all about anesthesia

18
RABU, 28 APRIL 2010 Basic of Pain: The Fifth Vital Sign 1. Definisi nyeri Nyeri adalah sesuatu yang amat kompleks, dan karenanya nyeri mempunyai banyak definisi. IASP (International Association The Study of Pain) menerjemahkan nyeri yang terjemahannya kurang lebih berbunyi “nyeri adalah suatu sensasi dan atau pengalaman emosional yang tidak menyenangkan serta mengganggu sebagai akibat adanya kerusakan jaringan, atau yang berpotensi terjadinya kerusakan jaringan atau sesuatu yang berarti kerusakan” 2 Klasifikasi Nyeri Nyeri organik dibagi menjadi: a.Nyeri nosiseptif; yaitu nyeri somatik dan visera yang disebabkan oleh rangsang perifer pada sisi trauma atau inflamasi. Nyeri ini biasanya FACEBOOK BADGE Redhy Sindharta Create Your Badge PENGIKUT Join this site with Google Friend Connect Members (2) Already a member? Sign in ARSIP BLOG 2010 (9) April (3) Basic of Pain: The Fifth Vital Sign Bradikardia adalah HR kurang dari 60 kali/ me... CARDIOVASCULAR SYSTEM part 1: REGULATION OF HEART 0 Lainnya Blog Berikut» Buat Blog Masuk ALL ABOUT ANESTHESIA

Upload: diah-ayu-wulandari

Post on 11-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

farmasi

TRANSCRIPT

Page 1: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 1/18

R A B U , 2 8 A P R I L 2 0 1 0

Basic of Pain: The Fifth Vital Sign

1. Definisi nyeri

Nyeri adalah sesuatu yang amat

kompleks, dan karenanya nyeri

mempunyai banyak definisi.

IASP (International Association

The Study of Pain)

menerjemahkan nyeri yang

terjemahannya kurang lebih

berbunyi “nyeri adalah suatu

sensasi dan atau pengalaman

emosional yang tidak

menyenangkan serta

mengganggu sebagai akibat

adanya kerusakan jaringan,

atau yang berpotensi terjadinya

kerusakan jaringan atau sesuatu

yang berarti kerusakan”

2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri organik dibagi menjadi:

a.Nyeri nosiseptif; yaitu nyeri

somatik dan visera yang

disebabkan oleh rangsang

perifer pada sisi trauma atau

inflamasi. Nyeri ini biasanya

F A C E B O O K B A D G E

Redhy Sindharta

Create Your Badge

P E N G I K U T

Join this sitewith Google Friend Connect

Members (2)

Already a member? Sign in

A R S I P B L O G

▼  2010 (9)

▼  April (3)

Basic of Pain: The Fifth VitalSign

Bradikardia adalah HR kurangdari 60 kali/ me...

CARDIOVASCULAR SYSTEM part1: REGULATION OF HEART

0   Lainnya    Blog Berikut» Buat Blog   Masuk

A L L A B O U T A N E S T H E S I A

Page 2: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 2/18

responsif terhadap opioid dan

obat NSAID (Nonsteroid

Antiinflamation Drugs).

b.Nyeri neuropatik; yaitu nyeri

yang tidak disebabkan oleh

rangsang nosiseptif misalnya

karena adanya kerusakan saraf

akibat penyakit atau penekanan

saraf oleh tumor. Nyeri ini

biasanya kurang responsif

terhadap opioid dan lebih

responsif terhadap obat golongan

antidepresan golongan

trisiklik2,3,6,7,8.

Menurut timbul dan durasinya

nyeri dibagi menjadi:

1.Nyeri akut: nyeri yang segera

terjadi untuk waktu yang singkat.

2.Nyeri khronik: nyeri yang terjadi

setelah cedera sembuh.

Penelitian yang terakhir

menyebutkan bahwa nyeri akut

yang tidak ditanggulangi

dengan baik akan

berkembang menjadi nyeri

khronik (Carr dan Goudas

1999).

Menurut kecepatan transmisi

ada dua macam nyeri, yaitu:

1.Nyeri cepat; disebut juga

first pain, yaitu nyeri yang

segera terjadi ketika ada

rangsang dan segera berakhir

ketika rangsang dihentikan.

