mitologi yunani yang berusaha menyenangkan anak-anak. Penempatan dan penggambaran patung tersebut dimungkinkan adanya pengaruh dari Yunani namun juga dalam mitologi Jawa yang menganggap bahwa angsa sebagai hewan penjaga yang bisa menolak bala. Pendapa ageng ini berbentuk joglo dengan ukuran 64 m x 60 m (ketika diukur sendiri) namun di buku yang menjadi referensi dituliskan berukuran 52,50 x Bangunan-

62,30 = 3.270 m. Pendapa Ageng ini memiliki 4 saka guru. Tiang utama dengan tinggi 10,50 m bagian atas mengapit bidang 4 persegi dengan lebar 0,40 m. kemudian emperan yang mengelilingi pendapa ageng ini ditopang 3 tiang penyangga. Tiang penyangga pertama berjumlah 12 buah dengan tinggi 8 m, kedua berjumlah 20 buah dengan tinggi 5 m dan yang ketiga berjumlah 28 buah dengan tinggi 4 m. Fungsi dari pendapa ageng ini beragam mulai dari yang resmi, setengah resmi dan tidak resmi. Kegiatan yang pernah dilakukan di pendapa ageng ini antara lain sebagai tempat penyelenggaraan upcara-upacara resmi, upacara adat, upacara penyambutan, kegiatan seni serta pergelaran wayang orang. Pada pendapa ageng ini juga terdapat seperangkat gamelan yang baik dan dihormati. Paretan Sebuah jalan yang menghubungkan antara Pendapa dan Pringgitan, konsep bangunan ini merupakan konsep dari bangunan Eropa, karena dalam Rumah adat di Jawa tidak ada aturan bangunan yang menggunakan Paretan ini. Pringgitan Merupakan suatu bangunan yang berbentuk kutuk ngambang yang berukuran 21,50 x 17,50. Kategori bangunan ini adalah semi sakral karena sebagai jalan penghubung untuk menuju ke dalem ageng. Pada pringgitan ini terdapat patungpatung penghias dengan style perempuan eropa. Fungsi dari pringgitan ini sendiri antara lain dipakai untuk pagelaran wayang kulit dan untuk menjamu tamu resmi mangku negaran. Dalem Ageng Dalem Ageng merupakan bangunan sakral yang merupakan tempat privasi bagi raja jadi tidak sembarang orang bisa masuk. Dalem ageng ini berbentuk limasan dengan ukuran 27,50 x 30,50 m . Pada sebagian Dalem Ageng sekarang digunakan sebagai museum untuk menyimpan benda cagar budaya masa itu. Terlepas dari hal tersebut menurut sumber referensi pada Dalem Ageng masih terdapat ruang yang bersifat sangat sakral dan pribadi sekali. Hanya Sri Mangkunegaran yang boleh masuk yaitu ruang yang diberi nama Kamar Kyai.

