bab 2

58
6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Cakalang Deskripsi morfologi dan karakteristik ikan cakalang dari berbagai samudera menunjukan bahwa hanya ada satu species cakalang yang terbesar di seluruh dunia, yaitu Katsuwonus pelamis (Jones and Silas, 1963; Waldron and King, 1963 dalam Simbolon, 2003). Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan padat dengan penampang melintang yang membulat. Bagian bawah gurat sisi memiliki 4 - 6 garis - garis hitam tebal yang membujur seperti pita. Bagian bawah punggung dan perut berwarna keperak – perakan. Punggung berwarna biru keungu – unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan depan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 – 9 sirip dubur tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Puslitbangkan, 1993 dalam Simbolon, 2003). Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan. (Collette and Nauen, 1983 dalam

Upload: novry-kindangen

Post on 20-Jun-2015

706 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

MANAJEMEN OPERASI HUHATE (POLE AND LINE) DALAM RANGKA PEMANFAATAN SUMBER DAYA CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI LAUT UTARA SULAWESI

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2

6

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Cakalang

Deskripsi morfologi dan karakteristik ikan cakalang dari berbagai

samudera menunjukan bahwa hanya ada satu species cakalang yang terbesar di

seluruh dunia, yaitu Katsuwonus pelamis (Jones and Silas, 1963; Waldron and

King, 1963 dalam Simbolon, 2003). Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti

torpedo dan padat dengan penampang melintang yang membulat. Bagian bawah

gurat sisi memiliki 4 - 6 garis - garis hitam tebal yang membujur seperti pita.

Bagian bawah punggung dan perut berwarna keperak – perakan. Punggung

berwarna biru keungu – unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat

sisi dan depan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 – 9 sirip dubur

tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Puslitbangkan, 1993

dalam Simbolon, 2003).

Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan.

(Collette and Nauen, 1983 dalam Simbolon, 2003) melaporkan bahwa ukuran fork

length maksimum ikan umum tertangkap 40 – 80 cm dengan berat 8 – 10 kg.

Selanjutnya dikatakan berdasarkan pengamatan (Radju, 1964 dalam Simbolon,

2003) ukuran ikan cakalang yang sudah matang gonad berkisar 40 – 50 cm. Ikan

cakalang betina yang matang gonad memijah untuk pertama kalinya pada ukuran

41 cm. Di lain pihak, ikan cakalang jantan biasanya mengalami matang gonad

pada ukuran 40 – 45 cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa – sisa telur matang

masih dapat ditemukan pada ikan – ikan yang berukuran lebih besar dari 40 cm,

Page 2: Bab 2

7

akan tetapi sisa telur tersebut tidak ditemukan pada ikan – ikan yang berukuran

lebih pendek dari 40 cm.

Kebiasaan makan ikan cakalang adalah aktif pada pagi hari dan kurang

aktif pada siang hari, selanjutnya mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak

makan sama sekali pada malam hari. Pada saat mencari makan, ikan cakalang

biasanya membentuk schooling bergerak dengan cepat sambil meloncat – loncat

di permukaan perairan. Puncak kegiatan makan bagi ikan cakalang terjadi sekitar

jam 08.00 hingga 12.00 dan berkurang antara jam 13.00 – 16.00, kemudian

memuncak lagi hingga matahari terbenam (Aprieto, 1994 dalam Simbolon, 2003).

2.1.1. Aspek biologi cakalang (Katsuwonus Pelamis)

Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang,

adapun klasifikasi cakalang menurut matsumoto, et al (1984) adalah sebagai

berikut :

Phylum : Vertebrata

Sub phylum : Craniati

Superclass : Gnathostomata

Series : Pisces

Class : Telestoid

Subclass : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Subordo : Scombridei

Family : Scombridae

Page 3: Bab 2

8

Subfamily : Scombrinae

Tribe :Thunini

Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis

Gambar 1 : Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (http//www.fishbase.org)

2.2. Operasi Penangkapan

Operasi penangkapan dengan huhate dilakukan dengan cara mencari dan

memburu kelompok ikan cakalang. Pencarian gerombolan ikan dilakukan oleh

seorang pengintai yang tempatnya biasa berada di anjungan kapal dan

menggunakan teropong (Mallawa dan Sudirman, 2004).

Keberadaan ikan cakalang dapat dilihat melaui tanda-tanda antara lain:

adanya buih atau cipratan air, loncatan ikan cakalang ataupun gerombolan

burung-burung yang terbang menukik ke permukaan laut dimana gerombolan ikan

berada.

Page 4: Bab 2

9

Setelah menemukan gerombolan ikan, yang harus diketahui adalah arah

renang kemudian mendekati gerombolan ikan tersebut. Sementara pemancing

sudah bersiap masing-masing pada sudut kiri, kanan, dan haluan kapal.

Pelemparan umpan dilakukan oleh boi - boi setelah diperkirakan ikan telah

berada dalam jarak jangkauan lemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan

kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan

dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan

umpan tersebut, mesin penyemprot sudah dihidupkan agar ikan tetap berada di

dekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin

kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan ke laut dikurangi,

mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan

diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba

menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari

mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Hal lain yang perlu

diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah

terpancing jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan

yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan

kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil

waktu. (Mallawa dan Sudirman, 2004).

Page 5: Bab 2

10

2.2.1. Sarana dan Prasarana Penangkapan

2.2.1.1. Kapal huhate (Skipjack pole and liner)

Skipjack pole and line adalah jenis kapal yang digunakan untuk

menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Tipe kapal jenis ini memerlukan

palka ikan, tangki untuk menyimpan umpan hidup serta system sirkulasi airnya,

pipa - pipa dan pompa untuk memercikan air, tempat duduk untuk pemancing

serta geladak kapal untuk tempat menjatuhkan ikan hasil pancingan.

Jenis kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan cakalang

adalah pole and line tipe skipjack fishing boat. Kapal ini memiliki persyaratan

tertentu yaitu pada haluan kapal dibuat anjungan yang mencuat kedepan untuk

tempat pemancingan (tempat duduk pemancing), memiliki bak tempat umpan

hidup (live bait tank), tempat penyimpanan hasil tangkapan, mempunyai system

penyemburan air/spoit (water pump) dan palka yang dapat menampung ikan hasil

tangkapan.

Huhate (Skipjack pole and line) atau umumnya lebih dikenal dengan “pole

and line” adalah cara pemancingan dengan menggunakan pancing yang

dikhususkan untuk menangkap ikan cakalang yang banyak digunakan di perairan

Indonesia. Selanjutnya dikatakan juga menurut Ayodhoya, (1981), pole and line

umum digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

sehingga dengan kata perikanan pole and line sering pengertian kita ke arah

perikanan cakalang, sungguhpun dengan cara pole and line juga dilakukan

penangkapan albacore, mackerel dan lain sebagainya.

