bab 2 ph
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengetahuan
2.1.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia,
yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan
(Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri
maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan
fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2. Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang mempunyai
enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007) :
a. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang
apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan
mengatakan.
b. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu komponen-
komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti kata kerja
mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.
e. Sintesis (Sinthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan yang baru,
dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi
yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek tersebut
berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah
ada (Notoatmodjo, 2007).
2.1.3. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan
tingkatan-tingkatan diatas (Notoadmojo, 2007)
a. Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100%
b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor 60%-75%
c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%
2.2 Perilaku
2.2.1. Definisi Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan
kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal
dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir,
berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Sarwono, 2007).
Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat diamati secara
langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007). Perilaku dan gejala yang tampak pada
kegiatan organisme tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik dan hidup terutama perilaku
manusia. Faktor keturunan merupakan konsep dasar atau modal untuk perkembangan perilaku
makhluk hidup itu selanjutnya, sedangkan lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk
perkembangan perilaku tersebut. Dengan demikian kita juga dapat menyimpulkan bahwa banyak
perilaku yang melekat pada diri manusia baik secara sadar maupun tidak sadar. Salah satu
perilaku yang penting dan mendasar bagi manusia adalah perilaku kesehatan.
Proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berasal dari diri individu itu sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi
dan belajar. Susunan syaraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia, karena
perilaku merupakan perpindahan dari rangsangan yang masuk ke respon yang dihasilkan.
Perpindahan ini dilakukan oleh susunan syaraf pusat dengan unit-unit dasarnya yang disebut
neuron. Neuron memindahkan energi dalam impuls-impuls syaraf. Perubahan perilaku dalam diri
seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Persepsi ini adalah pengalaman yang dihasilkan
melalui indra pendengaran, penciuman dan sebagainya (Azwar, 2003).
Menurut ilmu sosiologi, perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap dan tindakan. Sesuai dengan batasan perilaku kesehatan dapat dirumuskan
sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya
yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang
berhubungan dengan kesehatan (Sarwono, 2007).
Sementara itu ilmu antropologi menyatakan perilaku merupakan ganjaran dari perilaku
atau tingkah laku yang tidak disukai, sehingga ancaman dari penyakit tersebut memainkan
peranan penting dalam masyarakat untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada. Dengan
demikian perilaku yang menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku dalam hubungan antar
pribadi, baik antara sesama manusia atau antara manusia dengan makhluk lain (Anderson, 2006).
2.2.2. Jenis-jenis Perilaku
Perilaku dapat dijabarkan dalam tiga bentuk operasional, yaitu:
a) Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu dengan mengetahui reaksi atau rangsangan dari
luar. Secara umum sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut
terjadi beberapa proses sebagai berikut:
1. Awareness (kesadaran), seseorang menyadari dan mengetahui adanyastimulus.
2. Interest, mulai tertarik kepada stimulus.
3. Evaluation, menimbang-nimbang/mengevaluasi baik tidaknya stimulus tersebut terhadap
dirinya.
4. Trial, mencoba perilaku baru.
5. Adoption, telah terjadi perilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.
b. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari
luar diri subjek, sehingga alam itu sendiri akan mencetak sendiri perilaku manusia yang ada di
dalamnya sesuai dengan sifat dan keadaan alam tersebut..
c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang konkrit, yaitu berupa perbuatan terhadap situasi dan
rangsangan dari luar. Menurut Notoatmodjo (2007) tindakan adalah sesuatu yang dilakukan;
perbuatan. Tindakan terdiri dari empat tingkatan yaitu:
1. Perception (Persepsi), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan
yang akan diambil.
2. Guided response (Respon terpimpin), melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar
sesuai dengan contoh.
3. Mechanism (Mekanisme), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar
secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.
