bab i pendahuluan a. latar belakang...

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan majalah hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari segi isi dan pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih „berani‟ dalam mengomentari kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di masyarakat. Guy Cook menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks diproduksi. Wacana disini kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam pembentukan wacana. Hal ini dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu wacana yang berkembang mengenai lembaga pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren. Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat menempatkan peranan sangat penting. Pembentukan wacana di masyarakat tidak hanya

Upload: truongxuyen

Post on 04-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak masa reformasi media massa di Indonesia mengalami

perkembangan pesat. Mulai dari media cetak seperti surat kabar dan majalah

hingga munculnya saluran-saluran baru radio dan televisi. Dari segi isi dan

pemberitaan, media juga dapat dikatakan lebih „berani‟ dalam mengomentari

kebijakan pemerintah atau memberitakan realita di masyarakat.

Guy Cook menyebut tiga hal sentral dalam pengertian wacana, yaitu

teks, konteks dan wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna

tersebut, “Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang

tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,

musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua

situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa,

seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks diproduksi. Wacana disini

kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.” Dari penjelasan

di atas, dapat dipahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam

pembentukan wacana. Hal ini dapat dilihat misalnya pada wacana mengenai

pendidikan di Indonesia, salah satunya yaitu wacana yang berkembang

mengenai lembaga pendidikan agama, dalam hal ini yaitu pondok pesantren.

Dalam pembentukan suatu wacana, media massa dapat menempatkan

peranan sangat penting. Pembentukan wacana di masyarakat tidak hanya

2

melalui media massa seperti televisi atau surat kabar saja. Novel dianggap

sebagai salah satu media massa yang dapat mewacanakan sesuatu atas

interpretasi penulis dalam melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam

sebuah novel, cerita yang disampaikan mengandung suatu pesan yang

diharapkan dapat menjadi acuan atau pengetahuan baru bagi masyarakat.

Novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang mengangkat tentang

pendidikan Islam. Novel ini berbeda dengan novel Islam lainnnya yang

mengangkat Islam dari segi percintaan. Novel ini juga menjadi salah satu

novel best seller nasional dan akan difilmkan karena adanya kata hikmah yang

ditampilkan dalam novel tersebut.

Novel dengan cerita latar belakang pendidikan pesantren memang

tidak cukup banyak. Tema-tema yang diangkat juga tidak jauh dengan model

pemberitaan yang dapat kita lihat di televisi atau kita baca di surat kabar saat

ini. Sebut saja misalnya Pesantren Impian karya Asma Nadia, menceritakan

mengenai pesantren di ujung propinsi Nangroe Aceh Darussalam tempat

mantan kriminal, anak-anak korban kekerasan rumah tangga atau korban

pelecehan seksual yang ingin bertaubat, merupakan penggambaran pesantren

sebagai sebuah tempat rehabilitasi. Novel yang diangkat ke layar lebar berjudul

Perempuan Berkalung Sorban, sebuah novel karya Abidah El Khalieqy

mengangkat cerita santri yang memberontak dengan aturan pesantren yang

menurutnya kaku dan mendeskreditkan dirinya sebagai perempuan, merupakan

penggambaran pesantren sebagai lembaga pendidikan yang tidak cukup

3

mumpuni dalam menyikapi kehidupan yang lebih modern, bahkan dapat

dikatakan tidak mampu bersaing dengan lembaga pendidikan non agama.

Hal berbeda mengenai dunia pesantren ditampilkan Ahmad Fuadi,

penulis trilogi novel Negeri 5 Menara. Novel yang terinspirasi oleh kisah yang

dialami penulis selama mengenyam pendidikan pesantren di Pondok Modern

Gontor ini, membawa wacana baru mengenai dunia pesantren. Wacana dan

realita yang berbeda dengan pemberitaan mengenai pesantren di media massa

maupun novel bergenre pesantren sebelumnya.