Page 6: Bab 2

11

Huhate adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terdiri dari bambu

sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan

mata pancing yang tidak berkait. Penggunaan mata pancing yang tidak berkait

dimaksudkan agar ikan yang ditangkap dapat mudah lepas (Direktorat Sarana

Perikanan Tangkap, 2003).

2.2.1.2. Bentuk kapal

Menurut Subani dan Barus, (1989), bentuk kapal cakalang mempunyai

beberapa pengkhususan, antara lain:

1. Di bagian atas dek kapal bagian depan terdapat plataran (plat form)

dimana pada tempat tersebut para pemancing melakukan pemancingan.

2. Dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup.

3. Kapal cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water

splinker system) yang dihubungkan dengan suatu pompa. Kapal cakalang

yang umumnya digunakan mempunyai ukuran 20 GT dengan kekuatan

40 – 60 HP.

Menurut Ben – Yami, FAO, (1980) dalam Nugroho dan Widodo, (2005),

dalam perkembangannya huhate dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori

yaitu :

1. Huhate (Skipjack Pole and line) Industri

Dalam operasi penangkapan mengunakan kapal lebih dari 100 GT, bahan

terbuat dari besi dengan dilengkapi palka pendingin (freezer).

2. Huhate (Skipjack Pole and line) Skala Besar

Page 7: Bab 2

12

Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal mulai dari 10 s/d 100

GT, kebanyakan kapal terbuat dari kayu atau fibreglass.

3. Huhate (Skipjack Pole and line) Skala Kecil

Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal kecil dari 5 GT yang

terbuat dari kayu atau fibreglass

Kapal pole and line adalah kapal dengan bentuk yang stream line dan

mempunyai olah gerak kapal yang lincah dan tergolong kapal yang mempunyai

kecepatan service sedang yaitu diatas 10 knot dan gerakan stabilitas yang baik

untuk mengejar segerombolan ikan, yakni kapal tersebut sambil olah gerak

menangkap ikan (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap, 2003).

Gambar 2. Sketsa kapal Pole and Line (Direktorat Jenderal Perikanan,1994)

Page 8: Bab 2

13

2.2.1.3. Alat tangkap

Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Balai Ketrampilan Penangkapan

Ikan Ambon, (1981), huhate terdiri dari bagian - bagian sebagai berikut:

1. Joran/galah yang terbuat dari bamboo atau plastik dengan panjang yang

berkisar antara 2 – 3,25 meter.

2. Tali dari bahan sintetis, monofilament atau multi filament dengan panjang

1,5 – 2,5 meter dan diameter tali 0,2 – 0,3 meter.

3. Kawat baja (wire leader) yang panjangnya 5 – 10 cm, terdiri dari 2 – 3

urat yang disatukan/dipintal dengan diameter 1,2 mm.

4. Mata kail (hook) yang khusus, karena ujungnya tidak memiliki kait.

Gambar 3. Kontruksi Pancing Huhate (Badan Riset Kelautan Perikanan, 2006)

2.2.1.4. Alat bantu penangkapan

Menurut Subani dan Barus, (1989), berhasil tidaknya tiap usaha

penangkapan ikan di laut pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan daerah

Page 9: Bab 2

14

penangkapan (fishing ground), gerombolan ikan dan keadaan potensinya, untuk

kemudian dilakukan operasi penangkapannya. Adapun alat-alat bantu

penangkapan yang digunakan dalam menunjang kegiatan penangkapan adalah

sebagai berikut:

1. Rumpon

Menurut Sudirman dan Mallawa, (2004) Rumpon biasanya juga disebut

dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantú penangkapan yang

berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchbie area.

Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :

1. Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan – ikan kecil

lainnya, sehingga mengundang ikan – ikan yang lebih besar untuk tujuan

feedingi,

2. Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok

di sekitar kayu terapung (seperti jenis – jenis tuna dan cakalang). Dengan

demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.

Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan

berdasarkan buih atau gelembung – gelembung udara yang timbul di permukaan

air, warna air yang gelap kerena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan –

ikan yang bergerak di sekitar rumpon.

Pengunaan rumpon secara tradisional di indonesia telah lama dilakukan

terutama para nelayan dari Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, sedangkan

penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga

Penelitian Perikanan Laut, Monintja, (1989). Selanjutnya menurut Subani dan

Barus, (1989), dilihat dari kedalaman air dimana rumpon ditanam (dipasang)

Page 10: Bab 2

15

dibedakan antara rumpon laut dangkal dan rumpon laut dalam atau yang dikenal

dengan payaos.

Rumpon ini umumnya dipasang pada kedalaman antara 30 - 75 m. Setelah

dipasang kedudukan rumpon yang ada mudah diangkat-angkat, tetapi ada juga

yang bersifat tetap tergantung dari pemberat yang digunakan.

Rumpon yang beratnya antara 25 - 35 kg biasanya berupa jangkar,

sedangkan rumpon yang beratnya antara 75 - 100 kg bahkan lebih terdiri dari

batu-batu yang diikat satu sama lain atau dimasukkan di dalam suatu keranjang

dari rotan, atau dapat juga terdiri dari cor - coran semen.

Rumpon laut dalam (payaos) pelampungnya agak istimewa.

Pelampungnya bisa terdiri dari 60 - 100 batang bambu yang disusun dan diikat

menjadi satu sehingga membentuk rakit. Tali pemberat (tali yang menghubungkan

antara pelampung dengan pemberat) dapat mencapai 1000 - 1500 m. Pemberatnya

berkisar 1000 - 3500 kg terdiri dari batu-batu yang dimasukkan dalam keranjang

rotan atau berupa rangkaian ikatan batu gunung.

2. Pila-pila

Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri tempat pemancing,

yang letaknya bisa pada bagian haluan dan buritan antara sepanjang lambung kiri

dan kanan (Ditjenkan, 1994).

3. Pipa penyemprot

Pipa penymprot digunakan untuk menyemprot air secara percikan ke

permukaan laut. Tujuannya adalah untuk mengelabui ikan-ikan seolah-olah pada

permukaan laut terdapat banyak ikan terutama cakalang (Ditjenkan, 1994).

Page 11: Bab 2

16

Pipa penyemprot ditempatkan disepanjang pila - pila. Pipa tersebut bisa

terbuat dari paralon atau dari besi dan pada bagian ujungnya dipasang kran untuk

dipergunakan untuk menyemprot air. Penyemprot kran air terjadi karena

dilengkapi dengan water pump (pompa air) (Direktorat Sarana Perikanan

Tangkap, 2003).

4. Palkah ikan

Palkah ini fungsinya untuk menempatkan ikan hasil tangkapan

(Ditjenkan, 1994).

