bab i, bab ii, bab iii,dafput (final)osteoporosis

110
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Osteoporosis merupakan penurunan massa tulang yang menyebabkan fraktur traumatik atau atraumatik, menjadi masalah besar pada perawatan kesehatan karena beratnya konsekuensi fraktur pada pasien dan sistem perawatan. (Indonesian Health Technology Assesment,2005 ; International Osteoporosis Foundation, 2011) Arti sesungguhnya untuk kata osteoporosis adalah “lubang di dalam tulang”, merupakan deskripsi yang cukup akurat mengenai apa yang terjadi bila seseorang mengalami kondisi ini. Pada osteoporosis , kualitas dan kepadatan jaringan tulang di dalam tulang akan memburuk, sehingga terdapat lebih banyak ruangan kosong di dalamnya dan tulang menjadi lebih rapuh. (Spencer dan Brown,2007) Masalah utama bila seseorang memiliki tulang yang rapuh adalah tulang tersebut lebih mudah patah daripada yang seharusnya. Hal ini berarti bahwa kecelakaan atau jatuh ringan, yang secara normal tidak menyebabkan patah pada tulang yang sehat, akan dapat menyebabkan patah tulang yang nyeri dan melemahkan. Bahkan batuk yang keras dapat menyebabkan patah tulang belakang.

Upload: alice-calluella

Post on 12-Aug-2015

146 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Osteoporosis merupakan penurunan massa tulang yang menyebabkan

fraktur traumatik atau atraumatik, menjadi masalah besar pada perawatan

kesehatan karena beratnya konsekuensi fraktur pada pasien dan sistem perawatan.

(Indonesian Health Technology Assesment,2005 ; International Osteoporosis

Foundation, 2011)

Arti sesungguhnya untuk kata osteoporosis adalah “lubang di dalam tulang”,

merupakan deskripsi yang cukup akurat mengenai apa yang terjadi bila seseorang

mengalami kondisi ini. Pada osteoporosis , kualitas dan kepadatan jaringan tulang

di dalam tulang akan memburuk, sehingga terdapat lebih banyak ruangan kosong

di dalamnya dan tulang menjadi lebih rapuh. (Spencer dan Brown,2007)

Masalah utama bila seseorang memiliki tulang yang rapuh adalah tulang

tersebut lebih mudah patah daripada yang seharusnya. Hal ini berarti bahwa

kecelakaan atau jatuh ringan, yang secara normal tidak menyebabkan patah pada

tulang yang sehat, akan dapat menyebabkan patah tulang yang nyeri dan

melemahkan. Bahkan batuk yang keras dapat menyebabkan patah tulang

belakang. Sebagian besar orang dengan osteoporosis baru mengetahui bahwa

mereka mengalami penyakit ini saat foto rontgen menunjukkan bahwa mereka

mengalami patah tulang. Bila seseorang mengalami osteoporosis, maka tulang

yang paling beresiko mengalami patah tulang adalah tulang pergelangan tangan,

tulang panggul, dan tulang punggung (tulang belakang). (Spencer dan

Brown,2007 ; Tandra,2009)

Selain ketidaknyamanan yang jelas saat mengalami patah tulang, terdapat

beberapa cara bagaimana patah tulang dapat mempengaruhi kehidupan seseorang,

salah satunya mempengaruhi kesehatan mental individu tersebut berupa timbulnya

perasaan cemas akan risiko patah tulang selanjutnya serta merasa sendirian oleh

karena patah tulang menjadikan seseorang menjadi tidak bebas bergerak dan

Page 2: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

2

kehilangan kemandirian. Di samping itu, patah tulang akan menyebabkan tinggi

badan berkurang dan terbentuknya punggung yang membungkuk bahkan dapat

meningkatkan risiko kematian dini, terutama setelah patah tulang panggul atau

tulang punggung, akibat infeksi atau istirahat di tempat tidur yang lama sehingga

menyebabkan terjadinya pembekuan darah atau infeksi paru (pneumonia).

(Spencer dan Brown,2007 ; Tandra,2009)

Osteoporosis kebanyakan dijumpai pada orang usia lanjut, dan 80 persen

terjadi pada kaum wanita. Namun, oleh karena beberapa faktor menyebabkan

osteoporosis juga bisa timbul pada orang muda dan kaum pria. (Tandra,2009)

Konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, konsumsi kalsium rendah, dan

gaya hidup yang tidak aktif hanyalah sedikit dari berbagai macam hal yang dapat

meningkatkan resiko terjadinya osteoporosis. Pemakaian obat-obatan jenis

tertentu pun dapat mendasari terjadinya osteoporosis, salah satunya adalah

penggunaan kortikosteroid.

Setiap orang yang menggunakan kortikosteroid dalam dosis tinggi atau

jangka panjang beresiko mengalami osteoporosis. Osteoporosis merupakan efek

samping yang paling serius diantara berbagai efek samping yang dapat

diakibatkan oleh penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid sendiri

tidak mungkin dapat dihindarkan khususnya pada penderita penyakit autoimun.

(Imboden,2007 ; Cosman,2009)

Fakta statistik menyatakan bahwa kini terdapat 200 juta penderita

osteoporosis di seluruh dunia, dimana satu diantara tiga wanita dan satu diantara

lima pria di atas 50 tahun adalah penderita osteoporosis. Prediksi pada tahun

2050, diperkirakan akan ada 6,3 juta patah tulang panggul setiap tahun di seluruh

dunia, yang lebih setengahnya terdapat di Asia. Di Indonesia data yang pasti

mengenai jumlah osteoporosis belum ditemukan. Data retrospektif osteoporosis

yang dikumpulkan di UPT Makmal Terpadu Imunoendokrinologi, FKUI dari

1690 kasus osteoporosis, ternyata yang pernah mengalami patah tulang femur dan

radius sebanyak 249 kasus (14,7%). Demikian pula angka kejadian pada patah

tulang panggul, tulang belakang, dan tulang pergelangan tangan di RSUD dr.

Soetomo Surabaya pada tahun 2001-2005, meliputi 49 dari total 83 kasus patah

Page 3: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

3

tulang panggul pada wanita usia lebih dari 60 tahun. Terdapat 8 dari 36 kasus

patah tulang belakang dan terdapat 53 dari 173 kasus patah tulang pergelangan

tangan, dimana sebagian besar terjadi pada wanita usia lebih dari 60 tahun dan

disebabkan oleh kecelakaan rumah tangga. Jumlah penderita osteoporosis di

Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir Depkes yang mematok angka 19,7

persen dari seluruh penduduk. Catatan di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya,

Semarang, Bandung, dan Medan bahkan sudah mencapai 30 persen. (Indonesian

Health Technology Assesment,2005 ; Tandra,2009)

Sayangnya, hingga kini osteoporosis belum banyak mendapat perhatian.

Kalau pada kasus hipertensi hampir 90 persen penderita yang diobati, maka pada

tulang keropos tidak lebih dari 20 persen yang memperoleh pengobatan dengan

baik, dan yang lainnya diabaikan begitu saja. (Tandra,2009)

Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian kepustakaan untuk mengetahui lebih dalam lagi

mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya osteoporosis,

terutama yang diinduksi oleh penggunaan kortikosteroid, beserta pengobatannya.

1.2. Rumusan Masalah

Karya tulis ilmiah ini akan membahas mengenai berbagai hal yang

berhubungan dengan penyakit osteoporosis, diantaranya :

1. Ada berapa jenis osteoporosis?

2. Bagaimana mekanisme terjadinya osteoporosis?

3. Apa saja faktor pencetus terjadinya osteoporosis?

4. Apa saja tanda dan gejala osteoporosis?

5. Bagaimana cara menegakkan diagnosa osteoporosis?

6. Bagaimana cara penanganan dan pencegahan yang baik dan terpadu

pada osteoporosis?

7. Sejauh mana kompetensi dokter umum dalam menangani kasus

osteoporosis?

Page 4: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

4

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui jenis-jenis osteoporosis.

2. Untuk mengetahui mekanisme terjadinya osteoporosis.

3. Untuk mengetahui apa saja faktor yang dapat mencetuskan terjadinya

osteoporosis.

4. Untuk mengenal tanda dan gejala dari osteoporosis.

5. Untuk mengetahui bagaimana cara menegakkan diagnosa osteoporosis.

6. Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah terjadinya osteoporosis

dan bagaimana cara memberikan penanganan yang tepat.

7. Untuk mengetahui sejauh mana kompetensi seorang dokter umum

dalam menangani osteoporosis.

1.4. Manfaat Penulisan

1. Menambah pengetahuan pembaca khususnya mengenai cara-cara

menghindarkan diri dari faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis.

2. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit osteoporosis.

3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang

penyakit osteoporosis.

Page 5: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TULANG

2.1.1 Sistem Kerangka

Kerangka terdiri dari berbagai tulang dan tulang rawan. Tulang adalah

jaringan ikat yang bersifat kaku dan membentuk bagian terbesar kerangka serta

merupakan jaringan penunjang tubuh utama. Tulang rawan (cartilago) adalah

sejenis jaringan ikat yang bersifat lentur dan membentuk bagian kerangka tertentu

(misalnya cartilago costalis), perbandingan antara tulang dan tulang rawan dalam

kerangka berubah seiring dengan pertumbuhan tubuh; makin muda usia

seseorang, makin besar bagian kerangka yang berupa tulang rawan.(Moore dan

Agur,2002)

Kerangka aksial terdiri dari :

1. Tulang kepala (cranium)

2. Tulang leher (os hyoideum dan vertebrae cervivcales)

3. Tulang batang tubuh (costa, sternum, vertebra, dan sacrum)

Kerangka apendikular terdiri dari :

1. Tulang extremitas (lengan dan tungkai)

2. Tulang yang membentuk gelang bahu (pektoral)

3. Gelang panggul (Moore dan Agur,2002)

Dapat dibedakan dua jenis tulang, yakni substantia spongiosa dan

substantia compacta. Perbedaan antara kedua jenis tulang tadi ditentukan oleh

banyaknya bahan padat dan jumlah serta ukuran ruangan yang ada di dalamnya.

Semua tulang memiliki kulit luar dan lapisan substantia compacta yang meliputi

massa substantia spongiosa di sebelah dalam, kecuali bila massa substantia

spongiosa diubah menjadi cavitas medullaris (rongga sumsum). (Moore dan

Agur,2002)

Page 6: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

6

Tulang compacta tampak sebagai massa yang padat sedangkan tulang

spongiosa terdiri atas anyaman trabekula. Trabekula tersusun sedemikian rupa

sehingga tahan akan tekanan dan tarikan yang mengenai tulang. (Snell,2006)

2.1.2 Penggolongan Tulang

Tulang digolongkan menurut bentuknya :

Tulang panjang adalah tubular (misalnya humerus)

Tulang pendek adalah kuboidal dan hanya terdapat di pergelangan kaki

(tarsus) dan di pergelangan tangan (carpus)

Tulang pipih, umumnya berguna sebagai pelindung (misalnya tulang pipih

cranium melindungi otak)

Tulang tak beraturan dengan beraneka ragam (misalnya tulang wajah)

Tulang sesamoid (ossa sesamoidea), terbentuk dalam tendo tertentu [misalnya

patella] dan terdapat di tempat persilangan tendo dengan ujung tulang

panjang ekstremitas; tulang sesamoid melindungi tendo terhadap keausan

berlebih dan seringkali mengubah sudut tendo sewaktu menuju ke tempat

lekatnya. (Moore dan Agur,2002)

2.1.3 Ciri-ciri Tulang

Ciri-ciri khusus terjadi pada tempat lekat tendo, ligamentum dan fascia.

Ciri-ciri dan tanda istimewa pada tulang diberi nama :

Condylus : daerah persendian yang membulat (misalnya condylus lateralis

ossis femoris)

Crista : rigi pada tulang (misalnya crista iliaca)

Epicondylus : tonjolan di atas kondilus (misalnya epicondylus lateralis ossis

humeri)

Facies : permukaan licin dan datar yang merupakan tempat pertemuan dua

tulang

Foramen : lubang melalui tulang (misalnya foramen obturatum)

Fossa : lekuk atau daerah yang melesak (misalnya fossa infraspinata os

scapula)

Page 7: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

7

Linea : peninggian berupa garis (misalnya linea musculi solei)

Malleolus : tonjolan yang membulat (misalnya malleolus lateralis ossis

fibulae)

Incisura : takik pada pinggir tulang (misalnya incisura ischiadica major)

Protuberantia : penonjolan (misalnya protuberantia occipitalis externa)

Spina : tonjolan menyerupai duri (misalnya spina scapulae)

Processus spinosus : tonjolan yang menyerupai duri (misalnya processus

spinosus vertebrae)

Trochanter : peninggian besar yang tumpul (misalnya trochanter major

femoris)

Tuberculum : peninggian kecil (misalnya tuberculum majus humeri)

Tuberositas atau tuber : peninggian yang besar dan membulat,

pembengkakan (misalnya tuber ischiadicum). (Moore dan Agur,2002)

2.1.4 Perkembangan Tulang

Semua tulang berasal dari mesenkim (jaringan ikat luar embrional), tetapi

dibentuk dengan dua cara yang berbeda. Tulang berkembang melalui dua cara,

dengan mengganti mesenkim, atau dengan mengganti tulang rawan; susunan

histologis tulang selalu bersifat sama, baik tulang itu dikembangkan dari selaput

ataupun tulang itu berasal dari tulang rawan. (Moore dan Agur,2002 ;

Monkhouse,2007)

Model tulang mesenkimal terbentuk selama masa embrional dan mulai

mengalami penulangan (osifikasi) langsung pada masa fetal; cara

pembentukan tulang ini disebut penulangan membranosa.

Model tulang dalam bentuk tulang rawan yang terjadi pada masa fetal dari

mesenkim kemudian diganti dengan tulang pada sebagian besar model

bersangkutan; jenis perkembangan tulang demikian disebut penulangan

enkondrial. (Moore dan Agur,2002 ; Monkhouse,2007)

Badan (batang, tangkai) suatu tulang yang menulang dari suatu pusat

penulangan primer, disebut diafisis. Pusat penulangan sekunder terbanyak

terbentuk setelah kelahiran; bagian tulang yang mengalami penulangan melalui

Page 8: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

8

pusat sekunder demikian disebut epifisis. Bagian diafisis yang melebar dan

terletak paling dekat pada epifisis dikenal sebagai metafisis. Supaya pertumbuhan

memanjang dapat berlangsung, tulang yang berasal dari pusat sekunder dalam

kedua epifisis sampai ukuran tulang dewasa tercapai. Selama pertumbuhan tulang,

lempeng tulang rawan yang dikenal sebagai lempeng (tulang rawan) epifiseal,

terdapat antara diafisis dan kedua epifisis. Lempeng pertumbuhan ini akhirnya

diganti dengan tulang pada kedua sisinya, di sebelah diafisis dan di sebelah

epifisis. Tulang yang terbentuk pada proses peleburan (sinostosis) ini, terutama

bersifat padat dan dikenali sebagai garis epifiseal. Peleburan epifiseal pada tulang

berlangsung secara progresif dari masa akil balig sampai usia dewasa. (Moore dan

Agur,2002 ; Monkhouse,2007)

2.1.5 Tulang Rawan

Tulang rawan (cartilago) merupakan bentuk jaringan ikat yang sel-sel

dan serabut-serabutnya tertanam di dalam matriks yang berbentuk seperti agar-

agar. Matriks bertanggung jawab atas kekuatan dan kepegasan tulang rawan.

Kecuali pada permukaan sendi, tulang rawan diliputi oleh selapis membrana

fibrosa yang dinamakan perichondrium. (Snell,2006)

Terdapat tiga bentuk cartilago :

1. Cartilago hyalin mempunyai banyak matriks amorf yang mempunyai

indeks bias yang sama dengan serabut-serabut yang terbenam di dalamnya.

Selama masa anak-anak dan remaja, cartilago hyalin berperan penting pada

pertumbuhan tulang panjang (lempeng epiphysis terdiri atas cartilago

hyalin). Cartilago ini sangat tahan terhadap robekan dan meliputi hampir

seluruh permukaan sendi sinovial. Cartilago hyalin tidak dapat diperbaki

bila mengalami fraktur; tempat kerusakan diisi oleh jaringan fibrosa.

2. Cartilago fibrosa mempunyai banyak serabut fibrosa yang tertanam di

dalam sedikit matriks. Fibrocartilago ditemukan di dalam discus articularis

(misalnya pada articulatio temporomadibularis) dan pada permukaan sendi

clavicula dan mandibula. Bila rusak, fibrocartilago dapat memperbaiki

Page 9: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

9

dirinya sendiri secara lambat dengan cara yang sama dengan jaringan

fibrosa lainnya di dalam tubuh. (Snell,2006)

3. Cartilago elastis mempunyai banyak serabut elastis yang tertanam di dalam

matriks. Seperti yang dapat diduga, tulang rawan ini sangat fleksibel dan

ditemukan pada auricula, meatus acusticus externus, tuba auditiva, dan

epiglotis. Bila mengalami kerusakan tulang rawan ini dapat memperbaiki

dirinya sendiri dengan jaringan fibrosa. (Snell,2006)

Cartilago hyalin dan cartilago fibrosa cenderung mengalami kalsifikasi atau

malahan mengalami osifikasi pada kehidupan selanjutnya. (Snell,2006)

2.1.6 Vaskularisasi dan Persarafan Tulang

Arteri memasuki tulang dari periosteum, selaput jaringan ikat berserabut

yang meliputi tulang. Arteri periostal masuk di banyak tempat dan mendarahi

substantia compacta; arteri ini bertanggungjawab untuk nutrisinya. Maka, tulang

yang periosteumnya disingkirkan akan mati. Di dekat pertengahan diafisis satu

arteria nutriens menembus substantia compacta secara miring dan mendarahi

substantia spongiosa dan sumsum tulang. Arteri metafiseal dan epifiseal

mendarahi tulang. (Moore dan Agur,2002)

Vena mengiringi arteri, dan banyak vena besar meninggalkan tulang melalui

foramen di dekat ujung artikular tulang. Tulang yang bersumsum tulang merah,

memiliki banyak vena yang besar. (Moore dan Agur,2002)

Pembuluh limfe terdapat amat banyak dalam periosteum.

