bab 2 tinjauan pustaka 2.1 konsep penyakit paru obstruktif ...eprints.umbjm.ac.id/70/4/4. bab 2...
TRANSCRIPT
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2.1.1 Definisi PPOK
PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk
produktif dan dispnea dan terjadinya obstruksi saluran napas
sekalipun penyakit ini bersifat kronik dan merupakan gabungan dari
emfisema, bronkiolitis kronik maupun asma, tetapi dalam keadaan
tertentu terjadi perburukan dari fungsi pernapasan. Dalam beberapa
keadaan perburukan dari PPOK ini dapat menyebabkan terjadinya
kegagalan pernapasan, oleh karena itu istilah yang sering digunakan
adalah Acute on Chronic Respiratory Failure (ACRF), (Rab, 2010).
Penyakit paru obstruktif kronik/PPOK (Chronic Obstructive
Pulmonary Disease/COPD) mengarah pada sekelompok penyakit
paru yang menyebabkan hambatan pada saluran napas sehingga
membuat penderita menjadi sulit bernapas. Dua penyakit yang paling
sering pada PPOK adalah emfisema dan bronkitis kronis. PPOK
terdiri atas bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronis adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-
kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya. Emfisema adalah kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli. PPOK merupakan salah satu gangguan
pernapasan yang akan semakin sering dijumpai dimasa mendatang di
Indonesia, bertambahnya jumlah perokok dan bertambahnya polusi
udara (Abata, 2014).
10
Menurut Kamuskesehatan. Com, PPOK merupakan penyebab utama
kematian diseluruh dunia. Kebanyakan PPOK disebabkan oleh
perokok dalam jangka panjang dan dapat dicegah dengan tidak
merokok. Kerusakan paru-paru ini tidak dapat disembuhkan,
sehingga pengobatan terfokus pada pengendalian gejala dan
meminimalkan kerusakan lebih lanjut. Keterbatasan aliran udara
hanya sedikit dapat dibantu dengan bronkodilator. Namun, hal yang
teramat penting dalam penanganan PPOK adalah deteksi dini dan
pencegahan. Menghindari faktor-faktor pencetus PPOK seperti
rokok dan zat-zat pencemar lebih penting dan harus dilakukan sejak
awal (http://kamuskesehatan.Com, dalam Abata, 2014).
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah istilah umum yang
digunakan untuk menggambarkan kondisi obstruksi ireversibel
progresif aliran udara ekspirasi. Individu dengan PPOK mengalami
kesulitan bernafas, batuk produktif, dan intoleransi aktivitas.
Kelainan utama yang tampak pada individu dengan PPOK adalah
bronkhitis, emfisema dan asma. Terdapat suatu hubungan etiologis
dan sekuensial antara bronkhitis kronis dengan emfisema.
Gejala dan tanda PPOK diantaranya adalah sesak napas, batuk
kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/partikel
berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Indikator
diagnosis PPOK adalah penderita diatas usia 40 tahun, dengan sesak
napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten, batuk
kronik, produksi sputum kronik, riwayat pajanan rokok, asap atau
gas berbahaya didalam lingkungan kerja atau rumah.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang
ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara kronis dan
perubahan patologis pada paru-paru, beberapa memiliki efek ekstra
11
pulmonal. Ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang ridak
sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru
terhadap partikel berbahaya atau gas. Faktor risiko yaitu perokok
aktif atau pasif, tingggal didaerah berpolusi, lingkungan kerja
(industri kapas, pertambangan batu bara, pertambangan emas), dan
defisiensi a1 antitripsin, (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia, 2015).
Ainun arkana dalam blog-nya melansir bahwa WHO melaporkan
rokok adalah penyebab utama PPOK pada penduduk di negara-
negara berpenghasilan tinggi atau menengah. Sementara di negara-
negara berpenghasilan rendah, PPOK bersumber dari pencemaran
udara dalam rumah seperti penggunaan bahan bakar yang dihasilkan
dari proses biologi (biomass fuels) untuk memasak.
Diseluruh dunia, hampir tiga miliar orang menggunakan bahan bakar
jenis ini selain arang sebagai sumber energi utama untuk memasak,
memanggang dan kebutuhan rumah yang lain. WHO melaporkan
dalam kelompok ini, pencemaran di dalam rumah adalah pencetus
utama PPOK dibandingkan rokok. Selain itu, PPOK juga dapat
terjadi karena pada paparan kimia dan frekuensi terserang masalah
pernapasan ketika usia kanak-kanak. Diet dan faktor genetik juga
berpotensi memicu COPD. Menurut penelitian Departemen di
Indonesia, diperkirakan ada jutaan pasien PPOK. Jika tidak segera
diambil langkah untuk mendeteksi, mencegah, dan merawatnya, ia
akan menjadi penyebab utama kematian di negara ini, sekitar 30%
penderita PPOK dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam
waktu sekitar 1 tahun, dan 95% meninggal dalam waktu 10 tahun.
Kematian bisa disebabkan oleh gegagalan pernapasan, pneumonia,
pneumotoraks (masuknya udara ke dalam rongga paru), aritmia
12
jantung atau emboli paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-
paru). Penderita PPOK juga berisiko tinggi untuk terjadinya kanker
paru.
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is the third leading
cause of death worldwide. It is an inflammatory condition caused by
an abnormal response to particles and noxious gases, mainly
cigarette smoke, in patients with a susceptible genetic background.
Episodes of worsening respiratory symptoms are termed acute
exacerbations of COPD. These events are a leading cause of
hospital admissions, and are associated with impaired quality of life,
large healthcare costs, faster lung function decline and higher
mortality. Respiratory infections, such as bacteria, viruses or co-
infection with both, have been shown to be an important feature of
COPD exacerbation onset, with viruses being detected in two-thirds
of exacerbations.
Some COPD patients are especially prone to developing
exacerbations and the mechanisms underlying this susceptibility are
still unknown. (Sıˆobha´n N. George, Davinder S. Garcha, Alexander
J. Mackay, Anant R.C. Patel, Richa Singh, Raymond J. Sapsford,
Gavin C. Donaldson and Jadwiga A. Wedzicha, 2014).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah tiga penyebab utama
kematian diseluruh dunia. Ini adalah kondisi peradangan yang
disebabkan oleh respon abnormal untuk partikel dan gas beracun,
terutama asap rokok, pada pasien dengan latar belakang genetik
rentan.
