bab 2
DESCRIPTION
aaaaaaaaaaaaaTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan
tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar
elektrolit darah, serta tingkah laku.
2.2 Klasifikasi kortikosteroid
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang terletak di
atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang menonjol
darinya, yaitu:
1. Glukokortikoid - Contohnya: kortisol - berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein - bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat
pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid - Contohnya: aldosteron, desoksikortikosteron, fludokortison
berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi
sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya.
.
2
Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid
KortikosteroidPotensi
Lama kerja
Dosis ekuivalen
(mg)*Mineralkortikoid Glukokortikoid
GlukokortikoidKortisol (hidrokortison)
1 1 S 20
Kortison 0,8 0,8 S 256-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4Prednisone 0,8 4 I 5Prednisolon 0,8 4 I 5Triamsinolon 0 5 I 4Parametason 0 10 L 2Betametason 0 25 L 0,75Deksametason 0 25 L 0,75MineralokortikoidAldosteron 300 0.3 S -Fluorokortison 150 15.0 I 2.0Desoksikortikosteron asetat
20 0.0 - -
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason
tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai
efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling
lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai
potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison
mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam.
2.3 Farmakologi kortikosteroid
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun
siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A – D.
Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada
3
efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10
dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk
glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan
1 cincin pentana.
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma. Korteks
adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim diubah
lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19
atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari
luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus.
Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia
dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya
kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang
menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia.
Kecepatan sekresi
dalam keadaaan
optimal (mg/hari)
Kadar plasma
(μg/100ml)
Jam 08.00 Jam 16.00
Kortisol 20 16 4
Aldosteron 0,125 0,01 -
Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu sebelum
sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi hari kadar
kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi lebih
semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang ssehat pengeluaran kortisol mengikuti
kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendah
yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan
cukup.
4
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian
bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan
sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis
steroid.Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid
merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid,
hal ini menimbulkan efek katabolik.
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga
disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme
perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya
diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik
negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis).
Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada
plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90%
berikatan dengan globulin-a2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target.
Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol
bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason terikat dengan
albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat
meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar,
atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi
tanpa perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison
di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai
hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama
kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan
protein. Prednison adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk
aktifnya dalam tubuh.
5
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi
akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat
manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan
kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,
distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya
terhadapcytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid
lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan
infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai
oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada
pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan
limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang
jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24
jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam
darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga
menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya.
Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek
terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk
memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,
interleukin-1,metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor.
Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan
sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau
struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi
epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar
(atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif
vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan
granulasi yang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-
6
proliferatif, dan imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti
sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut
mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk
atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif),
bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan
stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas
kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi
kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit
hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison,
misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami
transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu.
Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul
hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang
mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila
yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia
yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya). Kortikosteroid hanya
sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis
larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan
absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah
telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak
kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum.
Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan
pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk
penetrasi.
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat
dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa
menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan
kortikosteroid topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti.
Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi
7
pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain
yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses
fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.
2.4 Fungsi kortikosteroid
1. Terhadap Metabolisme
Karbohidrat : meningkatkan glukoneogenesis dan mengurangi penggunaan glukosa di
jaringan perifer dengan cara menghambat uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan
mungkin melalui hambatan transporter glucose.
Lemak : Meningkatkan lipolisis dijaringan lemak. Pada penggunaan khronis dapat
terjadi redistribusi sentral lemak didaerah dorsocervical,bagian belakang leher (Buffalo
hump), muka (moon face), supraclavicular, mediastinum anterior dan mesenterium.
Mekanisme terjadinya redistribusi ini tidak jelas.
Protein : Meningkatkan pemecahan protein menjadi asam amino dijaringan perifer
yang kemudian digunakan untuk glukoneogenesis.
