nilai-nilai kebaharian masyarakat bajo dalam pengembangan wisata bahari

33
NILAI-NILAI KEBAHARIAN MASYARAKAT BAJO DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI By. A. Rasyid Asba 1 Universitas Hasanuddin Abstrak Wisata bahari yang memanfaatkan potensi alam dan masyarakat belum terbina secara baik. Pembinaan melalui pemanfaatan potensi alam dan masyarakat, seyogyanya menepatkan alam dan masyarakatnya sebagai obyek kepariwisataan yang utama. Akan tetapi pembinaan wisata selama ini yang diupayakan pemerintah sering kali mengabaikan masyarakatnya. Akibatnya adalah model wisata yang ditelorkan tidak sedikit melahirkan pengrusakan lingkungan dan tatanam tradisi masyarakatnya. Dasar pijakan ini sering melahirkan pola disintregasi antara budaya lokal dengan budaya yang datang. Menjadi pertanyaan sejauh mana pemanfaatan nilai-nilai lokal Mayarakat Bajo dapat diangkat sebagai obyek wisata yang melahirkan suatu keharmonisan antara masyarakat dan lingkungannya. Laut bagi masyarakat Bajo tidak hanya dipandang sebagai aspek ekonomi, karena memiliki sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Tetapi Laut adalah kawasan yang sangat sakral dan misterius yang harus diarifi. Masyarakat Bajo dalam tradisi kepercayaannya senantiasa dilihat antara manusia dan lingkungannya selalu mempunyai keseimbangan.Adanya Kemurkaan terhadap lingkungan akan berdampak pada keterancaman hidupnya. Keberadaan mereka diatur oleh kekuatan roh-roh dalam bentuk makhluk gaib. Masyarakat Bajo mempunyai pandangan bahwa roh-roh yang bersumber dari angin diatur oleh raja angin, batu karang dan jenis ikan diatur pula oleh penghuni laut. Jika manusia murka dan menyia-nyiakan pemanfaatan laut maka dewa laut akan menghukumya. Makalah ini akan menjelaskan asal usul masyarakat masyarakat Bajo, bagimana pandangan mereka terhadap laut, sejauh mana nilai nilai kebaharian yang mereka tradisikan bisa menjadi akses dalam pengembangan kepariwisataan . A. Peta Persebaran Masyarakat Bajo 1 Dr. A. Rasyid Asba,MA Ketua Konsentrasi Pascasarjana Ilmu Sejarah Unhas, juga sebagai Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Selain itu Juga Direktur Pusat Kajian Multikulturan dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin 1

Upload: buncit8

Post on 23-Jun-2015

1.298 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

Wisata bahari yang memanfaatkan potensi alam dan masyarakat belum terbina secara baik. Pembinaan melalui pemanfaatan potensi alam dan masyarakat, seyogyanya menepatkan alam dan masyarakatnya sebagai obyek kepariwisataan yang utama. Akan tetapi pembinaan wisata selama ini yang diupayakan pemerintah sering kali mengabaikan masyarakatnya. Akibatnya adalah model wisata yang ditelorkan tidak sedikit melahirkan pengrusakan lingkungan dan tatanam tradisi masyarakatnya. Dasar pijakan ini sering melahirkan pola disintregasi antara budaya lokal dengan budaya yang datang. Menjadi pertanyaan sejauh mana pemanfaatan nilai-nilai lokal Mayarakat Bajo dapat diangkat sebagai obyek wisata yang melahirkan suatu keharmonisan antara masyarakat dan lingkungannya. Laut bagi masyarakat Bajo tidak hanya dipandang sebagai aspek ekonomi, karena memiliki sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Tetapi Laut adalah kawasan yang sangat sakral dan misterius yang harus diarifi. Masyarakat Bajo dalam tradisi kepercayaannya senantiasa dilihat antara manusia dan lingkungannya selalu mempunyai keseimbangan.Adanya Kemurkaan terhadap lingkungan akan berdampak pada keterancaman hidupnya. Keberadaan mereka diatur oleh kekuatan roh-roh dalam bentuk makhluk gaib. Masyarakat Bajo mempunyai pandangan bahwa roh-roh yang bersumber dari angin diatur oleh raja angin, batu karang dan jenis ikan diatur pula oleh penghuni laut. Jika manusia murka dan menyia-nyiakan pemanfaatan laut maka dewa laut akan menghukumya. Makalah ini akan menjelaskan asal usul masyarakat masyarakat Bajo, bagimana pandangan mereka terhadap laut, sejauh mana nilai nilai kebaharian yang mereka tradisikan bisa menjadi akses dalam pengembangan kepariwisataan .

TRANSCRIPT

Page 1: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

NILAI-NILAI KEBAHARIAN MASYARAKAT BAJO DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

By. A. Rasyid Asba1

Universitas Hasanuddin

Abstrak

Wisata bahari yang memanfaatkan potensi alam dan masyarakat belum terbina secara baik. Pembinaan melalui pemanfaatan potensi alam dan masyarakat, seyogyanya menepatkan alam dan masyarakatnya sebagai obyek kepariwisataan yang utama. Akan tetapi pembinaan wisata selama ini yang diupayakan pemerintah sering kali mengabaikan masyarakatnya. Akibatnya adalah model wisata yang ditelorkan tidak sedikit melahirkan pengrusakan lingkungan dan tatanam tradisi masyarakatnya. Dasar pijakan ini sering melahirkan pola disintregasi antara budaya lokal dengan budaya yang datang. Menjadi pertanyaan sejauh mana pemanfaatan nilai-nilai lokal Mayarakat Bajo dapat diangkat sebagai obyek wisata yang melahirkan suatu keharmonisan antara masyarakat dan lingkungannya. Laut bagi masyarakat Bajo tidak hanya dipandang sebagai aspek ekonomi, karena memiliki sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Tetapi Laut adalah kawasan yang sangat sakral dan misterius yang harus diarifi. Masyarakat Bajo dalam tradisi kepercayaannya senantiasa dilihat antara manusia dan lingkungannya selalu mempunyai keseimbangan.Adanya Kemurkaan terhadap lingkungan akan berdampak pada keterancaman hidupnya. Keberadaan mereka diatur oleh kekuatan roh-roh dalam bentuk makhluk gaib. Masyarakat Bajo mempunyai pandangan bahwa roh-roh yang bersumber dari angin diatur oleh raja angin, batu karang dan jenis ikan diatur pula oleh penghuni laut. Jika manusia murka dan menyia-nyiakan pemanfaatan laut maka dewa laut akan menghukumya. Makalah ini akan menjelaskan asal usul masyarakat masyarakat Bajo, bagimana pandangan mereka terhadap laut, sejauh mana nilai nilai kebaharian yang mereka tradisikan bisa menjadi akses dalam pengembangan kepariwisataan .

A. Peta Persebaran Masyarakat BajoMenurut Sopher peta persebaran suku Bajo menurut Sopher meliputi

seluruh perairan Nusantara. Temuan ini, menunjukkan bahwa suku Bajo adalah pelaut yang wilayah pemukiman persebarannya sulit dikenal batas-batasnya. Meskipun demikian dalam literatur suku Bajo hanya dikenal pada titik yaitu kepulauaan Kepulauan Indonesia bagian timur, Saban dan Sulu. Berdasarkan wilayah persebaran itu, maka ada tiga versi asal-usul Bajo yang sampai kini masih tumbuh dan berkembang yang didasarkan pada tradisi lisan, yaitu:

1. Suku Bajo Berasal dari Ussu1 Dr. A. Rasyid Asba,MA Ketua Konsentrasi Pascasarjana Ilmu Sejarah Unhas, juga sebagai Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Selain itu Juga Direktur Pusat Kajian Multikulturan dan Pengembangan Regional Universitas Hasanuddin

1

Page 2: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Asal mula orang Bajo adalah berasal dari daerah Ussu salah satu wilayah di Kabupaten Luwu. Menurut tradisi lokal masyarakat Bajo muncul dari sebuah pohon besar tempat bertenggernya burung-burung yang ada di pulau Sulawesi bernama pohon walenrang. Dalam mitos Sawerigading pohon itu ditebang untuk dijadikan perahu. Akibatnya terjadilah banjir selama tiga hari tiga malam. Ketika banjir mulai redah maka muncullah seorang gadis bersama dayang-dayangnya dan bercengkrama lalu hanyut terbawa ke laut dan akhirnya terdampar di perairan Gowa.Ketika mendengar Sombaya ri Gowa terdamparnya seorang putri maka ia perintahkan rakyatnya untuk menjemputnya dengan adat kerajaan. Setelah sang putri beberapa lama tinggal di kerajaan Gowa ternyata putra mahkota Kerjaan gowa jatuh cinta kepada putri tersebut sampai dikawinkan oleh Sombaya. Atas perkawinan itu Putra Mahkota merasa kecewa karena Sang Putri tidak mau berbicara, sehingga menganggap istrinya bisu. Pada suatu hari putra mahkota pergi berburu tetapi di tengah perjalanan ia lupa membawa sesuatu sehingga ia kembali mengambilnya. Setibanya di rumah ia mendengar istrinya menyanyi untuk anaknya. Nyanyian itu berbunyi “ manna Baju to Bajumu, manna tidung totidunnu, karaeng nisomba, Bajo tu nisomba tonji. Mendengar nyanyian istrinya Putra Mahkota mengetahui bahwa sesungguhnya istrinya tidak bisu dan berasal dari rumpung Bajo. Berdasarkan cerita inilah yang merupakan cikal bakal orang Bajo yang tersebar ke seluruh pesisir pantai Nusantara dan merupakan sprit orang Bugis Makassar sebagai pelaut yang menguasai Nusantara..

