all about anesthesia
DESCRIPTION
farmasiTRANSCRIPT
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 1/18
R A B U , 2 8 A P R I L 2 0 1 0
Basic of Pain: The Fifth Vital Sign
1. Definisi nyeri
Nyeri adalah sesuatu yang amat
kompleks, dan karenanya nyeri
mempunyai banyak definisi.
IASP (International Association
The Study of Pain)
menerjemahkan nyeri yang
terjemahannya kurang lebih
berbunyi “nyeri adalah suatu
sensasi dan atau pengalaman
emosional yang tidak
menyenangkan serta
mengganggu sebagai akibat
adanya kerusakan jaringan,
atau yang berpotensi terjadinya
kerusakan jaringan atau sesuatu
yang berarti kerusakan”
2 Klasifikasi Nyeri
Nyeri organik dibagi menjadi:
a.Nyeri nosiseptif; yaitu nyeri
somatik dan visera yang
disebabkan oleh rangsang
perifer pada sisi trauma atau
inflamasi. Nyeri ini biasanya
F A C E B O O K B A D G E
Redhy Sindharta
Create Your Badge
P E N G I K U T
Join this sitewith Google Friend Connect
Members (2)
Already a member? Sign in
A R S I P B L O G
▼ 2010 (9)
▼ April (3)
Basic of Pain: The Fifth VitalSign
Bradikardia adalah HR kurangdari 60 kali/ me...
CARDIOVASCULAR SYSTEM part1: REGULATION OF HEART
0 Lainnya Blog Berikut» Buat Blog Masuk
A L L A B O U T A N E S T H E S I A
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 2/18
responsif terhadap opioid dan
obat NSAID (Nonsteroid
Antiinflamation Drugs).
b.Nyeri neuropatik; yaitu nyeri
yang tidak disebabkan oleh
rangsang nosiseptif misalnya
karena adanya kerusakan saraf
akibat penyakit atau penekanan
saraf oleh tumor. Nyeri ini
biasanya kurang responsif
terhadap opioid dan lebih
responsif terhadap obat golongan
antidepresan golongan
trisiklik2,3,6,7,8.
Menurut timbul dan durasinya
nyeri dibagi menjadi:
1.Nyeri akut: nyeri yang segera
terjadi untuk waktu yang singkat.
2.Nyeri khronik: nyeri yang terjadi
setelah cedera sembuh.
Penelitian yang terakhir
menyebutkan bahwa nyeri akut
yang tidak ditanggulangi
dengan baik akan
berkembang menjadi nyeri
khronik (Carr dan Goudas
1999).
Menurut kecepatan transmisi
ada dua macam nyeri, yaitu:
1.Nyeri cepat; disebut juga
first pain, yaitu nyeri yang
segera terjadi ketika ada
rangsang dan segera berakhir
ketika rangsang dihentikan.
Hantaran nyeri ini melalui
serabut saraf halus bermielin
tipe A delta dengan
kecepatan hantaran 12‐30 m/
detik.
2.Nyeri lambat; disebut juga second pain, yaitu nyeri dengan
karakteristik berdenyut, terbakar dan sakit (aching) yang sukar
...
► Maret (3)
► Januari (3)
M E N G E N A I S A Y A
DR REDHY SINDHARTA
LIHAT PROFIL LENGKAPKU
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 3/18
ditentukan
lokasinya
dan akan
terus
berlanjut
walaupun
rangsangan
telah
dihentikan.
Hantaran
nyeri ini
melalui
serabut
tidak
bermielin
tipe C
dengan
kecepatan
hantaran
0,5‐2
m/detik2,3,6,7,8.
Fenomena nyeri ini merupakan persepsi subjektif terhadap perbedaan
kecepatan hantaran dari dua macam serabut ini. Serabut saraf untuk
termal mengikuti jalur yang sama dengan serabut nyeri dengan
ambang ransang 430 celcius.
3 Patofisiologi Nyeri
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 4/18
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya
kerusakan jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup
dan melakukan kegiatan secara fungsional.
Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta
dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari
cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya,
nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus
noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini
berjalan mulai dari perifer melalui spinalis, batang otak, talamus,
dan korteks cerebri2,3,8.
Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif
akan bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang
membantu perbaikan jaringan yang rusak. Nyeri inflamasi merupakan
salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan.
Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus nonnoksious atau
noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan mencegah
adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut sampai
perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan
jaringan lebih lanjut. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang
adaptif namun demikian pada kasus‐kasus cedera elektif (misalnya:
pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis,
penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Respon inflamasi
berlebihan atau kerusakan jaringan yang hebat tidak boleh dibiarkan.
Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri.
Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious
atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai
respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat
fungsi abnormal sistem saraf. Berbagai mekanisme yang mendasari
munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah:
nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi.
Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat 4 tahap proses, yaitu:
1.Transduksi
Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik,
atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik
nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor kanal ion yang
spesifik.
Rangsang yang dapat membangkitkan rasa nyeri umumnya
disebabkan oleh rangsang mekanik atau termal, tetapi dapat juga
disebabkan oleh produk kimia dari jaringan yang rusak. Pada
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 5/18
dasarnya produk kimia tersebut dihasilkan oleh 3 sumber, yaitu:
1.Rangsang berasal dari sel‐sel rusak berupa Kalium, asetilkolin, dan
Prostaglandin (PG).
2.Berasal dari ektravasasi plasma atau migrasi limfosit berupa
bradikinin (BK).
3.Berasal dari degranulasi trombosit dan mastosit berupa serotonin
dan histamin (H).
Produk‐produk kimia tersebut menimbulkan rangsang pada ujung‐
ujung saraf (nosiseptor) untuk memproduksi suatu polipeptida yang
disebut sebagai substansi P (SP).
Antara produk kimia yang dikeluarkan oleh sel rusak dan ektravasasi
plasma (PG/BK/KH) dengan substansi P yang dihasilkan oleh ujung
nosiseptor terjadi suatu umpan balik positif, yaitu SP akam
merangsang timbulnya PG/BK/H, dan sebaliknya PG/BK/H akan
memicu dikeluarkannya SP dari nosiseptor sehingga akan terus
memperbanyak produksi prostaglandin yang berperanan penting
dalam proses inflamasi jaringan dan sensitisasi nosiseptor.
Rangsangan pada nosiseptor ini akan dialirkan ke nosiseptor di
sekitar daerah insisi operasi/ inflamasi dan akan menimbulkan
umpan balik positif yang serupa, sehingga terjadi nyeri pada tempat
tersebut. Hal ini mungkin menjelaskan proses timbulnya hiperalgesia
sekunder pada daerah sekitar inflamasi.
Aplikasi lokal anestesi secara infiltratif akan memblok nosiseptor
sehingga tidak akan bereaksi terhadap PG/BK yang timbul akibat
kerusakan sel akibat insisi di daerah tersebut. Nosiseptor tersebut
tidak akan mengeluarkan SP dan ini berarti terpotongnya siklus
umpan balik positif, sehinggga kadar PG akan menurun yang
berakibat menurunnya rasa nyeri dan proses inflamasi.
Obat‐obat analgesik lain seperti NSAID akan menghambat
pembentukan prostaglandin pada jaringan yang mengalami inflamasi
sehingga efek analgesik NSAID yang terjadi bergantung pada
kemampuannya untuk mencegah terbentuknya prostaglandin di
perifer.
Dasar pemikiran inilah yang menjadi landasan analgesia pre‐emptive,
yaitu mengatasi rasa nyeri sebelum terjadi2,3,8,9.
2.Transmisi
Transmisi merupakan aktivitas serabut saraf menyusul proses
transduksi berupa penyaluran rangsang noksius melalui serabut saraf
sensorik aferen ke tingkat yang lebih tinggi.
Serabut saraf sensoris ini ada dua macam yaitu:
1.Serabut saraf A delta, yang menghantarkan rasa nyeri yang tajam
dan terlokalisir serta berlangsung singkat disebut sebagai konduksi
cepat.
