bab i-iii (15-10)

63
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak) (Kemenkes RI, 2013). Data Wold Health Organization (WHO) tahun 2012, sebesar 78% balita yang berkunjung ke pelayanan kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara maju dengan persentase masing- masing sebesar 25%-30% dan 10%-15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta balita

Upload: alan-oktavianus

Post on 18-Feb-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pengertian Ispa

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-III (15-10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai

alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA

disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau

lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak)

(Kemenkes RI, 2013).

Data Wold Health Organization (WHO) tahun 2012, sebesar 78%

balita yang berkunjung ke pelayanan kesehatan adalah akibat ISPA, khususnya

pneumonia. ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan

negara maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-

15%. Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2.1 juta balita

pada tahun 2004. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan

Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta

episode (Kemenkes RI, 2013).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia selalu

menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita.

Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah

sakit. ISPA merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dibawah 5

tahun. WHO memperkirakan kejadian pneumonia di negara yang angka

kematian bayi di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% per tahun

Page 2: BAB I-III (15-10)

2

pada golongan balita (Cherian 20011 dam Hasan 2012). Kematian akibat

pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia pada akhir tahun 2011

sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita. Hingga saat ini ISPA masih menjadi

masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju, hal ini

karena masih tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA (Kemenkes

RI, 2012).

Tujuan Mellinium Develoment Goals (MDGs) nomor 4 yaitu

menurunkan angka kematian balita hingga dua per tiga pada tahun 2015

(Riskesdas, 2010). Untuk mencapai tujuan tersebut memerlukan jangkau yang

universal dengan kunci yang efektif, intervensi terjangkau (perawatan untuk

ibu dan bayi, pemenuhan kebutuhan makanan untuk bayi dan anak, vaksin),

pengendalian malaria, pencegahan dan perawatan HIV/AIDS. Di negara-

negara dengan tingkat kematian tinggi intervensi ini dapat mengurangi jumlah

kematian lebih dari setengah (WHO 2010 dalam Hasan 2012).

Faktor risiko yang mempengaruhi ISPA pada anak ada tiga yakni agen

penyakit, pejamu (usia, jenis kelamin, status gizi, pemberian air susu ibu (ASI),

berat badan lahir rendah (BBLR), imunisasi, pedidikan orang tua, satus sosial

ekonomi, penggunaan fasilitas kesehatan) dan lingkungan (polusi udara,

penyakit lain, bencana alam) (Wantarnia dalam Rahajoe, 2008). Faktor

penyebab ISPA pada balita adalah BBLR, status gizi buruk, imunisasi tidak

lengkap, kepadatan tempat tinggal dan lingkungan fisik rumah (jenis atap, jenis

lantai, jenis dinding, kepadatan hunian dan jenis bahan bakar yang digunakan

(Depkes RI 2009 dalam Agusalim 2012).

Page 3: BAB I-III (15-10)

3

Data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi ISPA

nasional tahun 2013 yakni 25,0% prevalensi ISPA tertinggi adalah Provinsi

Nusa Tenggara Timur yakni 41,7% dengan karakteristik tertinggi pada usia 1-

4 tahun (25,8%) (Riskesdas, 2013).

Data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2012,

pada pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit

Provinsi Nusa Tenggara Timur, ISPA menempati urutan pertama yakni

sebanyak 661.441 kasus (52,87%) (Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara

Timur, 2012). Sedangkan pada tahun 2013 jumlah kasus ISPA meningkat

menjadi 1.052.656 (55,05%) (Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur,

2013).

Kabupaten Kupang merupakan salah satu kabupaten di Nusa Tenggara

Timur yang jumlah kasus ISPA pada balita dengan jumlah perkiraan penderita

sebanyak 3.106, sedangkan penderita yang ditemukan dan ditangani masih

minim yakni 118 penderita (3,8%) (Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara

Timur, 2013). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, jumlah kasus ISPA

pada balita ( <1 tahun – 4 tahun) di Kabupaten Kupang per tiga tahun, yakni

pada tahun 2012 terdapat 31688 kasus, tahun 2013 menurun menjadi 26931

kasus dan tahun 2014 meningkat menjadi 28598 kasus (Dinas Kesehatan

Kabupaten Kupang, 2014).

Puskesmas Batakte merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten

Kupang dengan kasus ISPA pada balita tertinggi selama tiga tahun berturut-

turut yakni pada tahun 2012 sebanyak 4496 kasus, tahun 2013 menurun

Page 4: BAB I-III (15-10)

4

menjadi 2499 kasus dan tahun 2014 sebanyak 3583 kasus. Dari data tersebut

dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir kejadian ISPA

mengalami peningkatan. Desa Bolok merupakan bagian kerja dari Puskesmas

Batakte dengan kasus tertinggi di tahun 2014 sebanyak 417 kasus (Puskesmas

Batakte, 2014).

Berdasarkan data diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang “

Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada balita di Desa Bolok

Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun 2015”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang terdahulu, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “ Apakah ada hubungan antara imunisasi, BBLR, ASI

eksklusif dan jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa

Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun 2015” ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang tahun

2015.

3.1.1 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan dengan

kejadian ISPA pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat

Kabupaten Kupang tahun 2015;

Page 5: BAB I-III (15-10)

5

2. mengetahui hubungan antara BBLR dengan dengan kejadian ISPA pada

balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang tahun

2015;

3. mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

ISPA pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten

Kupang tahun 2015; dan

4. mengetahui hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada

balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang tahun

2015.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Instansi Terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan dan informasi

untuk meningkatkan kulitas maupun kuantitas dalam perencanaan program

pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA terutama pada balita.

1.4.2 Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan bahan bacaan, masukkan

dan acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi yang berguna kepada masyarakat untuk mencegah

terjadinya ISPA pada balita dengan memberikan hasil penelitian ini kepada

puskesmas sebagai salah satu pedoman untuk melakukan penyuluhan kepada

masyarakat khususnya tentang ISPA.

