bab - 41. anesthesia for the trauma patient

43
BAB 41. Anestesi untuk Pasien Trauma KONSEP DASAR 1. Penilaian awal dari pasien dengan trauma dapat dibagi menjadi survei primer, sekunder, dan tersier. Survei primer (primary survey) harus dilakukan dalam tempo 2-5 menit dan sudah mencakup pembagian ABCDE dari traumatologi : Airway ( Jalan napas), Breathing ( Pernapasan), Circulation (Sirkulasi), Disability (gangguan fungsi/ kecacatan), Exposure (eksposur/perlukaan). Resusitasi dan penilaian dilaksanakan bersamaan. Resusitasi pasien trauma termasuk dua fase tambahan yaitu kontrol perdarahan dan terapi luka secara definitif. Survei sekunder dan tersier lanjutan dilaksanakan secara komperhensif tergantung hasil survei primer. 2. Lima keadaan yang meningkatkan resiko adanya instabilitas pada ruas servikal: (1) nyeri pada leher, (2) nyeri alih (distracting) berat, (3) semua gejala dan tanda neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) gangguan kesadaran/ gaduh gelisah. Bila ada salah satu tanda di atas harus dicurigai adanya fraktur servikal. Walaupun dengan kriteria tersebut, insiden terjadinya trauma tulang servikal rata-rata 2%. Insiden instabilitas tulang servikal meningkat 10 % pada kasus-kasus cedara kepala berat.

Upload: krystle-higgins

Post on 28-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

bahan anastesi

TRANSCRIPT

Page 1: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

BAB 41. Anestesi untuk Pasien Trauma

KONSEP DASAR

1. Penilaian awal dari pasien dengan trauma dapat dibagi menjadi survei primer,

sekunder, dan tersier. Survei primer (primary survey) harus dilakukan dalam tempo

2-5 menit dan sudah mencakup pembagian ABCDE dari traumatologi : Airway

( Jalan napas), Breathing ( Pernapasan), Circulation (Sirkulasi), Disability

(gangguan fungsi/ kecacatan), Exposure (eksposur/perlukaan). Resusitasi dan

penilaian dilaksanakan bersamaan. Resusitasi pasien trauma termasuk dua fase

tambahan yaitu kontrol perdarahan dan terapi luka secara definitif. Survei sekunder

dan tersier lanjutan dilaksanakan secara komperhensif tergantung hasil survei

primer.

2. Lima keadaan yang meningkatkan resiko adanya instabilitas pada ruas servikal: (1)

nyeri pada leher, (2) nyeri alih (distracting) berat, (3) semua gejala dan tanda

neurologis, (4) intoksikasi, dan (5) gangguan kesadaran/ gaduh gelisah. Bila ada

salah satu tanda di atas harus dicurigai adanya fraktur servikal. Walaupun dengan

kriteria tersebut, insiden terjadinya trauma tulang servikal rata-rata 2%. Insiden

instabilitas tulang servikal meningkat 10 % pada kasus-kasus cedara kepala berat.

3. Hiperekstensi leher dan traksi tulang belakang yang berlebihan harus dihindari bila

adanya kecurigaan instabilitas tulang servikal. Imobilisasi kepala dan leher secara

manual dibantu seorang asisten dengan tujuan menjaga stabilitas tulang leher

selama tindakan laringoskopi ("manual in-line stabilization" or MILS).

4. Terapi utama dari syok hemoragis adalah resusitasi cairan intravena dan transfusi.

Menggunakan kateter berdiameter besar dan multipel di mana akses vena mudah.

5. Infus cepat menggunakan keteter diameter besar dengan cairan hangat sangat

berguna pada perdarahan masif. Temperatur tubuh dijaga dengan diselimuti kain

hangat sehingga hangat dan lembab. Hipotermia dapat memperburuk kondisi

keseimbangan asam basa, menimbulkan koagulopati dan disfungsi otot jantung.

6. Hipotensi pada pasien dengan syok hipovolemik harus dilakukan secara agresif

dengan cairan intravena dan transfusi produk darah, tidak dengan vasopresor

Page 2: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

kecuali hipotensi berat yang tidak responsif dengan cairan disertai syok kardiogenik

atau henti jantung.

7. Umumnya obat yang digunakan untuk induksi pada pasien trauma adalah ketamin

dan etomidate. Meskipun telah dilakuan resusitasi cairan adekuat, dosis induksi

propofol yang dibutuhkan dapat diturunkan banyak (80-90%) pada pasien dengan

major trauma. Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide biasanya

menstimulasi secara tidak langsung terhadap fungsi jantung, pada pasien syok dan

dengan stimulasi simpatis maksimal dapat bersifat kardiodepresi. Hipotensi juga

dapat terjadi pada pemberian etomidate.

8. Monitoring invasif (direct arterial, vena sentralis, dan tekanan arteri pulmoner)

dapat sangat membantu mengawasi resusitasi cairan namun pemasangan monitor

tersebut tidak boleh menyulitkan proses resusitasi itu sendiri. Hematokrit serial

( atau hemoglobin), analisa gas darah, dan elektrolit darah ( terutama Kalium)

sangat berguna pada tindakan resusitasi, yang oleh suatu sebab, berlarut-larut.

9. Setiap korban trauma dengan gangguan kesadaran harus dicurigai mengalami

cedera otak. Tingkat kesadaran dinilai menggunakan GCS ( Glasgow Coma Scale).

PENDAHULUAN

Trauma adalah penyebab utama kematian di Amerika pada usia di bawah 35 tahun. Lebih

sepertiga dari seluruh pasien yang masuk rumah sakit di Amerika Serikat berhubungan

langsung dengan trauma. 50 persen kematian pada trauma terjadi saat kejadian, dengan

30 % terjadi saat beberapa jam setelah kejadian ( disebut juga ”golden hour”). Karena

korban kecelakaan membutuhkan tindakan segera, sehingga seorang anestesiolog sangat

berpengaruh dalam mencegah kematian. Pada kenyataannya, peran seorang anestesiolog

dibutuhkan saat resusitasi primer, sementara tindakan anestesi/pembiusan merupakan

aktivitas sekunder. Penting diingat bahwa pasien trauma mempunyai kemungkinan

disertai drug abuse, intoksikasi, karier hepatitis atau human immunodeficiency virus

(HIV). Dalam bab ini dikemukakan dengan kerangka pengenalan penilaian awal terhadap

korban trauma dan pembahasan anestesi dalam penatalaksanaan pada luka di kepala dan

Page 3: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

tulang belakang, dada, abdomen, dan ekstremitas. Di akhir bab, diskusi kasus dengan

pembahasan luka bakar.

PENILAIAN AWAL

(1) Penilaian awal dan pasien trama dan dibagi menjadi survei primer, sekunder, dan

tersier. Survei primer harus dilakukan dalam tempo 2-5 menit dan sudah mencakup

pembagian ABCDE dari traumatologi : Airway (Jalan napas), Breathing (Pernapasan),

Circulation (Sirkulasi), Disability (gangguan fungsi/ kecacatan), Exposure

(eksposur/perlukaan). Bila ada gangguan dari 3 fungsi pertama (ABC), resusitasi harus

segera dimulai. Pada pasien kritis, penilaian dan resusitasi dilaksanakan secara bersamaan

oleh tim resusitasi. Monitoring dasar seperti EKG, tekanan darah, dan oksimeter dipasang

segera dan dipantau terus selama tindakan. Dasar-dasar penatalaksanaan resusitasi

cardiopulmoner dijelaskan secara detail pada BAB 47. Resusitasi pasien trauma termasuk

dua fase tambahan yaitu kontrol perdarahan dan terapi luka secara definitif. Survei

sekunder dan tersier lanjutan dilaksanakan secara komperhensif tergantung hasil survei

primer.

SURVEI PRIMER

Airway / Jalan Napas

Prioritas pertama adalah membebaskan dan menjaga kelangsungan jalan nafas. Bila

pasien dapat diajak berbicara artinya jalan napas bebas, namun pada pasien dengan

kesadaran menurun biasanya membutuhkan bantuan jalan nafas dan ventilasi. Tanda

penting adanya obstruksi adalah dengkuran, mengorok, stridor, dan gerakan paradoksial

dinding dada. Setiap pasien tidak sadar harus dipikirkan adanya sumbatan benda asing.