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 6/18
Serabut saraf A delta akan bersinaps pada Lamina Rexed (LR) I (zona
Marginal), LR II (substantia Gelatinosa) dan LR V (nukleus proprius) di
kornu dorsalis, dan LR X (kanalis sentralis), kemudia berganti dengan
neuron kedua menyeberang ke depan bergabung dengan traktus
neospinotalamikus langsung ke talamus. Informasi yang dihantarkan
oleh traktus ini bersifat cepat, tajam, dan terlokalisir, yang oleh
Melzack dan Dennis disebut sebagai fase fasik.
2.Serabut saraf C yang membawa nyeri tumpul, dalam, dengan lokasi
yang tidak terlokalisir dan bereaksi lama, sehingga konduksi lambat.
Serabut saraf C bersinaps pada LR I, II, dan V tetapi sebagian besar
bersinaps pada substansia gelatinosa dimana neuron keduanya akan
bergabung pada traktus paleospinotalamikus yang sebelum tiba di
talamus sebagian akan diproyeksikan ke formasio retikularis.
Informasi nyeri yang dihantarkan oleh traktus ini bersifat informatif
dari pengalaman nyeri yang bersifat tumpul, dalam, tidak terlokalisir
yang disebut fase tonik.
Pada dasarnya tiap konduksi nyeri mula‐mula akan dihantarkan oleh
saraf A delta yang konduksinya lebih cepat kemudian akan diikuti
oleh hantaran serabut C yang konduksinya lebih lambat.
3.Modulasi
Modulasi merupakan aktivitas saraf yang akan mengontrol rangsang
noksius sebelum dilanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Kemampuan sel‐sel saraf pada kornu dorsalis dari medula spinalis
akan memodulasi rangsang noksius sebelum dilanjutkan ke atas
sehingga akan memberikan perbedaan persepsi nyeri terhadap suatu
rangsang noksius yang sama. Aktivitas sel‐sel saraf inilah yang
menjelaskan mengapa seseorang dapat memiliki persepsi yang
berbeda terhadap suatu perlukaan yang sama.
Modulasi ini dapat terjadi di tingkat perifer, spinal, maupun sentral.
Modulasi nyeri merupakan keseimbangan antara rangsang eksitator
dan inhibitor yang diterima oleh masing‐masing yang kemudian akan
diteruskan ke sentral melalui sistem limbik sampai dengan korteks
serebri.
Kornu dorsalis amat kaya dengan neurotransmitter. Aktivasi dari
serabut C akan menghasilkan pelepasan dari banyak asam amino dan
peptida yang akan merangsang sel di kornu dorsalis. Substansi ini
antara lain adalah glutamat, substansi P, neurokinin, dan CGRP.
Fenomena ini dapat dicegah dengan premedikasi opioid (yang akan
menghambat input serabut C yang hendak masuk ke kornu dorsalis)
dan antagonis reseptor glutamat.
Tiga jalur yang terdapat antara struktur midbrain dan kornu dorsalis,
yang mengurus modulasi impuls nyeri yang timbul dari sistem saraf
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 7/18
perifer, yaitu:
1.Berasal dari raphe magnus
2.Berasal dari nukleus lokus seruleus di pons
3.Berasal dari nukleus Edinger Westphal.
Ketiga jalur ini turun (desenden) berakhir dan menghambat nyeri
yang direspon neuron di kornu dorsalis. Bila diaktivasi ketiga jalur ini
akan melepaskan serotonin, noreponefrin, dan kholesistokinin.
Periakuaduktal kelabu (PAG) membuat hubungan ketiga jalur ini.
PAG amat kaya dengan reseptor opiat, dan bila reseptor ini
diaktifkan maka PAG akan mengaktifkan ketiga jalur ini untuk
memodulasi nyeri yang masuk kornu dorsalis. Reseptor PAG ini dapat
diaktifkan oleh pelepasan endorfin endogen atau pemberian opioid
eksogen. Pelepasan endorfin endogen dapat dipicu oleh nyeri dan
stres.
Kornu dorsalis dari medula spinalis juga kaya akan reseptor opiat,
yang berada di lamina II dan bila dirangsang, akan menghasilkan
inhibisi/ supresi terhadap aktivitas serabut C yang masuk ke kornu
dorsalis.
