bab 2
DESCRIPTION
MANAJEMEN OPERASI HUHATE (POLE AND LINE) DALAM RANGKA PEMANFAATAN SUMBER DAYA CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) DI LAUT UTARA SULAWESITRANSCRIPT
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Cakalang
Deskripsi morfologi dan karakteristik ikan cakalang dari berbagai
samudera menunjukan bahwa hanya ada satu species cakalang yang terbesar di
seluruh dunia, yaitu Katsuwonus pelamis (Jones and Silas, 1963; Waldron and
King, 1963 dalam Simbolon, 2003). Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti
torpedo dan padat dengan penampang melintang yang membulat. Bagian bawah
gurat sisi memiliki 4 - 6 garis - garis hitam tebal yang membujur seperti pita.
Bagian bawah punggung dan perut berwarna keperak – perakan. Punggung
berwarna biru keungu – unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat
sisi dan depan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7 – 9 sirip dubur
tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (Puslitbangkan, 1993
dalam Simbolon, 2003).
Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan.
(Collette and Nauen, 1983 dalam Simbolon, 2003) melaporkan bahwa ukuran fork
length maksimum ikan umum tertangkap 40 – 80 cm dengan berat 8 – 10 kg.
Selanjutnya dikatakan berdasarkan pengamatan (Radju, 1964 dalam Simbolon,
2003) ukuran ikan cakalang yang sudah matang gonad berkisar 40 – 50 cm. Ikan
cakalang betina yang matang gonad memijah untuk pertama kalinya pada ukuran
41 cm. Di lain pihak, ikan cakalang jantan biasanya mengalami matang gonad
pada ukuran 40 – 45 cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa – sisa telur matang
masih dapat ditemukan pada ikan – ikan yang berukuran lebih besar dari 40 cm,
7
akan tetapi sisa telur tersebut tidak ditemukan pada ikan – ikan yang berukuran
lebih pendek dari 40 cm.
Kebiasaan makan ikan cakalang adalah aktif pada pagi hari dan kurang
aktif pada siang hari, selanjutnya mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak
makan sama sekali pada malam hari. Pada saat mencari makan, ikan cakalang
biasanya membentuk schooling bergerak dengan cepat sambil meloncat – loncat
di permukaan perairan. Puncak kegiatan makan bagi ikan cakalang terjadi sekitar
jam 08.00 hingga 12.00 dan berkurang antara jam 13.00 – 16.00, kemudian
memuncak lagi hingga matahari terbenam (Aprieto, 1994 dalam Simbolon, 2003).
2.1.1. Aspek biologi cakalang (Katsuwonus Pelamis)
Cakalang sering disebut skipjack tuna dengan nama lokal cakalang,
adapun klasifikasi cakalang menurut matsumoto, et al (1984) adalah sebagai
berikut :
Phylum : Vertebrata
Sub phylum : Craniati
Superclass : Gnathostomata
Series : Pisces
Class : Telestoid
Subclass : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridei
Family : Scombridae
8
Subfamily : Scombrinae
Tribe :Thunini
Genus : Katsuwonus
Spesies : Katsuwonus pelamis
Gambar 1 : Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) (http//www.fishbase.org)
2.2. Operasi Penangkapan
Operasi penangkapan dengan huhate dilakukan dengan cara mencari dan
memburu kelompok ikan cakalang. Pencarian gerombolan ikan dilakukan oleh
seorang pengintai yang tempatnya biasa berada di anjungan kapal dan
menggunakan teropong (Mallawa dan Sudirman, 2004).
Keberadaan ikan cakalang dapat dilihat melaui tanda-tanda antara lain:
adanya buih atau cipratan air, loncatan ikan cakalang ataupun gerombolan
burung-burung yang terbang menukik ke permukaan laut dimana gerombolan ikan
berada.
9
Setelah menemukan gerombolan ikan, yang harus diketahui adalah arah
renang kemudian mendekati gerombolan ikan tersebut. Sementara pemancing
sudah bersiap masing-masing pada sudut kiri, kanan, dan haluan kapal.
Pelemparan umpan dilakukan oleh boi - boi setelah diperkirakan ikan telah
berada dalam jarak jangkauan lemparan, kemudian ikan dituntun ke arah haluan
kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan
dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan
umpan tersebut, mesin penyemprot sudah dihidupkan agar ikan tetap berada di
dekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin
kapal dimatikan. Sementara jumlah umpan yang dilemparkan ke laut dikurangi,
mengingat terbatasnya umpan hidup. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan
diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba
menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang lepas dari
mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Hal lain yang perlu
diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah
terpancing jatuh kembali ke laut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan
yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan
kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan mengambil
waktu. (Mallawa dan Sudirman, 2004).
10
2.2.1. Sarana dan Prasarana Penangkapan
2.2.1.1. Kapal huhate (Skipjack pole and liner)
Skipjack pole and line adalah jenis kapal yang digunakan untuk
menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Tipe kapal jenis ini memerlukan
palka ikan, tangki untuk menyimpan umpan hidup serta system sirkulasi airnya,
pipa - pipa dan pompa untuk memercikan air, tempat duduk untuk pemancing
serta geladak kapal untuk tempat menjatuhkan ikan hasil pancingan.
Jenis kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan cakalang
adalah pole and line tipe skipjack fishing boat. Kapal ini memiliki persyaratan
tertentu yaitu pada haluan kapal dibuat anjungan yang mencuat kedepan untuk
tempat pemancingan (tempat duduk pemancing), memiliki bak tempat umpan
hidup (live bait tank), tempat penyimpanan hasil tangkapan, mempunyai system
penyemburan air/spoit (water pump) dan palka yang dapat menampung ikan hasil
tangkapan.
Huhate (Skipjack pole and line) atau umumnya lebih dikenal dengan “pole
and line” adalah cara pemancingan dengan menggunakan pancing yang
dikhususkan untuk menangkap ikan cakalang yang banyak digunakan di perairan
Indonesia. Selanjutnya dikatakan juga menurut Ayodhoya, (1981), pole and line
umum digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
sehingga dengan kata perikanan pole and line sering pengertian kita ke arah
perikanan cakalang, sungguhpun dengan cara pole and line juga dilakukan
penangkapan albacore, mackerel dan lain sebagainya.
11
Huhate adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terdiri dari bambu
sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan
mata pancing yang tidak berkait. Penggunaan mata pancing yang tidak berkait
dimaksudkan agar ikan yang ditangkap dapat mudah lepas (Direktorat Sarana
Perikanan Tangkap, 2003).
2.2.1.2. Bentuk kapal
Menurut Subani dan Barus, (1989), bentuk kapal cakalang mempunyai
beberapa pengkhususan, antara lain:
1. Di bagian atas dek kapal bagian depan terdapat plataran (plat form)
dimana pada tempat tersebut para pemancing melakukan pemancingan.
2. Dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup.
3. Kapal cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water
splinker system) yang dihubungkan dengan suatu pompa. Kapal cakalang
yang umumnya digunakan mempunyai ukuran 20 GT dengan kekuatan
40 – 60 HP.
Menurut Ben – Yami, FAO, (1980) dalam Nugroho dan Widodo, (2005),
dalam perkembangannya huhate dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori
yaitu :
1. Huhate (Skipjack Pole and line) Industri
Dalam operasi penangkapan mengunakan kapal lebih dari 100 GT, bahan
terbuat dari besi dengan dilengkapi palka pendingin (freezer).
2. Huhate (Skipjack Pole and line) Skala Besar
12
Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal mulai dari 10 s/d 100
GT, kebanyakan kapal terbuat dari kayu atau fibreglass.
3. Huhate (Skipjack Pole and line) Skala Kecil
Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal kecil dari 5 GT yang
terbuat dari kayu atau fibreglass
Kapal pole and line adalah kapal dengan bentuk yang stream line dan
mempunyai olah gerak kapal yang lincah dan tergolong kapal yang mempunyai
kecepatan service sedang yaitu diatas 10 knot dan gerakan stabilitas yang baik
untuk mengejar segerombolan ikan, yakni kapal tersebut sambil olah gerak
menangkap ikan (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap, 2003).
Gambar 2. Sketsa kapal Pole and Line (Direktorat Jenderal Perikanan,1994)
13
2.2.1.3. Alat tangkap
Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Balai Ketrampilan Penangkapan
Ikan Ambon, (1981), huhate terdiri dari bagian - bagian sebagai berikut:
1. Joran/galah yang terbuat dari bamboo atau plastik dengan panjang yang
berkisar antara 2 – 3,25 meter.
2. Tali dari bahan sintetis, monofilament atau multi filament dengan panjang
1,5 – 2,5 meter dan diameter tali 0,2 – 0,3 meter.
3. Kawat baja (wire leader) yang panjangnya 5 – 10 cm, terdiri dari 2 – 3
urat yang disatukan/dipintal dengan diameter 1,2 mm.
4. Mata kail (hook) yang khusus, karena ujungnya tidak memiliki kait.
Gambar 3. Kontruksi Pancing Huhate (Badan Riset Kelautan Perikanan, 2006)
2.2.1.4. Alat bantu penangkapan
Menurut Subani dan Barus, (1989), berhasil tidaknya tiap usaha
penangkapan ikan di laut pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan daerah
14
penangkapan (fishing ground), gerombolan ikan dan keadaan potensinya, untuk
kemudian dilakukan operasi penangkapannya. Adapun alat-alat bantu
penangkapan yang digunakan dalam menunjang kegiatan penangkapan adalah
sebagai berikut:
1. Rumpon
Menurut Sudirman dan Mallawa, (2004) Rumpon biasanya juga disebut
dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantú penangkapan yang
berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchbie area.
Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :
1. Rumpon merupakan tempat berkumpulnya plankton dan ikan – ikan kecil
lainnya, sehingga mengundang ikan – ikan yang lebih besar untuk tujuan
feedingi,
2. Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok
di sekitar kayu terapung (seperti jenis – jenis tuna dan cakalang). Dengan
demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan.
Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan
berdasarkan buih atau gelembung – gelembung udara yang timbul di permukaan
air, warna air yang gelap kerena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan –
ikan yang bergerak di sekitar rumpon.
Pengunaan rumpon secara tradisional di indonesia telah lama dilakukan
terutama para nelayan dari Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, sedangkan
penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980 oleh Lembaga
Penelitian Perikanan Laut, Monintja, (1989). Selanjutnya menurut Subani dan
Barus, (1989), dilihat dari kedalaman air dimana rumpon ditanam (dipasang)
15
dibedakan antara rumpon laut dangkal dan rumpon laut dalam atau yang dikenal
dengan payaos.
Rumpon ini umumnya dipasang pada kedalaman antara 30 - 75 m. Setelah
dipasang kedudukan rumpon yang ada mudah diangkat-angkat, tetapi ada juga
yang bersifat tetap tergantung dari pemberat yang digunakan.
Rumpon yang beratnya antara 25 - 35 kg biasanya berupa jangkar,
sedangkan rumpon yang beratnya antara 75 - 100 kg bahkan lebih terdiri dari
batu-batu yang diikat satu sama lain atau dimasukkan di dalam suatu keranjang
dari rotan, atau dapat juga terdiri dari cor - coran semen.
Rumpon laut dalam (payaos) pelampungnya agak istimewa.
Pelampungnya bisa terdiri dari 60 - 100 batang bambu yang disusun dan diikat
menjadi satu sehingga membentuk rakit. Tali pemberat (tali yang menghubungkan
antara pelampung dengan pemberat) dapat mencapai 1000 - 1500 m. Pemberatnya
berkisar 1000 - 3500 kg terdiri dari batu-batu yang dimasukkan dalam keranjang
rotan atau berupa rangkaian ikatan batu gunung.
2. Pila-pila
Pila-pila digunakan sebagai tempat duduk atau berdiri tempat pemancing,
yang letaknya bisa pada bagian haluan dan buritan antara sepanjang lambung kiri
dan kanan (Ditjenkan, 1994).
3. Pipa penyemprot
Pipa penymprot digunakan untuk menyemprot air secara percikan ke
permukaan laut. Tujuannya adalah untuk mengelabui ikan-ikan seolah-olah pada
permukaan laut terdapat banyak ikan terutama cakalang (Ditjenkan, 1994).
16
Pipa penyemprot ditempatkan disepanjang pila - pila. Pipa tersebut bisa
terbuat dari paralon atau dari besi dan pada bagian ujungnya dipasang kran untuk
dipergunakan untuk menyemprot air. Penyemprot kran air terjadi karena
dilengkapi dengan water pump (pompa air) (Direktorat Sarana Perikanan
Tangkap, 2003).
4. Palkah ikan
Palkah ini fungsinya untuk menempatkan ikan hasil tangkapan
(Ditjenkan, 1994).
5. Bak umpan
Bak umpan digunakan sebagai tempat umpan. Pada bak umpan tersebut
sebaiknya diberi warna putih supaya lebih muda dan dengan lampu penerang di
beberapa tempat masing-masing berkekuatan 50 watt. Fungsi dari lampu tersebut
agar dapat memberikan fototaksis positif dari ikan, sehingga ikan-ikan tersebut
dapat membentuk schooling yang baik. Apabila dalam bak umpan tidak dipasang
lampu, maka dapat menyebabkan umpan banyak bergerak secara tidak menentu,
antara umpan yang satu dengan lainnya saling bertubrukan dan membuat umpan
tersebut rusak tidak dapat dipergunakan (Ditjenkan, 1994).