2. Suku Bajo Berasal dari JohorPada masa kejayaan Kerajaan Johor dahulu terdapata seorang raja yang mempunyai seorang putri yang cantik, sehingga banyak raja-raja yang meminangnya. Untuk mencegah pertikaian, maka raja Johor terpaksa mengadakan sayembara untuk menentukan calon suami sang purtri yang cantik jelita itu. Pada akhirnya sayembara tersebut dimenangkan oleh anak raja dari Klantan. Sebelum pesta perkawinan diselenggarakan, maka putri memohon kepada raja untuk bercengkrama menikmati bulan purnama di laut. Tetapi apa hendak dikata sementara dalam perjalanan tiba-tiba cuaca berubah, hujan turun dengan derasnya yang disertai angin kencang sehingga perahu sang Putri hanyut entah kemana.Mendengar berita ini raja mengumpulkan rakyatnya dan meminta agar mereka segera berangkat mencari sang putri disertai ancaman tidak boleh kembali sebelum sang putri ditemukan, maka berangkatlah para masyarakat yang ada di pesta itu dengan membawa tanda pengenal berupa bendera yang membentuk manusia yang disebut ula-ula. Pencarian mereka tidak membuahkan hasil dan mengingat ancaman rajanya, mereka terpaksa berpencar-pencar menyelusuri pesisir pantai. Kelompok-kelompok inilah yang menurunkan cikal bakal orang Bajo yang pada akhhirnya terdampar di pesisir pantai Bajoe Teluk Bone dengan membawa ula-ula dan gendang Bajo. Raja Bone memerintahkan pemimpin rombongan datang menghadap kepada raja. Dalam pertemuan itu desepakati bahwa rombongan mereka diinginkan mendirikan perkampungan di pesisir pantai Bajoe dengan syarat mereka menjadi angkatan laut kerajaan Bone dan harus mempertahankan dari serangan musuh.Di Sulawesi Selatan orang Bajo sejak dahulu dikenal sebagai kelompok masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai seperti di Teluk Bone (Gulf of Bone) yang sekarang

2

Page 3: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

di sebut Kampung Bajo, di Ussu (Luwu), di Katingan Takalar ( Sanro Bone). Keberadaan orang Bajo itu mempunyai hubugan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan lokal maritim pada abad ke-XIV – XVIII.Dalam cerita epos Lagaligo pada abad ke 10 memberikan informasi bahwa keberadaan suku Bajo di pesisir pantai Luwu yaitu Malili. Kata Malili berasal dari bahasa Bugis (mali) yang artinya hanyut. Karena hanyutnya suku ini di muara sungai Cerekang, maka terbentuknya perkampungan baru yang dihuni oleh orang-orang Bajo.

3. Suku Bajo Berasal dari Philipina SelatanGeoghegan, (1975:6) mengatakan bahwa suku Samal adalah penduduk asli Philipina Selatan, sedangkan bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Samal. Wallace memperkaya istilah Samal dengan istilah seperti ;”Sama”, “Palau”, “Kaleaggeh”, “Luwaan”,dan “Badjau”. Baik Geoghegan maupun Wallace berkesimpulan bahwa suku Bajo berasal dari “Badjatlaut” (see plow) atau dari ‘Badja laut “ (Sea-Manure). (Lebar,1971).Baik Sather, Lebar dan Nimmo dalam bukunya “The Sea People of Sulu” berkesimpulan bahwa kelompok suku Samal ini seluruh orientasi hidupnya diarahkan ke laut. Pada umumnya suku ini memeluk agama Islam karena pada mulanya mereka memperoleh pangaruh agama Islam dari Arab setelah melalui India, Malaysia, dan Sumatera (Rixhon, 1974 :5 ).Tersebar luasnya suku baja berbagai daerah disebabkan oleh sikap mereka yang selalu ingin menghindari diri dari kekerasan dan ingin bebas, karena mereka pada masa dahulu sering diganggu oleh tingginya esensitas konflik antar kerajaan . Itulah sebabnya mereka berlayar meninggalkan tempatnya dan membuka perkampungan pada berbagai pesisir pantai atau di pulau-pulau kecil. Menurut Nimmo suku ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil mulai dari Teleuk Zamboanga terus ke pulau Sulu, Malaysia Timur dan ke Selatan sampai kepulauan Indonesia. Jumlah mereka diperkirakan pada tahun 1990-an diperkirakan sebanyak 40.000 sampai 60.000 orang tersebar dipantai-pantai Kepulauan Indonesia yang sebahagian kira-kira 30.000 sampai 40.000 orang di bahagian Timur Indonesia, misalnya di Pulau Sulawesi dan sekitarnya. Dalam tradisi lisan masyarakat Bone suku Bajo digambarkan bahwa pada umumnya orang-orang Bajo di pesisir Teluk Bone menganggap mereka sebagai keturunan raja Bone yang pertama. Raja Bone itu bernama Mata Silompe yang diperkirakan memerintah pada tahun 1330. Berbeda dengan versi Melayu suku Bajo adalah salah satu kelompok yang berasal dari Pulau Mindanao. Sumber ini sejalan dengan Nimmo yang melihatnya bahwa suku Bajo adalah sama dengan suku yang terdapat di Kepulauan Sulu yang disebutnya dengan suku Samal. Suku ini merupakan suku yang mengembara di lautan ( Sea Nomads ) (Nimmo, 1972). Menurut Nimmo kepala suku Samal disebutkan “Nakara” oleh karena sifat suku ini mengembara di laut dan tersebar seperti Malaysia, Muangthai, Birma dan sampai di Kepulauan Indonesia bahkan Jepang.

B. Laut Sebagai Nafas Kehidupan Masyarakat Bajo

3

Page 4: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Laut, bagi masyarakat Bajo tidak hanya dipandang sebagai aspek ekonomi,atau laut yang hanya memiliki sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan sedemikian rupa untuk kepentingan ekonomi. Tetapi Laut adalah kawasan yang sangat sakral dan misterius yang yang mengandung nilai-nilai kearifan untuk dimanfaatkan mahluk sejagad ini. Masyarakat Bajo di Bajoe meyakininya bahwa yang mengatur laut adalah kekuatan roh-roh yang berbentuk makhluk-makhluk gaib. Roh-roh yang bersumber dari angin diatur oleh raja angin, batu karang dan jenis ikan diatur pula oleh penghuni laut. Jika manusia murka dan menyia-nyiakan pemanfaatan laut maka dewa laut akan menghukumya.

Hamparan laut (Bugis: tasi maloang), selalu ditandai dengan suasana mengcekam. Suasana mengcekam itu tercermin dalam mitologi yang secara turun temurun dipelihara oleh masyarakat Bajo. Dalam masyarakat Bajo memiliki pengetahuan budaya yang berupa kepercayaan tertentu, ungkapan bahasa dan tabu ( Bugis: pemmali) masih ditaati secara patuh dan turut mengendalikan tingkah lakunya.

Beberapa kepercayaan tentang konsep pemahaman laut masyarakat Bajo yang didapatkan dalam bentuk tradisi lisan ( oral tradition) antara lain adalah sebagai berikut :

1. Mitos Nabi HidereNabi Hidere’ dikenal sebagai nabi yang hidup di air dan di darat, sering

menampakkan diri di hamparan air dengan memakai surban hijau. Sampai hari ini masih dianggap hidup dan dapat menjelmakan diri di mana saja. Cerita ini amat berakar di hati para pelayar-pelayar yang menggunakan perahu lambo dan pinisi dalam mengarungi berbagai ganasnya ombak di laut.2. Mitos Sawerigading

Masyarakat nelayan mengenal Sawerigading berasal dari Luwu (Ware ) anak Batara Lattu, dianggap sebagai putra mahkota yang mengembara di lautan. Sekitar abad ke 9, Sawerigading mempunyai perahu besar, di atas perahu terdapat tujuh buah pasar yang ramai. Sawerigading berlayar dari Luwu pergi mengembara, akhirnya perahunya terdampar dan tenggelam di daerah Bira. Sehubungan dengan tenggelamnya perahu Sawerigading itu, maka orang Bira membuatkan perahu kembali untuk Sawerigading dalam bentuk jakka-jakka (perahu yang berbentuk sisir) yang dikembangkan sekarang menjadi perahu pinisi.

