bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penghormatan pada kelahiran Nabi Muhammad menempati posisi istimewa dalam
tradisi pesantren. Penghormatan itu termanifestasi dalam kehidupan kepesantrenan.
Kitab-kitab keagamaan terkait dengan kelahiran Nabi Muhammad yang bercorak sastra
seperti Barzanzy, Maulid Diba’i, dan Kasidah Burdah diajarkan dan diamalkan di
pesantren. (Manshur, 2011: 136). Ketiga kitab tersebut tidak hanya disambut dengan
tradisi tulisan tetapi disambut dengan tradisi lisan. Kegiatan pembacaan ketiga kitab
tersebut biasa disebut dengan barzanzen, dibaan dan burdahan. Lantunan bait puisi
berupa pujian dan shalawat kepada Nabi tersebut tidak hanya pada saat Maulud Nabi
(kelahiran Nabi Muhammad), tetapi pada malam Jumat (Manshur, 2011: 136; Hisyam,
2001: 39). Bahkan dalam tradisi pesantren, kegiatan dibaan, barzanzen, burdahan dan
peringatan hari kelahiran Nabi dianggap sebagai kegiatan kemasyarakatan bernuansa
agama, dengan menyampaikan ajaran Islam kepada santri dan masyarakat melalui
pembacaan teks-teks Islam klasik (Manshur, 2011: 133).
Bentuk penghormatan kepada kelahiran Nabi Muhammad juga dikenal dalam
beberapa tradisi Nusantara. Di Jawa dan Sunda, muncul beberapa saduran terhadap
kitab klasik Islam tersebut dalam bahasa lokal yang digurat dalam metrum-metrum
2
persajakan setempat. Bahkan, dalam tradisi Melayu kisah-kisah tentang kelahiran Nabi
Muhammad termasuk sebuah genre tersendiri, yaitu hikayat hagiografi (Braginsky,
1998: 277). Dalam tradisi Madura, yang tradisi pesantren atau keislamannya hampir
mirip dengan Jawa, bentuk penghormatan pada kelahiran Nabi juga hampir sama, baik
itu dalam pelisanan kitab klasik Islam dalam bentuk barzanzen, dibaan dan burdahan,
maupun dalam sambutan pada teks-teks kelahiran Nabi dalam bentuk puisi dalam
bahasa lokal, di antaranya adalah syiir Madura. Biasanya syiir memang dilisankan dan
kegiatan itu disebut dengan syiiran atau singiran (dalam tradisi Jawa) dan seeran
(dalam tradisi Madura). Tradisi membaca syiir sangat kental dengan masyarakat Islam
pesisiran (Jamil, 2010: 24). Syiir sendiri berasal dari tradisi Arab, yaitu syair yang
berarti puisi (Jamil, 2010: 21; dalam tradisi Melayu lihat Braginsky, 1998: 226).
Tradisi membaca dan menulis syiir memang cukup melimpah dalam tradisi
kepenyairan dalam tradisi Islam Pesisir dan Madura sebagai bentuk tranformasi
keislaman yang disebut sebagai tradisi syiiran (Jamil, 2010: 24). Syiir adalah metrum
puisi yang paling banyak ditemukan di kawasan pesisir Jawa bagian utara dan Madura,
dan biasanya digunakan oleh kalangan pesantren dengan menggunakan bahasa lokal,
dan berisi ajaran keagamaan, nasehat atau berkisah tentang para nabi atau wali. Genre
berbentuk syiir yang memiliki kesepadanan dengan syair dalam tradisi sastra Melayu
tradisional, yang menjadi genre yang disukai oleh beberapa kyai pengampu pesantren
Jawa dan Madura dalam bersastra, dengan muatan agama Islam yang kental. Ahmad
3
Tohari menyebut genre ini sebagai sastra pesantren dalam pengertiannya yang paling
tradisional, yaitu sastra pesantren sebagai sastra dakwah (Tohari, 1998: 80).
Beberapa kyai di Jawa Timur yang hidup pada tahun 1900—1980-an dikenal
sebagai para penulis dan menggunakan karya syiirnya dalam melakukan kegiatannya.
Tulisannya berupa karya sastra dan keagamaan. Sebagaimana fungsi kyai di
masyarakat, karya sastra yang ditulis pun bernafas keagamaan. Bahkan ciri khas
dakwahnya demikian kental (Tohari, 1998: 80). Jaringan ulama atau kyai yang berpusar
pada KH. R. Moch. Kholil (1819—1925), pendiri pesantren Kademangan Bangkalan
Madura, telah menghasilkan banyak Kyai atau ulama di Jawa dan Madura, yang
memiliki tradisi kepenulisan yang bagus, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa
lokal.
Salah seorang santri KH. R. Moch. Kholil yang sangat menonjol dalam karya
kepenulisannya dalam bahasa lokal adalah KH. R. As’ad Syamsul Arifin (1897—1990).
Kyai As’ad, begitua ia kerap disapa, sangat produktif dan menghasilkan beberapa kitab
syiir dalam bahasa Madura. Salah satu karyanya yang merupakan sambutan teks Maulid
Nabi dalam bahasa Madura adalah kitab Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah ban
Serdadunah Sabidak Ibu Bakal Agujur Ka’bah Saiket Ari Sabellunnah Nabi
Muhammad SAW Lahir Watusamma Wiladatuhu ‘Amul Fiil (Syiir Madura dalam Kisah
Ratu Abrahah dan Serdadunya Enam Puluh Ribu Bakal Menghancurkan Ka’bah Lima
Puluh Hari Sebelum Nabi Muhammad SAW Lahir dan Kelahirannya Dinamakan
dengan Tahun Gajah), selanjutnya disebut Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal
4
Menyerbu Ka’bah. Judul tersebut disingkat karena judul aslinya sangat panjang dan
penyebutan ini sudah mewakili substansi dari isi dan kandungan teks.
Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya KH. R. As’ad
Syamsul Arifin, yang berasal dari Pamekasan Madura dan menjadi pengasuh Pondok
Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, termasuk sambutan pada teks-teks
maulid Nabi dengan bahasa lokal. Hanya saja, ada kekhasan tersendiri pada teks
tersebut, sesuai dengan judulnya, yakni kisah yang diangkat bukan tentang sosok Nabi
Muhammad, tetapi Ratu Abrahah yang bakal menggempur Ka’bah. Dalam konteks ini
teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah merupakan teks
Maulid Nabi dengan kekhususan sebagai teks Abrahah karena latar waktunya adalah 50
hari sebelum kelahiran Nabi, sehingga sosok Nabi tidak ada di dalamnya, sedangkan
yang menjadi fokus adalah Ratu Abrahah.
Pada sampul naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah
terdapat hiasan bunga-bunga, juga terdapat keterangan disalin pada tahun 24 Shafar
1392 H/ 9 April 1972 H. Penyalinnya adalah Ustad Baihaqi bin Syekh Ismail,
sedangkan penggambarnya adalah Abdus Somad Bukhori. Kedua nama itu terdapat
pada sudut bawah. Di bawah judul yang panjang tertera nama pondok pesantren
Salafiyah Sukorejo Situbondo. Dalam teks tidak ditemukan kolofon sehingga tidak
diketahui proses penyalinannya. Menurut D. Zawawi Imron, sastrawan dan ahli budaya
Madura, masa-masa KH. R. As’ad Syamsul Arifin menulis syiir Madura pada tahun
1922, yang dibenarkan oleh putranya KH R. Fawaid As’ad (Jawa Pos, 3 Januari 1999).
5
Imron menjelaskan, syair-syair tersebut dianggap mewarnai perjalanan sastra Madura
dan keagamaan di Nusantara. Naskah tersebut ditulis dengan huruf pegon dan berbahasa
Madura. Pegon dalam bahasa Madura disebut pegu (Imron, 1989: 194). Dengan
demikian, diasumsikan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah juga
dikarang pada tahun 1922.
Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah diidentifikasi
sebagai naskah pesisir-Madura. Konvensi yang berlaku dalam naskah pesisir berbeda
dengan naskah Jawa pedalaman, baik dari sisi aksara, metrum macapat, serta dialek
setempat. Sastra pesisir dan Madura biasanya ditulis dengan huruf pegon atau Arab
gundhil (Pigeaud, 1967: 34). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab disebut dengan
naskah pegon dan hurufnya dinamakan Arab pegon, atau disebut pegon saja (Mulyadi,
1994: 8). Pigeaud (1967: 4—7) menyebut bahwa perkembangan sastra pesisir terjadi
pada abad ke-15 hingga abad ke-19. Pada rentang zaman itu, kegiatan sastra berpindah
dari pusat kota Majapahit ke kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan
penyebaran agama Islam. Kota-kota pesisir di Jawa yang memainkan peran penting
dalam penulisan kitab agama dan karya sastra adalah Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya,
Demak dan Jepara (Pigeaud, 1967: 6—7). Pigeud menjelaskan bahwa perkembangan
sastra Jawa, terbagi dalam empat babak: (1) zaman Hindu Jawa, dari abad kesembilan
hingga kelimabelas; (2) zaman Jawa-Bali dari abad kelimabelas sampai
kesembilanbelas, (3) zaman pesisir, mulai abad kelimabelas hingga kesembilanbelas,
dan (4) zaman Surakarta dan Yogyakarta, mulai abad keelapanbelas sampai abad
6
keduapuluh (Pigeud, 1967: 4—7). Abdul Hadi WM. (2003: 45) menambahkan bahwa
pesisir yang dimaksudkan itu termasuk juga Madura. Lebih jauh, ia jelaskan, dari segi
isi, sastra pesisir dan Madura bercorak keagamaan, sehingga banyak ditemukan tentang
kisah para nabi, sahabat nabi, kisah para wali, raja dan pahlawan Islam, sastra kitab dan
tasawuf.
Dalam penelusuran naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah tidak ditemukan di beberapa tempat penyimpanan naskah, baik itu di Museum
Mpu Tantular Surabaya, Museum Radya Pustaka Surakarta, Museum Sasana Pustaka
Surakarta, Museum Sono Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional dan penelusuran
beberapa katalog penyimpanan naskah Nusantara lainnya. Dengan demikian naskah ini
belum terkodifikasi. Kondisi itu membenarkan sinyalemen Pigeaud bahwa naskah
pesisir (Madura) telah banyak yang hilang (Pigeaud, 1967: 34). Asumsi awal, Syiir
Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah memiliki kesaksian naskah
tunggal (codex unicum). Naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah yang menjadi obyek penelitian ini ditemukan di Pondok Pesantren
Annuqoyyah, Sabanjarin Guluk-guluk Sumenep, dan merupkan koleksi K.M. Faizi
Kailani (pengasuh pesantren tersebut), yang ia peroleh dari orang tuanya. Adapun di
Pondok Pesantren Salafiyah Situbondo sudah tidak bisa ditemukan salinan naskah
tersebut (Hasan, 2009: 36—7).
