bab i pendahuluan -...

29
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, perkembangan industri pariwisata terlihat cukup pesat. Pariwisata juga telah menjadi salah satu sumber devisa negara yang patut mendapatkan perhatian. Banyak penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa dampak positif yang paling utama dari kepariwisataan adalah dampak ekonominya, baik pada tingkat nasional, regional atau pun di tingkat lokal (IUOTO, 1975; Rodenburg, 1980; Walpole and Goodwin, 2000; Ahimsa-Putra, 2014). Begitu pentingnya pariwisata, sehingga dalam pengembangan pariwisata dituntut untuk menampilkan produk wisata yang semakin variatif. Salah satu produk dari pengembangan pariwisata adalah desa wisata. Desa wisata dibagi menjadi enam jenis, yaitu: (1) desa wisata budaya, (2) desa wisata pertanian, (3) desa wisata kerajinan, (4) desa wisata fauna, (5) desa wisata Merapi, dan (6) desa wisata pendidikan (Firdaus, 2007). Pembagian jenis desa wisata didasarkan pada atraksi dan potensi pariwisata yang ada di masing-masing desa. Desa wisata dikembangkan untuk mengatasi “kehausan” wisatawan yang tertarik pada kebudayaan masyarakat desa. Produk wisata ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah berupa devisa, serta dapat mewujudkan pemerataan pembangunan sampai ke pelosok desa yang secara langsung dapat dinikmati untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Putra, 2006).

Upload: doandat

Post on 26-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini, perkembangan industri pariwisata terlihat cukup pesat.

Pariwisata juga telah menjadi salah satu sumber devisa negara yang patut

mendapatkan perhatian. Banyak penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa

dampak positif yang paling utama dari kepariwisataan adalah dampak ekonominya,

baik pada tingkat nasional, regional atau pun di tingkat lokal (IUOTO, 1975;

Rodenburg, 1980; Walpole and Goodwin, 2000; Ahimsa-Putra, 2014). Begitu

pentingnya pariwisata, sehingga dalam pengembangan pariwisata dituntut untuk

menampilkan produk wisata yang semakin variatif. Salah satu produk dari

pengembangan pariwisata adalah desa wisata. Desa wisata dibagi menjadi enam

jenis, yaitu: (1) desa wisata budaya, (2) desa wisata pertanian, (3) desa wisata

kerajinan, (4) desa wisata fauna, (5) desa wisata Merapi, dan (6) desa wisata

pendidikan (Firdaus, 2007). Pembagian jenis desa wisata didasarkan pada atraksi

dan potensi pariwisata yang ada di masing-masing desa. Desa wisata dikembangkan

untuk mengatasi “kehausan” wisatawan yang tertarik pada kebudayaan masyarakat

desa. Produk wisata ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah

berupa devisa, serta dapat mewujudkan pemerataan pembangunan sampai ke

pelosok desa yang secara langsung dapat dinikmati untuk meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Putra, 2006).

2

Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan

fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang

menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Berbicara

mengenai produk dalam lingkup pariwisata, Wiyono (dalam Raharjana, 2005)

mengatakan bahwa produk pariwisata sebagai komponen penting dalam industri

pariwisata mencakup tiga aspek, yaitu: atraksi, amenitas, dan aksesibilitas. Atraksi

adalah objek dan daya tarik wisata, yakni objek yang memiliki daya tarik untuk

dilihat, ditonton, dinikmati yang dapat menarik minat wisatawan. Amenitas adalah

segala macam fasilitas yang dapat menunjang kegiatan pariwisata, di antaranya:

rumah makan, hotel/penginapan, sarana komunikasi, papan informasi, serta sarana

lainnya seperti toilet umum. Sedangkan aksesibilitas adalah prasarana untuk

berkunjung di kawasan wisata, termasuk di dalamnya adalah kendaraan/transportasi.

Menurut Putra (2006), untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata, agar dapat

menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan harus memiliki 3 (tiga) syarat, yaitu: (1)

daerah ini harus mempunyai “something to see”, artinya di tempat tersebut harus ada

objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain,

daerah tersebut harus mempunyai daya tarik khusus; (2) di daerah tersebut harus

tersedia “something to do”, artinya di daerah tersebut di samping banyak yang dapat

dilihat, harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah

tinggal lebih lama di tempat itu; dan (3) di daerah tersebut harus ada “something to

buy”, artinya di tempat itu harus ada fasilitas untuk dapat berbelanja, terutama

souvenir kerajinan masyarakat setempat sebagai kenang-kenangan, dan perlu juga

disediakan tempat penukaran uang asing dan telekomunikasi.

3

Desa wisata menjadi arena terbuka bagi wisatawan untuk melihat ataupun

mempelajari budaya lokal. Desa wisata merupakan pertemuan antara budaya lokal

(budaya winisatawan) dengan budaya asing (budaya wisatawan) yang sangat

memungkinkan masuknya unsur-unsur budaya asing dalam tataran kehidupan

masyarakat secara intensif dan memberikan perubahan. Kodiran (1987)

menyebutkan bahwa masyarakat selalu mengalami perubahan yang mana perubahan

tersebut dapat terjadi melalui bermacam-macam cara, tingkatan, dan bentuknya.

Masyarakat desa wisata sebagai bagian dari suatu masyarakat dunia, tentu mau/tidak

mau harus mengikuti perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Menutup diri dari

pengaruh budaya luar berarti bunuh diri, karena akan tertinggal dari arus kemajuan

zaman modern (Masayu, 2002). Perubahan yang dimaksud bukan berarti terjadi

perubahan total, melainkan bisa berupa pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan

asing tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan asli, perubahan bangunan fisik

misalnya.

Bangunan fisik selalu menandai tingkat perkembangan kehidupan manusia,

sehingga setiap bangunan sarat dengan nilai intrinsik tentang kearifan lokal

(Ahimsa-Putra, 2008: 7). Joglo sebagai rumah tradisional Jawa tentu tidak luput dari

nilai-nilai kearifan lokal. Desain arsitektur joglo pada dasarnya mengacu pada nilai-

nilai filosofis orang Jawa, mulai dari struktur ruang maupun struktur bangunan.

Arsitektur masyarakat Jawa pada dasarnya menampilkan karya “swadaya dalam

kebersamaan” yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya

setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara “jagad cilik”

(mikrokosmos) dan “jagad gedhe” (makrokosmos) (Nuryanto, 2010). Arsitektur

rumah tradisional adalah bagian dari permukiman merupakan ungkapan bentuk

4

rumah karya manusia berasal dari salah satu unsur kebudayaaan yang tumbuh dan

berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan suatu

masyarakat, suku atau bangsa yang unsur-unsur dasarnya tetap bertahan dalam

waktu yang lama dan tetap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan suatu

masyarakat, suku atau bangsa yang bersangkutan (Setyabudi, 2011). Hal inilah

sebagai alasan bahwa sisi tradisional merupakan identitas pendukung kebudayaan.