Dengan demikian masyarakat Bira, Ara dan Lemo-Lemo yang saling berdekatan itu mempunyai keahlian membuat perahu. Dari cerita ini timbullah syair pembuatan perahu yang berbunyi :

Panre patangngaina BiraPasingkolo to ArayaPanggalasuna Tolemo-LemoyaArtinya: Ahli mencipta perahu adalah orang dari BiraAhli memakai singkolo (alat cangkul) dari AraAhli menghaluskan dari Lemo-Lemo

Ungkapan ini dimaksudkan adanya profesionalisasi pembagian tiga keahlian yang dimiliki oleh tiga pemukim, yaitu ahli membuat rencana perahu dari Bira,

4

Page 5: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

ahli menggunakan alat cangkul kayu dari Ara dan ahli menghaluskan papan kayu perahu dari lemo-Lemo. Tiga macam keahlian ini bertemu dalam membangun sebuah perahu, maka ketahanan perahu akan terjaga dari derasnya ombak. 3. Kepercayaan Tentang Makhlus Halus Warga desa Bajoe Kabupaten Bone percaya bahwa di beberapa tempat tertentu di laut ada yang mengjaganya. Tempat-tempat itu antara lain adalah sebagai berikut :

a. Cella waramparang, yaitu permukaan hamparan air dimana sering muncul air yang kemerah-merahan.

b. Hantu laut yaitu roh orang yang mati di laut sering datang mengganggu perahu. Roh itu muncul saat hujan rintik-rintik disertai dengan kilat dan kelihatan sebagi kunang-kunang di ujung atas tiang layar. Datang pula pada waktu malam saat bulan bersinar remang-remang.

c. Taka’dewata, yaitu sebuah batu karang di laut yang tidak menetap tempatnya, sering mencelakakan pelaut yang sedang berlayar. Apabila batu karang tersebut tidak mau merusak atau mencelakakan pelaut, ada macam lilin berjalan berputar-putar di atas permukaan laut dekat perahu.

d. Taka’bekkeng, yaitu bentuk suatu karang yang melingkar di dasar laut. Para pelaut sering menemukan batu yang melingkar seperti jangkar. Ketika akan berangkat, jangkar diangkat tetapi mata jangkar terpegang oleh taka’bekeng tersebut, sehingga tak dapat bergerak dari tempatnya. Dalam keaadan demikian, nakhoda harus memerangi atau membuka ikatan tersebut dengan jalan doa-doa atau kekuatan magis.

4. Keprcayaan Terhadap Kekuatan Gaib Kepercayaan tentang kekuatan gaib atau magis umumnya dimiliki oleh para nelayan, terutama pasompe’yang akan merantau ke negeri orang. Ilmu gaib putih dimiliki hanya untuk keselamatan dan sebagai permohonan doa supaya memperoleh rezeki. Keprcayaan ini banyak dipengaruhi alam fikiran Islam, sehingga perbuatannya pada umumnya berupa bacaan bahasa Arab dicampur bahasa Bugis, kemudian dibarengi dengan olah-bathin dan mencintai sesuatu yang diinginkan antara lain sebagi berikut :

a. Tapakoro yaitu duduk tafakur menghadapi tiang pusat rumah, menenangkan hati dan perasaan, sambil menghayati apa yang akan dihadapi. Dalam suasana hati yang tenang, seorang juragang atau nakhoda yang sedang tapakoro itu menantikan kata-kata dari orang yang ada disekelilingnya seperti kata-kata salama (selamat), alai (ambil), madecceng (balik), mallise (berisi) dan lain sebagainya. Kata-kata yang diucapkan itu tidak boleh disengaja atau diatur-atur, tetapi muncul secara kebetulan baik dari kata-kata anak-anak maupun orang dewasa. Apabila kata-kata tersebut didengarkan, segera ia bangkit dan menyatakan diri untuk berangkat.

b. Uju’ ri bla, dilakukan sebelum melangkahkan kaki turun tangga. Ketika ia tapakkoro’ sudah melihat dirinya kembali berada di rumahnya. Setelah turun tangga, ia berbalik seolah-olah melihat dirinya ada di dalamnya. Setelah berbalik, lalu melanjutkan turun perahu dan tidak boleh berbalik lagi untuk kedua kalinya.

5

Page 6: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

c. Mallibu’ , yaitu melindungi perahu yang akan ditunggangi, sehari sebelum bertolak nakhoda mengelilingi perahunya tiga kali untuk menanyai perahunya apakah sudah siap untuk berangkat, apabila perahu tersebut terlihat bayang-bayangnya berarti perahu siap berangkat tetapi jika terjadi sebaliknya perjalanan harus ditunda. Perbuatan ini disebut mappakodo lopi. Di samping itu nakhoda memperhatikan semua perlengkapan. Ia juga membangkitkan rasa persatuan dengan perahunya. Nakhoda yang ampuh dan memiliki kekuatan bathin merupakan kebanggaan sawi dan ia menduduki posisi penting di daerahnya. Seorang nakhoda harus memiliki ilmu gaib seperti Mappacolo batu, yaitu mencairkan batu karang jika jangkar tersangkut di batu karang. Mappolo laso angin yaitu mematahkan sumbu angin yang akan menyerang. Mappanini bare yaitu ilmu gaib yang dapat merubah arah angin kencang. Adapun ungkapan/peribahasa yang berkaitan dengan komunitas dan lapangan hidup di laut.Konsep tekad bulat untuk mencapai negeri tujuan termuat dalam ungkapan seperti “ kadopi lopie tajokka dan makkanrepi balangoe ri labungnge tasompe, artinya: nanti kalau perahu sudah mengiya baru kita berangkat dan nanti kalau jangkar sudah tertanam di pelabuhan negeri tujuan baru kita berangkat. Segala sesuatunya sudah dicita dan dibayangkan, barulah mereka berangkat ke negri tujuan. Ungkapan lainnya adalah adalah memanggil angin untuk berhenti menghantam perahu seperti ungkapan “ we salareng runo-runo, laoko mai maupalattui wijammu nakattaiye. Artinya : Wahai angin yang bertiup sepoi-sepoi marilah mengantarkan keturunanmu ke negeri yang dihajati. Lebih lanjut lagi "“dua angin detenri sompereng angin tuwo enrengnge angin mate, artinya dua angin mutlak digunakan berlayar, angin hidup dan angin mati. Dalam kehidupan ini, mesti ada di antara dua angin yang digunakan. Kalau berlayar dengan angin hidup berarti berlayar dengan kebaikan dan kebenaran. Orang itu akan menempuh kehidupan dengan keberanian, oleh karena dianggapnya angin mati pun orang berani menempuhnya, apalagi kalau angin hidup, maka ia berani ambil resiko.

d. Juru mudi, jadi ungkapan bagi kepemimpinan, seperti maega pabisena bengngo pallopinna teawa nalureng, artinya : walaupun banyak pendayungnya, tetapi bodoh juru mudinya, saya tidak mau naik menumpang. Maksudnya, meskipun banyak pendayung yang mengantarkan ke negeri tujuan, tetapi pemimpinnya bodoh, maka apa gunanya saya ikut menumpang, bisa saja salah arah kena malapetaka di jalanan.

e. Buaya di sungai jadi ungkapan bagi orang rakus, katanya duwai saba’na namasekkang Bajoe, nabarui anre enrengnge malewaseng ladde’I, artinya dua sebab buaya menjadi rakus, karena mendapat makanan baru dan terlalu lapar. Seseorang itu menjadi rakus, jika memperoleh kenikmatan yang belum pernah dialaminya dan mendapat kesempatan yang senantiasa diimpikan.

f. Pancing jadi ungkan, katanya majekko meng, artinya bagai melengkung seperti kail. Maksudnya, dikiaskan kepada orang yang mencapai tujuannya dengan umpan, bila ia bersedia menukar kebenaran dengan sesuatu, maka sirnalah kebenaran itu.

6

Page 7: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

g. Keteguhan hati dalam pelayaran, diungkapkan sepereti pura babbara’pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi tellengngE natolawiE’ artinya layar sudah berkembang, kemudian sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada surut pulang kembali. Surut langkah dari cita-cita yang sudah dipersiapkan secara matang akan dicemohkan orang, lebih baik melanjutkan dengan resiko besara daripada malu.

h. Kebulatan tekad menghadapi perjuangan hidup, diungkapkan dengan bahasa taroi siya massangka wawa, telleppi salompena nariattanngari, artinya matilah hingga betul-betul mati, nanti tenggelam gantungan kemudian dipikirkar. Maksudnya, berusahalah sampai titik terakhir, oleh karena titik akhir itu akan diketahui hasil suatu perjuangan. Semangat yang tak kunjung padam memperkecil gunung kesulitan menjadi segumpal tanah di tengah jalan yang akan tersingkir dengan satu sepakan.

Demikian ungkapan dan peribahasa yang bertebaran dengan mengambil

misal air, perahu, lautan, alat penangkap ikan, angin binatang laut dan sebagainya. Semuanya mengandung pengajaran, pendidikan, kebulatan tekad, budi pekerti dan pembentukan sikap hidup sebagai pelaut dan pedagang. Kebudayaan maritim, tampaknya mempunyai banyak perbendaharaan ungkapan dan peribahasa yang berhubungan dengan kehidupan dilaut, berbeda dengan masyarakat yang memiliki budaya agraris.

