bab 2
DESCRIPTION
PKMTRANSCRIPT
![Page 1: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/1.jpg)
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Artritis Reumatoid
2.1.1 Pengertian Artritis Reumatoid
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron yang berarti
sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, artritis berarti radang
sendi. Sedangkan artritis reumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
2.1.2 Klasifikasi Artritis Reumatoid
Buffer (2010) mengklasifikasikan artritis reumatoid menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Artritis reumatoid klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
2. Artritis reumatoid defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus-menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
3. Probable artritis reumatoid pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.
![Page 2: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/2.jpg)
8
4. Possible artritis reumatoid pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 3 bulan.
2.1.3 Kriteria Artritis Reumatoid
Untuk memastikan diagnosis artritis reumatoid, setidaknya empat dari
tujuh kriteria berikut harus ada. Empat kriteria pertama harus ditemukan dengan
durasi minimal 6 minggu.
Tabel 2.1 Kriteria American College Of Rheumatology untuk klasifikasi artritis
reumatoid (Arnett, 1988 dalam Flasher & Church, 2011)
Kriteria Definisi
1. Kaku di pagi hari
2. Artritis pada tiga
area sendi atau
lebih
3. Artritis pada area
sendi tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid
serum
7. Perubahan
radiografis
Kekakuan di pagi hari pada dan di sekitar sendi dengan
durasi lebih dari 6 minggu.
Minimal terdapat tiga sendi yang nyeri disertai
pembengkakan atau efusi jaringan lunak; jika hanya
terdapat pertumbuhan tulang yang berlebihan tidak
menjadi kriteria signifikan.
Minimal satu sendi tangan membengkak (seperti
kriteria 2): pergelangan tangan, metakarpofalangeal
(MCP) atau interfalangeal proksimal (PIP) dengan
durasi lebih dari 6 minggu.
Keterlibatan area sendi yang sama secara simultan
(seperti yang didefinisikan pada kriteria 2) pada kedua
sisi tubuh
Keterlibatan bilateral sendi PIP, MCP, atau
metatarsofalangeal (MTP) tanpa simetri absolut dapat
diterima.
Nodul subkutan pada tonjolan tulang, permukaan
ekstensor, atau pada daerah jukstaartikular.
Menunjukkan jumlah faktor reumatoid serum yang
abnormal, dengan suatu metode, yang positif pada
kurang dari 5% subjek kontrol yang normal.
Perubahan radiografis reumatoid yang khas terlihat
pada foto tangan posterior-anterior dan pergelangan
tangan, yang harus meliputi erosi dan dekalsifikasi
tulang periartikular definit.
Keterlibatan sendi ditandai dengan adanya nyeri sendi atau bengkak pada
saat pemeriksaan dengan bukti gambaran sinovitis. Sendi besar antara lain sendi
bahu, siku, panggul, lutut dan tumit. Sedangkan yang termasuk sendi kecil yaitu
![Page 3: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/3.jpg)
9
sendi metacarpophalangeal, interphalangeal distal, sendi metatarsophalangeal
kedua sampai kelima, sendi interphalangeal ibu jari, dan pergelangan tangan.
Antibodi anti-CCP lebih spesifik dibandingkan rheumatoid factor (RF) untuk
penegakan diagnosis artritis reumatoid secara dini lebih baik dalam memprediksi
progresivitas penyakit secara radiologis serta prognosis penyakit.
2.1.4 Etiologi Artritis Reumatoid
Penyebab pasti reumatoid artritis masih belum diketahui secara pasti. Hal
yang sudah pasti adalah etiologi penyakit ini adalah multi faktor. Banyak hipotesis
yang sedang diuji, tetapi teori dominan berkaitan dengan sistem imun. Menurut
Flasher & Church (2011) faktor-faktor penyebab artritis reumatoid antara lain:
1. Imunologi
Dua gambaran utamaya adalah
1) Faktor reumatoid pada cairan sinovial atau serum darah, yang
mengindikasikan pasien seropositif.
2) Peningkatan aktivitas sistem imun sel di dalam membran sinovial.
Gangguan terhadap respon autoimun merupakan dasar terapi obat, yang
saat ini digunakan untuk menekan aktivitas penyakit. Walaupun tidak ada agens
mikroba yang diidentifikasi sebagai faktor penyebab AR, diyakini bahwa agens
infeksius memicu penyakit pada individu yang berisiko secara genetik. Adanya
antigen, bakteri atau virus memicu respons autoimun dan produksi faktor
reumatoid, tetapi kejadian infeksi berulang tidak mempengaruhi penyakit.
2. Genetik
Faktor genetik berperan penting dalam perkembangan dan manifestasi AR.
Studi menunujukkan bahwa individu yang keluarganya memiliki riwayat AR
![Page 4: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/4.jpg)
10
berisiko tiga kali lebih tinggi daripada yang tidak memiliki. Identifikasi antigen
leukosit manusia (HLA) DW4 dan DR4 membuktikan kontribusi genetik terhadap
AR. Individu menunjukkan hasil positif terhadap pemeriksaan jenis jaringan HLA
secara genetik cenderung mengalami AR dengan peningkatan kemungkinan
terjadinya penyakit.
3. Hormonal
Status hormonal dapat mempengaruhi manifestasi AR. Terdapat bukti
bahwa kehamilan dapat mengurangi aktivitas penyakit reumatoid dan bahwa pil
kontrasepsi oral serta terapi sulih hormon merupakan faktor protektif pada wanita
yang memiliki predisposisi secara genetik. AR lebih umum terjadi pada wanita
setelah menarke dan sebelum menopause sehingga bertolak belakang dengan
bukti bahwa hormon wanita berperan penting dalam mengurangi keparahan gejala
dan pemburukan penyakit.
4. Diet
Sejumlah bukti subjektif terkait diet dan artritis telah banyak
dipublikasikan. Sejumlah besar pasien mencoba penanganan yang lebih aman,
yang meliputi diet, dengan harapan dapat pulih atau sembuh. Pasien kelompok
berisiko, dianjurkan diet yang sehat, seimbang, rendah lemak, dan gula. Jika
pasien kelebihan berat badan, menurunkan berat badan akan mengurangi tekanan
pada sendi ekstremitas bawah secara signifikan sehingga nyeri berkurang.
5. Faktor lain
Sampai saat ini belum diidentifikasi adanya kaitan langsung antara
lingkungan atau gaya hidup dengan AR. Namun, hal ini beserta faktor psikologis,
emosional, dan pendidikan dapat berperan dalam kemunculan dan perkembangan
![Page 5: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/5.jpg)
11
penyakit. Dieppe (1985) menjelaskan bagaimana stres emosional dan ansietas
dapat memicu pemburukan penyakit. Keadaan yang tidak dapat diperkirakan ini
sering berdampak pada individu, keluarga dan status sosial ekonomi mereka.
Sebagian besar individu mengaitkan pemburukan penyakit dengan kondisi cuaca
tertentu. Studi berskala kecil menunjukkan bahwa kekauan sendi berhubungan
dengan kelembapan dan skor nyeri lebih tinggi pada cuaca panas dan dingin.
Namun, tidak ada cukup bukti yang menyatakan bahwa iklim berdampak pada
proses atau prognosis penyakit.
2.1.5 Patologi Artritis Reumatoid
Menurut Flasher & Church (2011) perubahan patologis pada AR melalui
tiga fase:
1. Fase 1 perubahan selular
Membran sinovial menjadi sangat vaskular, beserta proliferasi sinoviosit
dan fibroblas. Terjadi penebalan membrane sinovial dan edema karena agregat sel
limfosit dan plasma membentuk folikel. Folikel mensintesis faktor reumatoid dan
prostaglandin inflamasi yang kemudian bereaksi dengan imunoglobulin,
mengakibatkan pembentukan kompleks imun di dalam sendi.
2. Fase 2 respons inflamasi
Karena penyakit berkembang menjadi fase kedua, kompleks imun
mengaktivasi komplemen. Komplemen adalah suatu protein yang membantu
pertahanan tubuh melawan antigen yang menginvasi dengan menarik neutrofil ke
dalam cairan sinovial. Kompleks imun akan difagosit oleh neutrofil. Selama
proses ini, mediator kimia proses inflamasi dilepaskan.
![Page 6: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/6.jpg)
12
3. Fase 3 Destruksi
Karena respons inflamasi berlanjut, penyakit memasuki fase destruksi.
