bab 2 ph

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). 2.1.2. Tingkat Pengetahuan Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007) : a. Tahu (Know)

Upload: kharuna

Post on 27-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: bab 2 PH

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia,

yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan

(Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri

maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan

fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2. Tingkat Pengetahuan

Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang mempunyai

enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007) :

a. Tahu (Know)

Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang

apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan

mengatakan.

b. Memahami (Comprehension)

Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

Page 2: bab 2 PH

c. Aplikasi (Aplication)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi

yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukum-hukum, rumus,

metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.

d. Analisis (Analysis)

Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu komponen-

komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti kata kerja

mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.

e. Sintesis (Sinthesis)

Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru,

dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi

yang ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek tersebut

berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah

ada (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden.

Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan

tingkatan-tingkatan diatas (Notoadmojo, 2007)

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100%

b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60%-75%

c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%

Page 3: bab 2 PH

2.2 Perilaku

2.2.1. Definisi Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia

dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan

kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal

dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir,

berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 2007).

Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat diamati secara

langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007). Perilaku dan gejala yang tampak pada

kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan hidup terutama perilaku

manusia. Faktor keturunan merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan perilaku

makhluk hidup itu selanjutnya, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk

perkembangan perilaku tersebut. Dengan demikian kita juga dapat menyimpulkan bahwa banyak

perilaku yang melekat pada diri manusia baik secara sadar maupun tidak sadar. Salah satu

perilaku yang penting dan mendasar bagi manusia adalah perilaku kesehatan.

Proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

berasal dari diri individu itu sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi

dan belajar. Susunan syaraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia, karena

perilaku merupakan perpindahan dari rangsangan yang masuk ke respon yang dihasilkan.

Perpindahan ini dilakukan oleh susunan syaraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut

neuron. Neuron memindahkan energi dalam impuls-impuls syaraf. Perubahan perilaku dalam diri

seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi ini adalah pengalaman yang dihasilkan

melalui indra pendengaran, penciuman dan sebagainya (Azwar, 2003).

Menurut ilmu sosiologi, perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam

pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk

pengetahuan, sikap dan tindakan. Sesuai dengan batasan perilaku kesehatan dapat dirumuskan

sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya

yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang

berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 2007).

Page 4: bab 2 PH

Sementara itu ilmu antropologi menyatakan perilaku merupakan ganjaran dari perilaku

atau tingkah laku yang tidak disukai, sehingga ancaman dari penyakit tersebut memainkan

peranan penting dalam masyarakat untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada. Dengan

demikian perilaku yang menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku dalam hubungan antar

pribadi, baik antara sesama manusia atau antara manusia dengan makhluk lain (Anderson, 2006).

2.2.2. Jenis-jenis Perilaku

Perilaku dapat dijabarkan dalam tiga bentuk operasional, yaitu:

a) Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui reaksi atau rangsangan dari

luar. Secara umum sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut

terjadi beberapa proses sebagai berikut:

1. Awareness (kesadaran), seseorang menyadari dan mengetahui adanyastimulus.

2. Interest, mulai tertarik kepada stimulus.

3. Evaluation, menimbang-nimbang/mengevaluasi baik tidaknya stimulus tersebut terhadap

dirinya.

4. Trial, mencoba perilaku baru.

5. Adoption, telah terjadi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya

terhadap stimulus.

b. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari

luar diri subjek, sehingga alam itu sendiri akan mencetak sendiri perilaku manusia yang ada di

dalamnya sesuai dengan sifat dan keadaan alam tersebut..

c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang konkrit, yaitu berupa perbuatan terhadap situasi dan

rangsangan dari luar. Menurut Notoatmodjo (2007) tindakan adalah sesuatu yang dilakukan;

perbuatan. Tindakan terdiri dari empat tingkatan yaitu:

Page 5: bab 2 PH

1. Perception (Persepsi), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan

yang akan diambil.

2. Guided response (Respon terpimpin), melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar

sesuai dengan contoh.

