bab i pendahuluan a. latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ulcer pepticum atau tukak lambung adalah suatu lesi yang hilang timbul karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif (Suyono, 2001). Faktor agresif adalah faktor perusak, yaitu sekresi asam lambung yang berlebihan. Contoh faktor defensif yang berperan adalah aliran darah mukosa, difusi kembali ion H + pada epitel dan sekresi mucus. Kedua faktor tersebut dapat mengikis lapisan mukosa lambung dengan meningkatkan produksi asam lambung hingga terbentuk luka pada lapisan lambung (Soemanto dkk., 1993). Tukak lambung merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita masyarakat saat ini, terutama masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Penyakit ini menjadi penyebab mortalitas utama di negara negara berkembang. Prevalensi tukak lambung di Amerika Serikat mencapai 1.84% dari total penduduk, sedangkan prevalensi tukak lambung di negara berkembang mencapai 10% (Chany dkk., 2009; Bansal dkk., 2009). Suyono (2001) menyatakan bahwa berdasarkan beberapa penelitian prevalensi tukak lambung di Indonesia berkisar antara 6-15% dengan penderita umumnya berusia 20 50 tahun. Pengembangan pengobatan yang tepat, efektif, dan rasional seperti pengembangan obat yang memiliki efek melindungi lambung dari bahan alam sangat diperlukan untuk menangani masalah tukak lambung. Salah satu

Upload: lyhuong

Post on 17-Sep-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ulcer pepticum atau tukak lambung adalah suatu lesi yang hilang

timbul karena adanya ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor

defensif (Suyono, 2001). Faktor agresif adalah faktor perusak, yaitu sekresi

asam lambung yang berlebihan. Contoh faktor defensif yang berperan adalah

aliran darah mukosa, difusi kembali ion H+ pada epitel dan sekresi mucus.

Kedua faktor tersebut dapat mengikis lapisan mukosa lambung dengan

meningkatkan produksi asam lambung hingga terbentuk luka pada lapisan

lambung (Soemanto dkk., 1993).

Tukak lambung merupakan salah satu penyakit yang banyak diderita

masyarakat saat ini, terutama masyarakat di negara berkembang seperti

Indonesia. Penyakit ini menjadi penyebab mortalitas utama di negara – negara

berkembang. Prevalensi tukak lambung di Amerika Serikat mencapai 1.84%

dari total penduduk, sedangkan prevalensi tukak lambung di negara

berkembang mencapai 10% (Chany dkk., 2009; Bansal dkk., 2009). Suyono

(2001) menyatakan bahwa berdasarkan beberapa penelitian prevalensi tukak

lambung di Indonesia berkisar antara 6-15% dengan penderita umumnya

berusia 20 – 50 tahun.

Pengembangan pengobatan yang tepat, efektif, dan rasional seperti

pengembangan obat yang memiliki efek melindungi lambung dari bahan alam

sangat diperlukan untuk menangani masalah tukak lambung. Salah satu

2

perusahaan farmasi yang berkontribusi dalam pengembangan obat herbal yang

berefek gastroprotektor adalah PT. Dexa Medica Indonesia. Produk obat

herbal gastroprotektor dari PT. Dexa adalah DLBS2411 yang berbahan dasar

ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmanii Ness). Menurut Arifin (2012),

DLBS2411 menunjukkan aktivitas antiulcer dengan cara berlaku sebagai

mucoprotector. DLBS2411 juga dapat menghambat aktivitas enzim

H+/K

+ ATPase di lambung, penghambatannya paling baik pada pH asam

(pH=2).

Penelitian uji toksisitas kronis dari sediaan DLBS2411 belum pernah

dilakukan. Dengan studi ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait

efek jangka panjang penggunaan sediaan terytama terhadap parameter

hematologi sehingga dapat ditentukan level dosis aman sesuai kriteria

keamanan suatu sediaan obat herbal terstandar yang telah ditetapkan oleh

BPOM Republik Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180

hari terhadap jumlah asupan makan, minum, gejala toksik klinik, dan

perkembangan bobot badan tikus?

2. Bagaimanakah pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180

hari terhadap parameter hematologi?

3

3. Bagaimana hubungan antara dosis pemberian DLBS2411 dengan wujud

efek toksik ditinjau dari parameter hematologi?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180

hari terhadap jumlah asupan makan, minum, gejala toksik klinik dan

perkembangan bobot badan tikus.

2. Mengetahui pengaruh pemberian DLBS2411 secara kronis selama 180

hari terhadap parameter hematologi.

