perkawinan berbeda agama.docx

25

Click here to load reader

Upload: denisaurus-deni

Post on 06-Aug-2015

35 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

PERNIKAHAN BERBEDA AGAMA MENURUT UNDANG – UNDANG

PERKAWINAN

(Selvia Listyorini 10. 22. 173)

ABSTRAKSI

Pengkajian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan ini dilakukan untuk mengetahui apakah perkawinan beda agama sah

ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bagaimana prosedur perkawinan

beda agama. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris, yaitu data yang diperoleh

dengan berpedoman pada segi yuridis dan berpedoman pada segi empiris yang

dipergunakan sebagai alat bantu. Pendekatan yuridis dalam penelitian ini, dengan

mengkaji peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah perkawinan,

sedangkan pendekatan empiris, digunakan dalam menganalisis hukum yang dilihat

dari perilaku masyarakat yang mempola dalam kehidupan lembaga atau instansi yang

terkait dalam kaitannya dengan masalah perkawinan.

Kata Kunci : Pernikahan Beda Agama

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di

Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang

majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar

umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah

tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga

keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.

Sering kali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang

berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria

yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama

lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim.

Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat

mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh

1

Page 2: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang

pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan

perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.

Di Indonesia, sejak tanggal 2 Januari 1974 masalah perkawinan telah diatur

tersendiri di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksananya, yaitu

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berlaku efektif pada tanggal 1

Oktober 1975. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut bersifat nasional

dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia di seluruh wilayah Indonesia.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir bathin antara pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat dikatakan sah, jika telah

memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa setiap Warga

Negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan sudah seharusnya melewati

lembaga agamanya masing-masing dan tunduk kepada aturan pernikahan agamanya.

Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan disebutkan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar

1945. Dari hal tersebut dapat disimpulkan, bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau tidak, maka

perkawinan itu tidak sah.

Berangkat dari permasalahan itu saya mencoba untuk menjelaskan sekelumit

tentang bagaimana pernikahan beda agama, baik itu menurut UUD 1945, Kompilasi

Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Untuk membahas masalah di atas, penulis merumuskan masalah berupa:

2

Page 3: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

a. Bagaimana pernikahan berbeda agama menurut undang – undang

perkawinan di Negara Indonesia.

b. Bagaimana pernikahan berbeda agama menurut hukum Islam.

C. Batasan Masalah

Agar pembahasan tidak melebar maka batasan dalam penulisan paper ini

adalah untuk mengetahui mengenai undang – undang yang berlaku di Indonesia

mengenai pernikahan beda agama, dan Kompilasi Hukum Islam, serta menurut agama

Islam itu sendiri.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui mengenai undang -

undang yang berlaku mengenai Pernikahan beda agama di indonesia. Serta Kompilasi

Hukum Islam, menurut agama Islam itu sendiri.

E. Manfaat Penelitian

1) Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi

perkembangan dan upaya penyempurnaan terhadap kajian hukum perkawinan,

serta peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan.

2) Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penyusun kebijaksanaan

dalam menetapkan aturan-aturan, terutama aturan-aturan yang berkaitan dengan

bidang perkawinan.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian perkawinan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) tidak memuat suatu

ketentuan arti atau definisi tentang perkawinan, namun pemahaman perkawinan dapat

dilihat dalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam pasal tersebut

dikatakan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dari sudut

perhubungannya dengan hukum perdata saja, lain dari itu adalah tidak. Dengan kata lain,

3

Page 4: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata masih menjunjung tinggi nilai-nilai

perkawinan yang tata cara dan pelaksanaannya diserahkan kepada adat masyarakat atau

agama dan kepercayaan dari orang-orang yang bersangkutan 1.

Pemahaman tentang konsep perkawinan di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Perdata berbeda dengan konsep perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, yang mana pengertian perkawinan menurut Pasal 1 adalah

sebagai berikut : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.

Perbedaan mengenai pengertian perkawinan pada Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan dengan pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal 26 Kitab

Undang- Undang Hukum Perdata, kalau pengertian perkawinan di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata perkawinan merupakan ikatan lahiriah namun tidak

memperhatikan urusan batiniah, sedangkan Undang-Undang Perkawinan, perkawinan

merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

isteri, maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak cukup

diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan bathin yang mana

keduanya harus terpadu erat menjadi satu kesatuan.

