bab 2

20
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tidur pada Lansia Lansia bukanlah suatu penyakit, Menurut Keliat (1999), lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Maryam dkk, 2008). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis dan lingkungan (Efendi & Makhfudli, 2009). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun keatas (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Berbagai perubahan akan dialami oleh lansia seiring bertambahnya usia (BKKBN, 2012). Jumlah tidur total seorang lansia tidak mengalami perubahan, namun kualitas tidur menjadi berubah (Potter & Perry, 2005). Lansia seringkali mengeluh mengalami kesulitan untuk dapat tertidur saat berada di tempat tidur. Webb (1989) menjelaskan bahwa penundaan waktu tidur terjadi pada satu dari tiga lansia wanita dan satu dari lima lansia pria. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Fry (1998) dan Lankford (1994) yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan tahap 1 pada fase tidur NREM pada

Upload: g-ank-al-kedawany

Post on 05-Nov-2015

215 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

bab 2

TRANSCRIPT

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1 Tidur pada LansiaLansia bukanlah suatu penyakit, Menurut Keliat (1999), lanjut usia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Maryam dkk, 2008). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis dan lingkungan (Efendi & Makhfudli, 2009). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun keatas (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Berbagai perubahan akan dialami oleh lansia seiring bertambahnya usia (BKKBN, 2012). Jumlah tidur total seorang lansia tidak mengalami perubahan, namun kualitas tidur menjadi berubah (Potter & Perry, 2005). Lansia seringkali mengeluh mengalami kesulitan untuk dapat tertidur saat berada di tempat tidur. Webb (1989) menjelaskan bahwa penundaan waktu tidur terjadi pada satu dari tiga lansia wanita dan satu dari lima lansia pria. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Fry (1998) dan Lankford (1994) yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan tahap 1 pada fase tidur NREM pada lansia, sehingga lansia sangat mudah terbangun oleh suara, sentuhan, atau cahaya. Keadaan tersebut diperparah dengan hilangnya tahap 4 fase NREM, yaitu fase tidur yang paling dalam yang merupakan saat terbesar terjadinya proses pemulihan (Mass dkk, 2011).Fase REM pertama terjadi lebih awal pada waktu tidur lansia dengan lama yang sama. Peningkatan opasitas lensa mata dikaitkan dengan penurunan toleransi terhadap cahaya yang menyilaukan. Seiring bertambahnya usia serat optik yang normalnya menyebar didalam otak menjadi menebal dan membenuk gumpalan yang menyebarkan cahaya di dalam bola mata yang ahirnya membentuk cahaya yang sangat menyilaukan. Perubahan tidur REM dan pengurangan tahap 3 dan 4 NREM ini dapat mengganggu kualitas tidur lansia (Mass dkk, 2011).

2.1.1 Fisiologi Tidur

Tidur merupakan proses fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode terjaga. Siklus tidur-terjaga mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respon perilaku (Potter & Perry, 2005). Hubungan mekanisme serebral secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Aktivasi tidur diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat, temasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur yang terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons (Hidayat, 2006).

Reticular Activating System (RAS) dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan, juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin dalam keadaan sadar, dan kemungkinan saat tidur melepaskan serum serotinin dari sel khusus yang ada di pons dan batang otak tengah, yaitu bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima dipusat otak dan sistem limbik. Dengan demikian, sistem batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2006).

Ketika seseorang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks. Simulus ke RAS menurun. Jika ruang gelap dan tenang, maka aktivasi RAS selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian BSR mengambil alih, sehingga menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Tidur yang Berkualitas

Secara umum tidur yang berkualitas dapat ditandai dengan rasa segar tanpa kantuk saat bangun tidur (Ramadhan, 2015). Kualitas tidur yang baik dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu lelap atau tidaknya tidur, frequent arrousal (sering atau tidaknya terbangun di malam hari). Seseorang yang sering terbangun saat tidur akan membuat tubuh tidak segar saat bangun tidur. Cukupnya kadar oksigen dalam tubuh saat tidur akan membantu pemulihan kondisi tubuh (Susilo & Wulandari, 2011). Hal ini dapat diraih jika siklus tidur telah berjalan dengan mulus tanpa terkendala faktor apapun (Ramadhan, 2015). Siklus tidur dibagi ke dalam dua jenis, yaitu Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM) (Hidayat, 2006).2.1.2.1 Tidur NREM

Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam, istirahat penuh, atau tidur nyenyak. Gelombang otak yang bergerak lambat menyebabkan tidur tanpa bermimpi. Tidur jenis ini ditandai dengan betul-betul istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, dan metabolisme menurun (Hidayat, 2006).