Page 6: BAB I-III (15-10)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.1.1 Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang

diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Yang

dimaksud dengan infeksi saluran pernapasan adalah infeksi mulai dari infeksi

saluran pernapasan atas dan adneksanya (sinus, rongga telinga, pleura) hingga

parenkim paru. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam

tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi

akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari

(Wantania dalam Rahajoe, 2008).

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai

alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA

disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau

lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak)

(Kemenkes, 2013).

Page 7: BAB I-III (15-10)

7

ISPA dibedakan menjadi 2, yaitu: ISPA bagian atas dan ISPA bagian

bawah. ISPA bagian atas adalah infeksi saluran pernapasan akut di atas laring,

yang meliputi: rinitis, faringitis, tonsilitis, sinusitis, dan otitis media.

Sedangkan, ISPA bagian bawah adalah infeksi saluran pernapasan akut dari

laring ke bawah, yang terdiri atas: epiglotitis, croup (laringorakeobronkitis),

bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia (Wantania dalam Rahajoe, 2008).

2.1.2 Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti

bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lainnya. Virus merupakan penyebab

terbesar ISPA (>90%) (Brough, 2008). Seagian besar ISPA biasanya terbatas

pada ISPA atas saja tapi sekitar 5%-nya melibatkan laring dan saluran

pernapasan berikutnya sehingga berpotensi menjadi serius (Wantania dalam

Rahajoe, 2008).

Virus penyebab ISPA antara lain golongan Paramykovirus (termasuk

di dalamnya virus Influenza, virus Parainfluenza dan virus campak),

Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain. Bakteri

penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus, Stapilococcus,

Pneumococcus, Haemophyllus, Bordetella dan Corynobacterium.

2.1.3 Klasifikasi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Program pemberantasan penyakit (P2) ISPA (2012) membagi ISPA

dalam 2 golongan yaitu:

1. ISPA Non-Pneumonia merupakan penyakit yang banyak dikenal masyarakat

dengan istilah batuk dan pilek.

Page 8: BAB I-III (15-10)

8

2. ISPA Pneumonia merupakan proses infeksi akut yang mengenai jaringan

paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang

ditandai oleh gejala klinik batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan

dinding dada bagian bawah.

Berdasarkan kelompok umur program-program pemberantasan ISPA

(P2 ISPA) dalam pedoman pengendalian ISPA (2012), mengklasifikasikan

ISPA sebagai berikut:

1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya

penarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan

adanya nafas cepat, frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.

b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : bila tidak ditemukan tanda tarikan

yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas

cepat, frekuensi kurang dari 60 menit.

2. Kelompok umur 2 bulan - <5 tahun diklasifikasikan atas :

a) Pneumonia berat : apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan

dinding dada dan bagian bawah ke dalam.

b) Pneumonia : tidak ada tarikan dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas

cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan dan 40

kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan-bulan - <5 tahun.

c) Bukan pneumonia : tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit

Page 9: BAB I-III (15-10)

9

pada anak umur 2- <12 bulan dan kurang dari 40 permenit 12 bulan - <5

bulan.

Klasifikasi ISPA berdasarkan lokasi anatomik (Wantania dalam

Rahajoe, 2008) terdiri dari:

1. ISPA Atas, yang terdiri dari:

a) Rinitis (Common Cold/ Coryza/ selesma) adalah infeksi akut oleh virus

Rhinoviruses pada saluran napas bagian atas, karakteristik berupa pilek,

bersin, lacrimasi, iritasi pada nasopharynx, meriang dan mengigil

sampain 2-7 hari dan mempunyai tendensi terjadi sekunder infeksi oleh

bakteri seperti ostitis media, sinusitis, laringnitis, bronchitis terutama

pada anak-anak (Chandra, 2012).

b) Faringitis adalah peradang akut membran mukosa faring dan struktur

lain disekitarnya yang disebabkan oleh bakteri atau virus yang

berlangsung hingga 14 hari yang ditandai dengan keluhan nyeri

tenggorokan (Naning dalam Rahajoe, 2008).

c) Otitis Media adalah radang pada liang telingah tengah yang disebabkan

oleh virus (Rhinovirus, RSV dan Influensa), dan bakteri (Streptococus

Pneumonia, Heamophilusinfluenzae atipikal dan Moraxella catarrhalis)

yang ditandai dengan demam, iritabilitas, nyeri telinga (bayi menjerit dan

menarik telinga), kehilangan pendengaran (Brough, 2008).

2. ISPA Bawah, yang terdiri dari:

a) Epiglotitis adalah infeksi yang disebabkan oleh virus Hemophilus

influenza tipe b (Hib) yang ditandai dengan demam tinggi mendadak dan

Page 10: BAB I-III (15-10)

10

berat, neyi tenggorokan, sesak napas diikuti dengan gejala obstruksi jalan

napas akut dan menyebakan kematian jika tidak diobati (Yantjik dalam

Rahajoe, 2008).

b) Croup (Laringotrakeobronkitis Akut) adalah sindrom klinis yang

disebabkan oleh virus Human Parainfluenza virus tipe 1 (HPIV-1),

HPIV-2,3 dan HPIV-4, virus Influenza A dan Badenovirus, Respiratory

Synytial virus (RSV) dan virus campak dengan karakteristik suara serak,

stridor inspirasi dengan atau tanpa adanya ostruksi jalan napas (Yantjik

dalam Rahajoe, 2008).

c) Bronkiolitis adalah infeksi yang disebabkan oleh virus Adenovirus, virus

Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus dan Mikoplasma yang secara

klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang

didahului dengan gejala gejala ISPA atas (Zain dalam Rahajoe, 2008).

d) Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh virus

(Parainfluenza, Influenza, Adonevirus dan RSV) dan bakteri (Steptococos

pneumonia bakterial dan Staphycocus aureus) dengan karakteristik

demam, batuk, sputum (kuning, hijau atau warna karat), muntah terutama

pasca batuk, napsu makan buruk, dan diare (Brough, 2008).

2.1.4 Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Penyakit ISPA pada balita dapat menimbulkan bermacam-macam

tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek,

sakit telinga, demam dan suhu tubuh meningkat lebih dari 38,50C (Keperwatan

2009 dalam Hasan 2012).

