bab 2

53
7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Artritis Reumatoid 2.1.1 Pengertian Artritis Reumatoid Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, artritis berarti radang sendi. Sedangkan artritis reumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). 2.1.2 Klasifikasi Artritis Reumatoid Buffer (2010) mengklasifikasikan artritis reumatoid menjadi 4 tipe, yaitu: 1. Artritis reumatoid klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. 2. Artritis reumatoid defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. 3. Probable artritis reumatoid pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.

Upload: qumairy-lutfiyah

Post on 04-Jan-2016

71 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PKM

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Artritis Reumatoid

2.1.1 Pengertian Artritis Reumatoid

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron yang berarti

sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, artritis berarti radang

sendi. Sedangkan artritis reumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana

persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga

terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan

bagian dalam sendi (Gordon, 2002).

2.1.2 Klasifikasi Artritis Reumatoid

Buffer (2010) mengklasifikasikan artritis reumatoid menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Artritis reumatoid klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam

waktu 6 minggu.

2. Artritis reumatoid defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam

waktu 6 minggu.

3. Probable artritis reumatoid pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam

waktu 6 minggu.

Page 2: BAB 2

8

4. Possible artritis reumatoid pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan

gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam

waktu 3 bulan.

2.1.3 Kriteria Artritis Reumatoid

Untuk memastikan diagnosis artritis reumatoid, setidaknya empat dari

tujuh kriteria berikut harus ada. Empat kriteria pertama harus ditemukan dengan

durasi minimal 6 minggu.

Tabel 2.1 Kriteria American College Of Rheumatology untuk klasifikasi artritis

reumatoid (Arnett, 1988 dalam Flasher & Church, 2011)

Kriteria Definisi

1. Kaku di pagi hari

2. Artritis pada tiga

area sendi atau

lebih

3. Artritis pada area

sendi tangan

4. Artritis simetris

5. Nodul reumatoid

6. Faktor reumatoid

serum

7. Perubahan

radiografis

Kekakuan di pagi hari pada dan di sekitar sendi dengan

durasi lebih dari 6 minggu.

Minimal terdapat tiga sendi yang nyeri disertai

pembengkakan atau efusi jaringan lunak; jika hanya

terdapat pertumbuhan tulang yang berlebihan tidak

menjadi kriteria signifikan.

Minimal satu sendi tangan membengkak (seperti

kriteria 2): pergelangan tangan, metakarpofalangeal

(MCP) atau interfalangeal proksimal (PIP) dengan

durasi lebih dari 6 minggu.

Keterlibatan area sendi yang sama secara simultan

(seperti yang didefinisikan pada kriteria 2) pada kedua

sisi tubuh

Keterlibatan bilateral sendi PIP, MCP, atau

metatarsofalangeal (MTP) tanpa simetri absolut dapat

diterima.

Nodul subkutan pada tonjolan tulang, permukaan

ekstensor, atau pada daerah jukstaartikular.

Menunjukkan jumlah faktor reumatoid serum yang

abnormal, dengan suatu metode, yang positif pada

kurang dari 5% subjek kontrol yang normal.

Perubahan radiografis reumatoid yang khas terlihat

pada foto tangan posterior-anterior dan pergelangan

tangan, yang harus meliputi erosi dan dekalsifikasi

tulang periartikular definit.

Keterlibatan sendi ditandai dengan adanya nyeri sendi atau bengkak pada

saat pemeriksaan dengan bukti gambaran sinovitis. Sendi besar antara lain sendi

bahu, siku, panggul, lutut dan tumit. Sedangkan yang termasuk sendi kecil yaitu

Page 3: BAB 2

9

sendi metacarpophalangeal, interphalangeal distal, sendi metatarsophalangeal

kedua sampai kelima, sendi interphalangeal ibu jari, dan pergelangan tangan.

Antibodi anti-CCP lebih spesifik dibandingkan rheumatoid factor (RF) untuk

penegakan diagnosis artritis reumatoid secara dini lebih baik dalam memprediksi

progresivitas penyakit secara radiologis serta prognosis penyakit.

2.1.4 Etiologi Artritis Reumatoid

Penyebab pasti reumatoid artritis masih belum diketahui secara pasti. Hal

yang sudah pasti adalah etiologi penyakit ini adalah multi faktor. Banyak hipotesis

yang sedang diuji, tetapi teori dominan berkaitan dengan sistem imun. Menurut

Flasher & Church (2011) faktor-faktor penyebab artritis reumatoid antara lain:

1. Imunologi

Dua gambaran utamaya adalah

1) Faktor reumatoid pada cairan sinovial atau serum darah, yang

mengindikasikan pasien seropositif.

2) Peningkatan aktivitas sistem imun sel di dalam membran sinovial.

Gangguan terhadap respon autoimun merupakan dasar terapi obat, yang

saat ini digunakan untuk menekan aktivitas penyakit. Walaupun tidak ada agens

mikroba yang diidentifikasi sebagai faktor penyebab AR, diyakini bahwa agens

infeksius memicu penyakit pada individu yang berisiko secara genetik. Adanya

antigen, bakteri atau virus memicu respons autoimun dan produksi faktor

reumatoid, tetapi kejadian infeksi berulang tidak mempengaruhi penyakit.

2. Genetik

Faktor genetik berperan penting dalam perkembangan dan manifestasi AR.

Studi menunujukkan bahwa individu yang keluarganya memiliki riwayat AR

Page 4: BAB 2

10

berisiko tiga kali lebih tinggi daripada yang tidak memiliki. Identifikasi antigen

leukosit manusia (HLA) DW4 dan DR4 membuktikan kontribusi genetik terhadap

AR. Individu menunjukkan hasil positif terhadap pemeriksaan jenis jaringan HLA

secara genetik cenderung mengalami AR dengan peningkatan kemungkinan

terjadinya penyakit.

3. Hormonal

Status hormonal dapat mempengaruhi manifestasi AR. Terdapat bukti

bahwa kehamilan dapat mengurangi aktivitas penyakit reumatoid dan bahwa pil

kontrasepsi oral serta terapi sulih hormon merupakan faktor protektif pada wanita

yang memiliki predisposisi secara genetik. AR lebih umum terjadi pada wanita

setelah menarke dan sebelum menopause sehingga bertolak belakang dengan

bukti bahwa hormon wanita berperan penting dalam mengurangi keparahan gejala

dan pemburukan penyakit.

4. Diet

Sejumlah bukti subjektif terkait diet dan artritis telah banyak

dipublikasikan. Sejumlah besar pasien mencoba penanganan yang lebih aman,

yang meliputi diet, dengan harapan dapat pulih atau sembuh. Pasien kelompok

berisiko, dianjurkan diet yang sehat, seimbang, rendah lemak, dan gula. Jika

pasien kelebihan berat badan, menurunkan berat badan akan mengurangi tekanan

pada sendi ekstremitas bawah secara signifikan sehingga nyeri berkurang.

5. Faktor lain

Sampai saat ini belum diidentifikasi adanya kaitan langsung antara

lingkungan atau gaya hidup dengan AR. Namun, hal ini beserta faktor psikologis,

emosional, dan pendidikan dapat berperan dalam kemunculan dan perkembangan

Page 5: BAB 2

11

penyakit. Dieppe (1985) menjelaskan bagaimana stres emosional dan ansietas

dapat memicu pemburukan penyakit. Keadaan yang tidak dapat diperkirakan ini

sering berdampak pada individu, keluarga dan status sosial ekonomi mereka.

Sebagian besar individu mengaitkan pemburukan penyakit dengan kondisi cuaca

tertentu. Studi berskala kecil menunjukkan bahwa kekauan sendi berhubungan

dengan kelembapan dan skor nyeri lebih tinggi pada cuaca panas dan dingin.

Namun, tidak ada cukup bukti yang menyatakan bahwa iklim berdampak pada

proses atau prognosis penyakit.

2.1.5 Patologi Artritis Reumatoid

Menurut Flasher & Church (2011) perubahan patologis pada AR melalui

tiga fase:

1. Fase 1 perubahan selular

Membran sinovial menjadi sangat vaskular, beserta proliferasi sinoviosit

dan fibroblas. Terjadi penebalan membrane sinovial dan edema karena agregat sel

limfosit dan plasma membentuk folikel. Folikel mensintesis faktor reumatoid dan

prostaglandin inflamasi yang kemudian bereaksi dengan imunoglobulin,

mengakibatkan pembentukan kompleks imun di dalam sendi.