Glisin, suatu inhibitor asam amino akan dilepaskan melalui aktivasi
serabut aferen besar. Serabut besar mempunyai pengaruh eksitasi
yang kuat terhadap sel substansia gelatinosa kornu dorsalis, tetapi
gagal untuk mendapatkan efek noksius karena adanya aktivasi dari
interneuron glisinergik. Fenomena ini menjadi contoh teori nyeri
“gate control”.
Aktivasi serabut besar bermielin akan menghambat aktivitas serabut
C yang masuk, karenanya ransangan TEN yang menstimulasi serabut
besar dapat memicu mekanisme pengurangan nyeri (pain relief).
Seringkali rasa nyeri dapat berkurang dengan mengusap‐usap daerah
yang sakit.
Cedera pada saraf perifer (misalnya karena trauma, postherpes, dan
diabetik neuropati) akan menyebabkan ketidakseimbangan input
neuron di medulla spinalis dan menghasilkan nyeri khronis2,3,8,9,10.
4.Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir yang berupa aktivitas saraf sensorik
yang menghasilkan persepsi nyeri yang bersifat subjektif. Nilai‐nilai
budaya, sugesti hipnotik,dan aktivitas kognitif dapat juga secara
bermakna menentukan intensitas nyeri.
Nukleus talamus medialis dan posterior menerima input dari traktus
paleospinothalamikus dan diproyeksikan pada daerah korteks
asosiasi. Sistem ini mengurus fungsi afektif pada persepsi nyeri dan
mengatur emosi atau perasaan tidak nyaman terhadap rangsang
noksius tersebut. Sistem ini juga mengaktifkan sistem limbik yang
menerangkan mengapa individu yang berbeda akan merespon
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 8/18
berbeda pada rangsang noksius yang sama. Informasi nyeri yang
datang dari talamus akan disebarkan ke otak di daerah
somatosensorik korteks serebri2,3,8,9.
Pada proses nyeri terhadap 2 sensitisasi yaitu sensitisasi perifer dan
sensitisasi sentral.
1.Sensitisasi perifer
Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya
perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak
akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat
dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin,
chemokine, dan faktor pertumbuhan. Beberapa komponen tersebut di
atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators),
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih
hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers).
Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cedera
dan merangsang reseptor purin P2x3, dan mengaktifkan nosiseptor.
Proton berikatan pada reseptor V1, dan menghasilkan nyeri beberapa
waktu setelah cedera. Prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid)
dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan
tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi tanpa langsung
menimbulkan nyeri. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi
nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2.
Produksi prostanoid pada tempat cedera merupakan komponen utama
reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari
membran fosfolipid dengan bantuan fosfolipase A2. Cyclooxygenase‐2
(COX‐2) berperan mengonversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies
prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2. Cyclooxygenase‐
2 (COX‐2) dipicu oleh interleukin 1‐IL1 dan tumor necrosis factor‐α
(TNF‐α), yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan
inflamasi, sehingga obat antiinflamasi yang selektif menghambat
COX‐2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang
berlangsung cepat. Obat demikian bisa efektif pada kondisi nyeri
kronis (misalnya: rheumatoid arthritis), dimana COX‐2 ada secara
kronik sebagai respon inflamasi yang menetap.
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi
ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf
dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi
adenil siklase oleh prostaglandin E akan meningkatkan kadar
adenosin monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A.
Protein kinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam
amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan
aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik. Berbagai komponen
yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 9/18
(prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), blokade
hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan
menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan
menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam
meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
2.Sensitisasi sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi
nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi
sentral dan perifer bertanggungjawab terhadap munculnya
hipersensitivitas nyeri setelah cedera. Sensitisasi sentral
memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik dari nosiseptor ke
neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input
nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent). Secara umum
proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali
dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion
dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi
sentral dan perifer merupakan bentuk plastisitas sistem saraf, dimana
terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan).
Pada keadaan aliran sensoris yang masif akibat kerusakan hebat
jaringan, dalam beberapa detik neuron di medula spinalis akan
menjadi hiperresponsif. Reaksi ini menyebabkan munculnya nyeri
akibat stimulus non noksious (misalnya: nyeri akibat sentuhan
ringan), dan terjadinya hiperalgesia sekunder (nyeri pada daerah
sekitar jaringan yang rusak).
