bab 2

31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. 2.2 Klasifikasi kortikosteroid Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol darinya, yaitu: 1. Glukokortikoid - Contohnya: kortisol - berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein - bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat 2

Upload: ummi-kaltsum-barchia

Post on 27-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

aaaaaaaaaaaaa

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks

kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang

dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak

sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan

tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar

elektrolit darah, serta tingkah laku.

2.2 Klasifikasi kortikosteroid

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di

atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol

darinya, yaitu:

1. Glukokortikoid - Contohnya: kortisol - berperan mengendalikan metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein - bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat

pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.

2. Mineralokortikoid - Contohnya: aldosteron, desoksikortikosteron, fludokortison

berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi

sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan

penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.

.

2

Page 2: Bab 2

Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid

KortikosteroidPotensi

Lama kerja

Dosis ekuivalen

(mg)*Mineralkortikoid Glukokortikoid

GlukokortikoidKortisol (hidrokortison)

1 1 S 20

Kortison 0,8 0,8 S 256-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4Prednisone 0,8 4 I 5Prednisolon 0,8 4 I 5Triamsinolon 0 5 I 4Parametason 0 10 L 2Betametason 0 25 L 0,75Deksametason 0 25 L 0,75MineralokortikoidAldosteron 300 0.3 S -Fluorokortison 150 15.0 I 2.0Desoksikortikosteron asetat

20 0.0 - -

Keterangan:

* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.

S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)

I  = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)

L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason

tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai

efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling

lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai

potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison

mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam.

2.3 Farmakologi kortikosteroid

Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun

siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A – D.

Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada

3

Page 3: Bab 2

efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10

dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk

glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan

1 cincin pentana.

Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma. Korteks

adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim diubah

lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19

atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari

luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus.

Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia

dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya

kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang

menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia.

Kecepatan sekresi

dalam keadaaan

optimal (mg/hari)

Kadar plasma

(μg/100ml)

Jam 08.00 Jam 16.00

Kortisol 20 16 4

Aldosteron 0,125 0,01 -

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu sebelum

sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi hari kadar

kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi lebih

semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran kortisol mengikuti

kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendah

yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan

cukup.

4

Page 4: Bab 2

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon

memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian

bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak

menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan

sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis

steroid.Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan

sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid

merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid,

hal ini menimbulkan efek katabolik.

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga

disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme

perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya

diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik

negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis).

Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada

plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90%

berikatan dengan globulin-a2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya

sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target.

Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol

bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan

albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat

meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar,

atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi

tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison

di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai

hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama

kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan

protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk

aktifnya dalam tubuh.

5

Page 5: Bab 2

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi

akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini

menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi

leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.  Selain itu juga dapat menghambat

manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan

kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,

distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya

terhadapcytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid

lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan

infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai

oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada

pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal

glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan

limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang

jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24

jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam

darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga

menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.

         Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya.

Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek

terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk

memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,

interleukin-1,metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi

leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis

prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor.

Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan

sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau

struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi

epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar

(atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif

vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan

granulasi yang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-

6

Page 6: Bab 2

proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti

sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut

mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk

atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif),

bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan

stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak

dikeluarkan.

Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas

kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi

kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit

hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison,

misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami

transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.

Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul

hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang

mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila

yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia

yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya

sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis

larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan

absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah

telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak

kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum.

Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan

pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk

penetrasi.

Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat

dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa

menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan

kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa. 

Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.

Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi

7

Page 7: Bab 2

pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain

yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses

fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.

2.4 Fungsi kortikosteroid

1. Terhadap Metabolisme

Karbohidrat : meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi penggunaan glukosa di

jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan

mungkin melalui hambatan transporter glucose.

Lemak : Meningkatkan lipolisis dijaringan lemak. Pada penggunaan khronis dapat

terjadi redistribusi sentral lemak didaerah dorsocervical,bagian belakang leher (Buffalo

hump), muka (moon face), supraclavicular, mediastinum anterior dan mesenterium.

Mekanisme terjadinya redistribusi ini tidak jelas.

Protein : Meningkatkan pemecahan protein menjadi asam amino dijaringan perifer

yang kemudian digunakan untuk glukoneogenesis.