2. Fase 2 respons inflamasi

Karena penyakit berkembang menjadi fase kedua, kompleks imun

mengaktivasi komplemen. Komplemen adalah suatu protein yang membantu

pertahanan tubuh melawan antigen yang menginvasi dengan menarik neutrofil ke

dalam cairan sinovial. Kompleks imun akan difagosit oleh neutrofil. Selama

proses ini, mediator kimia proses inflamasi dilepaskan.

Page 6: BAB 2

12

3. Fase 3 Destruksi

Karena respons inflamasi berlanjut, penyakit memasuki fase destruksi.

Konsentrasi enzim lisosom yang tinggi pada cairan sinovial memicu kerusakan

ireversibel pada kartilago hialin. Akumulasi fibrin pada permukaan sinovial

membentuk jaringan granulasi vaskular yang disebut sebagai panus. Panus pada

akhirnya menginvasi permukaan artikular yang berdekatan dengan sinovium,

mensekresi prostaglandin dan protease yang mengikis tepi kartilago yang telah

rusak. Akhirnya, sebagian besar area kartilago dirusak dan erosi tulang terjadi.

Sinovitis dan efusi sendi kronis mengakibatkan distensi kapsul sendi yang

menyebabkan ligamen melemah dan mengendur. Keadaan ini, bersama dengan

kerusakan sendi dan kelemahan otot penyangga menyebabkan ketidakstabilan

sendi yang berakibat pada deformitas sendi yang khas pada artritis reumatoid.

2.1.6 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi

pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,

bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan

kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba

akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/ nyeri, bila sudah tidak

tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.

Menurut Muttaqin (2008) kelainan yang dapat terjadi pada artritis

reumatoid adalah sebagai berikut:

1. Kelainan pada sinovial

Kelainan AR dimulai pada sinovial berupa sinovitis. Pada tahap awal

terjadi hiperemia dan pembengkakan pada sel-sel yang meliputi sinovial disertai

Page 7: BAB 2

13

infiltrasi limfosit dan sel-sel plasma. Selanjutnya terjadi pembentukan vilus yang

berkembang ke ruang sendi dan terjadi nekrosis dan kerusakan dalam ruang sendi.

Pada pemeriksaan mikroskopik, ditemukan daerah nekrosis fibrinoid yang diliputi

jaringan fibroblas membentuk garis radial ke arah bagian yang nekrosis.

2. Kelainan pada tendon

Pada tendon terjadi tenosinovitis disertai invasi kolagen yang dapat

menyebabkan ruptur tendon secara parsial atau total.

3. Kelainan pada tulang. Kelainan yang terjadi pada daerah artikular dibagi dalam

tiga stadium:

1) Stadium I (stadium sinovitis). Pada tahap awal terjadi kongesti vaskular,

proliferasi sinovial disertai infiltrasi lapisan subsinovial oleh sel-sel

polimorfi limfosit dan sel plasma. Selanjutnya terjadi penebalan struktur

kapsul sendi disertai pembentukan vili pada sinovium dan efusi pada sendi/

pembungkus tendon.

2) Stadium II (stadium destruksi). Pada stadium ini inflamasi berlanjut menjadi

kronis serta terjadi destruksi sendi dan tendon. Kerusakan pada tulang rawan

sendi disebabkan oleh enzim proteolitik dan jaringan vaskular pada lipatan

sinovial serta jaringan granulasi yang terbentuk pada permukaan sendi

(panus). Erosi tulang terjadi pada bagian tepi sendi akibat invasi jaringan

granulasi dan resorpsi osteoklas. Pada tendon terjadi tenosinovitis disertai

invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendon parsial ataupun total.

3) Stadium III (stadium deformitas). Pada stadium ini kombinasi antara

destruksi sendi, ketegangan selaput sendi, dan ruptur tendon akan

menyebabkan instabilitas dan deformitas sendi. Kelainan yang mungkin

Page 8: BAB 2

14

ditemukan pada stadium ini adalah ankilosis jaringan yang selanjutnya dapat

menjadi ankilosis tulang. Inflamasi yang terjadi mungkin sudah berkurang

dan kelainan yang timbul tertutama karena gangguan mekanis dan

fungsional pada sendi.

4. Kelainan pada jaringan ektra-artikular.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid

Pemeriksaan radiologi. Pada tahap awal, foto rontgen tidak menunjukkan

kelainan yang mencolok. Pada tahap lanjut, terlihat rarefaksi korteks sendi yang

difus dan disertai trabekulasi tulang, obliterasi ruang sendi yang memberi

perubahan degeneratif berupa densitas, iregularitas permukaan sendi, serta

spurring marginal. Selanjutnya bila terjadi destruksi tulang rawan, akan terlihat

penyempitan ruang sendi dengan erosi pada beberapa tempat (Muttaqin, 2008).

Pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan laju endap darah,

anemia normositik hipokrom, reaksi protein-C positif dan mukoprotein

meningkat, faktor reumatoid positif 80% (uji Rose-Waaler) dan faktor antinuklear

positif 80%, tetapi kedua uji ini tidak spesifik (Muttaqin, 2008).

Menurut Doengoes (2002), pemeriksaan diagnostik AR meliputi faktor

reumatoid positif pada 80%-90% kasus. Fiksasi lateks positif pada 75% dari

kasus-kasus khas. Reaksi aglutinasi positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas.

LED umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h), mungkin kembali nomal

sewaktu gejala-gejala meningkat. Protein C-reaktif positif selama masa

eksaserbasi. SDP meningkat pada waktu timbul proses inflamasi. JDL umumnya

menunjukkan anemia sedang. IgM dan IgG peningkatan besar menunjukkan

proses autoimun sebagai penyebab AR. Sinar X dari sendi yang sakit

Page 9: BAB 2

15

menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis

dari tulang yang berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista

tulang, memperkecil jarak sendi, dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang

terjadi secara bersamaan. Scan radionuklida identifikasi peradangan sinovium.

Artroskopi langsung visualisasi dari area yang menunjukkan iregularitas/

degenerasi tulang pada sendi. Aspirasi cairan sinovial mugkin menunjukkan

volume yang lebih besar dari normal; buram, berkabut, munculnya warna kuning

(respons inflamasi, perdarahan, produk-produk pembuangan degeneratif); elevasi

SDP dan leukosit, penurunan viskositas dan komplemen (C3 dan C4). Biopsi

membran sinovial menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.

2.1.8 Penatalaksanaan Artritis Reumatoid

1. Penatalaksanaan farmakologis

Terapi farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS,

coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan

nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri

akut diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih

dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik

pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008). Pengobatan

dengan medikamentosa ini dibagi atas beberapa kelompok:

1) Pengobatan secara simptomatik

Simpel analgesik, misalnya: paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat

anti inflamasi non-steroid, misalnya: Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen,

sodium diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya:

prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk

Page 10: BAB 2

16

mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan

terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan

sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya

di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Efek samping yang paling

umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun

diare ringan. Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara

sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan

pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan

penderita. Penderita dapat mengalami super infeksi oleh kuman lain yang dapat

membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, apalagi

bila terdapat infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang

semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila

pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tidak akan mampu

menghilangkan rasa sakit pada sendi. Dalam keadaan tertentu memang

digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita

AR yang berat atau pemakaian suntikan setempat (lokal/ intra-artikular).

2) Pengobatan secara remitif

Cara kerja pengobatan remitif ini menghambat faktor AR menjadi negatif,

sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama

penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang

lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat

bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai

berbulan dan diperlukan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium pada

waktu-waktu tertentu.

Page 11: BAB 2

17

Penicillamine adalah merupakan hasil pemecahan produk degradasi dari

penicillin sebagai antibiotika. Dengan dipecahnya makroglobulin ini, maka

faktor AR menjadi negatif sehingga perjalanan penyakitnya ikut dihambat dan

bila berlangsung dalam jangka waktu yang diperlukan, maka penderita akan

sampai pada stadium remisi yang sempurna (complete remission). Penderita

seolah-olah sembuh, tanpa keluhan, tanpa obat. Kadang-kadang masa remisi ini

dapat berlangsung sampai lebih dari tiga tahun. Efek samping adalah urtikaria,

nausea, muntah, diare, proteinuria, hilangnya rasa kecap terutama terhadap

manis dan asin, dan peninggian transaminasi (Adnan, 2008).