5. Bak umpan

Bak umpan digunakan sebagai tempat umpan. Pada bak umpan tersebut

sebaiknya diberi warna putih supaya lebih muda dan dengan lampu penerang di

beberapa tempat masing-masing berkekuatan 50 watt. Fungsi dari lampu tersebut

agar dapat memberikan fototaksis positif dari ikan, sehingga ikan-ikan tersebut

dapat membentuk schooling yang baik. Apabila dalam bak umpan tidak dipasang

lampu, maka dapat menyebabkan umpan banyak bergerak secara tidak menentu,

antara umpan yang satu dengan lainnya saling bertubrukan dan membuat umpan

tersebut rusak tidak dapat dipergunakan (Ditjenkan, 1994).

6. Sibu-sibu

Sibu-sibu digunakan untuk menaikkan umpan hidup dari palka umpan ke

dalam bak penebar umpan dan juga untuk menebarkan umpan hidup ke laut. Sibu-

sibu yang berukuran kecil dipakai untuk menebar umpan dari bak penebar ke laut,

sedangkan sibu-sibu besar digunakan untuk memindahkan umpan dari palka ke

dalam bak penebar umpan.

Page 12: Bab 2

17

7. Ember

Ember digunakan untuk mengangkat umpan hidup dari bagan nelayan ke

dalam palka umpan, dan juga untuk berbagai keperluan. Ember ini juga menjadi

ukuran dalam menentukan banyaknya umpan yang dimasukkan ke dalam palka

umpan.

2.2.2. Jenis - jenis umpan

Penangkapan ikan cakalang dengan huhate atau pole and line biasanya

menggunakan beberapa jenis umpan untuk mengumpulkan ikan cakalang yaitu:

1. Umpan tiruan

Umpan tiruan biasanya dibuat dari bulu ayam dan dipasang pada mata

kail. Umpan tiruan untuk huhate dirancang dengan memperhatikan bentuk dan

warna dengan maksud untuk menarik perhatian ikan. Pengaturan warna yang

serasi dan lebih cerah serta bentuk yang menyerupai ikan akan lebih merangsang

ikan untuk menyambar mata pancing. Umpan tiruan ini dibuat untuk menutupi

mata pancing sehingga dapat mengelabui ikan sasaran, bahan umpan tiruan terdiri

dari bulu ayam, tali rapiah, dan juga dapat diberi bahan kelopak insang atau kulit

ijing/kerang yang warnanya mengkilap (Badan Riset Perikanan Tangkap, 2006).

2. Umpan hidup

Jenis umpan hidup yang paling baik digunakan dalam perikanan Pole and

line adalah ikan teri (Subani, 1973; Murdianto, Rosana dan Penturi, 1995 dalam

Simbolon, 2003). Jenis ikan umpan tersebut sangat disenangi oleh cakalang

karena memiliki sifat – sifat sebagai berikut :

Page 13: Bab 2

18

1. Berwarna terang dan memikat atau keputih – putihan sehingga mudah

menarik perhatian ikan cakalang,

2. Tahan terhadap lama di dalam bak penyimpanan pada saat pelayaran dari

daerah penangkapan ikan umpan menuju daerah penangkapan cakalang,

3. Umpan yang disebarkan di antara schooling cakalang memiliki sifat yang

cenderung bergerak mendekati kapal untuk berlindung.

4. Sisi umpan tidak mudah terkelupas, sehingga tingkat kecerahan warna

dapat dipertahankan,

5. Panjang (size) umpan hidup sesuai dengan ukuran yang disenangi oleh

cakalang yang menjadi target penangkapan.

Sesuai dengan sifat – sifat tersebut di atas, pemilihan jenis dan ukuran

umpan yang sesuai perlu dilakukan secara seksama. Subani, (1973) dalam

Simbolon, (2003) menyatakan bahwa ukuran umpan yang ideal dengan tipe badan

memanjang (streem line) berkisar antara 7,5 – 10,0 cm. Selanjutnya disebutkan

bahwa ukuran panjang umpan dengan tipe badan melebar sebaiknya berkisar

antara 5,0 – 7,5 cm.

Masalah utama yang sering dialami dalam perikanan pole and line adalah

ketersediaan umpan hidup pada waktu – waktu tertentu dan tingginya tingkat

kematian umpan dalam bak penyimpanan di atas kapal. Di lain pihak, kegiatan

operasi penangkapan cakalang dengan pole and line tidak akan berhasil apabila

umpan hidup tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan demikian,

umpan hidup merupakan salah satu faktor pembatas (limiting factor) paling

penting dalam perikanan pole and line (Gafa dan Merta, 1987 dalam Simbolon,

2003).

Page 14: Bab 2

19

2.2.3. Penangkapan umpan hidup

Alat tangkap yang sangat umum digunakan untuk menangkap ikan umpan

hidup adalah jaring yang dioperasikan dari pantai atau kapal, jaring lampara,

purse seine, dan ring net, jaring yang digerakkan (drive in net) dan lift net,

termasuk stickheld dipnet dan jaring kantong (FAO, 1980).

2.2.4. Pemeliharaan umpan hidup di dalam tangki kapal

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan

umpan di dalam palka umpan dikapal antara lain kandungan oksigen didalam air

dan konsumsi oksigen, penyinaran, suhu air dan kualitas air beserta

perubahannya.

Sebagai awal pertimbangan tentunya bagaimana memindahkan umpan

secara aman kedalam tangki umpan bahwa alat yang sebaiknya digunakan adalah

keranjang. Dalam tahap ini diperlukan seorang pembantu yang cermat dalam

menjaga ikan umpan karena memerlukan beberapa perlakuan yang cukup penting

dalam hal pengawasan dan mengarahkan agar pencemaran yang timbul sekecil

mungkin yang diakibatkan kotoran ikan dan sisik ikan yang terlepas.

Selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat lebih mendukung dengan cara

meningkatkan sejumlah oksigen kedalam tangki umpan, menurunkan temperatur,

menurunkan salinitas dan pada saat yang sama menghindari kepadatan ikan dan

menghindari rangsangan untuk membantu agar mereka menjadi tenang (FAO,

1980).

Page 15: Bab 2

20

2.2.5. Pemberian pakan di kapal

Ikan umpan tentu saja perlu diberi pakan selama ke daerah penangkapan

apabila trip pelayarannya memerlukan beberapa jam. Disarankan agar ikan diberi

makan 3 kali sehari, jumlahnya ditentukan oleh ukuran ikan dan temperatur air.

2.2.6. Pemberian cahaya

Suatu bukti telah menunjukkan bahwa lampu bawah air (under water

lamp) didalam tangki umpan akan lebih baik karena mortalitas ikan umpan bisa

melebihi 50% apabila keadaan tangki umpan gelap sepanjang waktu. Kegunaan

cahaya alam atau buatan bisa mengurangi mortalitas ikan umpan kurang dari

10 %. Tetapi pemberian cahaya yang optimum belum diketahui dengan pasti.