Kajian ini merupakan studi filologi pada naskah dan teks Syiir Madura Kisah
Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Dalam analisis digunakan teori resepsi sastra
7
karena tradisi penulisan sejarah kelahiran Nabi Muhammad dikenal dalam tradisi
kesusastraan Nusantara sebelumnya, baik itu di Jawa, Madura maupun Melayu.
Diasumsikan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah merupakan
resepsi atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Abrahah dalam sejarah adalah
seorang gubernur Yaman yang berada di bawah raja Abassina yang bernama Negus atau
Najassi. Adapun Abrahah adalah orang Abassina (Lings, 1991: 39). Ihwal asal-usul
Abassina dan sinonimnya memiliki akar yang kuat dalam tradisi keberaksaraan di
Timur Tengah dan Afrika (Ali, 2014: 164—174). Dalam berbagai khasanah, Abrahah
disebut dengan raja atau bahkan ratu yang identik dengan penguasa. Sebutan ratu dalam
konteks ini tidak mengarah pada perempuan karena di Nusantara, ratu juga bisa
mengarah pada raja.
Terdapat beberapa alasan naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal
Menyerbu Ka’bah yang akan dikaji lebih jauh dalam penelitian ini. Di antara alasannya
adalah karena naskah ini berbeda dengan naskah Maulid Nabi secara umum, karena
tidak berbicara tentang proses kelahiran Nabi Muhammad tetapi menggurat peristiwa
menjelang kelahiran Nabi, yaitu ketika Raja Abrahah akan menghancurkan Ka’bah.
Pada banyak khasanah, terutama terkait dengan perayaan Maulid Nabi, yang diutarakan
adalah tentang kelahiran Nabi dan keajaiban-keajaibannya, tetapi karya syiir Madura
kali ini bukan hal itu yang menjadi fokusnya. Naskah ini menyinggung kelahiran Nabi,
tanpa kehadiran sosok Nabi di dalamnya. Alasan lainnya karena naskah ini belum
pernah dijadikan sebagai bahan penelitian.
8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang tersebut, terdapat dua permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana menghadirkan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah bagi pembaca masa kini?
1.2.2 Bagaimana resepsi sastra Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis.
Tujuan keilmuan yang utama adalah untuk mengakumulasi ilmu humaniora, terutama
yang bertumpu pada filologi, sastra dan budaya. Rincian tujuannya sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Teoretis
A. Mengalihaksarakan dan menghadirkan suntingan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah
Bakal Menyerbu Ka’bah berdasarkan kaidah-kaidah ilmu filologi
B. Menganalisis resepsi sastra dalam naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal
Menyerbu Ka’bah, terutama terkait tanggapannya terhadap karya-karya serupa yang
berbicara tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad.
9
1.3.2 Tujuan Praktis
Selain tujuan yang bersifat keilmuan, penelitian ini juga memiliki tujuan praktis, di
antaranya sebagai berikut.
A. Membuka akses bagi masyarakat untuk mengetahui lebih luas tentang kandungan
Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah
B. Menampilkan capaian kreasi, nilai-nilai budaya, kearifan dan kebajikan masa lampau
kepada generasi masa kini.
C. Menghadirkan warisan pengetahuan masa lampau sebagai bahan pengayaan atau
landasan pada pengetahuan kini yang sesuai dengan semangat zaman.
1.4 Tinjauan Pustaka
Berdasar penelusuran, belum ditemui tulisan yang membahas tentang Syiir Madura
Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya KH. R. Moh. As’ad Syamsul
Arifin. Syamsul A. Hasan (2009: 36—7) hanya menyinggung sebuah kitab Syiir
Madura karya Kyai As’ad yang berbicara tentang tuntutan muda-mudi yang diselingi
dengan humor, bukan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah.
Hasan mengaku mendapatkan buku ini di kantor pesantren, dan “buku ini hanya
sebagian kecil hasil karya seninya, yang sempat dibukukan –atau memang yang sempat
kami temukan” (Hasan, 2009: 36).
Sementara itu, D. Zawawi Imron dalam esainya “Sepercik Puisi KH. As’ad
Syamsul Arifin” dimuat Jawa Pos, Minggu, 3 Januari 1999, menyinggung karya Kyai
10
As’ad yang sama dengan yang ditulis Syamsul A. Hasan. Imron mengawali tulisannya
dengan paragraf “Awal November 1996, saya diundang untuk mengisi dialog di
Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo. Pengasuh pesantren, KH. R.
Fawaid As'ad, memberi saya sebuah buku sastra karangan ayahnya, KH. R. As’ad
Syamsul Arifin. Judul kitab itu Syiir Madura, ditulis dalam bahasa Madura huruf Arab.”
Imron menjelaskan karya itu adalah sastra pesantren. Menurutnya, sastra pesantren
dulunya merupakan perpanjangan dari sastra Islam yang pada asalnya menggunakan
bahasa Arab. Tak heran kalau bentuk puisi Kyai As’ad yang berbahasa Madura masih
dalam bentuk konvensional seperti puisi penyair-penyair Islam sebelumnya. Berikut ini
kutipannya.
“Salah satu keuntungan menulis dengan pola konvensional ialah tersedianya
ragam lagu yang sudah menjadi irama keseharian dalam senandung khas masyarakat
yang pernah meneguk ilmu di pesantren. Sedangkan dalam masyarakat Madura
tradisional, denyut pesantren merupakan bagian utama dari denyut jantungnya. Pada
kenyataannya, syiir (puisi-puisi pesantren) yang ditulis generasi sesudah Kyai As'ad,
misalnya oleh K.H. Abdul Madjid Tamim dari Pamekasan, sampai sekarang masih
disenandungkan putra-putri Madura yang tinggal di pedesaan. Irama itu terasa sangat
padu dengan desir angin agraris yang mengusik-usik pucuk-pucul siwalan, dengan
langkah kuda beban yang sedang mendaki punggung bukit kapur, serta dengan suasana
hati penyabit rumput di sudut-sudut ladang pada pertengahan kemarau. Bahkan, sejak
1970-an ketika lagu-lagu mulai dikasetkan, syiir-syiir pesantren itu banyak juga yang
11
masuk dapur rekaman dan laris di pasaran. Salah seorang pelantun syiir itu ialah R.