2. Terhadap proses keradangan dan fungsi immunologis

Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh secara bermakna

terhadap proses keradangan dan penyembuhan. Kelebihan glukokortikoid endogen dapat

menekan fungsi immunologis dan dapat mengaktifasi infeksi latent. Efek immunosupressi ini

digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimmune,proses inflammasi dan

transplantasi organ. Peran glukokortikoid dalam proses immunologis dan inflamasi adalah :

- Merangsang pembentukan protein (lipocortin) yang menghambat phospholipase A2

sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran prostaglandin.

- Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena

terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular kedalam limpa, kelenjar limfe, ductus

thoracicus dan sumsum tulang.

8

Page 8: Bab 2

- Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi, tapi menghambat

akumulasi netrofil pada daerah keradangan.

- Meningkatkan proses apoptosis - Menghambat sintesis cytokine - Menghambat nitric oxyd

synthetase - Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan

differensiasinya menjadi makrofag - Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag -

Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat keradangan - Menghambat

plasminogen activators (PAs) yang merubah plasminogen menjadi plasmin yang berperan

dalam pemecahan kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

3. Terhadap muskuloskeletal dan Jaringan ikat :

Tulang:

Pada pemakaian yang lama dapat menghambat fungsi osteoblast dan mengurangi

pembentukan tulang baru menyebabkan terjadinya osteopenia. - Meningkatkan jumlah

osteoclast - Secara tidak langsung mengurangi absorbsi calcium di saluran cerna - Efek

sekunder glukokortikoid juga meningkatkan Parathyroid hormon dalam serum. -

Meningkatkan ekskresi calcium di ginjal

Otot

Glukokortikoid meningkatkan pemecahan asam amino dari otot untuk digunakan dalam

glukoneogenesis,sehingga dalam pemakaian lama dapat menyebabkan kelainan otot

(myopathy) yang berat.

Jaringan Ikat

- Glukokortikoid menyebabkan supressi fibroblas DNA dan RNA, serta sintesis Protein.

- Juga menyebabkan supresi sintesis matriks intraselular (kolagen & hyalurodinat)

Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka, apalagi gerakan

makrofag kedaerah keradangan juga menurun pada pemberian steroid yang lama sehingga

akan mempersulit penyembuhan luka.

4. Terhadap neuropsychiatrik

9

Page 9: Bab 2

Glukokortikoid mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku seperti pola tidur, kognitif dan

penerimaan input sensoris. Pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada penderita yang

mendapatkan steroid exogen sering menunjukkan euphoria, mania bahkan psikosis.

Penderita dengan insuffisiensi adrenal juga dapat menunjukkan gejala-gejala psikiatris

terutama depresi, apati dan letargi.

5. Terhadap Saluran Gastrointestinal

- Glukokortikoid mempunyai efek langsung terhadap transport ion natrium di colon

melalui reseptor glukokortikoid. Pemakaian yang lama meningkatkan terjadinya resiko ulkus

peptikum disaluran cerna bagian atas. Mekanisme terjadinya belum diketahui,mungkin

melalui hambatan penyembuhan luka yang disebabkan faktor-faktor lain. Penggunaan dalam

waktu singkat tidak akan menyebabkan terjadinya ulkus peptikum.

6. Terhadap pertumbuhan

Pada anak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan linier, penyebabnya belum diketahui

secara pasti, diduga melalui hambatan hormon pertumbuhan.

7. Terhadap paru

Dapat merangsang pembentukan surfactant oleh sel pneumatosit II Efek anti inflammasi dan

immunosupressi kortikosteroid adalah efek farmakologik utama yang banyak digunakan

dalam pengobatan.

2.5 Penggunaan klinis glukokortikoid

A. Prinsip-prinsip terapi glukokortikoid :

1. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek samping, pertimbangkan dengan cermat

untung ruginya

2. Dosis yang sesuai untuk mendapatkan efek theurapeutik. Pada pemberian yang lama

diberikan dosis sekecil mungkin yang sudah memberi efek yang diinginkan. Bila tujuan

terapi hanya untuk mengurangi rasa sakit atau mengurangi gejala dan tidak menyangkut

keselamatan jiwa pemberian steroid dapat dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara

bertahap sampai efek yang diinginkan tercapai, tetapi pada kasus-kasus berat yang

10

Page 10: Bab 2

mengancam jiwa steroid diberikan dalam dosis tinggi untuk segera menghindari krisis yang

mengancam jiwa. Efek yang merugikan tubuh pada umumnya terjadi pada pemakaian steroid

dalam waktu yang lama jarang terjadi pada pemberian dalam waktu yang singkat meskipun

dalam dosis besar.