Konsentrasi enzim lisosom yang tinggi pada cairan sinovial memicu kerusakan
ireversibel pada kartilago hialin. Akumulasi fibrin pada permukaan sinovial
membentuk jaringan granulasi vaskular yang disebut sebagai panus. Panus pada
akhirnya menginvasi permukaan artikular yang berdekatan dengan sinovium,
mensekresi prostaglandin dan protease yang mengikis tepi kartilago yang telah
rusak. Akhirnya, sebagian besar area kartilago dirusak dan erosi tulang terjadi.
Sinovitis dan efusi sendi kronis mengakibatkan distensi kapsul sendi yang
menyebabkan ligamen melemah dan mengendur. Keadaan ini, bersama dengan
kerusakan sendi dan kelemahan otot penyangga menyebabkan ketidakstabilan
sendi yang berakibat pada deformitas sendi yang khas pada artritis reumatoid.
2.1.6 Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid
Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi
pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,
bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan
kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba
akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/ nyeri, bila sudah tidak
tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
Menurut Muttaqin (2008) kelainan yang dapat terjadi pada artritis
reumatoid adalah sebagai berikut:
1. Kelainan pada sinovial
Kelainan AR dimulai pada sinovial berupa sinovitis. Pada tahap awal
terjadi hiperemia dan pembengkakan pada sel-sel yang meliputi sinovial disertai
![Page 7: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/7.jpg)
13
infiltrasi limfosit dan sel-sel plasma. Selanjutnya terjadi pembentukan vilus yang
berkembang ke ruang sendi dan terjadi nekrosis dan kerusakan dalam ruang sendi.
Pada pemeriksaan mikroskopik, ditemukan daerah nekrosis fibrinoid yang diliputi
jaringan fibroblas membentuk garis radial ke arah bagian yang nekrosis.
2. Kelainan pada tendon
Pada tendon terjadi tenosinovitis disertai invasi kolagen yang dapat
menyebabkan ruptur tendon secara parsial atau total.
3. Kelainan pada tulang. Kelainan yang terjadi pada daerah artikular dibagi dalam
tiga stadium:
1) Stadium I (stadium sinovitis). Pada tahap awal terjadi kongesti vaskular,
proliferasi sinovial disertai infiltrasi lapisan subsinovial oleh sel-sel
polimorfi limfosit dan sel plasma. Selanjutnya terjadi penebalan struktur
kapsul sendi disertai pembentukan vili pada sinovium dan efusi pada sendi/
pembungkus tendon.
2) Stadium II (stadium destruksi). Pada stadium ini inflamasi berlanjut menjadi
kronis serta terjadi destruksi sendi dan tendon. Kerusakan pada tulang rawan
sendi disebabkan oleh enzim proteolitik dan jaringan vaskular pada lipatan
sinovial serta jaringan granulasi yang terbentuk pada permukaan sendi
(panus). Erosi tulang terjadi pada bagian tepi sendi akibat invasi jaringan
granulasi dan resorpsi osteoklas. Pada tendon terjadi tenosinovitis disertai
invasi kolagen yang dapat menyebabkan ruptur tendon parsial ataupun total.
3) Stadium III (stadium deformitas). Pada stadium ini kombinasi antara
destruksi sendi, ketegangan selaput sendi, dan ruptur tendon akan
menyebabkan instabilitas dan deformitas sendi. Kelainan yang mungkin
![Page 8: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/8.jpg)
14
ditemukan pada stadium ini adalah ankilosis jaringan yang selanjutnya dapat
menjadi ankilosis tulang. Inflamasi yang terjadi mungkin sudah berkurang
dan kelainan yang timbul tertutama karena gangguan mekanis dan
fungsional pada sendi.
4. Kelainan pada jaringan ektra-artikular.
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik Artritis Reumatoid
Pemeriksaan radiologi. Pada tahap awal, foto rontgen tidak menunjukkan
kelainan yang mencolok. Pada tahap lanjut, terlihat rarefaksi korteks sendi yang
difus dan disertai trabekulasi tulang, obliterasi ruang sendi yang memberi
perubahan degeneratif berupa densitas, iregularitas permukaan sendi, serta
spurring marginal. Selanjutnya bila terjadi destruksi tulang rawan, akan terlihat
penyempitan ruang sendi dengan erosi pada beberapa tempat (Muttaqin, 2008).
Pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan laju endap darah,
anemia normositik hipokrom, reaksi protein-C positif dan mukoprotein
meningkat, faktor reumatoid positif 80% (uji Rose-Waaler) dan faktor antinuklear
positif 80%, tetapi kedua uji ini tidak spesifik (Muttaqin, 2008).
Menurut Doengoes (2002), pemeriksaan diagnostik AR meliputi faktor
reumatoid positif pada 80%-90% kasus. Fiksasi lateks positif pada 75% dari
kasus-kasus khas. Reaksi aglutinasi positif pada lebih dari 50% kasus-kasus khas.
LED umumnya meningkat pesat (80-100 mm/h), mungkin kembali nomal
sewaktu gejala-gejala meningkat. Protein C-reaktif positif selama masa
eksaserbasi. SDP meningkat pada waktu timbul proses inflamasi. JDL umumnya
menunjukkan anemia sedang. IgM dan IgG peningkatan besar menunjukkan
proses autoimun sebagai penyebab AR. Sinar X dari sendi yang sakit
![Page 9: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/9.jpg)
15
menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis
dari tulang yang berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista
tulang, memperkecil jarak sendi, dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang
terjadi secara bersamaan. Scan radionuklida identifikasi peradangan sinovium.
Artroskopi langsung visualisasi dari area yang menunjukkan iregularitas/
degenerasi tulang pada sendi. Aspirasi cairan sinovial mugkin menunjukkan
volume yang lebih besar dari normal; buram, berkabut, munculnya warna kuning
(respons inflamasi, perdarahan, produk-produk pembuangan degeneratif); elevasi
SDP dan leukosit, penurunan viskositas dan komplemen (C3 dan C4). Biopsi
membran sinovial menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas.
2.1.8 Penatalaksanaan Artritis Reumatoid
1. Penatalaksanaan farmakologis
Terapi farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS,
coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan
nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri
akut diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih
dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik
pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008). Pengobatan
dengan medikamentosa ini dibagi atas beberapa kelompok:
1) Pengobatan secara simptomatik
Simpel analgesik, misalnya: paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat
anti inflamasi non-steroid, misalnya: Indomethacin, phenylbutazon, ketoprofen,
sodium diclofenac, indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya:
prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk
![Page 10: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/10.jpg)
16
mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan
terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan
sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya
di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Efek samping yang paling
umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun
diare ringan. Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara
sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan
pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan
penderita. Penderita dapat mengalami super infeksi oleh kuman lain yang dapat
membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, apalagi
bila terdapat infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang
semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila
pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tidak akan mampu
menghilangkan rasa sakit pada sendi. Dalam keadaan tertentu memang
digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita
AR yang berat atau pemakaian suntikan setempat (lokal/ intra-artikular).
2) Pengobatan secara remitif
Cara kerja pengobatan remitif ini menghambat faktor AR menjadi negatif,
sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama
penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang
lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat
bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai
berbulan dan diperlukan monitoring dengan pemeriksaan laboratorium pada
waktu-waktu tertentu.
![Page 11: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/11.jpg)
17
Penicillamine adalah merupakan hasil pemecahan produk degradasi dari
penicillin sebagai antibiotika. Dengan dipecahnya makroglobulin ini, maka
faktor AR menjadi negatif sehingga perjalanan penyakitnya ikut dihambat dan
bila berlangsung dalam jangka waktu yang diperlukan, maka penderita akan
sampai pada stadium remisi yang sempurna (complete remission). Penderita
seolah-olah sembuh, tanpa keluhan, tanpa obat. Kadang-kadang masa remisi ini
dapat berlangsung sampai lebih dari tiga tahun. Efek samping adalah urtikaria,
nausea, muntah, diare, proteinuria, hilangnya rasa kecap terutama terhadap
manis dan asin, dan peninggian transaminasi (Adnan, 2008).
2. Pengobatan nonfarmakologis
1) Pengobatan fisioterapi
Fisioterapi perlu dalam menangani kasus AR untuk mencegah kerusakan
sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai
remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara perlahan
sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda
dapat dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai
berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan
fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara
perlahan (Adnan, 2008). Penderita yang menjadi cacat karena AR dapat
menggunakan alat bantu untuk dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari,
contoh sepatu ortopedik atau sepatu atletik khusus.
2) Pengobatan psikoterapi
Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan
untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam
![Page 12: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/12.jpg)
18
pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu
melakukan tugas sehari-hari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga
petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana
lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008).