Moh. Aminollah” (Imron, 1999).
Adapun syiir atau puisi Kyai As'ad yang dibaca Imron lebih banyak bertema tata
krama kehidupan. Sebagaimana yang sudah disebutkan karya ini yang ditemukan Hasan
dan sudah menjadi buku yang diterbitkan pesantren setempat. Karya tersebut
merupakan sebuah karya didaktik yang mengimbau kesejukan dan kedamaian hidup
dengan landasan nilai-nilai profetik. Dengan kata lain, kalau mau hidup damai sejahtera,
bertauladanlah kepada peri kehidupan Nabi Muhammad. Di samping itu, tegas Imron,
ada hal yang cukup mengejutkan apabila merenungkan beberapa bait puisinya yang
seperti menyoroti secara tajam situasi sosial. Menurut Imron, karya Kyai As’ad
Syamsul Arifin, cukup membumi dan aktual buat zaman sekarang. Karyanya
mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan.
Kyai As’ad telah berbuat untuk peradaban kita, dengan sajak-sajaknya yang tajam
(Imron, 1999).
Adapun M. Muhkhis Jamil pernah melakukan penelitian dengan obyek syiiran
kyai-kyai. Syiir yang diteliti tidak berupa syiir Madura, tetapi syiir dalam bahasa Jawa,
yang meliputi tiga daerah yaitu Banyumas, Negerigung dan Pesisir. Kajiannya terfokus
pada transformasi ajaran Islam di masyarakat lewat karya syiir (Jamil, 2010). Dengan
demikian memang belum ditemukan penelitian terhadap Syiir Madura Kisah Raja
Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah.
12
1.5 Landasan Teori
Penelitian ini mencakup dua pokok bahasan, yaitu penelitian filologi dan penelitian
resepsi sastra berdasar teori Hans Robert Jauss (1921—1997). Digunakan teori filologi
karena objeknya adalah naskah lama, sedangkan teori resepsi digunakan untuk
menganalasis sambutan teksnya.
1.5.1 Filologi
Sebagaimana diketahui, objek studi filologi adalah naskah dan teks. Naskah
menunjukkan pengertian sesuatu yang kongkret, sedangkan teks adalah abstrak
(Baroroh-Baried, 1994). Naskah yang menjadi sasaran kerja filologi dipandang sebagai
hasil budaya berupa cipta sastra. “Naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks
yang terdapat dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan.
Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup
dan dengan bentuk kesenian yang lain” (Baroroh-Baried, 1994: 4). Baroroh-Baried
(1994: 47) menjelaskan, kajian ahli filologi bertujuan untuk menyunting, membahas
serta menganalisisnya, atau untuk kedua-duanya. Pada tahap awal kajian terhadap
naskah-naskah itu adalah melakukan penyuntingan.
Dijelaskan Robson (1994: 12), studi filologi lebih dari sekedar ‘kritik teks’ dan
berbeda dengan linguistik dan sastra, meski berkaitan dengan hal itu. Tugas filolog
adalah menjembatani kesenjangan penulis di masa lalu dan pembaca modern, oleh
karenanya banyak hal yang perlu dilakukan. Dari semua tugas filolog dapat diringkas
13
menjadi sebuah frase ‘membaca teks terbaca atau dimengerti’ (Robson, 1994: 12).
Dalam konteks kajian ini, yang dijadikan paradigma adalah teori filologi baru yang
memandang perubahan karya dan penyimpangan dari teks asli bukan sebagai hal yang
korup sebagaimana dalam filologi lama tetapi sebagai kreativitas. Apalagi Syiir Madura
Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah adalah naskah tunggal, yang menjadi
fokus adalah edisi teksnya atau penyuntingannya.
Jika melihat kedudukan filologi di antara ilmu lain terdapat hubungan timbal
balik dan saling membutuhkan (Baroroh-Baried, 1994: 9), karena objek filologi adalah
naskah yang mengandung teks lama atau sastra tradisional yang di dalamnya
terkandung hasil kebudayaan. Sastra demikian sangat erat hubungannya dengan
masyarakat yang menghasilnya. Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan piranti
lainnya, baik itu bahasa, sejarah dan budaya. Melihat hal itu, filologi membutuhkan
ilmu bantu yang erat kaitannya dengan bahasa, masyarakat, budaya yang melahirkan
naskah, dan ilmu sastra untuk mengungkapkan nilai sastra yang terkandung di dalamnya
(Baroroh-Baried, 1994: 10). Ditegaskan lebih jauh, “Selain itu diperlukan juga ilmu
bantu yang dapat memberikan keterangan tentang pengaruh-pengaruh kebudayaan yang
terlihat dalam kandungan teks. Dengan demikian, untuk menangani naskah dengan baik,
ahli filologi memerlukan ilmu bantu, antara lain linguistik, pengetahuan bahasa-bahasa
yang tampak pengaruhnya dalam teks, paleografi, ilmu sastra, ilmu agama, sejarah
kebudayaan, antropologi dan folklor.” (Baroroh-Baried, 1994: 10).