2. Pengobatan nonfarmakologis

1) Pengobatan fisioterapi

Fisioterapi perlu dalam menangani kasus AR untuk mencegah kerusakan

sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai

remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara perlahan

sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda

dapat dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai

berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan

fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara

perlahan (Adnan, 2008). Penderita yang menjadi cacat karena AR dapat

menggunakan alat bantu untuk dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari,

contoh sepatu ortopedik atau sepatu atletik khusus.

2) Pengobatan psikoterapi

Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan

untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam

Page 12: BAB 2

18

pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu

melakukan tugas sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga

petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana

lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008).

3) Terapi panas atau dingin

Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada AR meningkatkan aliran darah

ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang. Selain

itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan

jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri. Terapi panas dapat menggunakan

lilin paraffin, microwave, ultrasound, atau air panas. Cara menggunakan air

panas bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan

pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam

dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk mengurangi nyeri AR,

peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin dengan

menggunakan kantong dingin atau minyak yang mendinginkan kulit dan

sendi (Junaidi, 2006).

4) Terapi diet

Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan

menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan

dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien AR adalah

sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol

(Junaidi, 2006).

Page 13: BAB 2

19

5) Pembedahan

Menurut Flasher & Church (2011) tujuan pembedahan adalah mengurangi

nyeri, mempertahankan atau meningkatkan fungsi, mencegah atau

mengoreksi deformitas, mempertahankan kemandirian, memberikan

perbaikan secara kosmetik. Tujuan intervensi bedah adalah meningkatkan

kualitas hidup yang dialami. Beberapa kondisi memerlukan intervensi bedah

segera, misalnya fusi atau dekompresi vertebra yang mengalami subluksasi

dan mengakibatkan gejala neurologis, dan perbaikan tendon tangan yang

ruptur. Prosedur bedah elektif yang sering dilakukan:

1. Pembedahan jaringan lunak: sinovektomi, tenosinovektomi, pembebasan

kontraktur, perbaikan tendon, dekompresi saraf.

2. Pembedahan tulang dan sendi: artroskopi, osteotomi, artroplasti eksisi,

penggantian sendi, artrodesis.

2.1.9 Komplikasi Artritis Reumatoid

Komplikasi AR dibagi berdasarkan akibat proses penyakit dan akibat

pengobatan (kondisi iatrogenik). Tiga komplikasi yang spesifik dan sering terjadi

meliputi: osteoporosis, artritis septik, dan amiloidosis (Flasher & Church, 2011).

2.1.10 Penilaian Aktivitas Penyakit Artritis Reumatoid

Cara penilaian aktifitas penyakit artritis reumatoid, antara lain:

Tabel 2.2 Instrumen pengkajian yang sering digunakan menurut Symmonds

(1994) dalam Flasher & Church (2011)

Instrumen

Pengkajian

Hal yang dikaji oleh

instrumen Cara menggunakan

Health Assesment

Questionnaire

(HAQ)

Kemampuan fungsional

yang berkaitan dengan

aktivitas sehari-hari yang

biasa dilakukan di rumah.

Kuesioner dilengkapi oleh

pasien dengan menandai setiap

jawaban yang menggambarkan

tingkat kesulitan yang dialami

dalam melakukan aktivitas

khusus sehari-hari.

Page 14: BAB 2

20

Hitung sendi

European League

Against

Rheumatism

(EULAR) 28

Disease Activity

Score (DAS)

Visual Analogue

Scale (VAS)

Early Morning

Stiffness(EMS)

Jumlah total sendi yang

mengalami nyeri dan

jumlah total sendi yang

bengkak.

Manifestasi yang

dikumpulkan gabungan

skor yang diambil dari

hasil laju endap darah

(LED), VAS, sendi yang

mengalami nyeri tekan dan

pembengkakan.

Pengukuran pasien yang

subjektif biasanya

digunakan untuk nyeri

kesejahteraan, dan

pengukuran aktivitas

penyakit.

Waktu antara awitan

kekakuan sendi di pagi

hari dengan kekakuan

sendi permanen

Dua diagram atlas tubuh,

anterior dan posterior, yang

masing-masing menunjukkan

28 sendi yang mengalami

artritis inflamasi. Diagram

tersebut diberi tanda jika

terdapat pembengkakan atau

nyeri pada sendi setelah

pemeriksaan dengan menekan

dan menggerakkan sendi.

Penghitungan DAS tersedia

untuk melengkapi formula

yang memberikan skor

aktivitas penyakit.

Suatu garis horizontal 10 cm

yang menunjukkan skor dari

“terbaik” atau “terburuk”.

Pasien menandai titik yang

mewakili keparahan gejalanya

ada saat itu. Jarak tanda pada

garis diukur dan dicatat dalam

mm.

Pertanyaan diajukan dan

dicatat dalam jam dan/ atau

menit.

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan

akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah apapun

yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada

kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2002).

Menurut Mc. Caffery (1979) dalam Tamsuri (2012), nyeri didefinisikan

sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui

bila seseorang pernah mengalaminya.

Page 15: BAB 2

21

Menurut Asosiasi Nyeri Internasional (1979) dalam Tamsuri (2012), nyeri

adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang

berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun

potensial atau menggambarkan keadaan kerusakan jaringan tersebut diatas.

Menurut Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2012), nyeri adalah

sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang

diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka.

2.2.2 Kategori Nyeri

Menurut Brunner & Suddarth (2002) dua kategori dasar nyeri yaitu:

1. Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam

bulan. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan

cedera spesifik. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan respons stres simpatis,

frekuensi jantung, volume sekuncup, tekanan darah, dilatasi pupil, tegangan otot,

dan penurunan motilitas gastrointestinal, aliran saliva (mulut kering).

2. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap

sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik tidak mempunyai awitan yang

ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini

tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.

Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam

bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode yang dapat

berubah untuk membedakan antara nyeri akut dan nyeri kronik.

Page 16: BAB 2

22

2.2.3 Teori yang berhubungan dengan nyeri

Menurut Tamsuri (2012) terdapat berbagai teori yang menggambarkan

bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal

berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun

teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan.

1. Teori spesivisitas (specivicity theory)

Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke-17. Teori ini

didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus

mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan

mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus,

yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul

respons nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multi-

dimensional dapat mempengaruhi nyeri.

2. Teori pola (pattern theory)

Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang

mampu menghantarkan rangsang dengan cepat dan lambat. Kedua serabut saraf

tersebut bersinapsis pada medula spinalis dan meneruskan informasi ke otak

mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan

karakter dan kuantitas input sensori nyeri.

3. Teori gerbang kendali nyeri (gate control theory)

Pada tahun 1959, Melzack & Wall menjelaskan teori gerbang kendali

nyeri yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” dapat memfasilitasi

atau memperlambat transmisi sinyal nyeri.

Page 17: BAB 2

23

Informasi mengenai nyeri hanya dapat disampaikan jika gate dibuka oleh

neurotransmiter eksitatori yang dilepaskan pada sinaps dari impuls nyeri. Gate

tersebut ditutup oleh pelepasan neurotrasmiter inhibitori dan neuromodulator.

Apabila impuls yang lebih besar atau yang lebih cepat menjalar sepanjang serabut

beta A yang bermielin dan lebih tebal melewati gate, lebih sulit bagi impuls nyeri

untuk melewatinya. Serabut beta A dirangsang oleh gosokan atau perubahan

temperatur kulit. Oleh sebab itu dengan menekan area injeksi sebelum melakukan

injeksi dapat membantu mengaktivasi serabut beta A mengurangi atau

menghambat sinyal nyeri dari jarum. Dengan cara yang sama, aplikasi panas atau

dingin pada kulit akan mengirimkan perubahan pesan temperatur melalui gate

daripada pesan nyeri. Impuls desenden dari otak, batang otak, korteks serebral,

dan talamus juga memiliki efek terhadap gate. Sinyal inhibitori dari korteks

karena perasaan tenang dan terkontrol membantu menurunkan persepsi nyeri.

Demikian pula modulasi dengan distraksi menggunakan imajinasi terbimbing

dapat mencegah atau meredakan nyeri yang dirasakan (Gregory, 2011).

2.2.4 Persepsi Nyeri

Struktur spesifik dalam sistem saraf terlibat dalam mengubah stimulus

menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri

disebut sistem nosiseptif. Menurut Brunner & Suddarth (2002) faktor-faktor yang

dapat meningkatkan dan menurunkan sensitivitas komponen yang berbeda dari

sistem nosiseptif sebagai berikut:

1. Transmisi nyeri

Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang

berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak. Stimuli

Page 18: BAB 2

24

tersebut sifatnya bisa mekanik, termal, kimia. Sendi, otot skelet, fasia, tendon, dan

kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai potensi untuk metransmit

stimuli yang menyebabkan nyeri.