C. Nilai Kebaharian Masyarakat Bajo Terhadap Pengembangan Wisata Bahari

1. Rumah panggung di atas LautRumah panggung di atas laut yang dimiliki orang Bajo dewasa ini sudah

tidak tampak lagi. Sejak tahun 1982, pemerintah Daerah Bone menganjurkan penduduk untuk menimbun dasar rumahnya. Sejak itu, orang Bajo giat mengumpulkan batu karang dari laut dan menggali tanah lumpur pada batas air surut untuk ditimbunkan pada tapak rumah. Setelah timbunan sudah cukup tinggi, kemudian mengusahakan mengangkat tiang-tiang rumahnya. Demikian dilakukan secara bertahap, akhirnya mencapai ketinggian sejajar dengan tapak rumah di darat. Sebelum situs ditimbun, rumah-rumah orang Bajo berada di atas air, menjorok sekitar antara 50-100 m ke laut. Pada masing-masing tapak rumah orang Bajo yang sudah meninggi itu, dibuat susunan batu karang pelindung supaya ombak tidak dapat menembusnya, kemudian dibuat semacam lorong air yang dapat dilalui perahu mendekati rumah. Sejak itu bentuk rumah panggung di atas laut sirna akibat kebijakan yang berpola kedaratan.

2. Pengetahuan Tentang Astronomi Bahari

Masyarakat Bajo masih mempercayai sampai dewasa ini tentang hari baik dan hari buruk untuk melakukan perjalanan. Dengan demikian, tiap hari berpengaruh

7

Page 8: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

terhadap hasil pekerjaan, semua urusan dan pekerjaan yang akan dilakukan selalu diawali dengan menghitung-hitung hari yang baik dan hari yang buruk. Sistem pengetahuan ini merupakan pewarisan nenek moyangnya, kemudian ditransformasikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam lingkungan sekitarnya.

Masyarakat Bajo di desa Bajoe adalah merupakan masyarakat maritim mempunyai sistem pengetahuan yang berkaitan dengan kemaritiman yang dimanifestasikan setiap harinya. Sistem pengetahuan itu terlihat dalam teknik pembuatan perahu, rumah, ilmu astronomi perbintangan.

Berdasarkan terbitnya bulan (Qamariah), menurut penduduk Bajoe hari yang paling baik untuk berlayar adalah hari ke-8 terbitnya bulan. Menurut orang Bajo jadwal waktu yang baik untuk berangkat berlayar adalah sebagai berikut :

Hari Senin, pukul 09.00 disebut eleHari Selasa, pukul 07.00 ele-kelek dan pukul 14.00 disebut tangngassoHari Rabu, pukul 06.00 disebut ele-keleHari Kamis, pukul 07.00 disebut ele-keleHari Jum’at, pukul 06.00 disebut ele-keleHari Sabtu, pukul 08.00 disebut ele

Nakkase’taung (nahas tahunan), yaitu malam/hari terbitnya satu Muharram. Nakkase’pallopi (nahas pelayar), yaitu apabila bertepatan hari ahad dan terbitnya

pula bulan purnama. Toppoi jennek kebok, yaitu angin kencang yang bertiup sekitar tanggal 17

Agustus sampai 20 Agustus. Anginna Wara-warae, yaitu angin kencang yang bertiup sekitar tanggal 17 sampai

20 Juli. Anginna tanrae, yaitu angin kencang yang bertiup sekitar tanggal 15 Agustus. Barubunna manue, yaitu angin yang bertiup pada tanggal 10 Oktober.

Pengetahuan untuk menentukan arah perahu dan daerah yang akan dituju umunya dimiliki oleh orang Bajo. Untuk menetukan arah memerlukan bantuan bintang pada malam hari. Pengetahuan mengenai bintang-bintang adalah sebagai berikut :

1. Sule bawie, adalah sebuah bintang yang selalu muncul di sebelah timur dan terbit pada awal malam, tenggelam sekitar pukul 21.00. Di sebut Sulo-bawie karena sejak terbit dan bersinar, babi-babi di hutan keluar dari sarangnya mencari msksnsn ksrena sudah gelap.2. Buttee, adalah sekolompok bintang terdiri atas 4 buah bintang berbentuk buttek ( sejenis ikan yang besar perutnya). Bintang ini berada di sebelah selatan bersama-sama dengan walue dan eppangnge. Bila muncul buttee menandakan ikan di laut bertelur khususnya ikan terbang.Wara-warae, adalah bintang tinggalyang menampakkan diri agak terang merah seperti bara api. Pada bulan Juli tanggal 17 sampai 20, sering membawa angin yang agak kencang yang disebut anginna wara-warae dan pada saat itu sering terjadi kebakaran.3. Tanrae, adalah bintang yang berjumlah 3 buah, dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan arah perahu. Pada tanggal 15 Agustus, merupakan pertanda bahwa akan ada angin yang agak kencang disebut anginna tanrae. Apabila bintang

8

Page 9: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

tanrae muncul di sebelah timur menandakan mulai masuk angin timur dan bila berada pada posisi tengah hari dan bertepatan dengan pukul 06.00, berarti musim pertengahan musim timur, terjadi sekitar bulan Agustus dan pada bulan tersebut sering datang hujan yang disebut, bosi tangngasso tanrai. Apabila bintang tanrae berada pada posisi sebelah barat atau tenggelam di sebelah barat menandakan musim barat mulai datang.4. Tande Mamallou, adalah sebuah bintang yang muncul disebelah timur, terbit sekitar pukul 05.00 dan tenggelam pada pukul 06.30, bila Bintang ini muncul berarti sudah fajar.5. Mano, adalah sejumlah bintang(6buah) yang menyerupai ayam dan bila muncul di sebelah timur menandakan pertengahan musim timur. Pada tanggal 10 September memberi tanda akan sering bertiup angin yang disebut barubunna manue.6. Lumes, terdiri atas 4 buah bintang yang berada di sebelah selatan tenggara sekitar pukul 19.00 dan menghilang pukul 07.00. Apabila bintang tersebut muncul menandakan ikan mulai menampakkan diri di permukaan laut khususnya tarawani (ikan terbang). Bintang ini disebut juga bintang laki-laki dan pasangannya adalah bintang eppangnge sebagai bintang perempuan. Apabila bintang lumes masih berjajar menghadap ke atas, suku Bajo belum mau berlayar, dana bila kebetulan berada di darat mereka menunggu sampai bintang tersebut, menghadap ke bawah. Apabila bintang wallue masih menghadap ke atas berarti ada angin kencang yang bertiup.

7. Lakkeppang, terdiri atas 7 bintang merupakan pasangan walue, Eppangnge disebut sebagai perempuan, sebab bila bintang lumes tenggelam, maka eppangnge “menangis” maksudnya pada saat tersebut hujan turun dan pohon-pohon mulai berbuah atau berisi.8. Puppuru, ialah sekelompok 6 bintang yang menyerupai ikan pari dan muncul di sebelah selatan, pada pukul 18.30. dan menghilang pada pukul 05.00. Menurut orang Bajo bintang ini menandakan berarti musim barat mulai datang.9. Tandeng Tellue, ialah sejumlah bintang muncul di sebelah timur menandakan musim timur mulai muncul jam 19.00 dan tenggelam di sebelah barat pukul 06.00. Menurut orang Bajo bintang itu merupakan tanda bahwa musim barat mulai datang disertai angin keras.10. Mamau Tangnga BaangiBintang ini muncul di sebelah Barat sekitar pukul 22.00 dan menghilang pada jam 05.00. Bintang ini menandakan bahwa waktu tidak akan turun hujan.Selain itu Suku Bajo secara umum juga memahami jenis angin yang didasarkan atas ramalan cuaca dan tanda-tanda bahaya di laut. Suku Bajo berdasarkan sumber tradisi lisan pemahaman laut diperoleh melalui pengalaman yang sangat luas dan melalui gejala alam sekitar serta ketajaman indera pakkita (penglihatan), parengkalinga (pendengaran), paremmau (penciuman), penedding(firasat), dan tentuang (keyakinan). Tanda-tanda bahaya yang bisa diramalkan oleh seorang pasompe antara lain adalah sebagai berikut :

9

Page 10: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Angin bare’Angin bare’adalah angin yang bertiup dari arah barat daya dan barat laut. Tanda-tanda menjelang bertiupnya angin bare’ adalah :a. Lino (angin laut yang tenang), musim malam hari dan siang. Angin tersebut

akan mulai bertiup pada waktu sore hari sampai malam.b. Didahului oleh kilat yang mendatar di permukaan laut atau kilat itu bersinar

ke atas.c. Cuaca gelap/menghitam di sebelah barat.d. Apabila angin kencang tersebut akan menyerang dalam seketika, tandanya

awan menghitam di sebelah barat kemudian berubah menjadi terang (silih berganti).

e. Guntur selalu berbunyi di saat hujan sedang turun.f. Angin timo, yaitu angin timur yang bertiup pada bulan Juli-Agustus. Tanda-

tanda menjelang bertiupnya angin timo, adalah:1. Di waktu malam bintang-bintang cahayanya kelihatan tidak tenang

(reppek-reppek).2. Pada waktu air pasang, angin bertiup dengan keras, layar harus digulung.