Sensitisasi sentral hanya membutuhkan aktivitas nosiseptor yang
singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan
scalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat sensitisasi
nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopik spontan setelah
cedera saraf.
Sensitisasi sentral merupakan urutan kejadian di kornu dorsalis yang
diawali dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan
densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya
secara dramatis meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor
yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor NMDA.
Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami
fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat.
Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion
Mg2+ dan terjadi pembukaan saluran ion yang lebih lama.
Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di
bawah (subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang
(supratreshold). Fenomena ini menyebabkan munculnya nyeri pada
rangsang yang di bawah ambang (allodinia), dan respon nyeri
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 10/18
berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan
sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) 3,9.
4 Tatalaksana Nyeri Inflamasi Akut
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah
NSAID, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika
adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi
yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat
menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir
efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien
kurang dapat mentolerir efek samping obat. Prinsip pengobatan nyeri
akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7‐10) yaitu
pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis
optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat
dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada
nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah
mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali.
Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan
nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder.
Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi
dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi
akut akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi,
seperti: bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin,
dan sebagainya yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi
nosiseptor secara langsung atau tidak langsung.3,6,7 Sebagian dari
mediator inflamasi tersebut dapat langsung mengaktivasi nosiseptor
dan sebagian lainnya menyebabkan sensitisasi nosiseptor yang
menyebabkan hiperalgesia.
Mekanisme nyeri akut diawali oleh transduksi yang mengubah sinyal‐
sinyal noksious kimiawi menjadi potensial aksi. Potensial aksi terjadi
oleh karena depolarisasi membran sebagai akibat pembukaan saluran
natrium. Obat‐obat yang menstabilkan membran (misalnya: anestesi
lokal) dapat menghambat pembentukan potensial aksi dari
nosiseptor. Obat‐obat antiinflamasi nonsteroid mencegah transduksi
dengan menghambat berbagai mediator inflamasi.
DAFTAR PUSTAKA
1.J.P. Des borough. The Response Stress to Trauma and Surgery.
Advanced search. http. BJA. com. British Journal of Anesthesia.
Accessed March 22, 2010.
2.Morgan, EG., Mikhail, MS., Murray, MJ., Clinical Anesthesiology.
4th edition. Mc Graw‐Hill Companies, Inc. 2006; 400.
3.Stoelting, R.K., Miller,. Basics of Anesthesia 5th ed. Churchill
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 11/18
Livingstone Elsevier, Philadelphia. 2007; 639.
4.Kaplan, Reich, lake Konstadt. Kaplan’s Cardiac Anesthesia.
Elsevier, Phladelphia. 2006; 84‐5.
5.Bradikardia. www.wrongdiagnosis.com/b/bradycardia. Accessed
December 10, 2009.
6.IASP. Pain 2002‐An updated review.Refresher course syllabus. San
Diego,IASP Press. 2002: 205‐215.
7.The American Pain Society. Pain: Current undestanding of
Assesment, Management, and Treatments. American Pain Society.
2006.
8.Bagianto, Hari. Pengaruh Defisiensi Seng terhadap Respon Nyeri
(Pendekatan Molekuler pada Penelitian menggunakan Tikus Sprague
Dawley). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Surabaya, 2005.
9.Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain.
Bagian IP Saraf FK UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta SMF Saraf RS
Bethesda Yogyakarta. Advanced Search: http://www.dexa‐
Medica.com/images/publication_upload. April 9th, 2010.
10.Rehatta M, Sulystiono H. Nyeri Kanker. Anestesiologi Indonesia.
Volume: 1, Nomor 2, Agustus 2000. Bagian Anestesiologi FKUI/ RSCM.
Jakarta; 2000.
11.American Heart Association (AHA). Circulation. Management of
Symptomatic Bradycardia and Tachycardia. Journal of The American
Heart Association. Volume 112, issue 24 supplement. Dallas;
Desember 13th, 2005.