Saraf mengikuti pembuluh darah yang memasok tulang. Periosteum amat

kaya akan saraf sensoris yang disebut saraf periostal; beberapa diantara saraf itu

mengandung serabut untuk rasa sakit. Saraf ini terutama peka terhadap robekan,

atau tegangan, dan ini dapat menjelaskan mengapa rasa sakit pada fraktur terasa

amat hebat. Di dalam tulang, saraf vasomotoris menyebabkan penyempitan atau

pelebaran pembuluh darah. (Moore dan Agur,2002)

2.2 FISIOLOGI TULANG

2.2.1 Struktur Tulang

Page 10: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

10

Tulang pada anak-anak dan dewasa ada dua jenis, yaitu : tulang kompak

atau kortikal, yang menyusun lapisan luar dari hampir semua tulang dan

merupakan 80% dari tulang tubuh; dan tulang trabekular atau spongiosa di

sebelah dalam tulang kortikal, yang menyusun 20% sisa tulang tubuh. Pada tulang

kompak, rasio permukaan tulang terhadap volume tulang rendah, dan osteosit, sel-

sel tulang pada jenis ini, bersifat pasif. Mereka berada dalam lakuna dan

menerima nutrien melalui kanalikuli yang bercabang-cabang di seluruh tulang

kompak. Tulang trabekular tersusun dari spikula atau lempeng-lempeng, dengan

rasio permukaan terhadap volume yang tinggi, dan banyak sel yang duduk pada

permukaan lempeng-lempeng tersebut. Aktivitas metabolismenya tinggi. Dalam

tulang spongiosa, nutrien berfusi dari CES tulang ke dalam trabekula, tetapi dalam

tulang kompak, nutrien disediakan melalui kanalis Havers, yang mengandung

pembuluh darah. Di sekitar setiap kanalis Havers, tersusun kolagen dalam lapis-

lapis konsentrik, membentuk silinder-silinder yang dinamakan osteon atau sistem

Havers. (Ganong,2003)

Tulang merupakan bentuk khusus jaringan ikat yang tersusun oleh

kristal-kristal mikroskopik fosfat kalsium, di dalam matriks kolagen. Karena

merupakan suatu bentuk jaringan ikat, tulang terdiri dari sel dan matriks organik

ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks

organik dikenal sebagai osteoblas (pembentuk tulang). Tulang terdiri atas matriks

organik keras yang sangat diperkuat oleh endapan garam kalsium. Tulang padat

rata-rata mengandung matriks 30% berat dan yang 70%-nya terdiri atas garam.

Tulang yang baru dibentuk mungkin memiliki persentase matriks yang lebih

tinggi daripada garamnya. 90 – 95 % matriks organik tulang terdiri atas serat-serat

kolagen, dan sisanya adalah medium gelatin homogen yang disebut sebagai

substansi dasar. Serat-serat kolagen menyebar terutama di sepanjang sumbu

penunjang tegangan. Matriks organik terdiri dari serat-serat kolagen dalam gel

semipadat yang kaya mukopolisakarida yang disebut juga sebagai bahan dasar

(ground substance). Matriks ini memiliki konsistensi seperti karet dan

menentukan daya rentang tulang (ketahanan tulang terhadap kerusakan ketika

mendapat tekanan). Tulang menjadi keras karena pengendapan kristal-kristal

Page 11: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

11

kalsium fosfat di dalam matriks. Kristal anorganik ini memberikan kekuatan

kompresi (kemampuan tulang untuk mempertahankan bentuknya ketika ditekan

atau terjepit) pada tulang. Jika hanya terdiri dari kristal anorganik, tulang akan

rapuh seperti kapur tulis. Tulang memiliki kekuatan struktural yang mendekati

beton bertulang, namun tulang tidak rapuh dan jauh lebih ringan akibat

pencampuran struktural matriks organik yang diperkuat oleh kristal anorganik.

(Guyton dan Hall,1997; Sherwood,2001 ; Ganong,2003)

Substansi dasar tulang terdiri atas cairan ekstraseluler ditambah dengan

proteoglikan, khususnya kondroitin sulfat dan asam hialuronat. Fungsi yang

sebenarnya dari setiap bahan-bahan ini tidak diketahui, walaupun bahan-bahan ini

memang membantu mengatur pengendapan garam-garam kalsium.(Guyton dan

Hall,2007)

Tulang rawan (kartilago) serupa dengan tulang, kecuali bahwa tulang

rawan yang hidup tersebut tidak mengalami kalsifikasi. (Sherwood,2001)

Sebuah tulang panjang pada dasarnya terdiri dari batang silindris yang

relatif uniform, yaitu diafisis dan epifisis, yaitu benjolan persendian di kedua

ujungnya. Pada tulang yang sedang tumbuh, diafisis dipisahkan dari epifisis di

kedua ujungnya oleh sebuah lapisan tulang rawan yang dikenal sebagai lempeng

epifisis. Rongga sentral tulang terisi oleh sumsum tulang, yang merupakan tempat

produksi sel-sel darah. (Sherwood,2001)

Pertumbuhan ketebalan tulang dicapai oleh penambahan tulang baru di

atas tulang yang sudah ada di permukaan luarnya. Pertumbuhan ini terjadi melalui

aktivitas osteoblas di dalam periosteum, suatu pembungkus jaringan ikat yang

menutupi permukaan luar tulang. Sewaktu tulang baru diendapkan oleh osteoblas

di permukaan eksternal, sel-sel lain di dalam tulang, osteoklas (penghancur

tulang), melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam yang berdekatan dengan

rongga sumsum. Dengan cara ini, rongga sumsum membesar mengimbangi

peningkatan lingkaran batang tulang. (Sherwood,2001)

Pertumbuhan panjang tulang-tulang panjang dilakukan oleh mekanisme

yang berbeda dengan pertumbuhan ketebalan. Tulang bertambah panjang sebagai

akibat proliferasi tulang rawan di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan,

Page 12: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

12

dihasilkan sel-sel tulang rawan (kondrosit) baru melalui pembelahan sel di batas

luar lempeng yang berdekatan dengan epifisis. Saat kondrosit baru sedang

dibentuk di batas epifisis, sel-sel tulang rawan lama ke arah batas diafisis

membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dan hipertrofi kondrosit

matang menyebabkan lempeng epifisis mengalami peningkatan ketebalan (lebar)

tulang untuk sementara. Penebalan lempeng tulang rawan ini menyebabkan

epifisis terdorong menjauhi diafisis. Matriks yang mengelilingi kartilago tua yang

hipertrofi dengan segera mengalami kalsifikasi. Karena tulang rawan tidak

memiliki jaringan kapiler sendiri, kelangsungan hidup sel-sel tulang rawan

bergantung pada difusi nutrien dan O2 melalui ground substance, suatu proses

yang dihambat oleh adanya endapan garam-garam kalsium. Akibatnya, sel-sel

tulang rawan tua yang terletak di batas diafisis mengalami kekurangan nutrien dan

mati. Dengan osteoklas membersihkan kondrosit yang mati dan matriks

terkalsifikasi yang mengelilinginya, daerah ini kemudian diinvasi oleh osteoblas-

osteoblas yang berkerumun ke atas dari diafisis, sambil menarik jaringan kapiler

bersama mereka. Penghuni baru ini meletakkan tulang di sekitar bekas sisa-sisa

tulang rawan yang terpisah-pisah sampai bagian dalam tulang rawan di sisi

diafisis lempeng seluruhnya diganti oleh tulang. Apabila proses osifikasi

(pembentukan tulang) ini selesai, tulang di sisi diafisis telah bertambah

panjangnya, dan lempeng epifisis telah kembali ke ketebalannya semula. Tulang

rawan yang diganti oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang

setara dengan pertumbuhan tulang rawan baru di ujung epifisis lempeng. Dengan

demikian, pertumbuhan tulang dimungkinkan oleh pertumbuhan dan kematian

tulang rawan, yang bekerja seperti suatu “pengatur jarak” (di mesin tik) untuk

mendorong epifisis menjauh sementara menyediakan kerangka untuk

pembentukan tulang di ujung diafisis. (Sherwood,2001)

Ketika matriks ekstrasel yang dihasilkan oleh osteoblas mengalami

kalsifikasi, osteoblas, seperti kondrosit pendahulunya, terkubur oleh matriks yang

mengendap di sekitarnya. Namun, tidak seperti kondrosit, osteoblas yang

terperangkap di dalam matriks terkalsifikasi tidak mati karena sel-sel tersebut

mendapat pasokan nutrien dari saluran-saluran kecil yang dibentuk oleh osteoblas

Page 13: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

13

itu sendiri dengan menjulurkan tonjolan-tonjolan sitoplasma menembus matriks

tulang. Dengan demikian, pada produk tulang akhir, terbentuk jaringan saluran

yang memancar dari setiap osteoblas yang terperangkap yang berfungsi sebagai

sistem penyalur untuk penyampaian nutrien dan pengeluaran zat sisa. Osteoblas

yang terperangkap, yang sekarang disebut osteosit, berhenti melaksanakan tugas

membentuk tulang karena “dipenjara” dan tidak lagi dapat meletakkan tulang

baru. Namun sel-sel ini ikut serta dalam pertukaran kalsium antara tulang dan

darah yang diatur oleh hormon. Pertukaran ini berada di bawah kontrol hormon

paratiroid, bukan hormon pertumbuhan. (Sherwood,2001)

Hormon pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan tulang, baik tebal

maupun panjangnya. Hormon ini merangsang proliferasi tulang rawan epifisis,

sehingga menyediakan lebih banyak ruang untuk membentuk tulang serta juga

merangsang aktivitas osteoblas. Hormon pertumbuhan dapat meningkatkan

pemanjangan tulang panjang selama lempeng epifisis tetap berupa tulang rawan

atau terbuka. Pada akhir masa remaja, di bawah pengaruh hormon-hormon seks,

lempeng ini mengalami penulangan sempurna atau tertutup, sehingga tulang tidak

lagi dapat bertambah panjang walaupun terdapat hormon pertumbuhan. Dengan

demikian, setelah lempeng tertutup, individu tidak dapat lagi bertambah tinggi.

(Sherwood,2001)

Pengendapan dan absorbsi tulang yang terus-menerus mempunyai

banyak makna fisiologik yang penting.

1. Biasanya tulang mengatur kekuatannya sesuai dengan besarnya tegangan

pada tulang itu. Akibatnya, bila mendapat beban yang berat tulang akan

menebal.

2. Dengan pengendapan dan absorbsi, bentuk tulang dapat ditata kembali

untuk mendukung tenaga mekanis yang sesuai dengan pola stres yang

didapatkannya.

3. Oleh karena tulang yang sudah tua relatif lemah dan rapuh, maka

diperlukan matriks organik baru untuk menggantikan matriks organik yang

telah berdegenerasi. (Guyton dan Hall,1997)

Page 14: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

14

Dengan pola ini, maka kekerasan yang normal dari tulang tetap

dipertahankan. Ternyata, pada tulang anak-anak, yang pengendapan dan

absorbsinya berlangsung dengan cepat, menunjukkan sedikit kerapuhan bila

dibandingkan dengan tulang usia tua, yang kecepatan pengendapan dan

absorbsinya lambat. (Guyton dan Hall,1997)

Tulang mengalami pengendapan sesuai dengan beban yang harus

disangganya. Dengan kata lain, stres fisik yang terus-menerus dapat menstimulasi

proses kalsifikasi dan pengendapan osteoblastik pada tulang. Pada keadaan-

keadaan tertentu, stres pada tulang juga menentukan bentuk tulang, terutama pada

anak-anak akibat cepatnya pembentukan tulang kembali pada usia yang lebih

muda. (Guyton dan Hall,1997)

2.2.2 Ambilan Mineral Lain

Timbal dan unsur toksik lain diambil dan dilepaskan oleh tulang dengan

cara serupa dengan proses pertukaran kalsium. Penyerapan unsur-unsur ini dengan

cepat oleh tulang kadang-kadang disebut “mekanisme detoksifikasi” karena

proses ini berfungsi untuk mengeluarkan unsur-unsur tersebut dari cairan tubuh,

sehingga mengurangi manifestasi toksik. Fluorida yang diambil oleh tulang

menyebabkan terbentuknya tulang baru. Unsur ini juga menyatu dengan email

gigi. Fluorida dalam jumlah kecil meningkatkan resistensi gigi terhadap karies.

Namun, fluorida dalam jumlah besar menyebabkan perubahan warna email

(mottled enamel). (Ganong,2003)

2.2.3 Fungsi Tulang

Tulang berguna untuk :

Melindungi struktur vital (misalnya tengkorak dan columna vertebralis

melindungi otak dan medulla spinalis dari cedera; sternum dan iga-iga

melindungi visera rongga thorax dan abdomen bagian atas);

Menopang tubuh;

Mendasari gerak secara mekanis;

Membentuk sel darah (sumsum tulang);

Page 15: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

15

Menimbun berbagai mineral.(Moore dan Agur,2002)

2.3 OSTEOPOROSIS

2.3.1 Definisi

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

rendahnya massa tulang, gangguan mikroarsitektur jaringan tulang, dan pada

akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya fraktur. (Imboden,et al,2007)

Rendahnya massa tulang disebabkan oleh hilangnya sedikit demi sedikit

massa tulang pada proses pergantian tulang yang konstan. Keadaan yang umum

ini paling sering terlihat pada pria usia lanjut maupun wanita usia lanjut, kendati

lebih menonjol pada wanita pascamenopause. (Mitchell,et al,2009)

Dalam konferensi yang diadakan oleh The National Institutes of Health,

disepakati bahwa osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit meningkatnya

kerapuhan tulang yang disertai dengan rendahnya kepadatan mineral tulang (T-

score untuk kepadatan mineral tulang -2,5) dan memburuknya mikroarsitektur

tulang. (Rosen,2005)

Osteoporosis merupakan penyakit tulang metabolik yang terbanyak

ditemukan (kelainan yang melibatkan semua rangka) dan merupakan penyebab

penting morbiditas pada orang lanjut usia. (Isselbacher,et al,2000)

Osteoporosis secara klinis tidak tampak sampai terjadi fraktur yang

pertama; oleh karena itu, mereka yang berisiko mengalami penyakit ini sangat

penting untuk dikenali lebih awal dan langkah-langkah yang diambil adalah untuk

mencegah fraktur dan hilangnya tulang. (Lin dan Rypkema,2010)

2.3.2 Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang menjadikan sebagian orang

mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami osteoporosis. Di bawah ini

diuraikan faktor risiko turunan dan faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi

berkurangnya massa tulang. (Dalimartha,2002)

A. Faktor risiko turunan

1) Perempuan

Page 16: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

16

Perempuan mempunyai risiko 6 kali lebih besar daripada laki-laki

untuk terkena osteoporosis primer. Hal ini disebabkan massa tulang

puncaknya yang lebih rendah dan kehilangan massa tulangnya yang lebih

cepat setelah menopause.(Dalimartha,2002)

2) Usia

Semakin lanjut usia seseorang, semakin besar kehilangan massa

tulangnya dan semakin besar pula kemungkinan timbulnya osteoporosis. Di

samping itu, semakin tua akan semakin berkurang pula kemampuan saluran

cerna untuk menyerap kalsium. (Dalimartha,2002) Di atas usia sekitar 35

tahun, kepadatan tulang menurun, sehingga osteoporosis terutama terjadi

pada pria dan wanita di atas usia 50 tahun. (Spencer dan Brown,2007)

Dengan bertambahnya usia, risiko terjatuh dan patah tulang

menjadi bertambah pula. Ini bisa disebabkan oleh faktor lingkungan,

misalnya permukaan karpet yang tidak rata, naik tangga, atau tersandung

tepi karpet. Ada juga faktor kesehatan lanjut usia, seperti gangguan

penglihatan, gangguan pendengaran atau pikun, keseimbangan tubuh yang

berkurang, otot makin lemah, atau akibat penyakit lain seperti stroke.

(Tandra,2009)

3) Etnik Asia atau Kaukasia

Umumnya perempuan kulit putih mempunyai risiko yang lebih

besar daripada perempuan kulit hitam, dan laki-laki kulit putih juga

mempunyai risiko yang lebih besar daripada laki-laki kulit hitam. (Lin dan

Rypkema,2010) Satu penjelasan mengenai perbedaan pada populasi ini

adalah bahwa massa tulang pada kematangan rangka merupakan suatu

penentu dari massa tulang pada usia berikutnya. (Isselbacher,et al,2000)

Insidensi osteoporosis dan fraktur panggul yang lebih rendah pada

laki-laki dan perempuan kulit hitam diduga disebabkan oleh kandungan

mineral tulang yang lebih tinggi pada orang kulit hitam daripada orang kulit

putih, meskipun terdapat fakta bahwa pembentukan tulang lebih rendah

pada orang kulit hitam. Karena pembentukan dan resorpsi biasanya

Page 17: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

17

berkaitan, dan karena massa tulang meningkat, resorpsi (dan pergantian)

tulang juga pasti berkurang. (Isselbacher,et al,2000)

4) Kerangka tulang kecil

Orang yang rangka tulangnya kecil cenderung lebih sering

mengalami osteoporosis ketimbang orang dengan rangka tulang yang besar.