Hantaran nyeri ini melalui

serabut saraf halus bermielin

tipe A delta dengan

kecepatan hantaran 12‐30 m/

detik.

2.Nyeri lambat; disebut juga second pain, yaitu nyeri dengan

karakteristik berdenyut, terbakar dan sakit (aching) yang sukar

...

►  Maret (3)

►  Januari (3)

M E N G E N A I S A Y A

DR REDHY SINDHARTA

LIHAT PROFIL LENGKAPKU

Page 3: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 3/18

ditentukan

lokasinya

dan akan

terus

berlanjut

walaupun

rangsangan

telah

dihentikan.

Hantaran

nyeri ini

melalui

serabut

tidak

bermielin

tipe C

dengan

kecepatan

hantaran

0,5‐2

m/detik2,3,6,7,8.

Fenomena nyeri ini merupakan persepsi subjektif terhadap perbedaan

kecepatan hantaran dari dua macam serabut ini. Serabut saraf untuk

termal mengikuti jalur yang sama dengan serabut nyeri dengan

ambang ransang 430 celcius.

3 Patofisiologi Nyeri

Page 4: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 4/18

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya

kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup

dan melakukan kegiatan secara fungsional.

Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:

nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta

dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari

cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya,

nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf.

Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus

noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini

berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus,

dan korteks cerebri2,3,8.

Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif

akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang

membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan

salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan.

Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau

noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan

menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah

adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai

perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan

jaringan lebih lanjut. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang

adaptif namun demikian pada kasus‐kasus cedera elektif (misalnya:

pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis,

penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi

berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan.

Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri.

Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious

atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai

respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat

fungsi abnormal sistem saraf. Berbagai mekanisme yang mendasari

munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah:

nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,

eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.

Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat 4 tahap proses, yaitu:

1.Transduksi

Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik,

atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik

nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor kanal ion yang

spesifik.

Rangsang yang dapat membangkitkan rasa nyeri umumnya

disebabkan oleh rangsang mekanik atau termal, tetapi dapat juga

disebabkan oleh produk kimia dari jaringan yang rusak. Pada

Page 5: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 5/18

dasarnya produk kimia tersebut dihasilkan oleh 3 sumber, yaitu:

1.Rangsang berasal dari sel‐sel rusak berupa Kalium, asetilkolin, dan

Prostaglandin (PG).

2.Berasal dari ektravasasi plasma atau migrasi limfosit berupa

bradikinin (BK).

3.Berasal dari degranulasi trombosit dan mastosit berupa serotonin

dan histamin (H).

Produk‐produk kimia tersebut menimbulkan rangsang pada ujung‐

ujung saraf (nosiseptor) untuk memproduksi suatu polipeptida yang

disebut sebagai substansi P (SP).

Antara produk kimia yang dikeluarkan oleh sel rusak dan ektravasasi

plasma (PG/BK/KH) dengan substansi P yang dihasilkan oleh ujung

nosiseptor terjadi suatu umpan balik positif, yaitu SP akam

merangsang timbulnya PG/BK/H, dan sebaliknya PG/BK/H akan

memicu dikeluarkannya SP dari nosiseptor sehingga akan terus

memperbanyak produksi prostaglandin yang berperanan penting

dalam proses inflamasi jaringan dan sensitisasi nosiseptor.

Rangsangan pada nosiseptor ini akan dialirkan ke nosiseptor di

sekitar daerah insisi operasi/ inflamasi dan akan menimbulkan

umpan balik positif yang serupa, sehingga terjadi nyeri pada tempat

tersebut. Hal ini mungkin menjelaskan proses timbulnya hiperalgesia

sekunder pada daerah sekitar inflamasi.

Aplikasi lokal anestesi secara infiltratif akan memblok nosiseptor

sehingga tidak akan bereaksi terhadap PG/BK yang timbul akibat

kerusakan sel akibat insisi di daerah tersebut. Nosiseptor tersebut

tidak akan mengeluarkan SP dan ini berarti terpotongnya siklus

umpan balik positif, sehinggga kadar PG akan menurun yang

berakibat menurunnya rasa nyeri dan proses inflamasi.

Obat‐obat analgesik lain seperti NSAID akan menghambat

pembentukan prostaglandin pada jaringan yang mengalami inflamasi

sehingga efek analgesik NSAID yang terjadi bergantung pada

kemampuannya untuk mencegah terbentuknya prostaglandin di

perifer.