Arsitektur pada rumah tradisional juga sangat mengutamakan proses pembentukan

yang mana sasarannya lebih menekankan pada proses terbentuknya yang

berdasarkan ritual agama dan kepercayaan.

Wujud fisik berupa bentukan dalam skala sekunder. Hal ini yang

membedakan dengan arsitektur barat yang sasaran perencanaannya lebih

ditekankan pada produk berupa wujud fisik dengan penalaran fungsi,

konstruksi, dan estetika. Bentukan rumah bukan hasil dari faktor fisik,

tetapi merupakan faktor sosial budaya yang memiliki makna dan jauh

dari sekedar pelindung. Konsep pembentukan rumah tradisional

berkaitan dengan aspek kosmologis yang mana rumah adalah miniatur

dari semesta (Rapoport dalam Setyabudi, 2011).

Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik memiliki sifat yang paling

konkret di antara dua wujud kebudayaan lainnya dikarenakan dapat diidentifikasi

dengan pancaindera (Koentjaraningrat, 2009: 151). Ahimsa-Putra (2008)

menyatakan bahwa sebagai wujud fisik dari kebudayaan, arsitektur merupakan

manifestasi dari gagasan, bahasa, dan perilaku masyarakat di suatu daerah yang

membentuk ciri khas arsitekturnya sebagai representasi dari ciri khas kebudayaan

masyarakat pembangunnya. Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik, tidak hanya

sekedar struktur visual dikarenakan dalam perspektif ini arsitektur merupakan

manifestasi dari kebudayaan masyarakat pembangunnya yang dipengaruhi oleh

5

berbagai faktor yang beragam, di mana di balik wujud fisiknya memiliki sejumlah

makna untuk dikomunikasikan (Rapoport, 1979; Mulyati, 1995).

Penelitian ini mengkaji perubahan arsitektur dalam konteks antropologi

pariwisata di sebuah desa wisata yang terbentuk karena arsitekturnya yang unik,

yaitu Desa Wisata Rumah Dome. Desa Wisata Rumah Dome merupakan desa wisata

bencana yang terletak di Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten

Sleman, Yogyakarta. Desa Wisata Rumah Dome merupakan kompleks rumah yang

berbentuk kubah (setengah lingkaran). Kompleks ini dibangun sebagai suatu bentuk

bantuan bagi warga yang menjadi korban gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 lalu

dari World Association of Non-Governmental Organization (WANGO) dan Domes

for the World Foundation (DFTW), dan dibangun atas donasi Emaar Properties.

Pembangunan kompleks rumah dome dimulai pada tanggal 10 Oktober 2006, dan

mulai dihuni warga pada akhir April 2007. Kompleks rumah dome ini dibangun

sebagai kompleks hunian tahan gempa yang bersifat permanen, ekonomis, bersih,

dan efisien. Namun karena bentuk rumahnya yang unik dan banyak masyarakat yang

berdatangan untuk melihatnya, maka kompleks hunian ini akhirnya dikembangkan

menjadi desa wisata.

Menurut penelitian Saraswati (2007), dalam konteks arsitektur,

pembangunan rumah dome ini tidak disesuaikan dengan iklim dan kultur orang

Jawa, sehingga warga penghuni rumah dome harus beradaptasi dengan lingkungan

barunya. Rumah dome bukan manifestasi dari kebudayaan Jawa dan dianggap tidak

bisa mewadahi aktivitas warga. Banyak keluhan dari warga mengenai rumah dome

ini, seperti: bentuk rumah, ukuran ruangan, kamar mandi komunal, hingga kualitas

bangunan yang mengurangi kenyamanan warga. Namun dalam konteks pariwisata

6

sendiri, kompleks hunian yang disebut juga “rumah Teletubbies” ini justru sangat

menguntungkan bagi penghuninya. Bentuk rumah dome yang unik membuat banyak

orang tertarik untuk mengunjungi kompleks relokasi korban gempa ini, sehingga

akhirnya dirintis menjadi Desa Wisata Rumah Dome/Desa Wisata Rumah

Teletubbies. Rumah inilah yang menjadi atraksi utama di Desa Wisata Rumah

Dome, sehingga warga dihimbau untuk tetap mempertahankan bentuk rumahnya

yang unik. Namun demikian, hal ini tidak terjadi seperti yang diharapkan. Benturan

antara pariwisata dengan kebutuhan warga tidak bisa dihindarkan, sehingga kini

rumah dome tidak seunik aslinya.

B. Rumusan Masalah

Desa wisata di era pariwisata seperti saat ini mengalami perubahan dari

waktu ke waktu. Kunjungan wisatawan ke desa tersebut membawa dampak bagi

struktur kehidupan masyarakat desa. Desa wisata yang membuka akses untuk

wisatawan mau/tidak mau harus siap untuk menerima budaya asing yang masuk ke

dalamnya. Akibatnya, desa wisata mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.

Perubahan tersebut juga dapat dilihat sebagai tuntutan pasar pariwisata, yakni

sebagai strategi untuk menarik para wisatawan berkunjung ke kawasan desa wisata.

Salah satu perubahan yang menarik untuk dikaji adalah mengenai arsitektur.

Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik tidak dapat lepas dari proses

perkembangan kebudayaan manusia sebagai pihak pembangunnya dari wujudnya

yang sederhana menjadi semakin kompleks, yang juga bersentuhan dengan

kebudayaan dan melahirkan perubahan. Dalam konteks pariwisata sendiri, akulturasi

didefinisikan sebagai interaksi antara winisatawan dan wisatawan yang

7

menghasilkan dialektika lintas budaya dan akhirnya akan ada proses sosial,

perubahan sosial dan psikologis, sebagai akibat adanya orang-orang dari budaya

yang berbeda melakukan kontak (Jafari, 2000: 6). Akulturasi arsitektur di Desa

Wisata Rumah Dome menarik untuk dikaji mengingat bentuk rumah yang sangat

berbeda dengan kultur Jawa serta adanya benturan kepentingan di dalamnya.

Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proses perubahan kebudayaan di Desa Wisata Rumah Dome yang

muncul karena masuknya kegiatan pariwisata? Dampak apa yang ditimbulkan

dari kegiatan pariwisata tersebut?

2. Mengapa terjadi akulturasi arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome?

3. Apa hasil dari akulturasi pada arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggali proses akulturasi

dalam bidang arsitektur yang dimunculkan oleh kegiatan pariwisata, khususnya di

Desa Wisata Rumah Dome. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui beberapa hal sebagai berikut.

1. Perkembangan dan perubahan kebudayaan yang terjadi akibat kegiatan

pariwisata di Desa Wisata Rumah Dome.