3. Penghentian terapi yang sudah berlangsung lama tidak boleh dilakukan secara mendadak

karena dapat menyebabkan gejala insuffisiensi adrenal yang kadang-kadang fatal

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam terapi steroid ditempuh beberapa

cara yaitu :

- Diberikan secara alternate day dengan glukokortikoid short acting (prednison)

- Pulse therapy dengan dosis tinggi, yaitu diberikan dengan dosis tinggi dalam beberapa hari

seperti pemberian methyl prednisolon 1 – 1,5 mg/hari selama 3 hari pada kasus-kasus

immunologis yang berat seperti pada rejeksi akut pada transplantasi, necrotizing

glomerulonephritis, lupus nephritis.

B. Pemakaian klinik glukokortikoid

1. Replacement therapy

2. Sebagai supresi sekresi androgen pada hiperplasi adrenal congenital (CAH)

3. Terapi untuk kelainan-kelainan non endokrin (penyakitn - penyakit ginjal, infeksi, reaksi

transplantasi, penyakit-penyakit rheumatik, allergi dsb).

Replacement Therapy :

Terapi ini diberikan pada penderita-penderita yang menderita insuffisiensi adrenal baik yang

akut maupun khronis, sekonder atau primer. Yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan

kematian adalah insuffisiensi adrenal akut (Adrenal Crisis). Krisis adrenal ini seringkali

disebabkan karena penyakit-penyakit adrenal jarang terjadi pada insuffisiensi sekunder dan

sering terjadi karena penghentian mendadak terapi steroid yang lama dan dengan dosis tinggi.

Gejala-gejala krisis adrenal ditandai oleh gejala-gejala defisiensi glukokorticoid maupun

mineralokortikoid gastrointestinal, dehidrasi, hiponnatremia, encephalopathy, hipercalcemia,

11

Page 11: Bab 2

asidosis metabolic, hiperkalemia, kelemahan, letargi dan hipotensi. Penatalaksanaan krisis

adrenal adalah

- Resussitasi : Terapi shock : Infus garam faali (PZ)

- Hidrocortisone 75 - 100 mg/m2 IV bolus dilanjutkan dengan 50 - 75 mg/m2 dibagi dalam 3

kali pemberian, sesudah stabil dilanjutkan dengan 25 mg/ 6 - 8 jam i.m

- Pemberian mineralokortikoid DOCA (Desoxycortisone acetate) 1 – 5 mg/24 jam i.m, bila

sudah dapat makan DOCA dapat diganti dengan Fluorohydrocortisone 0,05 - 0,1 mg/hari per

oral

- Glukosa

- Koreksi kelainan elektrolit yang terjadi (hiponatremia,hiperkalemia)

- Terapi terhadap factor pencetus seperti infeksi,trauma atau perdarahan.

Penggunaan glukokortikoid pada penyakit - penyakit non endocrine

Glukokortikoid digunakan luas pada banyak kelainan-kelainan non endokrin dengan variasi

penggunaan yang besar baik dalam pemilihan obat maupun dosisnya.

1. Penyakit – penyakit rheumatik/Collagen (SLE, Polyarteritis nodusa)

2. Penyakit ginjal (sindroma nefrotik, glomerulonephritis membranous)

Glukokortikoid (prednisone) pada sindroma nefrotik sangat efektif dan banyak banyak

digunakan. Predisone diberikan dengan dosis 60 mg/m2/hari dalam dosis terbagi selama 4

minggu kemudian dilanjutkan dengan 40 mg/m2/48 jam selang sehari diberikan dengan dosis

tunggal pada pagi hari selama 4 minggu.Pengobatan selanjutnya tergantung respons penderita

apakah terjadi remissi atau malah terjadi relaps

3. Penyakit - penyakit alergi

Onset of action glukokortikoid lama (6 – 12 jam) karena itu pada reaksi alergi yang berat

seperti reaksi anafilaksis yang paling penting adalah pemberian larutan epinephrine. Pada

reaksi alergi yang lebih lambat seperti serum sickness, urticaria,reaksi obat, sengatan lebah,

angioneurotic edema dan hay fever glukokortikoid dapat diberikan

12

Page 12: Bab 2

4. Asthma bronchiale

Pada asma bronchiale selain pemberian secara sistemik, pemberian juga diberikan secara

inhalasi terutama pada pemberian jangka lama. Pada kasus-kasus asma berat (status

asthmaticus) glukokortikoid diberikan secara intravena.