Dasar pemikiran inilah yang menjadi landasan analgesia pre‐emptive,

yaitu mengatasi rasa nyeri sebelum terjadi2,3,8,9.

2.Transmisi

Transmisi merupakan aktivitas serabut saraf menyusul proses

transduksi berupa penyaluran rangsang noksius melalui serabut saraf

sensorik aferen ke tingkat yang lebih tinggi.

Serabut saraf sensoris ini ada dua macam yaitu:

1.Serabut saraf A delta, yang menghantarkan rasa nyeri yang tajam

dan terlokalisir serta berlangsung singkat disebut sebagai konduksi

cepat.

Page 6: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 6/18

Serabut saraf A delta akan bersinaps pada Lamina Rexed (LR) I (zona

Marginal), LR II (substantia Gelatinosa) dan LR V (nukleus proprius) di

kornu dorsalis, dan LR X (kanalis sentralis), kemudia berganti dengan

neuron kedua menyeberang ke depan bergabung dengan traktus

neospinotalamikus langsung ke talamus. Informasi yang dihantarkan

oleh traktus ini bersifat cepat, tajam, dan terlokalisir, yang oleh

Melzack dan Dennis disebut sebagai fase fasik.

2.Serabut saraf C yang membawa nyeri tumpul, dalam, dengan lokasi

yang tidak terlokalisir dan bereaksi lama, sehingga konduksi lambat.

Serabut saraf C bersinaps pada LR I, II, dan V tetapi sebagian besar

bersinaps pada substansia gelatinosa dimana neuron keduanya akan

bergabung pada traktus paleospinotalamikus yang sebelum tiba di

talamus sebagian akan diproyeksikan ke formasio retikularis.

Informasi nyeri yang dihantarkan oleh traktus ini bersifat informatif

dari pengalaman nyeri yang bersifat tumpul, dalam, tidak terlokalisir

yang disebut fase tonik.

Pada dasarnya tiap konduksi nyeri mula‐mula akan dihantarkan oleh

saraf A delta yang konduksinya lebih cepat kemudian akan diikuti

oleh hantaran serabut C yang konduksinya lebih lambat.

3.Modulasi

Modulasi merupakan aktivitas saraf yang akan mengontrol rangsang

noksius sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Kemampuan sel‐sel saraf pada kornu dorsalis dari medula spinalis

akan memodulasi rangsang noksius sebelum dilanjutkan ke atas

sehingga akan memberikan perbedaan persepsi nyeri terhadap suatu

rangsang noksius yang sama. Aktivitas sel‐sel saraf inilah yang

menjelaskan mengapa seseorang dapat memiliki persepsi yang

berbeda terhadap suatu perlukaan yang sama.

Modulasi ini dapat terjadi di tingkat perifer, spinal, maupun sentral.

Modulasi nyeri merupakan keseimbangan antara rangsang eksitator

dan inhibitor yang diterima oleh masing‐masing yang kemudian akan

diteruskan ke sentral melalui sistem limbik sampai dengan korteks

serebri.

Kornu dorsalis amat kaya dengan neurotransmitter. Aktivasi dari

serabut C akan menghasilkan pelepasan dari banyak asam amino dan

peptida yang akan merangsang sel di kornu dorsalis. Substansi ini

antara lain adalah glutamat, substansi P, neurokinin, dan CGRP.

Fenomena ini dapat dicegah dengan premedikasi opioid (yang akan

menghambat input serabut C yang hendak masuk ke kornu dorsalis)

dan antagonis reseptor glutamat.

Tiga jalur yang terdapat antara struktur midbrain dan kornu dorsalis,

yang mengurus modulasi impuls nyeri yang timbul dari sistem saraf

Page 7: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 7/18

perifer, yaitu:

1.Berasal dari raphe magnus

2.Berasal dari nukleus lokus seruleus di pons

3.Berasal dari nukleus Edinger Westphal.

Ketiga jalur ini turun (desenden) berakhir dan menghambat nyeri

yang direspon neuron di kornu dorsalis. Bila diaktivasi ketiga jalur ini

akan melepaskan serotonin, noreponefrin, dan kholesistokinin.