13
Episode memburukknya gejala pernapasan disebut akut yang
mengalami eksaserbasi PPOK. Peristiwa ini adalah penyebab utama
dari penerimaan pasien ke rumah sakit, dan terkait dengan gangguan
kualitas hidup, biaya kesehatan besar, penurunan fungsi paru-paru
cepat dan angka mortalitas yang lebih tinggi. Infeksi pernapasan,
seperti bakteri, virus, atau infeksi bersama dengan keduanya, telah
ditunjukkan untuk menjadi fitur penting onset eksaserbasi PPOK,
dengan virus yang terdeteksi dalam dua-pertiga yang mengalami
eksaserbasi.
Beberapa pasien PPOK sangat rentan terhadap pengembangan yang
mengalami eksaserbasi dan mekanisme yang mendasari kerentanan
ini yang masih tidak diketahui. (Sıˆobha´n N. George, Davinder S.
Garcha, Alexander J. Mackay, Anant R.C. Patel, Richa Singh,
Raymond J. Sapsford, Gavin C. Donaldson and Jadwiga A.
Wedzicha, 2014).
Jika anda kelihatannya sering batuk-batuk tetapi tidak merasa sakit
dan tidak merokok, jangan menganggapnya itu sekedar kebiasaan
yang menjengkelkan. Batuk terus-menerus adalah reaksi yang umum
terdapat zat penghambat ACE (enzim pengubah angiotensin), sejenis
obat tekanan darah. Dan batuk terus-menerus juga bisa menjadi
tanda adanya postnasal drip (pengeluaran lendir dari bagian belakang
hidung), alergi, asma, atau GERD. Yang lebih penting, itu bisa
menandakan adanya chronic obstructive pulmonary disease
(COPD), sebuah gangguan paru-paru yang melemahkan dan
berpotensi mematikan dimana aliran udara ke dan dari paru-paru
terganggu.
14
Walaupun COPD tidak bisa disembuhkan, pengobatan yang
dilakukan mungkin membantu meredakan beberapa gejala lainnya,
mencegah komplikasi, dan memperpanjang usia.
Penyakit yang termasuk ke dalam kelompok paru obstruktif kronik
(PPOK) adalah sebagai berikut (Halim, 2008) :
2.1.1.1 Bronkhitis Kronik
Bronkhitis Kronik kerupakan definisi klinis batuk-batuk
hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling
sedikit selama dua tahun berturut-turut.
2.1.1.2 Emfisema Paru
Emfisema Paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu
suatau perubahan anatomik paru yang ditandai dengan
melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal
bronkus terminalis yang disertai kerusakan dinding
alveolus.
2.1.1.3 Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh
hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap
berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi
sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periode
dan reversible akibat bronkospasme.
2.1.1.4 Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik
yang mungkin disebabkan berbagai kondisi, termasuk
infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing,
muntahan atau benda-benda dari saluran pernapasan atas,
dan tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang
berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.
15
2.1.2 Epidemiologi
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan
bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. WHO
memperkirakan pada tahun 2020 prevalensi PPOK akan terus
meningkat dari urutan 6 menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dari
peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3 penyebab kematian tersering.
Prevalensi PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi
ini juga lebih tinggi pada pria dari pada wanita. Namun demikian
terdapat kecenderungan meningkatnya prevalensi PPOK pada
wanita, terkait dengan gaya hidup wanita yang merokok. Prevalensi
PPOK lebih tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan
gaya hidup, yang menunjukkan bahwa rokok merupakan faktor
risiko utama. Kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia
di bawah 45 tahun, dan meningkat dengan pertambahannya usia
(Ikawati, 2016).
2.1.3 Klasifikasi PPOK
Untuk membedakan keparahan penyakit PPOK, dapat didasarkan
pada hasil uji spirometri yang menunjukkan tingkat keparahan
obstruksinya. Menurut GOLD 2015, terdapat 4 tingkatan
berdasarkan hasil FEV1 pasca bronkodilatasi, yaitu Gold 1, Gold 2,
Gold 3, Gold 4, seperti tersaji pada table. Uji spirometri sebaiknya
dilakukan pada saat pasien dalam kondisi stabil dan bebas infeksi.
Pasien tidak boleh menggunakan bronkodilator aksi pendek dalam
waktu 6 jam sebelum tes dilakukan, uji β-agonisaksi panjang 12 jam
sebelum tes, atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum tes dilakukan.
FEV1 harus diukur sebelum pemberian inhalasi bronkodilator
(misalnya dengan 400 µg β-agonis atau 80 µg antikolinergik, atau
kombinasi keduanya). FEV1 diukur lagi 30-45 menit setelah
pemberian bronkodilator. Peningkatan FEV1 lebih besar dari 200 ml
atau 12% dianggap signifikan. Klasifikasi keparahan keterbatasan
16
aliran udara pada pasien PPOK berdasarkan nilai FEV1 post
bronkodilator (GOLD, 2015) :
Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK
Tingkat Interpretasi Nila FEV1denganGejala
GOLD I Ringan FEV1 ≥ 80%
GOLD II Sedang 50% <FEV1 < 80%
GOLD III Berat 30% <FEV1< 50%
GOLD IV SangatBerat FEV1< 30%
(Ikawati, 2016).
2.1.4 Etiologi
Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang
dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host.
2.1.4.1 Faktor paparan lingkungan
a. Merokok
Merokok merupakan penyabab utama terjadinya PPOK,
dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding
dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok
akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait
dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai
merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK
berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita
PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10% orang yang
tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok
pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok)
juga berisiko menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas
dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang
17
terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih
besar dari pada yang bekerja di tempat selain yang
disebutkan di atas.
c. Polusi udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin
memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi
ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, dll, maupun polusi dari dalam
rumah misalnya asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan secara kronis
merupakan suatu pemicu inflamasi neutrofilik pada
saluran napas, terlepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian
inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah
sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan
percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini
meningkatkan risiko kejadian PPOK.
2.1.4.2 Faktor risiko yang berasal dari host/pasien
a. Usia
Semakin bertambahnya usia, makin besar risiko
menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK
sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita
gangguan genetik berupa defisiensi a1-antitripsin.