3. Mechanism (Mekanisme), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar

secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

4. Adoption (Adopsi), suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.

Tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan,

minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun

demikian pada realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan

perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan ditentukan atau dipengaruhi

oleh berbagai faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio budaya

masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku

seseorang dalam bidang kesehatan, yaitu:

a. Latar Belakang

Latar belakang yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bidang kesehatan

dibedakan atas: pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma yang dimiliki dan nilai-nilai

yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial budaya yang berlaku.

b. Kepercayaan dan Kesiapan Mental

Perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut

terhadap kesehatan serta kesiapan mental yang dipunyai. Kepercayaan tersebut setidak-tidaknya

menjadi manfaat yang akan diperoleh, kerugian yang didapat, hambatan yang diterima serta

kepercayaan bahwa dirinya dapat diserang penyakit.

Page 6: bab 2 PH

c. Sarana

Tersedia atau tidaknya sarana yang dimanfaatkan adalah hal yang penting dalam

munculnya perilaku seseorang di bidang kesehatan, betapapun positifnya latar belakang,

kepercayaannya dan kesiapan mental yang dimiliki tetapi jika sarana kesehatan tidak tersedia

tentu perilaku kesehatan tidak akan muncul.

d. Faktor Pencetus

Dalam bidang kesehatan peranan faktor pencetus cukup besar untuk memunculkan

perilaku kesehatan yang diinginkan. Seringkali dijumpai seseorang baru berperilaku kesehatan

tertentu bila sudah ada masalah kesehatan sebagai pencetus, seperti penyakit kulit.

2.2.4. Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku berarti individu mulai menerapkan sesuatu yang baru (innovasi), lain

daripada yang sebelumnya. Tetapi merubah perilaku seseorang agar mau menerima sesuatu yang

baru bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, karena menyangkut suatu proses yang terjadi

dalam diri individu itu sendiri maupun dalam masyarakat. Perubahan perilaku yang diharapkan

adalah sebagai perubahan perilaku yang melembaga atau lestari serta merupakan bahagian dari

hidupnya. Menurut Notoatmodjo (2007), ada berbagai macam perubahan perilaku masyarakat,

yaitu:

a. Perubahan Alamiah (Natural Changes): Perubahan itu sendiri disebabkan oleh kejadian yang

alamiah.

b. Perubahan Terencana (Planned Changes): Perubahan itu terjadi karena memang direncanakan

sendiri oleh subjek.

c. Kesediaan untuk Berubah (Readiness to Change): Sebahagian orang sangat cepat untuk

menerima inovasi atau perubahan tersebut, tetapi sebahagian orang lagi sangat lambat untuk

menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai

kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.

Page 7: bab 2 PH

2.3 Demam Berdarah Dengue (DBD)

2.3.1 Definisi

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus

Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam mendadak dua

sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai

dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam (purpura).

Kadang-kadang terdapat mimisan, bercak darah, muntah darah, kesadaran menurun dan

bertendensi menimbulkan renjatan (syok) dan kematian (Mubin, 2005).

2.3.2 Etiologi

DBD disebabkan oleh virus dengue yang merupakan bagian dari famili flaviviridae. Virus ini

terbagi menjadi empat, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, untuk mengetahui jenis virus

dapat dilakukan melalui uji serologi. (Mubin, 2005).

2.3.3 Manifestasi Klinis

Pada hari pertama, manifestasi klinis yang khas pada penderita DBD adalah demam tinggi yang

mendadak dan badan terasa lemah atau lesu. Pada hari kedua atau ketiga akan timbul bintik-

bintik perdarahan, lebam atau ruam pada kulit di muka, dada, lengan atau kaki dan nyeri ulu hati

serta kadang-kadang mimisan, bercak darah atau muntah. Antara hari ketiga sampai ketujuh,

panasnya turun secara tiba-tiba. Kemungkinan yang selanjutnya adalah penderita sembuh atau

keadaan memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung tangan dan kaki dingin dan banyak

mengeluarkan keringat. Bila keadaan berlanjut, akan terjadi renjatan (lemah lunglai, denyut nadi

lemah atau tidak teraba). Kadang-kadang kesadarannya menurun (Mubin, 2005). Pembesaran

hati (hepatomegali) pada umumnya dapat ditemukan di permulaan penyakit. Derajat pembesaran

hati tidak sejajar dengan berat penyakit. Biasanya nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai

ikterus. Trombositopeni yaitu jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 biasanya ditemukan

diantara hari ketiga sampai ketujuh sakit (Soedarmo, 2005).

