bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ulcer pepticum atau tukak lambung adalah suatu lesi yang hilang
timbul karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor
defensif (Suyono, 2001). Faktor agresif adalah faktor perusak, yaitu sekresi
asam lambung yang berlebihan. Contoh faktor defensif yang berperan adalah
aliran darah mukosa, difusi kembali ion H+ pada epitel dan sekresi mucus.
Kedua faktor tersebut dapat mengikis lapisan mukosa lambung dengan
meningkatkan produksi asam lambung hingga terbentuk luka pada lapisan
lambung (Soemanto dkk., 1993).
Tukak lambung merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita
masyarakat saat ini, terutama masyarakat di negara berkembang seperti
Indonesia. Penyakit ini menjadi penyebab mortalitas utama di negara – negara
berkembang. Prevalensi tukak lambung di Amerika Serikat mencapai 1.84%
dari total penduduk, sedangkan prevalensi tukak lambung di negara
berkembang mencapai 10% (Chany dkk., 2009; Bansal dkk., 2009). Suyono
(2001) menyatakan bahwa berdasarkan beberapa penelitian prevalensi tukak
lambung di Indonesia berkisar antara 6-15% dengan penderita umumnya
berusia 20 – 50 tahun.
Pengembangan pengobatan yang tepat, efektif, dan rasional seperti
pengembangan obat yang memiliki efek melindungi lambung dari bahan alam
sangat diperlukan untuk menangani masalah tukak lambung. Salah satu
2
perusahaan farmasi yang berkontribusi dalam pengembangan obat herbal yang
berefek gastroprotektor adalah PT. Dexa Medica Indonesia. Produk obat
herbal gastroprotektor dari PT. Dexa adalah DLBS2411 yang berbahan dasar
ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmanii Ness). Menurut Arifin (2012),
DLBS2411 menunjukkan aktivitas antiulcer dengan cara berlaku sebagai
mucoprotector. DLBS2411 juga dapat menghambat aktivitas enzim
H+/K
+ ATPase di lambung, penghambatannya paling baik pada pH asam
(pH=2).
Penelitian uji toksisitas kronis dari sediaan DLBS2411 belum pernah
dilakukan. Dengan studi ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait
efek jangka panjang penggunaan sediaan terytama terhadap parameter
hematologi sehingga dapat ditentukan level dosis aman sesuai kriteria
keamanan suatu sediaan obat herbal terstandar yang telah ditetapkan oleh
BPOM Republik Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180
hari terhadap jumlah asupan makan, minum, gejala toksik klinik, dan
perkembangan bobot badan tikus?
2. Bagaimanakah pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180
hari terhadap parameter hematologi?
3
3. Bagaimana hubungan antara dosis pemberian DLBS2411 dengan wujud
efek toksik ditinjau dari parameter hematologi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180
hari terhadap jumlah asupan makan, minum, gejala toksik klinik dan
perkembangan bobot badan tikus.
2. Mengetahui pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180
hari terhadap parameter hematologi.
3. Mengetahui hubungan antara dosis pemberian DLBS2411 dengan wujud
efek toksik ditinjau dari parameter hematologi.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi peneliti
a. Mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan.
b. Mengembangkan daya nalar, analisis, dan kompetensi dalam bidang
penelitian terutama bidang kefarmasian
2. Bagi Perguruan Tinggi
a. Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi Indonesia.
b. Menjalin kerjasama antara dosen pengajar dan mahasiswa dalam
bidang pengembangan keilmuan.
c. Mewujudkan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai High
World Class University dan Research Center.
4
3. Bagi Masyarakat
Mengetahui informasi keamanan penggunaan produk obat terutama
herbal berbasis bukti penelitian ilmiah.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1. Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub
mukosa sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktifitas
pepsin dan asam lambung. Ulkus peptikum dapat mengenai esofagus
sampai usus halus, tetapi kebanyakan terjadi pada bulbus duodenum (90%)
dan kurvatura minor (Dodge, 1993; Djuwantoro, 1992). Bila terjadi di
antara kardia dan pilorus disebut ulkus lambung dan bila terjadi pada
daerah setelah pilorus disebut ulkus duodenum (Spiro, 1977).