3) Terapi panas atau dingin
Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada AR meningkatkan aliran darah
ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang. Selain
itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan
jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri. Terapi panas dapat menggunakan
lilin paraffin, microwave, ultrasound, atau air panas. Cara menggunakan air
panas bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan
pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam
dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk mengurangi nyeri AR,
peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin dengan
menggunakan kantong dingin atau minyak yang mendinginkan kulit dan
sendi (Junaidi, 2006).
4) Terapi diet
Prinsip dasar pola diet untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan
menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan
dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien AR adalah
sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah lemak, dan kolesterol
(Junaidi, 2006).
![Page 13: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/13.jpg)
19
5) Pembedahan
Menurut Flasher & Church (2011) tujuan pembedahan adalah mengurangi
nyeri, mempertahankan atau meningkatkan fungsi, mencegah atau
mengoreksi deformitas, mempertahankan kemandirian, memberikan
perbaikan secara kosmetik. Tujuan intervensi bedah adalah meningkatkan
kualitas hidup yang dialami. Beberapa kondisi memerlukan intervensi bedah
segera, misalnya fusi atau dekompresi vertebra yang mengalami subluksasi
dan mengakibatkan gejala neurologis, dan perbaikan tendon tangan yang
ruptur. Prosedur bedah elektif yang sering dilakukan:
1. Pembedahan jaringan lunak: sinovektomi, tenosinovektomi, pembebasan
kontraktur, perbaikan tendon, dekompresi saraf.
2. Pembedahan tulang dan sendi: artroskopi, osteotomi, artroplasti eksisi,
penggantian sendi, artrodesis.
2.1.9 Komplikasi Artritis Reumatoid
Komplikasi AR dibagi berdasarkan akibat proses penyakit dan akibat
pengobatan (kondisi iatrogenik). Tiga komplikasi yang spesifik dan sering terjadi
meliputi: osteoporosis, artritis septik, dan amiloidosis (Flasher & Church, 2011).
2.1.10 Penilaian Aktivitas Penyakit Artritis Reumatoid
Cara penilaian aktifitas penyakit artritis reumatoid, antara lain:
Tabel 2.2 Instrumen pengkajian yang sering digunakan menurut Symmonds
(1994) dalam Flasher & Church (2011)
Instrumen
Pengkajian
Hal yang dikaji oleh
instrumen Cara menggunakan
Health Assesment
Questionnaire
(HAQ)
Kemampuan fungsional
yang berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari yang
biasa dilakukan di rumah.
Kuesioner dilengkapi oleh
pasien dengan menandai setiap
jawaban yang menggambarkan
tingkat kesulitan yang dialami
dalam melakukan aktivitas
khusus sehari-hari.
![Page 14: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/14.jpg)
20
Hitung sendi
European League
Against
Rheumatism
(EULAR) 28
Disease Activity
Score (DAS)
Visual Analogue
Scale (VAS)
Early Morning
Stiffness(EMS)
Jumlah total sendi yang
mengalami nyeri dan
jumlah total sendi yang
bengkak.
Manifestasi yang
dikumpulkan gabungan
skor yang diambil dari
hasil laju endap darah
(LED), VAS, sendi yang
mengalami nyeri tekan dan
pembengkakan.
Pengukuran pasien yang
subjektif biasanya
digunakan untuk nyeri
kesejahteraan, dan
pengukuran aktivitas
penyakit.
Waktu antara awitan
kekakuan sendi di pagi
hari dengan kekakuan
sendi permanen
Dua diagram atlas tubuh,
anterior dan posterior, yang
masing-masing menunjukkan
28 sendi yang mengalami
artritis inflamasi. Diagram
tersebut diberi tanda jika
terdapat pembengkakan atau
nyeri pada sendi setelah
pemeriksaan dengan menekan
dan menggerakkan sendi.
Penghitungan DAS tersedia
untuk melengkapi formula
yang memberikan skor
aktivitas penyakit.
Suatu garis horizontal 10 cm
yang menunjukkan skor dari
“terbaik” atau “terburuk”.
Pasien menandai titik yang
mewakili keparahan gejalanya
ada saat itu. Jarak tanda pada
garis diukur dan dicatat dalam
mm.
Pertanyaan diajukan dan
dicatat dalam jam dan/ atau
menit.
2.2 Konsep Nyeri
2.2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah apapun
yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada
kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2002).
Menurut Mc. Caffery (1979) dalam Tamsuri (2012), nyeri didefinisikan
sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui
bila seseorang pernah mengalaminya.
![Page 15: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/15.jpg)
21
Menurut Asosiasi Nyeri Internasional (1979) dalam Tamsuri (2012), nyeri
adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun
potensial atau menggambarkan keadaan kerusakan jaringan tersebut diatas.
Menurut Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2012), nyeri adalah
sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang
diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka.
2.2.2 Kategori Nyeri
Menurut Brunner & Suddarth (2002) dua kategori dasar nyeri yaitu:
1. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam
bulan. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan
cedera spesifik. Nyeri akut ditandai dengan peningkatan respons stres simpatis,
frekuensi jantung, volume sekuncup, tekanan darah, dilatasi pupil, tegangan otot,
dan penurunan motilitas gastrointestinal, aliran saliva (mulut kering).
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik tidak mempunyai awitan yang
ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini
tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam
bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu periode yang dapat
berubah untuk membedakan antara nyeri akut dan nyeri kronik.
![Page 16: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/16.jpg)
22
2.2.3 Teori yang berhubungan dengan nyeri
Menurut Tamsuri (2012) terdapat berbagai teori yang menggambarkan
bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal
berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun
teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan.
1. Teori spesivisitas (specivicity theory)
Teori ini digambarkan oleh Descartes pada abad ke-17. Teori ini
didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus
mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan
mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus,
yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul
respons nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana faktor-faktor multi-
dimensional dapat mempengaruhi nyeri.
2. Teori pola (pattern theory)
Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang
mampu menghantarkan rangsang dengan cepat dan lambat. Kedua serabut saraf
tersebut bersinapsis pada medula spinalis dan meneruskan informasi ke otak
mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan
karakter dan kuantitas input sensori nyeri.
3. Teori gerbang kendali nyeri (gate control theory)
Pada tahun 1959, Melzack & Wall menjelaskan teori gerbang kendali
nyeri yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” dapat memfasilitasi
atau memperlambat transmisi sinyal nyeri.
![Page 17: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/17.jpg)
23
Informasi mengenai nyeri hanya dapat disampaikan jika gate dibuka oleh
neurotransmiter eksitatori yang dilepaskan pada sinaps dari impuls nyeri. Gate
tersebut ditutup oleh pelepasan neurotrasmiter inhibitori dan neuromodulator.
Apabila impuls yang lebih besar atau yang lebih cepat menjalar sepanjang serabut
beta A yang bermielin dan lebih tebal melewati gate, lebih sulit bagi impuls nyeri
untuk melewatinya. Serabut beta A dirangsang oleh gosokan atau perubahan
temperatur kulit. Oleh sebab itu dengan menekan area injeksi sebelum melakukan
injeksi dapat membantu mengaktivasi serabut beta A mengurangi atau
menghambat sinyal nyeri dari jarum. Dengan cara yang sama, aplikasi panas atau
dingin pada kulit akan mengirimkan perubahan pesan temperatur melalui gate
daripada pesan nyeri. Impuls desenden dari otak, batang otak, korteks serebral,
dan talamus juga memiliki efek terhadap gate. Sinyal inhibitori dari korteks
karena perasaan tenang dan terkontrol membantu menurunkan persepsi nyeri.
Demikian pula modulasi dengan distraksi menggunakan imajinasi terbimbing
dapat mencegah atau meredakan nyeri yang dirasakan (Gregory, 2011).
2.2.4 Persepsi Nyeri
Struktur spesifik dalam sistem saraf terlibat dalam mengubah stimulus
menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri
disebut sistem nosiseptif. Menurut Brunner & Suddarth (2002) faktor-faktor yang
dapat meningkatkan dan menurunkan sensitivitas komponen yang berbeda dari
sistem nosiseptif sebagai berikut:
1. Transmisi nyeri
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang
berespons hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak. Stimuli
![Page 18: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/18.jpg)
24
tersebut sifatnya bisa mekanik, termal, kimia. Sendi, otot skelet, fasia, tendon, dan
kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai potensi untuk metransmit
stimuli yang menyebabkan nyeri.
Mediator kimia dari nyeri. Sejumlah substansi yang mempengaruhi
sensitivitas ujung-ujung saraf atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan
ekstraseluler sebagai akibat dari kerusakan jaringan. Zat-zat kimiawi yang
meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin,
asetilkolin, dan substansi P. Prostaglandin adalah zat kimiawi yang diduga dapat
meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri dengan meningkatkan efek yang
menimbulkan nyeri dari bradikinin.
Endorfin dan Enkefalin. Substansi lain dalam tubuh yang berfungsi
sebagai inhibitor terhadap transmisi nyeri. Endorfin dan enkefalin, substansi
seperti morfin yang diproduksi oleh tubuh, adalah contoh dari substansi yang
menghambat transmisi impuls nyeri. Endorfin dan enkefalin dapat menghambat
impuls nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula
spinalis. Individu dengan endorfin yang banyak lebih sedikit merasakan nyeri dan
mereka dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
2. Kornu dorsalis dan jaras asenden
Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat
memproses sensori. Serabut perifer (misal perifer nyeri) berakhir disini dan
serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara
sistem neuronal desenden dan traktus asenden. Traktus asenden berakhir pada
otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks
serebri.
![Page 19: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/19.jpg)
25
Teori gerbang kendali nyeri (Wall, 1978) proses dimana terjadi interaksi
antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi
tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri melalui sirkuit
gerbang penghambat. Sel-sel inhibitori dalam kornu dorsalis medulla spinalis
mengandung enkefalin, yang menghambat transmisi nyeri. Teori ini menjelaskan
bagaimana aktivitas tertentu menurunkan persepsi nyeri. Respons pertama
individu yang terpukul ibu jarinya dengan palu adalah memasukkan ibu jarinya ke
dalam mulut atau dalam air dingin. Aksi ini menstimulasi serabut tidak nyeri
(non-nosiseptif) dalam tempat reseptor yang sama dengan serabut perasa nyeri
(nosiseptor) diaktifkan. Stimulasi sejumlah besar serabut non-nosiseptor, yang
bersinaps pada serabut inhibitor dalam kornu dorsalis, menghambat (sampai suatu
tingkat) transmisi sensasi nyeri dalam jaras asenden.
3. Sistem kontrol desenden
Sistem kontrol desenden adalah suatu sistem serabut berasal dalam otak
bagian bawah dan bagian tengah (terutama periaqueductal gray matter) dan
berakhir pada serabut interneuronal inhibitor dalam kornu dorsalis dari medulla
spinalis. Sistem ini kemungkinan selalu aktif, keadaan aktif ini mencegah
transmisi terus-menerus stimulus nyeri, sebagian melalui aksi dari endorphin.
Proses kognitif dapat menstimulasi produksi endorfin dalam sistem kontrol
descenden. Efektivitas dari sistem ini digambarkan oleh efek distraksi. Sebagai
contoh, individu yang mencoba menyelamatkan diri dri api sering tidak
menyadari bahwa mereka menderita luka bakar sampai mereka mencapai tempat
yang aman. Agar bisa mencapai keselamatan, otak menutup persepsi nyeri yang
secara relatif kurang penting, dengan menstimulasi sistem kontrol descenden.
![Page 20: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/20.jpg)
26
Nyeri kronis yang hebat dapat meyebabkan depresi, pada gilirannya dapat
mengakibatkan menurunnya aktivitas dalam sistem kontrol desenden dan
meningkatkan persepsi nyeri.
2.2.5 Respons terhadap Nyeri
Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai
sistem nosiseptif. Sensitivitas dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi
oleh sejumlah faktor dan berbeda di antara individu (Brunner & Suddarth, 2002).
Respon individu terhadap nyeri ada 3 tahap, yaitu:
1. Tahap aktivasi (activation), dimulai saat pertama individu menerima
rangsangan nyeri, sampai tubuh bereaksi terhadap nyeri yang meliputi respon
simpatoadrenal, respon muskuler, dan respon emosional.
2. Tahap pemantulan (rebound), pada tahap ini nyeri sangat hebat tapi singkat.
Pada tahap ini, sistem simpatis mengambil alih tugas sehingga menjadi respon
yang berlawanan dengan tahap aktivasi.
3. Tahap adaptasi (adaptation), nyeri berlangsung lama, tubuh melakukan
adaptasi melalui peran endorphin. Reaksi adaptasi tubuh terhadap nyeri dapat
berlangsung beberapa jam atau beberapa hari. Bila nyeri berkepanjangan, maka
akan menurunkan sekresi norepinefrin sehingga individu merasa tidak berdaya.
2.2.6 Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri (nosiresptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Secara anatomis reseptor nyeri (nosireseptor)
ada yang bermielin dan tidak bermielin dari syaraf perifer (Tamsuri, 2012).
![Page 21: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/21.jpg)
27
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan
kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
1. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi. Nyeri viseral dapat
menyebabkan nyeri alih (reffered pain), yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah
yang berbeda/ jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut. Nyeri pindah ini dapat
terjadi karena adanya sinaps jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut
yang berasal dari jaringan subkutan tubuh.
![Page 22: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/22.jpg)
28
Berdasarkan jenis rangsang yang dapat diterima oleh nosiseptor, di dalam
tubuh manusia terdapat beberapa jenis nosiseptor, yaitu: nosiseptor termal,
nosiseptor mekanik, nosiseptor elektrik, dan nosiseptor kimia. Adanya berbagai
macam nosiseptor ini memungkinkan terjadinya nyeri karena pengaruh mekanis,
kimia, listrik, atau karena perubahan suhu. Serabut nyeri jenis A delta merupakan
serabut nyeri yang lebih banyak dipengaruhi oleh rangsang mekanik daripada
rangsang panas dan kimia, sedangkan serabut nyeri jenis C lebih dipengaruhi oleh
rangsangan suhu, kimia, dan mekanik kuat (Tamsuri, 2012).
Menurut Gregory (2011) jalur nyeri ada empat tahap yang terlibat dalam
fisiologi nyeri: transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.
1) Tahap satu: transduksi
Ujung saraf atau nosiseptor mendeteksi stimulus dari satu proses atau lebih.
1. Mekanoreseptor dirangsang oleh rangsangan mekanis, seperti kompresi atau
peregangan.
2. Temperatur yang bervariasi dari panas sampai dingin merangsang
termoreseptor.
3. Stimulasi kimia nosiseptor dengan dilepaskannya bradikinin, asam laktat,
kalium, atau prostaglandin yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
cedera, inflamasi atau pembedahan.
Ketika stimulasi nosiseptor yang terhubung dengan ujung distal serabut
nyeri aferen primer mencapai level tertentu, stimulasi tersebut dikonversi menjadi
impuls listrik.
![Page 23: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/23.jpg)
29
2) Tahap dua: transmisi
Impuls listrik diteruskan sepanjang serabut ke sistem saraf pusat, yang
kemudian memasuki medula spinalis pada substansia grisea di tanduk dorsal.
Disini, sinaps serabut nyeri dan impuls nyeri melintas dari tanduk dorsal ke area
yang berlawanan dengan medula spinalis sebelum menjalar naik ke traktus
spinotalamus dan menuju talamus di otak.
3) Tahap tiga: persepsi
Pusat nyeri lebih tinggi di otak menafsirkan impuls elektro kimia. Dari
talamus, sinaps serabut nyeri berisi lebih banyak neuron menjalar pada area basal
otak dan korteks somatosensorik. Nyeri dirasakan pada otak tengah, tetapi
apresiasi terhadap kualitas nyeri yang tidak menyenangkan bergantung pada
korteks serebral.
4) Tahap empat: modulasi
Traktus saraf desenden yang sebagian besar merupakan inhibitori,
bertanggung jawab terhadap modulasi persepsi nyeri. Kontrol desenden dari pusat
yang lebih tinggi di otak meliputi batang otak, formasi retikuler, hipotalamus, dan
korteks serebral dapat memodifikasi nyeri.
2.2.7 Respons Fisiologis dan Perilaku terhadap Nyeri
Perubahan fisiologis involunter dianggap sebagai indikator nyeri yang
lebih akurat dibanding laporan verbal pasien. Respons involunter ini seperti
meningkatnya frekuensi nadi dan pernapasan, pucat dan berkeringat adalah
indikator rangsangan sistem saraf otonom, bukan nyeri.
Respons perilaku terhadap nyeri mencakup pernyataan verbal, perilaku
vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau
![Page 24: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/24.jpg)
30
perubahan respons terhadap lingkungan. Individu yang mengalami nyeri akut
dapat menangis, merintih, merengut, tidak menggerakkan bagian tubuh,
mengepal, atau menarik diri (Brunner & Suddarth, 2002).