2. Proses akulturasi arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome beserta respon

masyarakat terhadap hal tersebut.

3. Hasil dari akulturasi pada arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome.

4. Penemuan gejala sosial-budaya baru mengenai proses perubahan masyarakat dan

kebudayaan yang disebabkan oleh tekanan pariwisata.

8

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki implikasi teoritis dan praktis. Secara

teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana ilmiah bagi

pengembangan penelitian berikutnya mengenai pariwisata dalam kajian antropologi,

khususnya melihat pariwisata dan arsitektur di desa wisata. Dari hasil penelitian ini

juga diharapkan dapat memperoleh beberapa hal sebagai berikut.

1. Pengetahuan baru mengenai tingkat dan tahap penyebaran unsur-unsur

kebudayaan dari satu masyarakat ke masyarakat lain untuk membangun teori

mengenai difusi kebudayaan.

2. Pengetahuan baru mengenai dampak-dampak sosial dan budaya akibat

diterimanya unsur-unsur budaya baru dalam suatu masyarakat untuk

membangun teori mengenai proses akulturasi dan perubahan kebudayaan.

3. Pengetahuan baru mengenai relasi kausal maupun fungsional antara gejala

kebudayaan dan aktivitas kepariwisataan untuk membangun teori mengenai

fenomena pariwisata dan kebudayaan.

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai faktor-faktor yang relevan untuk peningkatan pengembangan Desa Wisata

Rumah Dome, memberikan informasi mengenai kondisi sosial-budaya masyarakat

Desa Wisata Rumah Dome yang dapat digunakan sebagai acuan pengembangan

pariwisata pedesaan, dan memberikan saran kepada masyarakat dan pemerintah

daerah berkenaan dengan upaya yang lebih sesuai untuk pengembangan Desa

Wisata Rumah Dome.

9

E. Kajian Pustaka

1. Tinjauan Tentang Akulturasi

Akulturasi sebagai sebuah gejala sosial-budaya bukanlah suatu hal yang

baru bagi ahli antropologi. Penelitian-penelitian mengenai akulturasi muncul

dalam lapangan ilmu antropologi kurang dari setengah abad yang lalu, sekitar

tahun 1910 dan semakin bertambah sekitar tahun 1920. Sebelumnya, banyak

sarjana antropologi seringkali tertarik akan kebudayaan suku-suku bangsa di luar

Eropa yang “se-asli” mungkin, yang sedapat mungkin belum terkena pengaruh

“zaman baru” (Koentjaraningrat, 1990: 249). Penelitian seperti itu hampir tidak

mungkin dilakukan sekarang karena kemungkinan besar tidak ada lagi suku-

suku yang “asli”, yang sama sekali belum tersentuh dunia luar pada zaman ini.

Penelitian-penelitian para ahli antropologi saat ini sebagian besar bersifat

deskriptif, yang menggambarkan gejala akulturasi pada satu atau beberapa suku

bangsa tertentu yang mendapatkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan Ero-

Amerika. Beberapa penelitian ada yang bersifat teoritis, yang mengabstraksikan

gejala-gejala akulturasi dan mencetuskan konsep-konsep mengenai gejala

akulturasi yang terjadi.

Sejak keluarnya Memorandum for the Study of Acculturation pada tahun

1936 oleh Sosial Science Research Council di Amerika Serikat, banyak ahli

antropologi yang tertarik melakukan studi akulturasi. Studi akulturasi ini

umumnya berpusat pada perubahan-perubahan yang terjadi di suatu masyarakat

akibat pertemuan dengan unsur-unsur budaya baru. Proses akulturasi dalam

masyarakat yang tersebar di Benua Asia dan di daerah pulau-pulau di Laut

Teduh saat itu mendapat perhatian istimewa dari Seventh Pacific Science

10

Congress yang diadakan pada tahun 1949 di Auckland (New Zealand)

(Koentjaraningrat, 1969: 14). Berbagai kajian mengenai akulturasi di antaranya

pernah dilakukan oleh Nunez (1963), Foster (1965), Parker (1964), Patterson

(1966), dan Jacobs (1971).

Theron A. Nunez (1963) melakukan penelitian tentang kontak antara

pedesaan dengan perkotaan dan akulturasi. Seperti orang-orang Eropa Barat,

orang-orang Mexico menggunakan waktu liburnya untuk berwisata, dan salah

satu hasil dari kontak dengan masyarakat pedesaan akibat pariwisata dalam

bahasa Spanyol disebut “weekendismo”. Nunez berpendapat bahwa gejala

pariwisata dapat dipahami dan dipelajari melalui studi akulturasi, misalnya

wisatawan dapat dianggap sebagai “donor” kebudayaan, sedangkan host

dianggap sebagai “penerima” kebudayaan.

Foster (1965) menyatakan bahwa seorang petani pedesaan yang pada

awalnya hidup dengan bergotong-royong, akan mengubah pola pikirnya sebagai

akibat dari adanya pengaruh-pengaruh dari luar setidaknya ke dua arah, yaitu:

(1) jiwa gotong-royongnya semakin menguat; dan (2) menjadi seorang yang

individualis. Dalam bukunya Traditional Cultures and The Impact of

Technological Change (1962; Koentjaraningrat, 1990: 101-102), Foster

menyatakan bahwa:

a. Hampir semua proses akulturasi mulai dalam golongan atasan yang biasanya

tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di

daerah pedesaan. Proses itu biasanya mulai dengan perubahan sosial-

ekonomi.

11

b. Perubahan dalam sektor ekonomi hampir selalu menyebabkan perubahan

yang penting dalam asas-asas kehidupan kekerabatan.

c. Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembagan ekonomi uang merusak

pola-pola gotong-royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem

pengerahan tenaga kerja yang baru.

d. Perkembangan sistem ekonomi uang juga menyebabkan perubahan dalam

kebiasaan-kebiasaan makan, dengan segala akibatnya dalam aspek gizi,

ekonomi, maupun sosialnya.

e. Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran

sosial yang tidak seragam dalam semua unsur dan sektor masyarakat,

sehingga terjadi keretakan masyarakat.

f. Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap

dalam proses akulturasi.