Mediator kimia dari nyeri. Sejumlah substansi yang mempengaruhi

sensitivitas ujung-ujung saraf atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan

ekstraseluler sebagai akibat dari kerusakan jaringan. Zat-zat kimiawi yang

meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin,

asetilkolin, dan substansi P. Prostaglandin adalah zat kimiawi yang diduga dapat

meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang

menimbulkan nyeri dari bradikinin.

Endorfin dan Enkefalin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi

sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri. Endorfin dan enkefalin, substansi

seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh, adalah contoh dari substansi yang

menghambat transmisi impuls nyeri. Endorfin dan enkefalin dapat menghambat

impuls nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula

spinalis. Individu dengan endorfin yang banyak lebih sedikit merasakan nyeri dan

mereka dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

2. Kornu dorsalis dan jaras asenden

Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat

memproses sensori. Serabut perifer (misal perifer nyeri) berakhir disini dan

serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara

sistem neuronal desenden dan traktus asenden. Traktus asenden berakhir pada

otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks

serebri.

Page 19: BAB 2

25

Teori gerbang kendali nyeri (Wall, 1978) proses dimana terjadi interaksi

antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi

tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri melalui sirkuit

gerbang penghambat. Sel-sel inhibitori dalam kornu dorsalis medulla spinalis

mengandung enkefalin, yang menghambat transmisi nyeri. Teori ini menjelaskan

bagaimana aktivitas tertentu menurunkan persepsi nyeri. Respons pertama

individu yang terpukul ibu jarinya dengan palu adalah memasukkan ibu jarinya ke

dalam mulut atau dalam air dingin. Aksi ini menstimulasi serabut tidak nyeri

(non-nosiseptif) dalam tempat reseptor yang sama dengan serabut perasa nyeri

(nosiseptor) diaktifkan. Stimulasi sejumlah besar serabut non-nosiseptor, yang

bersinaps pada serabut inhibitor dalam kornu dorsalis, menghambat (sampai suatu

tingkat) transmisi sensasi nyeri dalam jaras asenden.

3. Sistem kontrol desenden

Sistem kontrol desenden adalah suatu sistem serabut berasal dalam otak

bagian bawah dan bagian tengah (terutama periaqueductal gray matter) dan

berakhir pada serabut interneuronal inhibitor dalam kornu dorsalis dari medulla

spinalis. Sistem ini kemungkinan selalu aktif, keadaan aktif ini mencegah

transmisi terus-menerus stimulus nyeri, sebagian melalui aksi dari endorphin.

Proses kognitif dapat menstimulasi produksi endorfin dalam sistem kontrol

descenden. Efektivitas dari sistem ini digambarkan oleh efek distraksi. Sebagai

contoh, individu yang mencoba menyelamatkan diri dri api sering tidak

menyadari bahwa mereka menderita luka bakar sampai mereka mencapai tempat

yang aman. Agar bisa mencapai keselamatan, otak menutup persepsi nyeri yang

secara relatif kurang penting, dengan menstimulasi sistem kontrol descenden.

Page 20: BAB 2

26

Nyeri kronis yang hebat dapat meyebabkan depresi, pada gilirannya dapat

mengakibatkan menurunnya aktivitas dalam sistem kontrol desenden dan

meningkatkan persepsi nyeri.

2.2.5 Respons terhadap Nyeri

Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai

sistem nosiseptif. Sensitivitas dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi

oleh sejumlah faktor dan berbeda di antara individu (Brunner & Suddarth, 2002).

Respon individu terhadap nyeri ada 3 tahap, yaitu:

1. Tahap aktivasi (activation), dimulai saat pertama individu menerima

rangsangan nyeri, sampai tubuh bereaksi terhadap nyeri yang meliputi respon

simpatoadrenal, respon muskuler, dan respon emosional.

2. Tahap pemantulan (rebound), pada tahap ini nyeri sangat hebat tapi singkat.

Pada tahap ini, sistem simpatis mengambil alih tugas sehingga menjadi respon

yang berlawanan dengan tahap aktivasi.

3. Tahap adaptasi (adaptation), nyeri berlangsung lama, tubuh melakukan

adaptasi melalui peran endorphin. Reaksi adaptasi tubuh terhadap nyeri dapat

berlangsung beberapa jam atau beberapa hari. Bila nyeri berkepanjangan, maka

akan menurunkan sekresi norepinefrin sehingga individu merasa tidak berdaya.

2.2.6 Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri (nosiresptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk

menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri

adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus

kuat yang secara potensial merusak. Secara anatomis reseptor nyeri (nosireseptor)

ada yang bermielin dan tidak bermielin dari syaraf perifer (Tamsuri, 2012).

Page 21: BAB 2

27

Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari

daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan

kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:

1. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det)

yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan.

2. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2 m/det)

yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan

sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan

nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Nyeri viseral dapat

menyebabkan nyeri alih (reffered pain), yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah

yang berbeda/ jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut. Nyeri pindah ini dapat

terjadi karena adanya sinaps jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut

yang berasal dari jaringan subkutan tubuh.

Page 22: BAB 2

28

Berdasarkan jenis rangsang yang dapat diterima oleh nosiseptor, di dalam

tubuh manusia terdapat beberapa jenis nosiseptor, yaitu: nosiseptor termal,

nosiseptor mekanik, nosiseptor elektrik, dan nosiseptor kimia. Adanya berbagai

macam nosiseptor ini memungkinkan terjadinya nyeri karena pengaruh mekanis,

kimia, listrik, atau karena perubahan suhu. Serabut nyeri jenis A delta merupakan

serabut nyeri yang lebih banyak dipengaruhi oleh rangsang mekanik daripada

rangsang panas dan kimia, sedangkan serabut nyeri jenis C lebih dipengaruhi oleh

rangsangan suhu, kimia, dan mekanik kuat (Tamsuri, 2012).

Menurut Gregory (2011) jalur nyeri ada empat tahap yang terlibat dalam

fisiologi nyeri: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.

1) Tahap satu: transduksi

Ujung saraf atau nosiseptor mendeteksi stimulus dari satu proses atau lebih.

1. Mekanoreseptor dirangsang oleh rangsangan mekanis, seperti kompresi atau

peregangan.

2. Temperatur yang bervariasi dari panas sampai dingin merangsang

termoreseptor.

3. Stimulasi kimia nosiseptor dengan dilepaskannya bradikinin, asam laktat,

kalium, atau prostaglandin yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat

cedera, inflamasi atau pembedahan.

Ketika stimulasi nosiseptor yang terhubung dengan ujung distal serabut

nyeri aferen primer mencapai level tertentu, stimulasi tersebut dikonversi menjadi

impuls listrik.

Page 23: BAB 2

29

2) Tahap dua: transmisi

Impuls listrik diteruskan sepanjang serabut ke sistem saraf pusat, yang

kemudian memasuki medula spinalis pada substansia grisea di tanduk dorsal.

Disini, sinaps serabut nyeri dan impuls nyeri melintas dari tanduk dorsal ke area

yang berlawanan dengan medula spinalis sebelum menjalar naik ke traktus

spinotalamus dan menuju talamus di otak.

3) Tahap tiga: persepsi

Pusat nyeri lebih tinggi di otak menafsirkan impuls elektro kimia. Dari

talamus, sinaps serabut nyeri berisi lebih banyak neuron menjalar pada area basal

otak dan korteks somatosensorik. Nyeri dirasakan pada otak tengah, tetapi

apresiasi terhadap kualitas nyeri yang tidak menyenangkan bergantung pada

korteks serebral.

4) Tahap empat: modulasi

Traktus saraf desenden yang sebagian besar merupakan inhibitori,

bertanggung jawab terhadap modulasi persepsi nyeri. Kontrol desenden dari pusat

yang lebih tinggi di otak meliputi batang otak, formasi retikuler, hipotalamus, dan

korteks serebral dapat memodifikasi nyeri.

2.2.7 Respons Fisiologis dan Perilaku terhadap Nyeri

Perubahan fisiologis involunter dianggap sebagai indikator nyeri yang

lebih akurat dibanding laporan verbal pasien. Respons involunter ini seperti

meningkatnya frekuensi nadi dan pernapasan, pucat dan berkeringat adalah

indikator rangsangan sistem saraf otonom, bukan nyeri.