Ulkus peptikum sangat jarang terjadi pada bayi dan anak dibanding
dewasa, namun insiden yang pasti belum diketahui (Herbst, 1996). Pada
kelompok anak, usia yang paling sering dikenai adalah 12-18 tahun; laki-
laki lebih banyak dibanding perempuan (Roy dkk., 1975; Sondheimer dan
Silverman, 1995).
Patogenesis ulkus peptikum beragam dan belum diketahui
seluruhnya (Djuwantoro, 1992; Sondheimer dan Silverman, 1995).
Umumnya terjadi akibat sekresi asam yang berlebihan dan gangguan
ketahanan / integritas mukosa, sehingga terjadi difusi balik ion H+ dari
lumen usus masuk ke dalam mukosa (Dodge, 1993; Djuwantoro, 1992;
Soemanto dkk., 1993). Mekanisme keseimbangan antara faktor agresif
5
(perusak) dan factor defensif (ketahanan mukosa) sangat penting untuk
mempertahankan fungsi dan integritas saluran cerna. Faktor agresif yang
utama adalah asam lambung dan pepsin. Faktor defensif yang berperan
adalah mucous barrier (mukus dan bikarbonat), mucosal resistance
barrier (resistensi mukosa), microcirculation (aliran darah mukosa) dan
prostaglandin (Soemanto dkk., 1993).
Klasifikasi ulkus peptikum yang sering digunakan dibuat oleh
Schuster dan Gross (1963) yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder
(Dodge, 1993). Diagnosis ulkus peptikum dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan radiologis dan dipastikan dengan pemeriksaan
endoskopi (Dodge, 1993; Soemanto dkk, 1993; Hassal, 1996).
a. Ulkus Peptikum Primer
Ulkus peptikum primer adalah ulkus yang terjadinya terutama
dipengaruhi langsung oleh sekresi asam lambung dan pepsin yang
berlebihan (Dodge, 1993; Herbst, 1996). Ulkus peptikum primer dapat
bersifat akut dan kronis, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi.
Ulkus peptikum primer akut menunjukkan gambaran proses erosi dengan
tepi tajam, tidak ada kongesti, hanya dijumpai tanda inflamasi minimal di
sekitar ulkus dan dalam penyembuhannya tidak disertai fibrosis. Pada
ulkus peptikum primer kronis ditemukan jaringan nekrotik dengan dasar
eksudat fibropurulen dan jaringan granulasi vaskular dengan pembentukan
fibrosis. Pada permukaan jaringan nekrotik tersebut sering ditemukan
Helicobacter pylori (Dodge, 1993). Pemberian susu atau antasida dengan
6
interval pendek dapat menghilangkan gejala ulkus duodenum bila
diminum secara teratur dalam waktu 1-2 bulan pengobatan, namun hal ini
selalu disertai dengan timbulnya efek samping (Dodge, 1993). Penggunaan
ARH-2 pada ulkus lambung dapat menghilangkan gejala dan mempercepat
penyembuhan ulkus. Pengobatan ulkus peptikum primer standar adalah
dengan menggunakan simetidin atau ranitidin (Dodge, 1993).
b. Ulkus Peptikum Sekunder
Ulkus peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan ketahanan
mukosa saluran cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami
penyakit/trauma berat (stress ulcer), luka bakar (Curling’s ulcer), penyakit
intrakranial (Rokitansky-Cushing’s ulcer), minum aspirin atau
kortikosteroid, dan penyakit hati kronis (Dodge, 1993; Spiro, 1977;
Herbst, 1996; Hassal, 1996). Pengobatan ulkus sekunder ditujukan pada
pengobatan penyakit dasar, disertai pemberian antasida dan antagonis
reseptor H-2. Pemberian antagonis reseptor H-2 sama dengan pengobatan
ulkus primer (Hassal, 1996). Pada kasus berat, mempertahankan pH
lambung > 3,5 sangat penting untuk pencegahan pembentukan ulkus
(Herbst, 1996).
