osteoporosis dp

29
OSTEOPOROSIS AKIBAT PENGGUNAAN GLUKOKORTIKOID Wahyuddin*, Mahriani Sylvawani** *Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala **Divisi Rheumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh I. PENDAHULUAN Osteoporosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang mempengaruhi ratusan juta orang di dunia. World Health Organization (WHO) memasukkan osteoporosis dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia. Terdapat ± 200 juta pasien di seluruh dunia yang menderita osteoporosis. 1 Studi BoneEVA di Jerman melaporkan prevalensi usia 25 - 74 tahun terdapat 1,2% untuk pria dan 7% untuk wanita yang menderita osteoporosis. 5 Studi cross sectional MONICA di Jerman dan EU27 di negara-negara Eropa mengungkapkan terdapat 31% wanita dan 45,1% pria berusia 25-74 tahun memiliki setidaknya satu patah tulang. 4,5 1

Upload: lansoprazole

Post on 07-Dec-2015

254 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

rheumatologi

TRANSCRIPT

Page 1: Osteoporosis DP

OSTEOPOROSIS AKIBAT PENGGUNAAN GLUKOKORTIKOID

Wahyuddin*, Mahriani Sylvawani**

*Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

**Divisi Rheumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

I. PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang mempengaruhi

ratusan juta orang di dunia. World Health Organization (WHO) memasukkan osteoporosis

dalam daftar 10 penyakit degeneratif utama di dunia. Terdapat ± 200 juta pasien di seluruh

dunia yang menderita osteoporosis.1 Studi BoneEVA di Jerman melaporkan prevalensi usia

25 - 74 tahun terdapat 1,2% untuk pria dan 7% untuk wanita yang menderita osteoporosis. 5

Studi cross sectional MONICA di Jerman dan EU27 di negara-negara Eropa

mengungkapkan terdapat 31% wanita dan 45,1% pria berusia 25-74 tahun memiliki

setidaknya satu patah tulang.4,5

Prevalensi osteoporosis di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Tes saring

menggunakan ultrasound bone density yang diadakan pada tahun 2002 di 5 kota besar,

menunjukan bahwa dari keseluruhan masyarakat yang dilakukan tes saring, 35%

menunjukkan hasil yang normal, 36% menunjukkan adanya osteopenia, sedangkan 29% telah

terjadi osteoporosis.6

Glukokortikoid sering digunakan dalam pengobatan banyak penyakit dan merupakan

salah satu penyebab utama dari osteoporosis sekunder.7,8 Di Amerika Serikat, glukokortikoid

diresepkan untuk 1 juta pasien per tahun, sedangkan di Inggris sebanyak 1,6 juta resep

1

Page 2: Osteoporosis DP

dikeluarkan untuk penggunaan steroid dalam waktu 10 tahun, digunakan oleh 0,9% dari

seluruh populasi dan sekitar 2,5% pada kelompok usia 70-79 tahun.30

Kejadian osteoporosis akibat glukokortikoid merupakan yang tersering ketiga setelah

pasca menopause dan usia lanjut.8 Insiden patah tulang baru setelah satu tahun terapi

glukokortikoid mencapai 17%, studi observasional menunjukkan bahwa patah tulang yang

timbul sering tanpa gejala, terjadi pada 30-50% pasien yang menggunakan glukokortikoid,

bahkan steroid inhalasi dapat menyebabkan keropos tulang jika digunakan untuk jangka

waktu yang lama.28,32,34 Risiko patah tulang meningkat cepat setelah dimulainya terapi oral

kortikosteroid (dalam waktu 3 sampai 6 bulan) dan menurun setelah terapi dihentikan. Risiko

tetap independen dari penyakit yang mendasari, usia dan jenis kelamin. Pengobatan

kortikosteroid oral dosis rendah 2,5 – 7,5 mg (prednisolon atau setara) setiap hari

menyebabkan penurunan kepadatan mineral tulang dan meningkatkan risiko patah tulang

selama masa pengobatan.29,8,32,33,35

II. ETIOLOGI

Osteoporosis ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan gangguan

mikroarsitektur tulang, mengakibatkan peningkatan kerapuhan tulang dan peningkatan risiko

fraktur.4 WHO secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral

Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 Standard deviation

(SD) dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (BMD T-score < -2,5 SD).

Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai dengan -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.2

Osteoporosis terbagi dua kelompok, osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis

sekunder. Osteoporosis primer tidak diketahui penyebabnya, sedangkan pada osteoporosis

sekunder yang diketahui penyebabnya. Osteoprosis primer terbagi 2, yakni osteoporosis tipe 1

(osteoporosis pasca menopause) yang disebabkan defisiensi estrogen dan osteoporosis tipe 2

(osteoporosis senelis) yang oleh gangguan absopsi kalsium di usus sehingga menyebabkan

hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.7

Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan oleh

penyakit atau kelainan tertentu, atau dapat pula akibat pemberian obat yang mempercepat

pengeroposan tulang. 8,9 Penyebab utama dari osteoporosis sekunder adalah penggunaan obat

glukokortikoid.7,8 Keadaan ini berhubungan dengan pemakaian glukortikoid meluas sebagai

obat antiinflamasi dan sebagai obat imunosupresi. Risiko pemberian glukortikoid jangka

lama sangat tergantung dengan dosis perhari, lamanya pemberian, jenis kortikosteroid dan

2

Page 3: Osteoporosis DP

dosis kumulatif total.7 Pasien yang mendapat glukortikoid jangka lama, 50% mengalami

fraktur traumatik selama periode 1 tahun pertama pemberian glukortikoid. Bone loss lebih

cepat timbul pada bulan pertama setelah pemberian.32

III. FAKTOR RISIKO

A. Dapat dikendalikan

1. Aktifitas fisik

Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi kalsium yang tinggi dan pembentukan tulang

tidak maksimum, dengan olah raga otot akan memacu tulang untuk membentuk massa.

Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan

penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan respon osteogenik dari estrogen.9,11

2. Status Gizi

Perawakan kurus cenderung memiliki bobot tubuh cenderung ringan merupakan faktor

risiko terjadinya kepadatan tulang yang rendah. Hubungan positif terjadi bila berat badan

meningkat dan kepadatan tulang juga meningkat.2,9

3. Konsumsi Kalsium

Kalsium (Ca), fosfor (P), dan magnesium (Mg) merupakan komponen mineral utama

pembentuk tulang. Penyimpanan dalam tulang akan mencapai puncaknya (Peak Bone

Mass/PBM) sekitar umur 20-30 tahun. Pada priode PBM ini jika massa tulang tercapai

dengan kondisi maksimal akan dapat menghindari terjadinya osteoporosis pada usia

berikutnya. Pencapaian PBM menjadi rendah jika individu kurang konsumsi Ca.9 ,10,11

4. Kebiasaan merokok

Merokok rentan terkena osteoporosis karena nikotin mempercepat penyerapan tulang dan

juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan

sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pembentukan tulang.2,9,11

5. Penyakit tertentu

Pemakaian insulin merangsang pengambilan asam amino ke sel tulang sehingga

meningkatkan pembentukan kolagen tulang akibatnya orang yang kekurangan insulin atau

resistensi insulin akan mudah terkena osteoporosis. Kontrol gula yang buruk pada penderita

diabetes juga akan memperberat metabolisme vitamin D dan osteoporosis. Beberapa penyakit

lainnya yaitu gagal ginjal kronik, asidosis metabolik kronik, gagal jantung kronik, lupus,

rhematoid arthritis dan lain sebagainya.2,9

3

Page 4: Osteoporosis DP

6. Minuman keras/beralkohol

Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung. Ini

menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium dalam darah yang dapat

menurunkan massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.2,9,11

7. Minuman soda dan berkafein

Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor akan

mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan kafein meningkatkan

pembuangan kalsium lewat urin.2,9

8. Obat-obatan

Heparin, antikonvulsan, glukokortikoid, obat kemoterapi, lithium dan lain ebagainya

dapat menyebabkan osteoporosis.2,9 Obat yang paling sering menyebabkan osteoporosis

adalah glukokortikoid.7

B. Tidak dapat dikendalikan

1. Riwayat Keluarga

Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita osteoporosis. Faktor

genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang.2,9,12

2. Jenis Kelamin

Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan pengaruh hormon

estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita

pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.2,9

3. Usia

Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia antara 30 sampai 35 tahun. Patah

tulang meningkat pada wanita usia >45 tahun, sedangkan pada laki-laki patah tulang baru

meningkat pada usia >75 tahun. Penyusutan massa tulang sampai 3 - 6% pertahun terjadi

pada 5-10 tahun pertama pascamenopause.2,9

4. Ras

Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis. Karena itu,

ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena

osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih padat

dibanding ras kulit putih Amerika.2,9

Kondisi tertentu, penyakit dan obat-obatan yang berkontribusi terhadap osteoporosis

dapat dilihat di tabel 1.9

4

Page 5: Osteoporosis DP

Tabel 1. Kondisi, penyakit dan obat-obatan yang menyebabkan dan berkontribusi pada osteoporosis dan Fraktur