2. Terhadap proses keradangan dan fungsi immunologis
Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh secara bermakna
terhadap proses keradangan dan penyembuhan. Kelebihan glukokortikoid endogen dapat
menekan fungsi immunologis dan dapat mengaktifasi infeksi latent. Efek immunosupressi ini
digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimmune,proses inflammasi dan
transplantasi organ. Peran glukokortikoid dalam proses immunologis dan inflamasi adalah :
- Merangsang pembentukan protein (lipocortin) yang menghambat phospholipase A2
sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran prostaglandin.
- Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini terjadi karena
terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular kedalam limpa, kelenjar limfe, ductus
thoracicus dan sumsum tulang.
8
- Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi, tapi menghambat
akumulasi netrofil pada daerah keradangan.
- Meningkatkan proses apoptosis - Menghambat sintesis cytokine - Menghambat nitric oxyd
synthetase - Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating Factor dan
differensiasinya menjadi makrofag - Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag -
Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat keradangan - Menghambat
plasminogen activators (PAs) yang merubah plasminogen menjadi plasmin yang berperan
dalam pemecahan kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
3. Terhadap muskuloskeletal dan Jaringan ikat :
Tulang:
Pada pemakaian yang lama dapat menghambat fungsi osteoblast dan mengurangi
pembentukan tulang baru menyebabkan terjadinya osteopenia. - Meningkatkan jumlah
osteoclast - Secara tidak langsung mengurangi absorbsi calcium di saluran cerna - Efek
sekunder glukokortikoid juga meningkatkan Parathyroid hormon dalam serum. -
Meningkatkan ekskresi calcium di ginjal
Otot
Glukokortikoid meningkatkan pemecahan asam amino dari otot untuk digunakan dalam
glukoneogenesis,sehingga dalam pemakaian lama dapat menyebabkan kelainan otot
(myopathy) yang berat.
Jaringan Ikat
- Glukokortikoid menyebabkan supressi fibroblas DNA dan RNA, serta sintesis Protein.
- Juga menyebabkan supresi sintesis matriks intraselular (kolagen & hyalurodinat)
Pemakaian lama dapat menyebabkan gangguan proses penyembuhan luka, apalagi gerakan
makrofag kedaerah keradangan juga menurun pada pemberian steroid yang lama sehingga
akan mempersulit penyembuhan luka.
4. Terhadap neuropsychiatrik
9
Glukokortikoid mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku seperti pola tidur, kognitif dan
penerimaan input sensoris. Pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada penderita yang
mendapatkan steroid exogen sering menunjukkan euphoria, mania bahkan psikosis.
Penderita dengan insuffisiensi adrenal juga dapat menunjukkan gejala-gejala psikiatris
terutama depresi, apati dan letargi.
5. Terhadap Saluran Gastrointestinal
- Glukokortikoid mempunyai efek langsung terhadap transport ion natrium di colon
melalui reseptor glukokortikoid. Pemakaian yang lama meningkatkan terjadinya resiko ulkus
peptikum disaluran cerna bagian atas. Mekanisme terjadinya belum diketahui,mungkin
melalui hambatan penyembuhan luka yang disebabkan faktor-faktor lain. Penggunaan dalam
waktu singkat tidak akan menyebabkan terjadinya ulkus peptikum.
6. Terhadap pertumbuhan
Pada anak dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan linier, penyebabnya belum diketahui
secara pasti, diduga melalui hambatan hormon pertumbuhan.
7. Terhadap paru
Dapat merangsang pembentukan surfactant oleh sel pneumatosit II Efek anti inflammasi dan
immunosupressi kortikosteroid adalah efek farmakologik utama yang banyak digunakan
dalam pengobatan.