Periakuaduktal kelabu (PAG) membuat hubungan ketiga jalur ini.

PAG amat kaya dengan reseptor opiat, dan bila reseptor ini

diaktifkan maka PAG akan mengaktifkan ketiga jalur ini untuk

memodulasi nyeri yang masuk kornu dorsalis. Reseptor PAG ini dapat

diaktifkan oleh pelepasan endorfin endogen atau pemberian opioid

eksogen. Pelepasan endorfin endogen dapat dipicu oleh nyeri dan

stres.

Kornu dorsalis dari medula spinalis juga kaya akan reseptor opiat,

yang berada di lamina II dan bila dirangsang, akan menghasilkan

inhibisi/ supresi terhadap aktivitas serabut C yang masuk ke kornu

dorsalis.

Glisin, suatu inhibitor asam amino akan dilepaskan melalui aktivasi

serabut aferen besar. Serabut besar mempunyai pengaruh eksitasi

yang kuat terhadap sel substansia gelatinosa kornu dorsalis, tetapi

gagal untuk mendapatkan efek noksius karena adanya aktivasi dari

interneuron glisinergik. Fenomena ini menjadi contoh teori nyeri

“gate control”.

Aktivasi serabut besar bermielin akan menghambat aktivitas serabut

C yang masuk, karenanya ransangan TEN yang menstimulasi serabut

besar dapat memicu mekanisme pengurangan nyeri (pain relief).

Seringkali rasa nyeri dapat berkurang dengan mengusap‐usap daerah

yang sakit.

Cedera pada saraf perifer (misalnya karena trauma, postherpes, dan

diabetik neuropati) akan menyebabkan ketidakseimbangan input

neuron di medulla spinalis dan menghasilkan nyeri khronis2,3,8,9,10.

4.Persepsi

Persepsi merupakan proses akhir yang berupa aktivitas saraf sensorik

yang menghasilkan persepsi nyeri yang bersifat subjektif. Nilai‐nilai

budaya, sugesti hipnotik,dan aktivitas kognitif dapat juga secara

bermakna menentukan intensitas nyeri.

Nukleus talamus medialis dan posterior menerima input dari traktus

paleospinothalamikus dan diproyeksikan pada daerah korteks

asosiasi. Sistem ini mengurus fungsi afektif pada persepsi nyeri dan

mengatur emosi atau perasaan tidak nyaman terhadap rangsang

noksius tersebut. Sistem ini juga mengaktifkan sistem limbik yang

menerangkan mengapa individu yang berbeda akan merespon

Page 8: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 8/18

berbeda pada rangsang noksius yang sama. Informasi nyeri yang

datang dari talamus akan disebarkan ke otak di daerah

somatosensorik korteks serebri2,3,8,9.

Pada proses nyeri terhadap 2 sensitisasi yaitu sensitisasi perifer dan

sensitisasi sentral.

1.Sensitisasi perifer

Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya

perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak

akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat

dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,

chemokine, dan faktor pertumbuhan. Beberapa komponen tersebut di

atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators),

dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih

hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers).

Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cedera

dan merangsang reseptor purin P2x3, dan mengaktifkan nosiseptor.

Proton berikatan pada reseptor V1, dan menghasilkan nyeri beberapa

waktu setelah cedera. Prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid)

dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan

tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi tanpa langsung

menimbulkan nyeri. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi

nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2.

Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan komponen utama

reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari

membran fosfolipid dengan bantuan fosfolipase A2. Cyclooxygenase‐2

(COX‐2) berperan mengonversi asam arakidonat menjadi

prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies

prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Cyclooxygenase‐

2 (COX‐2) dipicu oleh interleukin 1‐IL1 dan tumor necrosis factor‐α

(TNF‐α), yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan

inflamasi, sehingga obat antiinflamasi yang selektif menghambat

COX‐2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang

berlangsung cepat. Obat demikian bisa efektif pada kondisi nyeri

kronis (misalnya: rheumatoid arthritis), dimana COX‐2 ada secara

kronik sebagai respon inflamasi yang menetap.

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi

ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf

dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi

adenil siklase oleh prostaglandin E akan meningkatkan kadar

adenosin monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A.