2.2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri
Nyeri yang dialami oleh pasien dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
termasuk pengalaman masa lalu dengan nyeri, ansietas, usia, dan pengharapan
tentang penghilang nyeri (efek plasebo). Menurut Brunner & Suddarth (2002)
faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan toleransi terhadap nyeri
dan pengaruh sikap respons terhadap nyeri:
1. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Adalah menarik untuk berharap dimana individu yang mempunyai
pengetahuan multipel dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah
dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding orang yang hanya mengalami sedikit
nyeri. Individu yang berpengalaman dengan nyeri yang dialami, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan.
2. Ansietas dan nyeri
Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan
persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri
dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.
3. Budaya dan nyeri
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang
berespons terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku
dalam berespons terhadap nyeri). Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi
persepsi nyeri.
![Page 25: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/25.jpg)
31
4. Usia dan nyeri
Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui
secara luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan
fisiologis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Cara lansia berespons
terhadap nyeri berbeda dengan cara berespons orang yang berusia lebih muda.
Lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam
waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan.
Lansia mengatasi nyeri sesuai dengan gaya hidup, kepribadian, dan latar belakang
budaya mereka.
5. Efek plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut
benar-benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan
efek positif. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorfin dalam
sistem kontrol desenden. Efek ini merupakan respons fisiologis sejati yang dapat
diputarbalik oleh nalokson, suatu antagonis narkotik.
6. Kurangnya pengetahuan
Kurangnya pengetahuan mempengaruhi keyakinan individu apakah ia
mampu mengendalikan situasi tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pemberian
informasi sebelum pembedahan yang didasari berdampak positif terhadap nyeri,
dengan penggunaan analgesia yang lebih sedikit.
![Page 26: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/26.jpg)
32
2.2.9 Strategi Penatalaksanaan Nyeri
Menurut Brunner & Suddarth (2002) tindakan nonfarmakologis, yaitu:
1. Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor
tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat
mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden. Masase dapat membuat
pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
2. Terapi es dan panas
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang
efektif pada beberapa keadaan. Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang reseptor yang
sama seperti pada cedera. Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang
memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera
dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
3. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan (TENS)
Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang
dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk
menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.
TENS dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-
nosiseptor) dalam area sama seperti pada serabut yang mentransmisikan nyeri.
![Page 27: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/27.jpg)
33
4. Distraksi
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi
sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien
untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri. Kunjungan dari
keluarga dan teman-teman, melihat film layar lebar dengan “surround sound”
melalui headphone sangat efektif dalam meredakan nyeri. Dengan nyeri yang
hebat, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi cukup baik untuk ikut serta
dalam aktivitas mental atau fisik yang kompleks.
5. Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Teknik relaksasi sederhana
terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat
memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang
konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama
setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekhalasi (“hembuskan, dua, tiga”).
6. Imajinasi terbimbing
Menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara
khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing
untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan napas
berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan.
Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa
dengan setiap napas yang diekshalasi secara lambat ketegangan otot dan
ketidaknyamanan dikeluarkan, menyebabkan tubuh yang rileks dan nyaman.
![Page 28: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/28.jpg)
34
Setiap kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh
dialirkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas dihembuskan, pasien
diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa
pergi nyeri dan ketegangan.
7. Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah
analgetik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Mekanisme kerja hipnosis
tidak jelas tetapi tidak tampak diperantarai oleh sistem endorfin. Keefektifan
hipnosis tergantung pada kemudahan hipnotik individu. Pada beberapa kasus
hipnosis dapat efektif pada pengobatan pertama, keefektifannya meningkat
dengan tambahan sesi hipnotik berikutnya. Pada kebanyakan situasi hipnosis
harus dicetuskan oleh orang yang terlatih secara khusus (psikolog atau perawat
dengan pelatihan yang dikhususkan untuk hipnosis) dan dapat efektif selain
penggunaan analgesik standar.
8. Akupuntur
Akupuntur mencakup pemasangan jarum halus pada titik tertentu dari
tubuh mengikuti meridian energi. Titik ini telah dipetakan dan digunakan secara
sistematis dalam pengobatan tradisional Cina. Stimulus diberikan pada titik
tertentu, baik secara mekanis misalnya dengan merotasi jarum, atau secara
elektris. Akupuntur dapat menimbulkan nyeri dan merangsang pelepasan
endorfin, yang meningkatkan efek analgesik.
![Page 29: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/29.jpg)
35
Intervensi farmakologis, antara lain:
1. Analgesik Dikontrol Pasien (ADP)
ADP telah digunakan secara efektif untuk menangani nyeri pasca operasi
sebagaimana nyeri kronis. Pompa ADP adalah pompa infus yang dikontrol secara
elektronik dengan alat pengatur waktu. Pasien yang mengalami nyeri dapat
memberikan sejumlah kecil medikasi secara langsung ke dalam intravena,
subkutan, atau kateter epidural mereka dengan menekan tombol. Pompa kemudian
memberikan medikasi analgesik dalam jumlah yang telah ditetapkan. Pasien yang
menggunakan pompa seperti ini untuk mengontrol nyeri mendapat peredaan nyeri
yang lebih baik dan membutuhkan medikasi nyeri lebih sedikit dibanding mereka
yang diobati dengan cara “prn”.
2. Agens anestetik lokal
Anestesi lokal bekerja dengan memblok konduksi saraf saat diberikan
langsung ke serabut saraf. Anestesi lokal dapat diberikan langsung ke tempat yang
cedera atau secara langsung ke serabut saraf melalui suntikan atau saat
pembedahan. Penggunaan anestesi lokal telah berhasil dalam menurunkan nyeri.
Anestesi lokal dengan cepat diserap ke dalam aliran darah yang mengakibatkan
penurunan ketersediaan pada tempat cedera atau pembedahan dan meningkatkan
tingkat anestetik dalam darah, sehingga meningkatkan resiko toksisitas. Agens
vasokonstriksi (misal epinefrin dan fenilefrin) ditambahkan ke dalam anestetik
untuk mengurangi penyerapan sistemik dan mempertahankan konsentrasinya pada
tempat cedera atau pembedahan.
![Page 30: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/30.jpg)
36
3. Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID)
Obat antiinflamasi non-steroid bekerja secara perifer pada area yang
cedera dengan menghentikan respons inflamasi. Dengan menurunkan suhu tubuh,
obat ini bertindak sebagai analgesik antipiretik. NSAID digunakan untuk
mengatasi sakit kepala, migrain, cedera, untuk nyeri dan inflamasi akibat artritis,
gangguan muskuloskeletal, dan nyeri pasca bedah. NSAID cenderung kurang
menyebabkan sedasi, depresi pernapasan, atau perubahan alam perasaan
dibandingkan opioid. NSAID yang diberikan per oral, sangat efektif untuk nyeri
sedang sampai nyeri hebat pasca bedah.
4. Analgesik
Transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi sinyal nyeri menyebabkan
penafsiran nyeri oleh otak. Analgesia bertujuan untuk menghambat sinyal nyeri
pada beberapa titik sepanjang jalur penjalaran nyeri. Analgesia menghentikan
pembentukan prostaglandin, menghambat transmisi nyeri sepanjang saraf atau
mengubah persepsi nyeri di dalam korteks serebral.
2.2.10 Pengkajian Persepsi Nyeri
1. Mengkaji persepsi nyeri
Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri
seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus
memenuhi kriteria sebagai berikut: mudah dimengerti dan digunakan,
memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien, mudah dinilai, sensitif terhadap
perubahan kecil dalam intensitas nyeri.
![Page 31: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/31.jpg)
37
Informasi yang diperlukan menggambarkan nyeri ada beberapa cara:
1) Intensitas nyeri
Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal
(misal tidak nyeri, nyeri hebat, atau sangat hebat; atau 0 sampai 10: 0 = tidak ada
nyeri, 10 = nyeri sangat hebat).
2) Karakteristik nyeri
Termasuk letak untuk area dimana nyeri pada beberapa organ mungkin
merupakan alih, durasi (menit, jam, hari, bulan, dsb), irama (misal terus-menerus,
hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya intensitas atau keberadaan
dari nyeri) dan kualitas (misal nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit, nyeri seperti
digencet).
3) Faktor-faktor yang meredakan nyeri
Misal gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obat
bebas, dan apa yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya.
Banyak orang yang mempunyai ide-ide tertentu tentang apa yang akan
menghilangkan nyerinya. Perilaku ini sering didasarkan pada pengalaman atau
trial and error.