Ikatan bathin merupakan dasar atau fondasi yang sifatnya tidak nyata, hanya

dapat dirasakan oleh pasangan suami isteri bahwa dalam bathin keduanya terkandung

niat yang sungguh-sungguh dengan saling mencintai dan saling menghargai untuk

membentuk dan membina hubungan rumah tangga yang bahagia, sedangkan ikatan lahir

merupakan ikatan yang sifatnya nyata, baik bagi pasangan suami isteri yang

mengikatkan dirinya sebagai suami isteri, maupun bagi pihak ketiga serta menimbulkan

adanya hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai

suami isteri.

Definisi atau pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-undang

Perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan perkawinan pada masing-1 Asyari Abdul Ghofar, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen

Dan Undang-Undang Perkawinan, CV. Gramada, Jakarta, 1992, Hal 16.

4

Page 5: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

masing pihak telah terkandung maksud untuk hidup bersama secara abadi, dengan

memenuhi hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara, untuk

mencapai keluarga bahagia 2.

Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang

wanita sehingga tidak dimungkinkan terjadinya hubungan perkawinan antara pasangan

yang sama jenis kelaminnya. Persekutuan atau ikatan antara seorang pria dengan seorang

wanita bisa dipandang sebagai suami-isteri manakala ikatan mereka tersebut didasarkan

pada perkawinan yang sah. Sebuah perkawinan dapat dikatan sah apabila dipenuhinya

syarat- syarat tertentu sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hal

ini sesuai dengan pengertian perkawinan menurut R. Wirjono Projodikoro, dimana

perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu 3.

2. Perkawinan Beda Agama

Masalah perkawinan bukan sekedar merupakan masalah pribadi dari mereka

yang akan melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi juga merupakan masalah yang

berkaitan dengan keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian

seseorang. Sebagai masalah keagamaan, karena setiap agama mempunyai aturan sendiri-

sendiri tentang perkawinan, maka pada prinsipnya perkawinan diatur dan tunduk pada

ketentuan-ketentuan dari ajaran agama yang dianut.

Di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena perkawinan ini juga

menyangkut hubungan antar manusia, maka perkawinan dapat dianggap juga sebagai

suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya, dimanapun juga pengaruh agama yang

paling dominan terhadap peraturan-peraturan hukum adalah di bidang hukum

perkawinan 4.

2 2 Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama Dan Permasalahannya, Pionir Jaya, Bandung, 2000, hal. 11.

3 Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, hal. 7.4 Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978, Hal. 18

5

Page 6: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

Tidak adanya perkawinan yang dilangsungkan di luar hukum agama dan

kepercayaannya, maka aturan-aturan perkawinan dari agama berlaku untuk setiap

pelaksanaan perkawinan. Jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin

dengan melanggar hukum agamanya sendiri, demikian juga bagi orang Kristen, dan

bagi orang Hindu atau Hindu-Budha seperti yang dijumpai di Indonesia 5.

Sedangkan pendapat para ahli yang melarang secara mutlak seorang pria

melakukan perkawinan beda agama dengan mendasarkan pada sejarah

Kholiafaturrasyidin Sayyidina Umar Bin Khotob. Di mana Kholiafaturrasyidin

Sayyidina Umar Bin Khotob tidak menyenangi terjadinya pernikahan antara Muslim

dengan ahli kitab, bahkan beliau pernah menyuruh sahabat-sahabat nabi yang

beristerikan ahli-ahli kitab untuk menceraikannya, selanjutnya beliau menganggap

Nshoral Arab (orang-orang Arab yang beragama Nasrani) tidak termasuk ahli kitab

seperti yang dimaksud oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat (5), karena mereka

hakekatnya telah menyimpang dari ajaran kitab asli, dan mereka telah musyrik 6.

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pernikahan

Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

kelamin. Perkawinan disebut juga “pernikahan” yang berasal dari kata nikah yang

menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk

arti bersetubuh. (Abdul Rahman Ghozali, 2008;7)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR I TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN :

Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita - cita untuk pembinaan

hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi

semua warga negara. Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat

(1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Nomor IV/MPR/ 1983. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia :

5 Wantjik K Shaleh, Op Cit, Hal. 166 Rusli dan R. Tama, Op. Cit, hal. 25.

6

Page 7: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan

Yang Maha Esa

Pasal 2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 3.