Protein kinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam

amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan

aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik. Berbagai komponen

yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan

Page 9: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 9/18

(prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), blokade

hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan

menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan

menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam

meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

2.Sensitisasi sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi

nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi

sentral dan perifer bertanggungjawab terhadap munculnya

hipersensitivitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi sentral

memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke

neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input

nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi

perubahan molekuler neuron (transcription dependent). Secara umum

proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali

dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion

dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi

sentral dan perifer merupakan bentuk plastisitas sistem saraf, dimana

terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan

jaringan).

Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat kerusakan hebat

jaringan, dalam beberapa detik neuron di medula spinalis akan

menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri

akibat stimulus non noksious (misalnya: nyeri akibat sentuhan

ringan), dan terjadinya hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah

sekitar jaringan yang rusak).

Sensitisasi sentral hanya membutuhkan aktivitas nosiseptor yang

singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan

scalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat sensitisasi

nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik spontan setelah

cedera saraf.

Sensitisasi sentral merupakan urutan kejadian di kornu dorsalis yang

diawali dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan

densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya

secara dramatis meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor

yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor NMDA.

Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami

fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat.

Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion

Mg2+ dan terjadi pembukaan saluran ion yang lebih lama.

Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di

bawah (subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang

(supratreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada

rangsang yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri

Page 10: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 10/18

berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan

sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) 3,9.

4 Tatalaksana Nyeri Inflamasi Akut

Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah

NSAID, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika

adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi

yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat

menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir

efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien

kurang dapat mentolerir efek samping obat. Prinsip pengobatan nyeri

akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7‐10) yaitu

pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis

optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat

dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada

nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah

mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali.

Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan

nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder.

Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi

dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi

akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi,

seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin,

dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi

nosiseptor secara langsung atau tidak langsung.3,6,7 Sebagian dari

mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor

dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang

menyebabkan hiperalgesia.

Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal‐

sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Potensial aksi terjadi

oleh karena depolarisasi membran sebagai akibat pembukaan saluran

natrium. Obat‐obat yang menstabilkan membran (misalnya: anestesi

lokal) dapat menghambat pembentukan potensial aksi dari

nosiseptor. Obat‐obat antiinflamasi nonsteroid mencegah transduksi

dengan menghambat berbagai mediator inflamasi.

DAFTAR PUSTAKA

1.J.P. Des borough. The Response Stress to Trauma and Surgery.

Advanced search. http. BJA. com. British Journal of Anesthesia.

Accessed March 22, 2010.

2.Morgan, EG., Mikhail, MS., Murray, MJ., Clinical Anesthesiology.

4th edition. Mc Graw‐Hill Companies, Inc. 2006; 400.

3.Stoelting, R.K., Miller,. Basics of Anesthesia 5th ed. Churchill

Page 11: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 11/18

Livingstone Elsevier, Philadelphia. 2007; 639.

4.Kaplan, Reich, lake Konstadt. Kaplan’s Cardiac Anesthesia.

Elsevier, Phladelphia. 2006; 84‐5.

5.Bradikardia. www.wrongdiagnosis.com/b/bradycardia. Accessed

December 10, 2009.

6.IASP. Pain 2002‐An updated review.Refresher course syllabus. San

Diego,IASP Press. 2002: 205‐215.

7.The American Pain Society. Pain: Current undestanding of

Assesment, Management, and Treatments. American Pain Society.

2006.

8.Bagianto, Hari. Pengaruh Defisiensi Seng terhadap Respon Nyeri

(Pendekatan Molekuler pada Penelitian menggunakan Tikus Sprague

Dawley). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Surabaya, 2005.

9.Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain.

Bagian IP Saraf FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta SMF Saraf RS

Bethesda Yogyakarta. Advanced Search: http://www.dexa‐

Medica.com/images/publication_upload. April 9th, 2010.

10.Rehatta M, Sulystiono H. Nyeri Kanker. Anestesiologi Indonesia.

Volume: 1, Nomor 2, Agustus 2000. Bagian Anestesiologi FKUI/ RSCM.

Jakarta; 2000.

11.American Heart Association (AHA). Circulation. Management of

Symptomatic Bradycardia and Tachycardia. Journal of The American

Heart Association. Volume 112, issue 24 supplement. Dallas;

Desember 13th, 2005.