Ada empat tahapan tidur NREM dalam setiap siklus tidur seseorang. NREM I merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur. Pada tahap ini seseorang tidur rileks, masih sadar dengan lingkungan, merasa mengantuk, bola mata bergerak dari samping ke samping, frekuensi nadi dan napas sedikit menurun, dan dapat bangun segera. Tahap NREM I berlangsung selama 5 menit. NREM II merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun. Tidur pada tahap ini pada umumnya bola mata menetap, frekuensi nadi dan pernapasan menurun, suhu tubuh menurun, dan metabolisme menurun. Tidur NREM II berlangsung pendek dan berakhir 10-15 menit. Tidur NREM III didominasi oleh sistem saraf parasimpatis, sehingga denyut jantung, frekuensi napas, dan proses tubuh lainnya lambat. Tidur pada tahap ini sulit untuk bangun. Tidur NREM IV merupakan tahap tidur dalam, dengan ciri frekuensi nadi dan pernapasan turun, jarang bergerak dan sulit dibangunkan, gerakan bola mata cepat, sekresi lambung menurun, dan tonus otot menurun (Hidayat, 2006).

2.1.2.2 Tidur REM

Tidur REM merupakan fase pada ahir setiap siklus tidur 90 menit. Konsolidasi memori dan pemulihan psikologis terjadi pada saat ini. Tidur REM dapat berahir selama 60 menit selama ahir siklus tidur (Potter & Perry, 2005). Pada orang yang sangat lelah terkadang tidur ini hampir tidak ada. Mimpi yang aktif muncul pada tahap ini. Pada tahap ini juga seseorang sangat sulit untuk dibangunkan. Selain itu selama tidur REM terjadi beberapa gekan otot yang tidak teratur, frekuensi nadi dan pernapasan tidak teratur, mata cepat tertutup dan terbuka, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan metabolisme meningkat. Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori, dan adaptasi (Hidayat, 2006).

2.1.3 Fungsi dan Tujuan Tidur

Fungsi dan tujuan tidur memang belum diketahui secara jelas.Tidur diyakini memberi kontribusi pada pemulihan fisiologis, kognitif, dan psikologis (Potter & Perry, 2005). Tidur dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stres pada paru, kardiovaskular, endokrin, dan lain-lain (Hidayat, 2006).

Frekuensi nadi menurun selama tidur NREM yang berarti laju denyut jantung juga menurun. Keadaan ini bermanfaat untuk memelihara kesehatan jantung. Pada tidur NREM tahap 4 juga tubuh melepaskan hormon pertumbuhan. Pelepasan hormone pertumbuhan ini akan memperbaiki dan memperbaharui sel epitel dan khusunya sel otak. Tubuh menyimpan energi saat tidur. Otot skelet berelaksasi secara progresif. sehingga dapat diarahkan lagi pada fungsi seluler yang penting (Potter & Perry, 2005).Tidur REM penting untuk pemulihan kognitif. Tidur REM dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Kurangya tidur REM dapat mengarah pada perasaan bingung dan curiga (Potter & Perry, 2005).

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tidur

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi tidur. Sering kali faktor tunggal tidak bisa menjadi penyebab masalah tidur yang dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang, terutama lansia. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan tidur lansia yaitu penyakit fisik, obat-obatan, gaya hidup, stres emosional, lingkungan, latihan fisik, serta asupan makanan dan kalori (Potter & Perry, 2005).2.1.4.1 Penyakit

