bab 2

6
TINJAUAN PUSTAKA Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Curcuma berasal dari bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning dan rhizaa yang berarti umbi akar. Jadi Curcuma xanthorrhiza berarti akar kuning. Temulawak atau koneng gede (Sunda), temo labak (Madura), temulawas (Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak terdapat di Ambon, Bali, dan Jawa (Sutarno & Atmawidjojo 2001). Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina, Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa (Anonim 2005). Dari segi taksonomi, temulawak masuk dalam dunia plantae, divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza. Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1800 meter di atas permukaan laut (m dpl) dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m dpl. Pembudidayaan di dataran rendah pada ketinggian 240 m dpl menghasilkan rimpang yang kandungan patinya lebih tinggi, sebaliknya di dataran tinggi menghasilkan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dataran rendah (Direktorat Aneka Tanaman 2000). Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan terlindung dari sinar matahari. Di habitat alamiya, rumpun tanaman ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis (Afifah & Lentera 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1500- 4000 mm/tahun atau daerah bertipe iklim A, B, dan C menurut Schimdt-Ferguson. Pada daerah iklim C tanaman cepat mengalami fase pertumbuhan mengering pada bagian daun dan batang semu karena musim hujan yang relatif lebih pendek dibandingkan daerah dengan tipe iklim A dan B, sedangkan toleransi suhu untuk pertumbuhan adalah antara 19-35 o C (Soediarto 1985). Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir, maupun tanah-tanah berat yang

Upload: rheza-tuszakka

Post on 02-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fghfgh

TRANSCRIPT

  • 4

    TINJAUAN PUSTAKA

    Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)

    Curcuma berasal dari bahasa Yunani, xanthos yang berarti kuning dan

    rhizaa yang berarti umbi akar. Jadi Curcuma xanthorrhiza berarti akar kuning.

    Temulawak atau koneng gede (Sunda), temo labak (Madura), temulawas

    (Malaysia) merupakan tanaman asli Indonesia yang penyebarannya banyak

    terdapat di Ambon, Bali, dan Jawa (Sutarno & Atmawidjojo 2001). Saat ini

    tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina,

    Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa

    (Anonim 2005). Dari segi taksonomi, temulawak masuk dalam dunia plantae,

    divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, keluarga

    Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza.

    Temulawak dapat tumbuh pada ketinggian 5-1800 meter di atas permukaan

    laut (m dpl) dengan ketinggian tempat optimum adalah 750 m dpl.

    Pembudidayaan di dataran rendah pada ketinggian 240 m dpl menghasilkan

    rimpang yang kandungan patinya lebih tinggi, sebaliknya di dataran tinggi

    menghasilkan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dataran rendah

    (Direktorat Aneka Tanaman 2000).

    Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan

    terlindung dari sinar matahari. Di habitat alamiya, rumpun tanaman ini tumbuh

    subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak

    juga dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini

    memiliki daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis

    (Afifah & Lentera 2003). Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1500-

    4000 mm/tahun atau daerah bertipe iklim A, B, dan C menurut Schimdt-Ferguson.

    Pada daerah iklim C tanaman cepat mengalami fase pertumbuhan mengering pada

    bagian daun dan batang semu karena musim hujan yang relatif lebih pendek

    dibandingkan daerah dengan tipe iklim A dan B, sedangkan toleransi suhu untuk

    pertumbuhan adalah antara 19-35oC (Soediarto 1985).

    Perakaran temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis

    tanah baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir, maupun tanah-tanah berat yang

  • 5

    berliat. Produksi rimpang yang optimum memerlukan tanah yang subur, gembur,

    dan berdrainase baik. Pemupukan anorganik dan organik diperlukan juga untuk

    memberi unsur hara yang cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur.

    Tanah yang mengandung bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah

    tidak mudah tergenang air (Rahardjo & Rostiana 2005).

    Temulawak (Gambar 1a) merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak

    dengan tinggi hingga lebih dari 1 m tetapi kurang dari 2 m, berwarna hijau atau

    cokelat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat,

    berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai 29 helai daun dengan bentuk

    bundar memanjang sampai lanset, warna daun hijau atau cokelat keunguan terang

    sampai gelap, panjang daun 3184 cm dan lebar 1018 cm, panjang tangkai daun

    termasuk helaian 4380 cm. Daun termasuk tipe daun sempurna, artinya tersusun

    dari pelepah daun, tangkai daun, dan helai daun (Sidik et al. 1995). Kelopak

    bunga berwarna putih berbulu, panjang 813 mm, mahkota bunga berbentuk

    tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm, helaian bunga berbentuk bundar

    memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah,

    panjang 1,252 cm dan lebar 1 cm (Anonim 2005).