6. Sibu-sibu
Sibu-sibu digunakan untuk menaikkan umpan hidup dari palka umpan ke
dalam bak penebar umpan dan juga untuk menebarkan umpan hidup ke laut. Sibu-
sibu yang berukuran kecil dipakai untuk menebar umpan dari bak penebar ke laut,
sedangkan sibu-sibu besar digunakan untuk memindahkan umpan dari palka ke
dalam bak penebar umpan.
17
7. Ember
Ember digunakan untuk mengangkat umpan hidup dari bagan nelayan ke
dalam palka umpan, dan juga untuk berbagai keperluan. Ember ini juga menjadi
ukuran dalam menentukan banyaknya umpan yang dimasukkan ke dalam palka
umpan.
2.2.2. Jenis - jenis umpan
Penangkapan ikan cakalang dengan huhate atau pole and line biasanya
menggunakan beberapa jenis umpan untuk mengumpulkan ikan cakalang yaitu:
1. Umpan tiruan
Umpan tiruan biasanya dibuat dari bulu ayam dan dipasang pada mata
kail. Umpan tiruan untuk huhate dirancang dengan memperhatikan bentuk dan
warna dengan maksud untuk menarik perhatian ikan. Pengaturan warna yang
serasi dan lebih cerah serta bentuk yang menyerupai ikan akan lebih merangsang
ikan untuk menyambar mata pancing. Umpan tiruan ini dibuat untuk menutupi
mata pancing sehingga dapat mengelabui ikan sasaran, bahan umpan tiruan terdiri
dari bulu ayam, tali rapiah, dan juga dapat diberi bahan kelopak insang atau kulit
ijing/kerang yang warnanya mengkilap (Badan Riset Perikanan Tangkap, 2006).
2. Umpan hidup
Jenis umpan hidup yang paling baik digunakan dalam perikanan Pole and
line adalah ikan teri (Subani, 1973; Murdianto, Rosana dan Penturi, 1995 dalam
Simbolon, 2003). Jenis ikan umpan tersebut sangat disenangi oleh cakalang
karena memiliki sifat – sifat sebagai berikut :
18
1. Berwarna terang dan memikat atau keputih – putihan sehingga mudah
menarik perhatian ikan cakalang,
2. Tahan terhadap lama di dalam bak penyimpanan pada saat pelayaran dari
daerah penangkapan ikan umpan menuju daerah penangkapan cakalang,
3. Umpan yang disebarkan di antara schooling cakalang memiliki sifat yang
cenderung bergerak mendekati kapal untuk berlindung.
4. Sisi umpan tidak mudah terkelupas, sehingga tingkat kecerahan warna
dapat dipertahankan,
5. Panjang (size) umpan hidup sesuai dengan ukuran yang disenangi oleh
cakalang yang menjadi target penangkapan.
Sesuai dengan sifat – sifat tersebut di atas, pemilihan jenis dan ukuran
umpan yang sesuai perlu dilakukan secara seksama. Subani, (1973) dalam
Simbolon, (2003) menyatakan bahwa ukuran umpan yang ideal dengan tipe badan
memanjang (streem line) berkisar antara 7,5 – 10,0 cm. Selanjutnya disebutkan
bahwa ukuran panjang umpan dengan tipe badan melebar sebaiknya berkisar
antara 5,0 – 7,5 cm.
Masalah utama yang sering dialami dalam perikanan pole and line adalah
ketersediaan umpan hidup pada waktu – waktu tertentu dan tingginya tingkat
kematian umpan dalam bak penyimpanan di atas kapal. Di lain pihak, kegiatan
operasi penangkapan cakalang dengan pole and line tidak akan berhasil apabila
umpan hidup tidak tersedia dalam jumlah yang memadai. Dengan demikian,
umpan hidup merupakan salah satu faktor pembatas (limiting factor) paling
penting dalam perikanan pole and line (Gafa dan Merta, 1987 dalam Simbolon,
2003).
19
2.2.3. Penangkapan umpan hidup
Alat tangkap yang sangat umum digunakan untuk menangkap ikan umpan
hidup adalah jaring yang dioperasikan dari pantai atau kapal, jaring lampara,
purse seine, dan ring net, jaring yang digerakkan (drive in net) dan lift net,
termasuk stickheld dipnet dan jaring kantong (FAO, 1980).
2.2.4. Pemeliharaan umpan hidup di dalam tangki kapal
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan
umpan di dalam palka umpan dikapal antara lain kandungan oksigen didalam air
dan konsumsi oksigen, penyinaran, suhu air dan kualitas air beserta
perubahannya.
Sebagai awal pertimbangan tentunya bagaimana memindahkan umpan
secara aman kedalam tangki umpan bahwa alat yang sebaiknya digunakan adalah
keranjang. Dalam tahap ini diperlukan seorang pembantu yang cermat dalam
menjaga ikan umpan karena memerlukan beberapa perlakuan yang cukup penting
dalam hal pengawasan dan mengarahkan agar pencemaran yang timbul sekecil
mungkin yang diakibatkan kotoran ikan dan sisik ikan yang terlepas.
Selain itu kondisi lingkungan dapat dibuat lebih mendukung dengan cara
meningkatkan sejumlah oksigen kedalam tangki umpan, menurunkan temperatur,
menurunkan salinitas dan pada saat yang sama menghindari kepadatan ikan dan
menghindari rangsangan untuk membantu agar mereka menjadi tenang (FAO,
1980).
20
2.2.5. Pemberian pakan di kapal
Ikan umpan tentu saja perlu diberi pakan selama ke daerah penangkapan
apabila trip pelayarannya memerlukan beberapa jam. Disarankan agar ikan diberi
makan 3 kali sehari, jumlahnya ditentukan oleh ukuran ikan dan temperatur air.
2.2.6. Pemberian cahaya
Suatu bukti telah menunjukkan bahwa lampu bawah air (under water
lamp) didalam tangki umpan akan lebih baik karena mortalitas ikan umpan bisa
melebihi 50% apabila keadaan tangki umpan gelap sepanjang waktu. Kegunaan
cahaya alam atau buatan bisa mengurangi mortalitas ikan umpan kurang dari
10 %. Tetapi pemberian cahaya yang optimum belum diketahui dengan pasti.
2.2.7. Temperatur
Perlu diingat bahwa sewaktu kapal memancing disuatu daerah dengan
temperatur air yang berbeda, maka sirkulasi air didalam tangki secara perlahan-
lahan perlu diturunkan, untuk mengurangi masuknya air laut dan mempertahankan
derajat perubahan temperatur air. Saran lain ialah ikan yang dimasukkan kedalam
bak dikurangi sehingga lebih banyak oksigen yang tersedia bagi semua ikan, juga
akan lebih praktis apabila caranya dikombinasikan dengan sistem sirkulasi air.
2.2.8. Jenis ikan hasil tangkapan
Usaha penangkapan dengan pole and line biasanya ditujukan untuk
menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) tetapi dalam kenyataannya
sering tertangkap juga beberapa jenis ikan yang lain, diantaranya: yellow fin tuna
(Thunnus albacares), little tuna (Auxis thazard), dan lain - lain (Balai Ketrampilan
Penangkapan Ikan Ambon, 1981).