(Dalimartha,2002)

5) Terdapat anggota keluarga yang mengalami osteoporosis

Biasanya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor

genetik. Wanita yang mempunyai ibu yang pernah mengalami patah tulang

panggul dalam usia tua akan dua kali lebih mudah terkena patah tulang yang

sama. (Tandra,2009)

6) Berat badan dan Body Mass Index (BMI) rendah

Orang kurus lebih mudah mengalami osteoporosis bila

dibandingkan dengan orang gemuk. (Dalimartha,2002)

7) Ruas tulang belakang membengkok ke samping (skoliosis)

(Dalimartha,2002)

B. Faktor risiko lingkungan

1) Menopause atau defisiensi hormon estrogen

Estrogen sangat penting untuk menjaga kepadatan massa tulang.

(Dalimartha,2002) Estrogen akan mengurangi fungsi osteoklas, sebagian

melalui inhibisi aktivasi monosit dan inhibisi aktivitas osteoblas melalui

supresi gen yang mengekspresikan IL-1, IL-6, dan TNF. (Greenstein dan

Wood,2010) Turunnya kadar estrogen bisa terjadi akibat kedua indung telur

telah diangkat atau diradiasi karena kanker, telah menopause, menopause

dini, atau pada keadaan hipogonadisme. Keadaan hipogonadisme ditandai

dengan terlambatnya mendapat haid (amenore). Kekurangan hormon

estrogen akan mengakibatkan lebih banyak resorpsi tulang daripada

pembentukan tulang. Akibatnya, massa tulang yang sudah berkurang karena

bertambahnya usia, akan diperberat lagi dengan berkurangnya hormon

estrogen setelah menopause. (Cosman,2009)

2) Kadar testosteron yang rendah pada laki-laki

Page 18: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

18

Hormon testosteron pada laki-laki sangat penting guna mencapai

dan menjaga massa tulang yang maksimal. Pubertas yang terlambat pada

laki-laki juga merupakan faktor risiko berkurangnya massa tulang yang

cenderung mengakibatkan timbulnya osteoporosis. (Cosman,2009)

3) Diet ketat untuk menurunkan berat badan sampai menyebabkan terhentinya

haid (Cosman,2009)

4) Menderita penyakit kronis

Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis pada

seseorang oleh karena penggunaan obat yang berlebihan atau terlalu sering,

seperti steroid atau hormon tiroid, dimana obat-obat ini dapat menyebabkan

meningkatnya proses resorpsi tulang. (Cosman,2009)

5) Makanan yang kurang kalsium dan vitamin D

Jumlah kalsium pada tubuh orang dewasa sekitar 1 – 2 kg. Dari

jumlah tersebut, 98% tersimpan di dalam tulang. Untuk menjaga

keseimbangan kalsium darah, dibutuhkan hormon paratiroid (PTH), vitamin

D, dan kalsium. Hormon tersebut bekerja di tempat kalsium memasuki

tubuh (saluran cerna), tempat pembuangan kalsium (urin, tinja, dan

keringat), dan tempat penyimpanannya (tulang). Yang juga berperan pada

metabolisme kalsium di tulang antara lain hormon estrogen, hormon

endrogen, kadar kalsium, fosfat, usia, dan keadaan yang menyebabkan

seseorang tidak bisa bergerak (imobilisasi) seperti penderita lumpuh. Dari

tempat penyimpanannya, kalsium dapat diambil dan disimpan kembali

tergantung dari kebutuhan. Kebutuhan kalsium akan meningkat pada masa

pertumbuhan, kehamilan, selama menyusui, dan setelah menopause.

(Isselbacher,et al,2000)

Vitamin D merupakan hormon yang dibutuhkan untuk penyerapan

kalsium di usus. Dengan bertambahnya usia, penyerapan kalsium di usus

akan terganggu karena berkurangnya vitamin D dan enzim pencernaan

(laktase), rendahnya pengeluaran asam lambung, dan berkurangnya

kemampuan usus mengangkut kalsium. Berkurangnya kadar kalsium darah

di usia lanjut akan mengakibatkan naiknya kadar hormon paratiroid

Page 19: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

19

sehingga tulang melepaskan kalsium agar kadar kalsium darah tetap normal.

Selanjutnya terjadi proses penipisan massa tulang dan terjadi osteoporosis.

(Isselbacher,et al,2000)

Vitamin D bisa diperoleh dari hati dan ikan berlemak seperti

sarden, salmon, serta belut. Kulit juga bisa membuat vitamin D sendiri

dengan bantuan sinar ultraviolet matahari. Kebutuhan vitamin D sehari pada

orang dewasa adalah 400 IU. Pemberian vitamin ini mungkin tidak

diperlukan di negara tropis karena tersedianya sinar matahari sepanjang

tahun. (Isselbacher,et al,2000)

6) Rokok, alkohol, kopi, garam, dan minuman ringan

Diet tinggi kafein, fosfat, dan garam (natrium) dapat mengganggu

keseimbangan kalsium. Kafein akan meningkatkan pembuangan kalsium

melalui urin. Makanan yang diasinkan juga dapat mempercepat timbulnya

rapuh tulang. Dalam minuman ringan (soft drink) terdapat kandungan fosfat.

Tingginya asupan fosfat akan menyebabkan ratio fosfat – kalsium yang

abnormal. Bila ratio menjadi 6 : 1, maka risiko terjadinya osteoporosis dan

hiperparatiroid akan meningkat. Namun, bila konsumsi kalsiumnya cukup,

osteoporosis tidak akan terjadi. (Isselbacher,et al,2000)

Merokok, terutama pada perempuan yang sudah dimulai sejak

remaja, akan menurunkan kadar estrogen di dalam darah, sehingga

pencapaian densitas puncak tulang akan berkurang, menopause terjadi lebih

dini, dan terganggunya pengobatan yang menggunakan obat pengganti

hormon. (Isselbacher,et al,2000)

Alkohol merupakan salah satu penyebab rapuhnya tulang. Merokok

dan minum alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan risiko osteoporosis

menjadi dua kali lipat. (Isselbacher,et al,2000)

7) Asupan asam berlebihan

Asupan asam yang terlalu banyak, terutama dalam bentuk diet

tinggi protein dapat ikut menyebabkan pelarutan tulang dalam upaya

Page 20: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

20

menyangga kelebihan asam. (Isselbacher,et al,2000) Kekurangan protein

akan mengganggu proses pertumbuhan anak, karena berkurangnya

pembentukan tulang kortikal dan tidak tercapainya puncak massa tulang.

Namun, makanan yang kaya protein bila dikonsumsi lebih dari 120 gram

per hari, maka akan meningkatkan pengeluaran kalsium melalui urin.

(Dalimartha,2002)

Asidosis juga dapat meningkatkan fungsi osteoklas secara

langsung. (Isselbacher,et al,2000)

8) Obat-obatan

Penggunaan steroid bisa mempercepat osteoporosis. Makin tinggi

dosis dan makin lama pemakaian, risiko osteoporosis menjadi makin besar.

(Tandra,2009)

Penggunaan heparin yang berlangsung lama sebagai suatu

antikoagulan juga dapat menyebabkan osteoporosis, dimana heparin

meningkatkan resorpsi tulang in vitro. (Isselbacher,et al,2000)

Beberapa contoh lain dari obat yang dapat meningkatkan risiko

terjadinya osteoporosis diantaranya hormon tiroid, obat-obat antikonvulsan,

antasida yang mengandung alumunium, obat kanker, obat TBC, diuretik,

dan tetrasiklin. (Dalimartha,2002)

9) Gaya hidup inaktif

Olahraga merupakan faktor penting yang menentukan laju

kehilangan massa tulang terkait usia pada pria dan wanita, serta pada pria

dan wanita pascamenopause. Risiko fraktur panggul dapat berkurang

dengan olahraga teratur, walaupun tidak jelas apakah ini akibat densitas

tulang yang terjaga atau akibat kekuatan otot, keseimbangan, dan kegesitan

yang terjaga. (Greenstein dan Wood,2010) Di sisi lain, seseorang yang tidak

pernah berolahraga, sakit berat yang menyebabkan penderitanya harus

berbaring di tempat tidur (imobilisasi), dan pekerjaan dengan banyak duduk

akan menyebabkan otot mengecil dan berkurangnya massa tulang. Pada usia

lanjut, imobilisasi yang lama akan menyebabkan timbulnya osteoporosis.

(Tandra,2009)

Page 21: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

21

Literatur lain mengelompokkan faktor risiko terjadinya osteoporosis atas 2, yaitu :

1. Faktor risiko yang tidak bisa dicegah

a) Riwayat keluarga mengalami osteoporosis;

b) Riwayat pernah mengalami patah tulang;

c) Ras kulit putih atau Asia;

d) Usia lanjut;

e) Jenis kelamin wanita;

f) Berat badan rendah atau terlalu kurus.

2. Faktor risiko yang bisa dicegah / diatasi

a) Merokok;

b) Kurang mengkonsumsi kalsium dan vitamin D;

c) Minum alkohol;

d) Penglihatan kabur atau rabun;

e) Kurangnya aktivitas fisik;

f) Kurang estrogen atau menopause dini; (Tandra,2009)

g) Riwayat amenore;

h) Penggunaan glukokortikoid. (Imboden,et al,2007)

2.3.3 Patofisiologi

Ciri khas atau penanda utama (bukti nyata) terjadinya osteoporosis

adalah berkurangnya massa tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan

antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Secara fisiologi, resorpsi dan

pembentukan tulang berjalan seimbang. Adanya perubahan, baik peningkatan

resorpsi atau penurunan pembentukan tulang, akan berakhir dengan terjadinya

osteoporosis. Osteoporosis dapat disebabkan oleh keduanya, yaitu oleh karena

gagalnya pembentukan tulang dan mencapai puncak massa tulang saat dewasa

muda dan bisa juga oleh karena kehilangan massa tulang di masa yang akan

datang. Percepatan kehilangan massa tulang dapat terjadi pada masa menopause

pada wanita serta pada pria maupun wanita yang telah lanjut usia. Osteoporosis

juga dapat terjadi secara sekunder akibat berbagai jenis penyakit dan pengobatan.

(Kosmin dan Jacobs,2011)

Page 22: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

22

Kehilangan fungsi gonad dan penuaan merupakan dua faktor terpenting

yang berperan dalam perkembangan osteoporosis. (Kosmin dan Jacobs,2011)

Pada proses penuaan, terjadi resorpsi pada daerah endokortikal,

intrakortikal, dan permukaan trabekula, sehingga trabekula menipis atau

menghilang, dan korteks tulang menipis dan menjadi porous. Secara bersamaan,

terjadi formasi periosteal yang akan mengkompensasi penipisan tulang dari arah

endosteum. Pada pria, proses aposisi periosteal lebih besar dibandingkan yang

terjadi pada wanita. Sehingga pada usia tua, tulang wanita akan lebih tipis

dibandingkan dengan tulang pria. Hal inilah yang menyebabkan fraktur lebih

mudah terjadi pada wanita dibanding pria. (Setiyohadi,2003)

Fraktur akibat osteoporosis pada pria dan wanita pada umumnya

disebabkan densitas tulang yang rendah. Pada penderita osteoporosis, terjadi

penurunan densitas tulang yang merata pada seluruh tulang. Tetapi, penurunan

densitas yang terberat adalah pada lokasi dimana fraktur terjadi. (Setiyohadi,2003)

Vertebra merupakan bagian tulang yang paling sering mengalami fraktur

pada penderita osteoporosis karena korpus vertebra merupakan tulang yang relatif

kecil ukurannya dengan korteks yang tipis dan trabekulasi yang juga menipis atau

malah menghilang, terutama trabekula yang horizontal. Kehilangan trabekula

pada pria berbeda dengan wanita. Pada wanita, proses osteoporosis terjadi karena

penurunan kadar estrogen yang drastis sehingga resorpsi osteoklas menjadi

berlebihan dan tidak dapat diimbangi oleh formasi osteoblas. Akibatnya, terjadi

perforasi trabekula dan putusnya trabekula. Sedangkan pada pria, walaupun

resorpsi lebih aktif dibandingkan pada usia muda, tetapi formasi jauh menurun

dibanding dengan peningkatan resorpsi, sehingga hasilnya adalah penipisan

trabekula tanpa perforasi atau putusnya trabekula. Oleh sebab itu, tulang pria juga

relatif lebih aktif bila dibandingkan dengan wanita. (Setiyohadi,2003)

Fisiologi remodeling tulang adalah sebagai berikut. Setelah pertumbuhan

berhenti dan puncak massa tulang tercapai, maka proses remodeling tulang akan

dilanjutkan pada permukaan endosteal. Osteoklas akan melakukan resorpsi tulang

sehingga akan meninggalkan rongga yang disebut lakuna Howship pada tulang

trabekular atau rongga kerucut (cutting cone) pada tulang kortikal. Setelah

Page 23: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

23

resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang pada rongga yang

ditinggalkan osteoklas membentuk matriks tulang yang disebut osteoid,

dilanjutkan dengan mineralisasi primer yang berlangsung dalam waktu yang

singkat, dan dilanjutkan dengan mineralisasi sekunder dalam waktu yang lebih

panjang dengan tempo yang lebih lambat sehingga tulang menjadi keras.

(Setiyohadi,2003)

Pada awalnya, proses remodeling ini berlangsung seimbang sehingga

tidak ada kekurangan maupun kelebihan massa tulang. Tetapi, dengan

bertambahnya umur, proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai terjadi

defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai pada dekade ketiga kehidupan

atau beberapa tahun sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui secara

pasti apa penyebab penurunan formasi tulang pada usia dewasa mungkin

berhubungan dengan penurunan aktivitas individu yang bersangkutan, atau umur

osteoblas yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang, atau sinyal

mekanis dari osteosit yang abnormal. (Setiyohadi,2003)

Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui

memegang peranan penting pada pertumbuhan tulang dan proses penuaan.

(Setiyohadi,2003) Defisiensi estrogen akan berakhir dengan lebih meningkatnya

resorpsi tulang dibandingkan dengan pembentukan tulang itu sendiri. (Wells,et

al,2006) yang nantinya akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.

(Lane,2001)

Penurunan kadar estrogen akan memacu aktivitas remodeling tulang

yang makin tidak seimbang karena osteoblas tidak dapat mengimbangi kerja

osteoklas, sehingga massa tulang akan menurun dan tulang akan menjadi

osteoporotik. Aktivitas osteoklas yang meningkat akan menyebabkan

terbentuknya lakuna Howship yang dalam dan putusnya trabekula, sehingga

kekuatan tulang akan turun dan tulang menjadi mudah mengalami fraktur.

(Setiyohadi,2003)

Selain itu, defisiensi estrogen juga akan meningkatkan osteoklastogenesis

dengan mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti. Lingkungan mikro di

dalam sumsum tulang memegang peranan yang sangat penting pada

Page 24: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

24

osteoklastogenesis, karena di sini dihasilkan berbagai sitokin, seperti tumor

necrosing factor (TNF) dan berbagai macam interleukin. (Setiyohadi,2003)

Berkurangnya kadar estrogen serum mengakibatkan peningkatan sekresi dari

sitokin ini, khususnya interleukin-1 dan interleukin-6 serta TNF oleh sel-sel

monosit darah. Sitokin ini merupakan stimulator poten yang merangsang

rekruitmen dan aktivitas osteoklas. (Mitchell,2009)

Osteoblas diketahui menghasilkan berbagai faktor yang dapat

menghambat maupun merangsang osteoklastogenesis. (Setiyohadi,2003) Aktivitas

kompensatorik akan terjadi sebagai respons terhadap proses yang telah dipaparkan

di atas. Akan tetapi, aktivitas kompensatorik ini tidak mampu mengikuti

kecepatan hilangnya tulang. Bukti yang semakin banyak menunjukkan, bahwa

terapi sulih estrogen yang disertai suplementasi kalsium (dimulai selama

menopause atau segera sesudah onset menopause) dapat memperlambat atau

mencegah kehilangan tulang yang abnormal. (Mitchell,2009)

Defisiensi estrogen pada pria juga berperan penting pada kehilangan

massa tulang. Penurunan kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada pria akan

menyebabkan osteoporosis. Falahati – Nini,dkk menyatakan bahwa estrogen pada

laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang. (Setiyohadi,2003)

Faktor lain yang turut berperan pada kehilangan massa tulang, baik pada

pria maupun pada wanita, adalah kalsium, vitamin D, dan hormon paratiroid

(PTH) yang membantu memelihara homeostasis tulang. Ketidakcukupan diet

kalsium ataupun terganggunya absorbsi kalsium oleh usus akibat penuaan atau

penyakit dapat berakhir dengan hiperparatiroid sekunder. Hormon paratiroid

disekresi sebagai respons terhadap kadar kalsium yang rendah dalam serum.