Tindakan pembebasan jalan nafas lanjutan ( seperti intubasi endotrakeal, krikotirotomi,

atau trakeostomi) merupakan indikasi bila terjadi apnea, obstruksi persisten, cedera

kepala berat, trauma maksilofasial, cedera leher dengan tekanan oleh hematom yang

besar, atau cedara dada berat.

(2) Pasien sadar tanpa nyeri leher jarang terjadi cedera tulang servikal. Lima

keadaan yang meningkatkan resiko adanya instabilitas pada ruas servikal: (1) nyeri pada

Page 4: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

leher, (2) nyeri alih (distracting) berat, (3) semua gejala dan tanda neurologis, (4)

intoksikasi, dan (5) gangguan kesadaran/ gaduh gelisah. Bila terdapat gejala di atas, maka

harus dicurigai telah terjadi patah tulang servikal, meskipun tidak ditemukan jejas luka di

atas regio tulang klavikula. Walaupun dengan kriteria tersebut, insiden terjadinya trauma

tulang servikal rata-rata 2%. Insiden instabilitas tulang servikal meningkat 10 % pada

kasus-kasus cedara kepala berat. Untuk mencegah hiperekstensi leher, lakukan manuver

jaw-thrust untuk membuka jalan nafas. Membuka jalan nafas melalui oral dan nasal

membantu menjaga agar jalan napas paten. Pada pasien tidak sadar dengan trauma berat

maka resiko aspirasi meningkat, karena itu jalan napas harus dibebaskan segera dengan

endotrakeal tube atau trakeostomi. (3) Hiperekstensi leher dan traksi tulang belakang

yang berlebihan harus dihindari bila adanya kecurigaan instabilitas tulang servikal.

Imobilisasi kepala dan leher secara manual dibantu seorang asisten dengan tujuan

menjaga stabilitas tulang leher selama tindakan laringoskopi ("manual in-line

stabilization" or MILS). Asisten menggunakan tangannya dengan menopang kepala

pasien di kedua sisi, menahan di bawah oksiput dan menjaga agar kepala tidak bergerak.

Penelitian menunjukkan gerakan leher tetap terjadi, terutama pada C1 dan C2 , selama

ventilasi masker dan laringoskopi direct meskipun sudah dilakukan usaha fiksasi ( seperti

MILS, traksi aksial, menggunakan kantung pasir, plester forehead, soft collar,

Philadhelphia (hard) collar). Dari bermacam teknik ini, MILS disebutkan paling efektif,

namun menyulitkan tindakan laringoskopi direct. Oleh kerena itu, beberapa klinisi

melakukan tindakan intubasi nasal ( blind atau fiberoptic) pada pasien yang bernafas

spontan dengan kecurigaan cedera tulang servikal, meskipun teknik ini meningkatkan

resiko aspirasi pulmoner. Pilihan lain dengan menggunakan lightwand, laringoskop

Bullard, WuScope, atau menggunakan intubasi masker laringeal. Akhirnya, pilihan

tindakan berdasarkan keahlian teknisi, dan keadaan serta faktor resiko pasien.

Kebanyakan praktisi lebih berpengalaman melakukan tindakan intubasi oral, dan

tindakan ini harus segera pada pasien apnea. Intubasi nasal harus dihindari pada pasien

dengan fraktur tulang wajah atau basiler. Bila esophageal obturator airway telah

terpasang, itu tidak boleh diangkat sampai dilakukan intubasi trakea karena dapat

memungkinkan regurgitasi ( lihat BAB 47).

Page 5: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Trauma laringeal memperburuk komplikasi. Luka terbuka berhubungan dengan

perdarahan pada pembuluh darah besar yang berjalan di leher, obtruksi karena hematoma

atau edema, subkutaneus empesema, dan cedera tulang servikal. Luka tertutup lebih sulit

dinilai namun dapat tampak dari adanya krepitasi leher, hematoma, disfagia, hemoptisis,

atau perubahan suara. Intubasi pada pasien sadar dengan ETT ( endotracheal tube) kecil

( orang dewasa 6.0) menggunakan laringoskopi langsung atau bronkoskopi fiberoptik

dengan anestesi lokal dapat dicoba bila laring dapat dilihat dengan jelas. Pada kasus

cedera leher atau wajah tidak memungkinkan intubasi endotreakeal, trakeostomi dengan

anestesi lokal menjadi pertimbangan. Obstruksi akut pada saluran nafas atas

membutuhkan krikotirotomi atau perkutaneus atau surgical trakeostomi segera ( lihat

Diskusi Kasus, BAB 5).

Breathing/ Pernafasan

Penilaian terhadap ventilasi terbaik dilakukan dengan cara melihat, merasakan, dan

mendengar (look, feel, and listen). Melihat/look tanda-tanda sianosis, penggunaan otot-

otot tambahan, flail chest, adanya cedera dada bersifat penetrasi atau tertekan ke dalam.

Mendengar/listen seperti suara nafas tambahan, suara nafas menghilang atau berkurang.

Merasakan/feel adanya subkutaneus emfisema, deviasi trakea, dan fraktur iga. Klinisi

harus dapat mendiagnosis langsung tension pneumothorax dan hemothorax (lihat bawah)

pada pasien dengan gangguan ventilasi. Drenasi pleural segera dikerjakan sebelum

melakukan pemeriksaan rongten thorax.

Kebanyakan pasien trauma berat dan kritis membutuhkan bantuan –atau bahkan

kontrol- ventilasi. Bagging ( contoh : bagging yang dapat membesar sendiri/ self-inflating

tanpa katup nonbreathing) biasanya dapat membantu ventilasi cukup baik setelah intubasi

dan selama proses transport. Oksigen 100% diberikan menunggu hasil pemeriksaan

analisa gas darah.

Circulation/ sirkulasi

Sirkulasi adekuat dinilai dari frekuensi nadi, kuat tekanan nadi, tekanan darah, dan

perfusi jaringan. Tanda-tanda sirkulasi yang tidak cukup adalah takikardia, nadi tidak

teraba atau lemah, hipotensi, dan pucat, dingin atau ektremitas sianosis. Prioritas pertama

Page 6: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

untuk mengembalikan sirkulasi agar adekuat adalah menghentikan perdarahan, kemudian

mengembalikan volume intravaskluer. Henti jantung selama perjalanan atau sesaat tiba di

rumah sakit dapat diakibatkan cedera dada akibat tekanan akibat trauma tumpul

merupakan indikasi untuk emergency room thoracotomy (ERT). Tindakan ini, atau

disebut juga torakotomi resusitatif, adalah melakukan penanganan cepat terhadap

perdarahan yang terjadi, membuka perikardium, dan menjahit luka pada jantung dan

memasang klem aorta di atas diafragma. Beberapa ahli bedah traumatologi, menyarankan

tindakan ERT ini untuk henti jantung yang terjadi pada saat transport maupun sesaat tiba

di rumah sakit akibat luka penetrasi atau luka tumpul di abdomen. Untuk wanita hamil

cukup bulan dengan henti jantung atau syok dapat dilakukan resusitasi dengan baik

setelah bayinya dilahirkan.

A. Perdarahan

Perdarahan yang terjadi dapat dinilai dan ditangani dengan menekan langsung

pada luka. Perdarahan ektremitas dapat ditangani mudah menggunakan balut tekan;

torniket dapat menyebabkan luka reperfusi. Perdarahan pada trauma dada disebabkan

pecahnya pembuluh arteri intercostal dan dapat berhenti saat dinding dada menekan.

Perdarahan intraabdominal tergantung besar robekan pembuluh darah yang menyebabkan

tamponade, ditunjukkan dari variasi waktu resusitasi cairan dan darah. Pakaian pneumatic

antishock dapat mengurangi perdarahan di abdomen dan ekdtremitas bawah,

meningkatkan resistensi vaskuler jaringan, dan menambah perfusi ke jantung dan otak.

Luka perdarahan di atas pakaian ini ( seperti di thorax atau kepala) merupakan

kontraindikasi karena memperparah perdarahan.