21
Selanjutnya dalam FAO (1980) mengatakan bahwa para nelayan pole and
line terutama menangkap ikan skipjack (Katsuwonus pelamis), albacore (Thunnus
alalunga), tuna kecil seperti frigate mackerel (Auxis spp), dan ikan dolphin
(Coryphaena spp), juga yellow fin (Thunnus albacares), ikan-ikan muda spesies
ikan tuna yang besar yang lain, bonito (Sarda spp), dan tuna kecil (Euthynnus
spp). Semua jenis tadi tersebar secara luas di lautan dan Samudera di dunia.
2.2.9. Penanganan ikan hasil tangkapan
Cara penanganan yang dipilh umumnya sesuai kondisi yang dikehendaki
pasar dengan prinsip yang sama yaitu menjaga mutu ikan agar tetap segar, sehat,
aman dan menarik saat disajikan sehingga harganya mampu bersaing saat
dipasarkan dan dapat menguntungkan bagi produsennya.
Selain itu prinsip penanganan ikan lainnya yang harus dilakukan, antara
lain menjaganya dari benturan atau tekanan fisik yang dapat melukai tubuh ikan
atau membuat dagingnya memar, melindungi dari sinar panas matahari langsung
dan mencegahnya dari kontaminasi bahan-bahan yang kotor dan berbahaya.
(Prayitno, 2004-website: www.cofish.net).
Keberhasilan penanganan ikan di atas kapal untuk menjaga mutunya
sangat ditentukan oleh :
1. Kesadaran dan pengetahuan semua ABK untuk melaksanakan cara
penangkapan ikan dengan es secara benar,
2. Kelengkapan sarana penyimpana di atas kapal yang memadai, seperti:
palkah yang berisi es atau peti wadah ikan yang berisolasi dengan
kapasitas yang cukup sesuai dengan ukuran kapal.
22
3. Kecukupan jumlah es yang dibawa saat berangkat menangkap ikan di
laut.
Prinsip penanganan ikan di atas kapal untuk ikan ukuran besar (kurang
dari 10 kg) menurut Prayitno (2004), adalah sebagai berikut:
1. Ikan-ikan berukuran besar umumnya ditangkap dengan alat tangkap
pancing dan biasanya masih dalam keadaan hidup saat diangkat dari air,
untuk ini ikan harus segera dibunuh dengan memukul kepalanya atau
dengan cara lain yang tidak merusak fisik ikan.
2. Segera mendinginkannya dengan mencelupkan ikan di bak chiling yang
telah diisi air es sambil menunggu saat penyiangannya. Suhu air akan
selalu terjaga pada suhu 00C.
3. Melakukan penyiangan (buang insang dan isi perut, dan untuk ikan-ikan
besar juga mengiris sebagian operculum dan membuang sirip) dan
membuang darahnya. Pembersihan dilakukan dengan mencucinya
memakai air dingin yang telah didinginkan dengan es.
4. Selanjutnya ikan disusun secara bercampur dan berselang-seling dengan es
curah.
2.2.10. Daerah dan musim penangkapan cakalang
Potensi cakalang di indonesia sebagian besar terdapat di perairan kawasan
timur indonesia. Daerah penangkapan yang potensial bagi ikan tersebut di KTI
terdapat di perairan Sulawesi Utara, Halmahera, Maluku dan Irian Jaya dengan
basis penangkapan masing – masing di Bitung, Ternate, Ambon dan Sorong.
Wilayah yang memiliki potensi cakalang di kawasan barat indonesia terdapat di
23
perairan selatan Jawa Barat (Pelabuhan Ratu), Sumatera Barat dan Aceh
(Monintja, 2001).
Musim penangkapan ikan cakalang di perairan indonesia pada umumnya
dapat dilakukan sepanjang tahun, namun puncak musim penangkapan sering kali
bervariasi menurut wilayah perairan, sebagai mana disajikan pada Table 1.
Table 1. Puncak Musim Penangkapan Cakalang Menurut Wilayah Perairan
(Monintja, 2001)
No. Wilayah Perairan Puncak Musim
1 Sulawesi Utara - TengahMaret s/d Mei; Agustus s/d Nopember; April s/d Juni
2 Halmahera September s/d Oktober; Pebruari s/d April3 Maluku September s/d Desember5 Irian Jaya Pebruari s/d Juni; Agustus s/d Desember6 Pelabuhan ratu Agustus s/d September 7 Padang Maret s/d Mei8 Aceh Belum diperoleh informasi
Huhate hanya diijinkan pengoperasiannya di wilayah perairan tertentu dan
ZEEI Laut Sulawesi dan ZEEI Samudera Pasifik (Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap, 2005).
Lebih lanjut Suparlin, (2008), menyatakan bahwa suatu daerah
penangkapan dinamakan baik apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Di daerah tersebut terdapat ikan yang melimpah sepanjang tahun.
2. Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna.
3. Lokasinya tidak jauh dari pelabuhan sehingga dapat dijangkau oleh kapal
lain.
24
4. Daerah aman yaitu tidak biasa dilalui angin topan dan bukan daerah badai
yang membahayakan.
2.2.11. Faktor oseanografi yang mempengaruhi penyebaran cakalang
Penyebaran ikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyebaran
horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran
vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Nakamura, 1969 dalam
Simbolon, 2003). Ikan cakalang menyebar luas di perairan tropis dan sub tropis
seperti di lautan Atlantik, Samudera Hindia dan Pasifik. Penyebaran ikan tersebut
di perairan Indonesia sebagian besar terdapat di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Stok yang terdapat di perairan KTI ini diduga berasal dari Samudera Pasifik
bagian barat yang beruaya dari sebelah timur Philipina dan sebelum utara Papua
Nugini. Ikan tersebut selanjutnya beruaya dari perairan KTI ke Samudra Pasafik
bagian barat, yaitu ke perairan Zamboanga dan sebelum utara Papua Nugini
(Suhendrata, 1987 dalam Simbolon, 2003).
Ikan cakalang secara vertikal dapat menyebar sampai dengan ratusan
meter di bawah permukaan air, bahkan banyak terdapat pada kedalaman renang
20 – 200 meter (Nishimura, 1964 dalam Simbolon, 2003). Penyebaran ikan di
perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklim. Ikan cakalang
umumnya ditemukan di atas lapisan termoklim (Laevastu and Hela, 1970 dalam
Simbolon, 2003).
Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang membentuk kelompok
(schooling). Menurut (Nikolsky, 1963 dalam Simbolon, 2003) individu cakalang
dalam suatu schooling mempunyai ukuran (size) yang relatif sama. Ikan – ikan
25
yang berukuran lebih besar biasanya berada pada lapisan yang lebih dalam dengan
schooling yang lebih kecil. Ikan – ikan yang lebih kecil biasanya berada dekat
permukaan perairan dengan schooling yang lebih besar. Tingkah laku tersebut
umumnya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memudahkan penangkapan.