Page 11: BAB I-III (15-10)

11

Berikut gejala ISPA dibagi menjadi 3 antara lain sebagai berikut (Kemenkes,

2012) :

1. Gejala dari ISPA ringan; seorang balita dinyatakan menderita ISPA ringan

jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut : batuk, serak

(anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara atau saat berbicara

serta menangis), pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung dan

panas atau demam, suhu badan lebih dari 37°C.

2. Gejala dari ISPA sedang; seorang balita dinyatakan menderita ISPA sedang

jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala

sebagai berikut: pernapasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu untuk

kelompok umur kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau

lebih untuk umur 2-<12 bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12

bulan - < 5 tahun, suhu tubuh lebih dari 39°C, tenggorokan berwarna merah,

timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak, telinga

sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga dan pernapasan berbunyi

seperti mengorok (mendengkur).

3. Gejala dari ISPA Berat; seorang balita dinyatakan menderita ISPA berat jika

dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau

lebih gejala-gejala sebagai berikut: bibir atau kulit membiru, anak tidak

sadar atau kesadaran menurun, pernapasan berbunyi seperti mengorok dan

anak tampak gelisah, sela iga tetarik ke dalam pada waktu bernafas, nadi

cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba dan tenggorokan

berwarna merah.

Page 12: BAB I-III (15-10)

12

2.1.5 Patogenesis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Umumnya mikroorganisme penyebab penyakit terhisap ke paru

bagian perifer melalui saluran pernapasan. Mula- mula terjadi edema akibat

reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke

jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu

terjadi serukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema dan ditemukannya

kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,

deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat firin dan leukosit PMN di alveoli

dan terjadi proses fagositosis yang cepat stadium ini disebut stadium hepatisasi

kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan

mengalami degenerasi, firin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium

ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmer jaringan paru yang tidak

terkena akan tetap normal (Said dalam Rahajoe, 2008).

2.1.6 Penularan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Bibit penyakit ISPA berupa jasad renik ditularkan melalui udara. Jasad

renik yang ada di udara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernafasan dan

menimbulkan infeksi dan penyakit ISPA dapat pula berasal dari penderita yang

kebetulan mengandung bibit penyakit, baik yang sedang jatuh sakit maupun karier.

Jika jasad renik berasal dari tubuh manusia, maka umumnya dikeluarkan melalui

sekresi saluran pernafasan dan berupa saliva dan sputum.

Oleh karena salah satu penularan melalui udara yang tercemar dan masuk

ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, maka penyakit ISPA termasuk

golongan air bone disease (penyakit yang penularannya melalui udara).

Page 13: BAB I-III (15-10)

13

Adanya bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni

susupensi yang melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau

hanya sebagian. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit ISPA tersebut

yakni:

1. Droplet nuclei, yaitu sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari

tubuh yang berbentuk droplet dan melayang di udara.

2. Dust, yaitu campuran antara bibit penyakit yang melayang.

2.1.7 Cara Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit

ISPA diantaranya (Depkes 2008):

1. Menghindari diri dari penderita ISPA;

2. menghindari asap, debu dan bahan lainnya yang mengganggu pernapasan;

3. imunisasi lengkap pada balita di posyandu;

4. membersihkan rumah dan lingkungan tempat tinggal;

5. rumah harus mendapatkan udara bersih dan cahaya matahari yang cukup

serta memiliki lubang angin dan jendela;

6. menutup mulut dan hidung saat batuk; dan

7. tidak meludah sembarangan.

2.1.8 Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

A. Faktor Pejamu (Host)

1) Umur

Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena itu anak mudah

sakit. Umur bayi yang kurang dari 1 tahun lebih cenderung terkena ISPA

dibandingkan dengan balita yang umur lebih dari 1 tahun (Depkes, 2000). Umur

Page 14: BAB I-III (15-10)

14

diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan

kelompok umur yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih

rentan terhadap penyakit infeksi (Matondang dalam Akib,2010).

Infeksi Saluran pernapasan Akut (ISPA) paling sering terjadi pada

anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia

dibawah 5 tahun dan 30% pada anak usia 5-12 tahun. Walaupun sebagian besar

terbatas pada saluran pernapasan atas tetapi sekitar 5% juga melibatkan saluran

pernapasan bawah, terutama pneumonia. WHO melaporkan bahwa di negara

berkembang, ISPA adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak

kematian anak, dengan kasus kasus terbanyak terjadi pada anak berusia

dibawah 1 tahun (Wantania dalam Rahajoe, 2008).

2) Status Gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keseimbangan antara konsumsi

dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan

fisilogik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Status gizi adalah

ekpresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa,

2012).

Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan

panjang badan (PB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan

timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan

diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm. Variabel

BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri,

yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB (Kemenkes, 2013).

Page 15: BAB I-III (15-10)

15

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan balita dengan gizi normal karena daya tahan tubuh yang kurang.

penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu

makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang balita

lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Prabu,

2009).

3) Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan

kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak

ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya sakit ringan

(Kemenkes, 2013). Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan

kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak ia

terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit. Tujuan

imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseoranag

dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi)

atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi

cacar (Matondang dalam Akib, 2010).

Depkes RI (2009 dalam Citiyas 2012) menyebutkan bahwa imunisasi

melindungi anak dari penyakit, mencegah kecacatan dan mencegah kematian.