2.5 Penggunaan klinis glukokortikoid
A. Prinsip-prinsip terapi glukokortikoid :
1. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek samping, pertimbangkan dengan cermat
untung ruginya
2. Dosis yang sesuai untuk mendapatkan efek theurapeutik. Pada pemberian yang lama
diberikan dosis sekecil mungkin yang sudah memberi efek yang diinginkan. Bila tujuan
terapi hanya untuk mengurangi rasa sakit atau mengurangi gejala dan tidak menyangkut
keselamatan jiwa pemberian steroid dapat dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secara
bertahap sampai efek yang diinginkan tercapai, tetapi pada kasus-kasus berat yang
10
mengancam jiwa steroid diberikan dalam dosis tinggi untuk segera menghindari krisis yang
mengancam jiwa. Efek yang merugikan tubuh pada umumnya terjadi pada pemakaian steroid
dalam waktu yang lama jarang terjadi pada pemberian dalam waktu yang singkat meskipun
dalam dosis besar.
3. Penghentian terapi yang sudah berlangsung lama tidak boleh dilakukan secara mendadak
karena dapat menyebabkan gejala insuffisiensi adrenal yang kadang-kadang fatal
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam terapi steroid ditempuh beberapa
cara yaitu :
- Diberikan secara alternate day dengan glukokortikoid short acting (prednison)
- Pulse therapy dengan dosis tinggi, yaitu diberikan dengan dosis tinggi dalam beberapa hari
seperti pemberian methyl prednisolon 1 – 1,5 mg/hari selama 3 hari pada kasus-kasus
immunologis yang berat seperti pada rejeksi akut pada transplantasi, necrotizing
glomerulonephritis, lupus nephritis.
B. Pemakaian klinik glukokortikoid
1. Replacement therapy
2. Sebagai supresi sekresi androgen pada hiperplasi adrenal congenital (CAH)
3. Terapi untuk kelainan-kelainan non endokrin (penyakitn - penyakit ginjal, infeksi, reaksi
transplantasi, penyakit-penyakit rheumatik, allergi dsb).
Replacement Therapy :
Terapi ini diberikan pada penderita-penderita yang menderita insuffisiensi adrenal baik yang
akut maupun khronis, sekonder atau primer. Yang paling berbahaya dan dapat menyebabkan
kematian adalah insuffisiensi adrenal akut (Adrenal Crisis). Krisis adrenal ini seringkali
disebabkan karena penyakit-penyakit adrenal jarang terjadi pada insuffisiensi sekunder dan
sering terjadi karena penghentian mendadak terapi steroid yang lama dan dengan dosis tinggi.
Gejala-gejala krisis adrenal ditandai oleh gejala-gejala defisiensi glukokorticoid maupun
mineralokortikoid gastrointestinal, dehidrasi, hiponnatremia, encephalopathy, hipercalcemia,
11
asidosis metabolic, hiperkalemia, kelemahan, letargi dan hipotensi. Penatalaksanaan krisis
adrenal adalah
- Resussitasi : Terapi shock : Infus garam faali (PZ)
- Hidrocortisone 75 - 100 mg/m2 IV bolus dilanjutkan dengan 50 - 75 mg/m2 dibagi dalam 3
kali pemberian, sesudah stabil dilanjutkan dengan 25 mg/ 6 - 8 jam i.m
- Pemberian mineralokortikoid DOCA (Desoxycortisone acetate) 1 – 5 mg/24 jam i.m, bila
sudah dapat makan DOCA dapat diganti dengan Fluorohydrocortisone 0,05 - 0,1 mg/hari per
oral
- Glukosa
- Koreksi kelainan elektrolit yang terjadi (hiponatremia,hiperkalemia)
- Terapi terhadap factor pencetus seperti infeksi,trauma atau perdarahan.
Penggunaan glukokortikoid pada penyakit - penyakit non endocrine
Glukokortikoid digunakan luas pada banyak kelainan-kelainan non endokrin dengan variasi
penggunaan yang besar baik dalam pemilihan obat maupun dosisnya.