2. Sampel Uji DLBS2411
DLBS2411 merupakan fraksi bioaktif dari kulit kayu (korteks)
Cinnamomum burmanii Ness. yang diproduksi oleh PT. Dexa Medica.
Produk tersebut dilaporkan memiliki efek antihiperglikemik dan protektor
7
lambung. DLBS sendiri merupakan singkatan dari Dexa Medica
Laboratories of Biomolecular Sciences.
DLBS2411 diperoleh dengan maserasi serbuk di dalam air panas
pada suhu 600C-90
0C selama 1-2 jam. Maserat dipisahkan dari misel dan
diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 500C-80
0C hingga
didapatkan konsentrat. Konsentrat lalu diekstraksi dengan ekstraksi cair-
cair menggunakan diklorometan dengan perbandingan 1:2 untuk
memisahkan dari komponen organik. Fase air diambil kemudian diuapkan
dengan rotary evaporator pada suhu 500C-120
0C hingga didapatkan
ekstrak kering ( Tjandrawinata dkk., 2013).
Berdasarkan certificate of analysis-nya, sediaan DLBS2411
berupa serbuk berwarna merah coklat, mengkilat, bau aromatik, dengan
rasa kelat dan agak pahit. Serbuk mudah larut dalam air panas dan etanol
96 %. Identifikasi dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) memberikan
bercak fluoresensi biru pada 366 nm dengan Rf 0,6. Selain itu,
memberikan bercak hijau dan kuning pada cahaya tampak setelah
dilakukan derivatisasi dengan Rf masing-masing 0,5 dan 0,7. Total
kandungan fenolik yang dilaporkan sebesar 27,82%.
3. Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Ness)
a. Deskripsi tanaman
Cinnamomum burmanii disebut juga sebagai Padang cassia
yang berkerabat dengan kayu manis Srilangka (Cinnamomum
zeylanicum) dan spesies kayu manis yang lain seperti kayu manis
8
China. Tanaman ini asli Indonesia dan banyak ditemukan di daerah
Sumatera dan Jawa. Pohon bersifat tahunan, batang berkayu dan
bercabang, tegak, keras, berwarna hijau kecoklatan. Akar kayu manis
berupa akar tunggang. Daun berupa daun tunggal, tersebar dan tidak
berpenumpu, bentuk lancet atau oblong dengan pertulangan
melengkung, berwarna merah pucat-hijau. Daun dan kulit kayu
berbau aromatik khas. Bunga majemuk hijau putih, rangkaian berupa
malai dengan kelamin tunggal. Buah berupa buni, bulat memanjang,
dan berwarna hijau sampai hitam. Biji kecil berbentuk bulat telur
berwarna hijau-hitam (Syamsulhidayat dan Hutapea, 1991).
b. Taksonomi tanaman
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Magnoliidae
Ordo : Laurales
Famili : Lauraceae
Genus : Cinnamomum
Spesies : Cinnamomum burmanii Ness.
(Syamsulhidayat dan Hutapea, 1991)
9
c. Kandungan kimia kulit kayu
Kulit kayu Cinnamomum burmanii mengandung senyawa-senyawa
seperti kamfer, sineol, safrol, sinamaldehid, sitral, polifenol, dan
benzaldehid dimana kandungan sinamaldehid dan eugenol masing-masing
mencapai 55-65% dan 4-8% (Perry, 1980; Tjitrosoepomo, 1994). Selain
itu, kandungan kimia lain adalah asam oksalat, kumarin, saponin, dan
tanin ( Syamsulhidayat dan Hutapea, 1991; Wijayakusuma dkk., 1996).
Gambar 2 . Kulit kayu Cinnamomum burmanii Ness.
d. Aktivitas farmakologis
Dari berbagai penelitian ilmiah yang telah dilakukan, diketahui
bahwa ekstrak kayu manis memiliki beberapa aktivitas farmakologis.