Respons perilaku terhadap nyeri mencakup pernyataan verbal, perilaku

vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau

Page 24: BAB 2

30

perubahan respons terhadap lingkungan. Individu yang mengalami nyeri akut

dapat menangis, merintih, merengut, tidak menggerakkan bagian tubuh,

mengepal, atau menarik diri (Brunner & Suddarth, 2002).

2.2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri

Nyeri yang dialami oleh pasien dipengaruhi oleh sejumlah faktor,

termasuk pengalaman masa lalu dengan nyeri, ansietas, usia, dan pengharapan

tentang penghilang nyeri (efek plasebo). Menurut Brunner & Suddarth (2002)

faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan toleransi terhadap nyeri

dan pengaruh sikap respons terhadap nyeri:

1. Pengalaman masa lalu dengan nyeri

Adalah menarik untuk berharap dimana individu yang mempunyai

pengetahuan multipel dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah

dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding orang yang hanya mengalami sedikit

nyeri. Individu yang berpengalaman dengan nyeri yang dialami, makin takut

individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan.

2. Ansietas dan nyeri

Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan

persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri

dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.

3. Budaya dan nyeri

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang

berespons terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku

dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi

persepsi nyeri.

Page 25: BAB 2

31

4. Usia dan nyeri

Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui

secara luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan

fisiologis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Cara lansia berespons

terhadap nyeri berbeda dengan cara berespons orang yang berusia lebih muda.

Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam

waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan.

Lansia mengatasi nyeri sesuai dengan gaya hidup, kepribadian, dan latar belakang

budaya mereka.

5. Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau

tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut

benar-benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan

efek positif. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorfin dalam

sistem kontrol desenden. Efek ini merupakan respons fisiologis sejati yang dapat

diputarbalik oleh nalokson, suatu antagonis narkotik.

6. Kurangnya pengetahuan

Kurangnya pengetahuan mempengaruhi keyakinan individu apakah ia

mampu mengendalikan situasi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pemberian

informasi sebelum pembedahan yang didasari berdampak positif terhadap nyeri,

dengan penggunaan analgesia yang lebih sedikit.

Page 26: BAB 2

32

2.2.9 Strategi Penatalaksanaan Nyeri

Menurut Brunner & Suddarth (2002) tindakan nonfarmakologis, yaitu:

1. Stimulasi dan masase kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan

pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor

tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat

mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat membuat

pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.

2. Terapi es dan panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang

efektif pada beberapa keadaan. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan

menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang reseptor yang

sama seperti pada cedera. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang

memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera

dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan

meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut

menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.

3. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan (TENS)

Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang

dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk

menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.

TENS dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-

nosiseptor) dalam area sama seperti pada serabut yang mentransmisikan nyeri.

Page 27: BAB 2

33

4. Distraksi

Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi

sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang

ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien

untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Kunjungan dari

keluarga dan teman-teman, melihat film layar lebar dengan “surround sound”

melalui headphone sangat efektif dalam meredakan nyeri. Dengan nyeri yang

hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta

dalam aktivitas mental atau fisik yang kompleks.

5. Teknik relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi sederhana

terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat

memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang

konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama

setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekhalasi (“hembuskan, dua, tiga”).

6. Imajinasi terbimbing

Menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara

khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing

untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan napas

berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan.

Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa

dengan setiap napas yang diekshalasi secara lambat ketegangan otot dan

ketidaknyamanan dikeluarkan, menyebabkan tubuh yang rileks dan nyaman.

Page 28: BAB 2

34

Setiap kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh

dialirkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas dihembuskan, pasien

diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa

pergi nyeri dan ketegangan.

7. Hipnosis

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah

analgetik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Mekanisme kerja hipnosis

tidak jelas tetapi tidak tampak diperantarai oleh sistem endorfin. Keefektifan

hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik individu. Pada beberapa kasus

hipnosis dapat efektif pada pengobatan pertama, keefektifannya meningkat

dengan tambahan sesi hipnotik berikutnya. Pada kebanyakan situasi hipnosis

harus dicetuskan oleh orang yang terlatih secara khusus (psikolog atau perawat

dengan pelatihan yang dikhususkan untuk hipnosis) dan dapat efektif selain

penggunaan analgesik standar.

8. Akupuntur

Akupuntur mencakup pemasangan jarum halus pada titik tertentu dari

tubuh mengikuti meridian energi. Titik ini telah dipetakan dan digunakan secara

sistematis dalam pengobatan tradisional Cina. Stimulus diberikan pada titik

tertentu, baik secara mekanis misalnya dengan merotasi jarum, atau secara

elektris. Akupuntur dapat menimbulkan nyeri dan merangsang pelepasan

endorfin, yang meningkatkan efek analgesik.

Page 29: BAB 2

35

Intervensi farmakologis, antara lain:

1. Analgesik Dikontrol Pasien (ADP)

ADP telah digunakan secara efektif untuk menangani nyeri pasca operasi

sebagaimana nyeri kronis. Pompa ADP adalah pompa infus yang dikontrol secara

elektronik dengan alat pengatur waktu. Pasien yang mengalami nyeri dapat

memberikan sejumlah kecil medikasi secara langsung ke dalam intravena,

subkutan, atau kateter epidural mereka dengan menekan tombol. Pompa kemudian

memberikan medikasi analgesik dalam jumlah yang telah ditetapkan. Pasien yang

menggunakan pompa seperti ini untuk mengontrol nyeri mendapat peredaan nyeri

yang lebih baik dan membutuhkan medikasi nyeri lebih sedikit dibanding mereka

yang diobati dengan cara “prn”.

2. Agens anestetik lokal

Anestesi lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf saat diberikan

langsung ke serabut saraf. Anestesi lokal dapat diberikan langsung ke tempat yang

cedera atau secara langsung ke serabut saraf melalui suntikan atau saat

pembedahan. Penggunaan anestesi lokal telah berhasil dalam menurunkan nyeri.

Anestesi lokal dengan cepat diserap ke dalam aliran darah yang mengakibatkan

penurunan ketersediaan pada tempat cedera atau pembedahan dan meningkatkan

tingkat anestetik dalam darah, sehingga meningkatkan resiko toksisitas. Agens

vasokonstriksi (misal epinefrin dan fenilefrin) ditambahkan ke dalam anestetik

untuk mengurangi penyerapan sistemik dan mempertahankan konsentrasinya pada

tempat cedera atau pembedahan.

Page 30: BAB 2

36

3. Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID)

Obat antiinflamasi non-steroid bekerja secara perifer pada area yang

cedera dengan menghentikan respons inflamasi. Dengan menurunkan suhu tubuh,

obat ini bertindak sebagai analgesik antipiretik. NSAID digunakan untuk

mengatasi sakit kepala, migrain, cedera, untuk nyeri dan inflamasi akibat artritis,

gangguan muskuloskeletal, dan nyeri pasca bedah. NSAID cenderung kurang

menyebabkan sedasi, depresi pernapasan, atau perubahan alam perasaan

dibandingkan opioid. NSAID yang diberikan per oral, sangat efektif untuk nyeri

sedang sampai nyeri hebat pasca bedah.

4. Analgesik

Transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi sinyal nyeri menyebabkan

penafsiran nyeri oleh otak. Analgesia bertujuan untuk menghambat sinyal nyeri

pada beberapa titik sepanjang jalur penjalaran nyeri. Analgesia menghentikan

pembentukan prostaglandin, menghambat transmisi nyeri sepanjang saraf atau

mengubah persepsi nyeri di dalam korteks serebral.

2.2.10 Pengkajian Persepsi Nyeri

1. Mengkaji persepsi nyeri

Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri

seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus

memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah dimengerti dan digunakan,

memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien, mudah dinilai, sensitif terhadap

perubahan kecil dalam intensitas nyeri.

Page 31: BAB 2

37

Informasi yang diperlukan menggambarkan nyeri ada beberapa cara:

1) Intensitas nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal

(misal tidak nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau 0 sampai 10: 0 = tidak ada

nyeri, 10 = nyeri sangat hebat).

2) Karakteristik nyeri

Termasuk letak untuk area dimana nyeri pada beberapa organ mungkin

merupakan alih, durasi (menit, jam, hari, bulan, dsb), irama (misal terus-menerus,

hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya intensitas atau keberadaan

dari nyeri) dan kualitas (misal nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti

digencet).