1. Penyakit – penyakit rheumatik/Collagen (SLE, Polyarteritis nodusa)
2. Penyakit ginjal (sindroma nefrotik, glomerulonephritis membranous)
Glukokortikoid (prednisone) pada sindroma nefrotik sangat efektif dan banyak banyak
digunakan. Predisone diberikan dengan dosis 60 mg/m2/hari dalam dosis terbagi selama 4
minggu kemudian dilanjutkan dengan 40 mg/m2/48 jam selang sehari diberikan dengan dosis
tunggal pada pagi hari selama 4 minggu.Pengobatan selanjutnya tergantung respons penderita
apakah terjadi remissi atau malah terjadi relaps
3. Penyakit - penyakit alergi
Onset of action glukokortikoid lama (6 – 12 jam) karena itu pada reaksi alergi yang berat
seperti reaksi anafilaksis yang paling penting adalah pemberian larutan epinephrine. Pada
reaksi alergi yang lebih lambat seperti serum sickness, urticaria,reaksi obat, sengatan lebah,
angioneurotic edema dan hay fever glukokortikoid dapat diberikan
12
4. Asthma bronchiale
Pada asma bronchiale selain pemberian secara sistemik, pemberian juga diberikan secara
inhalasi terutama pada pemberian jangka lama. Pada kasus-kasus asma berat (status
asthmaticus) glukokortikoid diberikan secara intravena.
Pilihan obat secara IV untuk kasus-kasus berat adalah :
- hydrocortisone succinate 7 mg/kgBB I.V bolus, kemudian 7mg/kg/24 jam I.V
- Methyl prednisolone 2 mg/kg BB I.V bolus, kemudian 4 mg/kgBB/24 jam I.V
- Dexamethasone 0,3 mg/kgBB I.V dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/24 jam
- Betamethasone 0,3 mg/kgBB I.V dilanjutkan dengan 0,3 mg/kgBB/24 jam
Glukokortikoid yang diberikan perinhalasi adalah:
- Fluticasone propionate 50 – 100 Ug/hari
- Beclomethasone dipropionate 300 ug/hari
- Budesonide 100 – 200 ug/hari
- Triamcinolone acetonide
Croup (laryngitis,epiglottitis) : dexamethasone 0,5 mg/kg/24 jam I.V, 3 kali/hr selama 2 hari
5. Infeksi
Meskipun berlawanan dengan efek immunosupresi glukokortikoid masih digunakan pada
keadaan - keadaan tertentu dengan perlindungan antibiotika, seperti pada meningitis yang
disebabkan oleh H.Influenzae tipe B dan penderita AIDS dengan pneumonia karena
Pneumocystis Carinii dengan hipoksia. Pada kasus demam typhoid berat dengan komplikasi
syok, encephalopathy pemberian dexamethasone 3 mg/kg BB bolus kemudian dilanjutkan
dengan 1 mg/kgBB tiap 6 jam selama 48 jam dapat menurunkan kematian secara bermakna.
TBC:
- Tbc endobronchial : predisone 1 – 2 mg/kgBB/hari selama 1 – 3 bulan,diberikan
bersama obat-obat anti tbc akan mempercepat regresi pembesaran kelenjar limfe
endobronchial dan mencegah terjadinya fibrosis.
13
- Tbc Milier : Prednisone 1 – 2 mg/kg/hari selama 1 – 3 bulan.
- Pleuritis Tbc : Prednisone 1 - 2 mg/kg/hari selama 1 bulan
Jenis-jenis tbc yang lain yang membutuhkan terapi steroid adalah Tbc pericard, Tb
peritoneum dan meningitis tbc. Pada meningitis tbc diberikan prednisone 1 - 2 mg/kg hari 1 –
3 bulan
6. Penyakit-penyakit mata
Pemberian topical glukokortikoid hanya diberikan pada kelainan- dibagian luar mata serta
pada segmen anterior mata, untuk kelainan-kelainan pada segmen posterior diberikan
glukokortikoid sistemik. Pemberian topical glukokortikoid dapat meningkatkan tekanan
intraokular, oleh karena itu perlu pengawasan tekanan intraokular pada pemakaian
glukokortikoid lokal lebih dari dua minggu
7. Penyakit kulit
Pada dasarnya pemakaian kortikosteroid topical pada kulit anak tidak berbeda dengan
dewasa, namun karena perbedaan sifat kulit anak yang lebih tipis,kurang bertanduk, ikatan
antar sel yang lebih longgar mempermudah obat masuk kedalam kulit sehingga kita tetap
harus hati-hati memberikan glukokortikoid topical karena bisa memberi efek sistemik yang
tidak diinginkan. Pemberian pemakaian yang lama dapat menyebabkan atropi,
teleangiectasia, striae, papula.