Hormon ini akan meningkatkan resorpsi kalsium dari tulang, menurunkan eksresi

kalsium ginjal, dan meningkatkan produksi 1,25-dihydroxyvitamin D (bentuk

aktif hormon vitamin D yang mengoptimalkan absorbsi kalsium dan fosfor,

menghambat sintesis hormon paratiroid, dan sedikit berperan dalam resorpsi

tulang). (Kosmin dan Jacobs,2011)

Pada akhirnya, peningkatan remodeling tulang akan menyebabkan

kehilangan massa tulang yang telah termineralisasi secara sempurna (mineralisasi

Page 25: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

25

primer dan sekunder) dan akan digantikan tulang baru yang mineralisasinya

belum sempurna (hanya mineralisasi primer). Pemeriksaan densitometri tulang

dapat membedakan penurunan densitas akibat penurunan massa tulang yang

termineralisasi atau remodeling yang berlebih sehingga tulang terdiri dari

campuran tulang tua yang sudah mengalami mineralisasi sekunder dan tulang

muda yang baru mengalami mineralisasi primer. (Setiyohadi,2003)

2.3.4 Klasifikasi

Osteoporosis dulunya terbagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan

etiologi dan lokalisasinya pada tulang. Osteoporosis pada awalnya terbagi dalam

kategori lokal dan sistemik. (Kosmin dan Jacobs,2011)

Saat ini, osteoporosis dibagi dalam dua kelompok, yaitu osteoporosis

primer dan osteoporosis sekunder. (Dalimartha,2002)

A. Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer dapat timbul tanpa keadaan yang mendasari (secara tiba-

tiba). Osteoporosis primer bisa terjadi baik pada pria maupun wanita pada

segala usia. Namun, lebih sering terjadi pada wanita setelah menopause,

sedangkan pada pria terjadi di usia yang lebih tua. (Dalimartha,2002)

Osteoporosis dibagi dalam beberapa tipe, yakni :

1) Osteoporosis Idiopatik

Merupakan suatu bentuk osteoporosis yang dapat terjadi pada

orang dewasa muda pada kedua jenis kelamin dan dengan fungsi gonad

yang normal. (Isselbacher,et al,2000) Osteoporosis idiopatik juga dapat

menyerang sebelum pubertas, baik laki-laki maupun perempuan, dan dapat

mengenai seluruh tulang disertai hambatan pertumbuhan. Osteoporosis ini

disebut juga osteoporosis juvenil. (Dalimartha,2002) Onset terjadinya

osteoporosis juvenil biasanya pada usia 8-14 tahun. Karakteristik khas dari

osteoporosis jenis ini adalah nyeri tulang yang tiba-tiba, dengan atau tanpa

diikuti oleh fraktur yang menyertai trauma. (Kosmin dan Jacobs,2011)

Page 26: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

26

Penyakit ini jarang sekali ditemukan. Apabila terjadi, osteoporosis

tipe ini berlangsung akut selama 2-4 tahun, kemudian terjadi remisi spontan

(sembuh tanpa pengobatan). (Dalimartha,2002)

2) Osteoporosis Tipe I (Osteoporosis pascamenopause)

Osteoporosis ini timbul setelah haid berhenti (menopause) sebagai

akibat rendahnya hormon estrogen. Tipe ini terjadi pada usia 55-70 tahun.

Perlu diketahui bahwa masa premenopause (haid berkurang dan tidak

beraturan) mulai umur 45 tahun, masa menopause sekitar umur 50 tahun,

dan masa pascamenopause sekitar umur 60 tahun. Pada usia 55-70 tahun,

wanita lebih banyak terkena osteoporosis daripada pria dengan ratio 6:1.

Pengurangan massa tulang terutama di trabekular. Fraktur yang terjadi

biasanya di ruas tulang belakang dan pergelangan tangan (radius distal).

(Dalimartha,2002)

3) Osteoporosis Tipe II (Osteoporosis Senilis)

Osteoporosis ini timbul pada usia lanjut dengan usia berkisar 70-85

tahun. Pada wanita risikonya 2 kali lebih besar daripada pria. Massa tulang

berkurang di daerah korteks dan trabekular. Fraktur biasanya terjadi di ruas

tulang belakang, bagian leher tulang paha, dan tulang panjang lainnya

(seperti tulang lengan bawah dan tulang tungkai bawah). Pada pria,

timbulnya osteoporosis lebih lambat dan densitas puncak tulang yang

dicapainya pun lebih tinggi daripada wanita. (Dalimartha,2002)

B. Osteoporosis Sekunder

Osteoporosis sekunder ini disebabkan oleh penyakit atau kelainan tertentu, atau

bisa juga akibat tindakan pembedahan atau pemberian obat yang mempercepat

pengeroposan tulang. (Tandra,2009)

Beberapa kondisi yang mempengaruhi osteoporosis sekunder seperti :

Penyakit menahun (artritis reumatoid, DM);

Penyakit keganasan (multiple myeloma, leukemia, limfoma, metastasis

kanker ke tulang);

Penggunaan obat tertentu (kortikosteroid, anti-konvulsan, antasida yang

mengandung alumunium, heparin, sitostatika, tetrasiklin, isoniasid);

Page 27: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

27

Tidak bisa bergerak total (stroke yang menyebabkan kelumpuhan, sakit

berat yang lama);

Gangguan metabolisme kalsium (turunnya penyerapan kalsium oleh usus,

kehilangan kalsium melalui ginjal, gangguan metabolisme vitamin D);

Kelainan endokrin (kekurangan hormon estrogen, progestogen, hormon

paratiroid – tiroksin – pertumbuhan – kalsitonin – kortikosteroid endogen);

Akibat pengangkatan kedua indung telur atau pengangkatan sebagian

lambung;

Tirotoksikosis, hipertiroksin, atau penyakit gondok (hormon tiroksin

berlebihan sehingga terjadi resorpsi tulang yang lebih cepat atau

peningkatan bone turn over);

Kekurangan hormon insulin pada penderita insulin dependent diabetes

mellitus (IDDM);

Hipogonadisme, hiperkalsiuria pada gagal ginjal kronik, anoreksia

nervosa, hiperprolaktinemia, alkoholisme, osteogenesis imperfekta, dan

homocystinuria. (Dalimartha,2002)

2.3.5 Manifestasi Klinis

Umumnya osteoporosis asimptomatis hingga terjadi fraktur. Pasien yang

tidak menderita fraktur seringkali melaporkan gejala-gejala yang akan

menyiagakan dokter untuk menduga terjadinya osteoporosis. Penyakit ini sering

disebut “silent thief” yang pada umumnya tidak menunjukkan adanya gejala klinik

hingga sebuah fraktur terjadi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan skrining terhadap

populasi yang berisiko mengalami osteoporosis. (kosmin dan Jacobs,2011) Faktor

risiko terjadinya fraktur itu sendiri bergantung pada densitas massa tulang yang

juga bergantung pada kondisi-kondisi yang memungkinkan seseorang terjatuh

(misalnya pada penderita stroke, parkinson, dementia, maupun penderita

gangguan penglihatan). (Parker dan Sharma,2008)

Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps

atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang. (Tandra,2009)

Page 28: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

28

Seringkali diagnosis osteoporosis ditegakkan dari hasil pemeriksaan

radiologis tulang setelah terjadi fraktur tulang belakang spontan atau fraktur pada

tulang panjang hanya karena trauma ringan (misalnya hanya sedikit terbentur).

(Isselbacher,et al,2000)

Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien osteoporosis antara

lain:

1) Nyeri

Meskipun osteoporosis merupakan kelainan generalisata pada rangka,

sekuele klinis utamanya diakibatkan oleh fraktura pada vertebra, pergelangan

tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang paling lazim dari fraktura

korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan deformitas pada tulang

belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps vertebra terutama pada daerah

dorsal dan lumbal, secara khas permulaannya akut dan sering menyebar ke

sekitar pinggang hingga ke dalam perut. Episode semacam itu mungkin terjadi

setelah gerakan menekuk, mengangkat, atau melompat secara mendadak yang

mungkin tampak sepele; kadangkala serangan itu tidak dapat dikaitkan dengan

cedera. Nyeri dapat meningkat sekalipun dengan sedikit gerakan, misalnya

berbalik di tempat tidur. Istirahat di tempat tidur dapat meringankan nyeri

untuk sementara, tetapi akan berulang sebagai spasme dengan jangka waktu

yang bervariasi. Penyebaran nyeri ke satu kaki tidak lazim, dan gejala atau

tanda kompresi medulla spinalis jarang terjadi. Serangan nyeri akut juga dapat

disertai oleh distensi perut dan ileus, diperkirakan akibat perdarahan

retroperitoneal, tetapi penggunaan narkotik juga ikut menyebabkan ileus.

Hilangnya selera makan dan kelemahan otot juga dapat terjadi. Serangan nyeri

biasanya mereda setelah beberapa hari hingga seminggu, dan pada 4-6 minggu

pasien dapat sepenuhnya berjalan dan dapat melanjutkan aktivitas normal.

Meskipun nyeri akut mungkin hanya sedikit sekali, rasa tidak enak yang dalam

dan tumpul dapat terlokalisasi di daerah fraktura dan dicetuskan bila mengejan

atau perubahan posisi yang mendadak. Pasien mungkin tidak dapat bangun –

duduk dari tempat tidur dan harus bangun dengan bergulir ke samping dan

kemudian menyangga dirinya untuk tegak. Kebanyakan pasien merasakan

Page 29: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

29

nyerinya hilang atau berkurang diantara episode kolaps korpus vertebra,

lainnya tidak mengalami episode akut tetapi mengeluh nyeri punggung yang

semakin memburuk bila berdiri atau bergerak mendadak. Nyeri tekan sering

terjadi di daerah prosessus spinosus atau sangkar tulang rusuk yang terlibat.

(Isselbacher,et al,2000)

2) Fraktur

Pada penderita osteoporosis, fraktur yang terjadi seringkali timbul

spontan atau akibat benturan ringan. Terjadinya fraktur seperti ini disebut

fraktur patologis. Awalnya, terjadi fraktur di ruas tulang belakang pada

sebagian kecil penderita di atas usia 65 tahun tanpa terasa apa-apa. Adanya

kelainan disadari setelah tinggi badan menjadi susut atau secara kebetulan

terlihat dalam film rontgen ruas tulang belakang. Pada stadium lanjut, fraktur

spontan juga bisa terjadi tidak pada ruas tulang belakang. (Dalimartha,2002)

Tulang yang sering mengalami fraktur pada penderita osteoporosis

adalah di pergelangan tangan, leher tulang paha, dan ruas tulang belakang.

Fraktur multipel (fraktur di beberapa tempat pada ruas tulang belakang) sering

terjadi pada daerah dada di vertebra torakalis XI dan XII atau pada daerah

pinggang di vertebra lumbal IV dan V. Keadaan tersebut akan menyebabkan

tubuh menjadi bungkuk, gerakan terhambat, dan berkurangnya tinggi badan.

(Dalimartha,2002)

3) Berkurangnya tinggi badan

Penyusutan tinggi badan terjadi akibat adanya kompresi fraktur di ruas

tulang belakang. Biasanya disertai dengan gejala nyeri hebat selama beberapa

hari sampai beberapa bulan atau tanpa gejala apapun (asimptomatis). Tinggi

badan semakin lama semakin pendek karena beberapa kali terjadi fraktur di

beberapa tempat pada ruas tulang belakang. (Dalimartha,2002)

4) Deformitas tulang belakang

Deformitas atau kelainan bentuk tulang belakang bisa terjadi akibat

kompresi fraktur. Punggung yang bungkuk disebut kifosis. (Dalimartha,2002)

Tubuh yang membungkuk (kifosis) atau dorsal kyphosis atau dowager’s hump,

biasanya terjadi akibat kerusakan beberapa ruas tulang belakang dari daerah

Page 30: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

30

dada (thoracal) dan pinggang (lumbal). Osteoporosis pada tulang belakang ini

menimbulkan fraktur kompresi atau kolaps tulang dan menyebabkan badan

membungkuk ke depan. Kifosis yang berat bisa mengakibatkan gangguan

pergerakan otot pernapasan. Penderita bisa saja merasakan sesak napas, kadang

bahkan timbul komplikasi pada paru-paru. (Tandra,2009)

2.3.6 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang

sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder.

(Setiyohadi,2007)

Penentuan teknik diagnostik yang tepat dipengaruhi oleh faktor-faktor

yang dicurigai dapat menyebabkan osteoporosis. Berdasarkan penilaian klinik

yang dilakukan, satu atau lebih prosedur diagnostik lanjutan kemungkinan akan

dibutuhkan dalam menegakkan diagnosa dari osteoporosis. (Australian National

Consensus Conference,1996)

A. Anamnesis

Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi pasien

osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada

diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada

riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada

hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek,

nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal,

kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik. (Setiyohadi,2007)

Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma

minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya

paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor, dan vitamin D, latihan yang

teratur yang bersifat weight-bearing. (Setiyohadi,2007)

Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus

diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin,

antasid yang mengandung alumunium, sodium fluorida, dan bifosfonat

etidronat. (Setiyohadi,2007)

Page 31: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

31

Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis.

Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan

osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan

insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause,

penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan, karena ada

beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter. (Setiyohadi,2007)

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang lengkap sebaiknya dilakukan pada setiap

pasien, dengan penekanan pada pengukuran tinggi dan berat badan secara

akurat. Pemeriksaan vertebra harus dilakukan. Perhatikan ada tidaknya tanda

kifosis, nyeri, dan spasme otot. Pemeriksaan payudara dan pendidikan untuk

melakukan pemeriksaan sendiri sebaiknya dilakukan pada setiap wanita yang

sedang dipertimbangkan untuk menerima terapi pengganti estrogen. Stabilitas

cara berjalan dan risiko jatuh sebaiknya dinilai. (Lin dan Rypkema,2010)

C. Pemeriksaan Densitas Tulang

Osteoporosis paling sering ditentukan dengan memeriksa densitas

(kepadatan) tulang. (Tandra,2009) Penentuan densitas tulang bisa dilakukan

dengan:

1) DXA (Dual-energy X-Ray Absorptiometry)

Merupakan sinar-X radiasi rendah yang memiliki kemampuan untuk

mendeteksi hilangnya massa tulang. (International Osteoporosis

Foundation,2010) DXA digunakan untuk mengukur densitas vertebra,

panggul, dan juga dapat mengukur densitas seluruh skeletal tubuh.

(Shiel,2012)

2) pDXA (peripheral DXA)

Digunakan untuk mengukur densitas tulang lengan bawah, jari, dan

tumit. (International Osteoporosis Foundation,2011)

3) SXA (Single-energy X-Ray Absorptiometry)

Page 32: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

32

Digunakan untuk mengukur densitas tulang tumit ataupun tulang

pergelangan tangan. (International Osteoporosis Foundation,2011)

4) DPA (Dual Proton Absorptiometry)

Digunakan untuk mengukur densitas tulang vertebra, panggul, atau

seluruh tulang tubuh. (International Osteoporosis Foundation,2011)

5) SPA (Single Proton Absorptiometry)

Digunakan untuk mengukur densitas tulang pergelangan tangan.

(International Osteoporosis Foundation,2011)

6) QCT (Quantitative Computed Tomography)

Digunakan untuk mengukur densitas tulang vertebra dan tulang

panggul. pQCT (peripheral QCT) untuk mengukur densitas tulang

lengan bawah. (International Osteoporosis Foundation,2011)

7) QUS (Quantitative Ultrasound)

Teknik ini menggunakan gelombang suara untuk mengukur densitas

tulang pada tumit atau jari. (International Osteoporosis

Foundation,2011)

Dari semua teknik pemeriksaan densitas tulang, dual-energy x-ray

absorptiometry (DXA) adalah cara yang paling akurat. Pemeriksaan ini aman

dan tidak menimbulkan nyeri, bisa dilakukan dalam waktu 5-15 menit.

(Tandra,2009)

Urutan ketepatan beberapa teknik pemeriksaan densitas tulang adalah :

1. DXA tulang belakang (Spine DXA)

2. DXA tulang panggul (Hip DXA)

3. DXA perifer atau tulang tepi/kaki (Peripheral DXA)

4. CT kuantitatif (QCT/Quantitative Computed Tomography)

5. Ultrasound. (Tandra,2009)

Densitometri tulang telah memperbaiki diagnosis dan pengobatan

osteoporosis. Pemeriksaan tersebut memungkinkan dokter mendiagnosis massa

tulang yang rendah sebelum terjadinya fraktur. Pengukuran massa tulang

merupakan prediktor akurat fraktur. (Lin dan Rypkema,2010)

Indikasi untuk densitometri tulang

Page 33: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

33

1. Menurut Akta Pengukuran Massa Tulang Tahun 1998

a) Wanita pascamenopause yang memutuskan apakah akan memulai terapi

penggantian estrogen (ERT, estrogen replacement therapy) atau terapi

osteoporosis lainnya;

b) Osteopenia yang dicurigai secara radiologis;

c) Glukokortikoid kronik (>7,5 mg/hari selama >3 bulan);

d) Hiperparatiroidisme primer;

e) Monitoring serial untuk memantau terapi.

2. Menurut Penuntun National Osteoporosis Foundation

a) Wanita berusia 65 tahun atau lebih tanpa memandang faktor risiko

tambahan;

b) Wanita pascamenopause berusia kurang dari 65 tahun dengan sekurang-

kurangnya satu faktor risiko tambahan;

c) Wanita pascamenopause yang mencari pengobatan untuk fraktur;

d) Wanita yang mempertimbangkan untuk menerima terapi osteoporosis

yang keputusannya kemungkinan dipengaruhi oleh uji densitas mineral

tulang (BMD, bone mineral density);

e) Wanita yang menerima penggantian hormon untuk waktu yang lama.