Ekstrak air kayu manis memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
patogen dalam makanan seperti E. coli, Salmonella anatum, S. aureus, dan
B. cereus. Aktivitas antibakteri tersebut disebabkan kandungan E-
sinamaldehid, proantosianidin, dan senyawa-senyawa fenolik (Shan,
2007). Ekstrak air kayu manis memberikan efek inhibisi terhadap virus
Epstein Barr dan karsinoma nasofaringeal sehingga berpotensi sebagai
antitumor (Matsumoto dkk., 1991). Ekstrak metanol dari kayu manis
10
memiliki aktivitas antitrombosis (Hwang dkk., 2001). Pengujian ekstrak
metanol dari kayu manis terhadap sel RAW 264.7 yang distimulasi
lipopolisakarida memberikan efek inhibisi pelepasan NO yang berpotensi
sebagai antioksidan (Choi dkk., 2005).
Gambar 1 . Tanaman kayu manis (Cinnamomum burmanii Ness.)
Ekstrak kayu manis juga dilaporkan memiliki aktivitas
antihiperglikemik yang bagus dimana dapat meningkatkan kontrol glukosa
darah terutama pada pasien DM tipe-2 (Khan dkk., 2003), memiliki
aktivitas meniru insulin/insulin-mimetic (Broadhurst dkk., 2000) dan
meningkatkan up-take glukosa dan sintesis glikogen (Jarvil-Taylor dkk.,
2001). Ekstrak larut air dari kayu manis memiliki aktivitas insulin-like
yang mampu menurunkan ekspresi pada IRβ protein dan IRmRNA yang
berefek pada mRNA GLUT-4 (Cao dkk., 2007). Ekstrak kayu manis
menurunkan ekspresi gen pengkode protein pada jalur signaling yang
meliputi GSK 3B, IGF-1R, IGF-2R, PIK-3RT, dan mengatur ekspresi
multigen di jaringan adiposit (Cao dkk., 2010). Kombinasi ekstrak kayu
manis dan daun bungur (Lagerstroemia speciosa) mampu meningkatkan
11
sensitivitas insulin terhadap reseptornya melalui aktivasi ekspresi gen
GLUT-4, PPAR-ɤ, dan protein lain sehingga kadar glukosa darah dapat
terkontrol (Tjandrawinata dkk., 2011).
Ekstrak dan/atau fraksi dari Cinnamomum burmanii juga
menunjukkan aktivitas antiulcer dengan cara berlaku sebagai
mucoprotector. Selain itu, ekstrak kayu manis juga dapat menghambat
aktivitas enzim H+/K
+ ATPase di lambung dengan cara mempengaruhi pH.
Ekstrak kayu manis juga memiliki karakteristik sebagai antioksidan yang
meningkat seiring dengan kenaikan dosis yang diberikan (Arifin, 2012).
e. Data toksisitas
Dari studi pustaka yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa
penggunaan ekstrak kayu manis secara akut dan subkronis belum
menunjukkan efek toksik. Menurut hasil penelitian Wagiyanti (2012),
pemberian kombinasi ekstrak kayu manis dengan daun bungur secara
subkronis dengan dosis 1,575 mg/kgBB; 3,15 mg/kgBB; dan 6,30
mg/kgBB tidak memperlihatkan gejala toksik klinis. Hasil histopatologi
dari paru, jantung, pankreas, dan limpa tidak menunjukkan adanya
ketoksikan pada organ-organ tersebut.
Toksisitas yang dihasilkan dari ekstrak kayu manis disebabkan
oleh kandungan kumarin yang tinggi yang mnegakibatkan pendarahan.
Namun demikian, pengujian terhadap efek toksik akibat pemberian ekstrak
kayu manis secara kronis belum pernah dilakukan.
12
4. Toksikologi
a. Definisi toksikologi.