Page 8: bab 2 PH

2.3.4 Klasifikasi

WHO, 1997 membagi derajat DBD menjadi empat yaitu:

Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah tes tourniquet positif.

Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan

bias terjadi di kulit atau tempat lain.

Derajat III : Ditandai oleh gejala kegagalan sirkulasi yaitu, denyut nadi yang cepat dan lemah,

hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.

Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.

2.3.5 Diagnosis

Demam dengue biasanya menunjukkan gejala yang nonspesifik seperti nyeri kepala, nyeri tulang

belakang, dan persaan lelah. Tapi dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue jika

terdapat manifestasi hemoragik atau syok yang fatal (sindrom renjatan dengue). Infeksi

asimptomatik terlihat pada 80% bayi dan anak-anak. Penyakit menjadi lebih parah pada usia

dewasa. Demam dengue merupakan penyakit demam akut selam 2-7 hari, ditandai dengan dua

atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit,

petechiae (manifestasi hemoragik), dan leukopenia. Diagnosis demam berdarah dengue (DBD)

dapat ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi (Soedarmo, 2005):

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari

Terdapat minimal satu dari manifesatsi hemoragik seperti petekie, ekimosis, purpura,

epistaksis, perdarahan gusi, melena, hemetemesis, dll

Trombositopenia (<100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma):

-Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar umur dan jenis kelamin

Page 9: bab 2 PH

-Penurunan hematokrit >20% setelah terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit

sebelumnya

-Efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia

2.3.6 Vektor Penular

Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus Dengue dari

penderita kepada orang lain melalui gigitan. Nyamuk Aedes aegypti merupakan faktor penting di

daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan, kedua jenis spesies nyamuk Aedes tersebut

berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat lembab dan

genangan air bersih. Sedangkan Aedes albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon

dalam potongan bambu, dalam lipatan daun dan dalam genangan air lainnya (Soedarmo, 2005).

Tempat pembiakan utama adalah tempat-tempat penyimpanan air di dalam atau di sekitar rumah,

atau di tempat-tempat umum, biasanya berjarak tidak lebih 500 meter dari rumah. Nyamuk ini

tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah

(Soedarmo, 2005). Jenis-jenis tempat pembiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan

sebagai berikut:

a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki air,

tempayan, bak mandi/WC, ember dan lain-lain

b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung,

vas bunga, dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,

tempurung kelapa, potongan bambu dan lain-lain.

2.3.7. Patogenesis

Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penular

penyakit DBD. Virus Dengue berada di dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum

Page 10: bab 2 PH

demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut

terhisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan bermultiplikasi dan tersebar

di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk dalam kelenjar liurnya (Depkes RI, 2005).Virus

Dengue di dalam tubuh manusia mengalami masa inkubasi selama 4-7 hari (viremia) yang

disebut dengan masa inkubasi intrinsik. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang setelah 4-7

hari kemudian nyamuk siap untuk menularkan kepada orang lain yang disebut masa inkubasi

ekstrinsik. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu

nyamuk Aedes aegypti yang menghisap virus Dengue ini menjadi penular (infektif) sepanjang

hidupnya. Penularan terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah

akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probocis), agar darah yang dihisap

tidak membeku. Bersama air liur itulah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.

Nyamuk Aedes aegypti betina umurnya dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2005).

2.3.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan Penyakit DBD

Lingkungan

Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang

dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Hal-hal yang diperhatikan di lingkungan yang

berkaitan dengan vektor penularan DBD antara lain:

a. Sumber air yang digunakan

Air yang digunakan dan tidak berhubungan langsung dengan tanah merupakan tempat

perindukan yang potensial bagi vektor DBD.

b. Kualitas Tempat Penampungan Air (TPA)

Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadinya DBD dibandingkan

dengan tempat penampungan air yang tidak berjentik. Kebersihan lingkungan dari kaleng/ban

bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD (Soegijanto,

2006).