Namun kejadian ini hanya dialami < 1% pasien PPOK.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK dari pada wanita,
mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria.
Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi
PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
18
yang merokok. Selain itu, ada fenomena menarik bahwa
wanita ternyata lebih rentan terhadap bahaya merokok
dari pada pria. Bukti-bukti klinis menunjukkan bahwa
wanita dapat mengalami penurunan fungsi paru yang
lebih besar dari pada pria dengan status merokok yang
relatif sama. Wanita juga akan mengalami PPOK yang
lebih parah dari pada pria. Hal ini diduga karena ukuran
paru-paru wanita umumnya relatif lebih kecil dari pada
pria, sehingga dengan paparan rokok yang sama
presentase paru yang terpapar pada wanita lebih besar
dari pada pria.
c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor
risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi
immunoglobulinA (IgA/hyhogammaglobulin) atau infeksi
pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis.
Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami
penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan
waktu dari pada yang fungsi parunya normal, sehingga
lebih berisiko terhadap berkembanya PPOK. Termasuk
di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia
memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
d. Predisposisi genetik
Predisposisi genetik yaitu defisiensi a1-antitripsin
(AAT), defisiensi ATT ini terutama dikaitkan dengan
kejadian emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya
elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif
karena adanya ketidakseimbangan antara enzim
proteolitik dan faktor protektif. Makrofag dan neutrofil
melepaskan enzim lisosom yaitu elastase yang dapat
19
merusak jaringan di paru. Pada keadaan normal faktor
protektif ATT menghambat enzim proteolitik sehingga
mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan ATT
menyebabkan berkurangnya faktor proteksi terhadap
kerusakan paru.
ATT diproduksi oleh gen inhibitor protease (M). Satu
dari 2500 orang adalah homozigot untuk gene resesif (Z),
yang menyebabkan kadar ATT dalam darah rendah dan
berakibat emfisema yang timbul lebih cepat. Orang yang
heterozigot (mempunyai gen MZ) juga berisiko
menderita emfisema, yang makin meningkat
kemungkinannya dengan merokok karena asap rokok
juga dapat menginaktivasi ATT. Wanita mempunyai
kemungkinan perlindungan oleh esterogen yang akan
menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti ATT.
Karenanya, faktor risiko pada wanita lebih rendah dari
pada pria (Ikawati, 2016).
2.1.5 Patofisiologi
Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang
beragam bergantung pada penyakit. Pada bronchitis kronisdan
bronchiolitis, terjadi penumpukan lender dan sekresi yang sangat
banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi
pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara
dalam paru. Protocol pengobatan tertentu digunakan dalam semua
kelainan ini, meski patofisiologi dari masing-masing kelainan ini
membutuhkan pendekatan spesifik.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetic dengan lingkungan, merokok, polusi udara, dan
20
paparan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, dan padi-padian)
merupakan factor resiko penting yang menunjang terjadinya
penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30
tahun. PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak
mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran
jaringan paru oleh enzim tertentu.
PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang
membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukkan awitan
(onset) gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering
menjadi simtomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya
meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek
fungsi paru tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi
paksa (FEV) menurun sejalan dengan peningkatan usia, PPOK dapat
memperburuk perubahan fisiologi yang berkaitan dengan penuaan
dan mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronchitis
serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas) paru misalnya
pada emfisema. Oleh karena itu, terdapat perubahan tambahan dalam
rasio ventilasi perfusi pada klien lansia dengan PPOK (Muttaqin,
2014).
21
Skema 2.1 Pathway PPOK
Bronkhitis kronik Emfisema Asma bronkhial
Penumpukan lendir
dan sekresi yang
sangat menyumbat
jalan napas
Obstruksi pada pertukaran
oksigen dan karbon dioksida
terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli
Jalan napas bronkhial menyempit
dan membatasi jumlah udara yang
mengalir ke dalam paru-paru
Gangguan pergerakan udara
dari dan keluar paru
Penurunan kemampuan
batuk efektif Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan
penggunaan otot bantu pernapasan
Ketidakefektifan bersihan jalan napas,
risiko tinggi infeksi pernapasan Respons sistemis dan
psikologis
Peningkatan kerja pernapasan
hipoksemia secara reversibel
Keluhan sistemis, mual,
intake nutrisi tidak adukuat,
malaise, kelemahan, dan
keletihan fisik
Keluhan psikososial,
kecemasan, ketidaktahuan
akan prognosis
Gangguan
pertukaran gas
Perubahan pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan,
gangguan pemenuhan ADL
Kecemasan,
ketidaktahuan/pemenuhan
informasi
Risiko tinggi gagal napas Kematian
22
2.1.6 Manifestasi Klinis
Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala
meliputi batuk kronis, produksi sputum, dispnea, dan riwayat
paparan suatu factor risiko. Selain itu, adanya obstruksi saluran
pernapasan juga harus dikonfirmasi dengan spirometri, dimana
angka FEV1/FVC pasca bronkodilator< 0,70 menunjukkan adanya
keterbatasan aliran udara persisten yang menjadi cirri dari PPOK.
Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK adalah
sebagai berikut :
2.1.6.1 Batuk kronik : terjadi berselang atau setiap hari, dan sering
kali terjadi sepanjang hari (tidak seperti asma yang terdapat
gejala batuk malam hari).
2.1.6.2 Produksi sputum secara kronik : semua pola produksi
sputum dapat mengindikasikan adanya PPOK.
2.1.6.3 Bronchitis akut : terjadi secara berulang.
2.1.6.4 Sesak napas (dispnea) : bersifat progresif sepanjang waktu,
terjadi setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan
memburuk jika terkena infeksi pernapasan.
2.1.6.5 Riwayat paparan terhadap factor risiko : merokok, partikel,
dan senyawa kimia, asap dapur.
Adanya gejala klinik PPOK adalah sebagai berikut :
a. “Smoker’s cough”, biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang
dingin, kemudian berkembang dalam sepanjang tahun.
b. Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna
kuning, hijau, atau kekuningan bila terjadi infeksi.
c. Dispnea, terjadi kesulitan ekspirasi pada saluran pernapasan.
d. Gejala ini mengkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian
sesak napas menjadi semakin nyata yang membuat pasien
mencari bantuan medic.
Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah :
a. Peningkatan volume sputum
23
b. Perburukan pernapasan secara akut
c. Dada terasa berat(chest tighness)
d. Peningkatan purulensi sputum
e. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
f. Lelah, lesu
g. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-
engah)
Pada gejala berat, dapat terjadi :
a. Cyanosis, terjadi kegagalan respirasi
b. Gagal jantung dan oedema perifer
c. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah
yang memerah yang disebabkan polycythemia (erythocytosis,
jumlah erythrosit yang meningkat), hal ini merupakan respon
fisiologis normal karena kapasitas pengangkutan O2 yang
berlebih (Ikawati, 2016).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi dari PPOK menurut (Somantri, 2009), yaitu :
2.1.7.1 Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PO2<55
mmHg, dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya
pasien mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi,
dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
2.1.7.2 Asidosis Respiratori
Asidosis Respiratory timbul akibat dari peningkatan PCO2
(hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala,
fatigue, latergi, dizzines, dan takipnea.
2.1.7.3 Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan
produksi mukus, dan rangsang otot polos bronkial, serta
edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
24
menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya
dispnea.
2.1.7.4 Gagal Jantung
Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat
penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien
dispnea berat. Komplikasi ini sering berhubungan dengan
bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga
mengalami masalah ini.
2.1.7.5 Kardiak Disritmia
Kardiak disritmia timbul karena dari hipoksemia, penyakit
jantung lain, efek obat atau terjadinya asidosis respiratori.
2.1.7.6 Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan
asma bronkial. Penyakit ini sangat berat, potensial
mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespon
terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada
klien dengan asma.
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
2.1.8.1 Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada paru-paru tergantung pada
penyebab dari PPOK. pada emfisema maka gambaran yang
paling dominan adalah radiolusen paru yang bertambah,
sedangkan gambaran pembuluh darah paru mengalami
penipisan atau menghilang. Selain itu dapat juga ditemukan
pendataran diafragma dan pembesaran rongga retrosternal.
Pada bronkitis kronik tampak adanya penambahan
bronkovaskular dan pelebaran dari arteri pulmonalis,
disamping itu ukuran jantung juga mengalami pembesaran.
Dengan pemeriksaan fluroskopi dapat dinilai kecepatan
25
aliran udara pada waktu ekspirasi. Infeksi pada bronkiolus
ditandai dengan adanya bercak-bercak pada bagian tengah
paru. Bila terdapat emfisema sentriobular, maka dapat
ditemukan adanya gambaran yang disebut dengan “leave on
a winter tree” sebagai tanda adanya bronkiektasis dan
gambaran ini akan semakin jelas bila dilakukan
pemeriksaan bronkografi.
2.1.8.2 Tes Faal Paru
FEV1 dan FVC mengalami penurunan. Penyempitan dari
lumen bronkus dapat dari penurunan FEV1/FVC ini.
Pemberian beta -2 agonis hanya dapat meningkatkan
perbandingan FEV1 dan FVC ini menjadi kurang dari 20%.
Pada emfisema TLC akan mengalami peningkatan, dimana
dapat ditentukan dengan pletismografi. Akan tetapi angka
dengan pletismografi lebih tinggi dibandingkan dengan
teknik napas tunggal. Dengan menggunakan helium dilusi
dapat menunjukkan adanya suatu obstruksi dimana pada
inspirasi dari helium tidak dapat sempurna.
Pada fase permulaan PPOK justru terjadi kenaikan PaCO2,
tetapi pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan. Sebagai
akibat dari hipoksemia ini dapat terjadi :
a. Hipoksia pada jaringan tubuh pada umumnya.
b. Hipoksia pada miokardia, sehingga dapat menimbulkan
dekompensasi dan kongesti (pembendungan).
c. Hipoksia pada paru dapat menimbulkan hipertensi
pulmonal dan pulmonale.
d. Hiperkapnia dapat disebabkan oleh 2 tipe, yakni Pink
puffer atau tipe A dan blue blotter atau tipe B. Pada tipe
A ditandai dengan sesak napas (dispne) yang terus
menerus, terutama pada waktu gerak badan, sedangkan
pada tipe B dispne terjadi secara episodik.
26
2.1.8.3 Pemeriksaan Elektrokardiografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya kor
pulmonale dan hipertensi pulmonale. Berbagai faktor yang
berhubungan dengan terjadinya hipertrofi pada ventrikel
kanan dinyatakan sebagai berikut (Rab, 2010) :
a. Right axis deviation (pada umumnya)
b. Jantung mengalami pemutaran ke arah kanan dan
terdorong ke arah inferior dan anterior
c. Tinggi 0,44 sec R pada V3R atau V1
d. Perbandingan R/S pada V1R 1, sedangkan pada V6 1
e. RsR atau rSR’ pada V3 dengan R 5 mm atau S
f. RAD dengan sV1 yang dangkal atau rSR1 dan
penonjolan pada SV5-6 (menunjukkan permulaan RVH)
g. S1S2 dan S3 syndrome
h. R dalam aVR 5 mm
i. Terdapat RBBB dengan RAD tanpa blok QRS atau
R’V1 15 mm.
2.1.8.4 Pemeriksaan Bronkoskopi
Dapat ditemukan adanya obstruksi dan kolaps pada alveoli
dan kadang-kadang dapat meliputi bronkus yang besar.
Pada bronkitis kronik tampak warna mukosa yang merah
dan hipersekresi.
2.1.8.5 Pemeriksaan Darah Rutin
Dapat ditemukan adanya peninggian hematokrit dan
eritema, serta hipoksemia kronik.
2.1.9 Assess and Monitor Disease
Menilai dan memantau penyakit
2.1.9.1 Diagnosis of COPD is based on a history of exposure to
risk factors and the presence of airflow limitation that is not
fully reversible, with or without the presence of symptoms.
27
Diagnosis PPOK didasarkan pada sejarah paparan risiko
faktor-faktor dan adanya pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya revesibel, dengan atau tanpa adanya
gejala.
2.1.9.2 Patients who have chronic cough and sputum production
with a history of exposure to risk factors should be tested
for airflow limitation, even if they do not have dyspnea.
Pasien yang memiliki batus kronis dan poduksi dahak
dengan sejarah yang terpapar faktor risiko harus diuji
pembatasan alian udara, bahkan jika mereka tidak memiliki
dysnea.