4. Adoption (Adopsi), suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan.
Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan,
minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun
demikian pada realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan
perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan ditentukan atau dipengaruhi
oleh berbagai faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio budaya
masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang dalam bidang kesehatan, yaitu:
a. Latar Belakang
Latar belakang yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bidang kesehatan
dibedakan atas: pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma yang dimiliki dan nilai-nilai
yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial budaya yang berlaku.
b. Kepercayaan dan Kesiapan Mental
Perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan orang tersebut
terhadap kesehatan serta kesiapan mental yang dipunyai. Kepercayaan tersebut setidak-tidaknya
menjadi manfaat yang akan diperoleh, kerugian yang didapat, hambatan yang diterima serta
kepercayaan bahwa dirinya dapat diserang penyakit.
c. Sarana
Tersedia atau tidaknya sarana yang dimanfaatkan adalah hal yang penting dalam
munculnya perilaku seseorang di bidang kesehatan, betapapun positifnya latar belakang,
kepercayaannya dan kesiapan mental yang dimiliki tetapi jika sarana kesehatan tidak tersedia
tentu perilaku kesehatan tidak akan muncul.
d. Faktor Pencetus
Dalam bidang kesehatan peranan faktor pencetus cukup besar untuk memunculkan
perilaku kesehatan yang diinginkan. Seringkali dijumpai seseorang baru berperilaku kesehatan
tertentu bila sudah ada masalah kesehatan sebagai pencetus, seperti penyakit kulit.
2.2.4. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku berarti individu mulai menerapkan sesuatu yang baru (innovasi), lain
daripada yang sebelumnya. Tetapi merubah perilaku seseorang agar mau menerima sesuatu yang
baru bukanlah merupakan sesuatu hal yang mudah, karena menyangkut suatu proses yang terjadi
dalam diri individu itu sendiri maupun dalam masyarakat. Perubahan perilaku yang diharapkan
adalah sebagai perubahan perilaku yang melembaga atau lestari serta merupakan bahagian dari
hidupnya. Menurut Notoatmodjo (2007), ada berbagai macam perubahan perilaku masyarakat,
yaitu:
a. Perubahan Alamiah (Natural Changes): Perubahan itu sendiri disebabkan oleh kejadian yang
alamiah.
b. Perubahan Terencana (Planned Changes): Perubahan itu terjadi karena memang direncanakan
sendiri oleh subjek.
c. Kesediaan untuk Berubah (Readiness to Change): Sebahagian orang sangat cepat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut, tetapi sebahagian orang lagi sangat lambat untuk
menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai
kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.
2.3 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.3.1 Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus
Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang ditandai dengan demam mendadak dua
sampai tujuh hari tanpa penyebab yang jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai
dengan tanda-tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam (purpura).
Kadang-kadang terdapat mimisan, bercak darah, muntah darah, kesadaran menurun dan
bertendensi menimbulkan renjatan (syok) dan kematian (Mubin, 2005).
2.3.2 Etiologi
DBD disebabkan oleh virus dengue yang merupakan bagian dari famili flaviviridae. Virus ini
terbagi menjadi empat, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, untuk mengetahui jenis virus
dapat dilakukan melalui uji serologi. (Mubin, 2005).
2.3.3 Manifestasi Klinis
Pada hari pertama, manifestasi klinis yang khas pada penderita DBD adalah demam tinggi yang
mendadak dan badan terasa lemah atau lesu. Pada hari kedua atau ketiga akan timbul bintik-
bintik perdarahan, lebam atau ruam pada kulit di muka, dada, lengan atau kaki dan nyeri ulu hati
serta kadang-kadang mimisan, bercak darah atau muntah. Antara hari ketiga sampai ketujuh,
panasnya turun secara tiba-tiba. Kemungkinan yang selanjutnya adalah penderita sembuh atau
keadaan memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung tangan dan kaki dingin dan banyak
mengeluarkan keringat. Bila keadaan berlanjut, akan terjadi renjatan (lemah lunglai, denyut nadi
lemah atau tidak teraba). Kadang-kadang kesadarannya menurun (Mubin, 2005). Pembesaran
hati (hepatomegali) pada umumnya dapat ditemukan di permulaan penyakit. Derajat pembesaran
hati tidak sejajar dengan berat penyakit. Biasanya nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai
ikterus. Trombositopeni yaitu jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 biasanya ditemukan
diantara hari ketiga sampai ketujuh sakit (Soedarmo, 2005).