Lifestyle factors Alcohol abuse Excessive thinness Excess Vitamin A Frequent falling High salt intake Immobilization Inadequate physical activity Low calcium intake Smoking (active or passive) Vitamin D insufficiency Genetic diseases Cystic fibrosis Ehlers-Danlos Gaucher’s disease Glycogen storage diseases Hemochromatosis Homocystinuria Hypophosphatasia Marfan syndrome Menkes steely hair syndrome Osteogenesis imperfecta Parental history of hip fracture Porphyria Riley-Day syndrome Hypogonadal states Androgen insensitivity Anorexia nervosa Athletic amenorrhea Hyperprolactinemia Panhypopituitarism Premature menopause (<40 yrs) Turner’s & Klinefelter’s syndromes Endocrine disorders Central obesity Cushing’s syndrome Diabetes mellitus (Types 1 & 2) Hyperparathyroidism Thyrotoxicosis Gastrointestinal disorders Celiac disease Gastric bypass Gastrointestinal surgery Inflammatory bowel disease Malabsorption Pancreatic disease Primary biliary cirrhosis Hematologic disorders Hemophilia Leukemia and lymphomas Monoclonal gammopathies Multiple myeloma Sickle cell disease Systemic mastocytosis Thalassemia Rheumatologic and autoimmune diseases Ankylosing spondylitis Other rheumatic and autoimmune diseases Rheumatoid arthritis Systemic lupus Neurological and musculoskeletal risk factors Epilepsy Multiple sclerosis Muscular dystrophy Parkinson’s disease Spinal cord injury Stroke Miscellaneous conditions and diseases AIDS/HIV Alcoholism Amyloidosis Chronic metabolic acidosis Chronic obstructive lung disease Congestive heart failure Depression End stage renal disease Hypercalciuria Idiopathic scoliosis Post-transplant bone disease Sarcoidosis Weight loss Medications Aluminum (in antacids) Anticoagulants (heparin) Anticonvulsants Aromatase inhibitors Barbiturates Cancer chemotherapeutic drugs Depo-medroxyprogesterone (premenopausal contraception)

Glucocorticoids (≥ 5 mg/d prednisone or equivalent for ≥ 3 months)

GnRH (Gonadotropin releasing hormone) agonists

Lithium Cyclosporine A and tacrolimus

Methotrexate Parental nutrition

Proton pump inhibitors Selective serotonin reuptake inhibitors Tamoxifen® (premenopausal use)

Thiazolidinediones (such as Actos® and Avandia®)

Thyroid hormones (in excess)

5

Page 6: Osteoporosis DP

IV. PATOGENESIS

Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas, sedangkan

osteoklas bertanggung jawab untuk penyerapan tulang.10 Pada osteoporosis akan terjadi

abnormalitas bone turnover, yaitu terjadinya proses penyerapan tulang (bone resorption)

lebih banyak dari pada proses pembentukan tulang (bone formation).1 Peran biphosphonat

sebagai terapi lini pertama osteoporosis yakni pada osteoblas maupun osteoklas. Pada

osteoblas, menghasilkan substansi yang akan menghambat osteoklas dan mempengaruhi

rantai aktivitas dan diferensasi perkusor osteoklas menjadi osteoklas matang sehingga

aktivitas osteoklas terbatas dan menurun yang memicu apoptosis osteoklas, sedangkan

aktivitas osteoblas bertambah yang menyebabkan pembentukan massa tulang.13,14 Penyebab

terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor risiko.10 Terjadinya

osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas

melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas. Keadaan ini mengakikatkan penurunan

massa tulang.7

Ada 2 mekanisme yang menyebabkan osteoporosis akibat glukokortikoid, langsung

dan tidak langsung. Pengaruh langsung kortikosteroid terjadi karena terdapat reseptor

glukokortikoid pada osteoblas dan osteoklas yang apabila terinduksi akan menyebabkan

penurunan replikasi dan proliferasi osteoblast, memperpendek waktu remodelling,

meningkatkan resorpsi osteoklas, dan menurunkan sintesis IGF-1, prostaglandin E (PGE2),

dan IGF-binding protein.34 Pengaruh tidak langsung adalah mengurangi absorbsi kalsium di

saluran cerna dan meningkatan ekskresi kalsium melalui ginjal, hiperparatiroidisme sekunder,

dan defisiensi hormon anabolik akibat berkurangnya sintesis hormon gonadal dan adrenal,

mengurangi respon sel terhadap hormon dan faktor pertumbuhan, dan mengurangi IGF-

binding protein.30 Kadar kalsium darah yang rendah menyebabkan peningkatan efek hormon

paratiroid sekunder sehingga resorpsi tulang meningkat.34

Mekanisme lain adalah kortikosteroid meningkatkan ekspresi Receptor activator of

nuclear factor kappa-B (RANK) dan menurunkan ekspresi osteoprotegerin. Kortikosteroid

juga meningkatkan ekspresi colonystimulating factor-1 (CSF-1) yang bila ada bersama

RANK akan menginduksi osteoklastogenesis. Selain itu kortikosteroid mempengaruhi

aktivitas proliferasi dan metabolik sel tulang dengan inhibisi ekspresi gen bone

morphogenetic protein-2 (BMP-2) sehingga osteoblastogenesis menurun dan meningkatkan

apoptosis sehingga lama hidup osteoblast menurun, dengan kata lain umur osteoklas menjadi

memanjang (dibandingkan dengan memendeknya umur osteoblas).35 Jumlah osteosit yang

6

Page 7: Osteoporosis DP

menurun menyebabkan penurunan kualitas tulang sehingga lebih mudah mengalami fraktur.