Seymour Parker (1964) melakukan penelitian tentang identitas etnis dan

akulturasi di dua desa Eskimo di Alaska, yaitu Alakanuk dan Kotzebue. Identitas

etnis di sini diartikan sebagai evaluasi dari identifikasi keanggotaan milik sendiri

dan kelompok etnis lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sifat

individual memiliki peran yang tinggi dalam memperluas, memperpanjang,

bahkan memperbesar permusuhan. Anggota kelompok minoritas yang tertarik

pada masyarakat Barat lebih seperti membangun sikap negatif, baik terhadap

etnis sendiri maupun kelompok etnis dominan. Meskipun tahap akulturasi dapat

digambarkan dalam istilah perubahan institusi, namun juga berhubungan dengan

perubahan sikap individual. Pada tahap awal akulturasi di Alakanuk, tidak ada

12

pergeseran esensi nilai-nilai atau dalam aspirasi. Konsekuensinya, tidak ada

perubahan yang signifikan dalam kriteria untuk mengevaluasi keanggotaan

kelompok etnis seseorang. Di Kotzebue, perubahan telah menimbulkan konflik

peran yang serius di kalangan dewasa dan para remaja. Pendapat lain

menyebutkan bahwa ada pemisahan antara tujuan individual dan sarana yang

tersedia untuk mencapainya, sebuah situasi yang disebut Merton (1949: 125-

129) sebagai “anomie” dan perilaku menyimpang. Hal ini menarik karena

kenakalan remaja menjadi masalah yang terus tumbuh di Kotzebue, namun tidak

terjadi di Alakanuk.

H.O.L. Patterson (1966) melakukan penelitian tentang perbudakan,

akulturasi, dan perubahan sosial di Jamaica. Patterson menyebutkan bahwa ada

tiga faktor yang sangat penting dalam akulturasi perbudakan orang negro, yaitu:

sifat masyarakat kulit putih, tingkat perkawinan antarsuku bangsa, dan sifat

pengelolaan budak dan jenis pekerjaan di mana mereka terlibat. Ketiga faktor

tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pada periode post-emansipasi budaya

ganda, “dua orang Jamaica”: satu sistem budaya Afro-Jamaican yang sebagian

besar merupakan pola konsolidasi dan revitalisasi yang dikembangkan selama

perbudakan; satu yang lain adalah sistem budaya European-oriented yang

merupakan kebangkitan peradaban Inggris setelah terjadinya disintegrasi selama

perbudakan.

Robert M. Jacobs (1971) melakukan penelitian mengenai dampak

akulturasi terhadap narasi tradisional di Pulau Palau. Jacobs menyebutkan bahwa

Pulau Palau bebas dari pengaruh asing hingga 1886 dan didominasi oleh empat

budaya yang berbeda, yang cocok digunakan untuk mengkaji akulturasi seni

13

lisan. Jacobs berusaha melakukan “napak tilas” mengenai evolusi salah satu

narasi orang Palau untuk melihat bagaimana sebuah mitos menjadi legenda dan

akhirnya menjadi kisah yang popular, dan bagaimana sikap terhadap ceritera

yang berubah dari penghormatan ke sebuah hiburan. Dasar dari berbagai macam

narasi tersebut adalah seperti ini: “Seorang wanita tua dan anak laki-lakinya

tinggal di Pulau Ngibtal. Sang ibu menemukan, atau diberi, sebuah pohon sukun

ajaib oleh seekor beruang, bukan hanya pohon sukun, tetapi juga ikan.

Penduduk desa yang iri memotong pohon tersebut dan kemudian pulau itu

tenggelam”. Setelah menyusuri mitos itu, Jacobs menyimpulkan bahwa ketiga

variasi cerita pohon sukun menggambarkan nilai-nilai dasar dalam konflik,

mereka menarik pesan bahwa seseorang harus menghormati orang lain.

Penduduk Ngibtal membayar dengan hidupnya akibat sikap ketidakhormatan

dan menampakkan sikap iri mereka. Oleh karena itu, nilai-nilai moral yang

terkandung akan tetap sama meskipun berubah dalam isi dan fungsi dari

ceriteranya.

Ahli antropologi lain yang melakukan penelitian terhadap masalah

akulturasi adalah Elsi C. Parsons, seorang antropolog wanita murid Franz Boas.

Parsons (1936) melakukan penelitian mengenai akulturasi di Meksiko dan

mempunyai pendirian mengenai covert culture, khususnya adat-istiadat yang

mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. G. Spindler (1955),

yang melakukan penelitian dalam masyarakat suku bangsa Indian Menomini,

menyebutkan bahwa tiap masyarakat terbagi ke dalam golongan-golongan baik

secara vertikal maupun horizontal. Masing-masing golongan memiliki suatu

subkebudayaan yang berbeda, sehingga kemudian terjadi proses-proses yang

14

diferensial sebagai akibat dari pengaruh subkebudayaan antargolongan. Derajat

akulturasi diferensial yang berbeda-beda tersebut dikarenakan kedudukan sosial

yang berbeda-beda dalam masyarakat Menomini. Dalam proses akulturasi

tersebut selalu ada individu yang kolot maupun yang progresif.

2. Tinjauan Tentang Rumah Dome

Titien Saraswati (2007) mengkaji kontroversi rumah dome di Sleman,

Yogyakarta. Dalam penelitian ini, Titien Saraswati menyebutkan bahwa

rekonstruksi bangunan bagi korban gempa tidak mengindahkan lokalitas

kemungkinan besar akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Kesediaan

untuk mau tinggal di rumah dome ternyata menimbulkan berbagai masalah yang

harus dialami para warga. Bukan hanya soal rumah dome yang tidak

mengindahkan lokalitas, namun ada masalah lain yang harus mereka hadapi,

antara lain dari segi finansial. Berbagai kontroversi muncul dari temuan-temuan

penelitian yang memakai metode penelitian lingkungan-perilaku ini.

Dari hasil penelitian Saraswati (2007), ditemukan berbagai kontroversi

antara jawaban positif responden dengan kondisi fisik dan arsitektural rumah

dome. Aspek perilaku warga yang positif tidak didukung oleh aspek

lingkungannya. Warga bersedia menghuni rumah dome, meskipun belum semua

berada di situ. Warga juga merasa senang karena sudah mulai banyak tanaman

yang tumbuh. Selain itu, penghuni-penghuni yang sudah saling kenal sejak lama

membuat warga merasa betah di tempat itu. Warga memerlukan ruang-ruang

tambahan untuk aktivitasnya, dan beberapa ruang dialih-fungsikan untuk

aktivitas yang lain. Ini menunjukkan bahwa rancangan rumah dan

15

lingkungannya tidak berhasil mewadahi aktivitas warga. Keperluan warga untuk

aktivitas bersama yang telah menjadi nilai-nilai dan way of life warga perlu

diberikan wadahnya, misalnya “bale desa”, juga kandang ternak (komunal).

Menurut penelitian ini, rumah dome ternyata menyulitkan warga, sangat tidak

cocok untuk masyarakat, budaya, dan iklim di Jawa, bahkan di Indonesia.