Suksesnya Negeri 5 Menara sebagai salah satu novel yang bertemakan

pendidikan ini mengangkat tentang kehidupan di sebuah pesantren modern

dengan pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang

berbeda dari pesantren-pesantren lain di Indonesia. Salah satu metode

pengajaran yang digambarkan Fuadi adalah bagaimana para santri dapat

berkomunikasi secara fasih dengan dua bahasa asing selama 24 jam dalam

waktu 4 bulan saja. Metode pendidikan yang dalam pesantren tidak hanya

berkutat masalah agama, tetapi ada kesinambungan antara ilmu agama dan

ilmu umum. Selain itu juga, pesantren merupakan tempat para santri berkreasi

mengembangkan bakatnya, mulai dari seni, musik, fotografi, dan olahraga.

Novel Negeri 5 Menara selain berisi banyak kalimat-kalimat

pembangkit semangat dari para Kiai dan Ustadz, buku ini juga menceritakan

bagaimana kehidupan di sebuah „kamp konsentrasi‟ berlabelkan pondok yang

sangat menarik. Selama ini kita mungkin diliputi dengan stereotipe bahwa jika

4

seseorang belajar ke pondok, maka orang itu hanya akan belajar agama,

mengaji, ceramah dan dituntun untuk menjadi seorang Ustadz.

Seiring dengan kuatnya arus modernisasi dan liberalisasi, secara

perlahan tapi pasti model pendidikan ala pondok pesantren mulai kurang

diminati oleh generasi muda sekarang. Hal ini tercermin dari semakin

berkurangnya jumlah santri di sebagian besar pondok pesantren di nusantara.

Masyarakat semakin bersifat hedonis dan pragmatis sebagai dampak

modernisasi dan globalisasi sehingga biasanya masyarakat cenderung lebih

memilih model pendidikan yang lulusannya siap bekerja di dunia industri,

perkantoran atau menjadi Pegawai Negeri Sipil. Sementara itu pondok

pesantren selama ini memang dikhususkan untuk mencetak ulama guna

mengembangkan agama saja. Dengan demikain pesanteran kurang mampu

memenuhi tuntutan pasaran kerja masyarakat modern yang berdasarkan

keterampilan atau skill, ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi modern.

Ahmad Fuadi dalam novelnya menceritakan pesantren sebagai sebuah

lembaga pendidikan yang tidak kalah dengan lembaga pendidikan non agama

baik negeri maupun swasta. Pesantren tidak hanya tempat buangan anak-

anak nakal atau korban kekerasan dalam rumah tangga atau anak-anak yang

nilainya tidak cukup untuk masuk ke lembaga pendidikan negeri atau tidak

memiliki cukup dana untuk masuk ke lembaga pendidikan swasta. Fuadi

menggambarkan bahwa pesantren seharusnya menjadi tempat untuk

mendidik bibit-bibit unggul calon-calon da‟i dan menjadi tempat untuk

mendalami pendidikan agama.

5

Cerita dalam novel ini berangkat dari seorang remaja bernama Alif

Fikri berasal dari Maninjau, Sumatera Barat yang baru saja lulus Madrasah

dan bercita-cita untuk masuk SMA bersama dengan sahabatnya, Randai.

Namun keinginannya bertolak dengan putusan orang tuanya yang

menginginkan ia untuk masuk kembali ke Madrasah, tujuannya mulia, agar

anaknya menimba ilmu agama agar dapat turut membangun bangsa ini agar

tercipta bangsa yang tidak hanya berilmu, namun juga beragama.

Alif yang begitu bertekad untuk masuk SMA dan bertolak ke

perguruan tinggi nantinya kecewa. Hasil diskusi alot dengan orangtuanya

menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidupnya, ia memutuskan untuk

„menghukum‟ orang tuanya untuk sekalian saja masuk ke sebuah Pondok

(atau pesantren) di daerah Jawa Timur, Pondok Madani (yang dicatatan

penulis, bernama asli Pondok Modern Gontor).

Alif bertemu dengan banyak teman baru di Pondok Madani, ada Baso,

anak pintar yang giat menghafidz Al-Quran, Raja dengan kemampuan

bahasanya yang luar biasa, Dulmadjid dan Atang yang rajin, serta Said si

penyuka olahraga. Mereka berenam, bersama-sama menjalani suka-duka

selama mengikuti pendidikan di Pondok Madani, dari dihukum jewer kolektif

oleh keamanan, berlibur sejenak tiap jumat ke Ponorogo, sampai bersaing

dalam menarik perhatian lawan jenisnya yang memang jarang muncul di

pondok.