2.3.9 Pencegahan

Page 11: bab 2 PH

Partisipasi Masyarakat

Upaya masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan secara individu atau

perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara terbaik adalah

pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara lain yang dapat dilakukan adalah melalui:

(a) menggunakan mosquito repellent (anti nyamuk oles) dan insektisida dalam bentuk spray, (b)

menuangkan air panas pada saat bak mandi berisi air sedikit,

(c) memberikan cahaya matahari langsung lebih banyak kedalam rumah (Soedarmo, 2005)

Peningkatan partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga, dan

masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan vektor di rumahnya.

Peningkatan partisipasi masyarakat memberikan berbagai peluang yang memungkinkan seluruh

anggota masyarakat secara aktif berkontribusi dalam pembangunan (Depkes RI, 2005).

Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan

permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan

berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka

sendiri (Notoatmodjo, 2005).

Peningkatan partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan menunjukkan perhatian dan

kepedulian kepada masyarakat, menciptakan rasa memiliki terhadap program yang sedang

berjalan, penyuluhan kesehatan dan memobilisasi serta membuat suatu mekanisme yang

mendukung kegiatan masyarakat (Depkes RI, 2005). Partisipasi masyarakat dalam tingkat

individu dapat dilakukan dengan mendorong atau menganjurkan dalam kegiatan PSN dan

perlindungan diri secara memadai. Pelaksanaan kempen kebersihan yang intensif dengan

berbagai cara merupakan upaya di tingkat masyarakat.

Memperkenalkan program pemberantasan DBD pada anak sekolah dan orang tua,

mengajak sektor swasta dalam program pemberantasan virus dengue, menggabungkan kegiatan

pemberantasan berbagai jenis penyakit yang disebabkan serangga dengan program

pemberantasan DBD agar memperoleh hasil yang maksimal. Selain itu peran partisipasi

masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif seperti pemberian kelambu atau bubuk

abate secara gratis bagi yang berperan aktif (Soegijanto, 2006).

Page 12: bab 2 PH

Kebijakan Pemerintah

Bila dilihat dari aspek sistem kebijakan dalam peningkatan derajat kesehatan melalui

pemberantasan penyakit DBD maka ada tiga elemen, bahkan ada empat elemen yang mencakup

hubungan timbal balik dan mempunyai andil di dalam kebijakan karena memang mempengaruhi

dan saling dipengaruhi oleh suatu keputusan (Koban, 2005). Adapun elemen tersebut antara lain

adalah:

1. Kebijakan publik (Undang-Undang/Peraturan, Keputusan yang dibuat oleh Badan

dan Pejabat Pemerintah).

2. Pelaku kebijakan (kelompok warga negara, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin

terpilih).

3. Lingkungan kebijakan (geografi, budaya, politik, struktural sosial dan ekonomi).

4. Sasaran kebijakan (masyarakat).

Sejalan dengan teori sistem kebijakan maka keberhasilan program pemberantasan virus Dengue

sangat didukung dengan pembuatan peraturan perundang-undangan tentang penyakit menular

dan wabah. Perundang-undangan ini memberikan wewenang kepada petugas kesehatan untuk

mengambil tindakan yang diperlukan saat terjadi wabah atau KLB di masyarakat (Koban, 2005).

Penyusunan undang-undang harus mempertimbangkan komponen penting dalam program

pencegahan dan pengawasan virus Dengue dan nyamuk Aedes aegypti, yaitu mengkaji ulang dan

mengevaluasi efektifitas undang-undang, dirumuskan berdasarkan perundang-undangan sanitasi

yang telah diatur oleh Departemen Kesehatan, menggabungkan kewenangan daerah sebagai

pelaksana mencerminkan koordinasi lintas sektor, mencakup seluruh aspek sanitasi lingkungan,

mencerminkan kerangka administrasi hukum yang ada dalam konteks administrasi secara

nasional dan sosialisasi undang-undang kepada masyarakat. Di Indonesia kelompok kerja

pemberantasan DBD disebut dengan POKJANAL DBD dan POKJA DBD tingkat

Desa/Kelurahan (Koban, 2005). Diharapkan perilaku masyarakat akan berubah jika ada

peraturan dan kepastian hukum (law enforcement) yang mengikat dan mewajibkan setiap

Page 13: bab 2 PH

anggota masyarakat untuk melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit DBD di lingkungan

keluarga dan masyarakat. Apabila dilanggar akan dikenakan sanksi/hukuman yang sesuai dengan

peraturan yang berlaku (Koban, 2005).