4) Efek nyeri terhadap aktivitas kehidupan sehari-hari
Misal tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain,
gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai). Nyeri akut sering berkaitan
dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.
5) Kekhawatiran individu tentang nyeri
Dapat diliputi berbagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi,
prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.
![Page 32: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/32.jpg)
38
2. Strategi pengkajian
Menurut Carr & Mann (2000), observasi yang mengindikasikan nyeri
meliputi:
1) Bahasa tubuh: tetap diam, waspada, berayun, gelisah, dan berubah dalam
gaya berjalan.
2) Ekspresi wajah: menangis, menyeringai, otot tegang, terlihat waspada,
mengatupkan atau menggetarkan gigi.
3) Vokalisasi: mendesah, menangis, merintih, perubahan nada suara, gangguan
berbicara, memanggil.
4) Jarak: diam, menarik diri, atau tidak komunikatif.
5) Emosional: khawatir, marah, sedih, atau perubahan alam perasaan.
3. Evaluasi keefektifan strategi intervensi nyeri
Hasil-hasil yang diharapkan berikut ini digunakan untuk mengkaji
keefektifan tindakan pereda nyeri:
1) Pencapaian peredaan nyeri, meliputi: nilai nyeri pada intensitas yang lebih
rendah (pada skala 0-10) setelah intervensi dan nilai nyeri pada intensitas
yang lebih rendah untuk periode yang lebih panjang.
2) Pasien atau keluarga memberikan medikasi analgesik yang diresepkan
dengan benar, meliputi: menyebutkan dosis obat yang benar, memberikan
dosis obat dengan menggunakan prosedur yang benar, mengidentifikasi efek
samping obat, menjelaskan tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau
mengkoreksi efek samping
![Page 33: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/33.jpg)
39
3) Menggunakan strategi nyeri nonfarmakologik sesuai direkomendasikan,
meliputi: melaporkan praktik dari strategi nonfarmakologis dan
menggambarkan hasil yang diharapkan dari strategi nonfarmakologis.
4) Melaporkan efek minimal nyeri dan efek samping minimal dari intervensi,
meliputi: berpartisipasi dalam aktivitas yang penting untuk diri sendiri dan
keluarga (misal: minum, batuk, ambulasi), berpartisipasi dalam aktivitas
yang penting untuk diri sendiri dan keluarga (misal aktivitas keluarga,
hubungan interpersonal, menjadi orangtua, interaksi sosial, rekreasi,
pekerjaan), dan melaporkan tidur yang adekuat dan tidak ada keletihan.
2.2.11 Instrumen Pengkajian Nyeri
Menurut Gregory (2011), instrumen pengkajian nyeri antara lain:
1. Skala Analog Visual (Visual Analogue Scale, VAS)
Skala ini digambarkan dengan garis lurus, biasanya panjangnya mencapai
10 cm. Salah satu ujungnya ditandai “tidak ada nyeri”, dan ujung lainnya ditandai
“nyeri hebat”. Metode ini digunakan secara luas, terutama dalam penelitian.
Kelebihan VAS adalah:
1) Pasien dapat menandai derajat nyeri yang dirasakan dengan akurat.
2) Skala ini menghasilkan ukuran yang sensitif yang merefleksikan perubahan
seiring waktu dan dengan intervensi berbeda. Misalnya, tanda awal pada ttik
7,25 cm, yang diukur dari ujung “tidak ada nyeri” pada skala, akan berubah
ke titik yang lebih rendah dengan intervensi yang efektif.
3) Skala ini cepat dan mudah digunakan, mudah direproduksi, dan diguakan
secara universal untuk mengukur nyeri dan keefektifan pereda nyeri.
![Page 34: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/34.jpg)
40
Kekurangan VAS adalah:
1) Merupakan alat ukur nyeri satu dimensi
2) Hanya menggambarkan nyeri yang terjadi pada saat itu
3) Pasien lansia, konfusi, anak-anak, dan mereka yang mengalami gangguan
fungsi kognitif sulit menggunakan VAS karena membuuhkan pemikiran
yang abstrak dalam menggunakan VAS.
4) Membutuhkan imajinasi yang adekuat
5) Tidak relevan bagi pasien yang mengalami nyeri hebat atau kronis
2. Skala Nilai Numerik (Numerical Rating Scale, NRS)
Dengan NRS, pasien diminta untuk menilai nyeri yang mereka rasakan
dengan angka, secara umum menggunakan skala 0-10, dengan 0 tidak ada nyeri
dan 10 adalah nyeri yang tak tertahankan atau sangat hebat. Beberapa unit
menggunakan skala 0-3 atau 0-5 dengan dasar yang sama.
Keuntungannya adalah skala ini memiliki sensitivitas yang lebih besar dan
menghindari kesalahpahaman yang erjadi ketika kita menginterpretasikan nyeri
secara lisan. Keterbatasannya berhubungan dengan individu yang mengalami
kesulitan untuk membayangkan nyeri yang ia rasakan dalam bentuk angka.
3. Skala Deskriptor Verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
Skala ini menggunakan kata untuk menggambarkan derajat nyeri,
misalnya tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, atau nyeri hebat. Keuntungan
VDS adalah skala ini cepat dan mudah digunakan, dapat disesuaikan dengan
mudah dan sering dikombinasikan dengan skor numerik. Pasien yang memiliki
keterbatasan intelegensi, gangguan keteramplan motorik, atau nyeri hebat
cenderung lebih memilih VDS.
![Page 35: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/35.jpg)
41
Keterbatasan utama VDS berhubungan dengan kata yang digunakan dan
asumsi bahwa ada interval yang sama di antara kata yang disesuaikan. Namun,
pasien akan menggambarkan nyeri mereka dengan cara berbeda pada waktu yang
berbeda dan pasien yang berbeda akan menggambarkan nyeri yang sam dengan
cara yang berbeda. Akibatnya, VDS menjadi kurang sensitif karena istilah dapat
disalahartikan dan pasien dapat mengalami kesulitan untuk mengungkapkan
sedikit perubahan pada nyeri yang mereka rasakan.
4. Skor Numerik Deskriptor Verbal
Pada instrumen ini ditambahkan angka pda penjelasan yang digunakan
untuk mengungkapkan nyeri; misalnya, 0= tidak ada nyeri, 1= nyeri ringan, 2=
nyeri sedang, 3= nyeri hebat. Instrumen ini memiliki beberapa keuntungan dan
keterbatasan yang sama seperti VDS dan NRS. Nyeri pascabedah sebaiknya dikaji
dengan skala sederhana, seperti VAS, VDS, atau skor numerik deskriptor verbal
karena skala ini mudah dan cepat digunakan pada lingkungan pembedahan akut.
5. Kuesioner
Kuesioner McGill berisi 78 pertanyaan yang merefleksikan dimensi:
1) Aspek sensorik: berkedut, menusuk, terbakar, dan ditusuk.
2) Aspek afektif: tegang, ketakutan, dan hukuman.
3) Aspek otonomik: melelahkan, menakutkan, menghukum, dan memuakkan.
4) Gambaran evaluasi: sengsara, mengganggu, dan tak tertahankan.
Bentuk singkat dari kuesioner digunakan secara klinis dan dalam
penelitian untuk mendapatkan informasi dalam waktu singkat dibandingkan
dengan kuesioner McGill standar.
![Page 36: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/36.jpg)
42
6. Skala Nyeri Menurut Bourbonnais
Skala nyeri bourbonnais adalah salah satu cara mengukur tingkat nyeri
berdasarkan penilaian objektif yang dilakukan oleh enumerator:
Skala 0 = tidak nyeri
Skala 1-3 = nyeri ringan. Secara objektif subjek peneliti dapat berkomunikasi
dengan baik, tindakan manual dirasakan sangat membantu.
Skala 4-6 = nyeri sedang. Secara obyektif subjek peneliti mendesis, menyeringai
dapat menunjukkan lokasi nyeri dengan tepat dan dapat mendeskripsikan nyeri,
subyek penelitian dapat mengikuti perintah dengan baik dan responsif terhadap
tindakan manual.
Skala 7-9 = nyeri berat. Secara objektif terkadang subjek penelitian dapat
mengikuti perintah tapi masih responsif terhadap tindakan manual, dapat
menunjukkan lokasi nyeri tapi tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi, napas panjang, destruksi dll.