Menurut Hodgson (2004), toksikologi adalah cabang ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan racun yaitu suatu zat yang
memberikan efek berbahaya bagi organisme apabila terpejani secara
sengaja atau tidak sengaja. Objek yang dipelajari dalam toksikologi adalah
antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa asing dengan suatu sistem
biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat perhatiannya ada pada
pengaruh berbahaya racun atas kehidupan makhluk hidup (Donatus, 2001;
Lu dkk., 1995).
b. Asas umum toksikologi
Ada empat asas utama yang perlu dipahami dalam toksikologi
untuk evaluasi batas keamanan suatu zat bila mengenai atau digunakan
pada manusia serta cara penggunaannya agar tidak menimbulkan efek
toksik (Priyanto, 2009). Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan
dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik
atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2001).
Pemahaman tentang kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup
akan mempermudah dalam menghayati aneka ragam faktor yang dapat
mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa. Pemahaman tentang mekanisme
aksi akan mempermudah dalam menghayati penyebab timbulnya efek
toksik. Pemahaman tentang wujud dan sifat efek toksik mempermudah
dalam menghayati respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan
13
tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif toksisitas suatu senyawa
dapat dengan mudah dihayati dengan memahami kekerabatan (hubungan
erat) antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus, 2001).
1) Kondisi efek toksik.
Kondisi efek toksik suatu senyawa merupakan berbagai
keadaan atau faktor yang dapat mempengaruhi keaktifan absorbsi,
distribusi, dan eliminasi suatu senyawa di dalam tubuh yang akan
menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel
sasaran atau tempat kerjanya. Jumlah zat kimia ataupun metabolitnya
di sel sasaran akan mempengaruhi efek toksiknya (Priyanto, 2009).
Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat
kimia) dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2001).
Kondisi paparan zat kimia meliputi jenis, jalur, lama dan
kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Ada dua jenis pemejanan yaitu
akut dan kronis. Jenis pemejanan ini berkaitan erat dengan lama dan
kekerapan pemejanan, yang merupakan batas kurun waktu pemejanan
terhadap makhluk hidup. Keduanya dapat mempengaruhi wujud dan
toksisitas racun (Donatus, 2001).
Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi
yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan
efektivitas antaraksi keduanya. Keadaan fisiologi meliputi berat badan,
umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran
darah, status gizi, kehamilan, dan jenis kelamin. Keadaan patologi
14
meliputi aneka ragam penyakit, pada organ tertentu. Keadaan patologi
ini merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam
pelaksanaan uji toksikologi, terutama berkaitan dengan pemilihan dan
penentuan subjek uji (Donatus, 2001).
2) Mekanisme efek toksik.
Mekanisme aksi toksik racun berguna untuk mengetahui
penyebab timbulnya keracunan berkaitan dengan wujud dan sifat efek
toksik yang terjadi. Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian, sifat
antaraksi racun dengan tempat aksinya, serta resiko penumpukan racun
di dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2001).
Menurut pertimbangan patologi, mekanisme aksi berdasarkan
sifat dan tempat kejadian dapat dibagi menjadi dua yaitu mekanisme
luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel
yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel,
sehingga mekanisme ini sering disebut mekanisme langsung atau
primer. Tempat aksinya meliputi membran sel (lipid, reseptor, protein),
inti sel (DNA), sitosol (enzim), mitokondria (produk energi), dan
retikulum endoplasmik (sintesis protein) (Donatus, 2001). Zat kimia
atau metabolitnya yang ada di sel sasaran dapat menyebabkan
gangguan sel atau organelnya melalui pendesakan, pengikatan,
substitusi atau peroksidasi. Gangguan tersebut akan direspon oleh sel
untuk mengurangi dampaknya dengan cara sel akan beradaptasi atau
15
melakukan perbaikan. Namun apabila reson tidak mampu
mengeleminir gangguan, maka akan timbul efek toksik yang pada
dasarnya berwujud sebagai perubahan atau kekacauan biokimia,
fungsional, atau struktural (Priyanto, 2009).
Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung, karena
racun beraksi di lingkungan luar sel. Mekanisme ini disebut juga
mekanisme tak langsung atau sekunder (Donatus, 2001).