12.Demetriades D, et al. Relative bradycardia in patients with
traumatic hypotension. Department of Surgery, University of Southern
California, Los Angeles 90033, USA. http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
1998. Accessed April 9th, 2010.
13.Thompson D, Adams SL, Barrett J. Relative bradycardia in patients
with isolated penetrating abdominal trauma and isolated extremity
trauma. Section of Emergency Medicine. 1990 Mar;19(3):268‐75
14.Thomas. Lesson of the week: Bradycardia in acute haemorrhage.
BMJ Publishing Group Ltd. 2004.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles. April 9, 2010.
DIPOSKAN OLEH DR REDHY S INDHARTA DI 01.25 TIDAK ADA KOMENTAR:
K A M I S , 2 2 A P R I L 2 0 1 0
Bradikardia adalah HR kurang dari 60 kali/ menit
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 12/18
Bradikardia
tidak
jarang
ditemukan
pada
pemeriksaan fisik
rutin2,5.
Bradikardia dapat
secara normal
terjadi pada
dewasa, atlit yang
terlatih, dan pasien
geriatrik ataupun
saat kita tidur.
Bradikardia juga
merupakan respon
normal akibat
stimulasi vagal
akibat batuk,
muntah, atau
mengejan selama
defekasi. Ketika
bradikardia
disebabkan
oleh hal‐hal
tersebut,
HR jarang
menurun
hingga di
bawah 40
kali/menit.
Akan
tetapi,
apabila
disebabkan
oleh
penyebab
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 13/18
patologis (misalnya gangguan
jantung) maka HR dapat menjadi
lebih lambat5.
Bradikardia sendiri bukan
merupakan tanda yang spesifik.
Akan tetapi apabila disertai
dengan gejala misalnya nyeri
dada, sinkop, sesak, dan
penurunan kesadaran maka
bradikardia dapat menandakan
suatu penyakit yang mengancam
nyawa5.
Setelah mendeteksi bradikardia,
periksalah tanda‐tanda yang
relevan dari penyakit yang
mengancam nyawa. Jika
bradikardia tidak disertai dengan
tanda‐tanda tersebut, tanyakan
pada keluarga apakah pasien
memiliki riwayat bradikardia
karena bradikardia ini mungkin
diturunkan. Tanyakan juga
tentang penyakit metabolisme
misalnya hipotiroid yang dapat
menyebabkan bradikardia5.
Bradikardia ini dapat disebabkan
oleh beberapa sebab, yang
dapat dibagi menjadi 2
kelompok besar, yaitu:
1.Penyebab non‐kardiak
Penyebab non‐kardiak sebagian
besar merupakan akibat
sekunder dari sebab lain,
misalnya penggunaan obat‐
obatan, gangguan metabolik atau endokrin (terutama tiroid),
ketidakseimbangan elektrolit, faktor neurologis, refleks autonom,
faktor situasional, dan autoimunitas.
2.Penyebab kardiak
Penyebab kardiak termasuk penyakit jantung iskemik akut maupun
khronis, penyakit jantung vaskular, penyakit jantung katub, atau
penyakit konduksi jantung4,5.
Secara garis besar, penyebab kardiak ini terbagi menjadi 3 macam
yaitu:
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 14/18
1.Automatisitas yang terdepresi
2.Blok konduksi
3.Irama ektopik
Akronim VINDICATE bisa digunakan untuk mengevaluasi penyebab
bradikardia, yaitu:
1.V—Penyakit Vaskular
Penyakit vaskular yaitu infark myokardial terutama dinding inferior
dan anteroseptal. Arteriosklerosis juga menyebabkan iskemia pada
sistem konduksi saraf.
Sinus bradikardia merupakan aritmia yang paling sering terjadi pada
pasien infark miokard. Tanda dan keluhan lain yang menyertai infark
miokard adalah rasa nyeri pada dada yang menjalar ke rahang, bahu,
lengan, punggung, atau epigastrium, mual dan muntah; kulit dingin,
basah, pucat; kegelisahan, dan dispneu. Tekanan darah dapat
meningkat atau menurun. Pemeriksaan auskultasi mungkin
menghasilkan suara jantung abnormal.
2.I—Penyakit Inflamasi
Penyakit inflamasi yaitu misalnya meningitis, abses serebral,
penyakit myokarditis viral, dan diphteria.