Di pesantren atau pondok tersebut Alif menemukan metode

pembelajaran yang baru berbeda dengan madrasyah yang ia tempati dulu. Di

6

tempat ini selain mengajarkan tentang agama, juga mengajarkan tentang

bagaimana menghadapi dunia luar. Hal ini ditunjang dengan berbagai macam

fasilitas-fasilitas pendidikan yang masih kurang ditemukan di sekolah-

sekolah lain.

Novel Negeri 5 Menara ini menceritakan tentang pengalaman dan

perjuangan hidup Alif Fikri dalam menempuh pendidikannya di Pondok

Madani yang jauh dari sanak saudaranya dengan paksaan orang tuanya yang

pada akhirnya menjadi sebuah anugerah, novel ini dituangkan dengan bahasa

ringan sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Novel ini juga membahas

betapa dahsyatnya kalimat “Man jadda wajada” sehingga mampu

memberikan sebuah inspirasi bagi pembaca untuk lebih bersungguh-sungguh

dalam melakukan kegiatan apapun.

Novel ini pun mendapat sambutan yang cukup luas dari khalayak

masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya apresiasi dan testimoni

yang diberikan oleh tokoh-tokoh pakar pendidikan maupun public figure

lainnya, salah satu tokoh masyarakat yang memberikan testimoni terhadap

novel ini adalah bapak mantan presiden RI yang ketiga, Bj Habibie. Beliau

mengatakan, “Novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa ini penuh

motivasi, bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak mudah

menyerah, merupakan pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya

seni, tetapi juga tentang proses pendidikan dan pembudayaann untuk

terciptanya sumber daya insani yang handal. Andaikan banyak bangsa yang

mempunyai banyak kesempatan dan pengalaman seperti mereka, akan

7

beruntunglah bangsa Indonesia dalam mewujudkan masa depannya yang

maju dan sejahtera, yang disegani dan sejajar dengan bangsa-bangs lain.”

(Fauadi, 2010:407)

Dalam kurun waktu tiga bulan sejak cetakan pertama, novel ini

kemudian menjadi Best Seller dan sudah mencapai cetakan kesembilan dalam

kurun waktu satu tahun. Negeri 5 Menara dan A. Fuadi menerima

penghargaan sebagai Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit 2010 dari Anugerah

Pembaca Indonesia pada bulan Desember 2010. Penghargaan ini berdasarkan

pilihan dari 7.629 pembaca yang mengikuti polling di internet. Sebuah

prestasi tersendiri untuk novel bertema pendidikan pesantren dengan tokoh

utama para santri.

Hal-hal seperti ini tidak biasanya dipublikasikan secara luas dalam

media. Oleh karena itu, masalah ini menjadi menarik untuk diteliti. Apakah

tata bahasa yang dipergunakan dalam novel Negeri 5 Menara dapat

mengkonstruksi bagaimana pola pendidikan dan komunikasi pengajaran di

lingkungan pesantren. Ketertarikan terhadap masalah-masalah sosial dari

aspek kehidupan yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan khususnya nilai

pendidikan dan agama,serta ketertarikan terhadap wacana-wacana yang hadir

dalam novel Negeri 5 Menara karya A.Fuadi inilah yang menjadi dasar

penulis ingin melakukan penelitian mengenai konstruksi dunia pendidikan

pesantren dalam novel Negeri 5 Menara.

Konstruksi dunia pendidikan pesantren ini dianalisis dengan teori

analisis wacana Sara Mills karena teori ini memusatkan perhatian bagaimana

8

posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Selain itu Sara Mills juga

memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan

dalam teks.

Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan di atas, penulis memilih untuk

mengkaji novel Negeri 5 Menara ke dalam bentuk skripsi dengan judul :

Konstruksi Dunia Pendidikan Pesantren dalam Novel Negeri 5 Menara

(Analisis Wacana)

B. Rumusan Masalah

Dari pembahasan latarbelakang di atas maka penulis dalam penelitian ini

menetapkan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam novel Negeri

5 Menara karya A. Fuadi?

2. Apa pesan-pesan tentang nilai-nilai pendidikan yang disampaikan oleh

penulis dalam Novel Negeri 5 Menara?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

1) Untuk mengetahui konstruksi dunia pendidikan pesantren dalam

novel Negeri 5 Menara.