Kelangsungan hidup suatu sel sangat tergantung pada lingkungannya
untuk mengetahui kebutuhan sel. Adanya zat di lingkungan sel dapat
mengganggu aktivitas sel, yang mungkin akan menimbulkan
perubahan struktur atau gangguan fungsi sel. Minimal dibutuhkan
oksigen, zat makanan dan cairan ekstrasel (elektrolit dan asam basa)
yang optimal untuk kelangsungan hidup sel (Priyanto, 2009).
3) Wujud efek toksik.
Wujud efek toksik suatu racun dapat berupa perubahan
biokimia, fisiologi (fungsional) dan struktural. Perubahan ini memiliki
sifat yang khas, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan (Donatus, 2001).
Respon perubahan biokimia merupakan perubahan atau kekacauan
biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat
aksi yang terbalikkan. Termasuk dalam wujud efek toksik ini antara
lain penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan
dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi (Priyanto, 2009).
16
Respon perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun
dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang terbalikkan, sehingga
mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2001). Termasuk
dalam wujud efek toksik ini antara lain anoksia, gangguan pernapasan,
gangguan sistem saraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau
hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit,
perubahan kontraksi atau relaksasi otot, serta hiper atau hipotermi
(Priyanto, 2009).
Perubahan fungsional atau biokimia seringkali meruakan tahap
awal dari terjadinya perubahan struktural (Priyanto, 2009). Respon
perubahan ini meliputi degenerasi, proliferasi, dan inflamasi.
Termasuk perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel
(yang paling sering dijumpai adalah penumpukan air dan lemak), serta
nekrosis. Perubahan berupa proliferasi meliputi hierplasia,metaplasia,
dan displasia. Perubahan inflamasi meliputi inflamasi (peradangan)
dan perbaikan (Donatus, 2001).
4) Sifat efek toksik.
Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi
terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Ciri dari
efek toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada
dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan
kembali kepada keadaan semula, efek toksik yang ditumbulkan akan
segera kembali kepada kondisi normal, toksisitas racun tergantung
17
pada takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi racun
(Priyanto, 2009).
Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang
terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan
kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya
penumpukan efek toksik, dan efek yang ditimbulkan antara pemejanan
dengan takaran kecil jangka penjang seefektif pemaparan dosis besar
jangka pendek. Zat yang dapat menimbulkan efek toksik tak
terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sukar
dieliminasi (Priyanto, 2009).
c. Uji toksikologi
Obat sebelum dipasarkan atau digunakan oleh konsumen harus
menjalani serangkaian uji untuk memastikan keamanan, efektivitas,
mauun mutunya. Uji diawali dari skrining guna mencari senyawa aktifnya,
lalu dilanjutkan uji efektivitas dan mekanisme kerjanya pada hewan coba
maupun mikroba. Setelah dinyatakan mempunyai aktivitas farmakologi
tertentu, zat yang dimaksud akan menjalani serangkaian tes keamanan
pada hewan coba (Priyanto, 2009).
Uji toksikologi merupakan salah satu bagian dari uji praklinik,
adapun uji ini dilakukan pada hewan uji seperti mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster atau anjing (Sukandar, 2004). Penelitian toksikologi
suatu obat yang dilakukan pada hewan uji merupakan sumber data utama
bagi evaluasi toksikologi. Hal ini dikarenakan suatu penelitian toksikologi
18
mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan zat toksik pada
berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi, serta
menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh, atau toksisitas
khusus yang muncul (Lu, 1995).
Menurut Donatus (2001) uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua,
yakni uji toksisitas khas dan uji toksisitas tak khas. Uji toksisitas tak khas
adalah uji toksikologi yang dimaksudkan untuk mengevaluasi secara
keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam
jenis hewan uji.
Termasuk uji toksisitas tak khas ialah :
1) Uji toksisitas akut, yaitu uji ketoksikan yang dirancang untuk
mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat
ditoleransi oleh hewan uji, yang hasilnya akan diekstrapolasi pada
manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus
tertentu selama 7-14 hari.
2) Uji toksisitas subkronis atau disebut juga subakut, yaitu uji ketoksikan
suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji
tertentu. Umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 dosis selama 4
minggu – 3 bulan dan menggunakan 2 spesies yang berbeda.