14
Oleh karena itu, kajian ini secara integral menggunakan kerangka filologi karena
obyek material kajiannya adalah naskah dan teks lama, yaitu Syiir Madura Kisah Raja
Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya KH R As’ad Syamsul Arifin. Asumsi teoretik
filologi ymenjelaskan bahwa teks, dalam penurunannya selalu mengalami perubahan,
sehingga atas perubahan itu muncullah apa yang disebut dengan varian atau variasi teks
(Istanti, 2010: 13). Kerangka kerja filologi yang digunakan adalah dalam metode
penyuntingan teks. Dalam penelitian ini, penyuntingan dipahami sebagai kerja
pendahuluan sebelum masuk pada analisis teks dengan teori lain, yaitu dengan resepsi
sastra.
1.5.2 Resepsi
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti sastra dengan mempertimbangkan
pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Teori resepsi merupakan sebuah
aplikasi historis dari tanggapan pembaca. Jauss merupakan salah satu tokoh utama dari
teori resepsi tersebut. Resepsi pembaca didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa
karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan pembacanya.
Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui
tanggapan-tanggapan pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14).
Fokus perhatian Jauss, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah
penerimaan sebuah teks tetapi dengan beberapa elaborasi khusus, termasuk beberapa
perangkat teoritik yang membedakan Jauss dengan resepsi lainnya. Minat utamanya
15
bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan
pada perubahan-perubahan tanggapan dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang
sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda. Jauss telah memberikan
dimensi kesejarahan kepada kritik sastra yang berorientasi kepada pembaca (Selden,
1993:120).
Jauss (1983: viii) menyebut pendekatannya dengan rezeptionsasthetik atau
estetika resepsi. Pendekatan yang menekankan pada tanggapan pembaca. Bisa pula
dikatakan teori Jauss ini telah memberikan dimensi kesejarahan kepada kritik sastra
yang berorientasi pada pembaca. Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama
merupakan produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam
arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan
relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep tanggapan atau respon pembaca yang
memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap
sebuah objek literer. Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra
masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra (genre).
Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali
ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya.
Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi
adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan
masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan
pembentuk sejarah. Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa
16
karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan pembacanya.
Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui
tanggapan-tanggapan pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14). Jauss (1983: 19)
membedakan dua resepsi atau tanggapan pembaca, yaitu resepsi aktif dan pasif.
Tanggapan bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu
atau dapat melihat hakekat estetika yang ada di dalamnya; tanggapan aktif yaitu
bagaimana ia ‘merealisasikan’-nya dalam sebuah teks baru. Dalam konteks Syiir
Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah ini, maka teksnya dipandang
sebagai karya baru yang merupakan tanggapan teks sebelumnya. Syiir Madura Kisah
Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah merupakan teks baru dan merupakan jenis
tanggapan aktif. Jadi resepsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah resespsi karya
sastra yang dilakukan pengarang pada karya-karya sebelumnya.
Konsep kunci dalam teori resepsi Jauss adalah horison harapan pembaca atau
erwatunghorizont. Jauss mengintroduksi konsep erwatunghorizont (horison harapan
pembaca) dari Gadamer. Sebenarnya, yang dipinjam hanyalah konsep horison saja.
Konteks horison memiliki rentang konteks yang luas dari teori fenomenologi Jerman
hingga sejarah seni. Gadamer menggunakan istilah itu untuk merujuk pada ‘rentangan
visi yang melibatkan segala sesuatu yang dapat dilihat dari suatu tempat secara
particular menguntungkan’ (Holub, 1984: 88). Sejarawan seni Gombrich (dalam Holub,
1984) mendefinisikan horison harapan sebagai ‘perangkat mental yang mencatat
penyimpangan dan modifikasi dengan sensivitas yang dibesarkan’ (Holub, 1984: 89).
17
Jauss menyebut cakrawala harapan dengan mengacu pada sistem intersubjektif
struktur harapan sebuah sistem rujukan atau seperangkat pikiran yang bersifat hipotesis
yang bisa saja pembaca bawa pada teks tertentu (Holub, 1984: 89—90). Dengan
penegasan, setiap pembaca mempunyai horison harapan yang tercipta karena
pembacaannya yang lebih dahulu, pengalamannya selaku manusia budaya. Dalam
pandangan Jauss, suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu
berdasarkan suatu horison penerimaan tertentu (Jauss, 1983: 12). Horison harapan
disusun dengan tiga pendekatan. Pertama, melalui norma-norma yang familiar atau
puitika imanen tentang genre. Dengan kata lain, pengalaman pembaca dalam
menghadapi genre sastra yang sama dengan genre sastra yang dihadapinya; kedua,
melalui hubungan implisit bagi karya-karya yang familiar terhadap lingkungan sejarah
sastra. Dengan demikian, pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap keseluruhan
teks yang telah dibaca sebelumnya, baik terkait dengan bentuk atau tema, menjadi
penting; ketiga, melalui oposisi antara fiksi dan realitas, antara fungsi puitik dan fungsi
praktik bahasa, yang selalu ada bagi pembaca yang biasa merefleksikan selama
pembacaan sebagai kemungkinan perbandingan. Dalam konteks ini, kesadaran pembaca
mengenai perbedaan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari atau kontras antara fiksi dan
kenyataan menjadi hal-hal yang perlu dirunut dan diperhatikan (Jauss, 1983: 24).
Teeuw (2003) menjelaskan, peneliti sastra dan sejarah sastra bertugas untuk
menelusuri resepsi karya sepanjang zaman. Keindahan sebuah karya bukanlah sesuatu
yang mutlak, abadi dan tetap, keindahan tergantung pada situasi sosio-budaya pembaca.