2.1.9.3 For the diagnosis and assessment of COPD, spirometry is
the gold standard as it is the most reproducible,
standardized, and objective way of measuring airflow
limitation. FEV1/FVC 70% and a postbronchodilator
FEV1, 80% predicted confirms the presence of airflow
limitation that is not fully reversible.
Untuk diagnosis dan penilaian PPOK, spirometri adalah
standar emas yaitu karena yang paling standar diproduksi
dan cara objektif mengukur pembatasan aliran udara.
FEV1/FVC, 70% dan FEV1 postbronchodilator, 80%
diperkirakan menegaskan adanya pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel.
2.1.9.4 Health care workers involved in the diagnosis and
management of patients with COPD should have access to
spirometry.
28
Perawatan kesehatan pekerja terlibat dalam diagnosis dan
mengelola pasien dengan PPOK harus memiliki akses ke
spirometri.
Table 2.2 Key Indicators For Considering A Diagnosis Of COPD
Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis dari
PPOK
Chronic cough:
Batuk kronis
Present intermittently
or every day
Often present
throughout the day;
seldom only nocturnal
hadir sebentar-bentar atau setiap hari
sering hadir sepanjang hari, jarang
hanya nokturnal
Chronic sputum Production Dyspnea
that is:
Produksi dahak yang kronis dapat
menunjukkan sesak yang :
Any pattern of chronic sputum
production may indicate COPD
Dyspnea that is: Progressive worsens
over time /Persistent (present every
day) / Described by the patient as:
“increased effort to breathe,”
“heaviness,” “air hunger,”
or “gasping.”
Memburuk dari waktu ke waktu
Persisten (sekarang setiap hari)/
Dijelaskan oleh pasien seperti :
meningkat upaya untuk bernapas,
berat, kelaparan udara, atau terengah-
engah.
Worse on exercise
Worse during respiratory
Infections.
Buruk pada latihan, buruk selama
infeksi pernapasan.
History of exposure
to risk factors,
especially:
Sejarah terhadap paparan faktor-
faktor risiko, terutama
Tobacco smoke
Occupational dusts and chemicals
Smoke from home cooking and
heating fuels.
Asap tembakau, debu kerja dan bahan
kimia asap rumah dari memasak dan
penghangat ruangan bahan bakar.
29
2.1.9.5 Measurement of arterial blood gas tensions should be
considered in all patients with FEV1 , 40% predicted or
clinical signs suggestive of respiratory failure or right heart
failure.
Pengukuran gas darah arteri ketegangan pada semua pasien
harus dianggap dengan FEV1, diperkirakan 40% atau tanda-
tanda klinik sugestif dari kegagalan pernapasan atau tepat
gagal jantung. (Romain A. Pauwels, A. Sonia Buist, Peter
M. A. Calverley, Christine R. Jenkins, And Suzanne S.
Hurd,On Behalf Of The Gold Scientific Committee, 2011).
2.1.10 Penatalaksanaan Medis dan Non Medis
Intervensi medis bertujuan untuk (Mutaqin, 2014):
2.1.10.1 Memelihara kepatenan jalan napas dengan menurunkan
spasme bronkus dan membersihkan sekret yang berlebihan.
2.1.10.2 Memelihara keefektifan pertukaran gas.
2.1.10.3 Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernapasan.
2.1.10.4 Meningkatkan toleransi latihan.
2.1.10.5 Mencegah adanya komplikasi (gagal napas akut dan status
asmatikus).
2.1.10.6 Mencegah alergen/iritasi jalan napas.
2.1.10.7 Membebaskan adanya kecemasan dan mengobati depresi
yang sering menyertai adanya obstruksi jalan napas kronis.
Manajemen medis yang diberikan berupa :
a. Pengobatan farmakologi.
1) Anti-inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dan lain-
lain).
2) Bronkodilator.
Adrenergik: efedrin, epineprin, dsn beta adrenergik agonis
selektif.
30
Nonadrenergik: aminofilin, teofilin.
3) Antihistamin.
4) Steroid.
5) Antibiotik.
6) Ekspektoran.
Oksigen digunakan 3 liter/menit dengan nasal kanul.
b. Higiene paru.
Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru,
meningkatkan kerja silia, dan menurunkan risiko infeksi.
Dilaksanakan dengan nebulizer, fisioterapi dada, dan postural
drainase.
c. Latihan.
Bertujuan untuk mempertinggi kebugaran dan dan melatih otot
skeletal agar lebih efektif. Dilaksanakan dengan jalan sehat.
d. Menghindari bahan iritan.
Penyebab iritan jalan napas yang harus dihindari diantaranya asap
rokok dan perlu juga mencegah adanya alergen yang masuk ke
tubuh.
e. Diet.
Klien sering mengalami kesulitan makan karena adanya dispnea.
Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik dari pada
makan sekaligus banyak.
Selain diatas penatalaksaan non farmakologi lain (Morton, at al,
2012) yaitu :
a. Aktivitas olahraga
Program aktivitas olahraga untuk PPOK dapat terdiri atas
sepeda ergometri, latihan treadmill, atau berjalan dengan
diatur waktu, dan frekuensinya dapat berkisar dari setiap hari
sampai minggu.
b. Konseling nutrisi
31
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada
lebih dari 50% pasien PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden
malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat abnormalitas
pertukaran gas.
c. Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang lebih efektif
dalam mengurangi resiko terjadinya PPOK dan
memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Sesi konseling
singkat untuk mendorong perokok berhenti merokok.
Untuk mengatasi dari gejala PPOK, perlu usaha obat seperti (Abata,
2014):
a. Bronkodilator (misalnya Albuterol), biasanya dalam bentuk
inhalasi. Obat ini merelaksasi otot-otot pada saluran napas,
sehingga membuat seseorang dapat bernapas dengan lebih lega.
b. Kortikosteroid inhalasi (misalnya Budesonide). Obat ini bisa
mengurangi peradangan pada saluran napas dan membantu
mencegah terjadinya perburukan.
c. Obat inhalasi kombinasi, misalnya kombinasi obat broncodilator
dan kortikosteroid.