3) Faktor-faktor yang meredakan nyeri

Misal gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat

bebas, dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.

Banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu tentang apa yang akan

menghilangkan nyerinya. Perilaku ini sering didasarkan pada pengalaman atau

trial and error.

4) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari

Misal tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain,

gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai). Nyeri akut sering berkaitan

dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.

5) Kekhawatiran individu tentang nyeri

Dapat diliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi,

prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

Page 32: BAB 2

38

2. Strategi pengkajian

Menurut Carr & Mann (2000), observasi yang mengindikasikan nyeri

meliputi:

1) Bahasa tubuh: tetap diam, waspada, berayun, gelisah, dan berubah dalam

gaya berjalan.

2) Ekspresi wajah: menangis, menyeringai, otot tegang, terlihat waspada,

mengatupkan atau menggetarkan gigi.

3) Vokalisasi: mendesah, menangis, merintih, perubahan nada suara, gangguan

berbicara, memanggil.

4) Jarak: diam, menarik diri, atau tidak komunikatif.

5) Emosional: khawatir, marah, sedih, atau perubahan alam perasaan.

3. Evaluasi keefektifan strategi intervensi nyeri

Hasil-hasil yang diharapkan berikut ini digunakan untuk mengkaji

keefektifan tindakan pereda nyeri:

1) Pencapaian peredaan nyeri, meliputi: nilai nyeri pada intensitas yang lebih

rendah (pada skala 0-10) setelah intervensi dan nilai nyeri pada intensitas

yang lebih rendah untuk periode yang lebih panjang.

2) Pasien atau keluarga memberikan medikasi analgesik yang diresepkan

dengan benar, meliputi: menyebutkan dosis obat yang benar, memberikan

dosis obat dengan menggunakan prosedur yang benar, mengidentifikasi efek

samping obat, menjelaskan tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau

mengkoreksi efek samping

Page 33: BAB 2

39

3) Menggunakan strategi nyeri nonfarmakologik sesuai direkomendasikan,

meliputi: melaporkan praktik dari strategi nonfarmakologis dan

menggambarkan hasil yang diharapkan dari strategi nonfarmakologis.

4) Melaporkan efek minimal nyeri dan efek samping minimal dari intervensi,

meliputi: berpartisipasi dalam aktivitas yang penting untuk diri sendiri dan

keluarga (misal: minum, batuk, ambulasi), berpartisipasi dalam aktivitas

yang penting untuk diri sendiri dan keluarga (misal aktivitas keluarga,

hubungan interpersonal, menjadi orangtua, interaksi sosial, rekreasi,

pekerjaan), dan melaporkan tidur yang adekuat dan tidak ada keletihan.

2.2.11 Instrumen Pengkajian Nyeri

Menurut Gregory (2011), instrumen pengkajian nyeri antara lain:

1. Skala Analog Visual (Visual Analogue Scale, VAS)

Skala ini digambarkan dengan garis lurus, biasanya panjangnya mencapai

10 cm. Salah satu ujungnya ditandai “tidak ada nyeri”, dan ujung lainnya ditandai

“nyeri hebat”. Metode ini digunakan secara luas, terutama dalam penelitian.

Kelebihan VAS adalah:

1) Pasien dapat menandai derajat nyeri yang dirasakan dengan akurat.

2) Skala ini menghasilkan ukuran yang sensitif yang merefleksikan perubahan

seiring waktu dan dengan intervensi berbeda. Misalnya, tanda awal pada ttik

7,25 cm, yang diukur dari ujung “tidak ada nyeri” pada skala, akan berubah

ke titik yang lebih rendah dengan intervensi yang efektif.

3) Skala ini cepat dan mudah digunakan, mudah direproduksi, dan diguakan

secara universal untuk mengukur nyeri dan keefektifan pereda nyeri.

Page 34: BAB 2

40

Kekurangan VAS adalah:

1) Merupakan alat ukur nyeri satu dimensi

2) Hanya menggambarkan nyeri yang terjadi pada saat itu

3) Pasien lansia, konfusi, anak-anak, dan mereka yang mengalami gangguan

fungsi kognitif sulit menggunakan VAS karena membuuhkan pemikiran

yang abstrak dalam menggunakan VAS.

4) Membutuhkan imajinasi yang adekuat

5) Tidak relevan bagi pasien yang mengalami nyeri hebat atau kronis

2. Skala Nilai Numerik (Numerical Rating Scale, NRS)

Dengan NRS, pasien diminta untuk menilai nyeri yang mereka rasakan

dengan angka, secara umum menggunakan skala 0-10, dengan 0 tidak ada nyeri

dan 10 adalah nyeri yang tak tertahankan atau sangat hebat. Beberapa unit

menggunakan skala 0-3 atau 0-5 dengan dasar yang sama.

Keuntungannya adalah skala ini memiliki sensitivitas yang lebih besar dan

menghindari kesalahpahaman yang erjadi ketika kita menginterpretasikan nyeri

secara lisan. Keterbatasannya berhubungan dengan individu yang mengalami

kesulitan untuk membayangkan nyeri yang ia rasakan dalam bentuk angka.

3. Skala Deskriptor Verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

Skala ini menggunakan kata untuk menggambarkan derajat nyeri,

misalnya tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, atau nyeri hebat. Keuntungan

VDS adalah skala ini cepat dan mudah digunakan, dapat disesuaikan dengan

mudah dan sering dikombinasikan dengan skor numerik. Pasien yang memiliki

keterbatasan intelegensi, gangguan keteramplan motorik, atau nyeri hebat

cenderung lebih memilih VDS.

Page 35: BAB 2

41

Keterbatasan utama VDS berhubungan dengan kata yang digunakan dan

asumsi bahwa ada interval yang sama di antara kata yang disesuaikan. Namun,

pasien akan menggambarkan nyeri mereka dengan cara berbeda pada waktu yang

berbeda dan pasien yang berbeda akan menggambarkan nyeri yang sam dengan

cara yang berbeda. Akibatnya, VDS menjadi kurang sensitif karena istilah dapat

disalahartikan dan pasien dapat mengalami kesulitan untuk mengungkapkan

sedikit perubahan pada nyeri yang mereka rasakan.

4. Skor Numerik Deskriptor Verbal

Pada instrumen ini ditambahkan angka pda penjelasan yang digunakan

untuk mengungkapkan nyeri; misalnya, 0= tidak ada nyeri, 1= nyeri ringan, 2=

nyeri sedang, 3= nyeri hebat. Instrumen ini memiliki beberapa keuntungan dan

keterbatasan yang sama seperti VDS dan NRS. Nyeri pascabedah sebaiknya dikaji

dengan skala sederhana, seperti VAS, VDS, atau skor numerik deskriptor verbal

karena skala ini mudah dan cepat digunakan pada lingkungan pembedahan akut.

5. Kuesioner

Kuesioner McGill berisi 78 pertanyaan yang merefleksikan dimensi:

1) Aspek sensorik: berkedut, menusuk, terbakar, dan ditusuk.

2) Aspek afektif: tegang, ketakutan, dan hukuman.

3) Aspek otonomik: melelahkan, menakutkan, menghukum, dan memuakkan.

4) Gambaran evaluasi: sengsara, mengganggu, dan tak tertahankan.

Bentuk singkat dari kuesioner digunakan secara klinis dan dalam

penelitian untuk mendapatkan informasi dalam waktu singkat dibandingkan

dengan kuesioner McGill standar.

Page 36: BAB 2

42

6. Skala Nyeri Menurut Bourbonnais

Skala nyeri bourbonnais adalah salah satu cara mengukur tingkat nyeri

berdasarkan penilaian objektif yang dilakukan oleh enumerator:

Skala 0 = tidak nyeri

Skala 1-3 = nyeri ringan. Secara objektif subjek peneliti dapat berkomunikasi

dengan baik, tindakan manual dirasakan sangat membantu.

Skala 4-6 = nyeri sedang. Secara obyektif subjek peneliti mendesis, menyeringai

dapat menunjukkan lokasi nyeri dengan tepat dan dapat mendeskripsikan nyeri,

subyek penelitian dapat mengikuti perintah dengan baik dan responsif terhadap

tindakan manual.

Skala 7-9 = nyeri berat. Secara objektif terkadang subjek penelitian dapat

mengikuti perintah tapi masih responsif terhadap tindakan manual, dapat

menunjukkan lokasi nyeri tapi tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi

dengan alih posisi, napas panjang, destruksi dll.