Seiring bertambahnya usia, penyakit yang menyertai seorang lansia akan semakin kompleks. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan fisik mengakibatkan masalah tidur. Penyakit juga dapat memaksa lansia untuk tidur pada posisi yang tidak biasa (Potter & Perry, 2005). Penyakit jantung koroner menyebabkan nyeri dada yang tiba-tiba dan denyut jantung yang tidak teratur. Keadaan ini menyebabkan lansia sering terbangun dan terjadi perubahan tahapan selama tidur (Potter & Perry, 2005). Hasil penelitian Costa dan Ceolim (2012) yang mengatakan bahwa 26,5% pasien rawat inap kualitas tidurnya memburuk karena ketidaknyamanan organik seperti nyeri dan kelelahan. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahayu, Nurrachmah, dan Gayatri (2012) yang menyatakan bahwa 27 dari 40 pasien dengan penyakit jantung koroner kualitas tidurnya buruk.Penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, dan rhinitis alergi akan mengubah irama pernapasan dan dapat mengganggu tidur (Potter & Perry, 2005). Apnea yang biasanya disebabkan oleh obstruksi saluran pernapasan atas menyebabkan penderita terbangun dari tidur dalam keadaan hipoksemia, sehingga menyebabkan mengatuk di siang hari (Davey, 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian Purwaningsih (2014) yang menyimpukan bahwa orang dengan penyakit asma yang tidak terkontrol memiliki kualitas tidur lima kali lebih buruk dibandingkan orang dengan asma terkontrol. Penyakit lain yang bisa memperburuk kualitas tidur yaitu hipertiroidisme dan Nokturia. Hipertiroidisme dapat menyebabkan penurunan tahap 4 NREM, hipotiroidisme justru sebaliknya menyebabkan lansia perlu waktu yang banyak untuk bisa tertidur. Nokturia menyebabkan lansia sering terbangun saat malam hari untuk buang air kecil. Nokturia sering dialami pada lansia yang menderita penyakit jantung, diabetes mellitus, penurunan tonus vesika urinaria, uretritis, atau penyakit prostat (Potter & Perry, 2005).Penyakit parkinson dan sindrom psrkinsonisme lainnya juga terlihat mempengaruhi pengaturan tidur terjaga yang abnormal. Selama tidur REM, tremor parkinsonian menghilang. Namun pada orang dengan penykit tersebut memiliki tidur REM yang pendek, terutama saat orang tersebut depresi (Mass dkk, 2011) 2.1.4.2 Obat-obatan

Obat-obatan dapat mempengaruhi proses tidur (Hidayat, 2006). Lansia seringkali menggunakan variasi obat untuk mengontrol atau mengatasi penyakit kroniknya, dan efek kombinasi dari beberapa obat dapat mengganggu tidur secara serius (Potter & Perry, 2005). Obat hipotonik seringkali menyebabkan rasa mengantuk yang berlebihan, bingung, dan penurunan energi dan memperburuk apnea tidur pada lansia. Obat diuretik dapat menyebabkan nokturia. Anti depresan dan stimulant dapat menekan tidur REM dan menurunkan total waktu tidur. Beta bloker menyebabkan mimpi buruk, insomnia, dan terbangun dari tidur. benzodiazepin meningkatkan waktu tidur dan kantuk di siang hari. Narkotika dapat menekan tidur REM menyebabkan peningkatan kantuk pada siang hari (Potter & Perry, 2005).

2.1.4.3 Gaya hidup

Pola tidur seseorang juga dipengaruhi oleh gaya hidup sehari-hari (Potter & Perry, 2005). Kebiasaan-kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh lansia seperti kebiasaan minum minuman yang mengandung xanthine dan kafein (seperti kopi, teh) di senja atau sore hari, kebiasaan merokok, kebiasaan kurang olahraga dan tidur malam merupakan contoh gaya hidup yang buruk dapat menyebabkan insomnia (Ernawati & Sudaryo, 2010). Meminum minuman yang mengandung kafein seperti kopi dan teh merupakan kebiasaan yang biasa dilakukan oleh orang indonesia. Hasil penelitian Setyaningsih, Dewi, dan Suandika (2014) mengatakan bahwa 63% responden yang berumur lebih dari 60 tahun biasa meminum kopi. Kafein yang bekerja dalam tubuh dapat memberikan efek positif maupun efek samping. Konsumsi kafein dalam dosis rendah memang terbukti memberikan manfaat. Dalam sebuah studi oleh Smit dan Rogers (2000) dikatakan bahwa 12,5 100 mg kafein dapat memberikan efek positif dan jarang menimbulkan efek samping. Namun tidak semua produk berkafein seperti kopi dan minuman energi mencantumkan kadar kafein yang terkandung didalamnya. Studi deskriptif oleh Bawazeer dan Alsobahi (2013) menunjukkan bahwa 34,3% peminum minuman energi yang mengandung kafein mengaku mengalami efek samping diantaranya palpitasi, insomnia, nyeri kepala, tremor, gelisah, serta mual dan muntahKebiasaan meminum alkohol dapat mempercepat awalan tidur, namun mengganggu pada tidur REM, membangunkan orang pada malam hari dan menyebabkan kesulitan untuk tidur kembali (Potter & Perry, 2005). Rompas, Engka, dan Pangemanan (2013) menjelaskan bahwa perokok aktif yang telah merokok lebih dari 10 tahun memiliki risiko menderita insomnia lebih besar dibandingkan perokok yang merokok kurang dari 10 tahun. 2.1.4.4 Stres psikologisStres psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa (Hidayat, 2006). Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, kehiangan keamanan ekonomi merupakan sebagian faktor predisposisi yang menjadikan lansia cemas dan depresi (Potter & Perry, 2005). Kecemasan dapat membuat pikiran seseorang menjadi kacau, takut, gelisah, tidak nyaman. Masalah yang dihadapi membuat lansia sulit memulai tidur (Sohat, Bidjuni, & Kallo, 2014). Kejadian depresi menyebabkan seseorang menjadi sedih dan sulit tidur, khususnya pada lansia (Sustyani, Indriyati & Supriyadi, 2012). Ketika seseorang dalam keadaaan ansietas kadar norepinefrin dalam darah meningkat sebagai stimulasi dari saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya sklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur (Mubarak & Chayatin, 2007) 2.1.4.5 Lingkungan