8. Penyakit-penyakit gastrointestinal (Colitis ulcerative chronis, Chron’s disease)
9. Penyakit-penyakit hati
Penggunaan glukokortikoid pada penyakit- penyakit hati masih controversial, tetapi pada
penyakit - penyakit nekrosis subakut dan autoimun seperti chronic active hepatitis pemberian
glukokortikoid (prednisone) menunjukkan remissi secara histologis pada 80% dari penderita.
Pada penyakit hati yang berat prednisolone lebih baik dari prednisone karena prednisone
masih harus dirubah menjadi bentuk aktif di hati. Penderita-penderita chronic active hepatitis
dengan positif HbSAg jangan diberi terapi glukokortikoid karena akan memperlambat
penyembuhan, lebih sering terjadi komplikasi dan angka kematian lebih tinggi. Pemberian
glukokortikoid juga dipakai pada drug induce hepatitis meskipun belum banyak penelitian
mengenai efektivitasnya.
14
10. Pada kelainan-kelainan hematologi dan onkologi
Glukokortikoid dipakai pada kelainan-kelainan hematology seperti trombositopenia purpura
idiopatik (ITP), anemia aplastik dan autoimmune hemolytic anemia (AIHA). ITP adalah
suatu autoimmune disease, pada 90% penderita ITP didapatkan ikatan antibodi (terutama
IgG) dengan trombosit. Ikatan antara antibody dan thrombosit ini kemudian akan
difagositosis sehingga umur trombosit menjadi lebih pendek, glukokortikoid berfungsi
mencegah proses fagositosis ini. Pada ITP (trombositopenia purpura idiopatik) dengan gejala-
gejala perdarahan diberikan prednison 2 mg/kgBB selama 4 minggu,kemudian diturunkan
secara bertahap. Demikian juga dengan penyakit anemia aplastik diberikan prednison 2
mg/kg BB bersama dengan terapi nandrolone decanoate.
Glukokortikoid dipakai sebagai chemotherapy pada acute lymphoblastic leukemia dan
lymphoma oleh karena glukokortikoid mempunyai efek limfolitik. Glukokortikoid sering
dipakai bersama chemotherapy lain dalam protocol terapi keganasan.
11. Udema otak
Mekanisme kerja otak dalam mengurangi udema otak belum jelas, beberapa hipotesis
dikemukakan antara lain :
a. Memperbaiki metabolisme otak dengan meningkatkan aliran darah ke otak sehingga
konsumsi glukosa dan oksigen ke otak membaik dan udema berkurang.
b. Perbaikan sawar darah otak dengan cara mencegah pemecahan asam lemak tidak jenuh
oleh radikal bebas dan menghambat aktivitas phospholipase A2, sehingga pembentukan
prostaglandin bisa dicegah.
c. Efek antiinflammasi akan menghambat produksi mediator inflammasi.
Dexamethason merupakan pilihan utama karena efek antiinflammasi yang besar dan tidak
didapatkan efek retensi natrium.Dexamethason sangat efektif pada edema vasogenik akibat
tumor. Dosis yang diberikan 0,1 – 0,2 mg/kg/6jam. Pemberian dexamethason pada edema
sitotoksik masih kontroversi dan tidak memberikan efek yang menguntungkan, demikian juga
dengan udema karena trauma dan stroke.