Pengertian syok adalah kegagalan sirkulasi yang mengakibatkan perfusi organ

vital dan transport oksigen tidak cukup. Meskipun penyebab syok bermacam-macam

(Tabel 41-1), pada pasien trauma biasanya disebabkan oleh hipovolemik. Respon

fisiologis (homeostatis) terjadinya perdarahan dimulai dengan takikardia, perfusi kapiler

menurun, denyut nadi melemah, hipotensi, takipnea, dan delirium (Tabel 41-2). Kadar

hematokrit dan hemoglobin tidak dapat menjadi patokan bila terjadi kehilangan darah

akut. Rangsangan saraf somatik perifer dan kerusakan jaringan masif akan nampak akibat

penurunan kardiak output dan stroke volume pada pasien syok hipovolemik. Pameriksaan

Page 7: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

tekanan darah arteri secara invasif diperlukan pada pasien ini. Pada hipovolemia berat,

denyutan nadi dapat tidak teraba pada fase inspirasi. Tingkat hipotensi saat pasien berada

di ruang gawat darurat dan ruang operasi berhubungan secara bermakna dengan angka

kematian.

Tabel. 41-1. Klasifikasi syok berdasarkan makanisme dan penyebab1

Syok Hipovolemik 

Kehilangan darah (syok hemoragik)

  Perdarahan terbuka

    Trauma

    Perdarahan saluran cerna

  Perdarahan tertutup

    Hematoma

    Hemothorax atau hemoperitoneum

Kehilangan plasma

  Luka bakar

  Dermatitis exfoliatif

Kehilangan cairan dan elektrolit

  External

    Muntah

    Diare

    Keringat berlebihan

    Kondisi hiperosmolar (diabetik ketoasidosis, koma hiperosmolar nonketotik)

  Internal ("third-spacing")

    Pankreatitis

    Asites

    Obstruksi Usus

Syok kardiogenik 

Disrithmia

  Takiarrithmia

  Bradiarrithmia

Gangguan pompa (akibat infark mikardium atau kardiomiopati lainnya)

Disfungsi katup akut (terutama lesi regurgitan)

Ruptur septum ventrikel atau kebocoran dinding ventrikel

Syok obstruktif 

Tension pneumothorax

Penyakit perikardial (tamponade, konstriksi)

Penyakit pembuluh darah paru (emboli pulmoner luas, hipertensi pulmoner)

Tumor jantung (atrial miksoma)

Trombus dinding atrium kiri

Penyakit sumbatan katup jantung (aortik atau mitral stenosis)

Syok Distributif 

Syok septik

Syok anafilaktik

Syok neurogenik

Obat-obatan vasodilator

Insufisensi adrenal akut

1Diambil dari Ho MT, Saunders CE: Current Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed.

Appleton & Lange, 1992.

Page 8: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

(4)Terapi utama pada syok hemoragik adalah resusitasi cairan intravena dan

transfusi. Gunakan kateter berdiameter besar ( no 14-16 atau 7-8.5F) dan pendek multipel

(1.5-2 in) bila akses vena mudah didapatkan. Pasien dengan kemungkinan trauma pada

organ hati atau vena cava, harus memiliki line infus di kedua sisi sistem vena bila perlu

dengan cross-clamping (klem silang) selama perbaikan pembuluh darah dilakukan.

Meskipun jalur sentral dapat berguna untuk memberikan informasi mengenai status

volume, namun tindakan ini menghabiskan waktu dan dapat menimbulkan ekef samping

serius (seperti pneumothorax). Jalur intravena pada pembuluh darah perifer biasanya

sudah cukup untuk resusitasi awal.

Perdarahan hebat menyebabkan cairan intravaskuler dalam kompartemen

(cadangan) berkurang. Cairan interstisial akan berpindah ke intravaskuler untuk mecegah

kegagalan sistem kardiovaskuler, dan ciran interstisial juga pindah ke dalam sel.

Metabolisme anaerobik meyebabkan turunnya adenosine triphosphate (ATP), gangguan

pompa ATP-dependent Na+–K+, and edema seluler.

B. Terapi Cairan

Pilihan pada terapi cairan awal berdasarkan survei primer dan ketersediaan cairan.

Meskipun idealnya dibutuhkan transfusi darah lengkap/whole blood yang telah di “cross-

match”, pemeriksaan reaksi alergi membutuhkan waktu 45-60 menit. Darah spesifik

menyebabkan reaksi antibody lebih kecil menjadi pilihan lebih tepat dan sesegera

mungkin tersedia (5-10 menit). Kantung darah dengan isi gol darah O negatif harus

tersedia untuk terapi akibat kehilangan darah yang tidak dapat ditanggulangi oleh cairan

lain ( contohnya exsanguination). Komplikasi yang berhubungan dengan tranfusi darah

dibahas pada BAB 29.

Cairan kristaloid mudah didapat dan tidak mahal. Namun resusitasi menggunakan

kristaloid membutuhkan jumlah banyak karena pada umumnya kristaloid tidak bertahan

di kompartemen intravaskuler. Cairan Ringer Laktat kurang disukai karena menyebabkan

asidosis hiperkloremia dibandingkan normal saline, meskipun kalsium selanjutnya

menyebabkan keadaan tersebut menjadi berkurang dengan transfusi darah. Cairang yang

mengandung dekstrosa dapat menyebabkan kerusakan otak bersifat iskemik dan harus

Page 9: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

dihindari bila tidak ada indikasi ( hipoglikemia). Cairan Ringer Laktat bersifat sedikit

hipotonik dan saat diberikan dalam jumlah banyak dapat menimbulkan edema serebral.

Cairan hipertonik seperti 3 % atau 7.5 % cukup efektif untuk resusitasi cairan dan kurang

menimbulkan edema serebral dibandingkan cairan Ringer Laktat atau normal saline

lainnya. Meskipun dalam jumlah sedikit, cairan hipertonik dapat menyebabkan

peningkatan volume plasma secara cepat, yang kemudian dihambat oleh adanya

hipernatremia progresif ( lihat BAB 28 dan 29). Kemudian akan timbul vasodilatasi

sementara dan hipotensi sementara..

Cairan koloid jauh lebih mahal dibandingkan cairan kristaloid, tetapi lebih efektif

dalam mengembalikan volume intavaskuler. Namun demikian, defisit cairan interstitial

akibat syok hipovolemik lebih baik diatasi dengan cairan kristaloid atau kombinasi

koloid-kristaloid. Albumin biasanya terpilih dibandingkan dekstran atau hetastarch

karena tidak menyebabkan koagulopati. ( lihat BAB 29).

(5) Apapun pilihan cairannya, harus dihangatkan dahulu sebelum digunakan.

Infus cepat dengan menggunakan kateter berdiameter besar dan guyur dengan cairan

hangat sangat berguna dalam penatalaksanaan transfusi masif. Menjaga suhu tubuh

dengan selimut hangat dan lembab. Hipotermia memperburuk keseimbangan asam basa,

koagulopati, dan gangguan otot jantung ( lihat Tabel 6-7). Selain itu menyebabkan kurva

oksigen-hemoglobin bergeser ke kiri dan menurunkan laju metabolisme laktat, sitrat, dan

beberapa obat anestesi. Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan gejala klinis, dengan

menilai tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi jantung.

Tekanan vena sentralis dan urin output dapat menjadi rujukan reperfusi dari organ

vital. Perfusi organ tidak adekuat menggangu metabolisme aerob, produksi asam laktat,

dan asidosis metabolik. Sodium bikarbonat, yang kemudian menjadi bikarbonat dan CO2,

dapat memperburuk keadaan asidosis intraseluler secara temporer karena bikarbonat

relatif lebih tidak terlarut/insoluble pada membran sel dibandingkan CO2. Gangguan

keseimbangan asam basa akan baik dengan adanya hidrasi dan peningkatan perfusi

organ. Laktat akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat dan H+ akan dikeluarkan

oleh ginjal.

Page 10: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

(6) Hipotensi pada pasien dengan syok hipovolemik harus ditangani secara agresif

dengan cairan intravena dan produk darah, tidak dengan vasopresor, kecuali bila

hipotensi tersebut tidak responsif terhadap terapi cairan, yang disertai dengan syok

kardiogenik atau henti jantung.