2) Untuk mengetahui pesan tentang nilai-nilai pendidikan yang

disampaikan oleh penulis yang di tampilkan dalam Novel Negeri 5

Menara

9

2. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi

terhadap perkembangan teori komunikasi dalam kaitannya dengan

studi mengenai analisis wacana kritis teks. Selain itu penelitian ini

diharapkan menjadi acuan untuk menengetahui kepentingan dan

kekuasaan teks-teks yang bertemakan pendidikan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar

lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media

D. Kerangka Konseptual

1. Novel sebagai Media

Novel adalah sebuah teks naratif . novel menceritakan kisah yang

merepresentasi suatu situasi yang dianggap mencerminkan kehidupan nyata

atau untuk merangsang imajinasi. Sering dalam proses pengisahannya novel

merujuk secara langsung atau tidak langsung ke teks-teks lain. Di dalam teori

semiotika mutakhir, aspek penarasian seperti ini dinyatakan sebagai

intekstualitas. Interteks adalah teks narasi lain yang dimainkan oleh novel

melalui pengutipan atau implikasi. Sebuah novel juga bisa memiliki subteks,

yaitu kisah yang secara implisit terkandung di dalamnya yang mendorong

sebuah narasi di permukaan (Danesi, 2010:75).

Novel dalam proses komunikasi secara sederhana dapat dipahami

sebagaimana dikemukakan oleh Harols Laswell (Effendy, 2003:253), who

says what which channel to whom with what effect? Teori ini menunjukan A.

Fuadi hadir sebagai komunikator (who says), kisah siswa-siswa dalam sebuah

10

pesanter di maknai sebagai pesan (what say), tulisan A. Fuadi berupa novel

yang berfungsi sebagai saluran (in channel), sementara komunikan adalah

masyarakat luas dan aktivis pendidikan, dan efeknya dapat berupa perilaku

sikap dan perilaku dalam hubungan dengan elemen pendidikan.

2. Bahasa ,Teks, Konteks dan Makna

a. Bahasa

Bahasa, bagi linguistik, yaitu sistem tanda bunyi yang disepakati

untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam

bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kushartanti,

2009:3).

Bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia

sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam

melakukan sosialisasi atau interaksi sosial.

Menurut Ferdinand de Saussure (Littlejohn, 2009: 155-156), bahasa

yang berbeda menggunakan kata-kata yang berbeda untuk hal yang sama

dan biasanya ada hubungan secara fisik antara sebuah kata dan acuannya.

b. Teks

Teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik

lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada

penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Menurut Guy Cook

(Eriyanto,2009:9), teks merupakan semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-

kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi

komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.

11

c. Konteks

Konteks menurut Guy Cook (Eriyanto,2009:9) merupakan semua

situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian

bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut

diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan lain sebagainya.

Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh pada

produksi wacana. Pertama, partisiapan wacana, latar siapa yang

memproduksi wacana. Jenis kelamin umur,pendidikan, kelas sosial,etnis,

agama, dalam banyak hal yang sangat relevan dalam menggambarkan suatu

wacana. Kedua, settingan sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi

pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang

berguna untuk menerti suatu suatu wacana. Situasi sosial dan aturan yang

melingkupinya berbeda menyebabkan partisipan komunikasi harus

menyesuaikan diri dengan konteks yang ada.

d. Makna

Makna pada umumnya dibedakan atas makna yang bersifat denotatif

dan bersifat konotatif. Makna kata yang tidak mengandung makna atau

perasaan-perasaan tambahan disebut makna denotatif , sedangkan makna

kata yang menagndung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa

tertentu di samping makna dasar yang umum disebut makna konotatif atau

konotasi (Keraf, 2010: 27-31)

Makna merupakan kesatuan mental penegtahuan dan pengalaman

yang terkait dengan lambang bahasa yang mewakilinya. Analisis makna

12

dapat dilakukan melalui prototipe yang artinya representasi mental yang

mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Pembentukan prototipe

dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat

bahasa (Kushartanti, 2009: 121 – 122).