12. Shock
15
Walaupun glukokortikoid banyak dipakai pada pengobatan shock, tetapi indikasi pemberian
glukokortikoid adalah pada shock dengan defisiensi cortisol. Indikasi lain adalah pada septik
shock meskipun masih banyak silang pendapat mengenai hal tersebut. Mekanieme kerja
glukokortikoid pada septic shock belum diketahui secara pasti,mungkin melalui :
a. Perbaikan perfusi jaringan.
b. Memperkuat dinding sel
c. Memperkuat integritas sel endotel
d. Stabilisasi membran lisosom
e. Menurunkan resistensi perifer
f. Mempunyai efek inotropik pada otot jantung
Diberikan methylprednisolone 30mg/kgBB atau dexamethasone 3 – 6 mg/kgBB secara I.V
dapat diulang tiap 4 – 6 jam sampai 3 kali pemerian.
13. Penyakit-penyakit lain (sarcoidosis, sindroma Guillain Barre)
14. Transplantasi organ
Pada transplantasi organ glukokortikoid diberikan dengan dosis tinggi pada saat operasi
diberikan bersama immunosupressif lain kemudian diteruskan dengan dosis maintenance
15. Stroke dan trauma spinal cord
Pemberian methylprednisolone dalam 8 jam sesudah trauma ternyata dapat menurunkan
incidence sequelae neurologis secara bermakna. Glukokortikoid dosis tinggi dapat
melindungi tubuh terhadap efek radikal bebas yang keluar sesudah trauma selular
Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah :
Dosis rendah : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang : >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
16
Dosis sangat tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari
Karena berpotensial mempunyai efek samping, maka dosis kortikosteroid mulai dikurangi
segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk
menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan de isiensi kortisol yang muncul akibat
penekanan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap
memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan
aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis. Sebagai panduan, untuk tapering
dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2
minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari.
Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari.
Selanjutnya dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.
Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan menurunkan dosis
kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil, siklofosfamid dan
metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek samping
kortikosteroid
2.6 Efek samping kortikosteroid
Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu singkat
dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan beragam efek samping. Ada dua penyebab timbulnya efek samping pada
penggunaan kortikosteroid. Efek samping dapat timbul karena penghentian pemberian secara
tiba-tiba atau pemberian terus menerus terutama dengan dosis besar. Efek samping yang
dapat timbul antara lain:
- Insufisiensi adrenal akut/krisis adrenal
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara mendadak dapat
menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi adrenal akut sebaiknya
dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison disease terjadi destruksi
17
adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun, granulomatosa, keganasan dll).
Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh
kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar adrenal kurang memproduksi kortikosteroid
endogen. Pada saat kortikosteroid eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid
(endogen). Dapat terjadi kehilangan ion Na+ dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid
yang ikut berkurang. Gejala yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa
lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian
hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Untuk menghindari
insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus secara perlahan
/bertahap.
- Habitus Cushing
Penggunaan kortikosteroid dalam jangka waktu lama menyebabkan kondisi hiperkortisme
sehingga menimbulkan gambaran habitus Cushing. Kortikosteroid yang berlebihan akan
memicu
katabolisme lemak sehingga terjadi redistribusi lemak di bagian tertentu tubuh. Gejala yang
timbul antara lain moon face, buffalo hump, penumpukan lemak supraklavikular, ekstremitas
kurus, striae, acne dan hirsutism. Moon face dan buffalo hump disebabkan
redistribusi/akumulasi lemak di wajah dan punggung. Striae (parut kulit berwarna merah
muda) muncul akibat peregangan kulit (stretching) di daerah perut yang disebabkan oleh
akumulasi lemak subkutan.
- Hiperglikemia dan glikosuria
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme glukosa yaitu melalui
peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-pospat, maka akan timbul gejala
berupa peninggian kadar glukosa dalam darah sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria.
Dapat juga terjadi resistensi insulin dan gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan
diabetes steroid (steroid-induced diabetes).
- Penurunan absorpsi kalsium intestinal
Penelitian menunjukkan bahwa betametason serta prednison menyebabkan penurunan
absorpsi kalsium di intestinal dalam jumlah signifikan. Hal ini dapat membuat keseimbangan
kalsium yang negatif.