Masih ada tempat-tempat lain yang tidak boleh dimasuki oleh umum seperti Kaputran dan Kaputren. 3. Pola serta bagian-bagian pada Pura Mangkunegaran Pola yang dihadirkan pada bangunan Mangkunegaran adalah pola yang tertutup dan bersifat linear. Masih sedikit mengadopsi filosofi jawa yang membagi suatu bangunan itu terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu bangunan sakral, semi sakral dan untuk umum. Pada bagian sakral merupakan suatu bangunan yang hanya orang tertentu bisa masuk dan tidak bisa sembarang orang yang masuk. Bangunan sakral ini kebanyakan terdapat di Dalem Ageng. Kemudian bangunan yang memiliki nilai semi sakral terdapat di bagian Pringgitan. Lalu bangunan yang bisa dimasuki orang umum secara keseluruhan terdapat di bagian depan seperti perpustakaan dan Pendapa Ageng. Ada referensi yang menyatakan bahwa pura mangkunegaran tidak sesuai dengan rumah tradisional jawa. Fungsi bangunan tersebut terbagi menjadi 3 bagian yaitu resmi, pribadi dan dinas. Fungsi bangunan yang resmi terdapat pada alun-alun, bangunan kavalery dan infantry, pendapa serta gedung pemerintahan. Bangunan yang berfungsi pribadi terdapat pada bale ageng. Bangunan yang berfungsi dinas terdapat pada garasi atau tempat kereta dan WC. 4. Perubahan yang terjadi Perubahan terjadi pada hilangnya bangunan di bagian barat Pamedan. Dahulu terdapat bangunan Mangkunegaran ( Palace Hotel ), tidak diketahui sebab hilangnya bangunan tersebut. perubahan-perubahan lain yang terjadi lebih kepada perenovasian dan pengecatan ulang agar terlihat lebih menarik. Perubahan banyak terjadi pada fungsi bangunan seperti di bagian Barat dan Timur Pendopo yang dulunya digunakan untuk urusan Intern Istana dan bagian urusan luar Istana sekarang yang difungsikan hanya bangunan yang ada di sebelah timur Istana untuk administrasi dan segala urusan perijinan serta Pustaka. Di bagian belakang Pura Mangkunegaran yang dulunya digunakan untuk taman Raja dan keluarganya pun sekarang sudah tidak digunakan lagi, seperti Kolam dan Blumbangan, sekarang yang berfungsi hanyalah Kolam saja dan itupun sudah di modifikasi dari bentuk awal. Serta di bagian Belakang terdapat penambahan lapangan tenis untuk sarana berolahraga.

5. Persebaran bangunan di luar komplek pura mangkunegaran yang masih merupakan bagian pura mangkunegaran Persebaran Bangunan yang masih berhubungan dengan kompleks Mangunegaran yaitu Pasar yang terdapat di bagian utara dan selatan Pura Mangkunegaran 500 m, di utara bernama Pasar Legi, keadaannya pun sekarang masih terawat dan digunakan sebagai pasar umum yang menjual kebutuhan seharihari dan buka setiap hari tidak seperti dahulu yang hanya buka pada hari Legi saja, sedangkan di bagian Selatan Pura Mangkunegaran terdapat Pasar Pon, dulu pasar ini terdapat di kiri dan di kanan Ngarsopuro ( sekarang jl. Yosodipuro) pasar ini menjual berbagai macam perhiasan, seperti Gelang dan barang barang antik tetapi seiring berjalannya waktu pasar ini Hanya menjual barang barang antic saja dan berganti nama menjadi Pasar Triwindu, dan sekarang setelah ada renovasi dan perombakan besar-besaran pada pasar Triwindu, pasar ini berganti nama menjadi pasar Windu Jenar yang masih menjual komoditas yang sama ( barang barang antik ). Bangunan selanjutnya adalah bangunan Masjid, Masjid Mangkunegaran ini terletak di sebelah barat Pura Mangkunegaran yang berada di utara Gerbang sebelah Barat, yang mempunyai Markis dan Kuncungan. Walaupun Masjid ini berasitektur Jawa tetapi banyak pengaruh dari Kolonial. Dan sekarang pun Masjid ini masih digunakan untuk ibadah umum. Taman Balekambang yang berada sekitar 2 km kearah Barat, Taman Balekambang ini di hadiahkan kepada kedua Putri Mangkunegara VII yang bernama Partini Tuins dan Partinah Bosch, Taman ini dulunya mempunyai kolam dan di tengah kolam tedapat pulau kecil yang biasanya digunakan oleh raja-raja dulu untuk bertapa, tetapi karena tempat ini jarang digunakan dan dilupakan oleh pihak Mangkunegaran maka tempat ini dipakai oleh pihak swasta untuk menjadi tempat Hiburan, Panggung Ketoprak dan diskotik sehingga nama Balekambang menjadi negatif karena itu. Tetapi sekarang Balekambang difungsikan kembali seperti fungsi awal menjadi Taman kota, tetapi pulau kecil yang ada di tengah kolam menjadi hilang, untuk mengenah Partinah Bosch maka di tengah Taman Balekambang dibuat Patung Partinah Bosch untuk mengingatnya. Serta pembangunan Gedung Wayang orang di bagian depan Balekambang.