18
Ilmu sastra harus meneliti hal itu, bukan keindahan langgeng dari karya-karya besar
dunia, tetapi resepsi karya mereka oleh pembaca pada masa dan tempat yang berbeda-
beda (Teeuw, 2003: 162). Apalagi koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa
terutama dijembatani oleh horison-horison harapan pengalaman kesastraan dan horison
harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss, 1983: 21).
Bagi Jauss, nilai sastra sebuah teks terletak pada seberapa jauh teks memenuhi
dan melampaui harapan publik pembaca tertentu pada saat teks tertulis atau diterbitkan.
Kesenjangan antara horison harapan sastra dan pemunculan sebuah teks baru yang
mampu mengubah horison harapan disebut dengan ‘jarak estetik’ (esthetic distance).
Jarak estetis mungkin ditentukan secara historis dengan dasar reaksi publik pembaca
tertentu dan putusan-putusan yang diisukan dalam kritik (Jauss, 1970: 177 via Segers,
1978: 36). Implikasi estetik terdapat pada kenyataan bahwa resepsi pertama suatu karya
oleh pembaca mencakup pengujian nilai estetiknya dalam perbandingan dengan karya-
karya yang sudah dibaca. Kejelasan implikasi historis terkait dengan hal tersebut adalah
pemahaman pembaca pertama akan ditopang dan diperkaya dalam sebuah rantai resepsi
dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis suatu karya bisa diputuskan
dengan pembuktian nilai estetiknya (Jauss, 1983: 87).
Dalam praktiknya, fungsi efek dan nilai sebuah karya sastra untuk pembaca
modern dalam kebudayaan Barat, ingin dan berharap agar ia terkejut, diguncangkan
oleh hal-hal yang baru, yang memecahkan atau menggeser horison harapannya (Teeuw,
2003: 161). Dengan mengikuti alur pemikiran demikian, penelitian ini menggali sejauh
19
mana horison harapan dalam Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah serta jarak estetiknya dengan karya-karya sebelumnya. Hal itu karena resepsi
yang menjadi titik tekan dalam penelitian ini adalah resepsi karya sastra dalam teks
Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah pada karya-karya
sebelumnya.
Jauss dikenal dengan tujuh tesis pemikirian teoritisnya (Jauss, 1983: 20). Secara
ringkas ketujuh tesis Jauss yang berbicara tentang estetika resepsi, pembaca dan sejarah
studi sastra dapat diuraikan sebagai berikut: (1) karya sastra bukanlah monumen yang
mengungkap makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai
objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat orkestra: selalu
memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru
yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat
diterima pembaca masa kini; (2) sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat
adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai
genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman
mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya
sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah
hadir dari kekosongan; (3) jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan
dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah
harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal,
atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru; (4)
20
rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan dan
disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian
resepsi sesuai dengan semangat jaman yang berbeda; (5) teori estetika penerimaan tidak
hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis;
(6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis
(jadi dengan analisis diakronis) tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap
estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan
persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman
dengan sistem seni dalam masa lampau; (7) tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap
hanya dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis,
melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum (1983: 20-45).
Dijelaskan Jauss (1983), kesenjangan antara sastra dan sejarah, antara
pengetahuan historis dan estetis, dapat dijembatani jika sejarah sastra tidak sekedar
mendeskripsikan proses sejarah umum dalam refleksi karya-karyanya, tetapi agaknya
lebih tepat kapan ia menemukan dalam rentang ‘evolusi literer’ yang mempunyai fungsi
formatif sosial yang termasuk kesusastraan ketika ia bersaing dengan seni-seni lain dan
kekuatan-kekuatan sosial dalam suatu emansipasi kemanusiaan dari ikatan-ikatan alam,
religius dan sosial (Jauss, 1983: 45). Jika pada satu pihak evolusi sastra dapat dipahami
di dalam perubahan historis suatu sistem dan di pihak lain sejarah pragmatik dapat
dipahami di dalam semacam lingkaran kondisi-kondisi sosial, maka tidak mungkinkah
untuk ditempatkan suatu ‘rangkaian literer’ dan ‘rangkaian non literer’ dalam sebuah
21
hubungan yang meliputi hubungan antara sastra dan sejarah tanpa memaksa sastra, atas
beban karakternya sebagai seni, ke dalam suatu fungsi yang hanya mengkopi atau
mengomentari (Jauss, 1983: 18).
Sementara itu, dalam lingkup sejarah sastra, Jauss (1983: 5) mengemukakan
bahwa kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif
penerima. Hal itu karena seorang sejarawan tidak hanya secara pasif mendeskripsikan
fakta masa lalu tetapi juga fakta sekarang yang di dalamnya ia ikut ambil bagian.
Pikiran ini dinukil dari pemikiran Schiller (Jauss, 1983: 5). Dengan demikian, tugas
resepsi sastra adalah menyelidiki konkretisasi pembaca dari masa ke masa. Konsekuensi
logis yang ditimbulkan hanya konkretisasi yang berkaitan dengan struktur teks pada saat
penilaian yang relevan. Tugas sejarah resepsi sastra ada dua macam, yaitu menyusun
kembali keseluruhan konkretisasi yang telah ditimbulkan oleh teks, dan menilai
hubungan antar konkretisasi di satu pihak, konteks historis teks pada saat konkretisasi di
pihak lain. Hal itu karena karya-karya sastra berbeda dengan dokumen-dokumen sejarah
murni, karena sastra berfungsi lebih dari sekedar dokumen pada waktu tertentu dan
tetap ‘bicara’ sampai sejauh yang mereka usahakan untuk memecahkan problem-
problem bentuk dan isi, dan juga meluas jauh keluar dari relik-relik masa lampau yang
membisu (Jauss, 1983: 69).