Ikan cakalang melakukan migrasi karena (1) adanya perubahan beberapa
faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan arus, (2) usaha mencari daerah
perairan yang mengandung bahan makanan yang cukup dan (3) usaha mencari
daerah pemijahan (Nikolsky, 1963 dalam Simbolon, 2003). Hal ini sesuai dengan
pendapatan Laevastu and Hayes, (1981) dalam Simbolon, (2003) yang
menyatakan bahwa pola kehidupan ikan, termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan
dari pengaruh faktor – faktor oseanografi. Fluktuasi faktor – faktor oseanografi
seperti suhu, salinitas, arus permukaan, oksigen terlarut mempunyai pengaruh
yang besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu
lokasi perairan.
2.2.11.1. Suhu perairan
Suhu perairan secara langsung berpengaruh terhadap derajat metabolisme
dan siklus reproduksi ikan. Suhu perairan secara tidak langsung berpengaruh
terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Perubahan
suhu perairan akan berpengaruh terhadap rangsangan syaraf, perubahan proses
metabolisme dan aktivitas tubuh ikan (Laevastus and Hela, 1970 dalam Simbolon,
2003).
Kedalaman renang dari kelompok ikan pelagis, termasuk cakalang banyak
ditentukan oleh distribusi suhu perairan secara vertikal. Cakalang akan berenang
26
menghindari suhu perairan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah dari biasanya
dan menuju ke lapisan perairan tertentu di mana ikan tersebut lebih mudah
beradaptasi. Distribusi vertikal ikan cakalang di perairan tropis sangat dipengaruhi
oleh lapisan termoklin. Adapun kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta
lapisan renang dari cakalang dan beberapa jenis tuna disajikan pada Table 2
(Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003).
Table 2. Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan serta lapisan renang ikan
cakalang dan beberapa jenis tuna (Laevastu and Hela, 1970 dalam
Simbolon, 2003)
Jenis IkanKisaran Suhu (0C) Lapisan Renang
Penyebaran Penangkapan (meter)Cakalang 17 - 28 19 - 23 0 - 40Bluefin 12 - 25 15 - 22 50 - 300
Mata besar 11 - 28 18 - 22 50 - 400Madidihang 18 - 31 20 - 28 0 - 200
Albacore 14 - 23 15 - 21 20 - 300
Kisaran suhu penyebaran dan penangkapan cakalang umumnya bervariasi
sesuai dengan wilayah perairan. Ikan cakalang di Samudera Pasifik bagian timur
ditemukan pada kisaran suhu permukaan laut (SPL) 170C – 300C dengan suhu
optimum 200C – 280C (Blackburn, 1965 dalam Simbolon, 2003). Gunarso, (1985)
dalam Simbolon, (2003) menyatakan bahwa suhu perairan optimum untuk
penangkapan cakalang di perairan Indonesia adalah 280C – 290C. Adapun kisaran
suhu yang optimum untuk penangkapan cakalang dan tuna pada berbagai perairan
disajikan pada Table 3.
27
Table 3. Kisaran suhu perairan untuk penangkapan cakalang dan tuna menurut
wilayah perairan
No. Wilayah PerairanSuhu
Sumber KeteranganOptimum (0C)
1 Pasifik Timur Laut 20 - 26 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
2 Pasifik Tenggara 20 - 28 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
3 Pasifik Barat Laut 20 - 28 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
4 New Zeland 17 - 23 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
5 Papua New Guinea 28 - 30 Blackburn, 1965 Cakalang & Tuna
6 Indonesia 28 - 29 Blackburn, 1965 Cakalang
2.2.11.2. Salinitas perairan
Salinitas perairan merupakan parameter oseanografi yang dapat digunakan
untuk memperkirakan daerah penyebaran ikan cakalang di suatu perairan. Kisaran
salinitas yang menjadikan daerah penyebaran cakalang umumnya bervariasi
menurut wilayah perairan. Cakalang sering terkonsentrasi pada permukaan
perairan dengan kisaran salinitas 23%0 - 35%0 (Blackburn, 1965 dalam Simbolon,
2003).
Ikan cakalang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan salinitas. Hal
ini terbukti dengan banyaknya ikan cakalang yang ditemukan di perairan ujung
timur Selat Sunda ketika salinitas perairannya tinggi. Di lain pihak, ikan cakalang
tidak ditemukan sama sekali ketika salinitas rendah (Burhanuddin et al, 1984
dalam Simbolon, 2003).
2.2.11.3. Arus perairan
Manurung dan Simbolon, (1997), menyatakan bahwa penyebaran ikan
pelagis sering mengikuti sirkulasi arus dan kepadatannya sangat berhubungan
dengan kondisi arus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Selat Makassar,
28
terdapat indikasi bahwa penyebaran berbagi jenis tuna terdapat di sepanjang poros
arus. Sepanjang daerah penyebaran tersebut, kelimpahan ikan cenderung lebih
banyak pada lapisan renang yang lebih dalam.
Ikan cakalang sangat menyenangi daerah pertemuan arus (konvergensi)
yang umumnya dijumpai pada wilayah yang memiliki banyak pulau. Turbulansi
yang terjadi di perairan sekeliling pulau – pulau atau benua berperan merangsang
pertumbuhan plankton. Sebagai konsekuensi logisnya, perairan tersebut relatif
lebih subur dan menjadi daerah penyebaran yang baik bagi cakalang untuk
mencari makan, seperti halnya di daerah upwelling.
Ikan cakalang sering ditemukan pada perbatasan dua massa air yang
berbeda dimana terjadi pertemuan antara massa air panas dan dingin. Daerah ini
diduga memiliki berbagai macam organisme dan merupakan daerah penangkapan
cakalang yang baik (Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolon, 2003).
2.2.11.4. Respon ikan terhadap cahaya
Ikan tertarik pada cahaya melalui penglihatan (mata) dan rangsangan
melalui otak (pineal region pada otak). Peristiwa tertariknya ikan pada cahaya
disebut phototaksis (Ayodhoya, 1976;1981 dalam Malawa dan Sudirman 2004).
Ada beberapa alasan mengapa ikan tertarik oleh cahaya, antara lain adalah
penyesuaian intensitas cahaya dengan kemampuan mata ikan untuk penerimaan
cahaya. Dengan demikian, kemampuan ikan untuk tertarik pada suatu sumber
cahaya sangat berbeda-beda. Ada ikan yang senang dengan pada intensitas cahaya
yang rendah, tetapi ada pula ikan yang senang terhadap intensitas cahaya yang
tinggi. Namun ada ikan yang mempunyai kemampuan untuk tertarik oleh cahaya
29
mulai dari intensitas yang rendah sampai yang tinggi (Sudirman dan Malawa,
2004).