Skala 10 = nyeri sangat berat (panik tidak terkontrol). Secara objektif subjek

penelitian tidak mau berkomunikasi dengan baik, berteriak, dan histeris. Subjek

penelitian tidak dapat mengikuti perintah lagi, selalu mengejan tanpa dapat

dikendalikan, menarik-narik apa saja yang tergapai, dan tidak dapat menunjukkan

lokasi nyeri.

1 2 3 4 5 6 7 8 0 9 10

Tidak

nyeri

Nyeri

ringan

Nyeri

sedang

Nyeri

berat

terkontrol

Nyeri

berat tidak

terkontrol

Gambar 2 1 Skala Nyeri Bourbonnais

Page 37: BAB 2

43

2.2.12 Nyeri Artritis Reumatoid

1. Ciri khas nyeri artritis reumatoid

Menurut Junaidi (2006) gejala klinis RA pada saat yang bersamaan bisa

banyak sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris.

Jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga

meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan,

jari kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi

yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris,

terutama pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik.

Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi

kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah

kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.

Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom

terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit rematik yang dikenal

sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang

tersebar luas. Meskipun berfokus pada persendian, inflamasi juga melibatkan

bagian tubuh seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).

Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang berkembang cepat

dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula monoartritis lalu

poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung

sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode perandangan

diselingi oleh remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan rematoid ekstra

sinovium (Junaidi, 2006).

Page 38: BAB 2

44

Nyeri AR kronis adalah melibatkan antara peripheral dan sekeliling,

prosesnya meliputi adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P, serotonin),

pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh prostaglandin, TNF,

yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-linked pada afferent

berhubungan dengan neurons, glutamate menyebabkan kerusakan dorsal,

neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate (NMDAa) reseptor

yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005).

2. Mekanisme terjadinya nyeri artritis reumatoid

Pada AR nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses

imunologik pada sinovial (Harry, 2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen

kemudian terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan

antigen sehingga menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di

persendian sebagai sinovitis. Inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi

merupakan proses sekunder. Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi

memecah kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri melalui proses

edema, proliferasi membaran sinovial, pembentukan pannus, penghancuran

kartilago dan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Harry (2008)

nyeri artritis reumatoid dapat terjadi akibat:

1) Rangsangan pada nociceptor di dalam komponen perangkat biomekanik,

misalnya perangsangan nociceptor pada otot, sendi, tendon dan ligamen. Nyeri

jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik, sebagai mekanisme

pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau terjadinya

kerusakan. Oleh karena adanya nyeri ini, maka bagian yang terserang akan

diistirahatkan/imobilisasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.

Page 39: BAB 2

45

2) Penekanan saraf atau serabut saraf (radiks).

3) Perubahan postur yang menyebabkan fungsi untuk mengatur kontraksi otot

tidak sempurna.

4) Mekanisme psikosomatik.

3. Mekanisme pengurangan nyeri artritis reumatoid

Tujuan pengobatan AR adalah menghilangkan rasa sakit, meredakan

inflamasi, mempertahankan luas gerakan sendi, mencegah kecacatan dan

membantu penderita dalam mengatasi problema psikologis yang timbul sebagai

akibat dari penyakit kronis yang meninggalkan kecacatan ini. Pada prinsipnya

terapi yang dilakukan meliputi sendi yang meradang diistirahatkan karena

penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode

pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin,

diberikan obat nyeri, obat antiinflamasi nonsteroid atau steroid sistemik atau

pemberian logam emas, atau tindakan pembedahan untuk memperbaiki

deformitas. Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri.

Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau

beberapa sendi untuk mencegah kekakuan (Junaidi, 2006).

Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat pada saat istirahat,

sehingga penderita dapat terbangun dari tidur atau bahkan sulit tidur. Oleh karena itu,

cara-cara mengurangi nyeri sangat berharga bagi penderita, misalnya dengan kompres

hangat atau penggunaan obat anti nyeri jangka panjang. Penderita artritis reumatoid

sekurang-kurangnya harus beristirahat selama 10-12 jam pada malam hari dengan

penambahan satu waktu istirahat pada siang hari (Nainggolan, 2004).

Page 40: BAB 2

46

2.3 Konsep Kompres Hangat

2.3.1 Pengertian Kompres Hangat

Memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan cairan

atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan dengan

suhu 37o-40

oC (Kozier & Erb, 2009).

2.3.2 Tujuan Kompres Hangat

Kompres hangat berfungsi melebarkan pembuluh darah, menstimulasi

sirkulasi darah, dan mengurangi kekakuan. Selain itu, kompres hangat juga

berfungsi menghilangkan sensasi rasa sakit (Kozier & Erb, 2009).

2.3.3 Efek Fisiologis Kompres Hangat

Menurut Kozier & Erb (2009) efek fisiologis kompres hangat adalah

1. Vasodilatasi

2. Meningkatkan permeabilitas kapiler

3. Meningkatkan metabolisme seluler

4. Merelaksasi otot

5. Meningkatkan inflamasi, meningkatkan aliran darah ke suatu area

6. Meredakan nyeri dengan merelaksasi otot

7. Efek sedatif

8. Mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan sinovial

2.3.4 Indikasi Kompres Hangat

Tabel 2 3 Indikasi Kompres Hangat (Sumber: Kozier & Erb, 2009)

Indikasi Efek Hangat

Spasme otot

Inflamasi

Nyeri

Merelaksasi otot dan meningkatkan kontraktilitasnya.

Meningkatkan aliran darah, melunakkan eksudat.

Meredakan nyeri, kemungkinan dengan meningkatkan relaksasi

otot, meningkatkan sirkulasi, meningkatkan relaksasi psikologis,

dan merasa nyaman; bekerja sebagai counterirritant.

Page 41: BAB 2

47

Kontraktur

Kaku sendi

Mengurangi kontraktur dan meningkatkan rentang pergrakan

sendi dengan lebih memungkinkan terjadinya distensi otot dan

jaringan penyambung.

Mengurangi kaku sendi dengan menurunkan viskositas cairan

sinovial dan meningkatkan distensibilitas jaringan.

2.3.5 Efek Sistemik Kompres Hangat

Kompres hangat diberikan pada area tubuh lokal, terutama pada area tubuh

yang luas, dapat meningkatkan curah jantung dan ventilasi paru. Peningkatan

tersebut adalah hasil vasodilatasi perifer yang berlebihan, yang mengalihkan

sejumlah besar suplai darah dari organ dalam dan menghasilkan penurunan

tekanan darah. Penurunan tekanan darah yang signifikan dapat menyebabkan

klien pingsan. Klien yang memiliki penyakit jantung atau paru serta yang memliki

gangguan sirkulasi seperti arteriosklerosis akan lebih rentan terhadap efek

kompres dibandingkan orang sehat (Kozier & Erb, 2009).

2.3.6 Kontraindikasi Kompres Hangat

Menurut Kozier & Erb (2009) kondisi yang merupakan kontraindikasi

pemberian kompres hangat, yaitu:

1. Pada 24 jam pertama setelah cedera traumatik. Panas akan meningkatkan

perdarahan dan pembengkakan.

2. Perdarahan aktif. Panas menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan

perdarahan.

3. Edema non inflamasi. Panas meningkatkan permeabilitas kapiler dan edema.

4. Tumor ganas terlokalisasi. Karena panas mempercepat metabolisme sel,

pertumbuhan sel, dan meningkatkan sirkulasi, panas dapat mempercepat

metastase (tumor sekunder).

Page 42: BAB 2

48

5. Gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau lepuh. Panas dapat

membakar atau menyebabkan kerusakan kulit lebih jauh.

2.3.7 Metode Pemberian Kompres Hangat

1. Perlengkapan

1) Botol air hangat dengan tutupnya

2) Sarung botol

3) Air hangat dan sebuah termometer

2. Pelaksanaan

1) Jelaskan kepada klien apa yang akan anda lakukan, mengapa hal

tersebut diperlukan, dan bagaimana klien dapat bekerja sama. Diskusikan

bagaimana hasilnya akan digunakan untuk merencanakan perawatan atau

terapi selanjutnya.

2) Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi yang tepat

3) Berikan privasi klien

4) Berikan kompres hangat (variasi botol air panas):

1. Ukur suhu air. Ikuti praktik institusi tentang penggunaan suhu yang tepat.

Suhu yang sering digunakan 37-40OC.