Makna menurut Devito berasal dari dalam diri manusia,makna tidak

terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Ia mengatakan, “Kita

menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita

komunikasikan. Tetapi kata-kata tidak secara sempurna dan lengkap

menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang

didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna

yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita pakai

untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak kita.

Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah” (dalam

Sobur, 2009: 20).

3. Konstruksi atas Realitas Sosial

Realitas sosial adalan hasil ciptaan kreatif melalui kekuatan konstruksi

sosial terhadap dunia sosial di sekelilingya. Dunia sosial yang dimaksud

oleh George Simmel (Veeger dalam Bungin,2008:12),bahwa realitas dunia

sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa

realitas itu “ada” dalam diri kita dan hukum yang menguasai.

Hugh Mehan dan Houtson Wood dalam buku “The Production Of

Reality” (O‟Brien, 2001: 356), melihat realitas mempunyai ciri-ciri yaitu

realitas sebagai kegiatan refleksif, realitas sebagai tubuh pengetahuan yang

13

koheren, realitas sebagai kegiatan interaksional, kerapuhan pada realitas,

penyerapan atas realitas.

Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas

memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan

secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara

obyektif.

Individu mengkonstruksikan realitas sosial, dan merekonstuksikannya

ke dalam dunia realitas, memantapkan realitas berdasarkan subjektivitas

individu lain dalam institusi sosialnya.

Istilah Konstruksi sosial atas realitas (social constructionof reality)

diperkenalkan oleh Peter L.Belger dan Thomas Luckmann. Mereka

menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksi, yang mana

individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan

dialami bersama secara subjektif.

Belger dan Luckmann (1990) mulai menjelaskan realitas sosial

dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas

diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang

diakui sebagai keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak

kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa

realitas-realitas nyata (real) dan memiliki karateristik spesifik.

Menurut Berger dan Luckman (1990) Realitas sosial dikonstruksi

melalui tiga proses: (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia

14

sosiokultural sebagi produk manusia, (2) objektivitas yaitu interaksi sosial

yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan,dan (3)

internalisasi yaitu proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya

dalam lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat indivudu

menjadi anggotanya.

Eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan

pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah

akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat).3

Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama

individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas

dengan sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari (Berger, 1990: 34).

Obyektivasi yaitu manusia memanifestasikan diri dalam produk-

produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya

maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama (Berger,1990:

49). Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di

dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh

eksternalisasi yang dilakukan berulang-ulang –sehingga terlihat polanya dan

dipahami bersama- yang kemudian menghasilkan pembiasaan

(habitualisasi). Dengan habitualisasi tindakan yang sering diulangi menjadi

suatu pola yang mana pola tersebut dapat dilakukan kembali di masa akan

datang dengan cara yang sama. Habitualisasi yang telah berlangsung

memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan tradisi terjadi

apabila beberapa individu mengalami suatu biografi bersama, di mana

15

pengalaman-pengalamannya yang lalu menjadi bagian dari cadangan

pengetahuan bersama dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi

berikutnya. Disinilah terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan,

termasuk dalam kaitannya dengan pentradisian pengalaman dan pewarisan

pengalaman tersebut. Jadi, peranan mempresentasikan tatanan kelembagaan

atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan adalah representasi diri sendiri.

Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan rangkaian perilaku yeng

melembaga, misalnya peranan hakim dengan peran-peran lainnya di sektor

hukum.

Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan

legitimasi. Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan

merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif. Legitimasi

bukan hanya menganyangkut masalah nilai-nilai tetapi juga menjelaskan

atau mengimplikasikan suatu “pengetahuan”. Legitimasi berfungsi untuk

membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara

subyektif.