Skala 10 = nyeri sangat berat (panik tidak terkontrol). Secara objektif subjek
penelitian tidak mau berkomunikasi dengan baik, berteriak, dan histeris. Subjek
penelitian tidak dapat mengikuti perintah lagi, selalu mengejan tanpa dapat
dikendalikan, menarik-narik apa saja yang tergapai, dan tidak dapat menunjukkan
lokasi nyeri.
1 2 3 4 5 6 7 8 0 9 10
Tidak
nyeri
Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
Nyeri
berat
terkontrol
Nyeri
berat tidak
terkontrol
Gambar 2 1 Skala Nyeri Bourbonnais
![Page 37: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/37.jpg)
43
2.2.12 Nyeri Artritis Reumatoid
1. Ciri khas nyeri artritis reumatoid
Menurut Junaidi (2006) gejala klinis RA pada saat yang bersamaan bisa
banyak sendi yang mengalami peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris.
Jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga
meradang. Yang pertama kali meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan,
jari kaki, tangan, kaki, pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi
yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris,
terutama pada saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik.
Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi
kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah
kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.
Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom
terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit rematik yang dikenal
sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang
tersebar luas. Meskipun berfokus pada persendian, inflamasi juga melibatkan
bagian tubuh seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang berkembang cepat
dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula monoartritis lalu
poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang berlangsung
sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode perandangan
diselingi oleh remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan rematoid ekstra
sinovium (Junaidi, 2006).
![Page 38: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/38.jpg)
44
Nyeri AR kronis adalah melibatkan antara peripheral dan sekeliling,
prosesnya meliputi adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P, serotonin),
pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh prostaglandin, TNF,
yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-linked pada afferent
berhubungan dengan neurons, glutamate menyebabkan kerusakan dorsal,
neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate (NMDAa) reseptor
yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005).
2. Mekanisme terjadinya nyeri artritis reumatoid
Pada AR nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses
imunologik pada sinovial (Harry, 2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen
kemudian terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan
antigen sehingga menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di
persendian sebagai sinovitis. Inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi
merupakan proses sekunder. Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi
memecah kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri melalui proses
edema, proliferasi membaran sinovial, pembentukan pannus, penghancuran
kartilago dan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut Harry (2008)
nyeri artritis reumatoid dapat terjadi akibat:
1) Rangsangan pada nociceptor di dalam komponen perangkat biomekanik,
misalnya perangsangan nociceptor pada otot, sendi, tendon dan ligamen. Nyeri
jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik, sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau terjadinya
kerusakan. Oleh karena adanya nyeri ini, maka bagian yang terserang akan
diistirahatkan/imobilisasi, untuk mencegah terjadinya kerusakan lebih lanjut.
![Page 39: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/39.jpg)
45
2) Penekanan saraf atau serabut saraf (radiks).
3) Perubahan postur yang menyebabkan fungsi untuk mengatur kontraksi otot
tidak sempurna.
4) Mekanisme psikosomatik.
3. Mekanisme pengurangan nyeri artritis reumatoid
Tujuan pengobatan AR adalah menghilangkan rasa sakit, meredakan
inflamasi, mempertahankan luas gerakan sendi, mencegah kecacatan dan
membantu penderita dalam mengatasi problema psikologis yang timbul sebagai
akibat dari penyakit kronis yang meninggalkan kecacatan ini. Pada prinsipnya
terapi yang dilakukan meliputi sendi yang meradang diistirahatkan karena
penggunaan sendi yang terkena akan memperberat peradangan. Selama periode
pengobatan diperlukan istirahat setiap hari, dilakukan kompres panas dan dingin,
diberikan obat nyeri, obat antiinflamasi nonsteroid atau steroid sistemik atau
pemberian logam emas, atau tindakan pembedahan untuk memperbaiki
deformitas. Mengistirahatkan sendi secara rutin membantu mengurangi nyeri.
Pembidaian dapat digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau
beberapa sendi untuk mencegah kekakuan (Junaidi, 2006).
Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat pada saat istirahat,
sehingga penderita dapat terbangun dari tidur atau bahkan sulit tidur. Oleh karena itu,
cara-cara mengurangi nyeri sangat berharga bagi penderita, misalnya dengan kompres
hangat atau penggunaan obat anti nyeri jangka panjang. Penderita artritis reumatoid
sekurang-kurangnya harus beristirahat selama 10-12 jam pada malam hari dengan
penambahan satu waktu istirahat pada siang hari (Nainggolan, 2004).
![Page 40: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/40.jpg)
46
2.3 Konsep Kompres Hangat
2.3.1 Pengertian Kompres Hangat
Memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan cairan
atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan dengan
suhu 37o-40
oC (Kozier & Erb, 2009).
2.3.2 Tujuan Kompres Hangat
Kompres hangat berfungsi melebarkan pembuluh darah, menstimulasi
sirkulasi darah, dan mengurangi kekakuan. Selain itu, kompres hangat juga
berfungsi menghilangkan sensasi rasa sakit (Kozier & Erb, 2009).
2.3.3 Efek Fisiologis Kompres Hangat
Menurut Kozier & Erb (2009) efek fisiologis kompres hangat adalah
1. Vasodilatasi
2. Meningkatkan permeabilitas kapiler
3. Meningkatkan metabolisme seluler
4. Merelaksasi otot
5. Meningkatkan inflamasi, meningkatkan aliran darah ke suatu area
6. Meredakan nyeri dengan merelaksasi otot
7. Efek sedatif
8. Mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan sinovial
2.3.4 Indikasi Kompres Hangat
Tabel 2 3 Indikasi Kompres Hangat (Sumber: Kozier & Erb, 2009)
Indikasi Efek Hangat
Spasme otot
Inflamasi
Nyeri
Merelaksasi otot dan meningkatkan kontraktilitasnya.
Meningkatkan aliran darah, melunakkan eksudat.
Meredakan nyeri, kemungkinan dengan meningkatkan relaksasi
otot, meningkatkan sirkulasi, meningkatkan relaksasi psikologis,
dan merasa nyaman; bekerja sebagai counterirritant.
![Page 41: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/41.jpg)
47
Kontraktur
Kaku sendi
Mengurangi kontraktur dan meningkatkan rentang pergrakan
sendi dengan lebih memungkinkan terjadinya distensi otot dan
jaringan penyambung.
Mengurangi kaku sendi dengan menurunkan viskositas cairan
sinovial dan meningkatkan distensibilitas jaringan.
2.3.5 Efek Sistemik Kompres Hangat
Kompres hangat diberikan pada area tubuh lokal, terutama pada area tubuh
yang luas, dapat meningkatkan curah jantung dan ventilasi paru. Peningkatan
tersebut adalah hasil vasodilatasi perifer yang berlebihan, yang mengalihkan
sejumlah besar suplai darah dari organ dalam dan menghasilkan penurunan
tekanan darah. Penurunan tekanan darah yang signifikan dapat menyebabkan
klien pingsan. Klien yang memiliki penyakit jantung atau paru serta yang memliki
gangguan sirkulasi seperti arteriosklerosis akan lebih rentan terhadap efek
kompres dibandingkan orang sehat (Kozier & Erb, 2009).
2.3.6 Kontraindikasi Kompres Hangat
Menurut Kozier & Erb (2009) kondisi yang merupakan kontraindikasi
pemberian kompres hangat, yaitu:
1. Pada 24 jam pertama setelah cedera traumatik. Panas akan meningkatkan
perdarahan dan pembengkakan.
2. Perdarahan aktif. Panas menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan
perdarahan.
3. Edema non inflamasi. Panas meningkatkan permeabilitas kapiler dan edema.
4. Tumor ganas terlokalisasi. Karena panas mempercepat metabolisme sel,
pertumbuhan sel, dan meningkatkan sirkulasi, panas dapat mempercepat
metastase (tumor sekunder).
![Page 42: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/42.jpg)
48
5. Gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau lepuh. Panas dapat
membakar atau menyebabkan kerusakan kulit lebih jauh.
2.3.7 Metode Pemberian Kompres Hangat
1. Perlengkapan
1) Botol air hangat dengan tutupnya
2) Sarung botol
3) Air hangat dan sebuah termometer
2. Pelaksanaan
1) Jelaskan kepada klien apa yang akan anda lakukan, mengapa hal
tersebut diperlukan, dan bagaimana klien dapat bekerja sama. Diskusikan
bagaimana hasilnya akan digunakan untuk merencanakan perawatan atau
terapi selanjutnya.
2) Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi yang tepat
3) Berikan privasi klien
4) Berikan kompres hangat (variasi botol air panas):
1. Ukur suhu air. Ikuti praktik institusi tentang penggunaan suhu yang tepat.
Suhu yang sering digunakan 37-40OC.