2.3.4 Klasifikasi
WHO, 1997 membagi derajat DBD menjadi empat yaitu:
Derajat I : Demam mendadak 2-7 hari diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes tourniquet positif.
Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan
bias terjadi di kulit atau tempat lain.
Derajat III : Ditandai oleh gejala kegagalan sirkulasi yaitu, denyut nadi yang cepat dan lemah,
hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
Derajat IV : Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.
2.3.5 Diagnosis
Demam dengue biasanya menunjukkan gejala yang nonspesifik seperti nyeri kepala, nyeri tulang
belakang, dan persaan lelah. Tapi dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue jika
terdapat manifestasi hemoragik atau syok yang fatal (sindrom renjatan dengue). Infeksi
asimptomatik terlihat pada 80% bayi dan anak-anak. Penyakit menjadi lebih parah pada usia
dewasa. Demam dengue merupakan penyakit demam akut selam 2-7 hari, ditandai dengan dua
atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit,
petechiae (manifestasi hemoragik), dan leukopenia. Diagnosis demam berdarah dengue (DBD)
dapat ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi (Soedarmo, 2005):
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari
Terdapat minimal satu dari manifesatsi hemoragik seperti petekie, ekimosis, purpura,
epistaksis, perdarahan gusi, melena, hemetemesis, dll
Trombositopenia (<100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma):
-Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar umur dan jenis kelamin
-Penurunan hematokrit >20% setelah terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya
-Efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia
2.3.6 Vektor Penular
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vektor penularan virus Dengue dari
penderita kepada orang lain melalui gigitan. Nyamuk Aedes aegypti merupakan faktor penting di
daerah perkotaan sedangkan di daerah pedesaan, kedua jenis spesies nyamuk Aedes tersebut
berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes aegypti berkembang biak di tempat lembab dan
genangan air bersih. Sedangkan Aedes albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon
dalam potongan bambu, dalam lipatan daun dan dalam genangan air lainnya (Soedarmo, 2005).
Tempat pembiakan utama adalah tempat-tempat penyimpanan air di dalam atau di sekitar rumah,
atau di tempat-tempat umum, biasanya berjarak tidak lebih 500 meter dari rumah. Nyamuk ini
tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah
(Soedarmo, 2005). Jenis-jenis tempat pembiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tangki air,
tempayan, bak mandi/WC, ember dan lain-lain
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum burung,
vas bunga, dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
c. Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, potongan bambu dan lain-lain.
2.3.7. Patogenesis
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber penular
penyakit DBD. Virus Dengue berada di dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum
demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut
terhisap masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan bermultiplikasi dan tersebar
di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk dalam kelenjar liurnya (Depkes RI, 2005).Virus
Dengue di dalam tubuh manusia mengalami masa inkubasi selama 4-7 hari (viremia) yang
disebut dengan masa inkubasi intrinsik. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang setelah 4-7
hari kemudian nyamuk siap untuk menularkan kepada orang lain yang disebut masa inkubasi
ekstrinsik. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu
nyamuk Aedes aegypti yang menghisap virus Dengue ini menjadi penular (infektif) sepanjang
hidupnya. Penularan terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah
akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probocis), agar darah yang dihisap
tidak membeku. Bersama air liur itulah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.
Nyamuk Aedes aegypti betina umurnya dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2005).
2.3.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan Penyakit DBD
Lingkungan
Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang
dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Hal-hal yang diperhatikan di lingkungan yang
berkaitan dengan vektor penularan DBD antara lain:
a. Sumber air yang digunakan
Air yang digunakan dan tidak berhubungan langsung dengan tanah merupakan tempat
perindukan yang potensial bagi vektor DBD.
b. Kualitas Tempat Penampungan Air (TPA)
Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadinya DBD dibandingkan
dengan tempat penampungan air yang tidak berjentik. Kebersihan lingkungan dari kaleng/ban
bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD (Soegijanto,
2006).