Berger dan Luckmann (1990: 186) mengemukakan internalisasi

adalah pemahaman atau penafsiran yang berlangsung dari suatu peristiwa

obyektif sebagai pengungkapan suatu makna, dimana sebagai suatu

manifestasi dari proses-proses subyektif dari orang lain yang demikian

menjadi bermakna secara subyektif bagi individu sendiri. Internalisasi

berlangsung seumur hidup melibatkan sosialisasi, baik primer maupun

sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama yang dialami

16

individu dalam masa kanak-kanak, yang dengan itu ia menjadi anggota

masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder yaitu setiap proses berikutnya

yang mengimbas individu yang sudah disosialisasikan itu ke dalam sektor-

sektor baru dunia obyektif masyarakatnya (Berger, 1990: 187). Dalam

proses mengkonstruksi, individu berperan aktif sebagai pembentuk,

pemelihara, sekaligus perubah masyarakat.

Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengonstruksi realitas

dengan bahasa sebagai perangkatnya, maka seluruh isi media merupakan

realitas yang dikonstruksikan. Sedangkan bahasa bukan saja alat untuk

merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa

yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Bahasa bukan

cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas.

Oleh karena itu, media massa melakukan berbagai tindakan dalam

konstruksi realitas dimana hasil akhirnya berpengaruh terhadap

pembentukan makan suatu realitas. Media massa tidak hanya dianggap

sebagai penghubung antara pengirim pesan kepada penerima pesan. Intinya

terletak pada bagaimana pesan/teks berinteraksi dengan orang untuk

memproduksi makna. (Fiske, dalam Sobur 2009: 93).

4. Pendekatan Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana adalah studi tentang stuktur pesan dalam komunikasi

atau telaah mengenai fungsi (prakmatik) bahasa. Analisis wacana lahir dari

kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas

17

pada penggunaan kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan

yang lebih kompleks yang disebut wacana (Littlejohn, dalam Sobur, 2009:

48).

Dalam analisis wacana kritis, konteks sangat berperan dalam wacana

seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang

diproduksi, dimnegerti dan dianalisis pada sustu konteks tertentu. Mengikuti

Guy Cook (Eriyanto, 2009:9) analisis wacana memeriksa konteks dari

komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa;

dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana

perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; hubungan untuk setiap

masing-masing pihak. Guy Cook juga menyebutkan tiga hal yang menjadi

sentral dalam pengertian wacana : teks, konteks dan wacana. Titik perhatian

dari analisis wacana adalah bagaimana penggambaran teks dan konteks secara

bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Adapun analisis wacana kritis yang dijadikan perangkat analisis

adalah analisis wacana Sara Mills. Analisis wacana Sara Mills melihat

bagaimana posisi aktor ditempatkan dalam teks. Posisi –posisi ini dalam arati

siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek

penceritaan akan menentukan bagaimana stuktur teks dan bagaimana makna

diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu Sarah Mills juga

memusatkan perhatiannya pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan

dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasikan dan menempatkan

dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan menempatkan

18

pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu hendak

dipahami dan bagaimana pula aktor sosial itu ditempatkan

(Eriyanto,2009:200)

Berikut ini tabel kerangaka analisis wacana Sarah Mills :

Tingkat Yang Ingin dilihat

Posis Subjek-Objek Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa

peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan

sebagai pencerita (subjek) dan siapa yang

menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-

masing aktor dan kelompok sosial mempunyai

kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri,

gagasan ataukah kehadirannya, gagasan yang

ditampilkan oleh kelompok/orang lain.

Posisi Penulis-Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam

teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya

dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok

manakah pembaca mengidentifikasi dirinya.

Sumber : Eriyanto, Analisis Wacana 2009

Dari tabel di atas Sara Mills lebih menekankan pada posisi dari

berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang ditempatkan dalam

teks. Posisi-posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir

di tengah khalayak. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi

19

Novel Negeri 5 Menara Konstruksi pendidikan

dan pengajaran di

pesantren dalam Novel

Negeri 5 Menara

Analisis Wacana Sara

Mills

Posisi Subjek-Objek

Posisi Penulis-

Pembaca

Konstruksi Dunia

Pendidikan pesantren di

Indonesia

cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang mendefinisikan

peristiwa atau kelompok tertentu Posisi itulah yang menentukan semua

bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk

mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa aatau kelompok lain ke

dalam struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak

(Eriyanto,2009:201).