3) Uji toksisitas kronis, pada dasarnya serupa dengan uji ketoksikan
subkronis, menggunakan hewan rodent dan non rodent selama 6 bulan
atau lebih. Perbedaan hanya terletak pada lamanya pemberian atau
pemejanan takaran dosis senyawa uji, masa pengamatan dan
19
pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji ini diperlukan jika obat nantinya
akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang (Priyanto, 2009).
Menurut Donatus (2001), uji toksisitas khas adalah uji toksikologi
yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu
senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan
uji. Termasuk uji toksisitas khas adalah : uji potensiasi, kekarsinogenikan,
kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji
pranatal, dan pascanatal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku.
5. Uji Toksisitas Kronis
Uji toksisitas kronis merupakan uji toksisitas yang diberikan dengan
dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari 12 bulan. Pada
dasarnya, uji ini serupa dengan uji toksisitas subkronis, menggunakan hewan
rodent dan non rodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan hanya terletak
pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis senyawa uji, masa
pengamatan dan pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji ini diperlukan jika obat
nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang (Priyanto, 2009).
Masa uji tergantung pada lama masa hidup dari hewan uji terkait yaitu 10%
dari masa hidupnya.
6. Parameter Uji Toksikologi
a. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis harus dilakukan minimal 1 kali sehari.
Observasi yang harus dilakukan termasuk pengamatan terhadap
peerubahan pada kulit dan bulu, mata dan membran mukosa, pernapasan,
20
peredaran darah, system saraf autonomi dan pusat, aktivitas
somatomotorik, dan pola perilaku. Perhatian khusus perlu diberikan untuk
mengamati tremor, kejang, air liur, diare, letargi, tidur, dan koma. Waktu
kematian harus dicatat secepat mungkin. Berat badan setiap hewan harus
diukur sebelum pemberian substansi tes, setiap minggu setelah
pemberian, dan ketika mati. Perubahan berat badan harus dikalkulasi dan
dicatat ketika hewan mampu bertahan hidup lebih dari satu hari. Pada
akhir percobaan semua hewan yang bertahan hidup harus ditimbang
kemudian dikorbankan (Derelanko, 2002).
b. Pemeriksaan Kimia Klinis
Tes umum untuk pemeriksaan kimia klinis adalah keseimbangan
elektrolit, metabolisme karbohidrat, fungsi hati dan ginjal. Penentuan lain
yang berguna untuk evaluasi toksik adalah analisis dari lipid, hormon,
keseimbangan asam/basa, metahemoglobin, dan aktivitas kolinesterase.
Volume serum atau plasma dari darah yang dibutuhkan adalah 400-500
µL serum/plasma atau 1-12 mL whole blood (Derelanko, 2002).
c. Pemeriksaan Urinalisis
Urinalisis merupakan bagian dari database laboratorium minimal
untuk pasien secara klinis sakit. Ini memberikan evaluasi khusus terhadap
saluran urogenital serta informasi mengenai kondisi umum yang lebih
jelas. Sebagai pemeriksaan umum, bagaimanapun, urinalisis digunakan
tidak banyak dalam studi toksikologi. Untuk sebagian besar faktor, hal ini
disebabkan oleh kesulitan teknis yang terkait dengan mengumpulkan
21
sejumlah besar spesimen urin dari hewan laboratorium kecil. Metode
pengambilan dan pengumpulan urin sangat mempengaruhi nilai dan
interpretasi data yang diperoleh.Metode yang biasa digunakan untuk
mengumpulkan urin adalah menggunakan kandang yang sudah didesain
sedemikian rupa sehingga urin dan feses tikus uji tidak bercampur
menjadi satu. Pakan dan minum tikus juga ditempatkan sehingga tidak
mengkontaminasi urin (Gad, 2007)
d. Pemeriksaan Histopatologi Organ
Histopatologi adalah cabang dari patologi, yaitu ilmu yang
dipusatkan untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil
pemeriksaan jaringan. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan
makroskopik jaringan disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan
mikroskopik. Mayoritas diagnosis histopatologi dilakukan dari potongan
jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood,
2000).
e. Pemeriksaan Hematologi
Hematologi merupakan cabang keilmuan yang mengkaji
komponen seluler darah dan kelainan fungsional yang terjadi pada sel-sel
tersebut. Pemeriksaan hematologi menghasilkan suatu gambaran fungsi
organ dan status fisiologinya. Hasilnya berguna dalam penegakan
diagnosis kelainan maupun kerusakan pada fungsi jaringan atau organ.