Rangsangan cahaya terhadap ikan diketahui antara 0,01 – 0,001 lux, sudah
memberikan reaksi. Ambang cahaya tertinggi untuk mata ikan belum banyak
diteliti, walau banyak diketahui bahwa berbagai jenis ikan laut pada umumnya
selalu berusaha untuk meningkatkan sensitifitasnya. Ikan mempunyai
suatu kemampuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari
dengan kekuatan penerangan ratusan ribu lux dan dalam keadaan gelap sama
sekali (Gunarso, 1985 dalam Sudirman dan Malawa, 2004).
Namun demikian, sensitifitas mata ikan laut pada umumnya tinggi. Kalau
cahaya biru-hijau yang mampu diterima mata manusia hanya sebesar 30% saja,
tetapi mata ikan mampu menerimanya sebesar 75% sedangkan retina dari
beberapa jenis ikan laut dalam menerimanya sampai 90%. Ambang cahaya yang
mampu dideteksi oleh mata ikan jauh lebih rendah daripada ambang cahaya yang
dapat dideteksi manusia, sehingga pada umumnya mata ikan mempunyai tingkat
sensitifitas 100 kali mata manusia. Oleh sebab itu, pada beberapa jenis ikan yang
hidup di perairan pantai dapat mengindera mangsanya dari kejauhan 100 meter
sejak pagi sampai sore hari (Gunarso, 1985 dalam Sudirman dan Malawa 2004).
Cahaya yang masuk ke mata ikan akan diteruskan ke otak pada bagian
Cone dan Rod, yang sangat peka terhadap cahaya. Alasan lainnya, adanya cahaya
merupakan suatu indikasi adanya makanan.
30
2.3. Manajemen
Menurut Anoraga, (1997), istilah manajemen berhubungan dengan usaha
untuk tujuan tertentu dengan jalan menggunakan sumber – sumber daya yang
tersedia dalam organisasi dengan cara yang sebaik mungkin. Dalam pengertian
“organisasi” selalu terkandung unsur kelompok (lebih dari 2 orang) manusia maka
manajemenpun biasanya digunakan dalam hubungan usaha suatu kelompok
manusia, walupun manajemen itu dapat pula ditetapkan terhadap usaha – usaha
individu. Selanjutnya dikatakan menurut Terry, (1962) dalam Anoraga, (1997)
manajemen dalalah proses yang khas yang terdiri dari tindakan – tindakan
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian yang masing –
masing bidang tersebut digunakan baik ilmu pengetahuan maupun keahlian dan
yang diikuti secara berurutan dalam rangka usaha mencapai sasaran yang telah
ditetapkan semula. Selanjutnya dikatakan menurut Manulang, (1992) dalam
Anoraga (1997) bahwa dari pengertian – pengertian manajemen yang sudah
dikemukakan diatas, Nampak seakan – akan satu – satunya alat atau sarana
manajemen untuk mencapai tujuan adalah orang atau menusia saja. Hal ini tidak
demikian. Untuk mencapai tujuan, maka para manajer menggunakan “Lima M”.
Dengan kata lain sarana (tools) atau alat manajemen untuk mencapai
tujuan adalah : Man, Money, Material, Methods dan Market. Kesemuaannya itu
disebut sumber daya. Selanjutnya lagi dikatakan menurut Terry, (1966) dalam
Anoraga (1997), sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
manajemen adalah : (1) Men (manusia); (2) Materials (materi); (3) Machines
(mesin – mesin); (4) Methods (tata kerja); dan (5) Money (uang). Sumber daya
yang berbeda dengan Manulang adalah sumber daya market (pasar). Sehingga
31
kalau di perlengkap mengenai sumber daya yang dapat digunakan untuk mencapai
tujuan manajemen adalah sebagai berikut : Manusia, Material, Mesin, Metode,
Money (uang) dan Markets (pasar).
Sarana penting atau sarana utama dari setiap manajemen untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah “man” atau manusia. Berbagai
macam aktivitas yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dan aktivitas itu
dapat kita tinjau dari sudut proses, seperti perencanaan, pengorganisasian,
staffing, pengarahan dan pengendalian; atau dapat pula kita tinjau dari sudut
bidang seperti penjualan, produksi, keuangan, personalia, dan lain sebagainya.
Untuk melakukan aktivitas tersebut, kita perlukan manusia. Tanpa adanya
manusia, manajemen tidak akan mungkin mencapai tujuannya, harus diingat
bahwa manajemen adalah orang yang mencapai hasil melalui orang – orang lain.
Untuk melakukan berbagai aktivitas diperlukan uang, seperti upah dan gaji
bagi orang – orang yang membuat perencanaan, mengadakan pengawasan,
bekerja dalam proses produksi, membeli bahan – bahan, peralatan – peralatan, dan
lain sebagainya. Uang sebagai sarana menajemen harus digunakan sedemikian
rupa agar tujuan yang ingin dicapai, bila dinilai dengan uang, lebih besar dari
uang yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Kegagalan atau ketidak
lancaran proses manajemen sedikit banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh
perhitungan atau ketelitian dalam penggunaan uang.
Dalam proses pelaksanaan kegiatan, manusia mengunakan material atau
bahan – bahan, karenanya dianggap pula sebagai alat atau sarana manajemen
untuk mencapai tujuan. Demikian pula dalam proses pelaksanaan kegiatan,
terlebih dahulu dalam kemajuan teknologi dewasa ini, manusia bukan lagi sebagai
32
pembantu mesin seperti terlihat sebelum masa revolusi industry malahan telah
terjadi sebaliknya, mesin telah berubah kedudukannya menjadi sebagai pembatu
manusia.
Untuk melakukan secara berdaya guna dan berhasil guna, maka manusia
dihadapkan kepada berbagai alternatife metode atau cara melakukan pekerjaan.
Oleh karena itu, metode atau cara dianggap pula sebagai sarana atau alat
manajemen untuk mencapai tujuan. Misalnya , dewasa ini telah dikenal berbagai
metode atau cara mengajar, seperti ceramah bervariasi, metode khusus, metode
insiden, permainan (games), aturan main (role playing), dan sebagainya. Berbagai
metode itu tentu berbeda daya guna dan hasil gunanya mencapai suatu tujuan
pendidikan tertentu.
Bagai badan yang bergerak di bidang industri, maka sarana menajemen
penting lainnya adalah markets atau pasar. Tanpa adanya pasar bagi hasil
produksi, jelas tujuan perusahaan industri akan tidak mungkin tercapai. Salah satu
masalah pokok bagi sesuatu perusaan industry adalah, minimal, mempertahankan
pasar yang sudah ada, bila mungkin mencapai pasar baru bagi hasil produksinya.
Oleh karena itulah salah satu sarana manajem penting lainnya kusus bagi
perusahaan industry dan umumnya bagi semua badan yang betujuan untuk
mencari laba, adalah pasar.