Menurut Sarah Mills (Eriyanto,2009:203) teks adalah suatu negoisasi

antara penulis dan pembaca. Oleh karena itu, pembaca disini tidaklah

dianggap hanya sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut

melakukan transaksi sebagaiman akan terlihat dalam teks. Dalam

mempelajari konteks tidak cukup hanya konteks dari sisi penulis saja tetapi

perlu juga mempelajari konteks dari sisi pembaca.

Dari paparan tersebut, maka kerangka konsep dari penelitian ini

adalah :

20

E. Definisi Operasional

1. Konstruksi adalah menghadirkan bentukan realitas pendidikan pesantren

yang ditampilkan dalam novel Negeri 5 Menara

2. Pendidikan Pesantren

Pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan

belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal

dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam

komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal.

3. Novel Negeri 5 Menara

Negeri 5 Menara karangan A.Fuadi salah satu novel yang bertemakan

pendidikan ini mengangkat tentang kehidupan di sebuah pesantren modern

dengan pola pendidikan dan komunikasi pengajaran ala pesantren yang

berbeda dari pesantren-pesantren lain di Indonesia.

4. Analisis Wacana

Analisis wacana adalah metode penelitian yang memfokuskan pada

pengkajian struktur pesan dan makna dalam komunikasi. Analisis wacana

mengkaji muatan pesan, nuansa, dan makna yang tersembunyi dalam teks

yang menggunakan pendekatan interpretatif dengan mengandalkan

interpretasi dan penafsiran peneliti.

F. Metode penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini menggunakan pendekatan kualitaif. Penelitian

ini dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh dengan

21

fokus penelitian pada proses bukan pada hasil. Dalam penelitian

kualitatif, peneliti secara langsung yang mengumpulkan data atau

informasi yang didapat dari subyek penelitian.

Pada penelitian ini data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata,

gambar dan bukan angka-angka. Hal ini dilakukan seperti orang merajut

sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu (Moeloeng, 2002: 6).

2. Objek dan Waktu Penelitian

1. Objek Penelitian

Novel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh isi

cerita yang terdapat dalam novel “Negeri 5 Menara” karya Ahmad

Fuadi (A. Fuadi), yang terdiri dari xiii+423 halaman. Peneliti

menggunakan novel cetakan kesembilan, November 2010 yang

diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dimulai dari bulan Juni sampai Agustus tahun 2011.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah melalui:

a. Pengumpulan data berupa teks-teks tertulis dari novel Negeri 5

Menara serta sejumlah data yang berkaitan dengan objek

penelitian tersebut, seperti berita-berita terkait, biografi

penulis/penerjemah dan dokumen-dokumen lainnya.

b. Penelitian pustaka (library research) dengan mengkaji dan

mempelajari berbagai literatur yang berkaitan dengan

22

permasalahan yang diteliti untuk mendukung asumsi sebagai

landasan teori permasalahan yang dibahas.

c. Penelusuran data online, yaitu menelusuri data dari media online

seperti internet sehingga peneliti dapat memanfaatkan data

informasi online secepat dan semudah mungkin serta dapat

dipertanggungjawabkan secara akademis. Peneliti memilih

sumber-sumber data online mana yagn kredibel dan dikenal

banyak kalangan.

4. Analisis Data

Untuk teknik analisis data, penulis menggunakan kerangka analisis

wacana kritis oleh Sara Mills yang berfokus pada bagaimana aktor

ditampilkan dalam teks yakni dalam novel Negeri 5 Menara. Selain itu

dalam analisis ini juga menggambarkan bagaimana satu pihak, kelompok,

orang, gagasan,dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam

wacana dan mempengaruhi pemaknaan khalayak, dalam hal ini dunia

pendidikan di Indonesia.

Dalam analisis wacana kritis Sara Mills selain menekankan pada

bagaimana posisi dari aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa

ditempatkan dalam teks, posisi pembaca dalam teks juga sangat penting

dan diperhitungkan karena pembaca bukan semata-mata pihak yang hanya

menerima teks, tetapi juga ikut melaksanakan transaksi sebagaimana akan

terlibat dalam teks.