Lingkungan fisik tempat seseorang tidur sangat berpengaruh pada kemampun untuk tidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik efektif untuk tidur yang tenang. Suara juga mempengaruhi tidur, beberapa orang memerlukan lingkungan tanpa suara untuk tidur, sementara yang lain menyukai suara sebagai latar belakang seperti musik yang lembut. Tingkat cahaya juga dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Beberapa orang menyukai tempat yang gelap, sementara anak-anak atau lansia menyukai tempat yang remang-remang yang tetap menyala saat tidur (Potter & Perry, 2005). Faktor lingkungan eksternal yang bising, menghasilkan waktu yang berlebihan di tempat tidur, dan tidur siang yang berlebihan merupakan beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada lansia yang tinggal di panti wredha (Mass dkk, 2011)2.1.4.6 Latihan Fisik

Seseorang yang melakukan olahraga di siang hari akan mudah tertidur dimalam harinya. Meningkatnya latihan fisik akan meningkatkan waktu tidur REM dan NREM (Harkreader, Hogan, & Thobaben, 2007). Seseorang yang mengalami kelelahan menengah (moderat) yang dihasilkan dari pekerjaan yang menyenangkan biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan. Latihan 2 jam atau lebih sebelum tidur membuat tubuh mendingin dan mempertahankan suatu keadaan kelelahan yang meningkatkan relaksasi. Akan tetapi, kelelahan yang berlebihan yang dihasilkan dari pekerjaan yang meletihkan dan penuh stres membuat sulit tidur (Potter & Perry, 2005).

2.1.4.7 Kalori dan diet

Makan besar, berat, dan/atau berbumbu pada makan malam dapat menyebabkan tidak dapat dicerna sehingga dapat mengganggu tidur. (Potter & Perry, 2005). Makanan berlimpah asam amino triptofan, magnesium, dan vitamin B1 (tiamin) dapat menangani gangguan sulit tidur. Sebagai contoh minum susu hangat dengan tambahan madu, dan memakan almon atau kenari panggang sebelum tidur akan meningkatkan kadar serotinin otak sehingga akan mempercepat tidur (Apriadji, 2007).

Peningkatan atau penurunan berat badan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang (Potter & Perry, 2005). Peningkatan berat badan dikaitkan dengan peningkatan waktu total tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam hari. Sebaliknya penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya terjaga di malam hari (Mubarak & Chayatin, 2007).Salah satu penyebab Obstructive sleep apnea syndrome OSAS yang lain obesitas. Obesitas merupakan penyebab utama OSAS pada dewasa sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai penyebab utama. Mekanisme terjadinya OSAS obesitas karena terdapat penyempitan saluran nafas bagian atas akibat penimbunan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan lunak di sekitar saluran nafas, maupun kompresi eksternal leher dan rahangSemakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah (Galletta, 2005). Peningkatan atau penurunan berat badan dapat mempengaruhi pola tidur seseorang (Potter & Perry, 2005). Pola tidur seseorang dapat dipengaruhi Peningkatan atau penurunan berat badan (Potter & Perry, 2005). Peningkatan berat badan dikaitkan dengan peningkatan waktu total tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam hari. Sebaliknya penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya terjaga di malam hari (Mubarak & Chayatin, 2007).