Imunisasi dasar yang harus dimiliki oleh bayi yaitu (Hidayat, 2009):

a) Imunisasi Hepatitis B; memberikan vaksin Hepatitis B ke tubuh yang

bertujuan memberi kekebalan tubuh dari penyakit hepatitis. Vaksin hepetitis

dapat diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir, kemudian suntikan

Page 16: BAB I-III (15-10)

16

kedua pada usia 1-2 bulan, dan ketiga serta ulangan dapat diberikan 5 tahun

kemudian.

b) Imunisasi BCG; memberikan vaksin BCG (Bacillius calmate guerin) yang

bertujuan memberi kekebalan tubuh terhadap kuman penyakit

mycobakterium tubercolosis (penyakit TBC) dengan cara menghambat

penyebaran kuman.

c) Imunisasi Polio; memberikan vaksin polio (dalam bentuk oral/ oral polio

vaccine/OPV) yang bertujuan memberi kekebalan dari penyakit

poliomelitis. Imunisasi ini dapat diberikan empet kali dengan interval 4-6

minggu.

d) Imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus); memberikan vaksin DPT pada

anak dengan tujuan memberikan kekebalan dari kuman penyakit defteri,

pertusis dan tetanus. Pemberian vaksin pertama pada usia 2 bulan dan

berikutnya dengan interval 4-6 minggu (kurang lebih tiga kali), selanjutnya

ulangan pertama pada usia satu tahun dan ulangan berikutnya tiga tahun

sekali sampai usia 8 tahun.

e) Imunisasi Campak; memberikan vaksin campak pada anak yang bertujuan

memberikan kekebalan dari penyakit campak. Imunisasi ini apat diberikan

pada usia 9 bulan, kemudian ulangan dapat diberikan dalam waktu interval

6 bulan atau lebih setelah suntikan pertama.

Jadwal imunisasi dasar:

a) Usia 0 bulan: vaksin Hepatitis B

b) Usia 1 bulan: vaksin BCG dan Polio 1

Page 17: BAB I-III (15-10)

17

c) Usia 2 bulan: vaksin DPT/HB 1 dan Polio 2

d) Usia 3 bulan: vaksin DPT/HB 2 dan Polio 3

e) Usia 4 bulan: vaksin DPT/HB 3 dan Polio 4

f) Usia 9 bulan: vaksin campak.

Penelitian Sukmawati (2010) di Tunikamaseang dan penelitian

Agussalim (2012) di Aceh Besar, menunjukkan bahwa ada hubungan antara

imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.

4) Pemberian ASI Eksklusif

ASI Eksklusif adalah pemberian Air Susu Ibu saja tanpa tambahan

makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.

Keunggulan ASI diantaranya kandungan gizinya sesuai kebutuhan bayi,

mengandung zat kekebalan, melindungi alergi, terjamin kebersihannya, tidak

basi, memperbaiki refleks menghisap, menelan, dan pernapasan bayi

(Kemenkes, 2013).

Cara pemberian ASI pada hari pertama dan kedua lama pemberian

ASI selama 5-10 menit pada tiap payudara. Pada hari ketiga dan seterusnya

lama pemberian ASI selama 15-20 menit. Produksi ASI dirangsang oleh isapan

bayi dan keadaan ibu tenang. Disamping itu perlu diperhatikan kesehatan ibu

pada umumnya, status gizi dan perawatan payudara (Mangunkusumo,2003).

Manfaat pemberian ASI menurut Ambarwati (2010), yakni:

a) Manfaat bagi bayi:

Page 18: BAB I-III (15-10)

18

1. ASI sebagai nutrisi yang mengandung protein, lemak, mineral, air dan

ensim yang diutuhkan oleh bayi, mengandung asam lemak yang penting

untuk otak, mata dan pembuluh darah;

2. Meningkatkan daya tahan tubuh;

3. Selalu ada pada suhu yang cocok bagi bayi;

4. ASI lebih steril dibandingkan susu formula dan tidak terkontaminasi oleh

bakteri dan kuman penyakit lainnya;

5. Mencegah terjadinya anemia;

6. Menurunkan terjadinya resiko alergi;

7. Menurunkan terjadinya penyakit pada saluran cerna;

8. Menurunkan risiko gangguan pernapasan seperti batuk dan flu;

9. Menurunkan risiko terjadinya infeksi telinga;

10. Mencegah terjadinya penyakit noninfeksi seperti obesitas, kurang gizi,

asma dan eksem;

11. ASI dapat meningkatkan IQ (Intelengenci quotient) dan EQ (Emotional

quotient) anak/ kecerdasan anak;

12. Kaya akan AA (Asam arachidonat)/ DHA (Docosahexaenoic acid) yang

mendukung kecerdasan anak;

13. Mengandung prebiotik alami untuk pertumbuhan usus;

14. Memiliki komposisi yang tepat dan seimbang; dan

15. Dapat meningkatkan ikatan psikologis dan jalinan kasih yang kuat antara

ibu dan bayi.

Page 19: BAB I-III (15-10)

19

b) Manfaat bagi ibu:

1. Mempercepat perkecilan rahim sehingga mencapai ukuran normalnya

dalam waktu singkat diandingkan dengan ibu yang tidak menyusui;

2. Mengurangi pendarahan setelah persalinan;

3. Mengurangi terjadinya anemia defiensi zat besi;

4. Mengurangi risiko kehamilan sampai enam bulan setelah melahirkan/

menjarangkan kehamilan;

5. Mengurangi risiko kanker payudara dan kanker ovarium;

6. Menpercepat penurunan berat badan dan kembali ke berat badan semula

sebelum hamil;

7. Lebih ekonomis;

8. Tidak merepotkan dan hemat waktu; dan

9. Sang ibu merasa bangga dan diperlukan, rasa yang dibutuhkan oleh

semua manusia.

c) Bagi negara

1. Menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi: adanya faktor protektif

dan nutrien yang sesuai dalam ASI menjamin status gizi bayi serta

kesakitan dan kematian anak menurun;

2. Menghemat devisa negara: ASI dianggap sebagai kekayaan nasoinal.jika

semua ibu menyusui diperkirakan dapat menghemat devisa sebesar

Rp.8,6 milyar yang seharusnya dipakai untuk membeli susu formula;

3. Mengurangi subsidi untuk rumah sakit: subsidi untuk rumah sakit

berkurang karena rawat gabung akan memperpendek lama rawat ibu dan

Page 20: BAB I-III (15-10)

20

bayi, mengurangi komplikasi persalinan dan infeksi nasokomial serta

mengurangi biaya yang diperlukan untuk perawatan anak sakit. Anak

yang mendapat ASI lebih jarang dirawat di rumah sakit dibandingkan

anak yang mendapat susu formula; dan

4. Peningkatan kualitas generasi penerus: anak yang mendapat ASI dappat

tumbuh kembang secara optimal sehingga kualitas generasi penerus

bangsa akan terjamin.