Penelitian Irma Desiyana (2008) mengenai ketahanan berhuni di rumah

dome menghasilkan beberapa hal, antara lain bahwa lingkungan dome dibuat

tanpa mengkaji kehidupan masyarakat di rumah lamanya, padahal memori akan

rumah lama mempengaruhi kenyamanan dalam menghuni dome. Remaja dan

masyarakat yang baru membina rumah tangga akan mudah beradaptasi di

lingkungan yang baru. Sedangkan masyarakat awal dewasa sampai tua tidak

membutuhkan rumah bantuan yang berbentuk indah, tetapi membutuhkan rumah

yang sesuai dan mendukung kondisi ekonomi mereka. Relokasi Ngelepen Lama

di lokasi baru yang berbeda dengan lingkungan rumah lamanya mengakibatkan

korban gempa membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan membentuk kembali

jejaring baru. Rumah bantuan dapat memaksa penghuninya untuk mengubah

cara hidupnya ke arah positif dan negatif. Segi positifnya, rumah bantuan dapat

meningkatkan kebersihan dan taraf hidup penghuninya. Tetapi segi negatifnya,

rumah bantuan bisa tidak sesuai dengan keadaan ekonomi atau mata pencaharian

penghuninya.

Gebby Nalurita Sari (2008) mengkaji rumah dome dari sisi potensi dan

pengembangannya sebagai daerah tujuan wisata di Kabupaten Sleman. Dari hasil

penelitiannya yang digunakan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Ahli

Madya Usaha Perjalanan Wisata tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa

16

daya tarik objek wisata Rumah Dome sangat fantastik karena memiliki

pemandangan yang menarik, dengan bentuk rumah setengah lingkaran yang

telungkup mengingatkan akan Rumah Igloo, milik suku Eskimo. Selain Rumah

Dome ada beberapa daya tarik wisata yang lain seperti: Tanah Ambles, Candi

Kajiman, Belik Wunut, dan Belik Cangkok. Penelitian ini menyebutkan bahwa

objek wisata Rumah Dome termasuk objek wisata yang baru di Kabupaten

Sleman. Dalam rangka mengembangkan objek wisata Rumah Dome, Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman menekankan pada upaya

meningkatkan SDM di bidang kepariwisataan, dengan cara pihak pengelola

mengirimkan beberapa wakil masyarakat, wakil Karang Taruna untuk studi

banding ke beberapa desa wisata di Kabupaten Sleman yang telah difasilitasi

oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sleman. Dengan melakukan studi

banding, diharapkan upaya pengembangan kawasan obyek wisata Rumah Dome

dapat lebih maksimal. Adapun demikian kendala yang dihadapi masih tetap ada,

antara lain: kurangnya dana pengembangan, faktor aksesibilitas, belum adanya

usaha pemasaran dan faktor SDM yang menjadi kendala atau hambatan yang

utama.

Penelitian Muhammad Rusydi (2008) mengenai perilaku penghuni

rumah dome berdasarkan adaptasi dan adjustment di seting baru memberikan

pengetahuan bahwa perubahan perilaku yang terjadi pada penghuni rumah dome

disebabkan karena seting yang mereka buat tidak dapat mewadahi kebiasaan

pada rumah sebelumnya, sehingga penghuni rumah mengubah perilakunya.

Begitu juga sebaliknya perilaku yang tidak berubah disebabkan karena penghuni

rumah membuat seting yang dapat mewadahi kebiasaan pada rumah

17

sebelumnya. Komponen seting yang dapat disesuaikan dengan keadaan individu

adalah seting non-fix dan semi-fix. Seting fix pada rumah dome tidak ada yang

diubah sehingga penghuni rumah mengalami penyesuaian adaptasi (keadaan

individu menyesuaikan dengan seting fix). Penghuni rumah dome yang tidak

dapat menyesuaikan dengan seting fix, mereka membuat seting fix baru atau

tidak menggunakan ruang di dalam rumah dome.

Penelitian Rusydi (2008) ini juga menyebutkan bahwa ruang-ruang yang

ada di dalam rumah dome dapat disesuaikan kecuali pada ruang lantai atas. Hal

ini terjadi karena penghuni rumah tidak betah tinggal di ruangan tersebut atau

persepsi yang mereka rasakan masih di bawah ambang batas optimum penghuni

rumah, sehingga penghuni rumah masih merasa stres jika berada di ruang

tersebut. Upaya penyesuaian penghuni pada rumah dome terdapat 3 macam

strategi yaitu: mengubah perilaku atau mempertahankan perilaku; membuat

seting di dalam rumah dome maupun membuat seting baru di luar rumah dome;

serta persepsi penghuni mengalami perubahan setelah melakukan strategi

behavioral maupun fisikal. Di dalam sebuah seting ketiga macam strategi

tersebut berperan sehingga adaptasi dan adjustment tidak berdiri sendiri.

Penelitian Dwi Nur Rahayu, Alif Wulandari, dan Asep Sumiaji (2013)

menghasilkan pengetahuan bahwa perubahan bentuk rumah dan lingkungan

ternyata membawa perubahan yang besar terhadap kehidupan sosial budaya

masyarakat, yang mencakup aspek budaya yang tercermin dari variasi-variasi

hidup dan perilaku baru yang muncul, aspek budaya dapat dilihat dengan

pendekatan tujuh unsur budaya yaitu sistem peralatan hidup, sistem

kemasyarakatan, mata pencaharian, pendidikan, bahasa, kesenian, dan sistem

18

kepercayaan (religion). Minimnya sirkulasi udara dan ruang menimbulkan

perilaku baru dalam masyarakat. Sedangkan pola pemukiman yang saat ini

mengelompok meningkatkan interaksi sosial, sehingga intensitas informasi

semakin meningkat. Keunikan dari rumah dome itu sendiri menjadikan

kompleks rumah dome dijadikan sebagai rintisan desa wisata. Adanya rintisan

desa wisata dapat meningkatkan pendapatan sehingga kegiatan ekonomi menjadi

semakin beragam. Pendapatan masyarakat yang meningkat, menjadikan kualitas

hidup masyarakat juga semakin meningkat.

Penelitian Susi Wuri Ani, Mei Tri Sundari, dan Ernoiz Antriyandarti

(2013) tentang pengembangan Desa Wisata Rumah Dome berbasis agroindustri

pangan lokal bertujuan membentuk kelompok usaha produktif Ibu-Ibu PKK di

Rumah Dome untuk dapat meningkatkan nilai ekonomis pangan lokal (ketela

pohon). Hal yang dilakukan adalah memberikan pelatihan pengolahan ketela

pohon menjadi ceriping singkong berbagai rasa, keripik belut daun singkong,

membuat brownies berbahan tepung ketela, mengemas produk dengan brand

Rumah Dome dan memberikan pelatihan pembukuan sederhana. Dengan

kegiatan ini diharapkan akan tumbuh kelompok usaha produktif, sehingga dapat

mengangkat citra wisata Rumah Dome dan meningkatkan pendapatan

masyarakat di Rumah Dome. Kegiatan diversifikasi pangan vertikal ini

dilaksanakan dengan memberikan pelatihan pengolahan bahan pangan lokal

(ketela pohon) menjadi beberapa jenis makanan yaitu brownies ketela, keripik

ketela berbagai rasa serta keripik belut daun singkong. Berbagai jenis makanan

ini menggunakan bahan baku utama ketela pohon yang merupakan komoditas

utama di Rumah Dome. Diversifikasi pangan lokal merupakan strategi

19

pengembangan perekonomian pedesaan yang berbasiskan potensi lokal.