3. Mengetahui hubungan antara dosis pemberian DLBS2411 dengan wujud

efek toksik ditinjau dari parameter hematologi.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi peneliti

a. Mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan.

b. Mengembangkan daya nalar, analisis, dan kompetensi dalam bidang

penelitian terutama bidang kefarmasian

2. Bagi Perguruan Tinggi

a. Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi Indonesia.

b. Menjalin kerjasama antara dosen pengajar dan mahasiswa dalam

bidang pengembangan keilmuan.

c. Mewujudkan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai High

World Class University dan Research Center.

4

3. Bagi Masyarakat

Mengetahui informasi keamanan penggunaan produk obat terutama

herbal berbasis bukti penelitian ilmiah.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum adalah kerusakan pada lapisan mukosa, sub

mukosa sampai lapisan otot saluran cerna yang disebabkan oleh aktifitas

pepsin dan asam lambung. Ulkus peptikum dapat mengenai esofagus

sampai usus halus, tetapi kebanyakan terjadi pada bulbus duodenum (90%)

dan kurvatura minor (Dodge, 1993; Djuwantoro, 1992). Bila terjadi di

antara kardia dan pilorus disebut ulkus lambung dan bila terjadi pada

daerah setelah pilorus disebut ulkus duodenum (Spiro, 1977).

Ulkus peptikum sangat jarang terjadi pada bayi dan anak dibanding

dewasa, namun insiden yang pasti belum diketahui (Herbst, 1996). Pada

kelompok anak, usia yang paling sering dikenai adalah 12-18 tahun; laki-

laki lebih banyak dibanding perempuan (Roy dkk., 1975; Sondheimer dan

Silverman, 1995).

Patogenesis ulkus peptikum beragam dan belum diketahui

seluruhnya (Djuwantoro, 1992; Sondheimer dan Silverman, 1995).

Umumnya terjadi akibat sekresi asam yang berlebihan dan gangguan

ketahanan / integritas mukosa, sehingga terjadi difusi balik ion H+ dari

lumen usus masuk ke dalam mukosa (Dodge, 1993; Djuwantoro, 1992;

Soemanto dkk., 1993). Mekanisme keseimbangan antara faktor agresif

5

(perusak) dan factor defensif (ketahanan mukosa) sangat penting untuk

mempertahankan fungsi dan integritas saluran cerna. Faktor agresif yang

utama adalah asam lambung dan pepsin. Faktor defensif yang berperan

adalah mucous barrier (mukus dan bikarbonat), mucosal resistance

barrier (resistensi mukosa), microcirculation (aliran darah mukosa) dan

prostaglandin (Soemanto dkk., 1993).

Klasifikasi ulkus peptikum yang sering digunakan dibuat oleh

Schuster dan Gross (1963) yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder

(Dodge, 1993). Diagnosis ulkus peptikum dapat ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan radiologis dan dipastikan dengan pemeriksaan

endoskopi (Dodge, 1993; Soemanto dkk, 1993; Hassal, 1996).

a. Ulkus Peptikum Primer

Ulkus peptikum primer adalah ulkus yang terjadinya terutama

dipengaruhi langsung oleh sekresi asam lambung dan pepsin yang

berlebihan (Dodge, 1993; Herbst, 1996). Ulkus peptikum primer dapat

bersifat akut dan kronis, dibedakan berdasarkan pemeriksaan histologi.

Ulkus peptikum primer akut menunjukkan gambaran proses erosi dengan

tepi tajam, tidak ada kongesti, hanya dijumpai tanda inflamasi minimal di

sekitar ulkus dan dalam penyembuhannya tidak disertai fibrosis. Pada

ulkus peptikum primer kronis ditemukan jaringan nekrotik dengan dasar

eksudat fibropurulen dan jaringan granulasi vaskular dengan pembentukan

fibrosis. Pada permukaan jaringan nekrotik tersebut sering ditemukan

Helicobacter pylori (Dodge, 1993). Pemberian susu atau antasida dengan

6

interval pendek dapat menghilangkan gejala ulkus duodenum bila

diminum secara teratur dalam waktu 1-2 bulan pengobatan, namun hal ini

selalu disertai dengan timbulnya efek samping (Dodge, 1993). Penggunaan

ARH-2 pada ulkus lambung dapat menghilangkan gejala dan mempercepat

penyembuhan ulkus. Pengobatan ulkus peptikum primer standar adalah

dengan menggunakan simetidin atau ranitidin (Dodge, 1993).