12.Demetriades D, et al. Relative bradycardia in patients with

traumatic hypotension. Department of Surgery, University of Southern

California, Los Angeles 90033, USA. http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

1998. Accessed April 9th, 2010.

13.Thompson D, Adams SL, Barrett J. Relative bradycardia in patients

with isolated penetrating abdominal trauma and isolated extremity

trauma. Section of Emergency Medicine. 1990 Mar;19(3):268‐75

14.Thomas. Lesson of the week: Bradycardia in acute haemorrhage.

BMJ Publishing Group Ltd. 2004.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles. April 9, 2010.

DIPOSKAN OLEH DR REDHY S INDHARTA DI 01.25 TIDAK ADA KOMENTAR:

K A M I S , 2 2 A P R I L 2 0 1 0

Bradikardia adalah HR kurang dari 60 kali/ menit

Page 12: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 12/18

Bradikardia

tidak

jarang

ditemukan

pada

pemeriksaan fisik

rutin2,5.

Bradikardia dapat

secara normal

terjadi pada

dewasa, atlit yang

terlatih, dan pasien

geriatrik ataupun

saat kita tidur.

Bradikardia juga

merupakan respon

normal akibat

stimulasi vagal

akibat batuk,

muntah, atau

mengejan selama

defekasi. Ketika

bradikardia

disebabkan

oleh hal‐hal

tersebut,

HR jarang

menurun

hingga di

bawah 40

kali/menit.

Akan

tetapi,

apabila

disebabkan

oleh

penyebab

Page 13: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 13/18

patologis (misalnya gangguan

jantung) maka HR dapat menjadi

lebih lambat5.

Bradikardia sendiri bukan

merupakan tanda yang spesifik.

Akan tetapi apabila disertai

dengan gejala misalnya nyeri

dada, sinkop, sesak, dan

penurunan kesadaran maka

bradikardia dapat menandakan

suatu penyakit yang mengancam

nyawa5.

Setelah mendeteksi bradikardia,

periksalah tanda‐tanda yang

relevan dari penyakit yang

mengancam nyawa. Jika

bradikardia tidak disertai dengan

tanda‐tanda tersebut, tanyakan

pada keluarga apakah pasien

memiliki riwayat bradikardia

karena bradikardia ini mungkin

diturunkan. Tanyakan juga

tentang penyakit metabolisme

misalnya hipotiroid yang dapat

menyebabkan bradikardia5.

Bradikardia ini dapat disebabkan

oleh beberapa sebab, yang

dapat dibagi menjadi 2

kelompok besar, yaitu:

1.Penyebab non‐kardiak

Penyebab non‐kardiak sebagian

besar merupakan akibat

sekunder dari sebab lain,

misalnya penggunaan obat‐

obatan, gangguan metabolik atau endokrin (terutama tiroid),

ketidakseimbangan elektrolit, faktor neurologis, refleks autonom,

faktor situasional, dan autoimunitas.

2.Penyebab kardiak

Penyebab kardiak termasuk penyakit jantung iskemik akut maupun

khronis, penyakit jantung vaskular, penyakit jantung katub, atau

penyakit konduksi jantung4,5.

Secara garis besar, penyebab kardiak ini terbagi menjadi 3 macam

yaitu:

Page 14: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 14/18

1.Automatisitas yang terdepresi

2.Blok konduksi

3.Irama ektopik

Akronim VINDICATE bisa digunakan untuk mengevaluasi penyebab

bradikardia, yaitu:

1.V—Penyakit Vaskular

Penyakit vaskular yaitu infark myokardial terutama dinding inferior

dan anteroseptal. Arteriosklerosis juga menyebabkan iskemia pada

sistem konduksi saraf.

Sinus bradikardia merupakan aritmia yang paling sering terjadi pada

pasien infark miokard. Tanda dan keluhan lain yang menyertai infark

miokard adalah rasa nyeri pada dada yang menjalar ke rahang, bahu,

lengan, punggung, atau epigastrium, mual dan muntah; kulit dingin,

basah, pucat; kegelisahan, dan dispneu. Tekanan darah dapat

meningkat atau menurun. Pemeriksaan auskultasi mungkin

menghasilkan suara jantung abnormal.

2.I—Penyakit Inflamasi

Penyakit inflamasi yaitu misalnya meningitis, abses serebral,

penyakit myokarditis viral, dan diphteria.