Pada waktuu air surut, angin bertiup sedang, dan layar tidak perlu digulung karena anginnya tidak terlalu kencang.

3. Gumpalan awan hitam ada di sebelah timur. Laso angin (angin tornado), yaitu angin yang sering datang pada musim

barat. Menurut keprcayaan mereka cara mengalihkan angin itu adalah dengan jalan telanjang bulat di atas perahu menghunus keris atau badik luwuk dan mengayungkan di udara tiga kali. Tanda akan datang laso anging adalah : Udara berbau anyir, terlihat gumpalan yang menghitam dan pada gumpalan tersebut berekor sebesar batang kelapa membayang ke permukaan laut.

g. Angin Datue,Anginna datue yaitu angin kencang yang bertiup sekitar pertengahan bulan Agustus. Tanda-tanda yang mendahulukan adalah :1. Selalu ada kilat di waktu malam.2. Tanda-tanda akan merusak, apabila tiupan menimbulkan bunyi pada besi

karena tiupan yang demikian keras.Angin Sulilik (kala-kala)Angin sulili adalah angin yang muncul karena adanya pertemuan dua arus besar di laut. Selain angin juga yang ditakuti adalah binatang laut seperti Binatang Laut (kurita),

Kurita adalah jenis hewan yang berbahaya, tanda-tandanya adalah :1. Dari jauh kelihatan seperti sorotan lampu berwarna, hijau kebiru-biruan,

sering muncul pada awal terbitnya bulan dan pada terbenamnya bulan (Qamariah).

2. Apabila di suatu tempat air yang tenang seperti bercampur dengan minyak oli. Di mana arah ikan meloncat di tengah laut dan air beriak bergelombang dan keruh di situ menandakan air dangkal. Sebaliknya, dimana arah ikan itu turun ke air dan air berwarna biru di situ airnya dalam.

3..Pengetahuan Tentang Karang

10

Page 11: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Jika sementara masyarakat Bajo berlayar dan melihat laut tidak berombak dan air laut tidak berarus keras banyak buih-buih air atau busa air terapung-apung disertai adanya bau anyir maka mereka dipastikan bahwa ditempat itu ada karang. Tanda lain adalah terdapatnya biji pelir mengecil. Di samping itu bilamana kayu perahu berdesir.Seperti gesekan pasir berarti karang ada disekitar tempat itu .Disamping itu untuk mengetahui tempat yang berbatu karang ,dikenal dengan tanda-tanda;

a. Pada waktu malam terang bulan ,gugusan karang nampak mengkilat akibat pantulan cahaya bulan.

b. Di waktu siang gugusan karang terlihat berwarna putih akibat pecahan ombak.

c. Bau gugusan batu karang dapat dirasakan kira-kira satu mil sebelum, yaitu berbau anyir.

4.Pengetahuan Tentang Lokasi Penangkapan Ikan. Tanda-tanda bahwa ditempat itu banyak ikan ialah adanya karang, karena disekeliling karang itu tempat ikan bermain-main. Untuk menangkap harus menghadang arus. Waktu yang sebaiknya menangkap ikan menurut orang Bajo adalah waktu pagi dan sore. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu laut tidak begitu panas sehingga ikan-ikan bermain di permukaan laut. Pada waktu malam penangkapan dilakukan dalam keadaan bulan redup karena pada waktu itu ikan-ikan naik ke permukaan laut, tetapi sebaiknya kalau bulan terang, maka ikan-ikan itu turun sampai pada kedalaman 20 meter.

5..Pengetahuan Tentang OmbakOrang Bajo memiliki pengetahuan tentang Gayo atau ombak. Ombak

menurut pengetahuan kebaharian masyarakat Bajo terdiri atas :Gayo didikki (ombak kecil), anjolang (gelombang), kakeang (pertemuan

arus), Goya salatang yang datangnya sekitar bulan Juni sampai Desember, Goya timo, sekitar bulan Juni sampai Desember, Goya Utare yang datangnya sekitar bulan Nopember dan Desember, Goya Bare datangnya sekitar bulan Desember sampai April, Goya Kapuaka (panca roba) yang datangnya pada sekitar bulan Oktober dan Desember.

Pada Goya Kapuaka ini disertai dengan sisiapu (laso anging) yaitu ditandai dengan awan hitam yang berputar bentuknya kadang-kadang vertikal dan kadang-kadang horisontal. Angin ini begitu dasyatnya sehingga apa yang didahuluinya diangkat ke udara kemudian dihempaskan kembali ke permukaan laut. Utang menolak angin ini suku Bajo meninggalkan pakaian kemudian duduk bersila di haluan perahu sambil membaca mantra agar angin berubah arah. Potika angin bagi orang Bajo didasarkan pada perhitungan bulan Hijriyah seperti tampak pada gambar di bawah ini :

6.Pengetahuan Tentang Pantangan ( Pemmali)Berbagai pemali atau pantangan yang masih berlaku dan ditaati oleh para

nelayan antara lain adalah sebagai berikut:a. Pantangan menjatuhkan sesuatu benda secara sengaja atau tidak pada

waktu akan berangkat berlayar.b. Pantangan menegur atau bertanya kepada orang yang sedang menuju

perahunya.

11

Page 12: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

c. Pantang berpaling/berbalik ke belakang setelah berjalan menuju ke perahu untuk berlayar.

d. Pantang menginjak pinggiran/ujung ombak (lila-wae) yang sedang terhempas kedarat.

e. Pemmali menegur (makkemparang) di saat berlayar , dilarang menegur/bertanya apabila menemukan hal-hal yang aneh atau tempat yang dianggap keramat.

f. Pemmali situmpa ada, ritengnga dolangeng, dilarang bertengkar di dalam perjalanan.

g. Pemmali mappacuru urung ritasie, yaitu dilarang menggunakan periuk atau bejana timba air di laut.

h. Tidak boleh mengucapkan kata-kata : de’gaga (tidak ada), makessini angingnge (angin sudah baik/tenang), tetapi harus diganti dengan kata-kata : masempo (murah), dan masempona nangngiri angingnge (angin tidak bertiup lagi ).

i. Pemali mallopie ritengnga dolangeng, yaitu pantang gembira/bermain secara berlebih-lebihan di dalam perjalanan atau sedang berlayar.

Apabila si suami atau salah satu anggota keluarga sedang berlayar, ada beberapa pantangan bagi pihak isteri/keluarga yang ditinggalkan seperti :

a. Mengeluarkan atau membuang debu dapur dari rumah.b. Menunda mencuci pakaian suami sampai tiga hari.c. Mencuci/memakai piring tempat makanan si suami.d. Menurunkan barang-barang pada malam hari.e. Membalikkan tempat beras.f. Mencuci/menjemur kelambu, bantal dan kasur.g. Memperbaiki/menurunkan bagian rumah seperti dinding dan atap.h. Mencari kutu di tangga rumah.i. Menyapu di waktu malam.j. Sapa (pantang) makan ;

Sapa panyu, dilarang makan daging penyu karena penyu sering menolong orang yang ditimpa musibah di laut. Sapa anre, (pantang makan), karena pesan dari nenek moyang secara turun-temurun atau apabila dimakan timbul rasa gatal atau bisul-bisul khususnya kepada jenis ikan tertentu. Sapa bale pesse-pesse, pantang makan ikan pesse-pesse menurut masayarakat setempat jenis itu dianggap bukan ikan karena tidak mempunyai lidah.

Muatan perahu ada pantangannya yang disebut Pemmalinna lureng lopie antara lain perahu tidak boleh memuat colabai tungke (pantang memuat seorang wadam, kecuali cukup dua orang atau lebih); bakka cilampa (tidak boleh memuat seorang wanita, kecuali dua orang wanita atau lebih dan bila terpaksa harus memenuhi, syarat membawa atau membeli seekor ayam ikut bersama dalam perahu atau harus memakai topi/kopiah); Ase pulu bolong, (tidak boleh memuat beras pulut hitam, baik dalam bentuk beras atau dalam bentuk kue-kue); Mesa (pantang memuat batu nisan ), dan palungen (tidak boleh memuat lesung yang sudah dipakai, baik yang terbuat dari batu maupun kayu).

D. Pembinaan Pengembangan Wisata Bahari .

12

Page 13: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Hubungan antara manusia dan lingkungannya telah sejak lama menjadi perhatian para ilmuan maupun peraktisi. Sebab pada hakekatnya ada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Di satu pihak prilaku manusia mendasari penciptaan tatanan lingkungan mengarahkan manusia dalam prilaku berbudaya. Menurut Hawley (1986). Keterkaitan manusia dengan lingkungannya merupakan sebuah jaringan yang saling berhubungan. Ini merupakan suatu usaha yang penting dalam mempertahankan hidupnya.