3.N—Penyakit Neurologis
yaitu dalam hal ini adalah semua penyebab yang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial (TIK), misalnya subarachnoid hemorrhage (SAH)
dan tumor serebral.
Bradikardia terjadi sebagai tanda lambat dari peningkatan TIK selain
dengan peningkatan laju nafas (respiratory rate,/RR), peningkatan
tekanan sistolik, penurunan tekanan diastolik, dan pelebaran tekanan
nadi. Tanda lain yang berhubungan termasuk nyeri kepala yang
persisten, muntah yang proyektil, penurunan kesadaran, dan pupil
yang dapat terfiksasi, anisokor.
4.D—Penyakit Degeneratif atau Defisiensi, misalnya beriberi.
5.I—Intoksikasi, akibat myokardiomyopati alkoholik, digitalis,
propranolol. Hipokalemia akibat diuretik khlorotiazid dan
hiperkalemia akibat spironolakton.
6.C—Penyakit Kongenital, misalnya penyakit jantung bawaan.
7.A—Penyakit Autoimun, yaitu berbagai penyakit autoimun yang
dapat menyebabkan bradikardia atau blokade jantung, misalnya
lupus erythematosus, dan demam rematik4,5.
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 15/18
8.T—Trauma.
Terjadinya irama bradiasistol pada pasien trauma seringkali
disebabkan adanya hipovolemia berat, hipoksemia berat, atau
kegagalan sistem kardiovaskular dan respirasi11.
8.1 Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) akibat trauma kepala.
Nyeri kepala persisten bila disertai bradikardia pada pasien trauma
kepala bisa menunjukkan adanya kenaikan TIK akibat lesi massa yang
menyebabkan pendesakan. Lesi masa tersebut dapat disebabkan oleh
perdarahan intrakranial akibat trauma kepala. Gejala dan tanda yang
lain dapat berupa hipertensi, tekanan nadi yang melebar, muntah
proyektil, pupil anisokor dan terfiksasi, dan penurunan kesadaran5.
8.2 Trauma Medulla Spinal Servikalis
Bradikardia dapat terjadi secara cepat maupun beberapa saat setelah
cedera spinal servikalis bergantung pada beratnya trauma. Onset
bradikardia ini bersamaan dengan denervasi simpatis. Tanda‐tanda
lain yang menyertai dapat berupa hipotensi, penurunan suhu badan,
peristaltik yang melambat, paralisis kaki, dan paralisis otot‐otot
respirasi.
Respon yang segera terjadi setelah kompresi medulla spinalis adalah
stimulasi simpatis masif dan aktivitas refleks parasimpatis yang mana
terjadi dalam 3‐4 menit dan ini dimediasi oleh reseptor adrenergik
alfa. Efek hemodinamik yang terjadi adalah hipertensi berat dan
refleks bradikardia atau takiaritmia. Setelah respon awal ini,
hilangnya fungsi neurologis di bawah medula spinalis yang mengalami
trauma menyebabkan hal yang disebut syok spinal. Terjadi paralisis
flasid otot‐otot rangka, arefleksia, hilangnya tonus simpatis
(hipotensi dan bradikardia pada trauma thoraks tinggi atau cervikal,
meningkatnya kapasitansi vaskular), poikilotermia dan flasiditas
traktus gastrointestinal dan kandung kemih sehingga terjadi ileus
generalisata dan retensi urine5.
8.3 Tanda kardiovaskular bifasik pada pasien perdarahan akut.
Evidensi eksperimental dan observasi klinis membuktikan bahwa
apabila tanpa resusitasi maka respon HR terhadap berkurangnya
volume darah sirkulasi adalah bifasik. Pada fase pertama,
baroreseptor memediasi refleks vasokonstriksi dan akselerasi jantung
akan memelihara tekanan arterial meskipun terjadi penurunan CO.
Oleh karena itu fase ini ditandai dengan takikardia dan normotensi.
Fase yang kedua adalah ketika terjadi sekitar sepertiga volume darah
sirkulasi. Sistem simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan cardiac
drive mendadak hilang, dan pengaruh vagal terhadap jantung
meningkat. Hal ini secara simultan akan menurunkan MAO dan HR.