Pada fase awal, kehilangan masa tulang terjadi dengan cepat (10%-15%) akibat resorpsi

tulang masif. Pada fase selanjutnya, kehilangan masa tulang terjadi lebih lambat (2%-5% per

tahun) tetapi progresif akibat gangguan pembentukan tulang. Kortikosteroid menginduksi

osteoporosis hingga delapan kali lebih berat bila dibandingkan dengan osteoporosis akibat

penyakit dasarnya.8,33

Gambar 1: Mekanisme osteoporosis akibat glukokortikoid.36

VII. DIAGNOSIS

Osteoporosis merupakan silent desease, kadang-kadang tidak memberikan tanda atau

gejala sebelum patah tulang terjadi. 16,11 Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 -

40% baru dapat terdeteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional.16 Untuk itu diperlukan

pemeriksaan yang menyeluruh, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, BMD, pencitraan dan

penilaian risiko patah tulang dalam 10 tahun kedepan.9,17

1. Menilai faktor risiko

Penggunaan BMD saja untuk menentukan risiko patah spesifitasnya tinggi namun kurang

sensitif. Kurang sensitifitas mengacu pada asumsi bahwa sebagian besar fraktur pada

osteoporosis akan terjadi pada individu dengan nilai BMD diatas ambang osteoporosis.17

Terutama pada osteoporosis akibat glukokortikoid, karena patah tulang pada pasien yang

menerima glukokortikoid dapat terjadi tanpa berhubungan dengan penurunan massa

tulang.8,19,24 Saat ini semua guideline merekomendasikan penggunaan FRAX® dalam

membantu menegakkan diagnosis untuk terapi dan pencegahan osteoporois.2,3,8,9,12,19,24,32,34,36

7

Page 8: Osteoporosis DP

Beberapa faktor risiko telah dimasukkan dalam daftar WHO untuk menilai risiko

terjadinya fraktur kedepan. Penggunaan grafik faktor risiko tersebut dibuat berdasarkan

epidemiologi masing-masing negara.17 Grafik untuk penilaian risiko tiap negara dapat dilihat

di www.shef.ac.uk/FRAX®. Menurut FRAX® model, Indonesia sendiri merupakan negara

risiko rendah terjadinya osteoporosis (dikelompokkan dalam etnis kulit berwarna/gelap).17,18

Gambar 2: Frax® untuk indonesia.18

FRAX® tidak hanya menyediakan informasi untuk pencegahan dan pengobatan

osteoporosis, tetapi juga membantu untuk menghindari fraktur berikutnya atau sekuel yang

didapat dari osteoporosis berat. Item terakhir dalam kuesioner diisi bila ada BMD, Jika BMD

tidak tersedia, kemungkinan risiko patah tulang masih dapat dihitung tanpa BMD. National

Osteoporosis Guideline Group (UK) merekomendasikan penggunaan FRAX® pada

keadaan:17

- Jika risiko patah tulang rendah, sarankan perubahan gaya hidup, diet dan olahraga yang

diberikan tanpa penggunaan obat-obatan.

- Jika risiko tinggi dapat direkomendasikan pengobatan.

- Jika risikonya menengah, maka diindikasikan DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry).

Risiko FRAX® kemudian dihitung ulang dan dinilai pilihan penggunaan obat-obatan.

8

Page 9: Osteoporosis DP

Gambar. 3: Penilaian faktor risiko dengan dengan pendekatan FRAX® pada wanita pascamenopause dan laki-laki usia> 50 tahun dengan riwayat penggunaan glukokortikoid.24

Keterangan1. Indeks massa tubuh rendah, riwayat orang tua mengalami patah tulang panggul, merokok, mengkonsumsi alkohol >3 gelas

perhari, penggunaan glukokortikoid harian, pengguna kortikosteroid dengan dosis kumulatif yang lebih tinggi, menggunakan kortikosteroid injeksi dosis maksimum, penurunan signifikan nilai BMD pada tulang sentral.

2. Penilaian faktor risiko pasien berdasarkan FRAX®

3. Pada pasien risiko rendah sampai sedang, direkomendasikan terapi pada pasien yang menggunakan glukokortikoid >3 bulan4. Memiliki risiko fraktur osteoporosis mayor dalam 10 tahun kedepan.

2. Evaluasi klinis

Evaluasi klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang tepat

wajib dilakukan.19 Kepadatan tulang berkurang secara perlahan sehingga pada awalnya

osteoporosis tidak menimbulkan gejala.4,7,20 Pada tahap lanjut, jika kepadatan tulang sangat

berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan

kelainan bentuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang

belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan.

Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggung, yang

akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan

terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa

minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa tulang belakang hancur, maka akan terbentuk

kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan

9

Page 10: Osteoporosis DP

ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh

tekanan yang ringan atau karena jatuh.7,21

Gambar 4: Perbedaan tulang normal dan osteoporosis.21

Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Tulang lain

yang rentan terjadi fraktur adalah korpus vertebra, pelvis, femur, dan tulang penyangga beban

lainnya.10,22

3. Pemeriksaan Radiologik

Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah

trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra.7

4. Penentuan masa tulang

Semakin banyak massa tulang yang dimiliki, semakin kuat tulang tersebut dan semakin

besar beban yang dibutuhkan untuk menimbulkan patah tulang.16 Pengukuran massa tulang

merupakan salah satu alat diagnosis yang sangat penting.,2,3,4,8,7,9 Diagnosis osteoporosis

ditegakkan dengan pengukuran BMD atau terjadinya patah tulang belakang maupun pinggul

dengan tidak adanya trauma berat (seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau riwayat jatuh

lain).7 Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas maasa tulang adalah

single photon absorptiometry (SPA), single energy X-ray absorptiometry (SPX), dual photon

absorptiometry (DPA), dual energy X-ray absorptiometry (DPX), quantitative computed

tomography (QCT)7,9 dan quantitative ultrasound (QUS)25. Saat ini gold standard

pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita

adalah DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry), yang digunakan untuk pemeriksaan

vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh tubuh.1,2,8,9,10,19,23

DXA akan memberi informasi densitas mineral tulang pada area tertentu dalam

gram/cm2. Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar

rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama, yang disebut dengan T

score dalam %, sedangkan perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan

10

Page 11: Osteoporosis DP

dengan kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan etnis yang

sama, disebut Z Score dalam %.5,9 Ada empat kategori diagnosis tingkat densitas tulang

berdasarkan T-score.7,9,16,19,23

1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih pokok di

bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau

lebih tinggi (T-score ≥ -1 SD).

2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari

1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 selisih pokok di

bawah rerata orang dewasa, atau 10 - 25% di bawah rata-rata (T-score -1 s/d - 2,5 SD).

3. Osteoporosis: nilai densitas tulang lebih dari 2,5 selisih pokok di bawah nilai rata-rata

orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score ≤ 2,5 SD).

4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 selisih

pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan

disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score ≤-2,5 SD dengan

adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).

Indikasi untuk pemeriksaan BMD:9,

- Wanita berusia lebih dari 65 thn dan laki-laki berusia lebih dari 70 thn tanpa

memperhatikan faktor risiko apapun.

- Wanita pasca menopause dini, wanita dalam masa transisi menuju menopause, laki-laki

berusia antara 50 – 69 thn faktor risiko klinis terjadinya fraktur.

- Orang dewasa dengan keadaan tertentu (misalnya rhematoid arthritis) atau sedang

mengkonsumsi obat-obatan (misalnya glukokortikoid dengan dosis perhari ≥ 5 mg

prednisolon atau ekuivalennya ≥ 3 bln) yang mengakibatkan penurunan massa tulang.

5. Vertebral imaging

Patah tulang belakang tanpa riwayat trauma sudah dapat menegakkan diagnosa

osteoporosis, bahkan tanpa BMD dan merupakan indikasi terapi farmakologis. Adanya patah

tulang belakang tunggal meningkatkan risiko patah tulang belakang berikutnya sampai 5 kali

lipat, sedangkan risiko patah tulang pinggul kedepannya 2-3 kali lipat.24 Indikasi rontgen

tulang belakang pada individu berikut:9

- Wanita usia ≥ 70 thn dan laki-laki berusia ≥ 80 thn bila nilai BMD Tscore < -1,0 (bila

BMD tidak ada boleh berpatokan hanya pada usia)

- Wanita pasca menopause dan laki-laki berusia ≥ 50 thn dengan faktor risiko:

- Trauma ringan yang menyebabkan fraktur.11

Page 12: Osteoporosis DP

- Riwayat penurunan tinggi badan ≥ 1,5 inchi (4 cm) yang dibandingkan saat pasien

dewasa dengan tinggi badan saat ini.

- Berpeluang kehilangan tinggi badan ≥ 0,8 inchi (2 cm) yang diukur sejak pasien

datang untuk penilaian awal.

- Sedang menggunakan glukokortikoid atau pernah menggunakan dalam jangka

panjang.