2.2.7. Temperatur

Perlu diingat bahwa sewaktu kapal memancing disuatu daerah dengan

temperatur air yang berbeda, maka sirkulasi air didalam tangki secara perlahan-

lahan perlu diturunkan, untuk mengurangi masuknya air laut dan mempertahankan

derajat perubahan temperatur air. Saran lain ialah ikan yang dimasukkan kedalam

bak dikurangi sehingga lebih banyak oksigen yang tersedia bagi semua ikan, juga

akan lebih praktis apabila caranya dikombinasikan dengan sistem sirkulasi air.

2.2.8. Jenis ikan hasil tangkapan

Usaha penangkapan dengan pole and line biasanya ditujukan untuk

menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tetapi dalam kenyataannya

sering tertangkap juga beberapa jenis ikan yang lain, diantaranya: yellow fin tuna

(Thunnus albacares), little tuna (Auxis thazard), dan lain - lain (Balai Ketrampilan

Penangkapan Ikan Ambon, 1981).

Page 16: Bab 2

21

Selanjutnya dalam FAO (1980) mengatakan bahwa para nelayan pole and

line terutama menangkap ikan skipjack (Katsuwonus pelamis), albacore (Thunnus

alalunga), tuna kecil seperti frigate mackerel (Auxis spp), dan ikan dolphin

(Coryphaena spp), juga yellow fin (Thunnus albacares), ikan-ikan muda spesies

ikan tuna yang besar yang lain, bonito (Sarda spp), dan tuna kecil (Euthynnus

spp). Semua jenis tadi tersebar secara luas di lautan dan Samudera di dunia.

2.2.9. Penanganan ikan hasil tangkapan

Cara penanganan yang dipilh umumnya sesuai kondisi yang dikehendaki

pasar dengan prinsip yang sama yaitu menjaga mutu ikan agar tetap segar, sehat,

aman dan menarik saat disajikan sehingga harganya mampu bersaing saat

dipasarkan dan dapat menguntungkan bagi produsennya.

Selain itu prinsip penanganan ikan lainnya yang harus dilakukan, antara

lain menjaganya dari benturan atau tekanan fisik yang dapat melukai tubuh ikan

atau membuat dagingnya memar, melindungi dari sinar panas matahari langsung

dan mencegahnya dari kontaminasi bahan-bahan yang kotor dan berbahaya.

(Prayitno, 2004-website: www.cofish.net).

Keberhasilan penanganan ikan di atas kapal untuk menjaga mutunya

sangat ditentukan oleh :

1. Kesadaran dan pengetahuan semua ABK untuk melaksanakan cara

penangkapan ikan dengan es secara benar,

2. Kelengkapan sarana penyimpana di atas kapal yang memadai, seperti:

palkah yang berisi es atau peti wadah ikan yang berisolasi dengan

kapasitas yang cukup sesuai dengan ukuran kapal.

Page 17: Bab 2

22

3. Kecukupan jumlah es yang dibawa saat berangkat menangkap ikan di

laut.

Prinsip penanganan ikan di atas kapal untuk ikan ukuran besar (kurang

dari 10 kg) menurut Prayitno (2004), adalah sebagai berikut:

1. Ikan-ikan berukuran besar umumnya ditangkap dengan alat tangkap

pancing dan biasanya masih dalam keadaan hidup saat diangkat dari air,

untuk ini ikan harus segera dibunuh dengan memukul kepalanya atau

dengan cara lain yang tidak merusak fisik ikan.

2. Segera mendinginkannya dengan mencelupkan ikan di bak chiling yang

telah diisi air es sambil menunggu saat penyiangannya. Suhu air akan

selalu terjaga pada suhu 00C.

3. Melakukan penyiangan (buang insang dan isi perut, dan untuk ikan-ikan

besar juga mengiris sebagian operculum dan membuang sirip) dan

membuang darahnya. Pembersihan dilakukan dengan mencucinya

memakai air dingin yang telah didinginkan dengan es.

4. Selanjutnya ikan disusun secara bercampur dan berselang-seling dengan es

curah.

2.2.10. Daerah dan musim penangkapan cakalang

Potensi cakalang di indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan

timur indonesia. Daerah penangkapan yang potensial bagi ikan tersebut di KTI

terdapat di perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya dengan

basis penangkapan masing – masing di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong.

Wilayah yang memiliki potensi cakalang di kawasan barat indonesia terdapat di

Page 18: Bab 2

23

perairan selatan Jawa Barat (Pelabuhan Ratu), Sumatera Barat dan Aceh

(Monintja, 2001).

Musim penangkapan ikan cakalang di perairan indonesia pada umumnya

dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan sering kali

bervariasi menurut wilayah perairan, sebagai mana disajikan pada Table 1.

Table 1. Puncak Musim Penangkapan Cakalang Menurut Wilayah Perairan

(Monintja, 2001)

No. Wilayah Perairan Puncak Musim

1 Sulawesi Utara - TengahMaret s/d Mei; Agustus s/d Nopember; April s/d Juni

2 Halmahera September s/d Oktober; Pebruari s/d April3 Maluku September s/d Desember5 Irian Jaya Pebruari s/d Juni; Agustus s/d Desember6 Pelabuhan ratu Agustus s/d September 7 Padang Maret s/d Mei8 Aceh Belum diperoleh informasi

Huhate hanya diijinkan pengoperasiannya di wilayah perairan tertentu dan

ZEEI Laut Sulawesi dan ZEEI Samudera Pasifik (Direktorat Jenderal Perikanan

Tangkap, 2005).

Lebih lanjut Suparlin, (2008), menyatakan bahwa suatu daerah

penangkapan dinamakan baik apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Di daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah sepanjang tahun.

2. Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna.

3. Lokasinya tidak jauh dari pelabuhan sehingga dapat dijangkau oleh kapal

lain.

Page 19: Bab 2

24

4. Daerah aman yaitu tidak biasa dilalui angin topan dan bukan daerah badai

yang membahayakan.

2.2.11. Faktor oseanografi yang mempengaruhi penyebaran cakalang

Penyebaran ikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyebaran

horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran

vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Nakamura, 1969 dalam

Simbolon, 2003). Ikan cakalang menyebar luas di perairan tropis dan sub tropis

seperti di lautan Atlantik, Samudera Hindia dan Pasifik. Penyebaran ikan tersebut

di perairan Indonesia sebagian besar terdapat di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Stok yang terdapat di perairan KTI ini diduga berasal dari Samudera Pasifik

bagian barat yang beruaya dari sebelah timur Philipina dan sebelum utara Papua

Nugini. Ikan tersebut selanjutnya beruaya dari perairan KTI ke Samudra Pasafik

bagian barat, yaitu ke perairan Zamboanga dan sebelum utara Papua Nugini

(Suhendrata, 1987 dalam Simbolon, 2003).