Pilihan obat secara IV untuk kasus-kasus berat adalah :

- hydrocortisone succinate 7 mg/kgBB I.V bolus, kemudian 7mg/kg/24 jam I.V

- Methyl prednisolone 2 mg/kg BB I.V bolus, kemudian 4 mg/kgBB/24 jam I.V

- Dexamethasone 0,3 mg/kgBB I.V dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/24 jam

- Betamethasone 0,3 mg/kgBB I.V dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/24 jam

Glukokortikoid yang diberikan perinhalasi adalah:

- Fluticasone propionate 50 – 100 Ug/hari

- Beclomethasone dipropionate 300 ug/hari

- Budesonide 100 – 200 ug/hari

- Triamcinolone acetonide

Croup (laryngitis,epiglottitis) : dexamethasone 0,5 mg/kg/24 jam I.V, 3 kali/hr selama 2 hari

5. Infeksi

Meskipun berlawanan dengan efek immunosupresi glukokortikoid masih digunakan pada

keadaan - keadaan tertentu dengan perlindungan antibiotika, seperti pada meningitis yang

disebabkan oleh H.Influenzae tipe B dan penderita AIDS dengan pneumonia karena

Pneumocystis Carinii dengan hipoksia. Pada kasus demam typhoid berat dengan komplikasi

syok, encephalopathy pemberian dexamethasone 3 mg/kg BB bolus kemudian dilanjutkan

dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam dapat menurunkan kematian secara bermakna.

TBC:

- Tbc endobronchial : predisone 1 – 2 mg/kgBB/hari selama 1 – 3 bulan,diberikan

bersama obat-obat anti tbc akan mempercepat regresi pembesaran kelenjar limfe

endobronchial dan mencegah terjadinya fibrosis.

13

Page 13: Bab 2

- Tbc Milier : Prednisone 1 – 2 mg/kg/hari selama 1 – 3 bulan.

- Pleuritis Tbc : Prednisone 1 - 2 mg/kg/hari selama 1 bulan

Jenis-jenis tbc yang lain yang membutuhkan terapi steroid adalah Tbc pericard, Tb

peritoneum dan meningitis tbc. Pada meningitis tbc diberikan prednisone 1 - 2 mg/kg hari 1 –

3 bulan

6. Penyakit-penyakit mata

Pemberian topical glukokortikoid hanya diberikan pada kelainan- dibagian luar mata serta

pada segmen anterior mata, untuk kelainan-kelainan pada segmen posterior diberikan

glukokortikoid sistemik. Pemberian topical glukokortikoid dapat meningkatkan tekanan

intraokular, oleh karena itu perlu pengawasan tekanan intraokular pada pemakaian

glukokortikoid lokal lebih dari dua minggu

7. Penyakit kulit

Pada dasarnya pemakaian kortikosteroid topical pada kulit anak tidak berbeda dengan

dewasa, namun karena perbedaan sifat kulit anak yang lebih tipis,kurang bertanduk, ikatan

antar sel yang lebih longgar mempermudah obat masuk kedalam kulit sehingga kita tetap

harus hati-hati memberikan glukokortikoid topical karena bisa memberi efek sistemik yang

tidak diinginkan. Pemberian pemakaian yang lama dapat menyebabkan atropi,

teleangiectasia, striae, papula.

8. Penyakit-penyakit gastrointestinal (Colitis ulcerative chronis, Chron’s disease)

9. Penyakit-penyakit hati

Penggunaan glukokortikoid pada penyakit- penyakit hati masih controversial, tetapi pada

penyakit - penyakit nekrosis subakut dan autoimun seperti chronic active hepatitis pemberian

glukokortikoid (prednisone) menunjukkan remissi secara histologis pada 80% dari penderita.