6. Magnetic Resonance Imaging

MRI mepunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur

trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kelebihan dengan tidak adanya efek radiasi,

namun sedang dalam penelitian.21

Gambar. 5: Pendekatan pada wanita premenopause dan pria usia < 50 tahun yang menggunakan glukokortikoid.24

VIII. PENATALAKSANAAN

Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti resorptif)

dan/atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun demikian, saat ini obat

yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti

resoprtif adalah esterogen, anti esterogen, bisfosfat dan kalsitonin, sedangkan yang termasuk 12

Page 13: Osteoporosis DP

stimulator tulang adalah Na-flurida, paratiroid hormone (PTH) dan lain sebagainya, Kalsium

dan vitamin D tidak mempunyai anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan

untuk optimalisasi mineralisasi osteosid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan

kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat menyebabkan

pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.13,14

a. Terapi Non farmakologis

Strategi nonfarmakologi mencakup gaya hidup, asupan vitamin D dan kalsium,

menghentikan rokok dan alkohol, penguatan otot dan olah raga, menciptakan lingkungan

yang aman adalah cara-cara untuk mencegah osteoporosis.19

1. Kalsium

Asupan kalsium dapat diperoleh dari makanan sehari hari maupun suplemen.8,19,24

- Laki-laki dan wanita berusia 19 – 49 thn disarankan mengkonsumsi kalsium 800-1200

mg/hari.3,24

- Laki-laki dan wanita ≥ 50 thn disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.2,3,25

- Hamil dan menyusui disarankan asupan kalsium 1000 mg/hari.19

2. Vitamin D

Kombinasi kalsium dan vitamin D disarankan hampir disemua guideline manajemen

osteoporosis, dosis yang dianjurkan ≥ 600 IU/hari telah dibuktikan mampu mencegah

osteoporosis.3,4,21

3. Olah raga dan berat badan

Imobilisasi merupakan penyebab rapuh tulang. Jumlah latihan yang optimal pasien

dengan osteoporosis tidak diketahui, tetapi latihan beban secara teratur merupakan komponen

integral dari manajemen osteoporosis dan disesuaikan dengan pasien.12 Latihan yang

dianjurkan meliputi berjalan, jogging, Tai-Chi, memanjat tangga, menari, tenis. yoga,

pilates.9 Berat badan rendah dan diet yang berlebihan berhubungan dengan status mineral

tulang yang rendah dapat meningkatkan risiko patah tulang. Indeks massa tubuh tidak kurang

dari 19 kg/m2 direkomendasikan untuk pencegahan osteoporosis.19

4. Mencegah jatuh

Sebagian besar patah tulang osteoporosis, terutama pada orang tua, karena densitas tulang

yang rendah dan jatuh.19

13

Page 14: Osteoporosis DP

5. Menghentikan rokok, alkohol dan asupan kafein

Asupan kafein menyebabkan penyerapan kalsium usus menurun dan meningkatkan

ekskresi kalsium urin. Anjuran untuk membatasi kafein kurang dari 1 sampai 2 porsi (240-

360 ml dalam setiap porsi) minuman berkafein per hari.19 Asupan alkohol lebih dari dua gelas

per hari untuk wanita atau tiga gelas sehari untuk pria merugikan kesehatan tulang dan

meningkatkan risiko jatuh.9 Merokok ternyata juga dapat menurunkan aktifitas estrogen

secara bermakna.7 National Osteoporosis Foundation sangat mendorong menghentikan rokok

sebagai bagian dari intervensi osteoporosis.9

Tabel 2: Rekomendasi konseling untuk modifikasi gaya hidup dan penilaian pasien yang menggunakan glukokortikoid ≥3 bulan8

b. Terapi Farmakologis

Terapi farmakologi diberikan pada penderita:

- Patah tulang pinggul maupun tulang belakang tanpa memperhatikan nilai T-score.9

- T-score ≤ -2.5 pada leher tulang femoral, tulang pinggul dan tulang belakang.9

- Pasien dengan T-score -1 SD sampai -2,5 SD ditambah dengan nilai FRAX® ≥ 3% untuk

tulang panggul maupun femur atau ≥ 20% untuk osteoporosis mayor.9,19

14

Page 15: Osteoporosis DP

Tujuan utama penanganan osteoporosis adalah mengurangi risiko terjadinya patah tulang.

Banyak uji klinis skala besar telah membuktikan kemanjuran obat osteoporosis.24 Yang

termasuk obat antiresorpsi dan telah disetujui FDA penggunaannya adalah:

1. Bisphosphonates

Bisphosphonate merupakan terapi lini pertama dan profilaksis pada osteoporosis akibat

glukokortikoid.8,32,33,37 Direkomendasikan untuk mempertimbangkan untuk memulai

pemberian bisphosphonate pada wanita pasca menopause dan pria berusia ≥50 thn yang

menggunakan prednisolone >7,5 mg selama minimal 3 bulan.33

Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel

osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas.7 Biphosphonat menghambat

resorpsi tulang osteoklastik. Biphosphonat atau nonaminobifosfat memetabolisme osteoklas

menjadi bentuk yang tidak aktif dengan secara langsung merusak sel osteoklas dan

menginduksi terjadinya apoptosis.27 Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat

mempengaruhi aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi

osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan

akhirnya apoptosis osteoklas. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap osteoklas

dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas

dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa

bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi

aktifitas osteoklas, maka pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif

pada unit remodeling tulang.21,27

Gambar 6: Mekanisme kerja biphosphonate.27

15

Page 16: Osteoporosis DP

Alendronate, risedronate, etidronate dan zoledronate telah menjadi pilihan utama pada

pasien yang mendapat terapi glukokortikoid.7,37

- Alendronate

Alendronate 10 mg/hari, diberikan selama 3 tahun dengan pemantauan tiap tahunnya,

dapat diberikan selama 10 thn bila ada indikasi.19 Alendronate merupakan terapi lini pertama

osteoporosis.20

- Risedronate

Risedronate 35 mg perminggu.19 Aman dan efektif diberikan pada pasien dengan

gangguan ginjal mederate.20

- Asam Zoledronic

Asam zoledronic 5 mg intravena pertahun diindikasikan untuk pencegahan patah tulang

klinis baru pada pasien yang baru saja (dalam waktu 90 hari) mengalami patah tulang pinggul

karena trauma ringan.9,19 Diindikasikan juga pada wanita pasca menopause dan meningkatkan

masa tulang pada pria, juga sebagai terapi dan pencegahan pada penderita yang menggunakan

glukokortikoid dalam 1 thn terakhir.9

Tabel 3: Panduan klinis tatalaksana osteoporosis akibat glukokortikoid.37

2. Recombinant human PTH 1-34 (r-PTH)

Teriparatide diindikasikan untuk osteoporosis berat atau penderita yang tidak respon

dengan anti osteoporosis lainnya.dosis terapi 20 ug/hari.19,20 Direkomendasikan juga pada

penderita osteoporosis yang diinduksi oleh glukokortikoid.20,32

3. Strontium Ranelate

Direkomendasikan pada osteoporosis berat, osteoporosis risiko tinggi fraktur yang terkait

dengan terapi glukokortikoid sistemik yang lama.9 Dosis terapi 2 g/hari.7

16

Page 17: Osteoporosis DP

IX. EVALUASI TERAPI

Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan pengukuran densitometri setelah 1

– 2 thn pengobatan. Pengobatan dianggap berhasil bila tidak terjadi penurunan densitas masa

tulang.7 Petanda biokimia tulang dapat menilai hasil pengobatan lebih cepat, yaitu dalam

waktu 3 - 4 bln setelah pengobatan.7,19 Gambaran radiologi pasca terapi pada patah tulang

vertebra merupakan pilihan monitoring untuk melihat ada tidaknya patah tulang yang baru.21

Tabel 4: Rekomendasi monitoring pada penderita osteoporosis akibat glukokortikoid.8

X. KESIMPULAN

Prinsip umum

- Mendapatkan riwayat pasien secara rinci berkaitan dengan faktor risiko klinis patah

tulang karena osteoporosis dan jatuh.

- Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan terkait diagnostik untuk mengevaluasi tanda

osteoporosis dan penyebab sekunder.

- Merubah gaya hidup, penguatan asupan nutrisi dan faktor risiko lain yang dapat

dimodifikasi untuk pencegahan fraktur.

- Penilaian risiko dengan FRAX®

- Memutuskan bagaimana melakukan terapi berdasarkan semua informasi klinis dengan

menggunakan panduan.

Pertimbangan terapi medis yang bersandar pada:

- Adanya patah tulang belakang (dengan atau tanpa gejala) dan tulang panggul.

- Densitometri leher tulang femur atau tulang panggul dengan T-score ≤ -2,5

- Osteopenia ditambah dengan nilai FRAX® ≥ 3% untuk tulang panggul maupun femur

atau ≥ 20% untuk osteoporosis mayor.

Evaluasi dan tindak lanjut

- Pasien yang belum membutuhkan terapi saat ini agar dievalusi berkala.

17

Page 18: Osteoporosis DP

- Penderita yang mengkonsumsi obat-obatan yang direkomendasi agar setiap 2 tahun

melakukan pemeriksaan BMD ulangan ataupun pemeriksaan laboratoium lain bila ada

gejala.

- Pencitraan tulang belakang dapat diulang pada pasien yang mengalami penurunan tinggi

badan dan untuk memastikan tidak ada patah tulang yang baru.

18

Page 19: Osteoporosis DP

DAFTAR PUSTAKA

1. Haussler B GH, Gol D, Glaeske G, Pientka L, Felsenberg D. Epidemiology, treatment and costs of osteoporosis in Germany-the BoneEVA Study. 2007:77–84

2. Kanis JA, on behalf of World Health Organization Scientific Group. Assessment of osteoporosis at the primary health care level. Technical report. UK: World Health Organization Collaborating Centre for Metabolic Bone Diseases, University of Sheffield; 2008.

3. Strom O, Borgstrom F, Kanis JA, Compston J, Cooper C, Mc-Closkey EV et al. Osteoporosis: burden, health care provision and opportunities in the EU: a report prepared in collaboration with the International Osteoporosis Foundation (IOF) and the European Federation of Pharmaceutical Industry Associations (EFPIA). Arch Osteoporos 2013;6:59–155.