Meskipun mendapat terapi, seseorang dengan PPOK bisa mengalami
masa dimana gejala-gejala bertambah berat selama beberapa hari
atau minggu. Kondisi ini disebut sebagai eksaserbasi akut, yang
berisiko untuk terjadinya gagal napas jika tidak mendapatkan
penanganan yang memadai. Eksaserbasi bisa disebabkan oleh
adanya infeksi pada saluran napas, polusi udara, atau pemicu lain
untuk terjadinya peradangan. Untuk mengatasainya, mungkin
diperlukan obat-obatan tambahan (misalnya antibiotik atau steroid),
oksigen, atau bahkan rawat inap di rumah sakit.
32
2.2 Konsep Batuk Efektif
2.2.1 Definisi Batuk
Batuk adalah respon alami dari tubuh sebagai sistem pertahanan
saluran napas jika terdapat gangguan dari luar. Respon ini berfungsi
untuk membersihkan lendir atau faktor penyebab iritasi atau bahan
iritan (seperti debu atau asap) agar keluar dari paru-paru.
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk
menjaga jalan napas tetap terbuka (paten) dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan
napas. Batuk diakibatkan oleh iritasi membran mukosa dalam
saluran pernapasan. Stimulus yang menghasilkan batuk dapat timbul
dari suatu proses infeksi atau iritan yang dibawa oleh udara seperti
debu, asap, gas, dan kabut. Batuk adalah proteksi utama pasien
terhadap akumulasi sekret dalam bronkhi dan bronkhiolus (Pranowo,
2012).
Batuk bukan suatu penyakit. Batuk merupakan mekanisme
pertahanan tubuh di saluran pernapasan dan merupakan gejala suatu
penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena
adanya lendir, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk terjadi
karena rangsangan tertentu, misalnya debu di reseptor batuk
(Hidung, saluran pernapasan, bahkan telinga). Kemudian reseptor
akan mengalirkan lewat saraf ke pusat batuk yang berada di otak.
Disini akan memberi sinyal kepada otot-otot tubuh untuk
mengeluarkan benda asing tadi, hingga terjadi batuk (Ikawati, 2016).
2.2.2 Definisi Batuk Efektif
Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana
pasien dapat menghemat energi sehinga tidak mudah lelah dan dapat
mengeluarkan dahak secara maksimal. Batuk efektif dilakukan
33
dengan tujuan untuk meningkatkan ekspansi paru, memobalisi
sekret, dan mencegah efek samping dari penumpukan sekret. Batuk
yang tidak efektif akan dapat menyebabkan efek yang merugikan
pada pasien dengan penyakit paru-paru kronis berat (Pranowo,
2012).
Batuk efektif merupakan batuk yang dilakukan dengan sengaja.
Namun dibandingkan dengan batuk biasa yang bersifat refleks tubuh
terhadap masuknya benda asing dalam saluran pernapasan, batuk
efektif dilakukan melalui gerakan yang terencana atau dilatihkan
terlebih dahulu. Dengan batuk efektif, maka berbagai penghalang
yang menghambat atau menutup saluran pernapasan dapat
dihilangkan. Batuk merupakan gerakan refleks yang bersifat reaktif
terhadap masuknya benda asing dalam saluran pernapasan. Gerakan
ini terjadi atau dilakukan tubuh sebagai mekanisme alamiah terutama
untuk melindungi paru-paru. Gerakan ini pula yang kemudian
dimanfaatkan kalangan medis sebagai terapi untuk menghilangkan
lendir yang menyumbat saluran pernapasan akibat sejumlah penyakit
(Apriyadi, 2013).
Batuk efektif merupakan salah satu tindakan non farmakologi untuk
pasien dengan gangguan pernapasan akut dan kronik. Peran perawat
dalam hal ini sangatlah penting yaitu melatih pasien untuk
melakukan batuk efektif yang bertujuan untuk menambah
pengetahuan pasien tentang pentingnya pengeluaran dahak. Batuk
efektif dapat diberikan pada pasien dengan cara mengatur posisi
yang benar agar dahak dapat keluar dengan lancar (Sudoyo, 2006).
34
2.2.3 Tujuan Batuk Efektif
Batuk efektif merupakan teknik batuk yang menekankan inspirasi
maksimal yang dimulai dari ekspirasi, yang bertujuan untuk
(Tabrani, 2010) :
2.2.3.1 Merangsang terbentuknya sistem kolateral.
2.2.3.2 Meningkatkan distribusi ventilasi.
2.2.3.3 Meningkatkan volume paru.
2.2.3.4 Memfasilitasi pembersihan saluran pernapasan untuk
melonggarkan dan melegakan saluran pernapasan maupun
mengatasi sesak napas akibat adanya lendir yang memenuhi
saluran pernapasan, baik dalam bentuk dahak (sputum)
maupun sekret dalam hidung, timbul akibat adanya infeksi
pada saluran pernapasan maupun karena sejumlah penyakit
yang di derita seseorang.
2.2.4 Latihan Batuk Efektif
Batuk efektif merupakan satu upaya untuk mengeluarkan dahak dan
menjaga paru-paru agar tetap bersih, disamping dengan memberikan
tindakan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif dapat
diberikan pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar
pengeluaran dahak dapat lancar. Batuk efektif ini merupakan bagian
tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan pernapasan
akut dan kronis. Pasien dapat dilatih melakukan teknik batuk efektif
dengan cara :
2.2.4.1 Pasien condong ke depan dari posisi semifowler, jalinkan
jari-jari tangan dan letakkan melintang di atas incisi sebagai
bebat ketika batuk.
2.2.4.2 Kemudian pasien napas dalam seperti cara napas dalam (3-5
kali).
2.2.4.3 Segera lakukan batuk spontan, pastikan rongga pernapasan
terbuka dan tidak hanya batuk dengan mengandalkan
35
kekuatan tenggorokan saja karena bisa terjadi luka pada
tenggorokan.
2.2.4.4 Hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak
berbahaya terhadap incisi.
2.2.4.5 Ulang lagi sesuai kebutuhan.
Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat
pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran
pernapasan. Diharapkan perawat dapat melatih pasien
dengan batuk efektif sehingga pasien dapat dapat mengerti
pentingnya batuk efektif untuk mengeluarkan dahak
(Nugroho, 2011).
2.2.5 Indikasi Batuk Efektif
Indikasi batuk efektif antara lain (Anas, 2008) :
2.2.5.1 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara disaluran
napas yang bersifat progresif non reversible atau reversible
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan keduanya.