2.3.9 Pencegahan
Partisipasi Masyarakat
Upaya masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan secara individu atau
perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara terbaik adalah
pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara lain yang dapat dilakukan adalah melalui:
(a) menggunakan mosquito repellent (anti nyamuk oles) dan insektisida dalam bentuk spray, (b)
menuangkan air panas pada saat bak mandi berisi air sedikit,
(c) memberikan cahaya matahari langsung lebih banyak kedalam rumah (Soedarmo, 2005)
Peningkatan partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga, dan
masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan vektor di rumahnya.
Peningkatan partisipasi masyarakat memberikan berbagai peluang yang memungkinkan seluruh
anggota masyarakat secara aktif berkontribusi dalam pembangunan (Depkes RI, 2005).
Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan
permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan
berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka
sendiri (Notoatmodjo, 2005).
Peningkatan partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan menunjukkan perhatian dan
kepedulian kepada masyarakat, menciptakan rasa memiliki terhadap program yang sedang
berjalan, penyuluhan kesehatan dan memobilisasi serta membuat suatu mekanisme yang
mendukung kegiatan masyarakat (Depkes RI, 2005). Partisipasi masyarakat dalam tingkat
individu dapat dilakukan dengan mendorong atau menganjurkan dalam kegiatan PSN dan
perlindungan diri secara memadai. Pelaksanaan kempen kebersihan yang intensif dengan
berbagai cara merupakan upaya di tingkat masyarakat.
Memperkenalkan program pemberantasan DBD pada anak sekolah dan orang tua,
mengajak sektor swasta dalam program pemberantasan virus dengue, menggabungkan kegiatan
pemberantasan berbagai jenis penyakit yang disebabkan serangga dengan program
pemberantasan DBD agar memperoleh hasil yang maksimal. Selain itu peran partisipasi
masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif seperti pemberian kelambu atau bubuk
abate secara gratis bagi yang berperan aktif (Soegijanto, 2006).
Kebijakan Pemerintah
Bila dilihat dari aspek sistem kebijakan dalam peningkatan derajat kesehatan melalui
pemberantasan penyakit DBD maka ada tiga elemen, bahkan ada empat elemen yang mencakup
hubungan timbal balik dan mempunyai andil di dalam kebijakan karena memang mempengaruhi
dan saling dipengaruhi oleh suatu keputusan (Koban, 2005). Adapun elemen tersebut antara lain
adalah:
1. Kebijakan publik (Undang-Undang/Peraturan, Keputusan yang dibuat oleh Badan
dan Pejabat Pemerintah).
2. Pelaku kebijakan (kelompok warga negara, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin
terpilih).
3. Lingkungan kebijakan (geografi, budaya, politik, struktural sosial dan ekonomi).
4. Sasaran kebijakan (masyarakat).
Sejalan dengan teori sistem kebijakan maka keberhasilan program pemberantasan virus Dengue
sangat didukung dengan pembuatan peraturan perundang-undangan tentang penyakit menular
dan wabah. Perundang-undangan ini memberikan wewenang kepada petugas kesehatan untuk
mengambil tindakan yang diperlukan saat terjadi wabah atau KLB di masyarakat (Koban, 2005).
Penyusunan undang-undang harus mempertimbangkan komponen penting dalam program
pencegahan dan pengawasan virus Dengue dan nyamuk Aedes aegypti, yaitu mengkaji ulang dan
mengevaluasi efektifitas undang-undang, dirumuskan berdasarkan perundang-undangan sanitasi
yang telah diatur oleh Departemen Kesehatan, menggabungkan kewenangan daerah sebagai
pelaksana mencerminkan koordinasi lintas sektor, mencakup seluruh aspek sanitasi lingkungan,
mencerminkan kerangka administrasi hukum yang ada dalam konteks administrasi secara
nasional dan sosialisasi undang-undang kepada masyarakat. Di Indonesia kelompok kerja
pemberantasan DBD disebut dengan POKJANAL DBD dan POKJA DBD tingkat
Desa/Kelurahan (Koban, 2005). Diharapkan perilaku masyarakat akan berubah jika ada
peraturan dan kepastian hukum (law enforcement) yang mengikat dan mewajibkan setiap
anggota masyarakat untuk melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit DBD di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Apabila dilanggar akan dikenakan sanksi/hukuman yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku (Koban, 2005).