    Sebagai tanaman monokotil, temulawak tidak memiliki akar tunggang. Akar

    yang dipunyai adalah rimpang. Rimpang adalah bagian batang di bawah tanah.

    Rimpang disebut juga umbi akar, umbi batang atau umbi tinggal. Rimpang

    temulawak berukuran paling besar di antara semua rimpang genus Curcuma

    dengan diameter sampai 6 cm. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk

    (empu) dan rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti

    telur dan berwarna kuning tua atau cokelat kemerahan. Bagian dalamnya

    berwarna jingga kecokelatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang

    induk. Arah pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk

    yang bermacam-macam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih

    dari satu tahun, akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam

    dan rasanya pahit agak pedas. Produk yang diambil dari tanaman tersebut adalah

    rimpang induk yang tumbuh dekat permukaan tanah dengan kedalaman 58 cm

    (Wahid & Soediarto 1985). Panen dilakukan setelah tanaman daunnya menguning

  • 6

    dan kering. Panen yang terbaik adalah ketika tanaman berumur 11-12 bulan

    (Darwis et al. 1991). Irisan rimpang temulawak ditunjukkan pada Gambar 1b.

    (a) (b)

    Gambar 1 (a) Tanaman temulawak dan (b) irisan rimpang temulawak

    Komposisi Kimia Temulawak

    Rimpang temulawak mengandung zat warna kuning kurkumin, minyak

    atsiri, pati, protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1988). Kadar dari setiap

    komponen tersebut bergantung pada umur panen. Rimpang kering temulawak

    mengandung 2934% karbohidrat, dan 610% minyak atsiri, sedangkan rimpang

    segar mengandung air 7080% (Herman 1985). Suwiah (1991) menguraikan

    komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan

    pada Tabel 1. Menurut Sinambela (1985), komponen utama rimpang temulawak

    adalah fraksi zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Kadar minyak atsiri

    rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka ditunjukkan pada Tabel 2.

    Komponen minyak temulawak menurut Liang et al. (1985), Anang 1992, serta

    Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 1 Komposisi rimpang temulawak Komponen Persentase (%) Pati 27.62 Lemak (fixed oil) 5.38 Kurkumin 1.93Serat kasar 6.89 Abu 3.96 Protein 6.44Minyak atsiri 10.96

    Sumber: Suwiah (1991)

  • 7

    Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak Sumber Kadar minyak atsiri (%)

    Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Ujung Pandang (1980 dalam Herman 1985)

    6-10

    Meijer dan Kollhaas (1939 dalam Nurdjanah et al. 1994) 7,3-9,5

    Lucker et al. (1976 dalam Liang et al. 1985) 7-11

    Sirait et al. (1985) Rimpang temulawak berumur:

    8 bulan 4,6 10 bulan 5,2 12 bulan 5,3 15 bulan 5,1

    Tabel 3 Komponen minyak temulawak I II III

    1. trisiklin 2. -pinena 3. kamfena 4. -pinena 5. sabrinena 6. mirsena 7. felandrena 8. limonena 9. 1,8-sineol 10. -terpinena 11. - simen 12. terpionlen 13. -elemena 14. kamfor 15. -bergamolena 16. -elemena 17. kariofilena 18. allo-aromadendren 19. trans--farnesena 20. berneol 21. gerwakrena D 22. zingiberena 23. -bisabolen 24. -kurkumena 25. -kadinena 26. -seskuifelandrena 27. ar-kurkumen 28. isofuranogermasen 29. turmeron 30. turmerol 31. ar-turmeron 32. xantorizol

    *seskuiterpen - -kurkumena --kurkumena -1-sikloisoprenmirsean -zingiberena -xantorizol -turunan bisabolen -epolisid-bisakuron -bisakuron A -bisakuron B -bisakuron C *ketonseskuiterpena -turmeron --turmeron --atlanton (0,3%) -germakron *monoterpena -sineol -d-borneol -d--feladrena -d-kamfan

    --lumulena (25,2%) -kamfan (21,9%) -zerumbon (21,2%) --kurkumen (0,8%) -lumulen epolesi (4,6%) -kamfor (4,2%) --pinena (3,4%) -borneol dan -terpineol (0,6%) -eukaliptol (1,8%) --kariofilena (1,6%) -limonena (1,5%) -linaloal (0,9%) -3-karena (0,3%) -lumulena dioksida --pinena (0,6%)

    Sumber: I = Liang et al. (1985) II = Maiwald dan Schwantes (1991 dalam Anang 1992) III = Dicnes dan Nicholas (1976)

  • 8

    Xantorizol

    Xantorizol merupakan komponen minyak atsiri rimpang temulawak yang

    termasuk ke dalam kelompok terpena teroksigenasi. Xantorizol merupakan

    komponen yang khas dari minyak temulawak yang membedakannya dengan minyak

    jenis curcuma yang lain (Setijadi 1985, Sirait et al. 1985).