Ikan cakalang secara vertikal dapat menyebar sampai dengan ratusan

meter di bawah permukaan air, bahkan banyak terdapat pada kedalaman renang

20 – 200 meter (Nishimura, 1964 dalam Simbolon, 2003). Penyebaran ikan di

perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklim. Ikan cakalang

umumnya ditemukan di atas lapisan termoklim (Laevastu and Hela, 1970 dalam

Simbolon, 2003).

Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang membentuk kelompok

(schooling). Menurut (Nikolsky, 1963 dalam Simbolon, 2003) individu cakalang

dalam suatu schooling mempunyai ukuran (size) yang relatif sama. Ikan – ikan

Page 20: Bab 2

25

yang berukuran lebih besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam dengan

schooling yang lebih kecil. Ikan – ikan yang lebih kecil biasanya berada dekat

permukaan perairan dengan schooling yang lebih besar. Tingkah laku tersebut

umumnya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memudahkan penangkapan.

Ikan cakalang melakukan migrasi karena (1) adanya perubahan beberapa

faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan arus, (2) usaha mencari daerah

perairan yang mengandung bahan makanan yang cukup dan (3) usaha mencari

daerah pemijahan (Nikolsky, 1963 dalam Simbolon, 2003). Hal ini sesuai dengan

pendapatan Laevastu and Hayes, (1981) dalam Simbolon, (2003) yang

menyatakan bahwa pola kehidupan ikan, termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan

dari pengaruh faktor – faktor oseanografi. Fluktuasi faktor – faktor oseanografi

seperti suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut mempunyai pengaruh

yang besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu

lokasi perairan.

2.2.11.1. Suhu perairan

Suhu perairan secara langsung berpengaruh terhadap derajat metabolisme

dan siklus reproduksi ikan. Suhu perairan secara tidak langsung berpengaruh

terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Perubahan

suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, perubahan proses

metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastus and Hela, 1970 dalam Simbolon,

2003).

Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang banyak

ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal. Cakalang akan berenang

Page 21: Bab 2

26

menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari biasanya

dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih mudah

beradaptasi. Distribusi vertikal ikan cakalang di perairan tropis sangat dipengaruhi

oleh lapisan termoklin. Adapun kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta

lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna disajikan pada Table 2

(Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003).

Table 2. Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang ikan

cakalang dan beberapa jenis tuna (Laevastu and Hela, 1970 dalam

Simbolon, 2003)

Jenis IkanKisaran Suhu (0C) Lapisan Renang

Penyebaran Penangkapan (meter)Cakalang 17 - 28 19 - 23 0 - 40Bluefin 12 - 25 15 - 22 50 - 300

Mata besar 11 - 28 18 - 22 50 - 400Madidihang 18 - 31 20 - 28 0 - 200

Albacore 14 - 23 15 - 21 20 - 300

Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan cakalang umumnya bervariasi

sesuai dengan wilayah perairan. Ikan cakalang di Samudera Pasifik bagian timur

ditemukan pada kisaran suhu permukaan laut (SPL) 170C – 300C dengan suhu

optimum 200C – 280C (Blackburn, 1965 dalam Simbolon, 2003). Gunarso, (1985)

dalam Simbolon, (2003) menyatakan bahwa suhu perairan optimum untuk

penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 280C – 290C. Adapun kisaran

suhu yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna pada berbagai perairan

disajikan pada Table 3.

Page 22: Bab 2

27

Table 3. Kisaran suhu perairan untuk penangkapan cakalang dan tuna menurut

wilayah perairan

No. Wilayah PerairanSuhu

Sumber KeteranganOptimum (0C)

1 Pasifik Timur Laut 20 - 26 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna

2 Pasifik Tenggara 20 - 28 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna

3 Pasifik Barat Laut 20 - 28 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna

4 New Zeland 17 - 23 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna

5 Papua New Guinea 28 - 30 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna

6 Indonesia 28 - 29 Blackburn, 1965 Cakalang

2.2.11.2. Salinitas perairan

Salinitas perairan merupakan parameter oseanografi yang dapat digunakan

untuk memperkirakan daerah penyebaran ikan cakalang di suatu perairan. Kisaran

salinitas yang menjadikan daerah penyebaran cakalang umumnya bervariasi

menurut wilayah perairan. Cakalang sering terkonsentrasi pada permukaan

perairan dengan kisaran salinitas 23%0 - 35%0 (Blackburn, 1965 dalam Simbolon,

2003).

Ikan cakalang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan salinitas. Hal

ini terbukti dengan banyaknya ikan cakalang yang ditemukan di perairan ujung

timur Selat Sunda ketika salinitas perairannya tinggi. Di lain pihak, ikan cakalang

tidak ditemukan sama sekali ketika salinitas rendah (Burhanuddin et al, 1984

dalam Simbolon, 2003).

2.2.11.3. Arus perairan

Manurung dan Simbolon, (1997), menyatakan bahwa penyebaran ikan

pelagis sering mengikuti sirkulasi arus dan kepadatannya sangat berhubungan

dengan kondisi arus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Selat Makassar,

Page 23: Bab 2

28

terdapat indikasi bahwa penyebaran berbagi jenis tuna terdapat di sepanjang poros

arus. Sepanjang daerah penyebaran tersebut, kelimpahan ikan cenderung lebih

banyak pada lapisan renang yang lebih dalam.

Ikan cakalang sangat menyenangi daerah pertemuan arus (konvergensi)

yang umumnya dijumpai pada wilayah yang memiliki banyak pulau. Turbulansi

yang terjadi di perairan sekeliling pulau – pulau atau benua berperan merangsang

pertumbuhan plankton. Sebagai konsekuensi logisnya, perairan tersebut relatif

lebih subur dan menjadi daerah penyebaran yang baik bagi cakalang untuk

mencari makan, seperti halnya di daerah upwelling.

Ikan cakalang sering ditemukan pada perbatasan dua massa air yang

berbeda dimana terjadi pertemuan antara massa air panas dan dingin. Daerah ini

diduga memiliki berbagai macam organisme dan merupakan daerah penangkapan

cakalang yang baik (Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003).

2.2.11.4. Respon ikan terhadap cahaya

Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan

melalui otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya

disebut phototaksis (Ayodhoya, 1976;1981 dalam Malawa dan Sudirman 2004).

Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah

penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk penerimaan

cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber

cahaya sangat berbeda-beda. Ada ikan yang senang dengan pada intensitas cahaya

yang rendah, tetapi ada pula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang

tinggi. Namun ada ikan yang mempunyai kemampuan untuk tertarik oleh cahaya

Page 24: Bab 2

29

mulai dari intensitas yang rendah sampai yang tinggi (Sudirman dan Malawa,

2004).

Rangsangan cahaya terhadap ikan diketahui antara 0,01 – 0,001 lux, sudah

memberikan reaksi. Ambang cahaya tertinggi untuk mata ikan belum banyak

diteliti, walau banyak diketahui bahwa berbagai jenis ikan laut pada umumnya

selalu berusaha untuk meningkatkan sensitifitasnya. Ikan mempunyai

suatu kemampuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari

dengan kekuatan penerangan ratusan ribu lux dan dalam keadaan gelap sama

sekali (Gunarso, 1985 dalam Sudirman dan Malawa, 2004).

Namun demikian, sensitifitas mata ikan laut pada umumnya tinggi. Kalau

cahaya biru-hijau yang mampu diterima mata manusia hanya sebesar 30% saja,

tetapi mata ikan mampu menerimanya sebesar 75% sedangkan retina dari

beberapa jenis ikan laut dalam menerimanya sampai 90%. Ambang cahaya yang

mampu dideteksi oleh mata ikan jauh lebih rendah daripada ambang cahaya yang

dapat dideteksi manusia, sehingga pada umumnya mata ikan mempunyai tingkat

sensitifitas 100 kali mata manusia. Oleh sebab itu, pada beberapa jenis ikan yang

hidup di perairan pantai dapat mengindera mangsanya dari kejauhan 100 meter

sejak pagi sampai sore hari (Gunarso, 1985 dalam Sudirman dan Malawa 2004).

Cahaya yang masuk ke mata ikan akan diteruskan ke otak pada bagian

Cone dan Rod, yang sangat peka terhadap cahaya. Alasan lainnya, adanya cahaya

merupakan suatu indikasi adanya makanan.

Page 25: Bab 2

30

2.3. Manajemen

Menurut Anoraga, (1997), istilah manajemen berhubungan dengan usaha

untuk tujuan tertentu dengan jalan menggunakan sumber – sumber daya yang

tersedia dalam organisasi dengan cara yang sebaik mungkin. Dalam pengertian

“organisasi” selalu terkandung unsur kelompok (lebih dari 2 orang) manusia maka

manajemenpun biasanya digunakan dalam hubungan usaha suatu kelompok

manusia, walupun manajemen itu dapat pula ditetapkan terhadap usaha – usaha

individu. Selanjutnya dikatakan menurut Terry, (1962) dalam Anoraga, (1997)

manajemen dalalah proses yang khas yang terdiri dari tindakan – tindakan

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang masing –

masing bidang tersebut digunakan baik ilmu pengetahuan maupun keahlian dan

yang diikuti secara berurutan dalam rangka usaha mencapai sasaran yang telah

ditetapkan semula. Selanjutnya dikatakan menurut Manulang, (1992) dalam

Anoraga (1997) bahwa dari pengertian – pengertian manajemen yang sudah

dikemukakan diatas, Nampak seakan – akan satu – satunya alat atau sarana

manajemen untuk mencapai tujuan adalah orang atau menusia saja. Hal ini tidak

demikian. Untuk mencapai tujuan, maka para manajer menggunakan “Lima M”.

Dengan kata lain sarana (tools) atau alat manajemen untuk mencapai

tujuan adalah : Man, Money, Material, Methods dan Market. Kesemuaannya itu

disebut sumber daya. Selanjutnya lagi dikatakan menurut Terry, (1966) dalam

Anoraga (1997), sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan

manajemen adalah : (1) Men (manusia); (2) Materials (materi); (3) Machines

(mesin – mesin); (4) Methods (tata kerja); dan (5) Money (uang). Sumber daya

yang berbeda dengan Manulang adalah sumber daya market (pasar). Sehingga

Page 26: Bab 2

31

kalau di perlengkap mengenai sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai

tujuan manajemen adalah sebagai berikut : Manusia, Material, Mesin, Metode,

Money (uang) dan Markets (pasar).

Sarana penting atau sarana utama dari setiap manajemen untuk mencapai

tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah “man” atau manusia. Berbagai

macam aktivitas yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan aktivitas itu

dapat kita tinjau dari sudut proses, seperti perencanaan, pengorganisasian,

staffing, pengarahan dan pengendalian; atau dapat pula kita tinjau dari sudut

bidang seperti penjualan, produksi, keuangan, personalia, dan lain sebagainya.

Untuk melakukan aktivitas tersebut, kita perlukan manusia. Tanpa adanya

manusia, manajemen tidak akan mungkin mencapai tujuannya, harus diingat

bahwa manajemen adalah orang yang mencapai hasil melalui orang – orang lain.

Untuk melakukan berbagai aktivitas diperlukan uang, seperti upah dan gaji

bagi orang – orang yang membuat perencanaan, mengadakan pengawasan,

bekerja dalam proses produksi, membeli bahan – bahan, peralatan – peralatan, dan

lain sebagainya. Uang sebagai sarana menajemen harus digunakan sedemikian

rupa agar tujuan yang ingin dicapai, bila dinilai dengan uang, lebih besar dari

uang yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kegagalan atau ketidak

lancaran proses manajemen sedikit banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh

perhitungan atau ketelitian dalam penggunaan uang.

Dalam proses pelaksanaan kegiatan, manusia mengunakan material atau

bahan – bahan, karenanya dianggap pula sebagai alat atau sarana manajemen

untuk mencapai tujuan. Demikian pula dalam proses pelaksanaan kegiatan,

terlebih dahulu dalam kemajuan teknologi dewasa ini, manusia bukan lagi sebagai

Page 27: Bab 2

32

pembantu mesin seperti terlihat sebelum masa revolusi industry malahan telah

terjadi sebaliknya, mesin telah berubah kedudukannya menjadi sebagai pembatu

manusia.

Untuk melakukan secara berdaya guna dan berhasil guna, maka manusia

dihadapkan kepada berbagai alternatife metode atau cara melakukan pekerjaan.

Oleh karena itu, metode atau cara dianggap pula sebagai sarana atau alat

manajemen untuk mencapai tujuan. Misalnya , dewasa ini telah dikenal berbagai

metode atau cara mengajar, seperti ceramah bervariasi, metode khusus, metode

insiden, permainan (games), aturan main (role playing), dan sebagainya. Berbagai

metode itu tentu berbeda daya guna dan hasil gunanya mencapai suatu tujuan

pendidikan tertentu.