3.N—Penyakit Neurologis

yaitu dalam hal ini adalah semua penyebab yang dapat meningkatkan

tekanan intrakranial (TIK), misalnya subarachnoid hemorrhage (SAH)

dan tumor serebral.

Bradikardia terjadi sebagai tanda lambat dari peningkatan TIK selain

dengan peningkatan laju nafas (respiratory rate,/RR), peningkatan

tekanan sistolik, penurunan tekanan diastolik, dan pelebaran tekanan

nadi. Tanda lain yang berhubungan termasuk nyeri kepala yang

persisten, muntah yang proyektil, penurunan kesadaran, dan pupil

yang dapat terfiksasi, anisokor.

4.D—Penyakit Degeneratif atau Defisiensi, misalnya beriberi.

5.I—Intoksikasi, akibat myokardiomyopati alkoholik, digitalis,

propranolol. Hipokalemia akibat diuretik khlorotiazid dan

hiperkalemia akibat spironolakton.

6.C—Penyakit Kongenital, misalnya penyakit jantung bawaan.

7.A—Penyakit Autoimun, yaitu berbagai penyakit autoimun yang

dapat menyebabkan bradikardia atau blokade jantung, misalnya

lupus erythematosus, dan demam rematik4,5.

Page 15: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 15/18

8.T—Trauma.

Terjadinya irama bradiasistol pada pasien trauma seringkali

disebabkan adanya hipovolemia berat, hipoksemia berat, atau

kegagalan sistem kardiovaskular dan respirasi11.

8.1 Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat trauma kepala.

Nyeri kepala persisten bila disertai bradikardia pada pasien trauma

kepala bisa menunjukkan adanya kenaikan TIK akibat lesi massa yang

menyebabkan pendesakan. Lesi masa tersebut dapat disebabkan oleh

perdarahan intrakranial akibat trauma kepala. Gejala dan tanda yang

lain dapat berupa hipertensi, tekanan nadi yang melebar, muntah

proyektil, pupil anisokor dan terfiksasi, dan penurunan kesadaran5.

8.2 Trauma Medulla Spinal Servikalis

Bradikardia dapat terjadi secara cepat maupun beberapa saat setelah

cedera spinal servikalis bergantung pada beratnya trauma. Onset

bradikardia ini bersamaan dengan denervasi simpatis. Tanda‐tanda

lain yang menyertai dapat berupa hipotensi, penurunan suhu badan,

peristaltik yang melambat, paralisis kaki, dan paralisis otot‐otot

respirasi.

Respon yang segera terjadi setelah kompresi medulla spinalis adalah

stimulasi simpatis masif dan aktivitas refleks parasimpatis yang mana

terjadi dalam 3‐4 menit dan ini dimediasi oleh reseptor adrenergik

alfa. Efek hemodinamik yang terjadi adalah hipertensi berat dan

refleks bradikardia atau takiaritmia. Setelah respon awal ini,

hilangnya fungsi neurologis di bawah medula spinalis yang mengalami

trauma menyebabkan hal yang disebut syok spinal. Terjadi paralisis

flasid otot‐otot rangka, arefleksia, hilangnya tonus simpatis

(hipotensi dan bradikardia pada trauma thoraks tinggi atau cervikal,

meningkatnya kapasitansi vaskular), poikilotermia dan flasiditas

traktus gastrointestinal dan kandung kemih sehingga terjadi ileus

generalisata dan retensi urine5.

8.3 Tanda kardiovaskular bifasik pada pasien perdarahan akut.

Evidensi eksperimental dan observasi klinis membuktikan bahwa

apabila tanpa resusitasi maka respon HR terhadap berkurangnya

volume darah sirkulasi adalah bifasik. Pada fase pertama,

baroreseptor memediasi refleks vasokonstriksi dan akselerasi jantung

akan memelihara tekanan arterial meskipun terjadi penurunan CO.

Oleh karena itu fase ini ditandai dengan takikardia dan normotensi.

Fase yang kedua adalah ketika terjadi sekitar sepertiga volume darah

sirkulasi. Sistem simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan cardiac

drive mendadak hilang, dan pengaruh vagal terhadap jantung

meningkat. Hal ini secara simultan akan menurunkan MAO dan HR.