Syok yang tidak tertangani meskipun telah diterapi cairan secara agresif maka

harus dipikirkan adanya perdarahan yang masih berlangsung, atau adanya syok

kardiogenik (seperti temponade perikardium, kuntusio miokardium, infark miokardium),

syok neurogenik (seperti disfungsi batang otak, transeksi sumsum tulang belakang), syok

septik (komplikasi kronis), penyakit pada paru (seperti pneumothorax, hemothorax), atau

asidosis berat atau hipotermia.

Tabel 41–2. Klasifikasi klinis syok.1,2

  Patofisiologi Manifestasi klinis

Ringan (kehilangan <20% total volume darah)

Penurunan perfusi perifer pada organ bukan vital/ yang mampu bertahan pada kondisi iskemik (kulit, lemak, otot, dan tulang). pH arteri normal.

Keluhan rasa dingin. Hipotensi postural dan takikardi. Kulit pucat dan dingin, vena kolaps, urin berkurang.

Sedang (kehilangan 20–40% total volume darah)

Penurunan perfusi pada organ yang mampu bertahan pada iskemik sesaat (hati, usus, ginjal). Terjadi asidosis metabolik.

Rasa haus. Hipotensi supine dan takikardia (variabel). Oliguria and anuria.

Berat (kehilangan > 40% total volume darah)

Penurunan perfusi jantung dan otak.Asidosis metabolik berat. Kemungkinan asidosis respiratorik.

Agitasi, penurunan kesadaran. Hipotensi supine dan takikardia (tanpa terkecuali). Pernafasan cepat dan dalam.

1Diambil dari Ho MT, Saunders CE: Current Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed.

Appleton & Lange, 1992.

2Gambaran klinis ini berdasarkan pengamatan pada pasien dengan syok hemoragik,

namun gambaran tersebut hampir sama pada jenis syok lainnya.

Disability/ gangguan fungsi/ kecatatan

Evaluasi untuk disability adalah penilaian nerologis cepat. Karena biasanya tidak cukup

waktu untk menilai GCS/ Glasgow Coma Scale ( Tabel 26-1), sistem AVPU digunakan.

AVPU adalah singatan dari : awake (sadar penuh), verbal response (rangsang verbal),

painful response (rangsang nyeri), and unresponsive (unresponsif).

Page 11: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Exposure (eksposur/perlukaan)

Pasien harus dibuka pakaiannya untuk pemeriksaan luka. Imobilisasi tulang belakang

dilakukan bila ada kecurigaan cedera leher dan tulang belakang.

SURVEI SEKUNDER

Survei sekunder dimulai bila kondisi ABC sudah stabil. Pada survei sekunder, pasien

dievaluasi mulai dari kepala sampai kaki dan pemeriksaan tambahan berdasarkan indikasi

( seperti rongten, laboratorium, prosedur diagnostik invasif). Pemeriksaan kepala

termasuk cedera pada scalp, mata dan telinga. Pemeriksaan neurologis termasuk GCS/

Glasgow Coma Scale ( Tabel 26-1) dan pemeriksaan fungsi motorik dan sensorik

termasuk reflek. Dilatasi pupil tidak selalu menunjukkan kerusakan otak ireversibel.

Auskultasi dada dan inspeksi ulang terhadap fraktur dan gangguan fungsi thorak (flail

chest). Suara nafas yang menghilang dicurigai terjadinya pneumothorax lambat/delayed.

Demikian juga suara jantung menjauh, denyut jantung menyempit, dan bendungan vena

jugularis merupakan tanda-tanda tamponade jantung, yang memerlukan tindakan

kardiosintesis. Pemeriksaan awal tidak boleh melewatkan kemungkinan terjadinya

gangguan tersebut. Pemeriksaan abdomen meliputi inspeksi, auskultasi, dan palpasi.

Ektremitas diperiksa terhadap fraktur,dislokasi dan nadi tepi. Kateter urin dan

nasogastrik tube juga diperiksa kembali.

Pemeriksaan laboratoium dasar meliputi darah perifer lengkap ( terutama

hematokrit dan hemoglobin), elektrolit, glukosa, blood urea nitrogen (BUN), dan

kreatinin. Analisa gas darah juga diperlukan. Pemeriksaan rongten thorax dilakukan

untuk pasien dengan luka berat. Kecurigaan cedera servikal diperiksa dengan rongten

regio servikalis dan foto swimmer. Meskipun pemeriksaan rongten biasa dapat

mendeteksi 80-90% fraktur, CT scan merupakan pilihan diagnostik lebih baik pada

cedera tulang servikal. Pemeriksaan rongten tambahan termasuk tengkorak, pelvis, dan

tulang panjang. A focus assessment with sonography for trauma (FAST) adalah

pemeriksaan yang cepat, bedside, merupakan pemeriksaan menggunakan ultrasonografi

untuk menemukan adanya perdarahan intraperitoneal atau tamponade perikardium.

Pemeriksaan FAST, merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada pasien

trauma, dikalkukan dengan memeriksa empat area yang bebas cairan :

Page 12: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

perihepatik/hepatorenal space; perisplenic space; pelvis; and perikardium. Pemeriksaan

lainnya dilakukan berdasarkan lokasi cedera dan status hemodinamik, seperti chest

computed tomography [CT], angiografi, dan diagnostic peritoneal lavage (DPL).

SURVEI TERSIER

Survei tersier (a tertiary trauma survey/TTS) dilakukan untuk menghindari adanya luka

yang terlewatkan. Sekitar 2% and 50% luka dapat terlewatkan pada survei primer dan

sekunder, terutama pada kasus trauma multipel (seperti kecelakaan lalu lintas). Survei

tersier adalah evaluasi terhadap pasien untuk mengidentifikasi dan melaporkan seluruh

luka yang ada setelah resusitasi dan tindakan operasi. Biasanya dikerjakan dalam waktu

24 jam dari saat kejadian. Pemeriksaan dapat diundur bila pasien sadar dan mampu

menyampaikan keluhannya sendiri, menceritakan kejadian lewat anamnesis.

Survei tersier untuk menegakkan diagnosis pasti, pemeriksaan ulang luka serta

menemukan cedera lain. Pemeriksaan ulang dari kepala sampai kaki dan bila perlu

menilai ulang laboratorium serta rongten. Cedara yang terlewatkan dapat berupa fraktur

ekstremitas dan pelvis, cedera kepala dan tulang belakang, cedera abdomen, dan cedera

saraf perifer.

PERTIMBANGAN ANESTESI

PERTIMBANGAN UMUM

Anestesi regional sangat tidak praktis dan sulit dilakukan pada pasien trauma dengan

hemodinamik tidak stabil/ kritis.

Bila pasien telah dilakukan intubasi sebelum tiba di ruang operasi, perbaiki posisi

endotrakeal tube terlebih dahulu. Pasien dengan kecurigaan cedera kepala dilakukan

hiperventilasi untuk mengurangi tekanan intrakranial. Ventilasi harus diperhatikan pada

pasien dengan pneumothorax, flail chest, obstruksi endotrakeal tube, atau cadera paru.

Bila pasien belum diintubasi maka penatalaksanaan airway/ jalan napas dilakukan

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Bila waktu mengizinkan, koreksi terhadap

Page 13: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

hipovolemia dilakukan, minimal terkoreksi sementara, sebelum melakukan induksi

anestesi umum. (7) Resusitasi cairan dan transfusi tetap diteruskan selama induksi dan

pembiusan berlangsung. Umumnya obat induksi yang digunakan untuk pasien trauma

adalah ketamin dan etomidate ( lihat BAB 8). Meskipun telah dilakuan resusitasi cairan

adekuat, dosis induksi propofol yang dibutuhkan dapat diturunkan banyak (80-90%) pada

pasien dengan major trauma. Meskipun obat seperti ketamin dan nitro oxide biasanya

menstimulasi secara tidak langsung terhadap fungsi jantung, pada pasien syok dan

dengan stimulasi simpatis maksimal dapat bersifat kardiodepresi. Hipotensi juga dapat

terjadi pada pemberian etomidate.

Tindakan anestesi pada pasien tidak stabil pertama-tama diberikan muscle

relaxant ( yang disebut juga neuromuscular blocking agent), dengan titrasi obat anestesi

sampai batas toleransi ( rata-rata tekanan arteri > 50-60 mmHg) dalam upaya untuk

menimbulkan efek amnesia minimal. Dosis ketamin diberikan intermiten dan kecil ( 25

mg setiap 15 menit) lebih dapat ditoleransi dan membantu menurunkan angka kejadian

recall (mengingat kembali prosedur operasi yang dialaminya), terutama saat

menggunakan gas anestesi konsentrasi rendah ( <0.5 minimum alveolar concentration).