Pengolahan ketela pohon menjadi ceriping ketela, keripik belut daun singkong,

serta brownies ketela merupakan alternatif strategi meningkatkan perekonomian

masyarakat di Rumah Dome Prambanan. Produk yang dihasilkan dikemas

dengan brand Rumah Dome untuk mengenalkan kawasan wisata di wilayah

timur Yogyakarta tersebut.

Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu Tentang Rumah Dome

Nama Peneliti Tahun Instansi Judul Penelitian

Titien Saraswati 2007 Prodi Arsitektur

UKDW

Kontroversi Rumah Dome Di

Nglepen, Prambanan, DIY

Irma Desiyana 2008 S1 Arsitektur UI Dome Bagi Korban Gempa Di

Ngelepen, Yogyakarta

Gebby Nalurita

Sari

2008 DIII Usaha

Perjalanan

Wisata UNS

Potensi dan Pengembangan

Rumah Dome Sebagai Daerah

Tujuan Wisata Di Kab.

Sleman, Yogyakarta

Mohammad

Rusydi

2008 Prodi Desain

Interior ISI

Yogyakarta

Perilaku Penghuni Rumah

Dome Di Prambanan, Sleman:

Adaptasi dan Adjustment Di

Seting Baru

Dwi Nur

Rahayu, dkk

2012 UNY Rumah Dome: Kompleks

Hunian yang Merubah

Kondisi Sosial Budaya

Masyarakat Desa Ngelepen

Susi Wuri Ani,

dkk

2013 Agribisnis UNS Pengembangan Desa Wisata

Rumah Dome Berbasis

Agroindustri Pangan Lokal

(Kajian Diversifikasi Ketela

Pohon di Desa Wisata Rumah

Dome Prambanan)

F. Kerangka Teori

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma historis-prosesual,

atau paradigma sejarah yang ditujukan untuk mengungkap proses akulturasi yang

terjadi, mulai dari kedatangan suatu kebudayaan di suatu kawasan, pertemuannya

dengan kebudayaan lain di kawasan tersebut, hingga pengambilan unsur-unsur

20

kebudayaan tersebut oleh satu atau beberapa kebudayaan di kawasan itu (Ahimsa-

Putra, 2014: 4). Pemilihan paradigma historis-prosesual didasarkan pada anggapan

bahwa akulturasi merupakan suatu proses sosial-budaya yang muncul karena

masuknya unsur budaya lain dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu.

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian mengenai perilaku manusia yang

tidak terlepas dari pandangan mengenai hakekat manusia dan perilakunya.

Sehubungan dengan itu, dalam studi ini manusia dipandang sebagai animal

symbolicum (Cassirer, 1987: 40) atau binatang yang dapat menggunakan dan

mengembangkan simbol-simbol sebagai alat komunikasi. Simbol secara sederhana

didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dimaknai (White, 1944). Ahimsa-Putra

(2013) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang – pada tataran pemikiran –

mengacu, mengingatkan, menunjuk pada sesuatu yang lain lagi. Makna berasal dari

dalam pikiran manusia yang kemudian diberikan kepada manusia yang lain. Dengan

adanya simbol-simbol, manusia dapat melangsungkan kehidupannya seperti halnya

sebagai sarana berkomunikasi antara manusia satu dengan lainnya melalui sistem

kebahasaan atau simbol-simbol tertentu yang menyampaikan pesan dan makna di

dalamnya (Nurcahyono, 2015).

Berbagai makna yang terdapat dalam pikiran manusia terwujud dalam

bahasa. Melalui bahasa, manusia dapat menangkap berbagai makna yang diberikan

oleh manusia lain terhadap keadaan di sekitarnya. Bahasa merupakan perangkat

simbol paling fundamental dalam kehidupan manusia karena melalui bahasa,

manusia dapat berkomunikasi, menyampaikan pesan dan membalas pesan, yang

kemudian membentuk kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat (Ahimsa-Putra,

2014). Menurut Spradley (1997), bahasa lebih dari sekedar alat mengkomunikasikan

21

realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Bahasa yang berbeda

menciptakan dan mengekspresikan realitas yang berbeda. Bahasa yang berbeda itu

mengkategorikan pengalaman dengan cara-cara yang berbeda. Mengingat

persyaratan demikian menuntut peneliti berangkat dari “dalam” yaitu dari sudut

pandang orang yang diteliti (tineliti) dan dengan demikian berimplikasi pada

pendefinisian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan atau sistem ide, sebab dalam

penjelasan ini “makna” yang diberikan oleh pendukung kebudayaan menduduki

peran yang penting (Ahimsa-Putra, 1985: 106-107).

J.J. Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 1990) menyebutkan tiga “gejala

kebudayaan”, yaitu: (1) ideas; (2) activities; dan (3) artifacts. Sependapat dengan

Honigmann, Koentjaraningrat (1990: 186-189) menyatakan bahwa kebudayaan

memiliki tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-

ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia

dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia. Ahimsa-Putra (2013; 2014) berpendapat bahwa kebudayaan memiliki

empat aspek atau wujud. Dimulai dari yang kongkrit ke yang abstrak, empat aspek

tersebut adalah: (a) aspek atau budaya material; (b) aspek perilaku atau budaya

perilaku; (c) aspek kebahasaan atau bahasa; dan (d) aspek gagasan atau budaya

pengetahuan. Wujud atau aspek material kebudayaan berupa misalnya benda-benda,

mulai dari yang kecil-kecil seperti jarum, kancing baju, hingga banguan yang besar-

besar seperti gedung dengan puluhan lantai, candi, atau bahkan berupa kawasan.

Aspek perilaku kebudayaan berupa perilaku-perilaku, aktivitas bersama, berbagai

interaksi sosial, relasi sosial, lapisan dan golongan sosial. Aspek kebahasaan

22

kebudayaan berupa bahasa, atau lebih kongkrit lagi berupa istilah-istilah, ungkapan-

ungkapan, peribahasa, nyanyian rakyat, mitos, legenda, sejarah, dan sebagainya.

Aspek gagasan kebudayaan berupa pengetahuan, gagasan-gagasan kolektif, seperti:

pandangan hidup, nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan.

Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan sistem yang saling berkaitan dan

terintegrasi. Para ahli antropologi berpendapat bahwa kebudayaan terbagi ke dalam

unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural

universal. Koentjaraningrat (1990) menyebutkan bahwa kebudayaan memiliki tujuh

unsur, yaitu: (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem

peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi;

dan (7) kesenian. Namun berdasarkan atas analisis gejala empiris kebudayaan yang

telah dilakukan, Ahimsa-Putra (2013; 2014) berpendapat bahwa kebudayaan

memiliki sepuluh unsur. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) Unsur Keagamaan:

berfungsi mengatasi masalah ketidakberdayaan manusia; (2) Unsur Klasifikasi:

berfungsi untuk mengatasi masalah perhitungan; (3) Unsur Komunikasi: berfungsi

untuk mengatasi masalah hubungan antarindividu; (4) Unsur Permainan: berfungsi

untuk mengatasi masalah kebosanan; (5) Unsur Pelestarian: berfungsi untuk

mengatasi masalah kehilangan/kepunahan; (6) Unsur Organisasi: berfungsi untuk

mengatasi masalah reproduksi sosial; (7) Unsur Kesehatan: berfungsi untuk

mengatasi masalah sakit; (8) Unsur Ekonomi: berfungsi untuk mengatasi masalah

kelangkaan atau kekurangan; (9) Unsur Kesenian: berfungsi untuk mengatasi

masalah ekspresi kejiwaan; dan (10) Unsur Transportasi: berfungsi untuk mengatasi

masalah pemindahan tempat. Masing-masing unsur kebudayaan tersebut memiliki

empat wujud atau aspek, yaitu: aspek material, aspek perilaku, aspek kebahasaan

23

atau bahasa, dan aspek gagasan, yang dapat dipandang sebagai kumpulan atau

gugusan dari sub-sub unsur yang lebih kecil. Masing-masing unsur, sub-sub-unsur,

dan unsur-unsur yang lebih kecil lagi, semuanya dapat diperlakukan sebagai tanda

atau simbol, karena dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat, unsur-unsur

tersebut selalu ditempatkan dalam relasi-relasi dengan unsur-unsur yang lain, dan

diberi makna, baik secara disadari maupun tidak. Oleh karena itu, masing-masing

unsur kebudayaan dan wujudnya tersebut juga merupakan gugusan tanda atau

simbol (Ahimsa-Putra, 2013; 2014).

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa suatu masyarakat dengan suatu

kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang

sedemikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat

laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa

kehilangan kepribadian kebudayaannya sendiri. Penelitian-penelitian tersebut

kemudian disebut dengan penelitian mengenai gejala akulturasi (acculturation)

(Koentjaraningrat, 1990: 91). Dalam karangan-karangan mengenai topik akulturasi,

sedikitnya ada lima masalah khusus yang menarik perhatian para ahli antropologi,

yaitu: (1) masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, melukiskan dan

menguraikan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat; (2) masalah jalannya

suatu proses akulturasi; (3) masalah psikologi dalam suatu proses akulturasi; (4)

masalah timbulnya inovasi; dan (5) masalah usaha untuk menolak atau menghindari

proses akulturasi (Koentjaraningrat, 1990).

Adanya kesadaran akan mutu dalam suatu masyarakat, merupakan salah satu

dorongan terjadinya penemuan baru. Keinginan untuk mencapai mutu yang tinggi

menyebabkan seorang ahli dalam suatu bidang selalu berusaha memperbaiki hasil

24

karyanya dan akhirnya mencapai hasil yang sebelumnya belum pernah dicapai oleh

orang lain. Dalam sejarah kebudayaan manusia, banyak penemuan baru telah

tercipta ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, yang berarti

bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang menentang keadaan. Hal ini

terjadi karena mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam

masyarakat sekelilingnya dan merasa tidak puas dengan keadaan itu. Akulturasi

sebagai sebuah gejala sosial-budaya memerlukan adanya “direct and usually

prolonged contact, and a cumulative process of culture transfer and reformulation”

(Keesing and Keesing, 1971: 352). Adanya kontak yang terus berlanjut serta proses

alih budaya dan reformasi budaya yang kumulatif ini menunjukkan bahwa sebuah

akulturasi merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam waktu yang cukup

lama dan dapat dibagi dalam sejumlah tahap yang memperlihatkan perbedaan

tingkat alih budaya yang terjadi.

Proses beralihnya unsur-unsur budaya dari satu gugusan budaya (cultural

constellation) ke gugusan budaya yang lain dapat dibagi ke dalam tiga proses, yaitu:

(a) proses penerimaan (acceptance); (b) proses penyesuaian (adaptation); dan (c)

proses reaksi (reaction) (Beals, 1953: 630). Kerangka tersebut memang terlihat

terlalu sederhana, karena banyak penelitian menunjukkan bahwa proses akulturasi

dapat dibagi ke dalam beberapa tahap yang berbeda, tergantung pada hasil akhirnya,

yaitu apakah unsur-unsur budaya asing yang masuk kemudian diterima, atau

diterima dengan penyesuaian, atau ditolak. Linton (1940) mempunyai pendirian

mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah

jika dihadapkan dengan pengaruh asing. Unsur-unsur kebudayaan yang sukar

berubah adalah bagian inti dari kebudayaan dan disebut sebagai covert culture,

25

sedangkan unsur-unsur kebudayaan yang cenderung mudah berubah adalah bagian

perwujudan lahir dari kebudayaan dan disebut sebagai overt culture. Bagian inti dari

kebudayaan antara lain: (1) sistem nilai-nilai budaya; (2) keyakinan-keyakinan

keagamaan yang dianggap keramat; (3) beberapa adat yang sudah dipelajari sangat

dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat; dan (4) beberapa adat yang

mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan bagian lahir

dari suatu kebudayaan adalah seperti: kebudayaan fisik (alat-alat dan benda-benda

yang berguna), ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna

dan memberi kenyamanan (Linton, 1936; 1940; Koentjaraningrat, 1990).

Robert L. Bee (1974; dalam Nurcahyono, 2015) menyebutkan bahwa dalam

setiap proses akulturasi terdapat tiga langkah yang harus dilalui. Pertama adalah

“difusi”, yaitu perpindahan gagasan atau sifat. Kedua adalah “evaluasi”, yaitu unsur-

unsur yang terdifusikan melewati beberapa jenis filter perseptual dan interpretatif.

Selanjutnya proses yang ketiga adalah setelah proses evaluasi unsur kebudayaan

tersebut dapat diterima, maka terjadilah proses disebut sebagai proses integrasi.

Proses integrasi ini dibagi menjadi beberapa pola, yaitu: inkorporasi, sinkritisme

atau fusi, dan kompartementilisasi atau isolasi. Proses akulturasi dalam waktu yang

relatif lama, yang menghasilkan penerimaan unsur-unsur budaya asing akan

melahirkan budaya-budaya dengan corak baru, yang sering disebut sebagai “budaya

sinkretis” (syncretic culture) atau “budaya hibrida” (hybrid culture). Budaya seperti

ini pada umumnya terlihat sebagai budaya yang telah berhasil menggabungkan

unsur-unsur budaya asing dengan unsur-unsur budaya lokal sedemikian rupa,

sehingga unsur-unsur budaya asing ini terlihat telah menyatu dengan budaya lokal.