Rappaport (dalam Ellen, 1982) menggambarkan bahwa adabtasi adalah merupakan cara organisma mempertahankan homostatis dalam mengahadapi fluktuasi mempertahankan hidup. Jochim (1991) membatasi adabtasi sebagai sebuah perangkat mengatasi masalah yang absah dan memungkinkan terjadinya kelangsungan hidup manusia. Dalam penelitian ini, konsep adaptasi harus dilihat sebagai sesuatu untuk mempertahankan kelangsungan hidup yaitu munculnya pemukiman bahari masyarakat Bajo di Bajoe.

Hubungan antara manusia dan lingkungan sosialnya sejak lama menjadi perhatian para ilmuan maupun peraktisi. Sebab pada hakekatnya ada hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya. Di satu pihak prilaku manusia mendasari penciptaan tatanan lingkungan mengarahkan manusia untuk saling membantu dalam kerukunan hidup dan damai. Menurut Hawley (1986). Manusia dan lingkungan sosialnya merupakan sebuah jaringan yang saling berhubungan. Ini merupakan suatu usaha yang penting dalam mempertahankan hidupnya.

Rappaport (dalam Ellen, 1982) menggambarkan bahwa adabtasi melalui kedermawanan sosial adalah bagian daricara organisma mempertahankan kestabilan sosial dalam mengahadapi fluktuasi mempertahankan hidup. Jochim (1991) membatasi adabtasi sebagai sebuah perangkat mengatasi masalah yang absah dan memungkinkan terjadinya kelangsungan hidup manusia yang saling bantu membantu. Dalam penelitian ini, konsep adaptasi nelalui sifat kedermawanan sosial harus dilihat sebagai sesuatu yang yang penting dalam mengurangi kesenjangan sosial dan mewujudkan keadilan.

Obyek dan daya tarik wisata bahari yang dimiliki Indonesia yang sebagian besar masih dalam bentuk potensi terpendam ataupun potensi yng telah mulai digarap secara sederhana. Penggarapan secara sederhana yang dimaksud adalah bahwa penanganannya belum berdasarkan konsepsi nasional yang mengacu kepada global’s demand. Unruk seluruh kawasan Indonesia, yang sudah mulai digarap adalah kawasan teluk Jakarta dengan kepulauan seribu-nya. Sebenarnya potensi daya tariknya tidak terlalu hebat, namun demikian karena akseptabilitasnya cukup mudah, dekat dengan sumber pasar potensial ( terutama tenaga ahli asing yang tinggal di Jabotabek) ,serta tersedia prasarana dan sarana yang cukup memadai maka orang pun bersedia menggarapnya.

Di Sulawesi Selatan yang wilayahnya hampir dikelilingi oleh lautan aspek wisata bahari masih sangat minim kecuali memanfaatkan selat Makassar dengan kawasan pulau Kayangan dan patai Bira kabupaten Bulukumba. Namun kesemua ini belum meyakinkan kita melihat kekayaan alam flora laut dan fauna di wilayah itu. Kendala pengembangan pembangunan obyek wisata bahari disebabkan karena banyaknya benturan kepentingan yang masing-masing diatur oleh berbagai departemen pemerintah;

13

Page 14: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

satu contoh yang paling nyata adalah bahwa untuk mendapatkan izin penggunaan suatu kawasan bahari akan dihadapi ketidak jelasan peraturan perundang-undangan. Padahal adalah suatu tuntutan bahwa kawasan wisata bahari harus mempunyai status hukum yang pasti untuk kepentingan perlindungan dan pemanfaatannya.

Pentingnya sektor pariwisata bahari dalam menunjang pariwisata nasional hingga kini belum terasakan secara optimal. Karena itu sektor pariwisata bahari diharapkan mampu menjadi penganti non migas yang menarik wisatawan. Kondisi obyektif itu dimungkinkan karena negara kita merupakan Benua Maritim yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan panorama alam yang indah. Panorama alam yang indah itu sangat menarik karena ditunjang oleh nilai-nilai budaya maritim masyarakatnya.

Oleh karena itu sektor pengembangan wisata bahari harus memerlukan perhatian serius dengan memanfaatkan peluang yang khususnya dalam menghadapi era globalisasi. Karena itu sektor wisata bahari merupakan tuntutan daya saing utama di bidang kepariwisataan. Menurut T. Hani Handoko perubahan lingkungan yang terjadi secara dramatik mengahruskan membuat pedoman atau organisasi pola manajemen yang strategik. Untuk menghadapi realitas perubahan itu tidak semestinya harus pergantian secara total pada pola-pola yang telah ada, tetapi harus mampu berakulturasi untuk melahirkan suatu konsep yang lebih baik. Konsep tesebut menekankan pentingnya sebuah perubahan, menekankan daya inovasi dan kreativitas, kemampuan internal yang superior. Oleh karena itu kapabilitas organisasional semakin disadari dan diakui sebagai sumber keunggulan kompetitif. Di jelaskan T. Hani Handoko lebih lanjut bahwa ada tiga kapabilitas organisasional yang harus dikembangkan :

a. Organizational learning yaitu kemampuan untuk menyesuaikandiri dan melakukan adabtasi terhadap perubahan timbal balik terhadap perubahan lingkungan dan teknologi.

b. Kapabilitas organisasi secara keseluruhan untuk menciptakan pengetahuan baru itu harus menyebar keseluruh jaringan organisasi dan terwujudnya berbagai pelayanan dan sistem.

c. Kemampuan untuk menyususn kembali budaya kooporat.Dimaksudkan untuk mendukung pengembangan dua kapabilitas organizational sebelumnya.

Pengembangan suatu kapabilitas pembelajaran organisasional dan penciptaan ilmu pengetahuan (create knowlwdge) berarti mengfokuskan pada kualitas interaksi. Sejumlah faktor yang mempengaruhi kualitas proses interaksi antara lain adalah kemampuan untuk membagi informasi, mutual trust, share experience, common language dan kesempatan untuk mengamati prilaku inovatif.

Kapabilitas belajar perlu dioperasionalkan melalui upaya perbaikan kontinyu (continuous improvement) yang meningkatkan pada tugas-tugas peningkatan daya saing jangka pendek.Kapabilitas lain yang harus dimiliki ialah menciptakan dan menerapkan pengetahuan sebagai faktor kunci kompetitif.

Suatu fokus organisasional pada kapabilitas learnig dan perbaikan kontinyu serta pengetahuan (create knowledge) akan dilaksanakan apabila tidak budaya koorporat yang berientasi pada budaya kompetitif. Tanggung jawab manajemen dalam kondisi seperti ini adalah memobilisasi anergi seluruh perangkat organisasi/kelompok masyarakat suku tertentu untuk memberikan visi, misi dan strategi untuk membentuk “ the winning team”

14

Page 15: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Konsep perencanaan pariwisata berlanjut dan berwawasan lingkungan pada investasi strategi implementasinya bisa kedalam berbagai tingkatan nasional, regional atau lepel kawasan. Namun demikian dengan sedikit mengesampingkan tingkat rencana pariwisata. Pada dasarnya perencanaan pariwisata adalah suatu proses yang berkesinambungan untuk melaukan matching dan adjustment yang terus menerus antara sisi supply dan demand kepariwisataan tersedia untuk mencapai misinya yang telah ditentukan dengan melalui pendekatan holistik seperti analisis di bawah ini:

Pada metode pendekatan ini awal dari perencanaan dimulai dengan tahapan analisis secara umum wilayah lokasi kawasan maupun eksistensi masyarakat Bajo. Pada tahapan ini permintaan dan penawaran antara obyek kawasan dan wisatawan menjadi perhitungan utama.

Selain itu Pendekatan masyarakat (community approach)dalam pengembangan Pariwisata merupakan fenomena yang kompleks, bukan sekedar kegiatan dengan obyek utama industri pelayanan yang melibatkan manajemen produk dan pasar, tetapi lebih dari itu merupakan proses dialog antara wisatawan sebagi guest dan masyarakat lokal sebagai host. Kegiatan pengembangan yang tertarik dengan karakterisitik masyarakat lokal namun hanya menggunakan pendekatan sepihak dari sisi pasar merupakan konsep yang tidak propesional. Suatu kegiatan pengembangan terhadap suatu lokasi komunitas tertentu, dimana karakter masyarakat lokal secar fisik dan sosial budaya merupakan sumber daya utama. Pendekatan pengembangan perlu memandang masyarakat lokal sebagai sumber daya yang berkembang dinamis untuk berperan sebagi subyek, dan bukan sekedar obyek. Oleh karena itu, setiap langkah keputusan perencanaan harus mencerminkan dialog yang kreatif dengan masyarakat lokal secar aktif dalam proses pengambilan keputusan pembangunan kepariwisataan ini dapat dibagi dalam dua bentuk yaitu pariwisata alam dan budaya, seperti nampak pada skema di bawah ini :

15

Regional Situation Analysis

Enviroment Analysis Resource Analysis

Analysis the environment to identity treats and region and the tourist business unit in the region

Analysis the regions resources and capabilities to identity strengths and distinetive competencies

Wisata Alam Ekowisata

Wisata Teknik

Page 16: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Wisata bahari yang merupakan bagian dari pengembangan wisata alam dan budaya memerlukan berbagai sarana untuk memenuhi berbagai kebutuhan wisatawan. Pada dasarnya sarana itu berupa akomudasi, transportasi dan makan/minum. Kemajuan zaman menuntut sarana tambahan, yaitu operator wisata bahari, sarana telekomunikasi, sarana pemeliharaan kesehatan, sarana penjaga keselamatan, serta sarana rekreasi dan hiburan; yang semuanya mengacu pada kebutuhan untuk menunjang kegiatan operaional wisata bahari.