33
2.3.1. Fungsi manajemen
Pelaksanaan kegiatan akan berjalan lancar apabila pihak manajemen
perusahaan mampu mengaplikasikan unsur/fungsi manajemen. Menurut Terry,
(1994), manajemen terdiri dari beberapa fungsi yang disingkat P.O.A.C, antara
lain :
1. Perencanaan (Planning)
Perencanaan meliputi tindakan : memilih dan menghubungkan fakta –
fakta dan membuat serta menggunakan assumsi – assumsi mengenai masa yang
akan datang dalam hal memvisualisasi serta merumuskan aktivitas – aktivitas
yang diusulkan yang dianggap perlu untuk mencapai hasil – hasil yang
diinginkan.
Perencanaan berarti menentukan sebelumnya apa yang harus dilakukan
dan bagai mana cara melakukannya.
Perencanaan dapat dianggap sebagai suatu kumpulan keputusan –
keputusan, dalam hubungan mana perencanaan tersebut dianggap sebagai
tindakan mempersiapkan tindakan – tindakan untuk masa yang akan datang
dengan jalan membuat keputusan – keputusan sekarang.
Menurut Skinner, (1992) dalam Anoraga, (1997), ada lima pertanyaan
yang harus dijawab dalam proses penyusunan perencanaan secara lengkap yaitu :
1). What business are you in?
2). Where are you going?
3). Where are you now?
34
4). How do you get there?
5). How are you progressing?
Unsur – unsur yang perlu ada dalam perencanaan adalah :
1. Kebijaksanaan
2. Prosedur
3. Kemajuan yang diharapkan, dan
4. Program.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian mempersatukan sumber – sumber daya pokok dengan
cara yang teratur dan mengatur orang – orang dalam pola yang demikian rupa,
hingga mereka dapat melaksanakan aktivitas – aktivitas guna mencapai tujuan –
tujuan yang ditetapkan.
Pengorganisasian mempersatukan orang – orang pada tugas yang saling
berkaitan.
Istilah pengorganisasian berasal dari perkataan Organism (Organis – men)
yang merupakan sebuah entitas dengan bagian – bagian yang terintegrasi
demikian rupa hingga hubungan mereka satu sama lain dipengaruhi oleh
hubungan mereka terhadap keseluruhan.
Berdasarkan definisinya pengorganisasian adalah tindakan mengusahakan
hubungan – hubungan kelakuan yang efektif antara orang – orang, hingga mereka
dapat bekerja sama secara effisien dan demikian memperoleh kepuasan pribadi
35
dalam hal melaksanakan tugas – tugas tertentu dalam kondisi lingkungan tertentu
guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.
3. Penggerakan (Actuating)
Usaha – usaha perencanaan dan pengorganisasian bersifat vital, tetapi
tidak akan ada output konkrit yang dihasilkan sampai kita mengimplementasikan
aktivitas – aktivitas yang diusahakan dan yang diorganisasi.
Untuk maksud itu diperlukan tindakan actuating atau usaha untuk
menimbulkan action.
Brdasarkan definisinya actuating merupakan usaha untuk menggerakan
anggota – anggota kelompok demikian rupa hingga mereka berkeinginan dan
berusaha untuk mencapai sasaran – sasaran perusahaan yang bersangkutan dan
sasaran – sasaran anggota – anggota perusahaan tersebut oleh karena para anggota
itu ingin mencapai sasaran – sasaran tersebut.
4. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan berarti mendeterminasikan apa yang telah dilaksanakan,
maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan –
tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana – rencana.
Controlling atau pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk
menemukan, pengoreksi penyimpangan – penyimpangan penting dalam hasil
yang dicapai dari aktivitas – aktivitas yang direncanakan.
Selanjutnya dikatakan pengawasan effektif membantu usaha – usaha kita
untuk mengatur pekerjaan yang direncanakan untuk memastikan bahwa
pelaksanaan pekerjaan tersebut berlangsung sesuai dengan rencana.
36
2.3.2. Tujuan manajemen
Menurut Anoraga, (1997), tujuan dari manajemen adalah mengubah
sumber daya yang ada agar menjadi suatu hasil yang memiliki nilai untuk
mencapai sasaran perusahaan
2.3.3.. Sarana manajemen
Sarana atau alat manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
adalah men, money, materials, methods, machine dan markets, Manullang, (2001).
Selanjutnya dikatakan sarana utama dari setiap manajer untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah manusia. Untuk melakukan berbagai
aktivitas diperlukan manusia. Tanpa adanya manusia, manajer tidak akan
mungkin mencapai tujuannya. Sarana manajemen yang kedua adalah uang. Untuk
melakukan berbagai aktivitas diperlukan uang. Kegagalan proses manajemen
sedikit banyak dipengaruhi oleh ketelitian dalam menggunakan uang. Dalam
proses pelaksanaan kegiatan, manusia menggunakan bahan-bahan, karenanya
dianggap pula sebagai sarana manajemen untuk mencapai tujuan. Untuk
melakukan kegiatan secara berdaya guna dan berhasil guna, manusia dihadapkan
dengan berbagai alternatif atau cara melakukan pekerjaan. Bagi badan yang
bergerak di bidang industri, maka sarana manajemen penting lainnya adalah pasar.
2.3.4. Manajemen operasi
Manajemen operasi merupakan proses pencapaian dan pengutilisasian
sumber-sumber daya untuk memproduksi atau menghasilkan barang-barang atau
jasa yang berguna dalam usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi
Assauri, (1999). Selanjutnya Umar, (2003), mengatakan bahwa manajemen
37
operasi adalah suatu fungsi atau kegiatan manajemen yang meliputi perencanaan,
organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan dan pengawasan staffing, koordinasi,
pengarahan dan pengawasan terhadap operasi perusahaan.
2.3.5. Fungsi manajemen operasi
Menurut Assauri, (1999), ada empat fungsi terpenting dalam fungsi
produksi dan operasi, yaitu:
1. Proses pengolahan (operasi)
Proses produksi dan operasi merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan menggunakan peralatan, sehingga masukan atau input dapat
diolah menjadi keluaran berupa barang atau jasa yang akhirnya dapat dijual
kepada pelanggan dengan harapan perusahaan akan mendapatkan keuntungan.
2. Jasa - jasa penunjang
Jasa-jasa penunjang produksi dan operasi ini meliputi pengetahuan dan
teknologi yang dibutuhkan untuk diorganisir serta dikomunikasikan agar proses
produksi dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
3. Perencanaan
Perencanaan berfungsi agar kegiatan produksi dan operasi yang akan
dilakukan dapat terarah bagi pencapaian tujuan produksi dan operasi, serta fungsi
produksi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
4. Pengendalian dan pengawasan
Pengendalian dan pengawasan merupakan kegiatan yang telah dilakukan
untuk menjamin agar kegiatan operasi dan produksi yang dilaksanakan sesuai
38
dengan apa yang telah direncanakan, dan apabila terjadi penyimpangan, maka
penyimpangan tersebut dapat dikoreksi sehingga apa yang diinginkan dapat
tercapai.