2.3.10 Pemberantasan Vektor
Pemberantasan vektor dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Menurut
Soedamo (2005) jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penularan DBD meliputi:
a) Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan
(pengasapan/fogging) dengan insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang
hinggap pada benda-benda tergantung, karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding
rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Insektisida yang dapat digunakan
adalah insektisida golongan organophosphat, misalnya malathion, fenitrothion, dan pyretroid,
sintetik misalnya lambda sihalotrin dan permetin (Soedamo, 2005). Penyemprotan insektisida ini
dalam waktu singkat dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan
pemberantasan jentiknya agar populasi nyamuk penular tetap dapat ditekan serendah-rendahnya.
Sehingga apabila ada penderita DBD tidak dapat menular kepada orang lain (Soedamo, 2005).
b) Pemberantasan Larva (Jentik)
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2005):
a. Kimia, yaitu dengan cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik (larvasida). Ini dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa
digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand
granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gr (1 sendok makan rata) untuk setiap 100
liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula
digunakan golonga insect growth regulator.
b. Biologi, yaitu dengan memelihara ikan pemakan larva yaitu ikan nila merah (Oreochromosis
niloticus gambusia sp.), ikan guppy (Poecillia reticulata), dan ikan grass carp
(Etenopharyngodonidla). Selain itu dapat digunakan pula Bacillus Thuringiensis var Israeliensis
(BTI) atau golongan insect growth regulator.
c. Fisik, yaitu dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur). Menguras bak mandi, bak
WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dll), mengubur atau
memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll) Pengurasan tempat-tempat penampungan
air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat
berkembang biak di tempat itu. Apabila PSN ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka
diharapkan nyamuk Aedes aegypti dapat dikurangi sehingga tidak menyebabkan penularan
penyakit. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus-
menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat
dengan perilaku masyarakat (Depkes RI,2005).
2.4 Perubahan Pengetahuan dan Perilaku Ibu
Jika menelaah dari kedua faktor tersebut maka nampak proses perubahan perilaku sangat
berhubungan dengan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Kepercayaan terhadap kesehatan dengan dimensi pembentukan (determinant) adalah
pengetahuan dan perilaku. Kedua dimensi ini berkaitan erat dengan karakteristik demografis
individu.
b. Kemampuan mendapatkan informasi, kemudahan mendapatkan pelayanan serta ketersediaan
alat dan bahan dalam melakukan pencegahan. Pengetahuan dan perilaku ibu yang kurang
mengetahui tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan penyakit DBD mempunyai
risiko terkena penyakit DBD. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan mengenai
gejala/tanda, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan penyakit DBD perlu mendapat
perhatian utama agar golongan ibu lebih berperan aktif (Sarwono, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson F, 2006. Antropologi Kesehatan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Azwar S, 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi 2. Pustaka Pelajar Offset.
Jakarta
3. Notoatmodjo S, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.
4. Sarwono S, 2007. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
5. Soedarmo SSP, 2005. Demam Berdarah (Dengue) pada Anak. Penerbit UI . Press.
Jakarta.
6. Soegijanto S, 2006. Demam Berdarah Dengue. Edisi 2. Airlangga University Press.
Surabaya.
7. WHO, 1997. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan
Pengendalian. Edisi 2 EGC. Jakarta.
8. Koban, Antonius Wiwan, 2005. Kebijakan Pemberantasan Wabah Penyakit; KLB
Demam Berdarah Dengue.
9. Mubin, A H, 2005. Ilmu Penyakit dalam Diagnosis dan Terapi. EGC. Jakarta.
10. Depkes RI, 2005. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta.