bab 2

19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. DEFINISI Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan gejala klinis. Sedangkan racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil (bukan minimal) jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit, bahkan kematian. Intoksikasi organofosfat merupakan suatu keadaan intoksikasi yang disebabkan oleh senyawa organofosfat seperti malathion, parathion, tetraetilpirofosfat (TEPP) dan oktamil pirofosforamida (OMPA) yang bisa masuk kedalam tubuh baik dengan cara tertelan, terhirup nafas, atau terabsorbsi lewat kulit dan mata. 4,5 II. SENYAWA ORGANOFOSFAT Senyawa organofosfat merupakan kelompok senyawa yang memiliki potensi dan bersifat toksik dalam menghambat cholinesterase yang mengakibatkan sasaran mengalami kelumpuhan dan menyebabkan kematian. Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Pada awal sintesisnya diproduksi 2

Upload: arianti-miranti-lestari-fajrin

Post on 05-Jan-2016

226 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bab 2

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Intoksikasi adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran

pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan

gejala klinis. Sedangkan racun adalah suatu zat yang dalam jumlah relatif kecil

(bukan minimal) jika masuk atau mengenai tubuh seseorang akan menyebabkan

timbulnya reaksi kimiawi (efek kimia) yang besar yang dapat menyebabkan sakit,

bahkan kematian. Intoksikasi organofosfat merupakan suatu keadaan intoksikasi

yang disebabkan oleh senyawa organofosfat seperti malathion, parathion,

tetraetilpirofosfat (TEPP) dan oktamil pirofosforamida (OMPA) yang bisa masuk

kedalam tubuh baik dengan cara tertelan, terhirup nafas, atau terabsorbsi lewat

kulit dan mata.4,5

II. SENYAWA ORGANOFOSFAT

Senyawa organofosfat merupakan kelompok senyawa yang memiliki

potensi dan bersifat toksik dalam menghambat cholinesterase yang

mengakibatkan sasaran mengalami kelumpuhan dan menyebabkan kematian.

Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II. Pada

awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion

dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga cukup toksik

terhadap mamalia. Struktur kimia dari senyawa organofosfat bervariasi, dengan

nama umum yang berbeda-beda. Semua bentuk mudah mengalami hidrolisa dan

oksidasi. Kelembaban dan sinar matahari berperan penting dalam proses

transformasi secara alamiah. Senyawa organofosfat tidak hanya digunakan

sebagai insektisida dan pestisida, tetapi juga digunakan sebagai bahan kimia

perang, aditif minyak bumi, dan industri plasticizer.5

Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida

dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Tertelan organofosfat dalam

jumlah sedikit dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa

2

Page 2: Bab 2

3

miligram untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Pajanan

terhadap manusia bisa terjadi melalui hidung, kulit atau mulut. Pajanan terbanyak

melalui kulit, karena sifat lipofilik dari senyawa organofosfat. Paparan yang serius

mempengaruhi reseptor rangsangan muscarinic dan nikotinic. 5

Gambar struktur organofosfat dapat dilihat pada gambar 1. Gugus X pada

struktur disebut “leaving group” yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi

asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan

R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat

dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat,

fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. 5

Gambar 1. Struktu organofosfat

III. EPIDEMIOLOGI

Intoksikasi organofosfat merupakan suatu fenomena di seluruh dunia, kasus

yang terjadi mencapai 2000 kematian di seluruh dunia setiap tahun. Berdasarkan

data dari World Health Organization (WHO), terdapat satu juta kasus yang terjadi

pada intoksikasi yang tidak disengaja setiap tahunnya dan dua juta orang dirawat

di rumah sakit untuk usaha bunuh diri dengan organofosfat. 5

Pada tahun 1970, Environmental Protection Agency memperkirakan bahwa

3.000 rawat inap pertahun diminta untuk kasus keracunan di Amerika Serikat,

dengan tingkat kematian 50% pada usia anak dan 10% pada orang dewasa.

Berdasarkan data dari WHO, 3 juta kasus keracunan organofosfat terjadi di

seluruh dunia setiap tahun dengan 220.000 kematian. WHO memperkirakan,

berdasarkan data 2001, bahwa 859.000 orang meninggal secara global. 5

Keracunan akut dengan senyawa organofosfat adalah masalah klinis utama

global, dengan ribuan kematian yang terjadi setiap tahun di Nepal. Sebagian besar