26

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Rumah Dome, New Ngelepen,

Dusun Sengir, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman,

Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan lokasi penelitian tersebut dikarenakan

Desa Wisata Rumah Dome memiliki arsitektur rumah yang unik dan merupakan

satu-satunya pemukiman dome yang ada di Asia Tenggara. Asumsi yang

digunakan dalam pemilihan lokasi ini adalah bahwa perubahan kebudayaan di

Desa Wisata Rumah Dome akan lebih terlihat akibat adanya kegiatan pariwisata,

terlebih kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Rumah Dome semakin meningkat

dari waktu ke waktu. Bentuk rumah dome yang unik merupakan daya tarik

utama bagi desa wisata yang juga disebut sebagai Desa Wisata Rumah

Teletubbies ini, namun sebagian besar warga telah menambahi bangunan yang

bentuknya tidak sama dengan bentuk rumah dome, sehingga banyak rumah

dome yang tidak lagi terlihat seperti aslinya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan sebagian besar adalah data kualitatif, namun hal

itu bukan berarti mengabaikan data kuantitatif. Data kuantitaif yang diperlukan

adalah data yang menunjukkan gambaran umum lokasi penelitian, seperti:

jumlah penduduk, luas desa, jumlah rumah penduduk, jumlah kunjungan

wisatawan, dan lain sebagainya, yang diperoleh dari Kantor Kelurahan, Kepala

Dusun, dan Sekretariat Desa Wisata. Pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan observasi partisipan (participant observation), wawancara

27

mendalam (indept interview), dan studi kepustakaan. Adapun cara pengumpulan

data dapat diperinci sebagai berikut.

a. Observasi Partisipan (Participant Observation)

Dalam pengumpulan data, salah satu teknik yang dilakukan adalah

dengan cara melibatkan diri secara aktif bersama warga masyarakat yang diteliti

dalam jangka waktu tertentu. Di sini, peneliti akan berusaha melibatkan diri

dalam berbagai kegiatan, baik yang dilakukan secara rutin maupun periodik.

Oleh karena itu, peneliti akan tinggal untuk beberapa waktu di lokasi penelitian.

Observasi partisipan (participant observation) dalam penelitian ini digunakan

untuk melihat dan mengetahui interaksi antara wisatawan dan winisatawan di

Desa Wisata Rumah Dome, serta bangunan-bangunan yang ada di desa tersebut.

Untuk membantu mengabadikan peristiwa maupun fenomena yang

terjadi di Desa Wisata Rumah Dome selama penelitian lapangan berlangsung,

maka peneliti menggunakan alat bantu kamera digital dan buku catatan

lapangan. Penggunaan kamera digital dimaksudkan untuk merekam peristiwa

dalam tempo cepat. Foto-foto yang diambil melalui kamera digital tersebut akan

berguna bagi peneliti dalam penyusunan laporan penelitian. Dengan

menggunakan foto, peneliti dapat melakukan refleksi atas fenomena yang pernah

diamati dan dilalui sebelumnya. Sedangkan buku catatan lapangan digunakan

untuk mencatat informasi-informasi yang diperoleh peneliti, sehingga

diharapkan tidak ada data-data penting yang tercecer.

28

b. Wawancara Mendalam (Indept Interview)

Wawancara mendalam (indept interview), digunakan untuk mengungkap

proses, makna, dan pandangan masyarakat desa terhadap perubahan arsitektur di

lingkungannya. Langkah awal yang dilakukan sebelum wawancara mendalam,

yakni dilakukan wawancara sambil lalu. Cara yang demikian dimaksudkan

sebagai strategi untuk menjalin hubungan baik dengan informan, agar proses

wawancara berikutnya berjalan dengan lancar dan dalam memberikan

keterangan isinya benar-benar menggambarkan realitas empiris yang ada

(Spradley, 1979).

Wawancara yang dilakukan antara lain mengenai: (1) sejarah

terbentuknya Desa Wisata Rumah Dome, mencakup penggagasnya, perintisnya,

aktivitas yang dilakukan, serta berbagai hambatan dan dukungan yang diperoleh;

(2) partisipasi warga masyarakat dalam pengembangan wisata desa, mencakup

penerimaan rumah dome sebagai tempat tinggal baru mereka, tekanan dan

masalah yang dihadapi, serta solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah

tersebut; (3) respon warga masyarakat, pandangan serta harapan ke depan dalam

pengembangan Desa Wisata Rumah Dome.

Ketika wawancara mendalam ini berlangsung, peneliti menggunakan alat

bantu berupa perekam audio. Perekam audio digunakan untuk merekam

percakapan antara peneliti dan informan, yang kemudian akan ditranskripkan

dalam bentuk tulisan, sehingga tidak ada informasi yang hilang dari wawancara

yang telah dilakukan. Transkrip hasil dari wawancara mendalam akan membantu

peneliti untuk menyusun laporan penelitian.

29

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan digunakan untuk meramu, mematangkan, dan

menempatkan sumber-sumber teori/data-data lain yang relevan tentang

akulturasi arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome. Studi kepustakaan dilakukan

di perpustakaan UGM, perpustakaan Jurusan Arsitektur UGM, perpustakaan

Jurusan Antropologi UGM, perpustakaan Puspar UGM, dan library-on-line

UGM untuk mendapatkan berbagai laporan penelitian, disertasi, tesis, jurnal

ilmiah, dan buku-buku yang relevan dengan penelitian.

3. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini

adalah metode analisis deskriptif-interpretatif dengan langkah-langkah sebagai

berikut: (1) memilih dokumen/data yang relevan; (2) membuat catatan objektif,

yakni melakukan klasifikasi dan mereduksi jawaban; (3) membuat catatan

reflektif, yakni menginterpretasikan dalam kaitannya dengan catatan objektif; (4)

menyimpulkan data; (5) melakukan triangulasi, yaitu mengecek kebenaran data

dengan cara menyimpulkan data ganda yang diperoleh melalui tiga cara: (a)

memperpanjang waktu observasi di lapangan dengan tujuan untuk mencocokkan

data yang telah ditulis dengan data lapangan, (b) mencocokkan data yang telah

ditulis dengan bertanya kembali kepada informan, dan (c) mencocokkan data

yang telah ditulis dengan sumber pustaka. Analisis dan pengolahan data

dilakukan dalam dua tahap, yaitu: pertama, pada saat yang sama dengan kegiatan

pengumpulan data; kedua dilakukan setelah pengumpulan data berakhir.