Komposisi ASI dibedakan menjadi tiga macam, Ambarwati (2010):

a) Kolostrum; ASI yang dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga

setelah bayi lahir. Kolostrum merupakan cairan yang agak kental berwarna

kekuning-kuningan, lebih kuning dibandingkan dengan ASI mature,

bentuknya agak kasar karena mengandung butiran lemak dan sel-sel epitel.

Fungsi kolostrum sebagai pembersihan selaput usus bayi baru lahir sehingga

saluran pencernaan siap untuk menerima makanan, mengandung kadar

protein yang tinggi terutama gama globulin sehingga dapat memberikan

perlindungan tubuh terhadap infeksi dan mengandung zat antibodi sehingga

mampu melindungi tubuh bayi dari penyakit infeksi untuk jangka waktu

sampai dengan enam bulan.

b) ASI masa transisi; ASI yang dihasilkan mulai hari keempat sampai hari

kesepuluh.

c) ASI mature; ASI yang dihasilkan mulai hari kesepuluh sampai seterusnya.

Page 21: BAB I-III (15-10)

21

Penelitian Windarini (2010) di Puskesmas Mengwi II dan penelitian

Musdalifa (2014) di RSUD Labuang Baji Makassar, menyatakankan bahwa

ada hubungan antara Asi eksklusif dengan kejadian ISPA.

5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan bayi baru lahir yang

berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (Kemenkes, 2013). Rata-rata

bayi normal adalah 3200 gram dengan usia gestasi 37 sampai dengan 41

minggu (Umboh, 2013). Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan

perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan

lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan

pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna

sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit

saluran pernapasan lainnya (Matondang dalam Akib, 2010).

Bayi BBLR memiliki tanda-tanda sebagai berikut, (RS Dr. Cipto

Mangunkusumo,2003):

a) Mempunyai komposisi tubuh yang berbeda dengan bayi normal;

b) Maturasi organ dan perkembangan enzim belum sempurna;

c) Perkembangan refleks mengisap dan menelan belum sempurna;

d) Kemampuaan saluran pencernaan dalam menerima zat gizi belum

berkembang sempurna;

e) Mudah menjadi hipoglikemi dan hipotermi;

Page 22: BAB I-III (15-10)

22

f) Perkembangan otak belum sempurna (masa tumbuh kembang otak terjadi

pada trimester terakhir kehamilan dan 6 bulan pertama sesudah lahir).

Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat

ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan

dengan BBLR (22%). Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai

resiko kematian 6,4 pada bayi di bawah 6 bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11

bulan (Wantania dalam Rahajoe,2008).

WHO menyatakan bahwa penyebab BBLR adalah multifaktorial,

melalui penelitian metalisis didapat 43 faktor yang dapat menyebabkan berat

lahir rendah diantaranya faktor demografik dan psikososial (status sosial

ekonomi,status perkawinan), faktor obstetrik (paritas, interval kehamilan)

faktor nutrisi (pertambahan berat badan waktu hamil, masukan kalori, anemia),

morbiditas maternal (malaria, infeksi saluran kemih) dan paparan bahan toksik

(merokok, alkohol) (Umboh,2013).

Penelitian Musdalifa (2014) di RSUD Labuang Baji Makassar,

menyatakan bahwa ada hubungan antara berat bayi lahir rendah (BBLR)

dengan kejadian ISPA.

B. Faktor Lingkungan

1) Lingkungan Fisik Rumah

a) Jenis Lantai Rumah

Menurut Notoatmodjo dalam Zulkipli (2009), lantai rumah merupakan

hal yang menentukan kesehatan dari sebuah rumah. Maka itu lantai rumah

sebaiknya kedap air dan mudah dibersihkan. Syarat yang penting disini adalah

Page 23: BAB I-III (15-10)

23

tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Lantai

yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit.

Jenis lantai yang terbuat dari ubin dan semen adalah salah satu jenis

lantai yang terbaik. Lantai bisa digunakan pada rumah-rumah di perdesaan.

Lantai harus selalu kering dan harus lebih tinggi dari muka tanah, jangan

biarkan lantai basah dan berdebu karena merupakan media yang baik untuk

berkembangnya kuman penyakit (Notoatmodjo, 2003 dalam Hasan 2012).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/MENKES/PER/V/2011 tentang rumah sehat, rumah sehat memiliki lantai

yang terbuat dari marmer, ubin, kramik dan sudah diplester semen

(Kemenkes,2013).

Penelitian Della Oktavia (2010) di Prabumulih, menunjukkan bahwa

ada hubungan antara lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

dengan kejadian ISPA yang beresiko sebesar 8,807 kali.

b) Jenis Dinding Rumah

Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari berbagai

bahan seperti bambu, tripleks, batubara, dan tembok. Rumah yang

menggunakan dinding dari bambu atau kayu akan menyebakan udara masuk

lebih mudah membawa debu-debu ke dalam rumah sehingga dapat

membahayakan penghuni rumah apabila terhirup terus-menerus terutama

balita. Dinding rumah yang baik dengan menggunakan tembok, rumah yang

berdinding tidak rapat seperti papan kayu dan bambu dapat menyebabkan

penyakit sistem pernapasan seperti ISPA (Citiyas, 2012).

Page 24: BAB I-III (15-10)

24

Dinding tembok merupakan dinding yang baik. Namun disamping

mahal, dinding tembok juga kurang cocok untuk daerah tropis, terlebih bagi di

perdesaan, lebih baik menggunakan dinding atau papan. Walaupun jendela

tidak cukup namun lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat

merupakan ventilasi dan menamah pengcahayaan alamiah (Notoatmodjo, 2003

dalam Hasan 2012).

c) Ventilasi Rumah

Menurut Notoatmodjo dalam Zulkipli (2009), ventilasi mempunyai

banyak fungsi yakni menjaga agar aliran udara di dalam rumah agar tetap

segar, membebasakan ruangan dari udara bakteri-bakteri dan patogen serta

menjaga agar ruangan rumah berada dalam kelembaban yang optimum.