b. Ulkus Peptikum Sekunder

Ulkus peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan ketahanan

mukosa saluran cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami

penyakit/trauma berat (stress ulcer), luka bakar (Curling’s ulcer), penyakit

intrakranial (Rokitansky-Cushing’s ulcer), minum aspirin atau

kortikosteroid, dan penyakit hati kronis (Dodge, 1993; Spiro, 1977;

Herbst, 1996; Hassal, 1996). Pengobatan ulkus sekunder ditujukan pada

pengobatan penyakit dasar, disertai pemberian antasida dan antagonis

reseptor H-2. Pemberian antagonis reseptor H-2 sama dengan pengobatan

ulkus primer (Hassal, 1996). Pada kasus berat, mempertahankan pH

lambung > 3,5 sangat penting untuk pencegahan pembentukan ulkus

(Herbst, 1996).

2. Sampel Uji DLBS2411

DLBS2411 merupakan fraksi bioaktif dari kulit kayu (korteks)

Cinnamomum burmanii Ness. yang diproduksi oleh PT. Dexa Medica.

Produk tersebut dilaporkan memiliki efek antihiperglikemik dan protektor

7

lambung. DLBS sendiri merupakan singkatan dari Dexa Medica

Laboratories of Biomolecular Sciences.

DLBS2411 diperoleh dengan maserasi serbuk di dalam air panas

pada suhu 600C-90

0C selama 1-2 jam. Maserat dipisahkan dari misel dan

diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 500C-80

0C hingga

didapatkan konsentrat. Konsentrat lalu diekstraksi dengan ekstraksi cair-

cair menggunakan diklorometan dengan perbandingan 1:2 untuk

memisahkan dari komponen organik. Fase air diambil kemudian diuapkan

dengan rotary evaporator pada suhu 500C-120

0C hingga didapatkan

ekstrak kering ( Tjandrawinata dkk., 2013).

Berdasarkan certificate of analysis-nya, sediaan DLBS2411

berupa serbuk berwarna merah coklat, mengkilat, bau aromatik, dengan

rasa kelat dan agak pahit. Serbuk mudah larut dalam air panas dan etanol

96 %. Identifikasi dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) memberikan

bercak fluoresensi biru pada 366 nm dengan Rf 0,6. Selain itu,

memberikan bercak hijau dan kuning pada cahaya tampak setelah

dilakukan derivatisasi dengan Rf masing-masing 0,5 dan 0,7. Total

kandungan fenolik yang dilaporkan sebesar 27,82%.

3. Kayu Manis (Cinnamomum burmanii Ness)

a. Deskripsi tanaman

Cinnamomum burmanii disebut juga sebagai Padang cassia

yang berkerabat dengan kayu manis Srilangka (Cinnamomum

zeylanicum) dan spesies kayu manis yang lain seperti kayu manis

8

China. Tanaman ini asli Indonesia dan banyak ditemukan di daerah

Sumatera dan Jawa. Pohon bersifat tahunan, batang berkayu dan

bercabang, tegak, keras, berwarna hijau kecoklatan. Akar kayu manis

berupa akar tunggang. Daun berupa daun tunggal, tersebar dan tidak

berpenumpu, bentuk lancet atau oblong dengan pertulangan

melengkung, berwarna merah pucat-hijau. Daun dan kulit kayu

berbau aromatik khas. Bunga majemuk hijau putih, rangkaian berupa

malai dengan kelamin tunggal. Buah berupa buni, bulat memanjang,

dan berwarna hijau sampai hitam. Biji kecil berbentuk bulat telur

berwarna hijau-hitam (Syamsulhidayat dan Hutapea, 1991).

b. Taksonomi tanaman

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Magnoliidae

Ordo : Laurales

Famili : Lauraceae

Genus : Cinnamomum

Spesies : Cinnamomum burmanii Ness.

(Syamsulhidayat dan Hutapea, 1991)

9

c. Kandungan kimia kulit kayu

Kulit kayu Cinnamomum burmanii mengandung senyawa-senyawa

seperti kamfer, sineol, safrol, sinamaldehid, sitral, polifenol, dan

benzaldehid dimana kandungan sinamaldehid dan eugenol masing-masing

mencapai 55-65% dan 4-8% (Perry, 1980; Tjitrosoepomo, 1994). Selain

itu, kandungan kimia lain adalah asam oksalat, kumarin, saponin, dan

tanin ( Syamsulhidayat dan Hutapea, 1991; Wijayakusuma dkk., 1996).