Obat lain yang dapat digunakan untuk mencegah recall antara lain midazolam

( intermiten 1 mg) atau scopolamin (0.3 mg). Beberapa klinisi menghindari penggunaan

nitros oksida karena ada resiko pneumothorax dan menghambat inspirasi oksigen. Obat-

obatan yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah ( misalnya pelepasan histamin

oleh atracurium dan mivacurium) harus dihindari pada pasien dengan syok hipovolemik.

Pada pasien syok terjadi peningkatan konsentrasi gas anestesi di alveolar, ini disebabkan

karena penurunan kardiak output dan peningkatan frekuensi nafas ( lihat BAB 7).

Peningkatan tekanan parsial gas anestesi di alveolar menyebabkan peningkatan tekanan

parsial di arteri dan memperberat depresi miokardium. Demikian juga efek obat anestesi

intravena meningkat pada pasien dengan volume intravaskuler yang sudah berkurang

(syok). Karena itu apapun pilihan obat anestesinya pada pasien syok dosisnya harus

dikurangi.

(8) Monitoring invasif (pemeriksaan tekanan arteri langsung, tekanan vena

sentralis, tekanan arteri pulmoner) sangat membantu resusitasi cairan, namun

pemasangan monitor tersebut jangan mengganggu resusitasi itu sendiri. Hematokrit serial

Page 14: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

( atau hemoglobin), analisa gas darah, dan elektrolit (terutama K+) membantu tatalaksana

resusitasi.

TRAUMA KEPALA DAN TULANG BELAKANG

(9) Setiap korban trauma dengan kesadaran menurun harus dipikikan adanya cedera otak

( lihat juga BAB 26). Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS/ Glasgow Coma Scale

(Tabel 26-1).

Cedera kepala yang membutuhkan tindakan bedah segera termasuk perdarahan

epidural, perdarahan subdural akut, dan cedera otak karena tekanan dan fraktur depresi

tengkorak. Cedera lain dapat ditangani konservatif seperti fraktur basis cranii dan

perdarahan intracerebral. Fraktur basis cranii ditandai adanya hematoma di regio orbital

(”racoon eyes”) atau di sekitar prosesus mastoideus (Battle’s Sign), dan cairan

serebrospinal keluar dari telinga dan hidung ( cerebrospinal fluid/CSF rhinorrhea). Tanda

lain adanya kerusakan otak adalah gaduh gelisah, konvulsi, dan gangguan saraf kranialis (

contohnya hilangnya reflek pupil) Tanda klasik dari sindroma Cushing ( hipertensi,

bradikardi, gangguan pernafasan) muncul lambat, hanya digunakan untuk memprediksi

herniasi otak ( BAB 25). Hipotensi jarang diakibatkan cedera kepala tunggal. Pasien

suspek cedera kepala tidak boleh diberikan obat-obatan yang dapat mempengaruhi status

mental ( seperti sedatif, analgesik) atau obat untuk pemeriksaan neurologis ( seperti

antikolinergik yang dapat menyebabkan dilatasi pupil).

Cedara otak sering disertai peningkatan tekanan intrakranial akibat perdarahan

serebral atau edema. Peningkatan tekanan intrakranial diatasi dengan terapi kombinasi

yaitu mengurangi cairan ( kecuali bila terjadi syok hipovolemik), diuretik ( manitol 0.5

g/kg), barbiturat, dan mengkondisikan hipokapnia (PaCO2 sekitar 28–32 mm Hg). Terapi

dua terakhir membutuhkan intubasi endotrakeal, yang berguna juga untuk mencegah

aspirasi. Hipertensi dan takikardia saat intubasi dapat dikurangi dengan lidokain atau

fentanil intravena. Intubasi pasien sadar dapat meningkatkan tekanan intrakranial secara

cepat. Pemasangan endotrakeal tube atau nasogastrik tube melalui hidung pada pasien

dengan fraktur basis kranii beresiko terjadi perforasi lempeng kribriform dan infeksi

cairan serebrospinal. Meninggikan sedikit posisi kepala dapat memperlancar aliran vena

Page 15: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

dan menurunkan tekanan intrakranial. Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial;

karena penelitian-penelitian menunjukkan hasil berbeda. Obat anestesi yang dapat

meningkatkan tekanan intrakranial harus dihindari ( seperti ketamin). Hiperglikemia juga

harus dihindari dan diobati dengan insulin. Hipotermia ringan mungkin menjadi kondisi

menguntungkan karena memperlambat kerusakan otak akibat iskemik.

Karena fungsi autoregulasi aliran darah serebral biasanya terganggu pada area

cedera otak, hipertensi pada pembuluh darah (arterial hypertension) dapat memperburuk

edema serebral dan meningkatkan tekanan intrakranial. Sebagai tambahan, hipotensi

pembuluh darah (arterial hypotension) dapat menyebabkan iskemik serebral regional.

Secara umum, tekanan perfusi serebral ( selisih antara tekanan arteri rata-rata di otak dan

tekanan vena sentralis/tekanan intrakranial) harus dijaga berada di atas 60 mmHg.

Pasien dengan cedera kepala berat cenderung mengalami hipoksemia arterial dari

shunting pulmoner dan gangguan ventilasi/perfusi. Hal ini akibat terjadi aspirasi,

atelektasis, atau efek neurologis langsungpada pembuluh pulmoner. Hipertensi

intrakarnial menjadi faktor presdisposisi terjadinya edema pulmoner karena peningkatan

respon simpatik.

Pada cedera tulang belakang gejala klinis yang muncul sesuai dengan tingkat lesi.

Pada cedera ini harus ditangai secara hati-hati selama transport dan intubasi. Lesi pada

servikal dapat merusak nervus frenikus (C3-C5) dan menyebabkan apnea. Kehilangan

fungsi interkostal membatasi kapasitas cadangan paru dan reflek batuk. Cedera setingkat

torakal menyebabkan hilangnya stimulasi simpatik jantung (T1–T4), yang menyebabkan

bradikardia. Cedera spinalis bagian atas akut menyebabkan syok spinalis ( spinal shock),

suatu kondisi ditandai oleh hilangnya tonus simpatis terhadap kapasitas dan resistensi

pembuluh darah yang berada di bawah lesi, menyebakan hipotensi, bradikardia,

arefleksia, dan atonus gastrointestinal. Kenyataannya, distensi vena kaki merupakan

tanda dari cedera tulang belakang. Hipotensi pada pasien ini membutuhkan terapi cairan

agresif, yang dapat menyebabkan edema pulmoner setelah fase akut dilewati. Pemberian

suksinilkolin dilaporkan aman selama 48 jam pertama cedera tetapi sesudahnya

menimbulkan hiperkalemia yang dapat membahayakan. Pemberian kortikosteroid dosis

tinggi dan jangka pendek dengan metilprednisolone ( 30 mg/kg diteruskan 5.4 mg/kg/jam

selama 23 jam berikutnya) memperbaiki fungsi neurologis pasien dengan cedera tulang

Page 16: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

belakang. Peningkatan rangsang autonom (Autonomic hyperreflexia) berhubungan

dengan lesi setinggi T5 namun tidak menjadi masalah pada penatalaksanaan

kegawatdaruratan.

TRAUMA DADA

Trauma dada dapat menjadi fatal akibat gangguan fungsi jantung dan paru, akibat

syok kardiogenik atau hipoksia. Pneumothorak simpel akibat terakumulasinya udara di

antara pleura parietal dan viseral. Kolaps ipsilateral dari jaringan paru menghasilkan

gangguan ventilasi/perfusi berat dan hipoksia. Pemeriksaan thorak ditemukan hipersonor

pada perkusi, suara nafas berkurang atau menghilang, dan pemeriksaan rongten thorak

menunjukkan gambaran kolaps paru. Nitrous oxide memperberat pneumothorax sehingga

merupakan kontraindikasi. Terapi dengan pemasangan chest tube/WSD di interkostal 4

atau 5, pada garis midaksilaris anterior. Adanya kebocoran udara persisten pada WSD

mengindikasikan adanya cedera bronkus besar.