Pada hipovolemia berat tersebut, bradikardi terjadi pada fase kedua

respon kardiovaskular terhadap perdarahan akut agar terjadi waktu

yang lebih lama untuk pengisian ventrikel sehingga meningkatkan

Page 16: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 16/18

stroke volume. Bradikardia ini mungkin dihasilkan dari aktivasi vagal

sebagai refleks reseptor mekanik pada dinding ventrikel kiri.

Pengenalan dini reaksi cardioinhibisi‐vasodepresor terhadap

berkurangnya volume sirkulasi ini sangatlah penting karena

terjadinya bradikardia dan hipotensi dapat menandakan akan

terjadinya kolaps sirkulasi14,12,13.

9.E‐Penyakit Endokrin, misalnya penyakit hipotiroid, penyakit

Addison (hiperkalemia), aldosteronism (hipokalemia), dan

hiperparatiroidis (hiperkalsemia).

Hipotiroid menyebabkan bradikardia selain kelelahan, konstipasi,

penambahan berat badan yang tidak wajar, dan sensitif terhadap

dingin. Tanda lain yang berhubungan meliputi kulit yang yang dingin

dan kering, rambut kepala yang kering, pembengkakan wajah,

edema periorbital, konfusi hingga stupor.

‐‐**‐‐

Sumber Pustaka

1.J.P. Des borough. The Response Stress to Trauma and Surgery.

Advanced search. http. BJA. com. British Journal of Anesthesia.

Accessed March 22, 2010.

2.Morgan, EG., Mikhail, MS., Murray, MJ., Clinical Anesthesiology.

4th edition. Mc Graw‐Hill Companies, Inc. 2006; 400.

3.Stoelting, R.K., Miller,. Basics of Anesthesia 5th ed. Churchill

Livingstone Elsevier, Philadelphia. 2007; 639.

4.Kaplan, Reich, lake Konstadt. Kaplan’s Cardiac Anesthesia.

Elsevier, Phladelphia. 2006; 84‐5.

5.Bradikardia. www.wrongdiagnosis.com/b/bradycardia. Accessed

December 10, 2009.

DIPOSKAN OLEH DR REDHY S INDHARTA DI 23.43 TIDAK ADA KOMENTAR:

S E N I N , 1 2 A P R I L 2 0 1 0

CARDIOVASCULAR SYSTEM part 1: REGULATIONOF HEART RATE

Denyut

jantung

(heart rate/

HR)

merupakan

Page 17: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 17/18

salah satu

penentu

utama

dalam

semua

fungsi

jantung.

Cardiac

Output

(CO)

secara

umum

ditentukan

oleh denyut

jantung

(heart rate/

HR) secara

proporsional. 

HR  merupakan  fungsi  intrinsik  SA  (sinoatrial)  node  (depolarisasi

spontan) tetapi dipengaruhi oleh faktor konduksi jantung, autonomik,

sistem  saraf  pusat,  dan  humoral  yang  berespon  terhadap  kondisi

internal dan eksternal.

Mekanisme  neural  bekerja  mengontrol  HR  alamiah  pada  jantung

dengan  mengubah  kecepatan  konduksi  pada  AV  (atrioventricular)

node.  Sinyal  dari  reseptor  autonom  di  sirkulasi  ditransmisikan  ke

batang  otak  yang  akan  menentukan  apakah  akan  ditingkatkan  HR

melalui sistem simpatis atau diturunkannya HR melalui sistem vagal.

HR normal dikontrol terutama oleh tonus vagal.

Denyut intrinsik normal dari SA node pada dewasa muda adalah 90

100 kali/ menit,  tetapi  akan berkurang  sesuai  dengan umur menurut

Page 18: All About Anesthesia

5/10/2015 All About Anesthesia

http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 18/18

Posting Lama

rumus:

HR intrinsik normal adalah= 118 – ( 0,57x Umur)

Aktivitas vagal yang meningkat akan memperlambat HR melalui stimulasireseptor kolinergik M2, sedangkan peningkatan aktivitas simpatis akanmeningkatkan HR melalui aktivasi simpatis melalui reseptor beta1 danterutama reseptor beta2.

DIPOSKAN OLEH DR REDHY S INDHARTA DI 06.40 TIDAK ADA KOMENTAR:

Beranda

Langganan: Entri (Atom)