2. Isi sekitar dua pertiga botol dengan air panas.
3. Keluarkan udara dari botol. Udara yang tetap berada di botol akan
mencegah botol mengikuti bentuk tubuh yang sedang dikompres.
4. Tutup botol dengan kencang.
5. Balikkan botol, dan periksa adanya kebocoran.
6. Keringkan botol.
7. Bungkus botol dengan handuk atau sarung botol air hangat.
![Page 43: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/43.jpg)
49
8. Untuk botol air hangat, selama 30-45 menit.
9. Dokumentasikan pemberian kompres hangat dan respons klien pada
catatan klien dengan menggunakan format atau daftar titik yang disertai
catatan narasi jika perlu (Kozier & Erb, 2009).
2.3.8 Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Nyeri
Teori gate control mengatakan bahwa stimulasi kulit mengaktifkan
transmisi serabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini
menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil.
Gerbang sinap menutup transmisi impuls nyeri. Kompres menggunakan air hangat
akan meningkatkan aliran darah, dan meredakan nyeri dengan menyingkirkan
produk-produk inflamasi, seperti bradikinin, histamin, dan prostaglandin yang
menimbulkan nyeri lokal. Panas akan merangsang serat saraf yang menutup
gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan ke otak dihambat.
2.4 Konsep Lanjut Usia (Lansia)
2.4.1 Pengertian Lanjut Usia
Lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya mengalami
perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial (UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan). Pengertian dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang lansia sebagai berikut:
1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas
2. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
3. Lansia tak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
![Page 44: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/44.jpg)
50
2.4.2 Batasan Umur Lanjut Usia
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Nugroho (2008) batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
1. Menurut organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), ada
empat tahap yakni: usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat
tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
2. Menurut Prof. DR. Ny. Sumiati Ahmad Mohammad (alm.), Guru Besar
Universitas Gadjah Mada Fakultas Kedokteran, periodisasi biologis
perkembangan manusia dibagi sebagai berikut: usia 0-1 tahun (masa bayi), usia
1-6 tahun (masa prasekolah), usia 6-10 tahun (masa sekolah), usia 10-20 tahun
(masa pubertas), usia 40-65 tahun (masa setengah umur, prasenium), usia 65
tahun ke atas (masa lanjut usia, senium).
3. Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog Universitas Indonesia), lanjut usia
merupakan kelanjutan usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat
bagian, yaitu: fase iuventus) antara usia 25-40 tahun, fase verilitas antara usia
40-55 tahun, fase presenium antara usia 55-65 tahun, fase senium antara usia
65 tahun hingga tutup usia.
4. Menurut Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, SpKJ, lanjut usia
dikelompokkan sebagai berikut: usia dewasa muda (elderly adulthood) (usia
18/ 20-25 tahun), usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas (usia 25-60/
65 tahun), lanjut usia (getiatric age) (usia lebih dari 65/70 tahun), terbagi 70-75
tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan usia lebih dari 80 tahun (very old).
![Page 45: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/45.jpg)
51
5. Menurut Bee (1996), tahapan masa dewasa adalah sebagai berikut: usia 18-25
tahun (dewasa muda), usia 25-40 tahun (dewasa awal), usia 40-65 tahun
(dewasa tengah), usia 60-75 tahun (dewasa lanjut), usia >75 tahun (dewasa
sangat lanjut).
6. Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia terbagi dalam dua tahap, yakni:
early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age (usia 70 tahun ke atas).
7. Menurut Burnside (1979), ada empat tahap lanjut usia, yakni: young old (usia
60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun),
very old-old (usia 90 tahun ke atas).
2.4.3 Proses Penuaan
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak
hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan (Nugroho, 2008).
Menurut Buku Ajar Geriatri, Prof. DR. R. Boedhi Darmojo dan DR. H.
Hadi Martono (1994) dalam Nugroho (2008) mengatakan bahwa proses menua
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya,
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya kerusakan
yang diderita.
2.4.4 Teori-Teori Proses Penuaan
Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan
proses penuaan, yaitu: teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual.
![Page 46: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/46.jpg)
52
1. Teori biologi
Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory,
teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.
1) Teori genetik dan mutasi
Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk
spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
2) Immunology slow theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif dengan
bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
3) Teori stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang
biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang
menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
4) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
(kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik
seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
melakukan regenerasi.
![Page 47: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/47.jpg)
53
5) Teori rantai silang
Teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua
menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini
menyebabkan kurangnya elastisitas kekacauan dan hilangnya fungsi sel.
2. Teori psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan dan
intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar
pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi.
Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan. Dengan
adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula penurunan
kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga
terkadang akan muncul aksi/ reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.
3. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement
theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuity theory),
teori perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age
stratification theory).
1) Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi
tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia,
kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi
![Page 48: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/48.jpg)
54
sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan
kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
2) Teori penarikan diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara
perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
3) Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana
seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta
mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan
aktivitas yang dilakukan.
4) Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan
lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran
kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup,
perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah
menjadi lansia.
5) Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan
suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan
tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini
tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang
seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
![Page 49: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/49.jpg)
55
6) Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang dilakukan
bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia
secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari
sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya.
Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai
lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan
dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.
4. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan.
2.4.5 Penyakit yang sering dijumpai pada lansia
Menurut Azizah (2011) dikemukakan adanya empat penyakit yang sangat
erat hubungannya dengan proses menua, yakni:
1. Gangguan sirkulasi darah, seperti: hipertensi, kelainan pembuluh darah,
gangguan pembuluh darah di otak (koroner), dan ginjal.
2. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes melitus, klimakterium, dan
ketidakseimbangan tiroid.
3. Gangguan pada persendian, seperti: osteoartritis, gout artritis, ataupun penyakit
kolagen lainnya.
4. Berbagai macam neoplasma
![Page 50: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/50.jpg)
56
2.5 Konsep Model Adaptasi Roy
Roy (1984) dalam Monica (2006) memandang orang sebagai sistem
adaptif yang berfungsi sebagai keutuhan melalui interdependensi dari bagian-
bagiannya. Sistem terdiri atas input, proses, output, dan umpan balik.
1. Input
Stimuli dari lingkungan eksternal dan internal, termasuk informasi
(stimuli), bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu: stimulus fokal, stimulus
konstektual dan stimulus residual.
1) Stimulus fokal adalah stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi.
2) Stimulus konstektual adalah semua stimulus lain yang dialami seseorang
baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat
diobservasi, diukur, dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini
muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada
stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.
3) Stimulus residual adalah ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan
situasi yang ada tetapi sukar untuk dievaluasi meliputi kepercayaan, sikap,
sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi
proses belajar untuk toleransi. Misal pengalaman nyeri pada pinggang ada
yang toleransi tetapi ada yang tidak.
![Page 51: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/51.jpg)
57
2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping
yang digunakan. Mekanisme kontrol dibagi atas regulator dan kognator yang
merupakan subsistem.
1) Subsistem regulator adalah mempunyai komponen-komponen: input,
proses, dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter
regulator sistem adalah kimia, neural, dan endokrin. Reflek otonom adalah
respon neural dan brain system dan spinal cord yang diteruskan sebagai
perilaku output dari regulator sistem.
2) Subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari
regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator
subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam
memproses informasi, penilaian dan emosi.
3. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diamati, diukur, atau
secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar.
Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem.
Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau
respon maladaptif. Respon adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang
secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan
tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi
dan keunggulan, sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak
mendukung tujuan ini.
![Page 52: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/52.jpg)
58
Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi
dengan menetapkan sistem efektor, yaitu empat mode adaptasi fisiologi, konsep
diri, fungsi peran dan interdependensi.
1) Fisiologis meliputi: oksigenasi, nutrisi, eliminasi aktifitas dan istirahat,
integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologi dan fungsi
endokrin.
2) Konsep diri mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola-pola
interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain.
3) Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan dengan
bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalam
berhubungan dengan orang lain.
4) Independensi merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola kasih
saying, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara interpersonal pada
tingkat individu maupun kelompok.
Stimulus
Tingkat
adaptasi
Adaptasi
dan
respon
tidak
efektif
Umpan balik
Input Proses Output
Mekanisme
koping:
Regulator
Kognator
Perilaku koping:
Fisiologi
Citra diri
Perilaku peran
Independensi
Gambar 2 2 Proses adaptasi Roy (1984) dalam Monica (2006)
![Page 53: BAB 2](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082208/563db782550346aa9a8bb7b6/html5/thumbnails/53.jpg)