2.2.5.2 Emphysema
Emfisema adalah kondisi di mana kantung udara di paru-
paru secara bertahap hancur, membuat napas lebih pendek.
Emfisema adalah salah satu dari beberapa penyakit yang
secara kolektif dikenal sebagai penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK). Ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Emfisema membuat kantung udara yang terdiri dari balon
balon yang bergerombol seperti tandan buah anggur
menjadi kantung udara dengan lubang-lubang menganga di
dindingnya. Hal ini mengurangi luas permukaan paru-paru
36
dan pada gilirannya jumlah oksigen yang mencapai aliran
darah.
2.2.5.3 Fibrosis
Fibrosis adalah pembentukan kelebihan fibrosa jaringan ikat
di suatu organ atau jaringan dalam proses reparatif atau
reaktif. Bisa berupa reaktif, jinak, atau patologis. Cedera ini
disebut jaringan parut dan jika fibrosis muncul dari garis sel
tunggal disebut fibroma. Secara fisiologis bertindak untuk
deposit jaringan ikat, yang dapat melenyapkan arsitektur
dan fungsi dari organ atau jaringan yang mendasarinya.
Fibrosis dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan
patologis deposisi kelebihan jaringan fibrosa, serta proses
deposisi jaringan ikat dalam penyembuhan.
2.2.5.4 Asma
Merupakan gangguan inflamasi pada jalan napas yang
ditandai oleh opstruksi aliran udara napas dan respon jalan
napas yang berlebihan terhadap berbagai bentuk
rangsangan.
2.2.6.5 Chest infection
Infeksi dada adalah infeksi yang mempengaruhi paru-paru
Anda, baik dalam saluran udara yang lebih besar
(bronchitis) atau dalam kantung-kantung udara kecil
(pneumonia). Ada penumpukan nanah dan cairan (lendir),
dan saluran udara menjadi bengkak, sehingga sulit untuk
bernapas. infeksi dada dapat mempengaruhi orang dari
segala usia. Anak-anak kecil dan orang tua adalah yang
paling berisiko, serta orangorang yang sakit dan perokok.
37
2.2.6.6 Pasien bedrest atau post operasi
Batuk efektif dilakukan pada pasien bedrest atau post
operasi karena pasien akan mengalami pemasangan alat
bantu napas selama dalam kondisi teransetesi. Sehingga
ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada
tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di
tenggorokan, latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi
pasien setalah operasi untuk mengeluarkan lendir atau
sekret tersebut.
2.2.7 Prosedur Tindakan Batuk Efektif
Prosedur tindakan batuk efektif yaitu antara lain sebagai berikut
(Anas, 2008) :
Tabel 2.3 Prosedur Tindakan Batuk Efektif
No Tindakan
1 Beritahu pasien, minta persetujuan pasien dan anjurkan untuk cuci
tangan.
2 Atur pasien dalam posisi duduk tegak atau duduk setengah membungkuk.
3 Letakkan pengalas pada pasien, letakkan bengkok/pot sputum pada
pangkuan dan anjurkan pasien memegang tisu.
4 Ajarkan pasien untuk menarik napas secara perlahan, tahan 1-3 detik dan
hembuskan perlahan dengan mulut. Lakukan prosedur ini beberapa kali.
5 Anjurkan untuk menarik napas, 1-3 detik batukkan dengan kuat.
6 Tarik napas kembali selama 1-2 kali dan ulangi prosedur di atas 2 hingga
6 kali.
7 Jika diperlukan, ulangi lagi prosedur di atas.
8 Bersihkan mulut pasien, instruksikan klien untuk membuang sputum pada
pot sputum atau bengkok.
9 Beri penguatan, bereskan alat dan cuci tangan.
10 Menjaga kebersihan dan mencegah kontaminasi terhadap sputum.
11 Tindakan batuk efektif perlu di ulang beberapa kali bila diperlukan.
38
2.3 Konsep Sesak Napas
2.3.1 Definisi Sesak Napas
Sesak napas merupakan keluhan subjektif dari seseorang yang
menderita penyakit paru. Keluhan ini mempunyai jangkauan yang
luas, sesuai dengan interpretasi seseorang mengenai arti sesak napas
tersebut. Mungkin pola pengaruh sosiokultural, sosial – budaya, serta
kemampuan seseorang untuk menahan rasa sakit dan sesak napas,
dapat menentukan berat ringannya keluhan sesak napas tersebut.
Sesak napas merupakan gejala yang nyata terhadap gangguan
trakeobronkhial, parenkim paru dan rongga pleura. Saat terjadi sesak
napas, ada peningkatan kerja pernafasan akibat bertambahnya
resistensi elastis paru (seprti pada pneumonia, atalaktasis, dan
penyakit pleura) dinding dada (obesitas, kifoskoliosis), atau
meningkatnya resistensi nonelastisitas (emfisema, asma dan
bronkhitis).
2.3.2 Klasifikasi Sesak Napas
Menurut (Muttaqin 2014), ada 5 klasifikasi sesak napas yaitu :
2.3.2.1 Sesak napas tingkat I
Tidak ada batasan atau hambatan dalam melakukan
kegiatan sehari-hari, sesak napas terjadi bila pasien
melakukan aktivitas jasmani yang lebih berat dari biasanya.
Pada tahap ini pasien bisa melakukan pekerjaan dengan
baik.
2.3.2.2 Sesak napas tingkat II
Sesak napas terjadi bila pasien melakukan kegiatan penting
atau aktivitas yang biasa dilakukan pada kehidupan sehari-
hari. Sesak baru timbul bila melakukan aktivitas yang lebih
berat.
39
2.3.2.3 Sesak napas tingkat III
Sesak napas sudah terjadi apabila pasien melakukan
aktivitas sehari-hari seperti mandi atau berpakaian, tapi
pasien masih bisa melakukannya tanpa bantuan dari orang
lain. Sesak napas tidak timbul saat pasien beristirahat.
2.3.2.4 Sesak napas tingkat IV
Klien sudah merasakan sesak napas saat melakukan
aktivitas sehari-hari seperti mandi,berpakaian dan aktivitas
lainnya, sehingga ia bergantung pada orang lain ketika
melakukan kegiatan sehari-hari.
2.3.2.5 Sesak napas tingkat V
Klien harus membatasi diri dalam segala tindakan atau
aktivitas sehari-hari yang pernah dilakukan secara rutin.