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. ANALISIS Ditinjau dari bentuk arsitektur bangunan, Pura Mangkunegaran adalah bangunan Jawa yang dipengaruhi banyak percampuran budaya asing. Budaya asing tersebut antara lain adalah Gaya Eropa khususnya Belanda dan gaya arsitektur China. Namun bangunan aslinya tidak hilang kejawennya. Gaya Eropa yang paling terlihat adalah adanya bangunan artileri dan kavaleri di timur kraton. Artileri adalah tempat menyimpan kuda-kuda dan prajurit kraton. Bangunan tersebut diadaptasi dari kompleks bangunan di kerajaan-kerajaan di Eropa yang biasanya menggunakan pasukan kuda untuk berperang. Hal itu menandakan bahwa komplek bangunan Mangkunegaran mengadaptasi bangunan kerajaan Eropa, sangat dimungkinkan bahwa adaptasi tersebut dibawa oleh Belanda yang mengintervensi kraton Mangkunegaran. Bentuk bangunannya pun sangat kental nuansa Eropa, bangunannya bertingkat dengan penggunaan dinding yang tebal. Bentuk pintu gerbang yang melengkung dan memiliki ketebalan didinding yang tebal juga merupakan contoh nyata gaya arsitektur Eropa. Dari kesemua ciri dan bentuk bangunan di atas, maka komplek Mangkunegaran sangat berkaitan erat dengan Belanda. Salah satu faktor pemisah kraton Yogyakarta dengan kraton Surakarta adalah Perjanjian Giyanti, dan kedekatan kraton Surakarta dengan Belanda. Maka tidak mengherankan apabila pengaruh Belanda maupun Eropa sangat kental dan berkembang di Mangkunegaran. Budaya China juga terlihat pada warna dan bentuk bangunan di bagian dalam Mangkunegaran. Pracimasono adalah bangunan yang berbentuk setengah lingkaran berguna untuk ruang menemui tamu atau sering disebut ruang penjamuan keluarga raja atau pejabat penting lainnya. Bangunannya sangat mewah dan sangat berkesan budaya China. Hal itu menandakan telah terjadi percampuran budaya bukan hanya dari Eropa namun dari Asia. Hubungan perdagangan adalah indikasi yang tepat untuk menjelaskan kaitan Mangkunegaran dengan para etnis China. Dimungkinkan bahwa etnis China datang dan berdagang kemudian terjadi percampuran budaya antara budaya Jawa dan China. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa telah terjalin hubungan yang baik antara etnis China dengan Mangkunegaran.

Dapat pula diambil kesimpulan Mangkunegaran terbuka dengan semua kebudayaan yang masuk meskipun itu etnis China yang sering terpinggirkan di daerah-daerah tertentu. Data diatas menunjukkan bahwa budaya asing sangat berpengaruh pada gaya arsitektur Mangkunegaran. Meskipun begitu, namun budaya kejawen tidak hilang dari Mangkunegaran. Bukti yang dapat memperkuat pernyataan tersebut adalah dengan adanya pendapa besar ditengah kompleks Mangkunegaran. Memang tidak dapat dipungkiri pendapa tersebut telah mendapat pengaruh Eropa dengan adanya tiang dari besi. Namun pada dasarnya pendapa adalah gaya arsitektur Jawa yang sangat lestari hingga saat ini. Bentuk pendapanya pun tidak berbeda dengan pendapa pada umumya. Bukti lain tentang kejawen Mangkunegaran adalah dengan adanya lung-lungan di atap pendapa yang menggunakkan warna hijau, kuning emas dan merah yang merupakan warna asli kerajaan atau kraton. Dengan demikian, unsur Jawa tidak hilang dari Mangkunegaran, meskipun percampuran budaya asing banyak terdapat pada gaya arsitektur Mangkunegaran. Bukti-bukti diatas hanyalah sebagian kecil dari banyak bukti percampuran gaya arsitektur di Mangkunegaran. Namun dari bukti-bukti diatas sudah cukup menjelaskan bahwa telah terjadi percampuran gaya arsitektur antara Eropa, China, dan Jawa. Setiap bangunan di komplek Mangkunegaran sudah pasti memiliki fungsi yang penting dalam pengelolaan Magkunegaran. Baik fungsi terdahulu maupun sekarang, tetap akan penting untuk pengamanan dan pengelolaan Mangkunegaran. Secara umum dahulu maupun sekarang Pura Mangkunegaran memiliki fungsi sebagai tempat tinggal pribadi Mangkunegaran serta menjadi kantor administrasi Kraton Surakarta. Namun tempat wisata menjadi tambahan fungsi Pura Mangkunegaran, terbukti dengan adanya guide yang memadu dan menjelaskan tiap-tiap bangunan di Mangkunegaran. Pura Mangkunegaran juga dapat berfungsi sebagai tempatnya karya sastra karena koleksi karya sastra di perpustakaan Mangkunegaran bernama Rekso Pustoko. Terdapat perbedaan antara fungsi setiap bangunan dahulu dengan sekarang, misalnya bangunan berderet di samping pendapa yang dahulunya menjadi kantor administrasi dan untuk mengatur keperluan rumah tangga Mangkunegaran, sekarang telah menjadi tempat menyimpan koleksi buku-buku tentang Mangkunegaran. Contoh perubahan fungsi yang terlihat jelas adalah bangunan Dalem Ageng yang dahulu untuk tempat diadakan upacara-upacara resmi kerajaan seperti pernikahan Putri Raja, namun sekarang menjadi tempat penyimpanan benda koleksi barang-barang antik atau museum Mangkunegaran. Terlepas dari dahulu maupun sekarang, Pura Mangkunegaran memiliki arti penting dalam sejarah budaya Indonesia dan kota Surakarta pada khususnya. Pemanfaatan