4. a5. a

a6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata KM, Setiyohadi B, Syam AF, Editors. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. 6th Ed. Jakarta: Interna publishing; 2014. Chapter 37, penyakit skeletal; p. 3423-522. 7. a8. a9. Neve A, Corrado A, Cantatore FP. Osteoblast physiology in normal and pathological conditions.

Review. Rheumatology Clinic, Department of Medical and Occupational Sciences, University of Foggia, Foggia, Italy. 2010.

10. Watts NB, Adler RA, Bilezikian JP, Drake MT, Eastell R, Orwoll ES et al. Osteoporois in men: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline.. J Clin Endocrinol Metab. 2012;97(6):1802-22.

11. Compston JE, Cooper AL, Cooper C, Francis R, Kais JA, Marsh D et al. Osteoporosis Clinical guideline for prevention and treatment. Executive Summary. 2014 Nov.

12. Whitaker M, Guo J, Kehoe T, Benson G. Bisphosphonates for Osteoporosis — Where Do We Go from Here? N Engl J Med 2012; 366:22; 2048-51.

13. Black DM, Bauer DC, Schwartz AV, Cummings SR, Rosen SJ. Continuing Bisphosphonate Treatment for Osteoporosis — For Whom and for How Long? N Engl J Med 2012; 366:22; 2051-57.

14. Bell, Norman H. RANK ligand and the regulation of skletal remodeling. J Clin Invest 2003;(111):1120-22.

15. Amin S. Osteoporosis. American College of Rheumatology Reviews 2012. 16. McCloskey E. Auth. FRAX® Identifying people at high risk of fracture in WHO Fracture Risk

Assessment Tool, a new clinical tool for informed treatment decisions. International Osteoporosis Foundation. 2009.

17. http://www.shef.ac.uk/FRAX 18. Malaysian Osteoporosis Society. Clinical Guidance on Management of Osteoporosis. 2012 june.19. Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson SF et al. The diagnosis

and treatment of postmenopausal osteoporosis; AACE: Endoc Pract. 2010 nov; 16(3)3.20. Ensrud EK, Schousboe JT. Vertebral fracture. N Engl J Med 2011;364:1634-42.21. Miller PD. Bone Disease in CKD: A Focus on Osteoporosis Diagnosis and Management. The national

kidney fondation. Am J Kidney Dis. 2014.22. Vasikaran S, Eastell R, Bruyère O et al. Markers of bone turnover for the prediction of fracture risk and

monitoring of osteoporosis treatment: a need for international reference standards. Osteoporos Int 2011;22: 391-420.

23. The Taiwanese Osteoporosis Association. Guidelines for the Prevention and Treatment of Osteoporosis. 2011 Sept.

24. J. A. Kanis & E. V. McCloskey & H. Johansson & C. Cooper & R. Rizzoli & J.-Y. Reginster. European guidance for the diagnosis and management of osteoporosis in postmenopausal women. Position paper. Sprin Osteoporos Int 2012.

25. a26. Management of Bone Complications in Cancer [image on the Internet]. 2015; cited 2015 Jun 15].

Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/520178_5.27. Civitelli R, Ziambaras K. Epidemiology of glucocorticoid-induced osteoporosis. J Endocrinol Invest.

2008 Jul;31;7:2-6.28. Van ST, Leufkens HG, Cooper C. The epidemiology of corticosteroid-induced osteoporosis: a meta-

analysis. Osteoporos Int. 2002 Oct 13(10):777-87.29. Sewerynek E, Stuss M. Steroid-induced Osteoporosis. Aging Health. Medscape. 2012;8(5):471-477.

19

Page 20: Osteoporosis DP

30. Ke no. 831. Pereira RM, Carvalho JF, Paula AP, Zerbini C, Domiciano DS, Gonçalves H et al. Guidelines for the

prevention and treatment of glucocorticoid-induced osteoporosis. Rev Bras Reumatol. 2012 Aug;52(4):580-93.

32. Klop C, Vries FD, Vinks T, Kooij MJ, Van STP, Bijlsma JWJ et al. Increase in prophylaxis of glucocorticoid-induced osteoporosis by pharmacist feedback: a randomised controlled trial. J Osteoporos Int (2014) 25:385–392.

33. Fraser LA, Adachi JD. Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: Treatment Update and Review. Ther Adv Musculoskelet Dis. 2009 Apr; 1(2): 71–85.

34. Compston J. Management of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: Pathophysiology. Medscape 2010 marc 02; [cited 2015 Jun 15]. Available from: http://www.medscape.org/viewarticle/715459_3.

35. McIlwain HH. Glucocorticoid-induced osteoporosis: Pathogenesis, diagnosis and management. Preventive Medicine 2003;36:243-9.

36. Juliet Compston. Management of glucocorticoid-induced Osteoporosis. Nat. Rev. Rheumatol. 2010 feb :6;82–88

20