    Ciri xantorizol menurut Hwang (2000) adalah sebagai berikut: golongan

    seskuiterpena, BM 218 g/mol, tidak berwarna, tak-asiri, stabil terhadap suhu dan

    panas, sangat pahit, dan rumus molekulnya ialah C15H22O. Xantorizol larut dalam

    DMSO dan etanol 96%. Nama IUPAC (International Union of Pure and Applied

    Chemistry) xantorizol adalah 5-(1,5-dimetil-heks-4-enil)-2-metil-fenol. Rumus

    strukturnya ditunjukkan pada Gambar 2.

    HO

    H3C Gambar 2 Struktur xantorizol (Hwang 2000)

    Aktivitas Hayati Xantorizol

    Xantorizol mempunyai daya hambat yang tinggi terhadap bakteri spesies

    Streptococus penyebab karies pada gigi. Berdasarkan hal tersebut maka xantorizol

    dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit

    pada gigi (Hwang 2000). Xantorizol juga dapat digunakan sebagai agen potensial

    pembentukan biofilm oleh Streptococcus mutans (Rukayadi & Hwang 2007).

    Penelitian lain menunjukkan bahwa xantorizol memiliki aktivitas sebagai anti-fungi

    pada spesies candida, sehingga dimungkinkan dapat digunakan untuk pengobatan

    candidiasis (Rukayadi 2006).

    Xantorizol juga memiliki aktivitas hayati sebagai antikanker dan antiinflamasi.

    Penelitian Lee et al. (2002) memperlihatkan bahwa xantorizol dapat digunakan

    sebagai kandidat inhibitor COX-2 dan iNOS bagi penderita kanker kemopreventif

    atau sebagai antiinflamasi. Xantorizol juga dapat digunakan sebagai neuroproteksi.

  • 9

    Liem et al. (2005) melaporkan bahwa xantorizol merupakan kandidat efektif untuk

    pengobatan penyakit alzheimer dan penyakit saraf lain yang terkait dengan Reactive

    Oxygen Species (ROS) dan inflamasi. Yamazaki et al. (1987 dalam Sidik 1995) juga

    menyatakan xantorizol mempunyai efek memperpanjang masa tidur yang

    diakibatkan oleh pentobarbital dengan cara menghambat aktivitas sitokrom P450,

    atau dengan kata lain xantorizol dapat digunakan sebagai antidepresan.

    Penelitian lain yang dilakukan Chilwan et al. (1993) yang meneliti efek

    insektisida empat jenis rimpang spesies Zingiberaceae, yaitu Curcuma xanthorriza,

    C. Zeodoaria, Kaempferia galanga, dan K. pandurata. 17 komponen terbesar

    termasuk flavonoid, seskuiterpenoid, dan derivat asam sinamat berhasil diisolasi dan

    diidentifikasi menggunakan nuclear magnetic resonance (NMR) dan spektrum

    massa. Semua komponen ini diuji toksisitasnya terhadap larva Spodoptera littoralis.

    Hasil uji biologis nya menunjukkan bahwa xantorizol dan furanodienon merupakan

    senyawa yang paling aktif menunjukkan toksisitas melawan larva yang baru lahir.

    Isolasi Xantorizol (Hwang 2000)

    Hwang telah berhasil mengisolasi xantorizol dari rimpang tanaman

    temulawak menggunakan metode ekstraksi pelarut, kolom kromatografi, dan

    reaksi asetilasi dan deasetilasi. Sistem ekstraksi yang dilakukan adalah ekstraksi

    bertahap menggunakan pelarut metanol dan etil asetat. Ekstrak kasar yang

    diperoleh kemudian diaplikasikan dalam kromatografi kolom menggunakan fase

    diam silika gel dan eluen campuran heksana dan etil asetat untuk memperoleh

    fraksi aktif yang mengandung xantorizol. Tahap selanjutnya yang dilakukan

    Hwang (2000) adalah melakukan asetilasi terhadap fraksi aktif hasil kolom, dan

    dilanjutkan dengan mengaplikasikan kembali fraksi aktif terasetilasi tersebut ke

    dalam kolom kromatografi untuk memperoleh senyawa tunggal terasetilasi. Tahap

    terakhir adalah deasetilasi terhadap fraksi aktif terasetilasi tunggal untuk

    memperoleh senyawa xantorizol murni. Identifikasi yang dilakukan adalah dengan

    spektroskopi inframerah dan NMR. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hwang

    berhasil memperoleh senyawa xantorizol sebanyak 0.2 g dari 100 g sampel

    temulawak kering yang digunakan, atau dengan kata lain rendemen yang

    diperoleh sebesar 0.2 % dengan kemurnian 99.9%.