2.3.10 Pemberantasan Vektor

Pemberantasan vektor dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Menurut

Soedamo (2005) jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penularan DBD meliputi:

a) Pemberantasan Nyamuk Dewasa

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan

(pengasapan/fogging) dengan insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang

hinggap pada benda-benda tergantung, karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding

rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Insektisida yang dapat digunakan

adalah insektisida golongan organophosphat, misalnya malathion, fenitrothion, dan pyretroid,

sintetik misalnya lambda sihalotrin dan permetin (Soedamo, 2005). Penyemprotan insektisida ini

dalam waktu singkat dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan

pemberantasan jentiknya agar populasi nyamuk penular tetap dapat ditekan serendah-rendahnya.

Sehingga apabila ada penderita DBD tidak dapat menular kepada orang lain (Soedamo, 2005).

b) Pemberantasan Larva (Jentik)

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang

Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2005):

a. Kimia, yaitu dengan cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida

pembasmi jentik (larvasida). Ini dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa

digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand

Page 14: bab 2 PH

granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gr (1 sendok makan rata) untuk setiap 100

liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula

digunakan golonga insect growth regulator.

b. Biologi, yaitu dengan memelihara ikan pemakan larva yaitu ikan nila merah (Oreochromosis

niloticus gambusia sp.), ikan guppy (Poecillia reticulata), dan ikan grass carp

(Etenopharyngodonidla). Selain itu dapat digunakan pula Bacillus Thuringiensis var Israeliensis

(BTI) atau golongan insect growth regulator.

c. Fisik, yaitu dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur). Menguras bak mandi, bak

WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dll), mengubur atau

memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll) Pengurasan tempat-tempat penampungan

air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat

berkembang biak di tempat itu. Apabila PSN ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka

diharapkan nyamuk Aedes aegypti dapat dikurangi sehingga tidak menyebabkan penularan

penyakit. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus-

menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat

dengan perilaku masyarakat (Depkes RI,2005).

2.4 Perubahan Pengetahuan dan Perilaku Ibu

Jika menelaah dari kedua faktor tersebut maka nampak proses perubahan perilaku sangat

berhubungan dengan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Kepercayaan terhadap kesehatan dengan dimensi pembentukan (determinant) adalah

pengetahuan dan perilaku. Kedua dimensi ini berkaitan erat dengan karakteristik demografis

individu.

b. Kemampuan mendapatkan informasi, kemudahan mendapatkan pelayanan serta ketersediaan

alat dan bahan dalam melakukan pencegahan. Pengetahuan dan perilaku ibu yang kurang

mengetahui tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan penyakit DBD mempunyai

risiko terkena penyakit DBD. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan mengenai

Page 15: bab 2 PH

gejala/tanda, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit DBD perlu mendapat

perhatian utama agar golongan ibu lebih berperan aktif (Sarwono, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson F, 2006. Antropologi Kesehatan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

2. Azwar S, 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi 2. Pustaka Pelajar Offset.

Jakarta

3. Notoatmodjo S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.

4. Sarwono S, 2007. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

5. Soedarmo SSP, 2005. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. Penerbit UI . Press.

Jakarta.

6. Soegijanto S, 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Airlangga University Press.

Surabaya.

7. WHO, 1997. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan

Pengendalian. Edisi 2 EGC. Jakarta.

8. Koban, Antonius Wiwan, 2005. Kebijakan Pemberantasan Wabah Penyakit; KLB

Demam Berdarah Dengue.

9. Mubin, A H, 2005. Ilmu Penyakit dalam Diagnosis dan Terapi. EGC. Jakarta.

10. Depkes RI, 2005. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan. Jakarta.

Page 16: bab 2 PH