Tension pneumothorak disebabkan adanya udara yang masuk ke pleura dengan

mekanisme pentil dari paru atau dinding darah. Dengan kata lain, udara masuk ke dalam

kavum pleura saat inspirasi namun terjebak saat ekspirasi. Akibatnya, paru sisi ipsilateral

kolaps, mediastinum dan trakea tertarik ke arah kontralateral. Simpel pneumothorak

dapat berkembang menjadi tension pneumothorak karena adanya ventilasi dengan

tekanan positif. Kondisi ini diperburuk oleh vena return dan tekanan dari paru

kontralateral. Tanda klinis yang ditemukan antara lain suara nafas menghilang pada sisi

paru ipsilateral, hipersonor, trakea tertarik kontralateral, distensi vena jugularis. Insersi

kateter no 14 ( panjang 3-6 cm) di interkostal kedua pada garis midklavikula akan

mengubah kondisi tension pneumothorak menjadi pneumothorak terbuka. Pemasangan

chest tube/WSD merupakan terapi definitif.

Fraktur iga multipel menyebabkan gangguan fungsi thorak, seperti pada flail

chest. Hipoksia sering lebih buruk pada pasien ini akibat kontusio pulmoner atau

hemotorak. Kontusio pulmoner menghasilkan kegagalan respiratorik. Hemothorak

dibedakan dengan pneumothorak dengan perkusi. Hemomediastinum, seperti

hemothorak, dapat menyebabkan syok hemoragik. Hemoptisis berat membutuhkan

tindakan pemasangan endotrakeal tube dengan double-lumen tube (DLT) untuk

mencegah darah masuk ke paru yang sehat. Menggunakan endotrakeal tube single-lumen

Page 17: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

dengan bronchial blocker dirasa lebih aman di mana tindakan laringoskopi sulit atau

kesulitan pada pemasangan DLT. Cedera pada bronkus luas juga membutuhkan

pemisahan ventilasi paru pada sisi yang sehat ( lihat BAB 24). Ventilasi high-frequency

jet menjadi alternatif untuk ventilasi saluran nafas bagian bawah dan membantu

mengurangi bocornya udara di bronkus di mana kebocoran bronkus terjadi bilateral atau

pemisahan ventilasi paru tidak dapat dilakukan. Udara yang bocor melalui bronkus yang

luka dapat masuk ke sistem vena pulmoner dan menyebabkan emboli paru maupun

sistemik. Lokasi kebocoran harus segera ditemukan dan diperbaiki. Kebanyakan lokasi

ruptur bronkus berada 2.5 cm dari carina.

Tamponade jantung merupakan komplikasi trauma dada yang bersifat

mengancam nyawa harus segera didiagnosis. Bila pemeriksaan FAST atau

echokardiografi tidak tersedia, diagnosis berdasarkan tanda dari Beck (Beck’s triad) yaitu

distensi vena jugularis, hipotensi, bunyi denyut jantung menghilang; pulsus paradoksus

(adanya perubahan tekanan darah >10 mmHg selama inspirasi). Perikardiosintesis

mengatasi kondisi tamponade semantara. Dilakukan menggunakan jarum kateter no 16

(panjang tidak kurang dari 15 cm) dari sambungan xipokondral ke arah ujung skapula kiri

dengan sudut 45°, dengan bantuan transthoracic echocardiography atau

elektrokardiogram. Elektrocardiogram akan menunjukkan kelainan bila dalam tindakan

perikardiosintesis jarum terlalu dalam dan menyentuh miokardium. Terapi definitif dari

tamponade jantung adalah thorakotomi. Penatalaksanaan anestesi dari pasien tamponade

perikardium menggunakan obat dengan efek inotropik, kronotropik, dan yang

mempunyai pengaruh preload (BAB 21). Dengan alasan itu, ketamin merupakan obat

terpilih. Luka robek pada jantung atau pembuluh darah besar mengharuskan eksplorasi

segera. Manipulasi berulang terhadap jantung menyebabkan bradikardia intermiten dan

hipotensi.

Kontusio miokardium dapat didiagnosis menggunakan elektrokardiogram,

perubahan terjadi seperti iskemik (elevasi segmen S-T), peningkatan enzim jantung

(kreatin kinase MB atau troponin), atau adanya gelombang abnormal. Gerakan dinding

jantung abnormal dapat dinilai dengan transthoracic echocardiography. Pasien memiliki

resiko terhadap disritmia, seperti henti jantung atau fibrilasi ventrikel. Operasi elektif

dapat ditunda sampai tanda pada cedera jantung ditemukan semua.

Page 18: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Kemungkinan cedera akibat trauma dada adalah robekan pada aorta, avulsi arteri

subklavia kiri, kerusakan katup mitral maupun aortal, herniasi diafragma, ruptur

esofagus. Robekan aorta biasanya terjadi di bawah arteri subclvia kiri akibat cedera tidak

langsung/deselerasi yang berat, ditandai dengan pelebaran mediastinum pada rongten

thorax dan biasanya disertai dengan fraktur iga pertama.

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan delayed complication

yang multifaktorial : sepsis, cedera torak langsung, aspirasi, cedera kepala, emboli lemak,

transfusi masif, dan keracunan oksigen. Nyatanya pasien trauma sering memiliki resiko

di atas. Walaupun pada rumah sakit modern, angka kematian akibat ARDS masih sekitar

50%. Pada beberapa kasus, ARDS baru timbul saat di ruang operasi. Mirip dengan

ARDS, pneumonia aspirasi yang terjadi sebelum tindakan intubasi di ruang operasi,

dapat membingungkan saat di ruang operasi. Ventilator mekanik dengan mesin anestesi

sering tidak mempu memberikan aliran udara yang cukup pada pasien dengan fungsi

paru jelek; maka dibutuhkan ventilator di intensif care unit, dengan tekanan positif bila

dibutuhkan.

TRAUMA ABDOMEN

Pasien dengan cedera berat harus dicurigai adanya luka abdominal sampai dapat

disingkirkan. Lebih dari 20 % pasien dengan luka intraabdominal tidak merasakan nyeri

atau adanya gejala iritasi peritoneum (defens muskuler, nyeri tekan atau ileus) pada

pemeriksaan pertama. Kehilangan darah banyak ( hemoperitonium akut) dapat timbul

pada luka abdomen ( cedera hepar atau limpa) namun dengan gejala minimal. Trauma

abdomen biasanya dibagi menjadi luka penetrasi (peluru atau tikam) dan luka

nonpenetrasi ( deselerasi, tabrakan atau luka kompresi).

Luka penetrasi biasanya ditandai adanya luka masuk di abdomen atau dada bagian

bawah. Hepar merupakan organ yang paling sering cedera. Pasien dapat dibagi menjadi

tiga grup : (1) tidak ada nadi, (2) hemodinamik tidak stabil (3) stabil. Pasien dengan

kondisi pertama dan kedua ( ditandai gagalnya mencapai tekanan darah sistolik 80-90

mm Hg walaupun diberikan resusitasi cairan 1-2 L) harus dilakukan laparotomy segera.

Baiasnya disertai luka pada pembuluh darah besar atau organ solid lainnya. Pasien stabil

Page 19: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

dengan tanda-tanda peritonitis atau episerasi juga harus dilakukan laparatomi secepatnya.

Sebaliknya, pasien hemodinamik stabil dengan luka penetrasi namun tanpa tanda

peritonitis dibutuhkan evaluasi ketat untuk menghindari tindakan laparatomi tidak perlu.

Tanda-tanda cedera intraabdominal adalah : gambaran udara bebas di bawah diafragma

pada rongten thorak, darah pada nasogastrik tube, hematuria, dan darah pada rektal.

Evaluasi lanjutan pada pasien ini adalah pemeriksaan fisik lengkap, ekpolrasi luka,

diagnostic peritoneal lavage (DPL), FAST scans,CT scan abdomen , dan laparoskopi

diagnostik. Pemeriksaan FAST dan CT scan abdomen mengurangi pemeriksaan DPL.

Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

trauma, dan merupakan penyebab utama cedera intaabdominal. Paling sering adalah

robekan atau ruptur limpa. Hasil pemeriksaan FAST positif pada pasien dengan

hemodinamik tidak stabil dan trauma tumpul merupakan indikasi operasi secepatnya.