Langkah dari sejarah resepsi karya individual hingga sejarah sastra telah
mengarahkan untuk melihat dan merepresentasikan konsekuensi historis karya-karya
karena hal tersebut menentukan dan menjelaskan koherensi sastra pada keluasan yang
22
bermakna bagi manusia sebagai prasejarah dari pengalaman kekiniannya (Jauss, 1983:
20). Kriteria dalam kaitan ini adalah karya sebagai suatu bentuk baru dalam rangkaian
sastra dan bukan suatu self-production worn-out form sarana-sarana artistik, dan genre-
genre yang menembus latar belakang hingga tiba di momen yang baru dalam sebuah
evolusi, sekali lagi mereka dibuat perseptibel (Jauss, 1983:33). Untuk menentukan
fungsi ini, yakni mengenali problem yang masih tersisa padanya karya baru dalam
rangkaian historis merupakan jawabannya, interpreter harus menyertakan
pengalamannya sendiri ke dalam permainan karena horison lampau mengenai bentuk-
bentuk baru dan usang, problem-problem dan solusi-solusinya hanya dapat dikenal
dalam mediasinya yang lebih lanjut di dalam horison kini mengenai karya yang diterima
(Jauss, 1983:34).
Dalam konteks penelitian ini bisa disusun sebuah sejarah sastra berdasarkan
tanggapan pembaca terhadap karya sebelumnya, yang melahirkan teks baru. Hal itu
karena keragaman karya jenis ini, terutama Maulud Nabi, yang bersifat didaktis dan
agamis sangat melimpah di bumi Nusantara. Konstruksi kesejarahan Syiir Madura
Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah di antara karya-karya sejenis yang
merupakan hasil-hasil tanggapan dari karya-karya sebelumnya.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian filologi dan sastra. Hal itu karena obyek
kajiannya adalah naskah lama dan teksnya. Metode filologi ditempuh dengan obyek
23
kajian naskah lama, sedangkan untuk menganalisis hasil suntingan menggunakan
metode penelitian sastra yang bersumber dari resepsi sastra.
1.6.1 Metode Penelitian Filologi
Istanti (2013:8) menjelaskan, tujuan dalam langkah kerja penelitian filologi adalah
untuk menemukan naskah, kemudian mengolah dan menerbitkannya menjadi sebuah
edisi teks terbaca. Adapun tahap-tahap langkah kerja penelitian filologi meliputi
penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, penentuan naskah dasar penelitian,
transliterasi naskah, suntingan teks dan bila diperlukan dilakukan penerjemahan teks
(Istanti, 2013: 8). Keduanya terangkum dalam dua metode yaitu metode pemilihan
naskah dan penyuntingan teks.
A.Metode Pemilihan Naskah
Untuk memilih naskah kajian, dimulai dari penentuan sasaran penelitian. Sasaran
penelitian adalah naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah
karya K.H.R. Moh. As’ad Syamsul Arifin, pengasuh pondok pesantren Situbondo pada
tahun 1920-an yang ditulis dalam huruf pegon, berbentuk syiir, dan berbahasa Madura.
Naskah ini disalin Abdus Shomad Al-Bukhori, pada 24 Safar 1392 H/ 9 April 1972 M
di atas kertas HVS. Naskah ini berisi tentang penyerbuan Ka’bah oleh Ratu Abrahah,
lima puluh hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Teknik yang digunakan dalam
tahap ini, salah satunya adalah studi pustaka, untuk mengetahui tahun penulisan karena
24
dalam naskah tidak ada kolofon, yang ada hanya tahun penyalinan. Selanjutnya
dilakukan inventarisasi naskah ke beberapa tempat penyimpanan naskah, pesantren,
kantor arsip dan perpustakaan, museum dan lain sebagainya. Selain itu, ditelusuri
katalog-katalog naskah Nusantara dari berbagai koleksi. Ternyata naskah Syiir Madura
Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah belum ditemukan dan berkesaksian
naskah tunggal, hanya terdapat di Pondok Pesantren Annuqoyah Sumenep Madura, dan
menjadi koleksi pengasuh pesantren tersebut. Naskah ini belum terkodifikasi. Meski
kesaksian naskah tunggal, tetapi dilakukan pelacakan pada naskah yang berjenis sama
yaitu naskah Maulud, karena naskah jenis ini sangat banyak dan populer di Nusantara.
Inventarisasi dilakukan lewat katalog-katalog penyimpanan naskah, yang dilakukan
dengan pencatatan. Selanjutnya dilakukan observasi pendahuluan dengan melakukan
pendeskripsian naskah-naskah tersebut. Adapun terkait dengan naskah dasar kajian yang
hanya satu, maka Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah menjadi
objek kajian dan tidak perlu menggunakan metode pemilihan naskah, seperti landasan
dan stemma. Metode ini sebagaimana yang diungkapkan Istanti (2013: 25), apabila
naskah sasaran penelitian hanya satu (codex unicum), maka naskah tersebut yang
menjadi dasar kajian. Setelah itu, Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah ditransliterasi atau dialihaksarakan ke sistem transliterasi yang menggunakan
Patokanipoen Basa Djawi Kaserat Asara ‘Arab (Pegon) karya Nitisastro diterbitkan
Paneleh Surabaya tahun 1933. Dipilihnya sistem transliterasi tersebut karena belum
tersedianya sistem transliterasi Madura-Pegon yang sudah diterbitkan.