(Lin dan Rypkema,2010)

Pemeriksaan central dual-energy x-ray absorptiometry (DXA sentral)

merupakan pemeriksaan dasar yang paling utama untuk memantau

osteoporosis. Pemantauan yang dimaksud adalah mengetahui adanya

penurunan densitas tulang, mungkin karena usia sudah lanjut, wanita yang

sudah mengalami menopause, menderita penyakit ginjal yang menahun, atau

karena pemakaian obat kortikosteroid. (Tandra,2009)

Memeriksa kepadatan tulang juga untuk mengetahui hasil pengobatan

osteoporosis yang sudah diberikan, apakah bisa menambah kekuatan tulang

atau berhasil menurunkan risiko terjadinya patah tulang. Pemeriksaan BMD

juga dipakai untuk penelitian, misalnya khasiat satu obat dibandingkan dengan

obat yang lain atau pengaruh suatu pengobatan terhadap densitas tulang. Tes

BMD sangat perlu dilakukan secara berkala untuk orang yang berisiko tinggi

Page 34: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

34

terkena osteoporosis, untuk mengetahui timbulnya fraktur tulang.

(Tandra,2009)

Istilah yang dipakai untuk hasil pemeriksaan BMD adalah T-score.

Yang dimaksud dengan T-score adalah jumlah standar deviasi (SD) dimana

BMD turun atau naik dibandingkan dengan kontrol. Yang menjadi kontrol

adalah orang muda dengan tulang yang sehat. (Tandra,2009)

Berbeda dengan T-score, Z-score membandingkan BMD seseorang

dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan

berat badan yang sama. Hasil yang negatif berarti tulang keropos, sedangkan

hasil yang positif menyatakan tulang lebih kecil memiliki risiko patah tulang

dibandingkan dengan rata-rata orang lain. (Tandra,2009)

Tabel 2.1 Region of Interest (ROI)

Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of Interest, ROI) :

Tulang belakang

Panggul

- Femoral neck

- Total femoral neck

- Trokanter

Lengan bawah (33% radius), bila :

- Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur

- Hiperparatiroidisme

- Sangat obes

Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang

digunakan untuk diagnosis osteoporosis.

(Setiyohadi,2007)

Tabel 2.2 T-score dan Z-score

T-score = BMD pasien – BMD rata-rata orang dewasa muda

Page 35: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

35

1 SD BMD rata-rata orang dewasa muda

Z-score = BMD pasien – BMD rata-rata orang seusia pasien

1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis. Z-score yang rendah (< -

2,0) mencurigakan ke arah kemungkinan osteoporosis sekunder,

walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu, setiap penderita harus

dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada

penyebab osteoporosis sekunder.

(Setiyohadi,2007)

Tabel 2.3 Kriteria World Health Organization untuk diagnosis

osteoporosis

Skor T Kategori

SD < -1 dari massa tulang puncak

-1 SD sampai -2,5 SD dari massa tulang

puncak

SD < -2,5 dari massa tulang puncak

SD < -2,5 dengan fraktur yang

disebabkan fragilitas tulang

Normal

Massa tulang rendah/osteopenia

Osteoporosis

Osteoporosis berat

(Lin dan Rypkema,2010)

Hasil pengukuran BMD tidak langsung mencerminkan kemungkinan

fraktur tulang bakal terjadi. Seseorang dengan T-score 2,4 tidak selalu akan

lebih buruk tulangnya daripada seseorang dengan T-score -2,6. Hanya saja

dapat disimpulkan bahwa semakin rendah T-score, pasti semakin sering atau

semakin mudah orang tersebut terkena patah tulang. (Tandra,2009)

Seseorang yang mengidap penyakit tertentu sering juga menunjukkan

T-score yang rendah, sekalipun belum terjadi osteoporosis. (Tandra,2009)

D. Pemeriksaan Laboratorium

Page 36: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

36

1) Profil biokimia terpadu memungkinkan penapisan sederhana untuk

penyebab sekunder, yaitu, rasio kalsium-fosfor untuk hiperparatiroidisme,

rasio protein-albumin total untuk mieloma, dan penapisan untuk penyakit

hati dan ginjal. (Lin dan Rypkema,2010)

2) Hormon perangsang tiroid (TSH, thyroid-stimulating hormone) harus

diukur pada pasien dengan gejala-gejala hipertiroidisme atau mereka yang

menerima terapi penggantian tiroid. (Lin dan Rypkema,2010)

3) 25-Hidroksivitamin D memeriksa simpanan vitamin D dalam tubuh. (Lin

dan Rypkema,2010)

4) Pemeriksaan tambahan dapat dipertimbangkan untuk mereka dengan massa

tulang yang rendah atau mereka yang terus mengalami kehilangan tulang

meskipun telah diberikan terapi antiresorptif, meliputi pemeriksaan :

Pemeriksaan hormon paratiroid (PTH) serial;

Urine 24 jam untuk ekskresi kalsium;

Elektroforesis protein serum (SPEP);

Kadar kortisol;

Kadar estradiol pada wanita;

Kadar testosteron pada pria;

Biopsi tulang. (Lin dan Rypkema,2010)

E. Pemeriksaan Biopsi Tulang dan Histomorfometri

Biopsi tulang dan histomorfometri merupakan pemeriksaan yang

sangat penting untuk menilai kelainan metabolisme tulang. (Setiyohadi,2007)

Akan tetapi, pemeriksaan ini tidak diindikasikan secara rutin, namun

menunjukkan penurunan jumlah trabekula dengan kalsifikasi yang normal.

(Rubenstein,2007)

Biopsi biasanya dilakukan di daerah transiliakal, yaitu 2 cm posterior

SIAS dan sedikit inferior krista iliakal. Alat yang digunakan adalah jarum

Bordier – Meunier. Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan metabolik

tulang seperti osteoporosis pasca menopause, osteodistrofi renal, osteomalasia,

rikets, hiperparatiroidisme primer, penyakit tulang akibat kelainan

gastrointestinal atau pasca operasi gastrointestinal. (Setiyohadi,2007)

Page 37: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

37

2.3.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding osteoporosis sangatlah luas, bahkan semua penyebab

sekunder osteoporosis termasuk di dalamnya. Ketika berhadapan dengan masalah

berkurangnya densitas tulang, kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat

menyebabkan timbulnya gejala yang didapati harus selalu disingkirkan sebelum

mengobati pasien sebagai penderita osteoporosis. (Kosmin dan Jacobs,2011)

Karena penurunan massa rangka adalah tanda universal dari penuaan,

penurunan kepadatan tulang yang asimtomatik, yang ditentukan secara

radiografik, sulit dievaluasi pada perempuan tua, terutama bila tidak disertai

dengan peningkatan yang nyata dalam bikonkavitas badan vertebra atau fraktura.

Tetapi pengukuran kuantitatif pada massa tulang adalah peramal fraktura di

kemudian hari. Bila terdapat nyeri tulang dengan atau tanpa fraktura atau

deformitas, adalah penting untuk menetapkan ada tidaknya penyebab osteoporosis

yang dikenal dan perlu diyakinkan bahwa osteoporosis adalah diagnosis yang

benar. (Isselbacher,et al,2000)

Keganasan dari berbagai jenis, terutama mieloma multipel, limfoma,

leukemia, dan karsinoma metastatik, dapat menyebabkan kehilangan tulang yang

difus, terutama tulang trabekuler pada kolumna vertebralis, sekalipun tidak

terdapat hiperkalsemia. Tidak adanya anemia, peningkatan laju pengendapan

eritrosit, pola protein serum elekroforesis yang abnormal, dan proteinuria Bence

Jones berguna untuk menyingkirkan kemungkinan mieloma multipel. Tetapi,

biopsi jarum pada tulang atau aspirasi sumsum mungkin tepat pada osteoporosis

yang berat dengan fraktura. Histomorfometri kuantitatif pada sampel biopsi

standar dari krista iliaka merupakan suatu alat penelitian tetapi, tersedia di

beberapa laboratorium rujukan. Sampel biopsi tulang harus difiksasi sebagaimana

mestinya, tidak didemineralisasi, dan dimasukkan dalam plastik untuk

menyingkirkan osteomalasia. (Isselbacher,et al,2000)

Bukti radiologik osteoporosis sering ditemukan pada penderita

hiperparatiroidisme primer, yang mungkin tidak mengalami osteitis fibrosa (lesi

lisis diskret dengan berbagai ukuran dan resorpsi subperiosteum) atau peningkatan

Page 38: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

38

alkalin fosfatase serum. Meskipun hiperparatiroidisme primer ringan yang

asimtomatik bukan merupakan faktor risiko utama pada osteoporosis, kelainan ini

dapat ikut mempercepat kehilangan tulang. Suatu unsur hiperparatiroidisme

sekunder mungkin terdapat pada beberapa pasien usia lanjut dengan osteoporosis

tipe II dan pada pasien lain dengan gangguan fungsi ginjal, asupan kalsium oral

yang tidak mencukupi, atau pengurangan absorpsi kalsium usus. Peningkatan

jumlah osteoklas mungkin terdapat dalam bahan biopsi tulang dari pasien

semacam itu. (Isselbacher,et al,2000)

Osteomalasia dapat menyerupai osteoporosis atau ada bersama-sama

dengannya, namun tanda radiologik khusus untuk osteomalasia mungkin tidak

selalu terdapat. Meskipun adanya kelainan seperti kadar 25-hidroksivitamin D

[25(OH)D] beredar yang rendah atau tidak terdeteksi dan/atau hipofosfatemia

menunjukkan kemungkinan terjadinya osteomalasia, biopsi tulang mungkin

penting untuk diagnosis. Karena osteomalasia lebih dapat diatasi dengan terapi

(misalnya vitamin D pada hipovitaminosis D atau suplemen fosfat pada deplesi

fosfat) daripada kasus osteoporosis yang lazim , prosedur diagnostik semacam itu

sering diperlukan. Defisiensi vitamin D subklinis dengan hiperparatiroidisme

sekunder yang menyertainya mungkin lebih sering ditemukan pada perempuan

usia lanjut daripada yang sebelumnya dikenal, dan terapi pada perempuan

pascamenopause dengan dosis kecil vitamin D3 (20µg atau 800 UI tiap hari) dapat

mengurangi risiko fraktura pinggul dan fraktura nonvertebra yang lain.

(Isselbacher,et al,2000)

Kadang-kadang pada penderita penyakit Paget, tanda-tanda radiologik

mungkin hampir semata-mata lisis dan dapat dikacaukan dengan osteoporosis.

Tetapi, kadar alkalin fosfatase yang tinggi dan peningkatan ekskresi peptida yang

mengandung-hidoksiprolin dalam urin dengan laju sedang atau tinggi adalah

petunjuk untuk adanya penyakit Paget. Prosedur pemindaian (scanning) dengan

isotop pencari-tulang tidak bermanfaat dalam diagnosis diferensial jika terdapat

fraktura karena fraktura menyebabkan ambilan isotop yang khusus. Tetapi, bila

tidak ada fraktura, “tempat yang panas” (hot spots) menunjukkan adanya tumor

Page 39: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

39

atau penyakit Paget dini, terutama bila terdapat pada rangka apendikuler.

(Isselbacher,et al,2000)

2.4 OSTEOPOROSIS YANG DIINDUKSI OLEH KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks kelenjar

adrenal. Secara umum, kortikosteroid ini didefinisikan sebagai glukokortikoid

(efek utamanya terhadap inflamasi dan metabolisme glukosa) atau

mineralokortikoid (efek utamanya pada Na+/K+). Hormon ini maupun turunan

sintetisnya dapat digunakan sebagai obat. Obat-obat kortikosteroid seringkali

memperlihatkan aktivitas gabungan dari glukokortikoid dan mineralokortikoid.

(Constable,et al,2007)

Kortikosteroid digunakan secara luas di unit-unit primary care. Kondisi-

kondisi umum yang membutuhkan pemberian kortikosteroid ini termasuk

rheumatoid arthritis,polymyalgia rheumatica, inflammatory bowel disease, dan

asma/penyakit obstruktif kronik saluran napas. (Roy dan O’Neill,2005)

Walaupun secara terapeutik efektif, keropos tulang mungkin merupakan

efek samping pengobatan yang paling serius. (Cosman,2009) Pemberian jangka

panjang sendiri merupakan penyebab yang biasa dari osteoporosis pada orang

dewasa dan pertumbuhan tulang-tulang skeletal yang buruk pada anak-anak.

(Katzung,1998)

Jadi, jelaslah bahwa para pasien harus diberi dosis steroid serendah

mungkin dalam jangka waktu sependek mungkin. Namun, membatasi penggunaan

steroid sampai ke jumlah tertentu yang tidak merugikan tulang mungkin mustahil.

(Cosman,2009)

Keropos tulang akibat steroid bisa terjadi pada dosis kecil dan

berlangsung sangat cepat, khususnya pada tulang yang mengandung sejumlah

besar tulang berpori (porous bone), seperti ruas tulang belakang. Pengobatan

steroid dengan cara diminum dapat menyebabkan hilangnya massa tulang

belakang sebesar 5 sampai 10 persen selama lima atau enam bulan pertama terapi.

Steroid dalam bentuk obat hirup dan steroid yang disuntikkan ke tulang sendi

tidak terlalu merusak tulang dibandingkan bentuk yang diminum, tetapi masih

Page 40: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

40

tetap menyebabkan efek merugikan yang besarnya tergantung dosis yang

diberikan. (Cosman,2009)

Baru-baru ini ditunjukkan bahwa steroid mengakibatkan tingginya

kejadian patah tulang akibat osteoporosis saat obat tersebut digunakan.

(Cosman,2009) Beberapa studi jangka pendek menunjukkan bahwa dosis harian

prednisolone, sedikitnya 5 mg, menyebabkan marker-marker pembentukan tulang,

misalnya osteokalsin, akan berkurang drastis. Baik dosis harian maupun dosis

kumulatif, keduanya dipertimbangkan sebagai faktor yang bertanggungjawab

dalam proses terjadinya efek yang merugikan bagi tulang. (Romas,2008)

Meningkatnya risiko patah tulang yang berkaitan dengan pemakaian

steroid terjadi nyaris seketika setelah pengobatan steroid dimulai. Demikian pula

saat penggunaan steroid dihentikan, risiko patah tulang turun dengan cepat ke

tingkat yang sama seperti pada orang yang tidak diobati dengan steroid. Observasi

ini menunjukkan, bahwa segala pengobatan yang ditujukan untuk pencegahan

osteoporosis akan optimal jika mulai diberikan sebelum pengobatan dengan

steroid dimulai dan tetap dilanjutkan selama penggunaan steroid. Namun, obat-

obatan osteoporosis yang diberikan dengan cara ini dapat dihentikan bersama-

sama dengan penghentian pemberian steroid. (Cosman,2009)

Kortikosteroid dapat mempengaruhi tulang secara langsung dengan

mengubah metabolisme kalsium dan tulang, tetapi dapat juga secara tidak

langsung dengan mengubah berbagai aktivitas hormonal dan metabolisme protein.

(Pols,et al,2000)

Terjadinya osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid dapat disebabkan

oleh berbagai mekanisme, diantaranya :

A. Homeostasis kalsium

1) Penurunan kadar kalsium dan fosfat dari traktus gastrointestinal oleh

mekanisme yang belum diketahui;

2) Meningkatnya ekskresi kalsium melalui urin dan menurunnya reabsorbsi

kalsium di tubulus distal ginjal;

3) Stimulasi sekresi hormon paratiroid.

B. Efek-efek hormonal yang dihasilkan oleh gonad

Page 41: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

41

1) Penurunan hormon seks : langsung dan tidak langsung;

2) Menurunnya LH dari hipofisis : estrogen dan testosteron;

3) Menurunnya sintesa kelenjar adrenal;

4) Menurunnya hormon seks terkait globulin.

C. Pembentukan dan resorpsi tulang

1) Inhibisi proliferasi osteoblas;

2) Menurunnya sintesa matriks;

3) Meningkatnya apoptosis;

4) Menurunnya sintesa protein (kolagen tipe I dan protein nonkolagenous);

5) Menurunnya osteokalsin, IGF1,insulin-like growth factor,dan sebagainya;

6) Meningkatnya aktivitas osteoklas;

7) Meningkatnya apoptosis osteoklas yang matur.(Pongchaiyakul,2010)

D. Lainnya

Penyakit yang mendasari yang menyebabkan kortikosteroid

diresepkan dan pengobatan-pengobatan lain yang diberikan bersamaan dengan

pemberian kortikosteroid kemungkinan berkontribusi terhadap hilangnya

tulang. Lebih lanjut, sitokin-sitokin kemungkinan memainkan peran modulator

dalam proses ini, sebagai contoh pada rheumatoid arthritis. Meskipun

demikian, kontribusi faktor-faktor ini baru sebagian kecil yang telah diteliti.