18
- Keseimbangan nitrogen negatif
Kortikosteroid juga menyebabkan mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik, yang
digunakan sebagai substrat untuk glukoneogenesis. Hal ini menyebabkan tingginya kadar
asam amino dalam plasma, peningkatan pembentukan urea, dan keseimbangan nitrogen
negatif.
- Mudah terkena infeksi
Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek antiinflamatik. Efek
antiinflamatik ini terjadi melalui mekanisme salah satunya penekanan aktifitas fosfolipase
sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan dan leukotrien.
Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi peradangan, namun dapat
memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada pemberian kortikosteroid sebagai
antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah
infeksi.
- Tukak peptik
Tukak peptik merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat diberikan. Pemberian dosis besar
sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi, dan di antara waktu makan diberikan
antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat
berbahaya karena dapat berlangsung dengan gejala klinis minimal.
- Osteoporosis (steroid-induced osteoporosis)
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara menghambat
pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah menghambat pembentukan
tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan resorpsi sehingga memicu terjadinya
osteoporosis. Selain itu juga menurunkan absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan
meningkatkan ekskresinya melalui ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan
PTH yang menyebabkan resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat
osteoporosis dan kompresi.
- Miopatik
19
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat menyebabkan
berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan miopatik. Miopatik
biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan pelvis, dan pada
pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi berat dan obat harus segera
dihentikan.
- Psikosis
Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan hal ini terjadi
karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga mempengaruhi
kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara lain: nervositas,
insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri. Gangguan jiwa akibat
penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam beberapa bulan setelah obat
dihentikan.
- Hiperkoagubilitas darah
Hiperkoagulabilitas darah dengan kejadian tromboemboli telah ditemukan terutama pada
pasien yang mempunyai penyakit yang memudahkan terjadinya trombosis intravaskular.
Pengobatan kortikosteroid dosis besar pada pasien ini, harus disertai pemberian antikoagulan
sebagai terapi profilaksis.
- Pertumbuhan terhambat
Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat.
Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat growth hormone.
Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui ginjal, akibatnya terjadi
sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga
menghambat hormon-hormon gonad, yang pada akhirnya menyebabkan gangguan proses
penulangan sehingga menghambat pertumbuhan.
- Peningkatan tekanan darah
Kortikosteroid dengan efek mineralokortikoidnya dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah/hipertensi. Yaitu efek retensi sodium yang mengakibatkan retensi air dan peninggian
tekanan darah. Beberapa obat dengan efek mineralokortikoid kuat antara lain fludrokortison
dan hidrokortison.
20
- Glaukoma (steroid-induced glaucoma)
Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik. Diduga terdapat
defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau peningkatan aktivitas respons
protein trabecular-meshwork inducible glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan
obstruksi cairan. Selain itu bukti lain mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang
menghambat pinositosis aqueous humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans
dan menyebabkan akumulasi.
Dan masih ada beberapa efek samping lain seperti katarak, peninggian kolesterol LDL,
ginekomastia, akne, virilisasi, pembesaran prostat, sterilitas dll. Mekanisme terjadinya
beragam efek samping ini masih ada yang belum diketahui dan sedang diteliti.
Untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan tsb, diajukan minimal 6 prinsip
terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat digunakan:
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error,
dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit,
2. Suatu dosis tunggal kortiksteroid umumnya tidak berbahaya,
3. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak
membahayakan kecuali dosis sangat besar,
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu/lebih hingga dosis melebihi dosis
substitusi, insidens efek samping dan efek lethal potensial akan bertambah. Awasi dan sadari
risio pengaruhnya terhadap metabolisme terutama bila gejala terkait muncul misalnya
diabetes resistensi insulin, osteoporosis, lambatnya penyembuhan luka,
5. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan terapi kausal
melainkan hanya paliatif saja,
6. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar,
mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan mengancam jiwa.
21