Adanya kerusakan jaringan atau organ akibat pemejanan suatu zat kimia
akan mempengaruhi komponen darah (Ganong, 1999).
22
Volume darah pada mamalia relatif konstan dan umumnya
merepresentasikan 5-9% dari berat badan dan berbeda antarspesies. Pada
saat nekropsi hewan percobaan sekitar 50% dari total darah hewan uji
dapat diambil dengan menggunakan teknik tertentu seperti pengambilan
lewat sinus orbitalis, cardiac puncture, vena jugularis, aorta maupun tail
venipuncture (Derelanko, 2002).
7. Metode Ketoksikan OECD 452
OECD Test Guidelines adalah metode uji yang disetujui secara
internasional dan digunakan oleh pemerintah, industry dan laboraorium
independen. Metode ini digunakan untuk menentukan keamanan dari bahan
kimia dan preparasinya, termasuk pestisida dan bahan kimia industry. OECD
452 adalah metode uji untuk uji toksikologi kronis. Metode ini dikembangkan
bersama dengan OECD 451 untuk studi karsinogenisitas dan OECD 453 untuk
studi kombinasi toksisitas kronik dan karsinogenisitas, dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi lebih mengenai penggunaan hewan uji dan pemilihan
dosis (Anonim, 2014)
F. LANDASAN TEORI
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemberian berulang
kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis dengan dosis 1,575
mg/kgBB; 3,15 mg/kgBB; dan 6,3 mg/kgBB pada tikus jantan dan betina
galur Wistar selama 90 hari (ditambah 14 hari untuk reversibilitas) tidak
menunjukkan adanya gejala toksik klinis; tidak menimbulkan perubahan
struktural pada ginjal secara makroskopi; tidak berpengaruh pada kadar
23
natrium, kalium, dan kreatinin; berpengaruh terhadap kenaikan kadar urea
darah secara irreversibel; dan tidak mempengaruhi warna dan pH serta tidak
menimbulkan endapan, bercak darah, glukosa, maupun bilirubin pada urin
(Intansari, 2013). Kombinasi ekstrak tersebut juga tidak mempengaruhi
asupan makanan hewan uji serta tidak menimbulkan efek toksik pada organ
paru, jantung, pankreas dan limpa hewan uji (Wagiyanti, 2013).
Salah satu kandungan kayu manis yang toksik adalah kumarin.
Kumarin bersifat toksik terhadap ginjal dan hati, dengan LD50 275 mg/kg.
Senyawa ini berbahaya bagi manusia, bersifat hepatotoksik terhadap tikus tapi
kurang toksik terhadap mencit (Vassalo, 2004). Penelitian toksisitas kronis
dan subkronis untuk kumarin sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dalam uji
toksisitasnya, kumarin diberikan dalam pakan hewan uji, dan no-effect level
untuk efek hepatotoksiknya bervariasi dari dosis 50 hingga 130 mg
kumarin/kgBB perhari untuk tikus, sedangkan untuk mencit lebih tinggi
(EFSA, 2008).
Penelitian untuk menentukan toksisitas dari kayu manis sudah pernah
dilakukan sebelumnya. Menurut Sugiarto (2013) pemberian kayu manis dalam
bentuk minyak dengan peringkat dosis 0,01 mL; 0,02 mL; dan 0,04 mL
selama 4 minggu tidak menimbulkan efek toksik terhadap hematologi
(eritrosit, leukosit, keping darah dan hematokrit) tikus jantan galur Wistar,
serta semakin besar dosis efek toksisitas subkronik yang ditimbulkan tidak
semakin besar.