Menciptakan bentuk atraksi obyek wisata budaya dan wisata bahari sebagai objek dan daya tarik wisata andalan daerah yang dikelilingi oleh laut seperti daerah Sulawesi Selatan. Karena itu perlu meningkatkan mutu daya tarik objek wisata dengan melalui pelaksanaan rencana peningkatan fasilitas infra dan sulfra struktur guna menunjang pengembangan wisata bahari. Sasaran ini bisa tercapai jika dikembangkan mutu pengusaha jasa perhotelan yang sudah dilaksanakan oleh Badan Usaha atau perorangan berdasarkan syarat kesehata, kebutuhan jumlah dan luas kamar, fasilitas serta syarat lain yang berkaitan dengan perizinan membangun dan atau perluasan bangunan. Menumbuh kembangkan mutu dan syarat pelayanan rumah makan berdasarkan syarat kesehatan makanan dan minuman, kebutuhan jumlah kursi dan fasilitas lain, serta syarat lain yang berkaitan dengan perizinan membangun dan atau perluasan bangunan. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah :

1. Menetapkan peraturan daerah mengenai penyelenggaraan izin dan retribusi pengembangan hotel, wisma dan rumah makan di lokasi objek wisata maupun di pusat kota kabupaten.

2. Menetapkan keputusan mengenai klasifikasi hotel, wisma, dan rumah makan atas dasar peraturan perundangan yang berlaku.

3. Menetapkan keputusan mengenai pengaturan pembentukan asosiasi hotel, wisma dan rumah makan sebagai wadah pembinaan pengetahuan usaha saran wisata daerah.

4. Menetapkan keputusan mengenai tim pembina pengelolaan dan pengawasan pengembangan usaha sarana wisata daerah dengan membuat perlindungan pemukiman masyarakat Bajo sebagai objel wisata bahari.

16

Wisata Budaya

Wisata Sejarah/Arkeologi

Wisata Adat & kesenian

Page 17: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Bertitik tolak kepada ruang lingkup urusan pemerintah di bidang kepariwisataan seperti yang telah diutarakan diatas, maka secara lebih khusus untuk pelaksanaan masing-masing jenis urusan dalam memberikan kebijakan operasional, yaitu :

1. Menetapkan pusat-pusat wilayah pengembangan objek wisata atas dasar analisa struktur Rencana Tata Ruang Pengembangan Kawasan Pariwisata Daerah, dengan memperhatikan daya dukung usaha pengembangan fasilitas infra dan supra struktur, sarana dan prasarana penunjang pengunjung lokasi, serta nilai daya tarik objek yang mampu berkompetitif yang didukung oleh lingkungan alam dan masyarakatnya.

2. Menetapkan salah satu jenis objek wisata andalan pada setiap pusat wilayah kawasan pengembangan objek wisata sebagi objek wisata yang memiliki karakteristik daya tarik yang paling menonjol, yang dilakukan berdasarkan analisa tingkatan jumlah pengunjung, jumlah dan jenis atraksi yang ditampilkan, dukungan fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia, serta kualitas kondisi infrastruktur dan suprastruktur yang menunjang.

3. Menetapkan Peraturan Daerah yang mengatur segala jenis sumber penerimaan pajak dan izin serta retribusi usaha pembangunan dan pengembangan terhadap setiap jenis usaha pengelolaan objek wisata daerah.

4. Menetapkan keputusan mengenai pengelolaan izin dan retribusi usaha rekreasi dan hiburan umum di lokasi objek wisata maupun di pusat kota kabupaten.

5. Menetapkan keputusan mengenai pengendalian dampak lingkungan terhadap usaha pengembangan sarana dan prasarana, serta pengembangan budi daya perekonomian pada lokasi objek-objek wisata;

6. Membentuk kelompok-kelompok sadar wisata sebagtai kelompok sasaran pembinaan usaha pengembangan kegiatan kepariwisataan pada tingkat kecamatan, desa dan kelurahan, sebaagi wadah perwakilan masyarakat untuk turut berperan serta di dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembinaan dan pengelolaan objek wisata daerah.

Dalam rangka meningkatkan mutu dan jumlah penyelenggaraan promosi wisata daerah terhadap produk-produk objek wisata unggulan yang berkaitan dengan atraksi budaya, permainan rakyat, kesenian rakyat, objek wisata bahari maupun nilai sejarah daerah melalui berbagai keikutsertaan dalam kegiatan festifal, lomba tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, maupun penyebarluasan informasi wisata melalui media cetak dan audio visual. Hal yang lain adalah meningkatkan mutu dan jumlah pendistribusian media informasi wisata daerah, baik yang berbentuk brosur leaflet, maupun poster-poster kepada pengelola jasa hotel, biro perjalanan wisata, dan atau ke tempat lokasi abjek wisata yang ada di Indonesia.

Simpulan

Munculnya dua pola tempat tinggal suku Bajo yaitu rumah perahu (bidok) dan rumah panggung di darat, menunjukkan bahwa tanah dan air merupakan suatu ekosistem yang tak terpisahkan. Ketertutupan masyarakat Bajo terhadap darat bukan hanya dilihat sebagai keterbelakangan tetapi kita harus mencari dan menemukan model bahwa bahwa suku Bajo sudah menyatu dengan lingkungan laut. Justru yang harus

17

Page 18: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

dipertanyakan adalah mengapa suku Bajo bisa bersatu dengan laut yang penuh misteri dan mengagumkan seperti yang terekam dalam masyarakat secara turun temurun. Karena itu sangat benar jika masyarakat Bajo memahami laut itu sebagai karunia Tuhan; laut adalah milik semua umat manusia. Munculnya sekat-sekat kepemilikan laut pada kelompok suku tertentu, hanya didorong karena sifat keserakahan manusia yang mengingkari laut sebagai karunia Tuhan. Karena sifat pengingkaran itu maka manusia harus bertanggungjawab untuk mempertahankan habitat yang hidup di dalamnya.

Prinsip pemanfaatan potensi laut masih demikian berpengaruh dalam kehidupan pemukiman bahari Masyarakat Bajo. Aktivitas seharian memberikan makna tersendiri dan memungkinkan mereka sebagai suku bahari yang ulung. Pemakaian teknologi kebaharian yang sangat sederhana adalah faktor sekunder dibalik keterampilan dan pemahaman ilmu-ilmu astronomi yang ratusan tahun mereka manfaatkan dan pertahankan. Namun demikian keterdesakan penyelamatan nilai-nilai kebahariannya melalui perubahan tempat tinggal menjadikan mereka tersentuh untuk mencari kehidupan baru.

18

Page 19: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

DAFTAR PUSTAKA

Andaya, Leonardd Y, The Kingdom of Johor 1641-1728, London, 1975,

Abdurrahim dan Wolholff, G.J, “Sejarah Goa”, Bingkisan, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara, tanpa tahun

Abdul Razak Daeng Patunru, Sejarah Gowa, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1969.

A. Rasyid, Asba. Pemanfaatan Potensi Alam dan Masyarakat Bajo Dalam Pengembangan Wisata Bahari di Pesisir teluk Bone. Penelitian Dasar Direktorat Penelitian dan pengabdian Masyarakat. Dikti. 1997

____________, Sejarah Wajo, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1964.

Adatrechtbundels, XXXI Celebes, Is-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1929.

Andi Mappanyukki, Lontara Gowa Bone, Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Chabot, H. Th. 1950. Verwantschap, Stand en Sexe in Zuid-Celebes. Groningen/Jakarta: J.B. Wolters.

Ch. Pelras, Sulawesi Selatan Sebelum Datangnya Islam Berdasarkan, Kesaksian Bangsa Asing dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Cohen, Abner. 1971 Cultural strategis in the organization of trading diaspora, dalam: Claude Meillassoux, ed., The Development of indigenous trade and market In West Africa. London: Cambridge University Press.

Curtin, Philip D. 1984. Cross Cultural trade in World history, London Cambridge University Press.

Cortesau, Armando. 1944. The Suma Oriental of The Tome Pires and the Book of Francisco -Rodrigues London : Robert Maclebose & Co.

Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and state development in early South East Asia, Honolulu : University of Hawaii Press.