Terdapat dua macam ventilasi yaitu: (Notoatmodjo, 2003 dalam

Hasan 2012):

1. Ventilasi alami: aliran udara dalam ruangan terjadi secara alamiah melalui

jendela, pintu, lubang-lubang angin pada dinding dan sebagainya.

2. Ventilasi buatan: menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara,

misalnya kipas angin dan mesin pengisap udara.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/Menkes/SK/V/2011 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas

ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.

d) Pencahayaan

Cahaya matahari sangat penting karena dapat membunuh bakteri

patogen dalam rumah misalnya bakteri pada penyakit ISPA dan TBC. Oleh

Page 25: BAB I-III (15-10)

25

karena itu rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang cukup.

Jalan masuk cahaya (jendela) luasanya sekurang-kurang 15-20% dari luas

lantai dalam ruamgan rumah. Menurut WHO, kebutuhan standar minimum

cahaya yang memenuhi syarat untuk kamar keluarga dan kamar tidur yaitu 60-

120 lux. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang persyaratan kesehatan perumahan

khususnya persyaratan-persyaratan rumah tinggal, bahwa pencahayaan alami

atau buatan dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan

minimal 60 lux.

Cahaya dibedakan menjadi dua yakni:

1. Cahaya alami: cahaya matahari. Cahaya matahari dapat membunuh bakteri-

bakteri dalam rumah, misalnya bakteri TBC.

2. Cahaya buatan: menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, misalnya

lampu listrik, lampuh minyak tanah, api dan sebagainya.

e) Kelembaban

Menurut Ahmadi dalam penelitian Chahaya, kelembaban udara dalam

rumah berkaitan dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan bagi penghuninya

terutama gangguan pernapasan. Makin rendah kelembaban suatu ruangan,

makin rendah pula jumlah koloni mikroorganisme karena banyak

mikroorganisme yang tidak tahan dehidrasi. Sebaliknya bila kelemaban udra

makin tinggi, maka merupakan sarana yang baik bagi perkembangbiakan

bakteri sehingga mudah untuk menularkan penyakit ISPA.

Page 26: BAB I-III (15-10)

26

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/MENKES/PER/V/2011 tentang rumah sehat, rumah yang sehat memiliki

kelembaban di dalam rumah berkisar 40-60%.

f) Suhu

Suhu sangat berhubungan dengan kenyamanan dalam rumah. Suhu

rumah yang tinggi menyebabkan tubuh kehilangan garam sehingga tubuh

menjadi kram atau kejang dan terjadinya perubahan metabolisme dan sirkulasi

darah. Suhu dapat berpengauh terhadap konsentrasi pencemar udara tergantung

pada cuaca tertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

1077/MENKES/PER/V/2011 tentang rumah sehat, rumah yang sehat memiliki

suhu udara nyaman berkisar antara 180C sampai 300C.

Perubahan suhu udara dalam rumah dipengaruhi beberapa faktor yakni

penggunaan bahan biosmassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan

hunian, bahan dan struktur bangunan, kondisi topografis dan geografis (Citiyas,

2012).

g) Kepadatan Huniaan Rumah

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1077/MENKES/SK/V/2011 tentang persyaratan rumah, dikatakan padat

penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan dengan jumlah

penghuni rumah lebih kecil dari 10m2 per orang, sedangkan ukuran untuk

kamar tidur diperlukan luas lantai 3m2 per orang. Dengan kriteria tersebut

diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.

Page 27: BAB I-III (15-10)

27

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi

dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna

antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi

disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi

korelasi yang tinggi pada faktor ini (Prabu, 2009).

2) Lingkungan Sosial Ekonomi

a) Pendidikan Orang Tua

Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangan potensi dirinya untuk memiliki spritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, aklak mulia, serta keterampilan

yang diperlukannya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Nomor 20 Tahun

2003, dalam Nani Hasan 2012). Pendidikan tidak hanya diperoleh dari sektor

formal (pendidikan dasar, menengah dan tinggi) tetapi dapat diperoleh melalui

pendidikan non-formal seperti kursus, pelatihan dan diklat (Notoatmodjo,

2012).

Menurut Notoatmodjo (2005) dalam penelitian Siti Mudrikatin (2012),

mengungkapkan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan

refleksi dari pendidikan yang diterimanya. Salah satu aspek yang

mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah informasi, semakin banyak

informasi yang diperoleh semakin baik pula pengetahuan dimilikinya.

Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik

antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan orang tua ini

Page 28: BAB I-III (15-10)

28

berhubungan erat dengan kesdaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan

pengetahuan orang tua. Kurangnya pendidikan menyebabkan sebagian kasus

ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati (Wantania dalam

Rahajoe,2008).

b) Penghasilan Orang Tua

Penghasilan orang tua mempengaruhi asupan yang diterima dan

pemeriksaan balita ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Orang tua yang

berpenghasilan rendah cenderung jarang memikirkan kesehatan karena biaya

yang mahal. Selain itu asupan gizi yang diberikan tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi yang seharusnya yang didapatkan oleh balita. Hal ini akan

berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun dan imunitas yang

tidak terbentuk menyebabkan balita mudah terkena penyakit salah satunya

adalah ISPA (Wantania dalam Rahajoe,2008).

3) Pencemaran Udara dalam Rumah

a) Kebiasaan Merokok

Rokok merupakan benda beracun yang memberi efek yang sangat

membahayakan pada perokok ataupun perokok pasif, terutama pada balita yang

tidak sengaja terkontak asap rokok. Nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap

rokok lainnya masuk ke saluran pernapasan bayi yang dapat menyebabkan

Infeksi pada saluran pernapasan. Paparan asap rokok berpengaruh terhadap

kejadian ISPA pada balita, dimana balita yang terpapar asap rokok berisiko

lebih besar untuk terkena ISPA dibanding balita yang tidak terpapar asap rokok

(Hidayat, 2005 dalam Trisnawati 2012).

Page 29: BAB I-III (15-10)

29

Asap rokok dapat merusak jaringan paru-paru, alveoli dan darah.