Hasil penelitian Muhibudin, Fitriyadi, dan Prastyo (2013) yang menyatakan bahwa dari 45 lansia terdapat 22 (49%) responden yang mempunyai status gizi cukup, status gizi kurang (kurus ringan) 7 (16%) sesponden, dan status gizi kurang (kurus berat) sebanyak 6 (13%) responden. Sekitar 27% responden kualitas tidurnya baik, 24% kualitas tidurnya cukup, dan 22% kualitas tidurnya buruk. Penelitian lain tentang hubungan indeks masa tubuh dengan lama tidur telah dialkukan oleh Manik (2011) yang mengatakan bahwa sebanyak 27 orang (28.1%) Sampel yang memiliki indeks massa tubuh berlebih (overweight dan obesitas) memiliki jumlah jam tidur kurang dari 7-8 jam. Meskipun demikian, didapati pula sampel yang memiliki indeks massa tubuh berlebih memiliki jumlah jam tidur di atas 7-8 jam, yakni sebanyak 5 orang (5.1%). Untuk sampel dengan klasifikasi normoweight memiliki jumlah di kisaran 6-7 jam (18 orang) diikuti 7-8 jam (15 orang). 2.2 Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan suatu pengukuran yang membandingkan berat badan dengan tinggi badan. Walaupun dinamakan indeks, IMT sebenarnya adalah rasio atau nisbah yang dinyatakan sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) (Markenson,2004). Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkorelasi tinggi dengan massa lemak tubuh (Lisbet, 2004). Definisi klinik obesitas sering dicerminkan dengan IMT yang disebut juga dengan QueteletsIndex. Ini merupakan pengukuran indeks massa tubuh paling baik untuk populasi dewasa karena memiliki tingkat kesalahan paling kecil dan mudah menghitungnya (Lisbet, 2004; Sugondo, 2006).

Penggunaan IMT sebagai baku pengukuran obesitas dapat digunakan untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun (Supariasa et al., 2002; Sugondo, 2006). Keuntungan IMT adalah tinggi dan berat badan mudah diukur oleh tenaga yang cukup dilatih sekadarnya dan handal pada berbagai keadaaan. Kelemahan IMT adalah tidak menunjukkan persentase lemak tubuh seseorang (Supariasa et al., 2002; Lisbet, 2004). Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:Berat Badan (Kg)

IMT = ------------------------------------------------------------

Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk dan proporsi tubuh, sehingga IMT belum tentu memberikan gambaran kegemukan yang sama bagi semua populasi. Orang Asia mempunyai deposit lemak tubuh lebih tinggi pada IMT lebih rendah dibandingkan ras Kaukasia (Lisbet, 2004). Cut off point obesitas masing-masing populasi berbeda sehingga wilayah Asia Pasifik telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri sebagai berikut (Sugondo, 2006):

Tabel 1. Kategori ambang batas IMT wilayah Asia Pasifik

No.Klasifikasi IMT(kg/m2)

1Berat badan kurang< 18,5

2Berat badan normal18,5-22,9

3Berat badan lebih> 23

4Overweight 123-24,9

5Overweight 225-29,9

6Obesitas> 30

(Sumber : Sugondo, 2006)

2.3 Kerangka teori

Gambar 2.2 Kerangka teori

Sumber : Potter & Perry, 2005.2.4 Kerangka konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis

2.5.1 Ha : ada hubungan antara indeks massa tubuh dengan kualitas tidur lansia di Unit Pelayanan Sosial Purbo Yuwono Kabupaten Brebes.2.7.2 Ho : Tidak ada hubungan antara indeks massa tubuh dengan kualitas tidur lansia di Unit Pelayanan Sosial Purbo Yuwono Kabupaten Brebes.

Kualitas tidur

Indeks massa tubuh

Kualitas tidur

Tidur

Penyakit fisik

Obat-obatan

Gaya hidup

Stres emosional

Lingkungan

Latihan fisik

Asupan makanan dan kalori

Indeks massa tubuh