Pada hipovolemia berat tersebut, bradikardi terjadi pada fase kedua
respon kardiovaskular terhadap perdarahan akut agar terjadi waktu
yang lebih lama untuk pengisian ventrikel sehingga meningkatkan
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 16/18
stroke volume. Bradikardia ini mungkin dihasilkan dari aktivasi vagal
sebagai refleks reseptor mekanik pada dinding ventrikel kiri.
Pengenalan dini reaksi cardioinhibisi‐vasodepresor terhadap
berkurangnya volume sirkulasi ini sangatlah penting karena
terjadinya bradikardia dan hipotensi dapat menandakan akan
terjadinya kolaps sirkulasi14,12,13.
9.E‐Penyakit Endokrin, misalnya penyakit hipotiroid, penyakit
Addison (hiperkalemia), aldosteronism (hipokalemia), dan
hiperparatiroidis (hiperkalsemia).
Hipotiroid menyebabkan bradikardia selain kelelahan, konstipasi,
penambahan berat badan yang tidak wajar, dan sensitif terhadap
dingin. Tanda lain yang berhubungan meliputi kulit yang yang dingin
dan kering, rambut kepala yang kering, pembengkakan wajah,
edema periorbital, konfusi hingga stupor.
‐‐**‐‐
Sumber Pustaka
1.J.P. Des borough. The Response Stress to Trauma and Surgery.
Advanced search. http. BJA. com. British Journal of Anesthesia.
Accessed March 22, 2010.
2.Morgan, EG., Mikhail, MS., Murray, MJ., Clinical Anesthesiology.
4th edition. Mc Graw‐Hill Companies, Inc. 2006; 400.
3.Stoelting, R.K., Miller,. Basics of Anesthesia 5th ed. Churchill
Livingstone Elsevier, Philadelphia. 2007; 639.
4.Kaplan, Reich, lake Konstadt. Kaplan’s Cardiac Anesthesia.
Elsevier, Phladelphia. 2006; 84‐5.
5.Bradikardia. www.wrongdiagnosis.com/b/bradycardia. Accessed
December 10, 2009.
DIPOSKAN OLEH DR REDHY S INDHARTA DI 23.43 TIDAK ADA KOMENTAR:
S E N I N , 1 2 A P R I L 2 0 1 0
CARDIOVASCULAR SYSTEM part 1: REGULATIONOF HEART RATE
Denyut
jantung
(heart rate/
HR)
merupakan
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 17/18
salah satu
penentu
utama
dalam
semua
fungsi
jantung.
Cardiac
Output
(CO)
secara
umum
ditentukan
oleh denyut
jantung
(heart rate/
HR) secara
proporsional.
HR merupakan fungsi intrinsik SA (sinoatrial) node (depolarisasi
spontan) tetapi dipengaruhi oleh faktor konduksi jantung, autonomik,
sistem saraf pusat, dan humoral yang berespon terhadap kondisi
internal dan eksternal.
Mekanisme neural bekerja mengontrol HR alamiah pada jantung
dengan mengubah kecepatan konduksi pada AV (atrioventricular)
node. Sinyal dari reseptor autonom di sirkulasi ditransmisikan ke
batang otak yang akan menentukan apakah akan ditingkatkan HR
melalui sistem simpatis atau diturunkannya HR melalui sistem vagal.
HR normal dikontrol terutama oleh tonus vagal.
Denyut intrinsik normal dari SA node pada dewasa muda adalah 90
100 kali/ menit, tetapi akan berkurang sesuai dengan umur menurut
5/10/2015 All About Anesthesia
http://allaboutanaesthesia.blogspot.com/ 18/18
Posting Lama
rumus:
HR intrinsik normal adalah= 118 – ( 0,57x Umur)
Aktivitas vagal yang meningkat akan memperlambat HR melalui stimulasireseptor kolinergik M2, sedangkan peningkatan aktivitas simpatis akanmeningkatkan HR melalui aktivasi simpatis melalui reseptor beta1 danterutama reseptor beta2.
DIPOSKAN OLEH DR REDHY S INDHARTA DI 06.40 TIDAK ADA KOMENTAR:
Beranda
Langganan: Entri (Atom)