Bila pemeriksaan FAST negatif atau equivocal pada pasien yang tidak stabil, tanpa tanda

peritonitis, dicari penyebab perdarahan atau syok lainnya. Penatalaksanaan pasien dengan

hemodinamik stabil dengan trauma tumpul abdomen tergantung hasil pemeriksaan

FAST. Bila hasilnya positif, keputusan laparoskopi atau laparatomi ditentukan oleh

pemeriksaan CT abdomen. Bila hasilnya negatif, dilakukan observasi dengan

pemeriksaan lanjutan dan bila perlu pemeriksaan FAST diulangi.

Hipotensi berat dapat terjadi saat abdomen dibuka sebagai efek tamponade saat

penekanan akibat perdarahan dalam rongga abdomen ( dan distensi usus) mendadak

berkurang. Bila waktu mencukupi, persiapan resusitasi cairan dan darah dengan infus

cepat dilakukan sebelum laparotomi. Nitrous oxide dihindari karena dapat menyebabkan

distensi usus. Nasogastrik tube dapat membantu dilatasi gaster. Kemungkinan transfusi

darah masif ( lihat BAB 29) harus disiapkan, terutama pada kasus trauma abdomen

dengan cedera vaskuler, hepar, lien, ginjal, fraktur pelvis, dan perdarahan retroperitoneal.

Transfusi dapat menyebabkan hiperkalemia sehingga perlu ditangani secara khusus

( lihat BAB 28 dan 29).

Perdarahan abdominal masif membutuhkan tekanan pada daerah yang berdarah

atau klem pada aorta abdominal sampai sumber perdarahan ditemukan dan resusitasi

telah dilakukan. Klem aorta terlalu lama dapat menyebabkan cedera iskemik pada organ

Page 20: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

hati, ginjal, intestinal, dan dalam beberapa kasus menyebabkan sindrom kompartemen

pada ekstremitas bawah, yang kemudian menyebabkan rhabdomiolisis dan gagal ginjal

akut. Penggunaan infus manitol dan loop diuretik ( sebelum klem aorta) selama resusitasi

cairan dapat mencegah gagal ginjal, namun masih kontroversial. Resusitasi cepat dengan

cairan dan darah, disertai kontrol perdarahan, mempercepat penggunaan klem aorta

sehingga mencegah komplikasi.

Edema usus secara progresif akibat cedera dan resusitasi cairan dapat menyulitkan

saat menutup abdomen. Bila tetap dipaksa akan meningkatkan tekanan intraabdominal,

menyebabkan sindrom kompartement pada abdomen yang akhirnya terjadi iskemik ginjal

dan limpa. Oksigenisasi dan ventilasi memperburuk keadaan, meskipun dengan paralisis

otot total. Akibatnya terjadi oliguria dan penurunan fungsi ginjal. Pada kasus ini,

abdomen dibiarkan terbuka ( ditutup plastic bag steril) selama 48-72 jam sampai edema

berkurang dan abdomen dapat ditutup kembali.

CEDERA EKSTREMITAS

Cedera ekstremitas dapat mengancam nyawa bila terjadi cedera pembuluh darah dan

komplikasi berupa infeksi sekunder. Cedera vaskuler dapat menyebabkan perdarahan

masif dan mengancam viabilitas ekstemitas. Sebagai contoh, fraktur femoral dapat

menyebabkan kehilangan 2-3 unit darah, dan fraktur pelvis tertutup dapat menyebabakan

kehilangan darah lebih banyak yang dapat menimbulkan syok hipovolemik. Penanganan

yang terlambat atau reposisi yang salah dapat memperburuk keadaan dislokasi dan

menyebabkan kerusakan neurovaskuler. Embolli lemak berhubungan dengan fraktur

pelvis dan fraktur tulang panjang yang menyebabkan insufisiensi pulmoner, disritmia,

petekie kulit, dan disorientasi mental yang terjadi 1-3 hari setelah kejadian ( lihat BAB

40). Diagnosis laboratorium untuk emboli lemak dilihat dari peningkatan lipase, lemak

dalam urin, dan trombositopenia.

Sindrom kompartemen dapat terjadi akibat hematom intramuskuler luas, crush

injury, fraktur, dan cedera amputasi. Peningkatan tekanan fasial interna disertai

penurunan tenanan arteri menyebabkan iskemia, hipoksia jaringan, dan pembengkakan

progresif. Pada pembahasan sebelumnya, rhabdomiolisis dan gagal ginjal dapat terjadi.

Page 21: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Reperfusi ketika tekanan darah sudah kembali normal justru menyebabkan cedera lebih

buruk dan edema lebih parah. Terutama pada lengan bawah dan kaki bawah. Penegakan

diagnosis berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan tekanan di kompartemen

langsung : legih besar 45 mm Hg atau diantara 10-30 mm Hg dari tenakan darah

diastolik. Fasiotomi awal untuk menyelamatkan tungkai sangat dianjurkan.

Teknik bedah terkini telah dapat menyambungkan kembali anggota tubuh yang

teramputasi (lihat BAB 40). Bagian tubuh bila dibekukan dapat disambungkan dalam

waktu 20 jam; bagian tubuh yang tidak dibekukan dapat disambungkan dalam waktu

kurang dari 6 jam. Bila cedera bersifat lokal, teknik anestesi regional (seperti blok

brankial atau pleksus interscalene) direkomendasikan untuk meningkatkan aliran darah

tepi dengan intervensi simpatis. Bila menggunakan anestesi umum, pasien harus tetap

hangat, dan menghindari pasien menggigil untuk maksimalisasi perfusi.

DISKUSI KASUS : PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA

PASIEN LUKA BAKAR

Laki-laki, 43 tahun, dengan luka bakar luas 7 hari sebelumnya, direncanakan

untuk eksisi dan grafting dengan anestesi umum.

Bagaimana Klasifikasi dari Luka Bakar?

Luka bakar digambarkan berdasarkan luas/ persentase luka bakar dibandingkan

luas permukaan tubuh dan kedalaman luka bakar tersebut. Angka harapan hidup

dipengaruhi persentase permukaan tubuh yang tersisa dan umur pasien. (Gambar 41-1).

Aturan sembilan persen (The rule of nines) membagi permukaan tubuh menjadi area-area

dengan luas 9 % dari keseluruhan atau kelipatannya ( Gambar 41-2). Luas permukaan

juga dihitung dengan cara dibandingkan dengan luas telapak tangan pasien itu sendiri,

yang mewakili 1 % luas permukaan tubuhnya.

Page 22: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Gambar 41–1.

Burn size (percent TBSA)

Kurva Sigmoid menunjukkan angka ketahanan hidup dibandingkan persentase luas luka bakar dan usia. Kurva ini dibuat berdasarkan analisis menjadi tujuh kategori berdasarkan umur.

(Disadur dari Merrell SW et al: Increased survival after major thermal injury. Am J Surg 1987;154:623.)

Luka bakar derajat pertama terbatas pada epitel, luka bakar derajat kedua

mencapai dermis, dan luka bakar derajat ketiga merusak seluruh lapisan kulit. Luka bakar

derajat ketiga justru merusak ujung-ujung saraf sehinga tidak terasa nyeri seperti luka

derajat kedua. Bila terjadi luka bakar derajat kedua sampai 25 % dari luas total

permukaan tubuh atau luka bakar derajat ketiga sampai 10 % dari luas total permukaan

tubuh maka termasuk luka bakar luas. Luka bakar listrik merupakan kondisi yang lebih

serius daripada penampakkan luarnya karena biasanya terjadi kerusakan jaringan.

Keterlibatan pulmoner, terutama pneumonia, meingkatkan angka kematian.

Page 23: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Gambar 41–2.

Penilaian luas permukaan tubuh dari luka bakar.

(Disadur dari Tierney LM Jr et al: Current Medical Diagnosis & Treatment 2002. McGraw-Hill, 2002.)

Bagaimana Hubungan Antara Luka Bakar Luas dengan Patofisiologi Pulmoner?