Gambar 2 . Kulit kayu Cinnamomum burmanii Ness.

d. Aktivitas farmakologis

Dari berbagai penelitian ilmiah yang telah dilakukan, diketahui

bahwa ekstrak kayu manis memiliki beberapa aktivitas farmakologis.

Ekstrak air kayu manis memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri

patogen dalam makanan seperti E. coli, Salmonella anatum, S. aureus, dan

B. cereus. Aktivitas antibakteri tersebut disebabkan kandungan E-

sinamaldehid, proantosianidin, dan senyawa-senyawa fenolik (Shan,

2007). Ekstrak air kayu manis memberikan efek inhibisi terhadap virus

Epstein Barr dan karsinoma nasofaringeal sehingga berpotensi sebagai

antitumor (Matsumoto dkk., 1991). Ekstrak metanol dari kayu manis

10

memiliki aktivitas antitrombosis (Hwang dkk., 2001). Pengujian ekstrak

metanol dari kayu manis terhadap sel RAW 264.7 yang distimulasi

lipopolisakarida memberikan efek inhibisi pelepasan NO yang berpotensi

sebagai antioksidan (Choi dkk., 2005).

Gambar 1 . Tanaman kayu manis (Cinnamomum burmanii Ness.)

Ekstrak kayu manis juga dilaporkan memiliki aktivitas

antihiperglikemik yang bagus dimana dapat meningkatkan kontrol glukosa

darah terutama pada pasien DM tipe-2 (Khan dkk., 2003), memiliki

aktivitas meniru insulin/insulin-mimetic (Broadhurst dkk., 2000) dan

meningkatkan up-take glukosa dan sintesis glikogen (Jarvil-Taylor dkk.,

2001). Ekstrak larut air dari kayu manis memiliki aktivitas insulin-like

yang mampu menurunkan ekspresi pada IRβ protein dan IRmRNA yang

berefek pada mRNA GLUT-4 (Cao dkk., 2007). Ekstrak kayu manis

menurunkan ekspresi gen pengkode protein pada jalur signaling yang

meliputi GSK 3B, IGF-1R, IGF-2R, PIK-3RT, dan mengatur ekspresi

multigen di jaringan adiposit (Cao dkk., 2010). Kombinasi ekstrak kayu

manis dan daun bungur (Lagerstroemia speciosa) mampu meningkatkan

11

sensitivitas insulin terhadap reseptornya melalui aktivasi ekspresi gen

GLUT-4, PPAR-ɤ, dan protein lain sehingga kadar glukosa darah dapat

terkontrol (Tjandrawinata dkk., 2011).

Ekstrak dan/atau fraksi dari Cinnamomum burmanii juga

menunjukkan aktivitas antiulcer dengan cara berlaku sebagai

mucoprotector. Selain itu, ekstrak kayu manis juga dapat menghambat

aktivitas enzim H+/K

+ ATPase di lambung dengan cara mempengaruhi pH.

Ekstrak kayu manis juga memiliki karakteristik sebagai antioksidan yang

meningkat seiring dengan kenaikan dosis yang diberikan (Arifin, 2012).

e. Data toksisitas

Dari studi pustaka yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa

penggunaan ekstrak kayu manis secara akut dan subkronis belum

menunjukkan efek toksik. Menurut hasil penelitian Wagiyanti (2012),

pemberian kombinasi ekstrak kayu manis dengan daun bungur secara

subkronis dengan dosis 1,575 mg/kgBB; 3,15 mg/kgBB; dan 6,30

mg/kgBB tidak memperlihatkan gejala toksik klinis. Hasil histopatologi

dari paru, jantung, pankreas, dan limpa tidak menunjukkan adanya

ketoksikan pada organ-organ tersebut.

Toksisitas yang dihasilkan dari ekstrak kayu manis disebabkan

oleh kandungan kumarin yang tinggi yang mnegakibatkan pendarahan.

Namun demikian, pengujian terhadap efek toksik akibat pemberian ekstrak

kayu manis secara kronis belum pernah dilakukan.

12

4. Toksikologi

a. Definisi toksikologi.