Pada penyakit hati yang berat prednisolone lebih baik dari prednisone karena prednisone

masih harus dirubah menjadi bentuk aktif di hati. Penderita-penderita chronic active hepatitis

dengan positif HbSAg jangan diberi terapi glukokortikoid karena akan memperlambat

penyembuhan, lebih sering terjadi komplikasi dan angka kematian lebih tinggi. Pemberian

glukokortikoid juga dipakai pada drug induce hepatitis meskipun belum banyak penelitian

mengenai efektivitasnya.

14

Page 14: Bab 2

10. Pada kelainan-kelainan hematologi dan onkologi

Glukokortikoid dipakai pada kelainan-kelainan hematology seperti trombositopenia purpura

idiopatik (ITP), anemia aplastik dan autoimmune hemolytic anemia (AIHA). ITP adalah

suatu autoimmune disease, pada 90% penderita ITP didapatkan ikatan antibodi (terutama

IgG) dengan trombosit. Ikatan antara antibody dan thrombosit ini kemudian akan

difagositosis sehingga umur trombosit menjadi lebih pendek, glukokortikoid berfungsi

mencegah proses fagositosis ini. Pada ITP (trombositopenia purpura idiopatik) dengan gejala-

gejala perdarahan diberikan prednison 2 mg/kgBB selama 4 minggu,kemudian diturunkan

secara bertahap. Demikian juga dengan penyakit anemia aplastik diberikan prednison 2

mg/kg BB bersama dengan terapi nandrolone decanoate.

Glukokortikoid dipakai sebagai chemotherapy pada acute lymphoblastic leukemia dan

lymphoma oleh karena glukokortikoid mempunyai efek limfolitik. Glukokortikoid sering

dipakai bersama chemotherapy lain dalam protocol terapi keganasan.

11. Udema otak

Mekanisme kerja otak dalam mengurangi udema otak belum jelas, beberapa hipotesis

dikemukakan antara lain :

a. Memperbaiki metabolisme otak dengan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga

konsumsi glukosa dan oksigen ke otak membaik dan udema berkurang.

b. Perbaikan sawar darah otak dengan cara mencegah pemecahan asam lemak tidak jenuh

oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas phospholipase A2, sehingga pembentukan

prostaglandin bisa dicegah.

c. Efek antiinflammasi akan menghambat produksi mediator inflammasi.

Dexamethason merupakan pilihan utama karena efek antiinflammasi yang besar dan tidak

didapatkan efek retensi natrium.Dexamethason sangat efektif pada edema vasogenik akibat

tumor. Dosis yang diberikan 0,1 – 0,2 mg/kg/6jam. Pemberian dexamethason pada edema

sitotoksik masih kontroversi dan tidak memberikan efek yang menguntungkan, demikian juga

dengan udema karena trauma dan stroke.

12. Shock

15

Page 15: Bab 2

Walaupun glukokortikoid banyak dipakai pada pengobatan shock, tetapi indikasi pemberian

glukokortikoid adalah pada shock dengan defisiensi cortisol. Indikasi lain adalah pada septik

shock meskipun masih banyak silang pendapat mengenai hal tersebut. Mekanieme kerja

glukokortikoid pada septic shock belum diketahui secara pasti,mungkin melalui :

a. Perbaikan perfusi jaringan.

b. Memperkuat dinding sel

c. Memperkuat integritas sel endotel

d. Stabilisasi membran lisosom

e. Menurunkan resistensi perifer

f. Mempunyai efek inotropik pada otot jantung

Diberikan methylprednisolone 30mg/kgBB atau dexamethasone 3 – 6 mg/kgBB secara I.V

dapat diulang tiap 4 – 6 jam sampai 3 kali pemerian.

13. Penyakit-penyakit lain (sarcoidosis, sindroma Guillain Barre)

14. Transplantasi organ

Pada transplantasi organ glukokortikoid diberikan dengan dosis tinggi pada saat operasi

diberikan bersama immunosupressif lain kemudian diteruskan dengan dosis maintenance

15. Stroke dan trauma spinal cord

Pemberian methylprednisolone dalam 8 jam sesudah trauma ternyata dapat menurunkan

incidence sequelae neurologis secara bermakna. Glukokortikoid dosis tinggi dapat

melindungi tubuh terhadap efek radikal bebas yang keluar sesudah trauma selular

Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari

pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan

farmakokinetiknya.

Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :

Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari

Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari

Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari

16

Page 16: Bab 2

Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari

Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari

Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis kortikosteroid mulai dikurangi

segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk

menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul akibat

penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap

memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan

aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering

dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2

minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari.

Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari.

Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.

Sparing agen kortikosteroid

Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis

kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan

sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan

metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping

kortikosteroid

2.6 Efek samping kortikosteroid

Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu singkat

dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat

menimbulkan beragam efek samping. Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada

penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara

tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Efek samping yang

dapat timbul antara lain:

- Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal

Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara mendadak dapat

menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut sebaiknya

dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi

17

Page 17: Bab 2

adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll).

Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh

kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid

endogen. Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid

(endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+ dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid

yang ikut berkurang. Gejala yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa

lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian

hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Untuk menghindari

insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan

/bertahap.

- Habitus Cushing

Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan kondisi hiperkortisme

sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing. Kortikosteroid yang berlebihan akan

memicu

katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang

timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan lemak supraklavikular, ekstremitas

kurus, striae, acne dan hirsutism. Moon face dan buffalo hump disebabkan

redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna merah

muda) muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang disebabkan oleh

akumulasi lemak subkutan.

- Hiperglikemia dan glikosuria

Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme glukosa yaitu melalui

peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul gejala

berupa peninggian kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria.

Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan

diabetes steroid (steroid-induced diabetes).

- Penurunan absorpsi kalsium intestinal

Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison menyebabkan penurunan

absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah signifikan. Hal ini dapat membuat keseimbangan

kalsium yang negatif.

18

Page 18: Bab 2

- Keseimbangan nitrogen negatif

Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik, yang

digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis. Hal ini menyebabkan tingginya kadar

asam amino dalam plasma, peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen

negatif.

- Mudah terkena infeksi

Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamatik. Efek

antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya penekanan aktifitas fosfolipase

sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien.

Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat

memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai

antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah

infeksi.

- Tukak peptik

Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan

kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar

sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan

antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat

berbahaya karena dapat berlangsung dengan gejala klinis minimal.

- Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis)

Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara menghambat

pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah menghambat pembentukan

tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya

osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan

meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan

PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat

osteoporosis dan kompresi.

- Miopatik

19

Page 19: Bab 2

Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat menyebabkan

berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan miopatik. Miopatik

biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada

pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera

dihentikan.

- Psikosis

Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan hal ini terjadi

karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi

kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas,

insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat

penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat

dihentikan.

- Hiperkoagubilitas darah

Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan terutama pada

pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya trombosis intravaskular.

Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus disertai pemberian antikoagulan

sebagai terapi profilaksis.

- Pertumbuhan terhambat

Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat.

Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone.

Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi

sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga

menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses

penulangan sehingga menghambat pertumbuhan.

- Peningkatan tekanan darah

Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoidnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan

darah/hipertensi. Yaitu efek retensi sodium yang mengakibatkan retensi air dan peninggian

tekanan darah. Beberapa obat dengan efek mineralokortikoid kuat antara lain fludrokortison

dan hidrokortison.

20

Page 20: Bab 2

- Glaukoma (steroid-induced glaucoma)

Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik. Diduga terdapat

defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons

protein trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan

obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang

menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans

dan menyebabkan akumulasi.

Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian kolesterol LDL,

ginekomastia, akne, virilisasi, pembesaran prostat, sterilitas dll. Mekanisme terjadinya

beragam efek samping ini masih ada yang belum diketahui dan sedang diteliti.

Untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan tsb, diajukan minimal 6 prinsip

terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat digunakan:

1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error,

dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit,

2. Suatu dosis tunggal kortiksteroid umumnya tidak berbahaya,

3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak

membahayakan kecuali dosis sangat besar,

4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu/lebih hingga dosis melebihi dosis

substitusi, insidens efek samping dan efek lethal potensial akan bertambah. Awasi dan sadari

risio pengaruhnya terhadap metabolisme terutama bila gejala terkait muncul misalnya

diabetes resistensi insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka,

5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan terapi kausal

melainkan hanya paliatif saja,

6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,

mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan mengancam jiwa.

21