Bagai badan yang bergerak di bidang industri, maka sarana menajemen

penting lainnya adalah markets atau pasar. Tanpa adanya pasar bagi hasil

produksi, jelas tujuan perusahaan industri akan tidak mungkin tercapai. Salah satu

masalah pokok bagi sesuatu perusaan industry adalah, minimal, mempertahankan

pasar yang sudah ada, bila mungkin mencapai pasar baru bagi hasil produksinya.

Oleh karena itulah salah satu sarana manajem penting lainnya kusus bagi

perusahaan industry dan umumnya bagi semua badan yang betujuan untuk

mencari laba, adalah pasar.

Page 28: Bab 2

33

2.3.1. Fungsi manajemen

Pelaksanaan kegiatan akan berjalan lancar apabila pihak manajemen

perusahaan mampu mengaplikasikan unsur/fungsi manajemen. Menurut Terry,

(1994), manajemen terdiri dari beberapa fungsi yang disingkat P.O.A.C, antara

lain :

1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan meliputi tindakan : memilih dan menghubungkan fakta –

fakta dan membuat serta menggunakan assumsi – assumsi mengenai masa yang

akan datang dalam hal memvisualisasi serta merumuskan aktivitas – aktivitas

yang diusulkan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil – hasil yang

diinginkan.

Perencanaan berarti menentukan sebelumnya apa yang harus dilakukan

dan bagai mana cara melakukannya.

Perencanaan dapat dianggap sebagai suatu kumpulan keputusan –

keputusan, dalam hubungan mana perencanaan tersebut dianggap sebagai

tindakan mempersiapkan tindakan – tindakan untuk masa yang akan datang

dengan jalan membuat keputusan – keputusan sekarang.

Menurut Skinner, (1992) dalam Anoraga, (1997), ada lima pertanyaan

yang harus dijawab dalam proses penyusunan perencanaan secara lengkap yaitu :

1). What business are you in?

2). Where are you going?

3). Where are you now?

Page 29: Bab 2

34

4). How do you get there?

5). How are you progressing?

Unsur – unsur yang perlu ada dalam perencanaan adalah :

1. Kebijaksanaan

2. Prosedur

3. Kemajuan yang diharapkan, dan

4. Program.

2. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian mempersatukan sumber – sumber daya pokok dengan

cara yang teratur dan mengatur orang – orang dalam pola yang demikian rupa,

hingga mereka dapat melaksanakan aktivitas – aktivitas guna mencapai tujuan –

tujuan yang ditetapkan.

Pengorganisasian mempersatukan orang – orang pada tugas yang saling

berkaitan.

Istilah pengorganisasian berasal dari perkataan Organism (Organis – men)

yang merupakan sebuah entitas dengan bagian – bagian yang terintegrasi

demikian rupa hingga hubungan mereka satu sama lain dipengaruhi oleh

hubungan mereka terhadap keseluruhan.

Berdasarkan definisinya pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan

hubungan – hubungan kelakuan yang efektif antara orang – orang, hingga mereka

dapat bekerja sama secara effisien dan demikian memperoleh kepuasan pribadi

Page 30: Bab 2

35

dalam hal melaksanakan tugas – tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu

guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.

3. Penggerakan (Actuating)

Usaha – usaha perencanaan dan pengorganisasian bersifat vital, tetapi

tidak akan ada output konkrit yang dihasilkan sampai kita mengimplementasikan

aktivitas – aktivitas yang diusahakan dan yang diorganisasi.

Untuk maksud itu diperlukan tindakan actuating atau usaha untuk

menimbulkan action.

Brdasarkan definisinya actuating merupakan usaha untuk menggerakan

anggota – anggota kelompok demikian rupa hingga mereka berkeinginan dan

berusaha untuk mencapai sasaran – sasaran perusahaan yang bersangkutan dan

sasaran – sasaran anggota – anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota

itu ingin mencapai sasaran – sasaran tersebut.

4. Pengawasan (Controlling)

Pengawasan berarti mendeterminasikan apa yang telah dilaksanakan,

maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan –

tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana – rencana.

Controlling atau pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk

menemukan, pengoreksi penyimpangan – penyimpangan penting dalam hasil

yang dicapai dari aktivitas – aktivitas yang direncanakan.

Selanjutnya dikatakan pengawasan effektif membantu usaha – usaha kita

untuk mengatur pekerjaan yang direncanakan untuk memastikan bahwa

pelaksanaan pekerjaan tersebut berlangsung sesuai dengan rencana.

Page 31: Bab 2

36

2.3.2. Tujuan manajemen

Menurut Anoraga, (1997), tujuan dari manajemen adalah mengubah

sumber daya yang ada agar menjadi suatu hasil yang memiliki nilai untuk

mencapai sasaran perusahaan

2.3.3.. Sarana manajemen

Sarana atau alat manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan

adalah men, money, materials, methods, machine dan markets, Manullang, (2001).

Selanjutnya dikatakan sarana utama dari setiap manajer untuk mencapai tujuan

yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah manusia. Untuk melakukan berbagai

aktivitas diperlukan manusia. Tanpa adanya manusia, manajer tidak akan

mungkin mencapai tujuannya. Sarana manajemen yang kedua adalah uang. Untuk

melakukan berbagai aktivitas diperlukan uang. Kegagalan proses manajemen

sedikit banyak dipengaruhi oleh ketelitian dalam menggunakan uang. Dalam

proses pelaksanaan kegiatan, manusia menggunakan bahan-bahan, karenanya

dianggap pula sebagai sarana manajemen untuk mencapai tujuan. Untuk

melakukan kegiatan secara berdaya guna dan berhasil guna, manusia dihadapkan

dengan berbagai alternatif atau cara melakukan pekerjaan. Bagi badan yang

bergerak di bidang industri, maka sarana manajemen penting lainnya adalah pasar.

2.3.4. Manajemen operasi

Manajemen operasi merupakan proses pencapaian dan pengutilisasian

sumber-sumber daya untuk memproduksi atau menghasilkan barang-barang atau

jasa yang berguna dalam usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi

Assauri, (1999). Selanjutnya Umar, (2003), mengatakan bahwa manajemen

Page 32: Bab 2

37

operasi adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan,

organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan dan pengawasan staffing, koordinasi,

pengarahan dan pengawasan terhadap operasi perusahaan.

2.3.5. Fungsi manajemen operasi

Menurut Assauri, (1999), ada empat fungsi terpenting dalam fungsi

produksi dan operasi, yaitu:

1. Proses pengolahan (operasi)

Proses produksi dan operasi merupakan rangkaian kegiatan yang

dilakukan dengan menggunakan peralatan, sehingga masukan atau input dapat

diolah menjadi keluaran berupa barang atau jasa yang akhirnya dapat dijual

kepada pelanggan dengan harapan perusahaan akan mendapatkan keuntungan.