Menurut Hodgson (2004), toksikologi adalah cabang ilmu

pengetahuan yang berkaitan dengan racun yaitu suatu zat yang

memberikan efek berbahaya bagi organisme apabila terpejani secara

sengaja atau tidak sengaja. Objek yang dipelajari dalam toksikologi adalah

antaraksi suatu senyawa kimia atau senyawa asing dengan suatu sistem

biologi atau makhluk hidup. Adapun pusat perhatiannya ada pada

pengaruh berbahaya racun atas kehidupan makhluk hidup (Donatus, 2001;

Lu dkk., 1995).

b. Asas umum toksikologi

Ada empat asas utama yang perlu dipahami dalam toksikologi

untuk evaluasi batas keamanan suatu zat bila mengenai atau digunakan

pada manusia serta cara penggunaannya agar tidak menimbulkan efek

toksik (Priyanto, 2009). Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan

dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik

atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2001).

Pemahaman tentang kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup

akan mempermudah dalam menghayati aneka ragam faktor yang dapat

mempengaruhi ketoksikan suatu senyawa. Pemahaman tentang mekanisme

aksi akan mempermudah dalam menghayati penyebab timbulnya efek

toksik. Pemahaman tentang wujud dan sifat efek toksik mempermudah

dalam menghayati respon tubuh terhadap ketoksikan suatu senyawa dan

13

tolok ukur kualitatifnya. Tolok ukur kuantitatif toksisitas suatu senyawa

dapat dengan mudah dihayati dengan memahami kekerabatan (hubungan

erat) antara kondisi pemejanan dan wujud efek toksik (Donatus, 2001).

1) Kondisi efek toksik.

Kondisi efek toksik suatu senyawa merupakan berbagai

keadaan atau faktor yang dapat mempengaruhi keaktifan absorbsi,

distribusi, dan eliminasi suatu senyawa di dalam tubuh yang akan

menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel

sasaran atau tempat kerjanya. Jumlah zat kimia ataupun metabolitnya

di sel sasaran akan mempengaruhi efek toksiknya (Priyanto, 2009).

Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat

kimia) dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2001).

Kondisi paparan zat kimia meliputi jenis, jalur, lama dan

kekerapan, saat dan takaran pemejanan. Ada dua jenis pemejanan yaitu

akut dan kronis. Jenis pemejanan ini berkaitan erat dengan lama dan

kekerapan pemejanan, yang merupakan batas kurun waktu pemejanan

terhadap makhluk hidup. Keduanya dapat mempengaruhi wujud dan

toksisitas racun (Donatus, 2001).

Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi

yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan

efektivitas antaraksi keduanya. Keadaan fisiologi meliputi berat badan,

umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran

darah, status gizi, kehamilan, dan jenis kelamin. Keadaan patologi

14

meliputi aneka ragam penyakit, pada organ tertentu. Keadaan patologi

ini merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam

pelaksanaan uji toksikologi, terutama berkaitan dengan pemilihan dan

penentuan subjek uji (Donatus, 2001).

2) Mekanisme efek toksik.

Mekanisme aksi toksik racun berguna untuk mengetahui

penyebab timbulnya keracunan berkaitan dengan wujud dan sifat efek

toksik yang terjadi. Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan

menjadi tiga, yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian, sifat

antaraksi racun dengan tempat aksinya, serta resiko penumpukan racun

di dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2001).

Menurut pertimbangan patologi, mekanisme aksi berdasarkan

sifat dan tempat kejadian dapat dibagi menjadi dua yaitu mekanisme

luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka sel

yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel,

sehingga mekanisme ini sering disebut mekanisme langsung atau

primer. Tempat aksinya meliputi membran sel (lipid, reseptor, protein),

inti sel (DNA), sitosol (enzim), mitokondria (produk energi), dan

retikulum endoplasmik (sintesis protein) (Donatus, 2001). Zat kimia

atau metabolitnya yang ada di sel sasaran dapat menyebabkan

gangguan sel atau organelnya melalui pendesakan, pengikatan,

substitusi atau peroksidasi. Gangguan tersebut akan direspon oleh sel

untuk mengurangi dampaknya dengan cara sel akan beradaptasi atau

15

melakukan perbaikan. Namun apabila reson tidak mampu

mengeleminir gangguan, maka akan timbul efek toksik yang pada

dasarnya berwujud sebagai perubahan atau kekacauan biokimia,

fungsional, atau struktural (Priyanto, 2009).

Mekanisme luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung, karena

racun beraksi di lingkungan luar sel. Mekanisme ini disebut juga

mekanisme tak langsung atau sekunder (Donatus, 2001).