(Pols,2000)

Glukokortikoid juga memiliki efek katabolik yang menyeluruh,

khususnya terhadap otot, yang pada akhirnya menyebabkan kelemahan pada

otot-otot tersebut. Tidak adanya aktivitas dan lemah atau hilangnya otot akan

mengarah kepada hilangnya mineral tulang. (Pols,2000)

Cara mendiagnosis osteoporosis yang disebabkan oleh steroid sama

seperti mendiagnosis osteoporosis normal (osteoporosis yang tidak disebabkan

penyakit pokok atau obat tertentu). Tes kepadatan tulang harus dilakukan untuk

menentukan risiko dasar pada saat steroid akan digunakan. Keputusan untuk

memberikan pengobatan yang efektif harus diambil berdasarkan pertimbangan

hasil BMD, usia pasien, dan faktor risiko terkait lainnya, termasuk parah tidaknya

Page 42: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

42

penyakit pokok serta kemungkinan diperlukannya pengobatan steroid terus-

menerus. (Lin dan Rypkema,2010)

2.5 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN OSTEOPOROSIS

2.5.1 Pencegahan dan pengobatan osteoporosis secara umum

Pengadaan sesi pendidikan bagi pasien penting untuk pencegahan dan

pengobatan osteoporosis diantaranya :

1) Pencegahan jatuh

Benda-benda berbahaya di dalam rumah. Periksa dan pindahkan

permadani, karpet, ubin yang licin, tali-tali dan kawat-kawat, atau segala

sesuatu yang dapat menyebabkan pasien terjatuh.

Perabotan rumah. Periksa perabotan rumah yang tidak stabil dan

berantakan yang dapat menghambat mobilitas.

Pencahayaan. Pastikan pencahayaan yang cukup, terutama waktu malam

hari.

Kamar mandi. Palang pegangan untuk di kamar mandi, pemasangan

permukaan yang tidak licin di bawah pancuran.

Sepatu yang pas dipakai.

Permukaan di luar rumah. Trotoar yang tidak teratur, es atau salju,

permukaan yang tidak rata.

Hipotensi postural.

Pelindung pinggul terbukti mengurangi fraktur pinggul secara signifikan

pada pasien tua yang menjalani rawat jalan, tetapi dalam keadaan lemah.

(Lin dan Rypkema,2010)

2) Latihan fisik

Latihan fisik dalam hal ini dilakukan secara reguler / teratur. (Tierney,et

al,2006) Efektivitas latihan / exercise telah dievaluasi melalui penggunaan

perubahan absolut di tulang, dan telah menunjukkan peningkatan

pertumbuhan dalam lebar maupun kandungan mineral tulang pada anak gadis

dan perempuan dewasa terutama apabila aktivitas fisik telah dimulai sebelum

pubertas. Setelah latihan reguler selama 9-12 bulan pada perempuan dewasa

Page 43: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

43

sering terlihat manfaat sangat kecil terhadap kesehatan tulang, yang mungkin

disebabkan intensitas latihan maupun durasi dan frekuensi tidak cukup, atau

mungkin pada tahapan usia tersebut akumulasi massa tulang berada pada

puncak alamiah. (Tulaar,2009)

Efektivitas latihan setelah menopause untuk meningkatkan mineral

tulang sangat tergantung pada kesediaan kalsium yang adekuat dalam diet.

Studi BEST (Bone Estrogen Strength Training) telah menunjukkan bahwa

kombinasi peningkatan aktivitas fisik/latihan dengan asupan kalsium yang

adekuat mencegah hilangnya tulang pada populasi perempuan. Kunci

keberhasilan tercapainya tujuan untuk perbaikan kesehatan tulang terletak

pada intensitas latihan dan tingkat ketahanan latihan yang dilakukan secara

teratur/reguler. (Tulaar,2009)

Beberapa penelitian pada perempuan pasca menopause menunjukkan

peningkatan mineral tulang dekat dengan norma pada populasi sehat setelah

latihan berintensitas tinggi. Aktivitas fisik terus-menerus merangsang

peningkatan diameter tulang sepanjang hidup. Peningkatan diameter tulang

akibat latihan / exercise tersebut mengurangi risiko fraktur melalui kontra-

aksi secara mekanik terhadap penipisan serta peningkatan porositas tulang.

(Tulaar,2009)

Manfaat latihan:

a) Mengurangi hilangnya massa tulang;

b) Konservasi jaringan tulang yang sisa;

c) Perbaikan kebugaran fisik;

d) Perbaikan kekuatan otot;

e) Perbaikan waktu / kecepatan reaksi;

f) Peningkatan mobilitas;

g) Sensasi keseimbangan dan koordinasi lebih baik;

h) Mengurangi risiko jatuh;

i) Mengurangi risiko fraktur tulang akibat jatuh;

j) Mengurangi nyeri. (Tulaar,2009)

Manfaat lainnya dari latihan termasuk :

Page 44: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

44

a) Meningkatkan kemampuan untuk melakukan tugas dan aktivitas sehari-

hari;

b) Memelihara atau memperbaiki postur;

c) Menghilangkan atau mengurangi rasa sakit;

d) Meningkatkan rasa nyaman diri / well-being. (Tulaar,2009)

Suatu survei pada 350 perempuan usia menengah mendapatkan bahwa

mereka yang lebih aktif dalam kehidupan sehari-hari secara bermakna

mempunyai densitas tulang yang lebih padat di daerah tulang belakang,

tulang paha dan lengan, dibandingkan mereka yang kurang aktif. Studi yang

lain mendapatkan bahwa berlari menguatkan tulang tungkai pada perempuan

muda maupun tua. (Tulaar,2009)

Beberapa faktor perlu diperhatikan dalam menentukan program latihan,

yaitu :

a) Usia;

b) Beratnya osteoporosis;

c) Obat-obatan yang sedang digunakan;

d) Kebugaran dan kemampuan;

e) Kondisi medis lain seperti RA, penyakit hati, dll;

f) Apakah densitas tulang atau kekuatan otot dan koordinasi adalah tujuan

utama latihan. (Tulaar,2009)

Tiga jenis latihan yang sering direkomendasikan kepada mereka dengan

osteoporosis, adalah :

a) Latihan penguatan, terutama untuk otot-otot punggung;

b) Aktivitas aerobik dengan pembebanan / weight-bearing;

c) Latihan fleksibilitas. (Tulaar,2009)

Berenang dan aerobik dalam air / aquarobic memberi dampak yang

dibutuhkan tulang untuk memperlambat hilangnya mineral. Namun demikian,

berbagai aktivitas tersebut dapat bermanfaat pada kasus osteoporosis berat,

selama rehabilitasi fraktur atau hanya untuk menambah kapasitas aerobik.

(Tulaar,2009)

Page 45: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

45

Latihan di dalam air memberikan tempat yang aman tanpa risiko jatuh

atau fraktur. Latihan akuatik dapat meningkatkan kekuatan otot, mengurangi

nyeri melalui pengurangan gaya beban terhadap sendi dan tulang,

memperbaiki keseimbangan, mempercepat penyembuhan / pemulihan dan

meningkatkan propriosepsi. Terapi akuatik membantu relaksasi serta

memperbaiki sirkulasi, gerak sendi, tonus otot, dan percaya diri sehingga

mengurangi ketakutan akan jatuh. (Tulaar,2009)

Oleh karena mereka dengan osteoporosis mempunyai tulang yang lemah

sehingga mudah fraktur, maka ada beberapa aktivitas yang sebaiknya

dihindari, seperti :

a) Aerobik impak tinggi, seperti melompat, berlari atau jogging;

b) Latihan apapun yang memerlukan gerakan yang tiba-tiba dan bertenaga;

c) Abdominal sit-up;

d) Latihan apapun yang memerlukan gerakan melintir/berputar, seperti

ayunan golf;

e) Latihan apapun yang memerlukan lonjakan, hentian dan mulai/start yang

tiba-tiba seperti tennis atau squash. (Tulaar,2009)

Saat ini belum diketahui dengan pasti dosis latihan bagi mereka dengan

osteoporosis. Akan tetapi, berbagai penelitian mengindikasikan yang

bermanfaat, sebagai berikut :

a) 15 – 60 menit aktivitas aerobik terus-menerus, 2-3 kali per minggu;

b) Latihan penguatan (menggunakan beban) 2 kali per minggu. Setiap sesi

latihan harus mencakup latihan penguatan otot tungkai dan lengan. Setiap

latihan dikerjakan 8-10 kali;

c) Latihan keseimbangan perlu dilakukan pada tingkat yang menantang

keseimbangan. Namun demikian, demi alasan keamanan, selalu

diyakinkan ada tempat berpegang apabila keseimbangan terganggu.

Latihan demikian harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali seminggu;

d) Gabungkanlah latihan peregangan untuk menambah fleksibilitas.

(Tulaar,2009)

Page 46: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

46

Disamping tindakan yang telah dipaparkan di atas, sangatlah perlu untuk

dipastikan bahwa semua individu memiliki diet yang seimbang dengan

masukan kalsium dan vitamin D yang adekuat. (Wells,et al,2006)

Tabel 2.4 Kebutuhan Harian Kalsium dan Vitamin D

KALSIUM (mg) VITAMIN D (unit)

Infant

0-6 bulan

6 bulan – 1 tahun

Anak

1-3 tahun

4-8 tahun

9-13 tahun

Remaja

14-18 tahun

Dewasa

19-50 tahun

51-70 tahun

> 71 tahun

210

270

500

800

1300

1300

1000

1200

1200

200

200

200

200

200

200

200

400

800

(Wells,et al,2006)

Jika masukan diet yang adekuat tidak terpenuhi, dibutuhkan pemberian

suplemen kalsium. (Wells,et al,2006)

Meski 2-5 cangkir kopi dapat menyebabkan sedikit meningkatnya

ekskresi kalsium, efek ini dapat direduksi dengan meningkatkan masukan

kalsium. (Wells,et al,2006)

Dengan berhenti merokok, kepadatan massa tulang akan meningkat,

demikian sebaliknya aktivitas merokok akan menurunkannya dan

meningkatkan risiko terjadinya fraktur. (Wells,et al,2006)

Pengobatan yang spesifik untuk osteoporosis sendiri sangatlah bervariasi,

tergantung pada penyebabnya. Namun, pada dasarnya obat-obatan yang

digunakan ditujukan untuk meningkatkan pembentukan tulang dan

Page 47: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

47

mengurangi resorpsi tulang. Dengan demikian dapat dikurangi kehilangan

massa tulang yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur. (Dalimartha,2002)

Mengingat osteoporosis merupakan kelainan yang prosesnya terus

berlanjut sepanjang sisa hidupnya, maka pencegahan dan pengobatan perlu

dilakukan terus-menerus. Penghentian pengobatan berarti proses

penghancuran tulang oleh osteoklas akan berlanjut kembali dan osteoporosis

yang sudah berhasil diatasi akan berulang lagi. Berikut ini adalah obat-obat

spesifik yang diberikan kepada penderita osteoporosis. (Dalimartha,2002)

1. Hormon estrogen

Pemberian hormone replacement therapy (HRT) pada perempuan

di awal menopause merupakan cara yang efektif untuk mencegah

kehilangan massa tulang. Hormon estrogen ini merupakan hormon yang

dapat mengurangi proses resorpsi tulang. Namun begitu, tidak semua

perempuan yang mengalami menopause secara alami perlu diberikan HRT

mengingat efek samping obat ini. Pemberian dilakukan hanya kepada

perempuan menopause yang menunjukkan peningkatan bone turn over

atau pada mereka yang telah diangkat kedua indung telurnya sebelum

menopause. (Dalimartha,2002)

Estrogen yang digunakan untuk pencegahan dan pengobatan

postmenopausal osteoporosis antara lain tablet estradiol 1-2 mg/hari, etinil

estradiol 0,02-0,05 mg/hari, atau estrogen terkonjugasi (premarin tablet)

0,625 mg/hari. Obat tersebut diberikan secara siklik selama 25 hari setiap

bulannya. Untuk mencegah timbulnya kanker payudara, kanker

endometrium, dan hiperplasia endometrium, perlu ditambahkan

progesteron. Progesteron yang banyak digunakan adalah

medroksiprogesteron (tablet provera) dengan dosis 2,5-10 mg pada hari ke

21-25, lalu istirahat selama 5 hari, baru dilanjutkan kembali dengan

pengobatan yang sama. (Dalimartha,2002)

Kontraindikasi penggunaan HRT antara lain, terabanya benjolan di

payudara, pernah operasi tumor di payudara, atau pernah kanker payudara

pada sisi lainnya. Penggunaan hormon estrogen harus dibawah

Page 48: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

48

pengawasan seorang dokter ahli karena efek sampingnya.

(Dalimartha,2002)

Agar penggunaan estrogen memberikan manfaat maksimal pada

tulang tanpa efek yang buruk, telah dikembangkan selektif estrogen-

reseptor modulator (SERMs), yaitu raloxifene. Penggunaan obat ini telah

disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) guna pengobatan dan

pencegahan osteoporosis. Raloxifene dapat mengurangi risiko fraktur

tulang belakang sampai 36%. Seperti estrogen, raloxifene juga mempunyai

efek protektif terhadap penyakit jantung koroner dan dislipidemia.

(Dalimartha,2002)

2. Kalsitonin (Thyrocalcitonin)

Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel

C kelenjar tiroid, paratiroid, paru-paru, adrenal, timus, dan otak. Kalsitonin

bisa mempertahankan massa tulang dengan cara mengatur metabolisme

kalsium dan tulang. Bersama-sama dengan hormon paratiroid (PTH) dan

vitamin D, kalsitonin juga ikut berperan mengatur keseimbangan kalsium

darah. Fungsi kalsitonin, yaitu menurunkan kadar kalsium darah yang

meningkat akibat adanya percepatan resorpsi sehingga kalsium keluar dari

tulang. Kalsitonin bekerja dengan cara menghambat aktivitas osteoklas

sehingga resorpsi tulang dihambat serta meningkatkan pembuangan

kalsium, fosfor, dan natrium melalui urin. Hasilnya adalah penurunan

kadar kalsium darah. Meskipun demikian, kalsium tidak diturunkan di

bawah batas normal. Namun, pengobatan jangka panjang dengan

kalsitonin bisa menjadi tidak efektif karena tubuh dapat membentuk

antibodi. Bila terjadi demikian, hentikan sementara waktu penggunaan

kalsitonin supaya respons tubuh pulih kembali. (Dalimartha,2002)

Efek positif dari pemberian kalsitonin, yaitu meningkatnya densitas

mineral tulang di tulang belakang bagian lumbal. (Dalimartha,2002)

Adapun efek samping yang kadang timbul ruam kulit, mual, muntah, diare,

flushing di daerah muka dan malaise. Umumnya keluhan saluran cernadan

kulit ini berkurang walaupun terapi diteruskan. Peningkatan ekskresi Na+

Page 49: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

49

dan air, yang bersifat sementara pernah dilaporkan pada awal terapi. Hal

ini mungkin berhubungan dengan efek langsung pada ginjal untuk

memperbaiki dinamik sirkulasi. Mungkin terjadi inflamasi pada tempat

suntikan. Obat ini tidak dianjurkan pada wanita yang menyusui, sedangkan

keamanannya pada wanita hamil belum diteliti. (Gunawan,2009) Contoh

kalsitonin yang beredar di pasaran adalah salmon kalsitonin sintetik

dengan nama dagang Miacalcic (Novartis) dan Tonocalcin. (Pramudianto

dan Evaria,2010) Dosis yang diberikan pada pengobatan awal sebesar 100

IU sehari, subkutan atau intramuskular. Lama pemberian sampai keluhan

nyeri menghilang. Setelah itu, kalsitonin dapat diberikan 50-100 IU per

hari atau selang sehari. Untuk pengobatan jangka panjang, bisa juga

digunakan Miacalcic semprotan hidung dengan dosis 200 IU, 3 kali

seminggu selama 6 bulan. Selama pengobatan, pasien juga harus diberikan

suplemen kalsium. Bila penderita kurang terkena sinar matahari, perlu

dipertimbangkan pemberian vitamin D sebanyak 400 IU per hari.

(Dalimartha,2002)

3. Bisfosfonat

Obat yang termasuk senyawa bisfosfonat antara lain alendronate

(Alovell tablet) dan risedronate (Actonel tablet). Obat ini digunakan untuk

pengobatan osteoporosis, terutama pada wanita premenopause tanpa

gangguan siklus haid dan laki-laki dengan kadar testosteron normal.

Aktivitas antiresorptif bisfosfonate bekerja dengan cara menghambat kerja

osteoklas yang berlebihan. Obat ini diminum sekali sehari, pada pagi hari,

sekurang-kurangnya 30 menit sebelum makan atau minum pertama. Obat

harus diminum dengan 2 gelas air putih, tanpa dikunyah atau digerus.

Setelah minum obat, posisi tubuh harus tegak (jangan berbaring), bisa

duduk atau berdiri selama ½ jam. Untuk risedronate, tablet juga boleh

diminum 2 jam setelah makan atau minum, atau minimal 30 menit

sebelum tidur. (Dalimartha,2002) Bisfosfonat dapat menyebabkan

gangguan gastrointestinal berupa mual dan diare (terutama bila digunakan

dalam dosis tinggi), sakit pada sendi, flu-like syndrome, sakit kepala,

Page 50: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

50

reaksi kulit. Kalsium dan antasida yang mengandung ion divalen akan

menghambat absorbsi bisfosfonat. (Gunawan,2009)

Bisfosfonat dikontraindikasikan terhadap pasien dengan

hipersensitivitas, pasien yang tidak dapat menegakkan tubuh lebih dari ½

jam, ulkus peptikum, gangguan fungsi ginjal dengan klirens kreatinin <30

ml/menit. (Gunawan,2009)

4. Kalsium

Pada masa pertumbuhan, tersedianya kalsium menyebabkan

pertumbuhan tulang menjadi maksimal. Setelah menopause, kecukupan

kalsium darah dapat menghambat resorpsi tulang, terutama bagian korteks.