dan pengelolaan yang baik akan dapat mempertahankan fungsi Pura Mangkunegaran asli seperti sebagaimana mestinya. Pola bangunan Pura Mangkunegaran tidak simetris seperti bangunan-bangunan kerajaan pada umumnya, baik arah maupun bentuk tanah dan bangunan tidak lurus dan simetris. Meskipun simetris adalah salah satu cirri khas bangunan Jawa Tengah, namun pada kenyataannya Pura Mangkunegaran tetap indah meskipun tidak simetris. Jika dilihat dari foto udara, Pura Mangkunegaran terkesan tidak seimbang antara sisi kanan-kiri maupun depan belakang. Hal tersebut lebih disebabkan karena pembangunan Pura mangkunegaran dilakukan secara bertahap, sehingga penambahan-penambahan bagunan dilakukan terus menerus dan tidak sempat memikirkan kesimetrisan pola bangunan. Ketidaksimetrisan pola bangunan Pura Mangkunegaran bukanlah hal yang menjadikan kecacatan suatu pola, namun dapat menjadi cirri khas Pura Mangkunegaran dan mengesankan beda dengan yang lain. Demikian pula dengan bagian-bagian bangunan Pura Mangkunegaran yang dibangun sesuai denga fungsinya. Bagian-bagian bangunan Pura mangkunegaran tergolong tidak selengkap kraton pada umumnya, misalnya ketidakadanya alun-alun dan pohon beringin. Namun semua kekurangan bagian tersebut tidak menyurutkan pemerintah menjadikan bangunan tersebut menjadi bangunan Cagar Budaya. Nilai historis dan budaya masih sangat dijunjung tinggi, misalnya ketika masuk ke komplaks Mangkunegaran kendaraan harus mematikan mesin dan pengunjung harus berjalan guna meghormati kompleks tersebut. Segala kekurangan dan kelebihan Pura Mangkunegaran justru membuat kompleks tersebut istimewa dan khas. Jadi tidak perlu diragukan lagi bahwa setiap bagian-bagian bangunan Pura Mangkunegaran adalah penting dan indah. Pola bangunan Mangkunegaran adalah pola tertutup dan bersifat linear. Masih sedikit mengadopsi filosofi jawa yang membagi suatu bangunan itu terbagi menjadi 3 tingkatan yaitu bangunan sacral, semi sakral dan untuk umum. Setiap bangunan bersejarah pasti mengalami perubahan-perubahan tertentu, baik bangunan fisiknya maupun fungsinya. Pura Mangkunegaran merupakan kompleks yang telah mengalami banyak perubahan dari segi bangunan fisiknya. Perunahan yang paling terlihat adalah perubahan yang terjadi bangunan di Pamedan. Dahulu terdapat bangunan di Pamedan namun sekarang bangunan tersebut sudah hilang tidak berbekas, yang terlihat hanya hamparan tanah lapang. Perubahan lain yang terlihat lebih kepada perubahan fungsi bangunan.