Kelangsungan hidup suatu sel sangat tergantung pada lingkungannya

untuk mengetahui kebutuhan sel. Adanya zat di lingkungan sel dapat

mengganggu aktivitas sel, yang mungkin akan menimbulkan

perubahan struktur atau gangguan fungsi sel. Minimal dibutuhkan

oksigen, zat makanan dan cairan ekstrasel (elektrolit dan asam basa)

yang optimal untuk kelangsungan hidup sel (Priyanto, 2009).

3) Wujud efek toksik.

Wujud efek toksik suatu racun dapat berupa perubahan

biokimia, fisiologi (fungsional) dan struktural. Perubahan ini memiliki

sifat yang khas, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan (Donatus, 2001).

Respon perubahan biokimia merupakan perubahan atau kekacauan

biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat

aksi yang terbalikkan. Termasuk dalam wujud efek toksik ini antara

lain penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan

dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi (Priyanto, 2009).

16

Respon perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun

dengan reseptor atau tempat aktif enzim yang terbalikkan, sehingga

mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2001). Termasuk

dalam wujud efek toksik ini antara lain anoksia, gangguan pernapasan,

gangguan sistem saraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau

hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit,

perubahan kontraksi atau relaksasi otot, serta hiper atau hipotermi

(Priyanto, 2009).

Perubahan fungsional atau biokimia seringkali meruakan tahap

awal dari terjadinya perubahan struktural (Priyanto, 2009). Respon

perubahan ini meliputi degenerasi, proliferasi, dan inflamasi.

Termasuk perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel

(yang paling sering dijumpai adalah penumpukan air dan lemak), serta

nekrosis. Perubahan berupa proliferasi meliputi hierplasia,metaplasia,

dan displasia. Perubahan inflamasi meliputi inflamasi (peradangan)

dan perbaikan (Donatus, 2001).

4) Sifat efek toksik.

Sifat efek toksik suatu racun dapat dibedakan menjadi

terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Ciri dari

efek toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada

dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan

kembali kepada keadaan semula, efek toksik yang ditumbulkan akan

segera kembali kepada kondisi normal, toksisitas racun tergantung

17

pada takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi racun

(Priyanto, 2009).

Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu kerusakan yang

terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan

kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya

penumpukan efek toksik, dan efek yang ditimbulkan antara pemejanan

dengan takaran kecil jangka penjang seefektif pemaparan dosis besar

jangka pendek. Zat yang dapat menimbulkan efek toksik tak

terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sukar

dieliminasi (Priyanto, 2009).

c. Uji toksikologi

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan oleh konsumen harus

menjalani serangkaian uji untuk memastikan keamanan, efektivitas,

mauun mutunya. Uji diawali dari skrining guna mencari senyawa aktifnya,

lalu dilanjutkan uji efektivitas dan mekanisme kerjanya pada hewan coba

maupun mikroba. Setelah dinyatakan mempunyai aktivitas farmakologi

tertentu, zat yang dimaksud akan menjalani serangkaian tes keamanan

pada hewan coba (Priyanto, 2009).

Uji toksikologi merupakan salah satu bagian dari uji praklinik,

adapun uji ini dilakukan pada hewan uji seperti mencit, tikus, kelinci,

marmot, hamster atau anjing (Sukandar, 2004). Penelitian toksikologi

suatu obat yang dilakukan pada hewan uji merupakan sumber data utama

bagi evaluasi toksikologi. Hal ini dikarenakan suatu penelitian toksikologi

18

mengungkapkan serangkaian efek akibat pemejanan zat toksik pada

berbagai peringkat dosis dengan waktu pemberian bervariasi, serta

menunjukkan organ sasaran, sistem yang terpengaruh, atau toksisitas

khusus yang muncul (Lu, 1995).

Menurut Donatus (2001) uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua,

yakni uji toksisitas khas dan uji toksisitas tak khas. Uji toksisitas tak khas

adalah uji toksikologi yang dimaksudkan untuk mengevaluasi secara

keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam

jenis hewan uji.

Termasuk uji toksisitas tak khas ialah :

1) Uji toksisitas akut, yaitu uji ketoksikan yang dirancang untuk

mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih dapat

ditoleransi oleh hewan uji, yang hasilnya akan diekstrapolasi pada

manusia. Pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus

tertentu selama 7-14 hari.

2) Uji toksisitas subkronis atau disebut juga subakut, yaitu uji ketoksikan

suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji

tertentu. Umumnya dilakukan dengan menggunakan 3 dosis selama 4

minggu – 3 bulan dan menggunakan 2 spesies yang berbeda.