2. Jasa - jasa penunjang

Jasa-jasa penunjang produksi dan operasi ini meliputi pengetahuan dan

teknologi yang dibutuhkan untuk diorganisir serta dikomunikasikan agar proses

produksi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

3. Perencanaan

Perencanaan berfungsi agar kegiatan produksi dan operasi yang akan

dilakukan dapat terarah bagi pencapaian tujuan produksi dan operasi, serta fungsi

produksi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

4. Pengendalian dan pengawasan

Pengendalian dan pengawasan merupakan kegiatan yang telah dilakukan

untuk menjamin agar kegiatan operasi dan produksi yang dilaksanakan sesuai

Page 33: Bab 2

38

dengan apa yang telah direncanakan, dan apabila terjadi penyimpangan, maka

penyimpangan tersebut dapat dikoreksi sehingga apa yang diinginkan dapat

tercapai.

2.3.6. Pengelolaan sumberdaya perikanan

Menurut Ditjen Perikanan (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan

merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 subsistem, yaitu :

1. Subsistem eksplorasi sumberdaya perikanan.

Diharapkan akan dapat menjawab keterbatasan informasi, yang terkait

dengan besarnya potensi sumberdaya perikanan yang tersedia menurut jenis dan

penyebarannya yang dapat dituangkan dalam bentuk peta penyebaran, tata ruang

wilayah, kawasan konservasi dan besarnya alokasi sumberdaya yang dapat

dimanfaatkan pada periode waktu dan lokasi tertentu, Penyediaan sarana yang

tercakup dalam subsistem eksplorasi diharapkan akan dapat mendukung rencana

lokasi pemanfaatan sumberdaya, sejalan dengan penyebaran sumberdaya dan tata

ruang wilayah, sehingga diperoleh suatu sistem jaringan prasarana yang memadai

dan efisisen.

2. Subsistem pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha.

Penanganan subsistem pemanfaatan sumberdaya perikanan diharapkan

dapat mengembangkan usaha pemanfaatan sumberdaya yang produktif,

mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat memberikan jaminan pendapatan

bagi para pelakunya, dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Pemanfaatan

sumberdaya dan pembinaan usaha dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya

Page 34: Bab 2

39

wilayah yang tersedia dan didasarkan pada partisispasi dan keinginan masyarakat

setempat sesuai dengan permintaan pasar.

3. Subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya.

Penanganan subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan

sumberdaya, diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa pemanfaatan

sumberdaya dilakukan secara efisien dan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Berjalannya subsistem ini akan dapat menekan pemborosan dan kehilangan akan

sumberdaya perikanan, serta diharapkan akan dapat memberikan jaminan

terhadap keberlanjutan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha, untuk itu

diperlukan keterpaduan antara lembaga pengawasan dan peningkatan koordinasi

antara penegak hukum.

2.3.7. Usaha perikanan yang berkelanjutan

Menurut Kesteven, (1973) dalam Simbolon, (2003), pengembangan usaha

perikanan harus mempertimbangkan aspek-aspek bio-technico-sosio-economic-

approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam

pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu :

1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau mengganggu

kelestarian sumberdaya.

2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk dioperasikan.

3. Aspek sosial, alat tangkap dapat diterima oleh masyarakat nelayan.

4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan.

Page 35: Bab 2

40

Menurut Monintja, (2001), perlu adanya pertimbangan dalam pemilihan

suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan.

Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi

dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan

ramah lingkungan (TPIRL), teknologi penangkapan ikan secara teknis, ekonomis,

mutu dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang

berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki

ciri - ciri sebagai berikut :

1. Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu

meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target.

2. Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian

produksi ikan.

3. Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan

teknologi tersebut.

4. Produk yang dihasilkan tidak membahayakan terhadap kesehatan

konsumen.

5. Hasil tangkapan yang diperoleh bermutu baik.

6. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) dan yang terbuang (discard)

minimum.

7. Diterima secara sosial, artinya dimasyarakat nelayan tidak menimbulkan

konflik.

Page 36: Bab 2

41

Kriteria yang digunakan untuk teknologi penangkapan yang secara teknis,

ekonomis, mutu, dan pemasaran menguntungkan adalah :

1. Hemat biaya dan energi.

2. Meningkatkan produksi dan produktivitas.

3. Memperhatikan mutu produk.

4. Produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar.

5. Meningkatkan wirausaha dan investor.

6. Meningkatkan devisa dan pengembangan daerah.

7. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.

2.4. Analisis Finansial

2.4.1. Perhitungan Laba - Rugi

Pada umumnya laba - rugi usaha digunakan untuk mengukur apakah

kegiatan usaha yang dilakukan pada saat ini berhasil atau tidak. Analisa laba –

rugi usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari

usaha yang dilakukan. Untuk menentukan apakah usaha tersebut untung atau rugi

dapat mengunakan rumus :

П = TR – TC

Keterangan :

П = Keuntungan

TR = Total penerimaan

TC = Total Biaya

Dengan krikteria :

Page 37: Bab 2

42

1. Apabila total penerimaan (TR) > total biaya (TC), maka usaha tersebut

mengalami keuntungan, sehingga usaha dapat dilanjutkan.

2. Apabila total penerimaan (TR) < total biaya (TC), maka usaha tersebut

mengalami kerugian, sehingga usaha tidak layak untuk dilanjutkan.

3. Apabila total penerimaan (TR) = total biaya (TC), maka usaha tersebut

tidak mengalami keuntungan maupun kerugian, dengan kata lain usaha

tersebut berada pada titik impas.

2.4.2. Analisis titik impas (Break even point)

Analisis titik impas atau titik pulang pokok adalah volume penjualan di

mana penghasilannya (revenue) tetap sama besar dengan biaya total, sehingga

perusahaan tidak dapat keuntungan atau kerugian. Perusahaan akan mendapatkan

laba bila penjualan yang dicapai berada di atas titik impas sebaliknya jika

penjualan berada dibawah titik impas maka perusahaan akan mengalami kerugian

(Soeharto, 1999).

Kasmir dan Jakfar (2003), mengatakan bahwa perhitungan break-even

point dengan menggunakan rumus aljabar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Atas dasar unit

2. Atas dasar sales dalam rupiah

1. Perhitungan break-even point atas dasar unit (Kg) dapat dilakukan dengan

menggunakan rumus.

BEP (Dalam Kg) =

FCP−V

Di mana :

Page 38: Bab 2

43

P = harga jual per Kg

V = biaya variabel per Kg

FC = biaya tetap

2. Perhitungan break-even point atas dasar penjualan dalam rupiah dapat

dilakukan dengan menggunakan rumus aljabar sebagai berikut :

BEP (dalam Rp) =

FC

1−VP

Di mana :

FC = biaya tetap

V = biaya variabel per Kg

P = harga jual per Kg.