Fungsi paru dapat berdampak langsung dan tidak langsung. Luka bakar inhalasi

langsung dapat menyebabkan edema saluran nafas atas sehingga dapat meyebabkan

obstruksi yang mengancam jiwa. Selain itu, saluran nafas bawah juga dapat cedera akibat

uap panas atau cedera akibat paparan asap dan racun hasil pembakaran. Deaktivasi

surfaktan dapat menyebakan atelektasis dan perlengketan paru. Kecurigaan adanya luka

bakar inhalasi bila ditemukan stridor, suara serak, luka bakar pada wajah, rambut hidung

atau bulu mata terbakar, jelaga di sputum atau orofaring, respitaroy distress, dan riwayat

luka bakar terjadi di ruangan tertutup. Banyak pasien luka bakar inhalasi tidak

menunjukkan tande sampai beberapa jam setelah paparan.

Luka bakar luar dapat mempengaruhi fungsi paru meskipun tidak terdapat luka

langsung di paru akibat luka bakar. Misalnya, permeabilitas sistem mikrovaskuler

meningkat yang menyebabkan edema paru dan acute respiratory distress syndrome

Page 24: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

(ADRS). Luka bakar yang terjadi sirkumferensial/sekeliling thorak menurunkan

komplain dinding dada dan menghambat gerakan inspirasi.

Inhalasi korbon dioksida menggeser kurva oxyhemoglobin ke kiri (berpengaruh

terhadap masukan oksigen di jaringan) dan menurunkan saturasi oksigen. PaO2 dan warna

kulit dapat normal, namun konsentrasi karboxyhemoglobin (COHb) meningkat (normal

COHb < 1.5% pada nonperokok dan < 10% pada perokok). Oksimeter dengan dua

panjang gelombang tidak dapat mendeteksi COHb (lihat BAB 6). Daya ikat korbon

monoksida dengan hemoglobin 200 lebih kuat dibandingkan oksigen. Pemberian 100 %

oksigen akan mempersingkat waktu paruh COHb dari 4 jam sampai tinggal 1 jam di

udara ruangan. Penggunaan oksigen hiperbarik masih kontroversial, namun dapat

dipikirkan bila tersedia. Pelepasan hidrogen sianida dari bahan-bahan sintetik yang

terbakar akan menyebabkan keterbatasan kemampuan oksigen ( kadar sianida normal <

0.2g/mL) dan menjadi salah satu indikasi terapi oksigen hiperbarik.

Peningkatan metabolisme tejadi pada proses penyembuhan luka bakar. Kondisi

hipermetabolik ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2.

Karena itu dibutuhkan peningkatan ventilasi alveolar dan pemberian oksigen.

Apa saja Efek Kardiovaskuler Akibat Luka Bakar Luas?

Peningkatan permeabilitas pada bagian yang terluka menyebabkan adanya

pergesaran cairan dari plasma ke ruang interstisial. Meskipun terjadi kerusakan sel darah

merah, hematokrit mungkin meningkat akibat peningkatan konsentrasi volume

intravaskuler. Penurunan volume intravaskuler ini terutama terjadi pada 24 jam pertama

dan dapat digantikan oleh cairan kristaloid ( Ringer laktat 2-4 mL/kg dikali persen luas

luka bakar). Penurunan kardiak output akibat berkurangnya volume plasma dan faktor

depresi miokardium. Perfusi organ vital dimonitor dengan output urin. Bila reperfusi

cairan tidak dapat meningkatkan jumlah diuresis ( 1 mL/kg/jam), pemberian inotropik

seperti dopamin dapat berguna.

Setelah 24-48 jam, permeabilitas kapiler telah kembali normal, cairan koloid

menjaga volume intravaskuler. Reabsorbsi cairan interstisial, peningkatan metabolisme,

Page 25: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

dan kadar katekolamin darah tinggi dapat menyebabkan kegagalan output jantung.

Tekanan darh dan frekuensi jantung biasanya meningkat.

Apa Saja Gangguan Elektrolit yang Dapat Ditemukan pada Pasien Luka Bakar?

Hiperkalemia akibat kerusakan jaringan mungkin merupakan komplikasi dari

penatalaksanaan resusitasi. Kemudian, bersihan ginjal dan ganguan lambung dapat

menyebabkan hipokalemia. Antibiotik topikal juga dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan elektrolit. Mafenide asetat meningkatkan karbonik anhidrase,

menyebabkan asidosis hiperkloremik. Obat topikal lainnya, nitrat perak, menurunkan

kadar sodium darah, klorida, dan potasium. Methemoglobinemia merupakan komplikasi

dari terapi nitrat perak, namun jarang terjadi. Luka bakar listrik menyebabkan kerusakan

sel otot yang menyebabkan mioglobinuria dan dapat menyebabkan gagal ginjal.

Apa Pilihan Monitoring yang Berguna Selama Prosedur Eksisi dan Grafting?

Eksisi jaringan rusak setelah luka bakar luas biasanya menyebabkan kehilangan

darah secara signifikan. Terutama bila tindakan dilakukan beberapa hari setelah kejadian

atau lokasi luka bakar tidak dapat ditekan dengan torniket. Bila terjadi hal ini, sedikitnya

dua jalur intravena harus terpasang, jalur arterial, dan kateter vena sentralis atau kateter

arteri pulmoner. Kateter tiga jalur sangat membantu bila akses intravena sulit dicari. Bila

memungkinkan, pemasangan tensimeter noninvasif sebagai backup jalur arteri, di mana

seringkali tidak berfungsi karena pasien banyak bergerak.

Elektroda elektrokardiogram tidak dapat dipasang pada daerah yang terluka, dan

terganggu saat dilakukan eksisi dinding dada. Sebagai alternatif, elektroda jarum dapat

digunakan. Pasien dengan gangguan pernafasan harus dimonitor dengan oksimeter

dipasang di tempat yang memungkinkan.

Kehilangan panas dari lokasi kulit yang hilang adalah masalah serius dan harus

dimonitor ketat. Hipotermia dapat dicegah dengan menggunakan selimut hangat, lampu

penghangat, meningkatkan suhu ruangan operasi, melembabkan gas inshalan, dan

menghangatkan cairan intravena.

Page 26: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient

Apa saja yang Harus Diperhatikan dalam Tindakan Intubasi pada Pasien ini ?

Korban luka bakar dengan cedera inhalasi membutuhkan tindakan intubasi

sebelum pembedahan. Indikasi intubasi dini adalah hipoksia yang tidak dapat dikoreksi

dengan sungkup, edema jalan nafas atas yang dapat menyebabkan obstruksi, atau adanya

sekret berlebihan. Bila kondisi meragukan atau antisipasi monitoring jalan nafas sulit

diprediksi ( misalnya selama transport), intubasi dini dilakukan sebelum berkembang

menjadi edema atau intubasi jadi sulit dilakukan. Terutama bila pasien harus distabilkan

terlebih dahulu sebelum dirujuk ke rumah sakit lain. Obstruksi jalan nafas atau kontraktur

wajah yang berat diperlukan intubasi fiberoptik pasien sadar. Cegah emesis dan aspirasi

saat penatalaksanaan resusitasi awal, selama episode sepsis, atau pemberian narkosis

dosis tinggi. Trakeostomi dapat meningkatkan angka morbiditas pasien luka bakar karena

dapat menyebabkan infeksi paru.

Bagaimana Pengaruh Luka Bakar Terhadap Farmakologi Obat-obatan Anestesi?

Suksinilkolin merupakan kontraindikasi pada pasien luka bakar dalam 24 jam

pertama. Pemberian obat ini dapat menyebabkan henti jantung karena peningkatan kadar

potasium. Depolarisasi otot yang memanjang karena peningkatan relatif suksinilkolin di

reseptor asetilkolin. Respon ini muncul pada pasein dengan luas luka bakar kurang dari

10 %. Sebaliknya, pasien luka bakar membutuhkan dosis muscle relaksan

nondepolarisasi lebih tinggi. Resistensi obat ini karena perubahan ikatan protein dan

peningkatan sambungan ekstra/ ekstrajuntional reseptor asetilkonlin, di mana ikatan obat

nondepolarisasi tanpa menyebabkan efek neuromuskuler.

Gas anestesi menyebabkan depresi miokardium namun tetap berguna setelah fase

akut. Karena dapat berpotensi menimbulkan disritmia, halotane harus dihindari bila balut

tekan yang mengandung efinefrin telah dipakai untuk mengurangi kehilangan darah.

Page 27: BAB - 41. Anesthesia for the Trauma Patient