3) Uji toksisitas kronis, pada dasarnya serupa dengan uji ketoksikan

subkronis, menggunakan hewan rodent dan non rodent selama 6 bulan

atau lebih. Perbedaan hanya terletak pada lamanya pemberian atau

pemejanan takaran dosis senyawa uji, masa pengamatan dan

19

pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji ini diperlukan jika obat nantinya

akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang (Priyanto, 2009).

Menurut Donatus (2001), uji toksisitas khas adalah uji toksikologi

yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas sesuatu

senyawa atas fungsi organ atau kelenjar tertentu pada aneka ragam hewan

uji. Termasuk uji toksisitas khas adalah : uji potensiasi, kekarsinogenikan,

kemutagenikan, reproduksi (uji kesuburan, uji keteratogenikan, uji

pranatal, dan pascanatal), uji kulit dan mata, dan uji perilaku.

5. Uji Toksisitas Kronis

Uji toksisitas kronis merupakan uji toksisitas yang diberikan dengan

dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari 12 bulan. Pada

dasarnya, uji ini serupa dengan uji toksisitas subkronis, menggunakan hewan

rodent dan non rodent selama 6 bulan atau lebih. Perbedaan hanya terletak

pada lamanya pemberian atau pemejanan takaran dosis senyawa uji, masa

pengamatan dan pemeriksaannya, serta tujuannya. Uji ini diperlukan jika obat

nantinya akan digunakan dalam waktu yang cukup panjang (Priyanto, 2009).

Masa uji tergantung pada lama masa hidup dari hewan uji terkait yaitu 10%

dari masa hidupnya.

6. Parameter Uji Toksikologi

a. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis harus dilakukan minimal 1 kali sehari.

Observasi yang harus dilakukan termasuk pengamatan terhadap

peerubahan pada kulit dan bulu, mata dan membran mukosa, pernapasan,

20

peredaran darah, system saraf autonomi dan pusat, aktivitas

somatomotorik, dan pola perilaku. Perhatian khusus perlu diberikan untuk

mengamati tremor, kejang, air liur, diare, letargi, tidur, dan koma. Waktu

kematian harus dicatat secepat mungkin. Berat badan setiap hewan harus

diukur sebelum pemberian substansi tes, setiap minggu setelah

pemberian, dan ketika mati. Perubahan berat badan harus dikalkulasi dan

dicatat ketika hewan mampu bertahan hidup lebih dari satu hari. Pada

akhir percobaan semua hewan yang bertahan hidup harus ditimbang

kemudian dikorbankan (Derelanko, 2002).

b. Pemeriksaan Kimia Klinis

Tes umum untuk pemeriksaan kimia klinis adalah keseimbangan

elektrolit, metabolisme karbohidrat, fungsi hati dan ginjal. Penentuan lain

yang berguna untuk evaluasi toksik adalah analisis dari lipid, hormon,

keseimbangan asam/basa, metahemoglobin, dan aktivitas kolinesterase.

Volume serum atau plasma dari darah yang dibutuhkan adalah 400-500

µL serum/plasma atau 1-12 mL whole blood (Derelanko, 2002).

c. Pemeriksaan Urinalisis

Urinalisis merupakan bagian dari database laboratorium minimal

untuk pasien secara klinis sakit. Ini memberikan evaluasi khusus terhadap

saluran urogenital serta informasi mengenai kondisi umum yang lebih

jelas. Sebagai pemeriksaan umum, bagaimanapun, urinalisis digunakan

tidak banyak dalam studi toksikologi. Untuk sebagian besar faktor, hal ini

disebabkan oleh kesulitan teknis yang terkait dengan mengumpulkan

21

sejumlah besar spesimen urin dari hewan laboratorium kecil. Metode

pengambilan dan pengumpulan urin sangat mempengaruhi nilai dan

interpretasi data yang diperoleh.Metode yang biasa digunakan untuk

mengumpulkan urin adalah menggunakan kandang yang sudah didesain

sedemikian rupa sehingga urin dan feses tikus uji tidak bercampur

menjadi satu. Pakan dan minum tikus juga ditempatkan sehingga tidak

mengkontaminasi urin (Gad, 2007)

d. Pemeriksaan Histopatologi Organ

Histopatologi adalah cabang dari patologi, yaitu ilmu yang

dipusatkan untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil

pemeriksaan jaringan. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan

makroskopik jaringan disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan

mikroskopik. Mayoritas diagnosis histopatologi dilakukan dari potongan

jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (Underwood,

2000).

e. Pemeriksaan Hematologi

Hematologi merupakan cabang keilmuan yang mengkaji

komponen seluler darah dan kelainan fungsional yang terjadi pada sel-sel

tersebut. Pemeriksaan hematologi menghasilkan suatu gambaran fungsi

organ dan status fisiologinya. Hasilnya berguna dalam penegakan

diagnosis kelainan maupun kerusakan pada fungsi jaringan atau organ.