2. Isi sekitar dua pertiga botol dengan air panas.

3. Keluarkan udara dari botol. Udara yang tetap berada di botol akan

mencegah botol mengikuti bentuk tubuh yang sedang dikompres.

4. Tutup botol dengan kencang.

5. Balikkan botol, dan periksa adanya kebocoran.

6. Keringkan botol.

7. Bungkus botol dengan handuk atau sarung botol air hangat.

Page 43: BAB 2

49

8. Untuk botol air hangat, selama 30-45 menit.

9. Dokumentasikan pemberian kompres hangat dan respons klien pada

catatan klien dengan menggunakan format atau daftar titik yang disertai

catatan narasi jika perlu (Kozier & Erb, 2009).

2.3.8 Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Nyeri

Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan

transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini

menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil.

Gerbang sinap menutup transmisi impuls nyeri. Kompres menggunakan air hangat

akan meningkatkan aliran darah, dan meredakan nyeri dengan menyingkirkan

produk-produk inflamasi, seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang

menimbulkan nyeri lokal. Panas akan merangsang serat saraf yang menutup

gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan ke otak dihambat.

2.4 Konsep Lanjut Usia (Lansia)

2.4.1 Pengertian Lanjut Usia

Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami

perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial (UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang lansia sebagai berikut:

1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas

2. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

3. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

Page 44: BAB 2

50

2.4.2 Batasan Umur Lanjut Usia

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Nugroho (2008) batasan-batasan

umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:

1. Menurut organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), ada

empat tahap yakni: usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia

(elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat

tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

2. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad (alm.), Guru Besar

Universitas Gadjah Mada Fakultas Kedokteran, periodisasi biologis

perkembangan manusia dibagi sebagai berikut: usia 0-1 tahun (masa bayi), usia

1-6 tahun (masa prasekolah), usia 6-10 tahun (masa sekolah), usia 10-20 tahun

(masa pubertas), usia 40-65 tahun (masa setengah umur, prasenium), usia 65

tahun ke atas (masa lanjut usia, senium).

3. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog Universitas Indonesia), lanjut usia

merupakan kelanjutan usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat

bagian, yaitu: fase iuventus) antara usia 25-40 tahun, fase verilitas antara usia

40-55 tahun, fase presenium antara usia 55-65 tahun, fase senium antara usia

65 tahun hingga tutup usia.

4. Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, SpKJ, lanjut usia

dikelompokkan sebagai berikut: usia dewasa muda (elderly adulthood) (usia

18/ 20-25 tahun), usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas (usia 25-60/

65 tahun), lanjut usia (getiatric age) (usia lebih dari 65/70 tahun), terbagi 70-75

tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan usia lebih dari 80 tahun (very old).

Page 45: BAB 2

51

5. Menurut Bee (1996), tahapan masa dewasa adalah sebagai berikut: usia 18-25

tahun (dewasa muda), usia 25-40 tahun (dewasa awal), usia 40-65 tahun

(dewasa tengah), usia 60-75 tahun (dewasa lanjut), usia >75 tahun (dewasa

sangat lanjut).

6. Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia terbagi dalam dua tahap, yakni:

early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age (usia 70 tahun ke atas).

7. Menurut Burnside (1979), ada empat tahap lanjut usia, yakni: young old (usia

60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun),

very old-old (usia 90 tahun ke atas).

2.4.3 Proses Penuaan

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak

hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan

kehidupan (Nugroho, 2008).

Menurut Buku Ajar Geriatri, Prof. DR. R. Boedhi Darmojo dan DR. H.

Hadi Martono (1994) dalam Nugroho (2008) mengatakan bahwa proses menua

adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,

sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan

yang diderita.

2.4.4 Teori-Teori Proses Penuaan

Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan

proses penuaan, yaitu: teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.

Page 46: BAB 2

52

1. Teori biologi

Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory,

teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.

1) Teori genetik dan mutasi

Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk

spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan

biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada

saatnya akan mengalami mutasi.

2) Immunology slow theory

Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan

bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat

menyebabkan kerusakan organ tubuh.

3) Teori stres

Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang

biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan

kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang

menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

4) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas

(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik

seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat

melakukan regenerasi.

Page 47: BAB 2

53

5) Teori rantai silang

Teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua

menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini

menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan dan hilangnya fungsi sel.

2. Teori psikologi

Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan

keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan

intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar

pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.

Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan

adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan

kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga

terkadang akan muncul aksi/ reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.

3. Teori sosial

Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu

teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement

theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory),

teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age

stratification theory).

1) Teori interaksi sosial

Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi

tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia,

kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi

Page 48: BAB 2

54

sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan

kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.

2) Teori penarikan diri

Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan

menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara

perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.

3) Teori aktivitas

Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana

seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta

mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan

aktivitas yang dilakukan.

4) Teori kesinambungan

Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan

lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran

kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup,

perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah

menjadi lansia.

5) Teori perkembangan

Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan

suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan

tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini

tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang

seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.

Page 49: BAB 2

55

6) Teori stratifikasi usia

Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan

bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia

secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari

sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.

Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai

lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan

dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.

4. Teori spiritual

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian

hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti

kehidupan.

2.4.5 Penyakit yang sering dijumpai pada lansia

Menurut Azizah (2011) dikemukakan adanya empat penyakit yang sangat

erat hubungannya dengan proses menua, yakni:

1. Gangguan sirkulasi darah, seperti: hipertensi, kelainan pembuluh darah,

gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal.

2. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes melitus, klimakterium, dan

ketidakseimbangan tiroid.

3. Gangguan pada persendian, seperti: osteoartritis, gout artritis, ataupun penyakit

kolagen lainnya.

4. Berbagai macam neoplasma

Page 50: BAB 2

56

2.5 Konsep Model Adaptasi Roy

Roy (1984) dalam Monica (2006) memandang orang sebagai sistem

adaptif yang berfungsi sebagai keutuhan melalui interdependensi dari bagian-

bagiannya. Sistem terdiri atas input, proses, output, dan umpan balik.

1. Input

Stimuli dari lingkungan eksternal dan internal, termasuk informasi

(stimuli), bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan

respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu: stimulus fokal, stimulus

konstektual dan stimulus residual.

1) Stimulus fokal adalah stimulus yang langsung berhadapan dengan

seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi.

2) Stimulus konstektual adalah semua stimulus lain yang dialami seseorang

baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat

diobservasi, diukur, dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini

muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada

stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.

3) Stimulus residual adalah ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan

situasi yang ada tetapi sukar untuk dievaluasi meliputi kepercayaan, sikap,

sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi

proses belajar untuk toleransi. Misal pengalaman nyeri pada pinggang ada

yang toleransi tetapi ada yang tidak.

Page 51: BAB 2

57

2. Kontrol

Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping

yang digunakan. Mekanisme kontrol dibagi atas regulator dan kognator yang

merupakan subsistem.

1) Subsistem regulator adalah mempunyai komponen-komponen: input,

proses, dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter

regulator sistem adalah kimia, neural, dan endokrin. Reflek otonom adalah

respon neural dan brain system dan spinal cord yang diteruskan sebagai

perilaku output dari regulator sistem.

2) Subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari

regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator

subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam

memproses informasi, penilaian dan emosi.

3. Output

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur, atau

secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar.

Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem.

Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau

respon maladaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang

secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan

tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi

dan keunggulan, sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak

mendukung tujuan ini.

Page 52: BAB 2

58

Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi

dengan menetapkan sistem efektor, yaitu empat mode adaptasi fisiologi, konsep

diri, fungsi peran dan interdependensi.

1) Fisiologis meliputi: oksigenasi, nutrisi, eliminasi aktifitas dan istirahat,

integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologi dan fungsi

endokrin.

2) Konsep diri mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola-pola

interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain.

3) Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan dengan

bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam

berhubungan dengan orang lain.

4) Independensi merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola kasih

saying, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara interpersonal pada

tingkat individu maupun kelompok.

Stimulus

Tingkat

adaptasi

Adaptasi

dan

respon

tidak

efektif

Umpan balik

Input Proses Output

Mekanisme

koping:

Regulator

Kognator

Perilaku koping:

Fisiologi

Citra diri

Perilaku peran

Independensi

Gambar 2 2 Proses adaptasi Roy (1984) dalam Monica (2006)

Page 53: BAB 2