2.3.6. Pengelolaan sumberdaya perikanan
Menurut Ditjen Perikanan (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan
merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 subsistem, yaitu :
1. Subsistem eksplorasi sumberdaya perikanan.
Diharapkan akan dapat menjawab keterbatasan informasi, yang terkait
dengan besarnya potensi sumberdaya perikanan yang tersedia menurut jenis dan
penyebarannya yang dapat dituangkan dalam bentuk peta penyebaran, tata ruang
wilayah, kawasan konservasi dan besarnya alokasi sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan pada periode waktu dan lokasi tertentu, Penyediaan sarana yang
tercakup dalam subsistem eksplorasi diharapkan akan dapat mendukung rencana
lokasi pemanfaatan sumberdaya, sejalan dengan penyebaran sumberdaya dan tata
ruang wilayah, sehingga diperoleh suatu sistem jaringan prasarana yang memadai
dan efisisen.
2. Subsistem pemanfaatan sumberdaya dan pembinaan usaha.
Penanganan subsistem pemanfaatan sumberdaya perikanan diharapkan
dapat mengembangkan usaha pemanfaatan sumberdaya yang produktif,
mempunyai nilai tambah yang tinggi dan dapat memberikan jaminan pendapatan
bagi para pelakunya, dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Pemanfaatan
sumberdaya dan pembinaan usaha dilakukan berdasarkan potensi sumberdaya
39
wilayah yang tersedia dan didasarkan pada partisispasi dan keinginan masyarakat
setempat sesuai dengan permintaan pasar.
3. Subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya.
Penanganan subsistem pengawasan dan pengendalian pemanfaatan
sumberdaya, diharapkan dapat memberikan jaminan bahwa pemanfaatan
sumberdaya dilakukan secara efisien dan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Berjalannya subsistem ini akan dapat menekan pemborosan dan kehilangan akan
sumberdaya perikanan, serta diharapkan akan dapat memberikan jaminan
terhadap keberlanjutan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha, untuk itu
diperlukan keterpaduan antara lembaga pengawasan dan peningkatan koordinasi
antara penegak hukum.
2.3.7. Usaha perikanan yang berkelanjutan
Menurut Kesteven, (1973) dalam Simbolon, (2003), pengembangan usaha
perikanan harus mempertimbangkan aspek-aspek bio-technico-sosio-economic-
approach. Oleh karena itu ada empat aspek yang harus diperhatikan dalam
pengembangan suatu jenis alat tangkap ikan, yaitu :
1. Aspek biologi, alat tangkap tersebut tidak merusak atau mengganggu
kelestarian sumberdaya.
2. Aspek teknis, alat tangkap yang digunakan efektif untuk dioperasikan.
3. Aspek sosial, alat tangkap dapat diterima oleh masyarakat nelayan.
4. Aspek ekonomi, usaha tersebut bersifat menguntungkan.
40
Menurut Monintja, (2001), perlu adanya pertimbangan dalam pemilihan
suatu teknologi yang tepat untuk diterapkan di dalam pengembangan perikanan.
Pertimbangan-pertimbangan yang akan digunakan dalam pemilihan teknologi
dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu teknologi penangkapan ikan
ramah lingkungan (TPIRL), teknologi penangkapan ikan secara teknis, ekonomis,
mutu dan pemasaran menguntungkan serta kegiatan penangkapan ikan yang
berkelanjutan. Suatu kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan memiliki
ciri - ciri sebagai berikut :
1. Selektivitas tinggi, artinya teknologi yang digunakan mampu
meminimalkan hasil tangkapan yang bukan merupakan target.
2. Tidak destruktif terhadap habitat yang akan membahayakan kelestarian
produksi ikan.
3. Tidak membahayakan nelayan yang mengoperasikan /menggunakan
teknologi tersebut.
4. Produk yang dihasilkan tidak membahayakan terhadap kesehatan
konsumen.
5. Hasil tangkapan yang diperoleh bermutu baik.
6. Hasil tangkapan sampingan (by-catch) dan yang terbuang (discard)
minimum.
7. Diterima secara sosial, artinya dimasyarakat nelayan tidak menimbulkan
konflik.
41
Kriteria yang digunakan untuk teknologi penangkapan yang secara teknis,
ekonomis, mutu, dan pemasaran menguntungkan adalah :
1. Hemat biaya dan energi.
2. Meningkatkan produksi dan produktivitas.
3. Memperhatikan mutu produk.
4. Produk yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar.
5. Meningkatkan wirausaha dan investor.
6. Meningkatkan devisa dan pengembangan daerah.
7. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.
2.4. Analisis Finansial
2.4.1. Perhitungan Laba - Rugi
Pada umumnya laba - rugi usaha digunakan untuk mengukur apakah
kegiatan usaha yang dilakukan pada saat ini berhasil atau tidak. Analisa laba –
rugi usaha bertujuan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari
usaha yang dilakukan. Untuk menentukan apakah usaha tersebut untung atau rugi
dapat mengunakan rumus :
П = TR – TC
Keterangan :
П = Keuntungan
TR = Total penerimaan
TC = Total Biaya
Dengan krikteria :
42
1. Apabila total penerimaan (TR) > total biaya (TC), maka usaha tersebut
mengalami keuntungan, sehingga usaha dapat dilanjutkan.
2. Apabila total penerimaan (TR) < total biaya (TC), maka usaha tersebut
mengalami kerugian, sehingga usaha tidak layak untuk dilanjutkan.
3. Apabila total penerimaan (TR) = total biaya (TC), maka usaha tersebut
tidak mengalami keuntungan maupun kerugian, dengan kata lain usaha
tersebut berada pada titik impas.
2.4.2. Analisis titik impas (Break even point)
Analisis titik impas atau titik pulang pokok adalah volume penjualan di
mana penghasilannya (revenue) tetap sama besar dengan biaya total, sehingga
perusahaan tidak dapat keuntungan atau kerugian. Perusahaan akan mendapatkan
laba bila penjualan yang dicapai berada di atas titik impas sebaliknya jika
penjualan berada dibawah titik impas maka perusahaan akan mengalami kerugian
(Soeharto, 1999).
Kasmir dan Jakfar (2003), mengatakan bahwa perhitungan break-even
point dengan menggunakan rumus aljabar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Atas dasar unit
2. Atas dasar sales dalam rupiah
1. Perhitungan break-even point atas dasar unit (Kg) dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus.
BEP (Dalam Kg) =
FCP−V
Di mana :
43
P = harga jual per Kg
V = biaya variabel per Kg
FC = biaya tetap
2. Perhitungan break-even point atas dasar penjualan dalam rupiah dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus aljabar sebagai berikut :
BEP (dalam Rp) =
FC
1−VP
Di mana :
FC = biaya tetap
V = biaya variabel per Kg
P = harga jual per Kg.