Dalam asap rokok yang membara karena diisap, tembakau terbakar kurang

sempurna sehingga menghasilkan CO (karbon monoksida), yang disamping

asap rokok, tir dan nikotin terhirup masuk ke dalam sistem pernafasan. Tir dan

asap rokok yang tertimbun di saluran pernafasan dapat mengakibatkan batuk

dan sesak nafas (Ronald, 2005 dalam Wahyu 2011).

b) Bahan Bakar Memasak

Di zaman yang semakin berkembang ini, masyarkat telah

menggunakan berbagai macam bahan bakar untuk memasak seperti minyak

tanah, gas dan listrik tapi bagi masyarakat perdesaan lebih cenderung memilih

kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak, sehingga terjadinya

pencemaran udara dalam rumah dari hasil pembakaran. Keadaan tersebut lebih

diperburuk apabila tidak memiliki ventilasi yang memadai sehingga asap atau

debu yang dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap dalam rumah.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2013, jenis

bahan bakar/energi utama dalam rumah tangga dikelompokkan menjadi dua,

yaitu yang aman artinya tidak berpotensi menimbulkan pencemaran (listrik

dan gas/elpiji) dan tidak aman yaitu yang berpotensi menimbulkan

pencemaran (minyak tanah,arang dan kayu bakar).

Page 30: BAB I-III (15-10)

30

2.2 Kerangka Konsep

2.2.1 Dasar Pemikiran Variabel

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai

alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). ISPA

disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau

lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak)

( Kemenkes, 2013).

Ada 3 unsur yang berperan dalam timbulnya suatu penyakit yaitu:

Agen yang terdiri dari virus/bakteri. Host yaitu manusia (balita) yang terdiri

dari umur, status gizi, imunisasi, BBLR dan ASI eksklusif. Envoritmen yang

terdiri dari lanati rumah, ventilasi kepadatan rumah, dinding rumah,

pencahayaan, kelembaban, suhu, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,

peilaku merokok dan pemilihan bahan bakar minyak.

2.2.2 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah struktur dari suatu konsep dan atau teori yang

diletakkan secara bersama-sama dengan menggunakan pada suatu penelitian.

Kerangka konsep merupakan merupakan bagian dari teori yang akan menjadi

panduan dalam pelaksanaan penelitian. Kerangka konsep akan menjelaskan

hubungan atau keterkaitan antara variabel-variabel dalam penelitian

(Notoatmojo,2005).

Kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen

dan dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah imunisasi,

Page 31: BAB I-III (15-10)

31

BBLR, ASI eksklusif dan lantai rumah. Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah kejadian ISPA pada balita.

Hubungan antara variabel independen dan dependen dalam penelitian

ini digambarkan kerangka hubungan antar variabel pada gambar 2.1.

Page 32: BAB I-III (15-10)

32

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Sumber : Rahajoe (2008) dan Agussalim (2012)

Keterangan:

: Variabel Dependen

: Variabel Independen yang diteliti

: Variabel Independen yang tidak diteliti

2.3 Hipotesis Penelitian

Agen:Virus/Bakteri

KEJADIAN ISPA Host:

1. Umur2. Status Gizi

4. Imunisasi5. BBLR6. ASI Eksklusif

Envoritmen:a. Lingkungan Fisik Rumah:

1. Jenis Lantai Rumah

2. Ventilasi Rumah3. Kepadatan Hunian4. Jenis Dinding rumah5.Pengcahayaan6. Kelembaban7. Suhu

b. Lingkungan Sosial Ekonomi:1. Pendidikan Orang Tua2. Penghasilan Orang Tua

c. Pencemaran udara dalam rumah:1.Merokok dalam rumah2. Pemilihan Bahan Bakar

Memasak

Page 33: BAB I-III (15-10)

33

2.3.1 Ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA

pada balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten

Kupang Tahun 2015.

2.3.2 Ada hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada balita di

Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun

2015.

2.3.3 Ada hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita

di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Tahun

2015.

2.3.4 Ada hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada

balita di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang

Tahun 2015.

BAB II

Page 34: BAB I-III (15-10)

34

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah survei analitik dengan

menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari

korelasi antara faktor-faktor resiko dan efek dengan observasi dan

pengumpulan data sekaligus pada suatu saat atau point time (Notoatmodjo,

2010).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bolok Kecamatan Kupang Barat

Kabupaten Kupang dari bulan Juli - Agustus 2015.

3.3. Populasi Dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang berada di Desa Bolok

dari Januari – April 2015 sebanyak 288 balita (Pustu Bolok, 2015).

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel

dalam penelitian ini adalah balita dengan responden ibu balita. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan yaitu Simple Random Sampling yaitu

suatu cara pengambilan sampel dimana seluruh populasi memiliki kesempatan

yang sama untuk dijadikan sampel dengan cara teknik undian/ lottre

(Notoatmodjo, 2010).

Page 35: BAB I-III (15-10)

35

1) Kriteria Inklusi:

a. Ibu yang memiliki anak balita dengan umur 9 bulan - < 5 tahun;

b. Berat badan waktu lahir anak balita tercatat dalam KMS;

c. Alamat yang tercatat dalam rekam medik jelas; dan

d. Ibu yang bersedia menjadi responden.

2) Kriteria Eksklusi:

a. Berat badan waktu lahir anak balita tercatat dalam KMS;

b. Alamat yang tercatat dalam rekam medik kurang jelas; dan

c. Ibu yang tidak bersedia menjadi responden.

Perhitungan besar sampel mengguna rumus Lemeshow (1991),

sebagai berikut:

n=Z¿ ¿¿

(Susanto, 2010)

Keterangan:

n= besar sampel minimal

N= populasi balita di Desa Bolok Januari – April 2015 = 288

x= jumlah balita yang ISPA di Desa Bolok Januari – April 2015 = 61

P= proporsi kejadian ISPA = x/N = 61/ 288 = 0,21

Z(1-α/2) = nilai sebaran normal baku, tingkat kepercayaan 95%= 1,96

d= besar penyimpangan 0,1

Besar sampel yang diperoleh:

n=Z¿ ¿¿

Page 36: BAB I-III (15-10)

36

n=(1 , 96)2 0 , 21(1−0 ,21)

(0 ,1)2

n=(3,841 ) 0,21(0 ,79)

(0 , 01)

n=0,6370,01

n=63,7

n ≈ 64

Jadi besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 64 anak balita dengan

responden ibu balita.