Preparat kalsium diperlukan bila terdapat defisiensi kalsium atau penderita

dengan intake kalsium yang rendah. (Dalimartha,2002)

Dosis kalsium yang diberikan sebelum menopause 800-1000

mg/hari, selama periode menopause 1000-1200 mg/hari, dan setelah

menopause 1200-1500 mg/hari. Makanan sehari-hari umumnya hanya

mengandung 350 mg kalsium sehingga masih membutuhkan suplemen

kalsium. Sebaiknya tablet kalsium, vitamin D, atau susu berkalsium tinggi

diminum setelah makan malam karena pembentukan tulang terjadi pada

malam hari. Suplemen kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat dan

kalsium sitrat. Kalsium sitrat lebih larut dan penyerapannya di saluran

cerna lebih mudah. Kalsium karbonat mengandung 40% kalsium murni,

sedangkan kalsium glukonat hanya mengandung 9% kalsium murni.

Pemberian kalsium harus sangat hati-hati pada penderita dengan

hiperkalsemia, hiperkalsiuria, dan riwayat batu ginjal. Sebelum pemberian

kalsium, sebaiknya diperiksa terlebih dahulu kalsium dan kreatinin urin 24

jam. Selama minum tablet kalsium, minum air putih harus lebih banyak

untuk mencegah timbulnya sembelit. (Dalimartha,2002)

Efek samping pemberian kalsium antara lain mual, muntah,

sembelit (konstipasi), iritasi lambung, dan rasa kapur di lidah. Pemberian

jangka panjang bisa menyebabkan kadar kalsium darah meningkat

(hiperkalsemia) yang akan memberikan gejala sakit kepala, pusing, rasa

Page 51: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

51

mengantuk, terjadinya batu ginjal, dan pengapuran jaringan lunak.

(Dalimartha,2002)

5. Vitamin D

Vitamin D tergolong vitamin yang larut dalam lemak. Dengan

ditemukannya reseptor untuk bentuk aktif vitamin D, maka vitamin ini

lebih bersifat hormon. Vitamin ini berperan dalam penyerapan kalsium dan

fosfat melalui usus halus, serta mengurangi pembuangannya melalui

ginjal. Vitamin ini hanya diperlukan bila penderita osteoporosis

mengalami defisiensi vitamin D, baik relatif maupun absolut, dapat

mengganggu penyerapan kalsium sehingga dapat menyebabkan kehilangan

massa tulang yang lebih besar. (Dalimartha,2002)

Vitamin D2 (ergokalssiferol) yang terdapat dalam tumbuhan dan

vitamin D3 yang terdapat dalam minyak ikan merupakan dua jenis sterol

yang bersifat antirakitis. Vitamin D3 merupakan provitamin D yang

dengan penyinaran ultraviolet dari matahari dan hidroksilasi dalam hati

dan ginjal akan dirubah menjadi bentuk aktif, yaitu 1,25-

dihidrokolekalsiferol. (Dalimartha,2002)

Asupan vitamin D mungkin diperlukan pada orang yang kurang

mendapat sinar matahari pagi. Bila perlu dapat diberikan vitamin D aktif,

yaitu alfa-kalsidol atau kalsitrol (Rocaltrol) sehari 2 kali 0,25 mg yang

akan menormalkan penyerapan kalsium dari usus. (Dalimartha,2002)

Adapun efek samping yang dapat ditimbulkan oleh pemberian obat

ini adalah hiperkalsemia; pada fase awal ada keluhan rasa lemah, sakit

kepala. (Gunawan,2009)

Pasien-pasien dengan hiperkalsemia, yang hipersensitif terhadap

kalsitrol, serta wanita menyusui, dikontraindikasikan dalam pemberian

obat ini. Untuk wanita hamil, masih belum ada data mengenai keamanan

penggunaannya. (Gunawan,2009)

6. Androgen

Androgen adalah hormon kelaki-lakian yang dikenal sebagai

steroid anabolik yang kuat. Turunnya kadar androgen pada laki-laki, baik

Page 52: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

52

pada usia lanjut maupun akibat hipogonadisme, akan menimbulkan

kerapuhan tulang. (Tandra,2009)

Steroid anabolik merupakan pembentuk tulang yang positif.

Nandrolon, metandrostenolon, dan etilestrenol merupakan steroid anabolik

yang dapat digunakan pada penderita osteoporosis dengan defisiensi

androgen. Namun, pada perempuan dengan postmenopausal osteoporosis

tidak diberikan obat ini karena bisa menimbulkan efek samping

maskulinisasi, seperti timbulnya jerawat, tumbuhnya kumis, suara menjadi

besar, haid tidak teratur, dan pembesaran klitoris. Pada pria dapat timbul

gejala feminisasi seperti payudara yang membesar (ginekomastia), dan

pembesaran prostat pada laki-laki usia lanjut. (Tandra,2009)

Efek samping berupa peningkatan enzim hati, retensi cairan, efek

androgenik, dan turunnya kadar HDL kolesterol di dalam darah.

(Tandra,2009)

7. Hormon paratiroid

Hormon paratiroid (PTH) adalah hormon yang produksinya

tergantung pada kadar kalsium dalam darah. PTH ini meningkatkan

penyerapan kembali kalsium di ginjal, menaikkan penyerapan kalsium di

usus, serta menambah pembentukan tulang. (Tandra,2009)

Bila PTH terus diproduksi akan terjadi hiperparatiroid primer yang

justru menyebabkan penurunan kepadatan tulang. Sebaliknya bila

produksinya intermiten, atau dibentuk hanya bila dibutuhkan atau sesuai

kebutuhan, maka PTH bisa meningkatkan massa tulang. (Tandra,2009)

Bentuk hormon paratiroid yang sintetis dimulai sejak November

2002. Molekul teriparatide atau forteo ini merangsang pembentukan sel

tulang yang baru, dan kepadatan tulang bisa bertambah. Jadi, teriparatide

ini bersifat anabolik, yaitu merangsang pertumbuhan tulang. (Tandra,2009)

Suatu penelitian terhadap 1637 wanita pasca-menopause yang

sudah mengalami patah tulang disimpulkan bahwa teriparatide bisa

menaikkan BMD tulang belakang sampai 13% dan tulang pangkal paha

bertambah hingga 6%. (Tandra,2009)

Page 53: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

53

Sayang sekali obat ini sangat mahal, dan pemberiannya juga harus

melalui suntikan setiap hari. Efek samping yang bisa terjadi adalah mual,

pusing, dan kram otot tungkai. (Tandra,2009)

Obat ini juga sudah disetujui penggunaannya oleh FDA, dengan

suntikan dalam dosis kecil setiap hari, yang ternyata merangsang

pembentukan tulang lebih banyak daripada resorpsi tulang, sehingga

berguna untuk pengobatan osteoporosis. (Tandra,2009)

Berikut ini adalah algoritma terapeutik kesehatan tulang.

Gambar 2.1 Algoritma terapeutik kesehatan tulang.(Wells,et al,2006)

Selain penanganan dengan obat-obatan, perlu juga dilakukan fisioterapi. Terapi

fisik atau fisioterapi akan menguatkan dan mempertahankan kekuatan otot,

menambah energi, dan mengeluarkan endorfin dalam tubuh yang akan

mengurangi rasa nyeri. (Tandra,2009)

Fisioterapi juga membantu pasien berlatih berjalan dengan baik dan berdiri

dengan postur tubuh yang stabil, mengurangi ketegangan otot, serta

Page 54: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

54

menguatkan otot. Fisioterapi berguna untuk pemulihan setelah terjadi fraktur

tulang terutama tulang belakang. (Tandra,2009)

Termasuk dalam fisioterapi ini adalah :

a) Pijat atau massage

b) Pemanasan dan pendinginan

Kompres hangat bisa membuat otot rileks dan rasa nyeri akan berkurang.

Sedangkan kompres dingin dapat mengurangi bengkak dan reaksi radang,

dan untuk sementara bisa melumpuhkan saraf sehingga rasa nyeri juga

berkurang.

Cara pemanasan atau pendinginan ini baik untuk nyeri setempat yang tidak

luas atau terlokalisasi di satu daerah.

c) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

d) Pelatihan

e) Pemasangan alat korset untuk patah tulang belakang. (Tandra,2009)

Operasi hanya dilakukan bila terdapat gangguan neurologis atau adanya

ruas tulang belakang yang tidak stabil. Dengan operasi, dilakukan perbaikan

kedudukan tulang yang osteoporotik. Cara lain yang lebih sederhana, yaitu

tanpa melakukan operasi terbuka dengan vertebroplasty dan kyphoplasty.

Tindakan yang dilakukan adalah dengan menyuntikan semacam semen tulang

berupa polymethylmethacrylat ke dalam ruas tulang belakang yang fraktur.

Kedua tindakan di atas bisa mengurangi rasa sakit pada tulang yang fraktur.

(Dalimartha,2002)

2.5.2 Pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang diinduksi oleh penggunaan

kortikosteroid

Pencegahan dan pengobatan terhadap osteoporosis yang diinduksi oleh

penggunaan kortikosteroid tidak jauh berbeda dengan pencegahan dan pengobatan

osteoporosis pada umumnya. (Roy dan O’Neill,2005)

Para pengguna kortikosteroid jangka panjang wajib diberi edukasi mengenai

potensi mereka mengalami osteoporosis akibat pengobatan yang akan maupun

yang sedang mereka jalani, dalam hal ini penggunaan kortikosteroid. Oleh karena

Page 55: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

55

itu, untuk mereka yang telah menggunakan kortikosteroid, regimen yang

diberikan harus secara konstan ditinjau dan dosisnya dikurangi jika

memungkinkan. Perlu dipertimbangkan juga rute alternatif dari pemberian

kortikosteroid ini, misalnya saja penggunaan kortikosteroid yang dihirup untuk

pasien asma. (Roy dan O’Neill,2005)

Semua guidelines (pedoman-pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam

menyikapi osteoporosis) merekomendasikan bahwa segera setelah kortikosteroid

diresepkan untuk pasien, klinisi harus menentukan tindakan-tindakan yang dapat

dilakukan untuk mencegah atau paling tidak untuk meminimalkan terjadinya

osteoporosis (Dore,2010) termasuk diantaranya menganjurkan pasien untuk tidak

merokok dan meminimalisir konsumsi alkohol, menjalani latihan fisik dengan

pembebanan (weight-bearing exercise), serta mempertahankan kecukupan

masukan kalsium. (Osteoporosis Australia,2008)

Oleh karena kalsium dan vitamin D memiliki toksisitas rendah dan juga

harga yang relatif terjangkau, semua pasien yang mulai menggunakan

kortikosteroid seharusnya juga mengkonsumsi suplemen kalsium dan vitamin D.

(Dore,2010)

Kalsium sendiri tidaklah cukup untuk mencegah laju hilangnya tulang pada

pasien yang menggunakan kortikosteroid. Akan tetapi, apabila kalsium

dikonsumsi bersamaan dengan vitamin D (kolekalsiferol) kemungkinan dapat

mengurangi kehilangan tulang selama pemakaian kortikosteroid jangka panjang.

Semua pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi kalsium 1000 mg/hari dan vitamin

D3 sedikitnya 500 IU/hari. Pada prakteknya, tujuan seharusnya adalah untuk

mempertahankan kadar serum 25-hydroxyvitamin D3 lebih besar dari 50 ng/ml

untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder. (Romas,2008)

Pengobatan harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang hendak mulai /

telah menggunakan prednisolone > 7,5 mg/hari (atau dosis yang ekuivalen / setara

dengan jenis kortikosteroid lainnya) untuk periode > 6 bulan. (Roy dan

O’Neill,2005)

Page 56: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

56

Uraian indikasi pengobatan terhadap pengguna kortikosteroid adalah

sebagai berikut :

a) Pasien yang mulai mengkonsumsi kortikosteroid dosis tinggi (prednisolon >15

mg / yang setara dengannya), dimana ini akan digunakan selama 6 bulan, harus

ditawarkan perlindungan terhadap tulang dari pengobatan yang mereka jalani.

Pasien-pasien yang telah mengkonsumsi kortikosteroid dalam dosis tinggi

tanpa perlindungan terahadap tulang harus segera dianjurkan penggunaannya.

(Roy dan O’Neill,2005)

b) Pasien-pasien yang mulai dengan steroid dosis sedang (prednisolone 7,5-15

mg) dengan satu atau lebih faktor risiko untuk mengalami osteoporosis juga

harus dianjurkan untuk melindungi tulangnya dari pengobatan steroid. Pasien-

pasien yang sudah terlanjur mengkonsumsinya tanpa perlindungan terhadap

tulang juga harus segera dianjurkan. (Roy dan O’Neill,2005)

c) Pasien-pasien yang mulai dengan steroid dosis sedang (prednisolon 7,5-15 mg)

tetapi tidak memiliki faktor risiko. Untuk pasien-pasien seperti ini, DXA dapat

digunakan untuk menentukan risiko fraktur dan oleh karenanya membutuhkan

pengobatan untuk melindungi tulang. Pengobatan antiporotik harus dimulai

ketika T-score berada di bawah -1,5 pada vertebra dan atau panggul. (Roy dan

O’Neill,2005)

Pada situasi klinikal poin (a) dan (b) tidak dibutuhkan DXA untuk

mengkonfirmasi kebutuhan akan perlindungan tulang ini. Walaupun demikian,

jika tersedia, kemungkinan DXA dapat berguna sebagai metode yang dapat

digunakan untuk memonitor pengobatan. (Roy dan O’Neill,2005)

Berikut ini merupakan diagram pencegahan fraktur pada pasien yang akan

menggunakan kortikosteroid. (Romas,2008)

Page 57: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

57

Gambar 2.2 Diagram pencegahan fraktur pada pasien yang akan

menggunakan kortikosteroid.(Romas,2008)

Pilihan pengobatan yang dapat diberikan antara lain:

a) Terapi sulih hormon (Hormone Replacement Therapy / HRT)

HRT merupakan pengobatan pilihan bagi wanita peri- dan

postmenopausal, walaupun beberapa faktor risiko tertentu memungkinkan tidak

dapat dilakukannya pengobatan ini, misalnya saja wanita yang mengalami

kanker payudara, tromboembolisme berulang. Pada pria, pemberian testosteron

harus dipertimbangkan jika terbukti adanya hipogonadisme. (Roy dan

O’Neill,2005)

Baru-baru ini, terdapat data yang menyebutkan bahwa peningkatan risiko

penyakit vaskular berhubungan dengan terapi sulih hormon sehingga hal ini

menyebabkan terapi sulih hormon tidak lagi menjadi terapi lini pertama dalam

mencegah atau mengobati osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid.

(Roy dan O’Neill,2005)

Page 58: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

58

b) Bisfosfonat

Bisfosfonat sangatlah efektif dalam mencegah dan mengobati hilangnya

tulang pada pasien-pasien yang menerima kortikosteroid (glukokortikoid).

(Dore,2010)

Pada pria dan wanita postmenopausal, American College of

Rheumatology (ACR) merekomendasikan bisfosfonat bagi pasien yang

memulai pengobatan dengan kortikosteroid jangka panjang (misalnya

pemakaian minimal selama 3 bulan atau lebih) dengan prednison 5 mg atau

lebih per hari atau yang setara dengannya, terlepas dari nilai densitas mineral

tulang pasien tersebut. (Dore,2010)

Pada pasien yang terlanjur mengkonsumsi kortikosteroid, bisfosfonat

harus segera dimulai jika BMD berada di bawah nilai ambang. Alasan untuk

menggunakan patokan ini dan tidak memberikan bisfosfonat kepada semua

pasien yang datang tidak lain adalah karena obat ini secara potensial memiliki

efek samping yang signifikan, dan oleh karena itu tidak boleh diresepkan bila

tidak dibutuhkan. (Dore,2010)

Nilai ambang batas yang tepat dimana suatu intervensi harus

dipertimbangkan untuk pasien yang menjalani pengobatan dengan

kortikosteroid masih menjadi kontroversi. Berdasarkan bukti-bukti yang

menyatakan bahwa fraktur terjadi lebih sering pada pasien-pasien yang

menggunakan kortikosteroid dibanding untuk postmenopause, The UK

Guidelines merekomendasikan untuk memulai pemberian bisfosfonat apabila

T-score <-1,5 pada vertebra atau panggul. Akan tetapi, ACR menyarankan bila

T-score <-1,0. Pada akhirnya, patokan yang manapun yang akan dipilih, risiko

fraktur absolut akan dibedakan kembali berdasarkan usia pasien. Oleh karena

itu, pemakaian T-score sebagai nilai ambang batas dalam menentukan kapan

dilakukan intervensi tidaklah dianjurkan. (Dore,2010)

Pada anak dan remaja, tidak ditemukan cukup data untuk memaparkan

pedoman yang telah dibuktikan untuk mencegah dan mengobati osteoporosis

yang diinduksi oleh kortikosteroid. Patokan umumnya termasuk penggunaan

kortikosteroid dengan dosis efektif terendah dalam waktu paling singkat, dan

Page 59: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

59

mempertimbangkan terapi-terapi alternatif, suplementasi kalsium dan vitamin

D, weight-bearing exercise, dan nutrisi yang tepat. (Dore,2010)

Bisfosfonat direkomendasikan ketika densitas mineral tulang sangat

rendah, disamping patokan umum yang sering digunakan dan ketika

kortikosteroid dosis tinggi cenderung digunakan untuk waktu yang lama, atau

pada pasien yang telah mengalami fraktur. (Dore,2010)

Risedronate telah disetujui oleh US Food & Drug Administration (FDA)

sebagai profilaksis untuk osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid dan

keduanya, yaitu risedronate dan alendronate yang telah disetujui sebagai

pengobatan terhadap osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid.