Adanya kerusakan jaringan atau organ akibat pemejanan suatu zat kimia

akan mempengaruhi komponen darah (Ganong, 1999).

22

Volume darah pada mamalia relatif konstan dan umumnya

merepresentasikan 5-9% dari berat badan dan berbeda antarspesies. Pada

saat nekropsi hewan percobaan sekitar 50% dari total darah hewan uji

dapat diambil dengan menggunakan teknik tertentu seperti pengambilan

lewat sinus orbitalis, cardiac puncture, vena jugularis, aorta maupun tail

venipuncture (Derelanko, 2002).

7. Metode Ketoksikan OECD 452

OECD Test Guidelines adalah metode uji yang disetujui secara

internasional dan digunakan oleh pemerintah, industry dan laboraorium

independen. Metode ini digunakan untuk menentukan keamanan dari bahan

kimia dan preparasinya, termasuk pestisida dan bahan kimia industry. OECD

452 adalah metode uji untuk uji toksikologi kronis. Metode ini dikembangkan

bersama dengan OECD 451 untuk studi karsinogenisitas dan OECD 453 untuk

studi kombinasi toksisitas kronik dan karsinogenisitas, dengan tujuan untuk

mendapatkan informasi lebih mengenai penggunaan hewan uji dan pemilihan

dosis (Anonim, 2014)

F. LANDASAN TEORI

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemberian berulang

kombinasi ekstrak daun bungur dan batang kayu manis dengan dosis 1,575

mg/kgBB; 3,15 mg/kgBB; dan 6,3 mg/kgBB pada tikus jantan dan betina

galur Wistar selama 90 hari (ditambah 14 hari untuk reversibilitas) tidak

menunjukkan adanya gejala toksik klinis; tidak menimbulkan perubahan

struktural pada ginjal secara makroskopi; tidak berpengaruh pada kadar

23

natrium, kalium, dan kreatinin; berpengaruh terhadap kenaikan kadar urea

darah secara irreversibel; dan tidak mempengaruhi warna dan pH serta tidak

menimbulkan endapan, bercak darah, glukosa, maupun bilirubin pada urin

(Intansari, 2013). Kombinasi ekstrak tersebut juga tidak mempengaruhi

asupan makanan hewan uji serta tidak menimbulkan efek toksik pada organ

paru, jantung, pankreas dan limpa hewan uji (Wagiyanti, 2013).

Salah satu kandungan kayu manis yang toksik adalah kumarin.

Kumarin bersifat toksik terhadap ginjal dan hati, dengan LD50 275 mg/kg.

Senyawa ini berbahaya bagi manusia, bersifat hepatotoksik terhadap tikus tapi

kurang toksik terhadap mencit (Vassalo, 2004). Penelitian toksisitas kronis

dan subkronis untuk kumarin sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dalam uji

toksisitasnya, kumarin diberikan dalam pakan hewan uji, dan no-effect level

untuk efek hepatotoksiknya bervariasi dari dosis 50 hingga 130 mg

kumarin/kgBB perhari untuk tikus, sedangkan untuk mencit lebih tinggi

(EFSA, 2008).

Penelitian untuk menentukan toksisitas dari kayu manis sudah pernah

dilakukan sebelumnya. Menurut Sugiarto (2013) pemberian kayu manis dalam

bentuk minyak dengan peringkat dosis 0,01 mL; 0,02 mL; dan 0,04 mL

selama 4 minggu tidak menimbulkan efek toksik terhadap hematologi

(eritrosit, leukosit, keping darah dan hematokrit) tikus jantan galur Wistar,

serta semakin besar dosis efek toksisitas subkronik yang ditimbulkan tidak

semakin besar.

24

G. HIPOTESIS

Pemberian berulang DLBS2411 secara oral selama 180 hari dengan

peringkat dosis 40 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 1000 mg/kgBB tidak

menimbulkan efek toksik terhadap parameter hematologi tikus putih galur

Wistar.