25
B.Metode Penyuntingan Teks
Metode penyuntingan teks dalam penelitian ini menggunakan metode suntingan dengan
penyesuaian ejaan. Menurut Istanti (2013: 41), metode edisi dengan penyesuaian ejaan
yaitu menerbitkan naskah dengan membetulan kesalahan-kesalahan kecil dan
ketidakkonsistenan, sedangkan ejaannya disesuaian dengan aturan yang berlaku.
Dilakukan pembagian kata, kalimat, huruf besar, pungtuasi atau tanda baca dan
diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks. Adapun tentang perbaikan,
Istanti (2013: 41) menjelaskan, pembetulan dilakukan berdasar pada pemahaman yang
baik sebagai hasil perbandingan dengan naskah sejenis dan sezaman dengan yang
diteliti. Semua perubahan tersebut dicatat di tempat yang khusus agar selalu dapat
diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan
penafsiran lain dari pembaca. Ditegaskan, “segala usaha perbaikan harus disertai
pertanggungjawaban dengan rujukan yang tepat.” (Istanti, 2013: 41). Penyuntingan
naskah ini mengacu pada Tata Bahasa Bahasa Madura (Balai Bahasa Provinsi Jawa
Timur, 2008) dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan, Edisi
Revisi (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2012) yang diterbitkan Balai bahasa Provinsi
Jawa Timur.
Setelah itu, dilakukan penerjemahan karena bahasa yang digunakan Syiir
Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah adalah bahasa Madura sehingga
perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Istanti (2013: 30) menjelaskan,
penerjemahan adalah transformasi makna. Yang diperlukan adalah peralihan sistem
26
bahasa Madura ke sistem bahasa Indonesia. Karena bentuk teksnya adalah syiir yang
memiliki konvensi tersendiri maka penerjemahannya mengacu pada bentuk syair
dengan tidak mengubah isi kandungannya dan pilihan kata yang ada karena gaya bahasa
penyaji berperan dalam penyajian teks terbaca (Istanti (2013: 30).
1.6.2 Metode Penelitian Sastra
Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek
yang kodrat keberadaannya dinyatakan oleh teori (Faruk, 2013: 58). Setelah kerja
filologi selesai dengan dihasilkannya suntingan teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah
Bakal Menyerbu Ka’bah, selanjutnya dilakukan penelitian sastra yang bertumpu pada
paradigma resepsi. Dalam hal ini, teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal
Menyerbu Ka’bah sebagai objek material, sedangkan objek formalnya adalah sambutan
Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Hal itu sebagaimana
dijelaskan Faruk (2013: 23), objek material adalah objek yang menjadi lapangan
penelitian, sedangkan objek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang
tertentu.
Dalam proses ini digali lebih dalam kapasitas resepsi Syiir Madura Kisah Raja
Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah sebagai sebuah teks baru hasil sambutan terhadap
teks-teks sebelumnya. Sebagai hal yang membuktikan bahwa di dalam teori resepsi
mengandung dirinya aspek historis, maka ditelusuri teks-teks sebelumnya itu hingga ke
sumber awal yang diresepsi oleh pembaca aktif yaitu pengarang Syiir Madura Kisah
27
Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah, sehingga diketahui sejarah perkembangan
teksnya. Selanjutnya memposisikan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah sebagai karya sambutan. Dari sini dibahas tentang aspek-aspek resepsi terkait
pilihan genre Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah dan sambutan
pada genre ini dalam tradisi Nusantara, termasuk genre syair Maulid Nabi karena objek
material mengandung potensi teks demikian. Karena secara teoritis, penelitian ini
mengarahkan pada hal-ihwal tentang horison harapan pembaca dan jarak estetika, Syiir
Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah dibedah dalam kapasitas
resepsinya terhadap teks terdahulu, dengan metode perbandingan. Dari serangkaian
penelusuran modus-modus penerimaan atau sambutan dari bentuk dan isi diketahui
jarak estetiknya.
1.7 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dari penelitian ini diancangkan menjadi dari lima bab. Perincian
sistematikanya sebagai berikut:
Bab pertama ‘Pendahuluan’, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab kedua, ‘Pernaskahan dan Perteksan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah
Bakal Menyerbu Ka’bah’, berisi tentang penelusuran naskah Syiir Madura Kisah Raja
Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah ke beberapa katalog penyimpanan naskah Nusantara
dan mengurai volume teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah.
28
Bab ketiga, ‘Suntingan Teks dan Terjemahan’, berisi suntingan, catatan
penyuntingan, dan terjemahan teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah.
Bab keempat, ‘Sejarah Perkembangan Teks Raja Abrahah’, terdiri atas sub-bab
teks Raja Abrahah dalam hagiografi Islam, dalam teks keagamaan, dalam syair Arab,
dan dalam kitab pesantren.
Bab kelima, ‘Sambutan Teks Raja Abrahah’, terdiri dari tiga sub-bab yaitu
sambutan dalam tradisi syair di Nusantara, dalam tradisi Maulid Nabi, dan Syiir Madura
Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah sebagai karya sambutan tradisi syair
Maulid dan hagiografi Nabi.
Bab keenam, ‘Horison Harapan dan Jarak Estetika dalam Syiir Madura Kisah
Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah”, terdiri dari dua sub-bab, yaitu sambutan Syiir
Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah pada Sirah Ibnu Hisyam dan
modus penerimaan/sambutan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu
Ka’bah.
Bab ketujuh berisi simpulan.