(Dore,2010)

ACR merekomendasikan untuk penggunaan harian kedua obat yang telah

disetujui oleh FDA ini. Kebanyakan pasien cenderung lebih setuju mengikuti

jadwal pemberian harian ini walaupun kedua obat ini telah diresepkan secara

mingguan. (Dore,2010)

Asam zoledronic (Reclast) merupakan bisfosfonat yang diberikan secara

intravena sekali dalam setahun dan telah disetujui penggunaannya terhadap

osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid setelah pedoman dari ACR dan

UK Guidelines dipublikasikan. Reaksi-reaksi merugikan telah dilaporkan pada

sebagian kecil percobaan pengobatan, termasuk diantaranya nyeri abdomen,

nyeri muskuloskeletal, mual, dan dispepsia. (Dore,2010)

c) Teriparatide (Forteo)

Obat ini berisi fragmen molekul hormon paratiroid manusia. Diberikan

sekali sehari melalui injeksi subkutan. Obat ini juga telah disetujui untuk

digunakan dalam mengobati osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid

setelah pedoman-pedoman mengenai obat ini ditulis. (Dore,2010)

Sayangnya, upaya pencegahan dan pengobatan pada praktek klinik

sesungguhnya masih jauh tertinggal dibanding apa yang telah direkomendasikan

dari berbagai pedoman yang ada, meskipun berbagai macam terapi tersedia.

(Dore,2010)

Page 60: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

60

2.6 RUJUKAN

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia dalam standar kompetensi dokter,

kompetensi seorang dokter umum dalam menangani osteoporosis berada dalam

tingkat kemampuan IIIA. Dijabarkan bahwa dokter umum harus mampu membuat

diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan

tambahan yang diminta oleh dokter tersebut (misalnya pemeriksaan laboratorium

sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan memberi terapi

pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus gawat

darurat). (Konsil Kedokteran Indonesia,2006)

Spesialis dalam hal ini diantaranya :

1) Dokter spesialis penyakit dalam yang spesialisasinya di bidang reumatologi

(dokter SpPD-KR);

2) Dokter spesialis penyakit dalam yang spesialisasinya di bidang endokrinologi

(dokter SpPD-KEMD);

3) Dokter spesialis bedah khusus di bidang ortopedi (dokter SpBO);

4) Dokter spesialis penyakit dalam yang spesialisasinya di bidang geriatri

(dokter SpPD-Kger);

5) Dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (dokter SpOG) yang

sebagian juga mendalami masalah menopause termasuk osteoporosis;

6) Dokter spesialis fisioterapi atau rehabilitasi medik (dokter SpRM) yang

berpengalaman menangani kasus-kasus trauma otot, sendi, dan tulang,

termasuk osteoporosis. (Tandra,2009)

Bagi pengguna maupun calon pengguna kortikosteroid, rujukan ke unit

spesialis diindikasikan bila dibutuhkan bantuan untuk menilai kebutuhan akan

proteksi tulang (misalnya taksiran risiko fraktur), untuk menegakkan diagnosa

osteoporosis, ataupun dalam memanagemen osteoporosis itu sendiri. (Dore,2010)

Page 61: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

61

Oleh karena itu, berdasarkan kondisi lokal yang ada, rujukan mungkin

dibutuhkan untuk melakukan DXA. Anak-anak, remaja, dan dewasa muda yang

membutuhkan terapi jangka panjang kortikosteroid dosis tinggi menghadapi

kesulitan-kesulitan khusus dalam penatalaksanaannya. Kasus-kasus seperti ini

paling bagus dihadapi dengan pendekatan bersama-sama “shared care” misalnya

oleh klinisi yang cenderung tertarik dalam penyakit tulang metabolik. (Dore,2010)

Page 62: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

62

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

rendahnya massa tulang, gangguan mikroarsitektur jaringan tulang, dan

pada akhirnya akan meningkatkan risiko terjadinya fraktur.

Faktor risiko terjadinya osteoporosis meliputi faktor risiko turunan (jenis

kelamin, usia, etnik Asia atau Kaukasia, kerangka tulang kecil, terdapat

anggota keluarga yang mengalami osteoporosis, berat badan dan BMI

rendah, serta skoliosis) dan faktor risiko lingkungan (menopause, kadar

testosteron yang rendah pada laki-laki, diet ketat untuk menurunkan berat

badan sampai menyebabkan terhentinya haid, menderita penyakit kronis,

defisiensi kalsium dan vitamin D, konsumsi rokok, alkohol, kopi, garam,

dan minuman ringan, asupan asam berlebihan, obat-obatan, dan gaya

hidup inaktif).

Osteoporosis diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok

osteoporosis primer yang meliputi osteoporosis idiopatik, osteoporosis tipe

I, osteoporosis tipe II, dan kelompok yang kedua adalah osteoporosis

sekunder.

Keluhan dan tanda yang sering dijumpai pada pasien dengan osteoporosis

antara lain nyeri, fraktur, berkurangnya tinggi badan, dan deformitas

tulang belakang.

Diagnosa osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan biopsi tulang dan

histomorfometri.

Diagnosis banding osteoporosis sangatlah luas, bahkan semua penyebab

sekunder osteoporosis dapat dikelompokkan sebagai diagnosis

bandingnya.

Page 63: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

63

Kortikosteroid merupakan hormon yang diproduksi oleh korteks kelenjar

adrenal. Secara umum, kortikosteroid ini didefinisikan sebagai

glukokortikoid atau mineralokortikoid. Hormon ini maupun turunan

sintetisnya dapat digunakan sebagai obat. Walaupun secara terapeutik

efektif, osteoporosis mungkin merupakan efek samping pengobatan

kortikosteroid yang paling serius. Pemberian jangka panjang sendiri

merupakan penyebab yang biasa dari osteoporosis pada orang dewasa dan

pertumbuhan tulang-tulang skeletal yang buruk pada anak-anak.

Steroid dalam bentuk obat hirup dan steroid yang disuntikan ke tulang

sendi tidak terlalu merusak tulang dibandingkan bentuk yang diminum,

tetapi masih tetap menyebabkan efek merugikan yang besarnya tergantung

dosis yang diberikan. Kortikosteroid dapat mempengaruhi tulang secara

langsung dengan mengubah metabolisme kalsium dan tulang, tetapi dapat

juga secara tidak langsung dengan mengubah berbagai aktivitas hormonal

dan metabolisme protein.

Pengadaan sesi pendidikan bagi pasien penting untuk pencegahan dan

pengobatan osteoporosis secara umum, diantaranya mencegah terjadinya

jatuh, latihan fisik yang tepat dan adekuat, serta memiliki diet yang

seimbang dengan masukan kalsium dan vitamin D yang adekuat.

Pengobatan yang spesifik untuk osteoporosis sangatlah bervariasi

tergantung pada penyebabnya. Obat-obat spesifik yang diberikan kepada

penderita osteoporosis secara umum antara lain hormon estrogen,

kalsitonin, bisfosfonat, kalsium, vitamin D, androgen, dan hormon

paratiroid. Selain penanganan dengan obat-obatan, perlu juga dilakukan

fisioterapi. Operasi hanya dilakukan bila terdapat gangguan neurologis

atau adanya ruas tulang belakang yang tidak stabil.

Pencegahan dan pengobatan terhadap osteoporosis yang diinduksi oleh

penggunaan kortikosteroid tidak jauh berbeda dengan pencegahan dan

pengobatan osteoporosis pada umumnya. Para pengguna kortikosteroid

jangka panjang wajib diberi edukasi mengenai potensi mereka mengalami

osteoporosis akibat pengobatan yang akan maupun yang sedang mereka

Page 64: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

64

jalani, dalam hal ini penggunaan kortikosteroid. Segera setelah

kortikosteroid diresepkan untuk pasien, klinisi harus menentukan

tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah atau paling tidak

untuk meminimalkan terjadinya osteoporosis, termasuk diantaranya

menganjurkan pasien untuk tidak merokok dan meminimalisir konsumsi

alkohol, menjalani latihan fisik dengan pembebanan (weight-bearing

exercise), serta mempertahankan kecukupan masukan kalsium.

Pilihan pengobatan yang dapat diberikan untuk penderita osteoporosis

yang diinduksi oleh kortikosteroid antara lain terapi sulih hormon,

bisfosfonat (risedronate dan alendronate), dan teriparatide (forteo).

Untuk kasus-kasus osteoporosis yang diinduksi oleh kortikosteroid, paling

tepat dihadapi dengan pendekatan bersama-sama dengan klinisi lainnya

yang cenderung tertarik dalam penyakit tulang metabolik.

Kompetensi seorang dokter umum dalam menangani osteoporosis berada

dalam tingkat kemampuan IIIA.

3.2 SARAN

3.2.1 Bagi pakar kesehatan

Osteoporosis merupakan komplikasi terapi dengan kortikosteroid

yang serius dan seringkali diabaikan. Sehingga melalui karya tulis ilmiah

ini, penulis mengharapkan agar para pakar yang bergerak dalam bidang

kesehatan, lebih teliti lagi dalam mempertimbangkan pemberian pengobatan

kortikosteroid bagi pasien, mengingat risiko terjadinya osteoporosis akibat

penggunaan obat-obat ini cukup tinggi.

3.2.2 Bagi masyarakat

Penulis mengharapkan agar masyarakat lebih peduli untuk mengetahui

apakah mereka memiliki risiko terkena osteoporosis atau tidak, khususnya

bagi para wanita yang telah menopause ataupun pria dan wanita yang telah

berusia 60 sampai 65 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk dapat segera

dilakukan tindakan pencegahan maupun tindakan pengobatan sebelum

terjadi komplikasi yang lebih buruk.

Page 65: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

65

DAFTAR PUSTAKA

Australian National Consensus Conference (1996), The Prevention and

Management of Osteoporosis, dalam Consensus Statement,

(http://www.mja.com.au/public/guides/osteo/osteo.html, diakses 19

November 2011).

Constable,Simon,et al (2007), Medical Pharmacology, Master Medicine, Third

Edition, Churchill Livingstone Elsevier.

Cosman,Felicia (2009), Osteoporosis : Panduan Lengkap Agar Tulang Anda

Tetap Sehat, diterjemahkan olehWord ++ Translation Service dan

Syahrir,Iriani, Yogyakarta : Penerbit B-First.

Dalimartha,Setiawan (2002), Resep Tumbuhan Obat untuk Penderita

Osteoporosis, Jakarta : PT Penebar Swadaya.

Dore,Robin K. (2010), How to Prevent Glucocorticoid – Induced Osteoporosis,

dalam Cleveland Clinic Journal of Medicine, Volume 77, Nomor 8,

(http://www.ccjm.org/content/77/8/529.long, diakses 11 September 2011)

Ganong,William F. (2003), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, hal.368-

371, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Greenstein,Ben dan Wood,Diana F. (2010), The Endocrine System at a Glance,

2nd Edition, diterjemahkan oleh Yasmine,Elizabeth dan Rachmawati,Asri

Dwi, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Gunawan,Sulistia Gan (2009), Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta :

Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Guyton & Hall (1997), Textbook of Medical Physiology, 9th Edition,

diterjemahkan oleh Setiawan,Irawati,et al, Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Page 66: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

66

Hardman,Joel dan Limbird,Lee (2008), Goodman & Gilman’s The

Pharmacological Basis of Therapeutics, Volume 2, diterjemahkan oleh Tim

Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Imboden,John B. et al (2007), Current Rheumatology Diagnosis and Treatment,

2nd Edition, The McGraw-Hill Companies,Inc.

Indonesian Health Technology Assessment (2005), Penggunaan Bone

Densitometri pada Osteoporosis, (http://docs.google.com/viewer?

a=v&q=chache:Lk08ky2404IJ:file.upi.edu/Direktori/FPMIPA?

JUR_PEND_FISIKA/195708071982112_WIENDARTU, diakses 18

Agustus 2011)

International Osteoporosis Foundation (2011), What is Osteoporosis,

(http://www.iofbonehealth.org/patients-public/about-osteoporosis/what-is-

osteoporosis.html, diakses 12 Januari 2012).

Isselbacher,Kurt J. Et al (2000), Harrison’s Principles of Internal Medicine,13th

Edition,Vol.5, diterjemahkan oleh Asdie,Ahmad H. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Katzung,Bertram G. (1998), Basic and Clinical Pharmacology, 6th Edition,

diterjemahkan oleh Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Konsil Kedokteran Indonesia (2006), Standar Kompetensi Dokter.

Kosmin dan Jacobs,Dana (2011), Osteoporosis, Medscape, (http://www.

emedicine.medscape.com/article/330598, diakses 18 Agustus 2011).

Lane,Nancy (2001), Lebih Lengkap Tentang Osteoporosis - Rapuh Tulang,

Jakarta : PT Rajagrafindo Persada.

Lin,Tammy L. & Rypkema,Scott W. (2010), The Washington Manual of

Ambulatory Therapeutics, diterjemahkan oleh Hartanto,Huriawati, et al,

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mitchell,Richard N. et al (2009), Pocket Companion to Robins & Cotran

Pathologic Basis of Disease, 7th Edition, diterjemahkan oleh Hartono

Andry, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Page 67: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

67

Monkhouse,Stanley (2007), Second Edition Master Medicine : Clinical Anatomy,

page 19-21, Churchill Livingstone Elsevier.

Moore,Keith L. Dan Agur,Anne M.R. (2002), Anatomi Klinis Dasar, Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Osteoporosis Australia (2008), Corticosteroid – Induced Osteoporosis,

(http://www.osteoporosis.org.au/about/about-osteoporosis/what-is-

osteoporosis.html, diakses 11 September 2011)

Parker,Robert dan Sharma,Asheesh (2008), General Medicine: Crash Course, 3rd

Edition, Toronto : Mosby Elsevier.

Pols,H.A.P.et al (2000), Corticosteroid-Induced Osteoporosis in Daily Practice,

dalam Thesis Erasmus University Rotterdam, (http://repub.eur.nl/res/pub/

21296/000119_STRUIJS,%20Adriaan.pdf, diakses 11 September 2011).

Pongchaiyakul,Chatlert, Corticosteroid-Induced Osteoporosis,

(http://www.chatlert.worldmedic.com/pptfile/cio.ppt, diakses 11 September

2011).

Pramudianto,Arlina dan Evaria, MIMS Indonesia : Petunjuk Konsultasi, Edisi

2010/2011, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.

Romas,Evange (2008), Corticosteroid – Induced Osteoporosis and Fractures,

dalam Australian Prescriber, Volume 31, Nomor 2,

(http://www.australianprescriber.com, diakses 11 September 2011).

Rosen,Clifford J. (2005), Postmenopausal Osteoporosis, The New England

Journal of Medicine, (http://www.nejm.org/doi/10.1056/NEJMcp043801,

diakses 18 Agustus 2011).

Roy,Dipak dan O’Neill,Terence (2005), Corticosteroid-Induced Osteoporosis ;

Prevention and Treatment, dalam Collected Reports on The Rheumatic

Diseases 2005 Series 4 (Revised), (http://www.arthritisresearch.org.uk,

diakses 11 September 2011).

Rubenstein,David,et al (2007), Lecture Notes on Clinical Medicine, Sixth Edition,

diterjemahkan oleh Rahmalia,Annisa, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Page 68: Bab i, Bab II, Bab III,Dafput (Final)Osteoporosis

68

Setiyohadi,Bambang (2007), Osteoporosis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

Jilid II, Edisi IV, Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

,(2003), “Kekuatan Tulang dan Osteoporosis”, Temu Ilmiah Reumatologi

2003, ASEAN Meeting on Gout and Hyperuricemia, Jakarta.

Sherwood,Lauralee (2001), Human Physiology : From Cells to Systems, 2nd

Edition, diterjemahkan oleh Pendit,Brahm U. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Shiel,William C. (2012), Osteoporosis, (http://www.emedicinehealth.com/

osteoporosis/article_em.html diakses 12 Januari 2011).

Snell,Richard S. (2006), Clinical Anatomy for Medical Student, 6th Edition,

diterjemahkan oleh Sugiharto,Liliana, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Spencer,Rebecca Fox dan Brown,Pam (2007), Simple Guide : Osteoporosis,

diterjemahkan oleh Surapsari,Juwalita, Jakarta : Penerbit Erlangga.

Tandra,Hans (2009), Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui Tentang

Osteoporosis : Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos,

Jakarta : Penertbit PT Gramedia Pustaka.

Tierney,Lawrence,et al (2006), Current Assentials of Medicine, International

Edition, page 190, The McGraw-Hill Companies,Inc, United States.

Tulaar,Angela BM (2009), Modalitas Terapi Fisik dan Aquatik pada

Osteoporosis, dalam Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi

2009, Eds : Bambang Setiyohadi dan Yoga Iwanoff Kasjmir, Perhimpunan

Reumatologi Indonesia.

Wells,Barbara,et al (2006), Pharmacotherapy Handbook, Sixth Edition, The

McGraw-Hill Companies,Inc.