Page 3: Bab 2

4

keracunan organofosfatdan kematian berikutnya terjadi karena sengaja menelan

diri dari racun. Negara Nepal menunjukkan senyawa organofosfat menempati

beban terbesar morbiditas dan mortilitas terkait keracunan. Tiga puluh persen dari

semua kematian bunuh diri di negara 1999-2000 adalah karena keracunan. Rumah

sakit studi berbasis dari 5 rumah sakit besar di seluruh negeri pada tahun 1999-

2000 menunjukkan senyawa organofosfat adalah bentuk paling umum dari

keracunan terdiri 52% dari total kasus.6

Pada tahun 2006 di Kabupaten Magelang telah dilaksanakan pemeriksaan di

Kecamatan Ngablak telah dilaksanakan pemeriksaan aktifitas kholinesterase pada

petani dengan jumlah sampel yang diperiksa 50 orang menunjukan 98 %

keracunan dengan rincian keracunan berat 16 %, keracunan sedang 48%,

keracunan ringan 34% dan normal 2%. Pada tahun 2008 hasil penelitian dengan

jumlah sampel yang diperiksa 68 orang menunjukkan kadar kholinesterase darah

petani sayuran di Desa Sumberejo yang mengalami keracunan sebesar 76,47%.3

IV. FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah

faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dari luar tubuh (eksternal), faktor-faktor

tersebut adalah4 :

IV.1. Faktor Internal

a. Umur

Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh

juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase

darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya intoksikasi

pestisida.

b. Status gizi

Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya

tahan tubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yang

buruk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan enzim

kolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan enzim

Page 4: Bab 2

5

kolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memiliki tingkat

gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebih besar.

c. Jenis kelamin

Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata

4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwa

tiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatif

konstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oral

sejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuh

untuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan.Jenis

kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jenis kelamin

laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuan karena pada

perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase, meskipun

demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot dengan menggunakan

pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-rata kolinesterase

cenderung turun.

d. Tingkat pendidikan

Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan

tambahan pengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan

yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya

juga lebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang

rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi

akan lebih baik.

IV.2. Faktor eksternal

a. Dosis

Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakin

mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.Dosis

pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, hal ini

ditentukan dengan lama pajanan. Untuk dosis penyemprotan di lapangan

khususnya golongan organofosfat, dosis yangdianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha.

Page 5: Bab 2

6

b. Lama paparan

Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak

dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin

tinggi.Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena

keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2

minggu setelah melakukan penyemprotan.

c. Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)

Pestisida masuk ke dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, antara

lainmelalui pernafasan atau penetrasi kulit. Oleh karena itu cara-cara yang

paling baik untuk mencegah terjadinya keracunan adalah memberikan

perlindungan pada bagian-bagian tersebut.

V. PATOGENESIS6,7

Gambar 2. Diagram kerja asetilkolin

Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan

fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.

Page 6: Bab 2

7

Gambar 3. Diagram penghambatan kerja enzim oleh organofosfat

Gambar 4. Penghambatan kerja asetilkolinesterase

Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis

pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan

Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.

Page 7: Bab 2

8

hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan

lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.

Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan

kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara

normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim

dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan

reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal

tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh

bagian tubuh.

VI. GEJALA

Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1)

efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek sistem saraf pusat.8

a. Efek muskarinik

Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar

termasuk: diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus),

bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi,

hipersalivasi dan hipotensi.

Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:

Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi

Respiratori – Bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan

Gastrointestinal – Hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen,

diare, inkontinensia alvi

Genitourinari – Inkontinensia urin

Mata – Mata kabur, miosis

Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan

b. Efek Nikotinik

Efek nikotinik termasuk fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal

diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom

termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat.

Page 8: Bab 2

9

c. Efek sistem saraf pusat

Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah,

bingung, cemas, penurunan kesadaran, depresi saluran nafas, ataksia,

tremors, kejang, dan koma.

VII. DIAGNOSIS8

a. Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta

diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian.

b. Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya

racun sama dengan pengakuan, bisa dengan cara inhalasi, per oral,

absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral, yang amat berpengaruh

pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan.

c. Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran

pasien. Hal ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti

yang telah diuraikan sebelumnya

d. Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang

sesuai indikasi.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG8,9

a. Laboratorium klinik

Analisa gas darah

Darah lengkap

Serum elektrolit

Pemeriksaan fungsi hati

Pemeriksaan fungsi ginjal

Sedimen urin

b. EKG

Deteksi gangguan irama jantung

c. Pemeriksaan radiologi

Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui

inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.

Page 9: Bab 2

10

IX. PENATALAKSANAAN9

Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk

racun ke dalam tubuh. Triase penangan keracunan organofosfat dilakukan

berdasarkan gambaran klinis keracunan organofosfat.

IX.1. Stabilisasi Pasien

Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi

primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom

toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan

dan intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami

perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak

memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan

monitoring jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara

intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif

ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum.

IX.2. Dekontaminasi

Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami

keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera

dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan

yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari

udara.

Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan

yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk

dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi

pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi

saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika

toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang

efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan

bagi pasien yang mengalami muntah.

a. Pada kasus pemaparan pada kulit/inhalasi :

Jika tampilan stabil, pasien dilakukan dekontaminasi untuk

menyingkirkan zat racun dari kulit. Jika tidak stabil dilakukan

Page 10: Bab 2

11

triase untuk menstabilkan area yang akan dilakukan

penatalaksanaan sebelum dilakukan dekontaminasi dan

penanganan lanjut. Sampel atau produk zat racun diletakkan

pada kantong yang ditutup dan diberi label “Racun”. (guideline

Sydney)

Tahapan dekontaminasi pada kulit, baju, rambut dan mata

adalah dengan membasuh cairan kimia pada daerah tersebut

dengan larutan steril NaCl 0,9% untuk mata. Lepaskan pakaian

yang terkena zat racun, kemudian bersihkan bagian tubuh yang

terkena zat racun dengan sabun dan air. Pastikan lipatan kulit

dan bagian dalam kuku dibersihkan.

Barang-barang yang diduga terkontaminasi disingkirkan pada

tempat yang memiliki tutup dan diberikan label sebagai barang

pribadi yang terkontaminasi.

Sabun yang mengandung klorheksidin dan alcohol membantu

untuk menghilangkan bahan-bahan yang bersifat lipofilik.

b. Pada kasus racun yang tertelan

Penangannya adalah mengeluarkan racun sebanyak mungkin dengan

jalan memuntahkan (dengan meransang dinding faring atau pemberian

emetic, misalnya sirup ipecac). Ransangan muntah di kontra indikasikan

pada zat racun yang bersifat korosif. Pada keracunan organofosfat,

ransangan muntah untuk mengeluarkan racun dianjurkan. Terapi bilas

lambung diindikasikan pada kasus keracunan organofosfat, diberikan juga

arang aktif, dan katartik diberikan jika racunnya sudah tertelan.

Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap

toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan

setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami

pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat

berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik.

Page 11: Bab 2

12

IX.3. Pemberian Antidotum

a. Agen Antimuskarinik

Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan

skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan

organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena

memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang

ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu

bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea.

Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap

2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg

BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada

kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.

b. Oxime

Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan

untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini

diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang

ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim

kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.

Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen

dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat

mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan

ventilator.

Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime

meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,

peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri

pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada

kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan

organofosfat.

Page 12: Bab 2

13

IX.4. Pemberian anti-kejang

Diazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis:

5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga

10-20 mg IV)

Pada keracunan akut, tindakan darurat :

a. Berikan sulfas atropine untuk memblok efek dari asetilkolin dengan

dosis 1-2 mg i.v pada keracunan sedang, pada keracunan berat 2-5mg

i.v atau 10-20mg diberikan secara drip infusan.

b. Naikkan dosis SA 2x tiap 3-5 menit sampai timbul gejala atropinisasi

atau sampai tanda-tanda muskarinik hilang

c. Jika terapi inisial i.v tidak dapat dilakukan, mulailah dengan cara i.m

SA 2mg, dan naikkan dosis seperti SA i.v

d. Mulailah drip 60mg SA dalam 50c.

e. Pemberian atropine sebanyak 12 mg dalam 2 jam pertama cukup

aman. Tetapi atropine yang terputus akan segera disusul dengan

kegagalan pernafasan.

f. Takaran SA untukc anak-anak adalah 0,04mg/kgBB. Bila timbul

takikardi hebat dapat diberi propranolol.

g. Pemberian pradiloksim untuk menstimulus asetilkolinesterasi dan

bekerja sinergis dengan atropine. Sebelum diberikan pastikan sampel

darah telah ambil dan telah diberikan heparin untuk dinilai

asetilkolinesterasenya. Pemerian secara cepat bias membuat takikardi,

spasme laring, rigid otot, blokade neuromuscular yang sementara.

h. Dosis pemberian pradiloksim adalah 1 gr dalam larutan akuades i.v

diberikan perlahan-lahan, dapat diulang 30 menit bila pernafasan tidak

membaik. Takaran dapat diberikan 2 kali/24 jam.

i. Pada keracunan yang kronik dapat diketahui dengan penentuan AChE

dalam darah. Bila ada indikasi (keracunan ringan) maka korban dapat

diberikan istirahat, dan tidak boleh kontak lagi dengan insektisida.

Page 13: Bab 2

14

X. KOMPLIKASI9

Gagal nafas

Kejang

Pneumonia aspirasi

Neuropati

Kematian

XI. PROGNOSIS6

Bila pasien tertangani dengan baik maka keluhan dapat ditangani dalam 4-6

jam. Bila dosis organofosfat yang diminum banyak dan penanganan tidak adekuat,

komplikasi dapat terjadi hingga menyebabkan kematian.