Persebaran bangunan di luar kompleks Mangkunegaran yang paling terlihat adalah adanya taman Balekambang, Masjid Al-Wustho, dan Pasar Legi. Taman Balekambang adalah taman milik Mangkunegaran, sama pentingnya dengan taman Sri Wedari bagi Kraton Solo. Sejarah tercatat pada serat Babad yang menyebutkan bahwa tama Balekambanag adalah bukti nyata kecintaan pada kedua putri Mangkunegaran, tepatnya sebagai hadiah pernikahan Partini Tuins dan Partinah Bosch. Sekarang Balekambang telah menjadi kawasan pariwisata dan sebagai taman kota. Taman Balekambang adalah bukti nyata bahwa Mangkunegaran VII telah melakukan konservasi lingkungan. Di tengah arus globalisasi dan kapitalis saat ini, Mangkunegaran tetap melestarikan Balekambang sebagai paru-paru kota. Masjid Al-Wustho adalah masjid kerajaan Mangkunegaran yang terletak di sebelah barat Kraton Mangkunegaran. Pendirian masjid mangkunegaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panotogomo. Sebelumnya terletak diwilayah kauman, Pasar Legi, namun pada masa Mangkunegaran II dipindah ke wilayah banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Puro Mangkunegaran. Sama seperti karakter bangunan di Pura Mangkunegaran lainnya yang banyak dipengaruhi arsitektur gaya Kolonial, bangunan Masjid Al-Wustho juga mendapat banyak pengarug gaya arsitektur kolonial. Hal yang paling mencolok adalah bahwa Masjid tersebut penuh dengan kaligrafi Al Quran setiap bagianbagian bangunan masjid. Dari semua data diatas dapat diketahui bahwa Mangkunegaran adalah sosok raja yang religingus tetapi tetap merakyat, terbukti dengan adanya tempat sholat khusus Mangkunegaran yang berada didekat tempat sholat umum. Bangunannya luas dan dapat menampung banyak jamaah. Hal itu menandakan bahwa raja telah menyediakan tempat yang cukup luas untuk menyabarkan agama Islam. Terdapat tempat yang dahulunya sebagai tempat khitanan putra Mangkunegaran terdahulu dan sekarang menjadi kantor administrasi Muhamadiyah khitanan massal. Hal itu juga membuktikan bahwa Mangkunegaran sangat terbuka terhadap aliran agama manapun. Pasar Legi berada di sebalah utara komplek Mangkunegaraan yang berdiri pada masa kepemimpinan Mangkunegara I (pangeran Sambernyowo). Pasar Legi telah mengalami beberapa renovasi karena perembangan jaman dan banyaknya penjual dan pembeli. Renovasi dilakukan untuk memperlebar ruang Pasar Legi agar cukup memuat semua pedagang dan pembeli. Karena keramaian yang ditimbulkan, Pasar Legi menjadi pasar terbesar di Surakarta. Di selatan Mangkunegaran juga terdapat pasar Pon yang menjual barang-barang antik seperti kalung dan perhiasan lainnya, tetapi sekarang pasar pon sudah berubah menjadi pasar triwindu ( sekarang Pasar Windu Jenar)

yang fungsinya juga sama. Hal itu menandakan bahwa kepemimpinan Mangkunegaran telah menerapkan konsep kerakyatan yang sangat baik, terbukti dengan adanya pasar yang berkembang dengan baik. Taman Balekambang, Masjid Al-Wustho, pasar windu jenar dan Pasar Legi sampai saat ini masih terawat dengan baik, maka dari itu perlu perawatan yang berkelanjutan

2. PEMBAHASAN Pembahasan Sejarah Budaya Mangkunegaran dahulu adalah pusat pemerintahan Keprajan. Keprajan berasal dari kata praja yaitu Kasunanan. Jadi Mangkunegaran adalah bagian dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat. R.M Said/ P. Suryokusumo/ P. Sambernyawa adalah orang yang diberi mandat untuk menempati Mangkunegaran. karena itu P. Sambernyawa diberi gelar P. Adipati Arya Mangkunegaran. Kadipaten pada tanggal 17 Maret 1757 P. M Said dilantik sebagai Adipati. Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757. Pembahasan deskripsi Fisik Terdapat banyak bangunan dalam kompleks Mangkunegaran. Pamedan, Pintu Gerbang, Pendopo Ageng, Pringgitan, dan Dalem Ageng. Pamedan adalah hamparan tanah lapang yang luas yang berada di bagian utara maupun selatan Mangkunegaran. Pamedan berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara kebudayaan kota seperti SIEM. Diantara bangunan-bangunan di mangkunegaran, dominasi gaya arsitektur Eropa sangat kental terasa. Perpaduan gaya arsitektur Jawa dan Eropa juga sangat nampak. Pura Mangkunegaran bukan merupakan kompleks bangunan yang dibangun sekaligus. Dahulu Puro Mangkubumen menempati Dalem Kabupaten, Dalem Kepatihan. Pembangunan dilakukan dimulai dari masa kepemimpinan

Mangkunegaran II. Pendopo Ageng yang besar dibangun pada tanggal 25 Oktober 1815. Pembangunan kedua adalah penataan Puro oleh Mangkunegaran IV. Mangkunegaran IV menambah beberapa ruang pada kompleks tersebut. Haluan rumah atau sering disebut Gewel dibangun sejajar dengan bangunan Puro. Bangunan

lain yang dibuat adalah Dirgasana atau Kantor bertingkat. Berada di sebelah Timur Pendopo Ageng dan digunakan sebagai kantor Kompleks Mangkunegaran. gedung kavaleri dan artileri yang berada di timur Pamedan juga dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegaran IV. Bangunan tersebut kental sekali dengan unsur Eropa, baik dalam segi arsitektur maupun penempatan fungsi dan makna namanya. Ada pula bangunan bernama Perwasana yang berada di sebelah timur

Mangkunegaran. isian bangunan tidak luput dari pembangunannya. Isian yang bersifat mewah dan elegan tertata dengan rapi dan serasi. Pracimayasa adalah bangunan yang paling istimewa diantara bangunan dalam kompleks Mangkunegaran lainnya. Pada masa pemerintahan Mangkunegaran VII, dibangun teras atau emper yang mengelilingi Pendopo Ageng. Lantai pendopo juga diganti menjadi batu Pualam. Pembangunan tersebut berlangsung antara tahun 1914 sampai dengam 1944. Pracimayasa dikatakan istimewa karena desain interiornya yang sangat menakjubkan. Isian interiornya meawah dan bernilai seni tinggi. Pemberian interior dilakukan oleh Thomas Karsten seorang arsitek Eropa pada tahun 1918 sampai dengan 1920. Hal ini menunjukan kejayaan Mangkunegaran VII karena menunjukan kekayaan Mangkunegaran VII yang sangat melimpah. Keistimewaan lainnya adalah karena Pracimayasa merupakan tempat pernikahan Mangkunegaran VII dengan B. R. Aj. Marsudariyah yang tak lain adalah seorang putri Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Setelah masa kepemimpinan Mangunegaran diatas telah dilakukan bebrapa kali renovasi yang meliputi pengecatan kembali bangunan, penambahan kaca di dinding depan Kompleks Mangkunegaran, serta penambahan ornament hias pada panel interior.

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Pura mangkunegaran yang berdiri tahun 1757 memiliki peran dan sumbangan yang besar terhadap bangsa ini dalam berbagai hal. Dari segi arsitektur memperlihatkan adanya akulturasi 2 budaya yang dominan tapi tidak ada ketimpangan hanya 1 budaya yang mencolok. Namun malah memperlihatkan gaya arsitektur baru yang khas dan eksklusif. Selain itu juga menunjukkan bahwa pihak pura mangkunegaran terbuka untuk hal-hal yang baru tapi tidak melupakan budaya asalnya. Jadi pihak pura mangkunegaran memperlihatkan hal tersebut pada gaya arsitekturnya yang mencoba untuk

mengkombinasikan arsitektur jawa dengan arsitektur eropa. Persebaran bangunan yang masih menjadi bagian dari pura mangkunegaran ada di luar komplek. Sampai saat ini bangunan-bangunan tersebut masih ada yang dilestarikan atau dirawat, berubah fungsi bahkan ada yang hilang karena suatu hal. Terlepas dari semua itu, pihak pura mangkunegaran tetap berusaha menjaga, menempati dan memanfaatkan bangunan-bangunan tersebut sesuai dengan apa yang seharusnya. Adanya kerja sama antara pemkot Surakarta dengan pihak pura mangkunegaran menjadikan semua hal yang berhubungan dengan bangunan pura mangkunegaran tetap terjaga. B. SARAN Saran yang bisa diberikan antara lain Konservasi di luar bangunan pura mangkunegaran seperti kavaleri dan bangunan bangunan lain selain pendopo ageng dan dalem ageng, sebaiknya dijaga dan dirawat agar nantinya anak cucu dapat menyaksikan peninggalan dari Mangkunegaran ini. Perlunya perawatan yang lebih dari pihak pihak yang terkait agar bangunan di dalam komplek maupun di luar komplek tetapi masih ada hubungannya dengan Mangkunegaran supaya di beri perhatian, jangan bangunan intinya saja yang dikonservasi.

Sejauh ini pelestarian dan pemeliharaan pura mangkunegaran sudah maksimal. Sudah adanya upaya-upaya pelestarian dari pihak keraton menunjukkan upaya kepedulian melestarikan baik dari segi bangunan bahkan budaya. Masyarakat sekitar juga mengakui keberadaan keraton tersebut dengan menghormati dan menjunjung tinggi adat yang dibiasakan oleh keraton.

DAFTAR SUMBER Albiladiyah, S.ilmi. 1999. Ragam Hias Pendapa Istana Mangkunegaran. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sidharta dan Eko Budiharjo. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Sunarmi. 2005. Interior Pracimayasa Pura Mangkunegaran Surakarta. Surakarta: UNS Presshttp://rosadesain.blogspot.com/2010/04/interior-design-and-architecture.html http://www.disolo.com/pura-mangkunegaran/ http://cahkalitan.wordpress.com/2009/05/31/sejarah-mangkunegaran/

Santoso, Lilik Budi .2008. Laporan Tugas Akhir KARAKTERISTIK BENTUK MASJID KERAJAAN DI SURAKARTA Kasus : Masjid Agung Surakarta dan Masjid AlWusthoMangkunegaran

R.M. Sayid, 2001. Babad Solo, Surakarta : Rekso Pustoko Mangkunegaran Artikel Solopos, 02 Oktober 2007 Nurhidayati, Adis. Artikel.Penataan kawasan Pasar Legi Surakarta

LEMBAR LAMPIRAN

Halaman Pura Mangkunegaran tampak dari depan (selatan)

Kolam yang merupakan bukti adanyan percampuran budaya asing

Bangunan Kavallerie-Artillerie di sebelah timur Pura Mangkunegaran

Adanya perpaduan gaya arsitektur terlihat pada bentuk atap

Prinngitan sebagai jembatan penghubung ke Dalem Ageng Patung bergaya Eropa dengan ukiran khas Jawa

h

Kolaborasi atap tumpang dengan style bangunan Eropa

Pendapa Ageng dengan perpaduan arsitektur jawa-eropa

Pintu gerbang selatan tampak dari dalam

Tiang pendapa ageng

Lung-lungan sebagai tanda kehormatan

gerbang bagian barat

Kolam Bekas Taman Mangkunegaran Gerbang depan Masjid Al Wustho

Bagian depan Masjid Al Wustho

Maligin ( bagian dari masjid Al Wustho)

Pasar Legi Surakarta

Foto Pasar Pon tahun 1935

Pasar Windu Jenar dulu bernama Triwindu yang merupakan bagian dari Pasar Pon Patung B.R.A Partinah Bosh di tengah Taman Balekambang

Patung wayang di tepi kolam Balekambang

Patung B.R.A Partini Tuins yang ada di tengah Kolam Besar