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri.. Seorang wanita hanya boleh mempunyai

seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang

suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak

yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang

sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka

ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat

tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya

memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari

seorang apabila :

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

7

Page 8: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus

dipenuhi syarat syarat sebagai berikut :

a. Ada persetujuan dari isteri/ Isteri-isteri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri -

isteri dan anak- anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud

pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang

suami apabila isteri/ isteri - isterinya tidak mungkin diminta

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,

atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-

kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab - sebab lainnya yang

perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Disamping definisi yang diutarakan oleh UU perkawinan no.1 tahun 1974

diatas, Kompalasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak

mengurangi arti-arti definisi UU tersebut, namun bersifat menambah penjelasan

dengan rumusan sebagai berikut : Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah. (pasal 2)

Ungkapan : akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan merupakan

penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU yang

mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat

keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “ berdasarkan KeTuhanan

Yang Maha Esa ” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat

islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya

telah melakukan perbuatan ibadah. (Amir Syarifuddin, 2007; 40-41)

Dari definisi diatas dapat disimpulkan perkawinan merupakan suatu ikatan

lahir batin dari seorang pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam

menaati perintah Allah dan merupakan suatu perbuatan ibadah. Berikut adalah

suruhan Allah dalam Al-quran untuk melaksanakan perkawinan, firman-Nya dalam

8

Page 9: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

surat an-Nur ayat 32 : “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki

dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)

lagi Maha Mengetahui.

B. Pernikahan Berbeda Agama

Yang dimaksud dalam beda agama disisni adalah perempuan muslim dengan

laki-laki non muslim dan sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non islam.

Keduanya boleh melakukan pernikahan apabila pihak yang non muslim tersebut telah

masuk islam. Tentang larangan kawin beda agama disebutkan dalam pasal 40

Kompalasi Hukum Islam Indonesia yang diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden

Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa “dilarang melangsungkan perkawinan antara

seorang pria dan wanita, karena wanita tersebut tidak beragam islam”.

Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa tidak ada perkawinan beda

agama, bagi pihak-pihak yang ingin melaksanakan perkawinannya, mereka harus

memilih agama yang dianut oleh pihak istri atau pihak suami. Tidak ada lagi setelah

nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan lalu pindah menikah di gereja atau

Catatan Sipil. (Abdul Manan, 2008) sudah jelas disini tidak ada kawin beda agama,

begitu juga fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Sebuah dokumen yang berbentuk surat terbuka yang dikeluarkan oleh Majelis

Ulama daerah Jakarta yang didalamnya juga memberikan perincian apabila terjadi

masalah perkawinan agama menyatakan bahwa apabila suatu perkawinan antara

seorang pria Islam dan seorang wanita bukan islam hendak dilaksanakan, maka

upacara perkawinan seharusnya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) menurut

peraturan agama Islam.

Kepada para pegawai kantor Catatan Sipil, yang mencatat perkawinan-

perkawinan bukan - Islam, surat itu meminta dengan sangat agar menghormati

kepercayaan mereka di kantor tersebut. Jika seorang di antara mereka adalah seorang

beragama Islam, surat itu meminta Kantor Catatan Sipil agar menganjurkan pasangan

pengantin itu untuk mendaftarkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KAU).

Surat itu menegaskan bahwa hal itu adalah sesuai dengan asa Pancasila, Undang-

Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang perkawinan tahun 1974. (Mudzhar,

1993;102)

9

Page 10: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

PEMBAHASAN

A. Pernikahan Beda Agama Menurut Undang- undang Hukum Negara Indonesia

Dalam menghadapi masyarakat kompleks baik dalam segi budaya maupun

agama, maka penting bagi pemerintah mengatur atau memayungi suatu kepentingan

umum dengan hukum diantaranya masalah pernikahan. Untuk menghindari konflik

atau ketidak selarasan dimasyarakat, maka pemerintah membuat perundang-undangan

tentang pernikahan khususnya mengenai perbedaan agama. Diantara peraturan-

peraturan mengenai pernikahan beda agama yang masih berlaku diantaranya:

1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan

3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama

4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974

5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan seperti disebut pada Pasal 66 UUP, maka

semua ketentuan-ketentua perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum

Perdata Barat (Burgelijk wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah

diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 2 (1) UUP

berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa,

"Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar

1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang

Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum

agamanya sendiri.

Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha

seperti dijumpai di Indonesia". Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu

hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan

hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama

tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang

10

Page 11: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai

syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya

masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga

mazhab yang berbeda dalam memandang Undang - undang Perkawinan bila

dihubungkan dengan perkawinan antar dua orang yang berbeda agama:

2. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal

2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai

hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang

kawin".

3. Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan

dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran.

Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur

tentang perkawinan campuran menitik beratkan pada dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja

mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan

melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk

pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6

Peraturan Perkawinan Campuran (GHR).

4. Mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak

diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-

peraturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat

diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama

haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.

Dari ketiga mazhab di atas maka sebaiknya penentuan boleh tidaknya

perkawinan antar orang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak

menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila

hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka

seharusnya hukum negara mengikutinya.

Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung

pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya. Merujuk pada

11

Page 12: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap

beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama

masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan

antaragama. Untuk itulah maka agama - agama selain Islam yang diakui eksistensinya

di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Oleh karena, :

1. Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan

antaragama, kecuali dalam hal - hal tertentu Uskup dapat memberikan

dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama.

2. Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan

syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan

tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan

3. Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antar agama.

B. Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam

Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak boleh diutak-

atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga eksistensinya. Bahkan kalau

perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqh dijelaskan, tema ini disebut hifdz al-din,

yang menempati rangking satu dalam urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.

Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam segmen ini.

Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu, Islam sama

sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang yang tidak bertuhan).

Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah dengan orang musyrik atau

musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman Allah dalam surat

Albaqarah ayat 221 :   

Artinya : "Mereka (orang musyrik dan musyrikah) mengajak ke neraka, sedang Allah

mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-

Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".1 (QS. Al-Baqarah : 221)

Mayoritas ulama yang memberikan qayyid (catatan) bahwa keharaman

pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan tetapi tetap diperbolehkan bagi pria

muslim dengan wanita ahlu kitab. Dalam hal ini para ulama melakukan kajian tafsir

yang mendalam kaitannya dengan ayat tersebut. Menurut para ahli tafsir, yang disebut

dengan musyrik/ musyrikah adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis),

12

Page 13: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

tidak percaya pada nabi dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan

atheis? Untuk mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat surat al-Bayyinah ayat 1

sebagai berikut.

Artinya : "Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan

meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata". (QS. AL-Bayyinah : 1)

Ayat ini memberi informasi, bahwa orang kafir ada dua macam, yakni orang

musyrik dan ahlu kitab. Yang disebut ahlu kitab adalah mereka yang berpedoman pada

agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut musyrik adalah mereka yang tidak

mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai doktrin agama samawi. Dengan kata

lain, musyrik adalah mereka yang tidak bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan,

akan tetapi tidak berdasar pada agama samawi.

Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama - agama yang ada di belahan

bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi tentunya mempunyai kitab

samawi - adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian hanya mereka yang berhak

menyandang gelar ahlu kitab. Di luar itu, termasuk musyrikin. Menikah dengan wanita

musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlu kitab ada dasar yang

membolehkan yakni al-Qur'an surat al-Maidah ayat 5:

Artinya : "Wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan

wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab

sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak menjadikannya gundik-gundik.

Barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari

kiamat termasuk orang-orang merugi".5 (Q.S. Al-Maaidah : 5).

Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar mengatakan

bahwa kebolehan menikahi ahlu kitab adalah rukhsah karena saat itu jumlah wanita

muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang, bahkan jumlah kaum

wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi. Alasan lain untuk melarang

ahlu kitab adalah kata min qablikum (sebelum kamu). Maksudnya sebelum turunnya al-

Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini, maka yang boleh dinikahi adalah wanita ahlu kitab

yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani sebelum al-Qur'an diturunkan.

13

Page 14: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak jelas tidak ada lagi. Secara

psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami. Karena si anak dalam bahaya.

Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika ibunya Nasrani misalnya, peluang

anak menjadi Nasrani lebih besar. Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan

ahlu kitab tetap terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir

ayat yang memperbolehkan nikah dengan ahlu kitab. Di kalangan sahabat sendiri

tercatat sederet nama yang menikah dengan ahlu kitab. Walaupun berakhir dengan

perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlu kitab antara lain Usman bin

Affan, Hudzaifah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain.

Dalam kitab I'anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa

menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan dengan ahlu kitab

bisa ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan

prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah tangga

yang merupakan tujuan pernikahan- sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan

kesamaan itu pula, peluang untuk menarik istri ke Islam bukan sesuatu yang mustahil.

Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlu kitab hanya

berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlu kitab. Bukan sebaliknya. Sekali lagi ini

untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan,

mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain. Persoalan terakhir yang perlu

klarifikasi adalah apakah agama yang ada di Indonesia bisa masuk dalam ahlu kitab?

Untuk agama Hindu, Buda dan Konghuchu jelas tidak bisa, karena bukan agama

samawi, yang tentunya konsep ketuhanannya jauh berbeda.

Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada kemungkinan. Kita sebut

ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek moyang mereka memeluk

Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks Indonesia, sulit dilacak, kalau

tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen baru datang belakangan. Sebelum itu,

warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda, dan Islam. Dengan kata lain, Kristen

yang ada sekarang adalah keturunan mereka yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam.

Jika persyaratan ini bisa diterima, peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan

Katolik tertutup rapat-rapat.

Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab persyaratan itu tidak

ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah memperbolehkan menikahi ahlu

14

Page 15: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi menyatakan, boleh menikah dengan

ahlu kitab, sekalipun nenek moyang mereka masuk Kristen dan Katolik setelah agama

itu dinasakh. Ada sinyalemen kuat bahwa kitab orang Kristen dan Katolik telah

berubah. Apakah hal ini menghalangi kebolehan menikah dengan mereka? Yusuf

Qardlawi dengan tegas mengatakan tidak menghalangi. Dari deskripsi di atas, maka

jelaslah bahwa pernikahan beda agama diperbolehkan tetapi hanya bagi laki-laki

muslim dengan wanita ahli kitab.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama

diatur dalam kompilasi hukum Islam dan tidak di dalam Undang-undang perkawinan

sendiri tidak diatur tentang perkawinan beda agama. Ketentuan secara tegas dilarang

atau tidak dilarangnya perkawinan beda agama, tidak dapat ditemukan dalam Undang-

undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya.

sehingga dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara KHI/ Kompalasi hukum

Islam dengan peraturan UUD Negara Indonesia, Merujuk pada Undang-undang

Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas,

maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing - masing

pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama, yang

mana keduanya saling bertentangan dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan

perkawinan antar pemeluk agama dalam perihal larangan perkawinan.

Sedangkan menurut hukum Islam Menikah dengan wanita musyrik jelas tidak

diperbolehkan, namun dengan ahli kitab ada dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an

surat al-Maidah ayat 5, Dalam hal ini pernikahan dengan ahli kitab bisa ditolerir. Sebab

dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan prinsip-prinsip agama

banyak persamaan. Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahli

kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahli kitab. Bukan sebaliknya.

Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika

diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama lain.

B. Saran

15

Page 16: PERKAWINAN BERBEDA AGAMA.docx

Pengaturan mengenai perkawinan beda agama, harus diatur secara tegas di

dalam peraturan perudang-undangan, sehingga tidak menimbulkan kekosongan hukum,

yang berakibat kebingungan masyarakat yang terkait dengan permasalahan perkawinan

beda agama.

Penetapan Pengadilan mengenai perkawinan beda agama, perlu diimbangi

dengan penyuluhan tentang perkawinan beda agama kepada masyarakat luas, sehingga

masyarakat dapat memperoleh informasi yang lebih jelas mengenai perkawinan beda

agama.

Daftar Pustaka

www.Google.com. Pernikahan beda agama. 2012

www.Google.com. Pernikahan beda agama menurut Islam. 2012

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

.      http://hukum11.wordpress.com/2011/05/14/filsafat-hukum/

  http://prabugomong.wordpress.com/2011/04/01/dasar-dasar-ilmu-hukum/

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. PT TOKO GUNUNG AGUNG. Jakarta. 1977

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i,

tt. hlm. 243

16