2.3.3 Manifestasi Sesak Napas
Keluhan sesak napas yang sering dikemukakan oleh penderita,
mungkin hanya merupakan perasaan berat di dada yang
menimbulkan sensasi sukar bernapas. Pada anamnesis, mungkin
penderita akan mengatakan bahwa perasaan berat di dada dan
dirasakan seolah-olah dadanya ditindih oleh suatu benda berat.
Mungkin pula penderita menjelaskan bahwa dia sering mengalami
mimpi buruk, seperti dikejar orang, anjing atau mungkin pula mimpi
bereaksi. Semua ini menyebabkan penderita terbangun dari tidur
dengan mendadak disertai napas cepat dan mengeluh sesak.
Kalau gangguan yang terjadi pada organ pernapasan cukup berat,
keluhan sesak napas dapat dibuktikan kebenarannya secara fisik.
Pada keadaan ini, frekuensi pernafasan penderita jelas meningkat.
Malahan dalam kondisi yang lebih jelek terlibat penggunaan otot
40
pernapasan sekunder seperti m.strerno eleido mastoideus dan
scalenus.
Secara objektif kesukaran bernapas perlu dibedakan antara
pernapasan cepat (takepneu) dengan peningkatan ventilasi
(hiperpneu). Takipneu adalah bertambahnya frekuensi pernapasan,
dapat dihitung dengan melihat pergerakan dinding toraks pada saat
inspirasi dan dari luar atau dengan mata telanjang, jadi harus
mengenakan teknik tertentu.
Pada dasarnya sesak napas baru akan timbul bila kebutuhan ventilasi
melebihi kemampuan tubuh untuk memenuhinya. Sedangkan
kebutuhan ventilasi dapat meningkat pada beberapa keadaan seperti
aktivitas jasmani yang bertambah atau panas badan yang meningkat.
Kebutuhan jaringan akan oksigen satu ventilasi jaringan, dapat
dihitung lebih tepat dengan analisa gas darah arteri. Asal aliran darah
perifer tadi tidak mengalami gangguan. Karena analisa gas darah
arteri dapat menunjukkan keadaan komposisi gas darah normal,
hipoksemia, hiperkapnea dan asidemia, maka dengan kata lain sesak
napas tidak selalu mempunyai korelasi positif terhadap hipoksemia,
hiperkapnea dan asidemia (Ward. J. P. T. et.al, 2008).
Secara klinis keluhan sesak napas akan menyebabkan kegawatan
paru. Bila keluhan tadi disokong oleh hasil pemeriksaan fisik yang
positif, seperti peningkatan frekuensi pernapasan, otot pernapasan
sekunder ikut berperan dan yang lebih lanjut tepat lagi jika disertai
hasil analisa gas darah arteri yang abnormal. Perlu ditekankan
bahwa hasil pemeriksaan gas darah abnormal tidak selalu
menimbulkan keluhan dan gejala yang ditunjukkan lebih ringan dari
pada gejala dan keluhan pada penderita dengan kegagalan
41
pernafasan akut lainnya pada derajat kelainan hipoksemia,
hiperkapnea yang sama.
2.3.4 Sesak Napas Pada PPOK
Sesak napas merupakan keluhan yang paling sering dialami pasien
dengan PPOK, dan menjadi alasan utama pasien mencari bantuan
kesehatan (Anwar, 2012).
Sesak napas pada PPOK bersifat persisten dan progresif sehingga
mempengaruhi kemampuan pasien dalam beraktivitas sehari-hari
(Anwar, 2012).
Intensitas dan kualitas sesak napas saat beraktivitas pada pasien
dengan PPOK dipengaruhi oleh faktor patofisiologi antara lain
meningkatnya volume restriksi selama beraktivitas, lemahnya fungsi
otot-otot inspirasi, meningkatnya kebutuhan ventilasi relatif,
kelainan atau gangguan pertukaran gas, faktor kardiovaskuler, dan
kombinasi dari faktor-faktor tersebut (Muttaqin, 2014).
Sesak napas dapat dikaitkan dengan tanda-tanda klinis seperti napas
yang berlebih, penggunaan otot bantu nafas, pernafasan cuping
hidung, dan peningkatan frekuensi, dan kedalaman pernapasan
(Potter & Perry, 2008).
Penggunaan otot-otot pernafasan dan aksesori akan membutuhkan
tenaga yang lebih besar dalam menurunkan volume dan tahanan
saluran pernapasan paru yang meningkat akibat kemampuan dinding
thoraks untuk mengembang menurun (Muttaqin, 2014). Kelelahan
pada otot pernapasan tergantung dari jumlah energi jumlah energi
yang tersimpan dalam otot, kecepatan pemasokan energi dan
pemakaian otot yang tepat (Muttaqin, 2014).
42
Menurut GOLD (2015), menilai sesak napas pada pasien PPOK
dapat menggunakan alat bantu sederhana yaitu dengan skala
Modified Medical Research Council (MMRC).
Skala MMRC terbukti dapat mengelompokkan derajat sesak napas
pada pasien PPOK (Alamsyah, 2010).
Derajat sesak napas pasien PPOK terdiri dari lima skala (0-4).
MMRC juga sudah ditetapkan sebagai pedoman dalammenilai sesak
napas pasien PPOK di indonesia (Kemenkes, 2008).
Tabel 2.4 Derajat Sesak Napas Menurut Modified Medical
Research Council (MMRC scale).
Derajat Keluhan Sesak Napas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga
1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa
menit
4 Sesak timbul saat aktifitas ringan seperti mandi atau
berpakaian
43
2.4 Kerangka Konsep
Kerangka penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen
dan dependen. Variabel independennya ialah batuk efektif dan variabel
dependennya adalah perubahan derajat sesak napas.
Skema. 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
2.5 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2013). Sedangkan menurut Notoatmodjo 2010,
hipotesis merupakan dugaan sementara yang mungkin benar dan mungkin
salah, sehingga dapat dianggap atau dipandang sebagai kesimpulan yang
sifatnya sementara.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ada pengaruh batuk
efektif terhadap perubahan derajat sesak napas pada pasien penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) di poliklinik paru RSUD DR. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin.
Derajat sesak napas
sebelum
Derajat sesak napas
sesudah Batuk efektif