3.4. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Cara Ukur Kriteria Objektif Skala1. ISPA pada

BalitaISPA disebakan oleh virus/ bakeri yang diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala (tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek batuk kering atau berdahak) (Kemenkes, 2013).

Berdasarkan diagnosa yang ada pada rekam medik.

1= Ya, jika balita mengalami ISPA.

2= Tidak, jika balita tidak mengalami ISPA.

Nominal

2. Imunisasi Imunisasi yang diterima bayi dari umur 0-9 bulan

Observasi (buku KMS)

1= Tidak lengkap, jika imunisasi yang diperoleh oleh balita tidak lengkap.

2= lengkap, jika imunisasi yang diperoleh oleh balita lengkap (HB0, BCG, DPT 1-4, Polio 1-4 dan

Nominal

Page 37: BAB I-III (15-10)

37

Campak).3. Berat badan

lahir rendahBayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram (Kemenkes,2013).

Observasi (buku KMS)

1= Ya, jika berat badan lahir < 2500 gram

2= Tidak, jika berat badan lahir ≥ 2500 gram

Nominal

4. ASI Eksklusif

Pemberian Air Susu Ibu saja tanpa tambahan makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan (Kemenkes,2013).

Wawancara 1= Tidak, jika tidak menerima ASI eksklusif

2= Ya, jika menerima ASI eksklusif.

Nominal

5. Lantai rumah Jenis lantai dalam rumah.

Observasi 1= Tidak memenuhi syarat (berlantai tanah)2 = Memenuhi syarat (berlantai marmer, ubin, kramik dan sudah diplester semen)(Kemenkes, 2013).

Nominal

3.5. Jenis Data dan Instrumen yang Digunakan

3.5.1 Jenis Data

Teknik penggumpulan data dalam penelitian ini adalah :

a. Data Primer

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

wawancara langsung dengan responden menggunakan kuiesioner serta

peneliti melakukan pengamatan mengenani keberadaan lantai rumah dan

Page 38: BAB I-III (15-10)

38

yang berhubungan dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas

Batakte Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari data instansi

terkait yakni data jumlah kasus ISPA pada balita di Puskesmas Batakte

Kecamatan Kupang Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang serta

data jumlah balita di Pustu Desa Bolok.

3.5.2 Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1 Teknik Pengolahan Data

Semua data yang telah terkumpul dalam proses pengumpulan data

akan diolah secara manual dan menggunakan komputer yang melalui beberapa

tahap yaitu:

a) Editing

Hasil kuesioner yang telah dibagikan ke responden akan di edit terlebih

dahulu, yaitu mengecek dan memperbaiki kembali isian kuesioner

tersebut.

b) Coding

Merupakan kegiatan merubah data kedalam bentuk angka/ bilangan,

terutama pada pertanyaan-pertanyaan yang belum sesuai dengan kode

Page 39: BAB I-III (15-10)

39

yang ada pada definisi operasional berdasarkan hasil ukur. Kegiatan

dengan tujuan untuk memudahkan pada saat analisis dan juga

mempercepat pada saat memasukan data ke program komputer.

c) Entry

Setelah semua lembaran kuesioner terisi penuh dan benar serta sudah

dilakukan pengkodean, selanjutnya data diproses dengan cara

memasukan hasil jawaban yang diperoleh dari wawancara yang

dilakukan dalam instrument kuesioner ke dalam program computer SPSS.

d) Tabulasi

yaitu mengelompokkan data sesuai variable yang akan diteliti agar

mudah dijumlah, disusun, dan didata untuk disajikan dan dianalisis.

3.6.2 Analisis Data

a) Analisis Univariat

Tujuan analisis univariat dalam penelitian ini adalah untuk

menggambarkan karakteristik dari variabel dependen dan independen dan

hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Analisis univariat

digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik variabel independen

(imunisasi, BBLR, ASI eksklusif, dan jenis lanati rumah) sedangkan

variabel dependen yakni kejadian ISPA pada balita.

b) Analisis Bivariat

Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

hubungan variabel independen yang diteliti dengan variabel dependen.

Page 40: BAB I-III (15-10)

40

Uji yang digunakan adalah uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan

5%. Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau ada

hubungan variabel dependen dengan variabel independen, sedangkan

apabila nilai p>α maka tidak ada hasil yang bermakna atau tidak ada

hubungan antara variabel dependen dengan independen.

Rumus Chi-Square:

X2=∑ ¿¿¿

(Hastono, 2006)

Keterangan:

X2 = Chi- Square

Oij = Jumlah observasi pada kasus-kasus yang dikategori dalam baris ke-

1 dan kolom ke-j.

Eij = Jumlah kasus yang diharapkan yang dikategorikan dalam baris ke-1

dan kolom ke-j.

Untuk mengetahui kekuatan atau derajat keeratan hubungan antar

faktor resiko dengan kejadian ISPA pada balita maka digunakan Contigency

Ceoffisien (CC). Rumus Contigency Ceoffisien:

C=√ X2

X2+N

(Budiarto, 2002)

Keterangan:

C= Contigency Ceoffisien

N= Jumlah responden

Page 41: BAB I-III (15-10)

41

X2= harga Chi-Square yang yang diperoleh

Tingkat kuat lemahnya korelasi menurut Sugiono (1999) dapat dilihat

berdasarkan rentang nilai koefisien contigensi sebagai berikut:

1. Korelasi sangat lemah : 0,000 – 0,199

2. Korelasi lemah : 0,2 – 0,399

3. Korelasi sedang : 0,4 – 0,599

4. Korelasi kuat : 0,6 – 0,799

5. Korelasi sangat kuat : 0,8 – 0,999

Uji alternatif yang digunakan adalah uji Fisher jika uji Chi Square

tidak memenuhi syarat yaitu apabila jumlah sel frekuensi yang diharapkan

kurang dari 5 tidak boleh lebih dari 20% dan atau tidak satu sel pun boleh

memiliki frekuensi yang diharapkan kurang dari 1 (Hastono, 2011).