Friedericy, H. J, “De Standen bij de Boegineezen en Makassaren”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land en volkenkunde in Nederlandsh Indie deel 90, Martinus Nijhoff, sGravenhage, 1963.

J.M. Nas, Peter. The Indonesian City. Foris Publications Holland.1986

Kebijakan Pengembangan Kepariwisatan di Indonesia, Kumpulan Makalah. Departemen Pariwisata. RI. 2002

Mangemba, H.D, Kenalilah Sulawesi Selatan, Jakarta : Timun Mas, 1954, 1956.

Mattulada, LATOA, Tesis Doktor, UI, 1975. Belum diterbitkan.

19

Page 20: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

______________, Menyelusuri Jejak kehadiran Makassar Dalam Sejarah . Bhakti Baru. 1982.

_______________,“Kepemimpinan Orang Makassar”, Berita Anthropologi, UI, Jakarta, 1977.

________________,“Pre-Islamic South Sulawesi”, (ed) Dynamics of Indonesian History, Amsterdam, 1978.

________________,“Elite di Sulawesi Selatan”, Perpustakaan Nasional, No. 2, th. I, 1974.

_______________,“Some Aspect of Macassar-Bugines Historography”, (ed), Historians of sortheast Asia, OUP, London, 1962.

Noorduyn, Sejarah Islam di Sulawesi Selatan, Kristen Indonesia, 1964.

Tobing, Ph. O.L, Hukum Pelayaran Dan Perdagangan Amannagappa, Makassar, Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.

Paliheng DG. Mangatta, Lontarak Bulo-Bulo Koleksi Pribadi.

Petta Bau, Lontarak Tondong dan Bulo-Bulo, Koleksi pribadi.

Pelras, C. 1981. Celebes-Sud avant I’Islam selon les premiers temoignages etrangers. Archipel 21: 153-84.

Pires, T. 1515. The Suma Oriental of Tome Pires, trans. Armando Cortesao. 2 vols. London :Hakluyt Society, 1944.

1980. The Structure of Cities in southeast Asia, Fifteenth to Seventeenth Centuries. JSEAS 11, 2 : 235-50.

Reid, Anthony ed, Slavery, Bondage dan Dependency In Southeast Asia. University of Queensland Press,1993.

Survai Tradisi Lisan masyarakat Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian Unhas 1976.

Kaset Hasil wawancara Beberapa tokoh Masyarakat Bajo di Kel. Bajoe Kabupaten Bone

20

Page 21: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

BIODATA PENULIS

Rasyid A. Ambo Sakka lahir di Sinjai, Sulawesi Selatan pada 31 Desember 1966. Ketua Departemen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Menyelesaikan S.I di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin ( UNHAS) Makassar ( 1989). Mengikuti program magister dalam bidang sejarah ekonomi perkebunan dari (1996) Mengikuti program research Sejarah Maritim ke Negeri Belanda (2002) dan mendapat gelar doktor dalam bidang Sejarah Ekonomi Maritim dari Universitas Indonesia (2003). Kegiatan akademis dan ilmiah yang pernah diikutinya antara lain Dosen Universitas Sahid Jakarta, Sekolah Tinggi Manajemen Industri Indonesia, Program Pasca sarjana STIAMI Jakarta, Penelitian Dasar Dikti Depdiknas (1998), Terpilih sebagai Peneliti Muda Japang Fondatian tahun (2002), Peneliti Pengkajian Naskah-naskah Lontara di Sulawesi Selatan Kerjasama Universitas Hasanuddin dengan Ford Fondations 1990-1993, Ketua Bidang Penelitian Pusat Kajian Wanita Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin 1992-1994, Wakil Sekjen Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Sulawesi Selatan –Indonesia (IKAMI) 1996-1999 Staf Ahli Lembaga Pusat Pengkajian Hukum dan Strategi Nasional Jakarta, 1999- sekarang, Editor Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Lembaga Penelitian Unhas sejak tahun 2005. Ketua Program Ilmu Sejarah Pascasarjana Unhas tahun 2004-sekarang.Ketua Pelaksana Teks Kemampuan Bahasa Korea Kerjasama antara Unhas, UI, KLPT Korea dan Depnaker. RI. Ketua Kerjasama Penelitian Sejarah Lisan Jepang antara Universitas Hasanuddin dengan Tokyo University Foreign Studies Jepang, Anggota Tim Reviewer Nasional Penelitiaan Dasar, Hibah bersain, Penelitian Dosen Muda Direktorat pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti. Depdiknas Tahun 2004- sekarang, Anggota Tim Monitoring Penelitian HB, PD,PDM dan PKW Direktorat pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti. Depdiknas. Tahun 2004-Sekarang. Anggota Dewan Research Balai Penelitian Pemerintah Daerah I Sulawesi Selatan 2004- 2005, Ketua Tim Manajemen Revolusi Agro Sulawesi Selatan Karya Ilmiah antara lain Pendudukan Belanda di Kerajaan Bulo-Bulo Pada Abad ke 19. Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Univ. Hasanuddin, tahun 1989 Lontarak Sebagai Sumber Sejarah Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin 1993I Tenri Awaru Besse Kajuara Profil Pejuang Wanita PSW. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin 1996 Besse Langello Bulo-Bulo Sinjai Profil Pahlawan Wanita. PSW. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin 1997, Bulukumpa dalam Tinjauan Historis Makalah dalam Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Bulukumba 1997 Sentralisasi Dalam perdagangan Kopra Makassar. Makalah Mukernas Sejarah ke-13 Makassar 1997 Persekutuan Tellu Limpoe Sebagai Hari jadi Kab. Sinjai Makalah dalam Seminar Hari jadi Kabupaten Sinjai 1998 Perlawanan Rakyat Tellu Limpoe Terhadap Imperialisme Belanda; Kajian Pemberontakan di daerah Pedalam Kerajaan Bugis, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud 1996; Pemanfaatan Potensi Alam dan Masyarakat Bajo Dalam Pembinaan Wisata bahari, Penelitian Dasar Dikti Depdikbud. 1998 Pola Perdagangan Kopra Makassar Hibah Pekerti Depdiknas. tahun 2004-2005 Makassar Sebagai Bandar Perdagangan Jalur Sutra. Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Depdikbud RI. 1999. Tingkat Kesadaran Sejarah Pemuda di Jawa Timur dan Jawa Barat. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud. 2000; Pulau Sitombak Sastra Daerah Ambon, dalam buku Antalogi sastra daerah Nusantara. Yayasan Obor 1999;

21

Page 22: NILAI-NILAI KEBAHARIAN  MASYARAKAT   BAJO     DALAM PENGEMBANGAN WISATA BAHARI

Produksi dan Kebijakan Ekspor Kopra di Makassar ,1927-1958 Tesis UI, 1997Perdagangan di Makassar Pada masa Akhir Kolonial Belanda 1896-1958 Kapitalisasi dan Kompetisi Perdagangan Dunia, Peneliti Muda Toyota Foundation tahun 2000-2001; Some Note Emergence Relationship Between Macassar and Portuguese. Makalah Sumbangan Komprensi Internasional 500 tahun hubungan Indonesia Portugis Pasca Sarjana UI Kerjasama Studi Kajian Asia Tenggara, Kedutaan Peotugal Jakarta 2000. Soekarno, Islam dan Civil Society bersama Adi Suryadi Culla dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia. Vol.5 no.18 Februari 2003 Konflik Buruh di Makassar 1930-1965 oleh Project NIOD Book Belanda, 2003 Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar, 1883-1958. Disertasi UI-2003 Konflik dan Permasalahannya di Indonesia oleh Yayasan Masyarakat Mandiri Indonesia, Jakarta,2003 Pelayaran Sawerigading Perekat Integrasi Bangsa. Makalah Seminar Internasional , Masamba Palopo 2003 Peserta Seminar Multikulturalisme,Cisarua Dep. Pariwisata dan Kebudayaan RI-2004Peserta Seminar Pemetaan Konflik di Indonesia, Cisarua Dep. Pariwisata dan Kebudayaan RI-2004 Peserta Diskusi Konflik dan Kekerasan di Indonesia. Alumni Leiden Universiteit kerjasama dengan Perwakilan KITLV Indonesia, Erasmus Kedutaan Belanda, 2004. Pemakalah dan Pembahas Workshop Internasional on The Economic Side of Decolonization yang diselengarakan Oleh Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie, LIPI dan UGM diYokyakarta 18-19 Hotel Inna Garuda Yogyakarta Pemakalah Pada Workshop Internasional Sejarah Perburuhan dalam Lintas Kekuasaan Yang diselenggrakan oleh Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie, LIPI dan Pusat Studi Realino Yogyakarta tanggal 20- 22 Agustus 2004 Pemakalah Seminar Nasional ColliQ Pujie Pahlawan Nasional, Barru 25 Oktober 2004 . Korban 40 ribu Jiwa di Sulawesi Selatan Pelanggaran HAM Berat Pemerintah Belanda Harian Fajar 14 Desember 2005 Bungkarno Terlibat Secara politis Dalam Gerakan G.30 S. PKI Harian Fajar 7 Desember 2005

22