bab 2

62
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Tuberkulosis 1.1 Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium tuberculosis), yang masih merupakan anggota Genus Mycobacterium. Keluarga Mycobacterium yang berkaitan dengan masalah kesehatan di masyarakat adalah M. bovis, M. leprae, dan M. tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB menyerang organ paru (90%), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.(Price, Sylvia A & M. Wilson, 2005) 1.2. Bakteri Tuberkulosis M. tuberculosis ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai basil tahan asam (BTA). Dinding bakteri TB terdiri dari asam lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bakteri TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh bakteri ini dapat dormant,

Upload: sukmaadityaputra

Post on 31-Oct-2014

41 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

medis

TRANSCRIPT

Page 1: bab 2

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Tuberkulosis

1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

TB (Mycobacterium tuberculosis), yang masih merupakan anggota Genus

Mycobacterium. Keluarga Mycobacterium yang berkaitan dengan

masalah kesehatan di masyarakat adalah M. bovis, M. leprae, dan

M. tuberculosis. Sebagian besar bakteri TB menyerang organ paru (90%),

tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.(Price, Sylvia A & M.

Wilson, 2005)

1.2. Bakteri Tuberkulosis

M. tuberculosis ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu

tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai

basil tahan asam (BTA). Dinding bakteri TB terdiri dari asam lemak dan

lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bakteri TB cepat mati dengan

sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di

tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh bakteri ini dapat

dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Bakteri hidup sebagai

parasit intra selular di dalam jaringan, yakni dalam sitoplasma makrofag.

Makrofag yang semula memfagositosis malah kemudian disenanginya

karena banyak mengandung lipid. Sifat lain bakteri ini adalah aerob. Sifat

ini menunjukkan bahwa bakteri lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal

paru lebih tinggi dari pada bagian yang lain, sehingga bagian apikal ini

merupakan tempat predileksi penyakit TB (Jawetz, 2005).

Di luar tubuh manusia, kuman M. tuberculosis hidup baik pada

lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari 6

Page 2: bab 2

2

(Depkes RI, 2002). M. tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan

lebar 0,2-0,8 mikron. Bakteri ini melayang di udara dan disebut droplet

nuclei (Girsang, 1999).

Menurut Atmosukarto (2000), bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup

pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai

bertahun-tahun lamanya. Tetapi bakteri tuberkulosis akan mati bila

terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto &

Soewasti, 2000). Menurut Girsang (1999), bakteri tuberkulosis jika

terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu kuman

tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan juga oleh ethanol

80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 % dalam waktu

24 jam.

Bakteri M. tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan

tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi.

Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal

penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould

& Brooker, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara

yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri

patogen termasuk tuberkulosis.

Menurut Gould & Brooker (2003), bakteri M. tuberculosis memiliki

rentang suhu yang disukai. M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik

yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40⁰ C, tetapi akan tumbuh secara

optimal pada suhu 31-37 ⁰ C (Depkes RI, 1999; Gould & Brooker, 2003;

Gibson, 1996; Girsang, 1999; Lubis, 1999).

Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri M.

tuberculosis (Gibson, 1996; Tambajong, 2000; Atmosukarto, 2000).

Bakteri tuberkulosis ditularkan melalui droplet nuclei. Seorang penderita

tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).

Menurut penelitian Pusat Ekologi Kesehatan (1996), menunjukkan

tingkat penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup

Page 3: bab 2

3

tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3

orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman

ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi

ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa ”menangkap”

bakteri TB (Atmosukarto & Soeswati, 2000).

Klasifikasi (menurut Jawetz,2005) :

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Order : Actinomycetales

Suborder : Corynebacterineae

Family : Mycobacteriaceae

Genus : Mycobacterium

Species : Mycobacterium tuberculosis

Gambar 2.1. Mikrograf electron scan Mycobacterium tuberculosis

1.3. Cara Penularan TB Paru

Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan

kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan

sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Bakteri TB ditularkan dari

orang ke orang oleh transmisi droplet (partikel kecil cairan yang

dimuntahkan dari mulut pada waktu batuk, bersin, atau berbicara, yang

mungkin membawa infeksi untuk yang lain melalui udara). Droplet yang

besar (lebih besar dari 100 mikron) menetap, sementara droplet yang

kecil (1-5 mikron) tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang

Page 4: bab 2

4

rentan. Risiko untuk tertular TB juga tergantung pada banyaknya

organisme yang terdapat di udara.(Smeltzer, Suzanne C & Bare, 2001).

1.4. Perjalanan penyakit TB Paru

a. Infeksi Primer (PDPI, 2006)

Bakteri TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan

paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut

sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini selanjutnya akan

terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangiitis lokal).

Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di

hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan

limfangiitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer

ini akan mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

(resolution ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain

sarang Ghon, garis fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara :

Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke sekitarnya. Salah satu

contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian

penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh

kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan

obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat

atelektasis. Bakteri TB akan menjalar sepanjang bronkus

yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan

menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis

tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan

maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran

ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan

virulensi bakteri. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh

Page 5: bab 2

5

secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas

yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan

cukup gawat seperti TB milier, Meningitis tuberculosa,

Typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat

menimbulkan TB pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,

ginjal, anak ginjal, genitalia, dan sebagainya.

Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :

Sembuh dengan meninggalkan squalae (misalnya

pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat

Ensefalomeningitis tuberkuloma) atau

Meninggal.

b. TB Pasca Primer

TB pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun

akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB pasca

primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau

efusi pleura.

1.5. Gejala-Gejala TB

Gejala-gejala yang menunjukkan penyakit TB Paru adalah:

a. Gejala Utama (Depkes RI, 2008)

Batuk terus menerus dan berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.

b. Gejala Tambahan (Amin, Zulkifli & Bahar, 2006) :

1) Dahak bercampur darah

2) Batuk darah

3) Sesak nafas dan nyeri dada

4) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa

kegiatan, dan demam meriang lebih dari satu bulan.

Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, oleh sebab itu orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan

Page 6: bab 2

6

(UPK) dengan gejala seperti di atas harus dianggap “suspect

tuberculosis” atau tersangka penderita TB dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.(Depkes RI , 2002)

1.6. Diagnosis TB Paru.(Depkes RI,2007,2002)

Pada orang dewasa:

a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).

b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB Nasional, penemuan

BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis

utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan

dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan

indikasinya.

c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan

foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas

pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

d. Gambaran kelainan radiologis paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit.

Bagan 2.1. Alur diagnosis TB Paru (Depkes RI,2008)

Page 7: bab 2

7

Pemeriksaan tambahan : (Zevitz, M, 2006)

a. Radiologi

Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis

pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya foto toraks

yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan

pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demikian foto toraks

saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran

milier.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai

berikut:

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan / tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental / lobar

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Atelektasis

Kavitas

Efusi pleura

Tuberkuloma

Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi

harus disertai dengan foto lateral , mengingat bahwa pembesaran KGB di

daerah hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. Jika dijumpai

ketidaksesuaian antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran

klinis ringan, maka harus dicurigai TB.

b.Mikrobiologi

Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan bakteri TB pada

pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan

terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung

untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan bakteri M.tuberculosis.

Pemeriksaan tersebut sulit dilakukan pada anak karena sulitnya

Page 8: bab 2

8

mendapatkan spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan

pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal

2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian

besar negatif, sedangkan hasil biakan M.tuberculosis memerlukan waktu

yang lama yaitu sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan

yang hasilnya diperoleh lebih cepat ( 1-3 minggu ), yaitu pemeriksaan

Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi  lebih rumit. Selain itu

dapat juga digunakan pemeriksaan PCR yang merupakan teknik

amplifikasi urutan DNA yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini,

kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi

meskipun hanya ada satu bakteri M.tuberculosis pada bahan pemeriksaan,

sehingga diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.

c. Patologi anatomi

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang

ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi

oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau

area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya

ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia langhans). Diagnosis

histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa),

sel epiteloid, limfosit dan sel datia Langhans. Kadang-kadang dapat

ditemukan juga BTA.

d. Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya tidak

sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberculosis mulai (aktif) akan

didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis

pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap

darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit

mulai normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai

turun ke arah normal lagi.

Page 9: bab 2

9

Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : anemia ringan dengan

gambaran normokrom dan normositer, gama globulin meningkat, kadar

natrium darah menurun.

Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga

dipakai yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa

peneliti mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifitasnya yang cukup

tinggi (85-95%). Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya

antibody IgG yang spesifik tehadap antigen M. tuberculosis. Sesbagai

antigen dipakai polimer sitoplasma M.tuberculin var bovis BCG yang

dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan secara ultrasentrifus. Hasil

uji PAP-TB dinyatakan patologis bila pada titer 1:10.000 didapatkan hasil

uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang masih didapatkan

pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan revaksinasi BCG.

e.Sputum

Pemeriksaan sputum adalah  sangat penting karena dengan

ditemukannya bakteri BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat

dipastikan. Di samping itu juga dapat memberikan evaluasi terhadap

pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah,

namun kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama

pasien yang tidak batuk atau batuk yang tidak produktif. Dalam hal ini

dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan

minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflek batuk.

Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik

ekspektoran atau inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.

BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini

sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan

dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya

ditemukan 3 batang bakteri BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain

diperlukan 5.000 bakteri dalam 1 mL sputum. Untuk pewarnaan sediaan

Page 10: bab 2

10

dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi

gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.

Kadang-kadang dari  hasil pemeriksaan mikroskopis biasa juga

terdapat bakteri BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini

terjadi pada fenomen dead bacilli atau culturable bacilli yang disebabkan

keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat

mematikan bakteri BTA dalam waktu pendek.

Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan

biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan

bronkus, jaringan paru, pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan

serebrospinal, urin, dan spinal.

Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama

dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis,

uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto toraks.

1.7. Klasifikasi Penyakit (PDPI,2006)

1. TB paru, merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu

sekitar 80% dari semua penderita TB. TB yang menyerang jaringan paru

ini merupakan satu-satunya bentuk TB yang dapat menular.

2. TB ekstra paru merupakan TB yang menyerang organ tubuh, selain

paru. Organ tersebut biasanya adalah pleura, selaput otak, selaput jantung,

kelenjar limfe, tulang belakang, perut, persendian, kulit, usus, ginjal,

saluran kencing, organ reproduksi dan lain-lain.

1.8. Tipe penderita (Depkes RI, 2002)

Tipe penderita berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi

menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru

Page 11: bab 2

11

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti

Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4

minggu).

b. Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali

dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB

lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil

pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Gambar.2.2. Proporsi pasien TB Per Tipe (Depkes RI,2010)

1.9. Pengobatan TB (Depkes RI, 2007)

Page 12: bab 2

12

a. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan,dan

mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap OAT.

b. Jenis, sifat dan dosis OAT

Obat yang dipakai :

1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

· Rifampisin

· INH

· Pirazinamid

· Streptomisin

· Etambutol

2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

· Kanamisin

· Amikasin

· Kuinolon

· Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amoksilin + asam

klavulanat

· Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

o Kapreomisin

o Sikloserino PAS (dulu tersedia)

o Derivat rifampisin dan INH

o Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Sifat-sifat OAT :

1. Isoniazid (H)

Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah

4-6 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 8-12 mg/kg.

2. Rifampicin (R)

Page 13: bab 2

13

Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah

8-12 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 8-12

mg/kg.

3. Pyrazinamide (Z)

Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian yang direkomendasikan adalah

20-30 mg/kg. Dosis tiga kali seminggu yang direkomendasikan adalah

30-40 mg/kg.

4. Steptomycin (S)

Mempunyai sifat bakterisid. Dosis harian adalah 12-18 mg/kg, sedangkan

dosis tifa kali seminggu adalah 12-18 mg/kg.

5. Ethambutol (E)

Mempunyai sifat bakteriostatik. Dosis harian yang direkomendasikan

adalah 15-20 mg/kg, sedangkan dosis untuk tiga kali seminggu adalah 20-

35 mg/kg.

c. Prinsip Pengobatan

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,

dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi

Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment

Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapatkan obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Pasien menular biasanya menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu, bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat.

Pasien TB BTA positif, sebagian besar menjadi BTA negatif (konversi)

dalam 2 bulan.

Page 14: bab 2

14

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh bakteri persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

TB di Indonesia:

1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

Pasien baru TB paru BTA positif

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

Pasien TB ekstra paru

2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

Pasien kambuh

Pasien gagal

Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

3) OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif

kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR.

1.10. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu menjadi

acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat. Adapun

upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah :

a. Penderita tidak menularkan kepada orang lain ;

1. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau

tissu.

Page 15: bab 2

15

2. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama

pengobatan.

3. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi

lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.

4. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.

5. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih

dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat

mati.

b. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru ;

1. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan

yang bergizi

2. Tidur dan istirahat yang cukup

3. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung

alkohol.

4. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang

tidur dan ruangan lainnya.

5. Imunisasi BCG pada bayi.

6. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.

7. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis

Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh

yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular. (Depkes

RI, 2001)

1.11. Epidemiologi Tuberkulosis Paru

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang

mempelajari interaksi antara kuman (agent) M. tuberculosis, manusia

(host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup distribusi

dari penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya

juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul

dari populasi yang tertular. Pada penyakit tuberkulosis paru sumber

infeksi adalah manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran

Page 16: bab 2

16

pernafasan. Kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan

banyak kemungkinan penularan melalui droplet.

Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko memperoleh

infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi,

sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh

basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber bakteri

penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA

positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk,

tingkat kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan

dan perawatan kesehatan yang tidak memadai Berkembangnya penyakit

secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adannya faktor komponen

genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal

ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status

immunologik serta penyakit yang menyertainya.

Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus yang

terjadi pada penyakit ini, yaitu;

a. Penyebaran atau penularan dari kuman tuberkulosis

b. Perkembangan dari bakteri tuberkulosis paru yang mampu

menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan

bakteri Tuberkulosis.

c. Perkembangan lanjut dari bakteri tuberkulosis sampai penderita

sembuh atau meninggal karena penyakit ini. (Styblo K,1996).

1.12. Faktor Risiko Tuberkulosis Paru

Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan timbulnya

kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko penyakit

tuberkulosis paru saling berkaitan satu sama lainnya. Berbagai faktor

risiko dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu;

kependudukan dan faktor lingkungan.

Page 17: bab 2

17

a. Faktor Risiko Karakteristik Penduduk/prajurit

Kejadian penyakit tuberkulosis paru merupakan hasil interaksi antara

komponen lingkungan yakni udara yang mengandung basil tuberkulosis,

dengan masyarakat serta dipengaruhi berbagai faktor variabel yang

mempengaruhinya. Variabel pada masyarakat secara umum dikenal

sebagai variabel kependudukan. Banyak variabel kependudukan yang

memiliki peran dalam timbulnya atau kejadian penyakit tuberkulosis

paru, yaitu:

1) Jenis Kelamin

Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas

penderita tuberkulosis paru adalah wanita, hal ini masih memerlukan

penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural,

tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler.

Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor

risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah

sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen.

2) Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru,

risiko untuk mendapatkan penyakit tuberkulosis paru dapat dikatakan

seperti kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun

karena diatas 2 tahun hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap

tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan

menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.

Namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita tuberkulosis paru adalah

usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun. (Depkes,2002). Kekuatan untuk

melawan infeksi adalah tergantung pertahanan tubuh dan ini sangat

dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal kelahiran pertahanan tubuh

sangat lemah dan akan meningkat secara perlahan sampai umur 10 tahun,

setelah masa pubertas pertahanan tubuh lebih baik dalam mencegah

penyebaran infeksi melalui darah, tetapi lemah dalam mencegah

Page 18: bab 2

18

penyebaran infeksi di paru. Tingkat umur penderita dapat mempengaruhi

kerja efek obat, karena metabolisme obat dan fungsi organ tubuh kurang

efisien pada bayi yang sangat mudah dan pada orang tua, sehingga dapat

menimbulkan efek yang lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok

umur ini (Crofton, 2002).

3) Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam

timbulnya kejadian tuberkulosis paru, tentu saja hal ini masih tergantung

variabel lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman tuberkulosis pada

paru. Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka

tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun

dan menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis

paru. Oleh karena itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi

yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa.

Status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru, kekurangan kalori dan protein

serta kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena tuberkulosis

paru, cara pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan

dan tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat

yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya

yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka

mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat

mencapai usia harapan hidup lebih panjang. Penggunaan IMT hanya

berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT tidak dapat

diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olah ragawan,

disamping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus

(penyakit) lainnya seperti edema, asites dan hepatomegali. Adapun rumus

perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

IMT = Berat Badan (kg)

Page 19: bab 2

19

Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)

Atau Berat badan (dalam kilogram) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam

meter).

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan

FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan

perempuan. Batas ambang normal laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk

perempuan adalah 18,7-23,8. Untuk batas ambang IMT orang Indonesia

adalah < 17-18,4 (kurus), 18,5-25,0 (normal), 25,0-27,0 (gemuk).23

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut;

Kategori IMT

Kurus Kekurangan Berat Badan tingkat berat

< 17,0

Kekurangan Berat Badan tingkat ringan

17,0 –

18,0

Normal

>18,5 –

25,0

Gemuk Kelebihan Berat Badan tingkat ringan

> 25,0

– 27,0

Kelebihan Berat Badan tingkat berat

> 27,0

Tabel 2.1. Kategori Ambang batas IMT untuk Indonesia.(Supariasa, Bakri,& Fajar, 2001)

4) Kondisi Sosial Ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di

dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.

Hubungan antara kemiskinan dengan penyakit tubekulosis bersifat timbal

balik, tuberkulosis merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin

Page 20: bab 2

20

maka manusia menderita tuberkulosis. Kondisi sosial ekonomi , mungkin

tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan

penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta

perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan

juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan rata-rata penderita

tuberkulosis kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun, dan

juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari

pendapatan rumah tangga. Tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan sangat

mempengaruhi terjadinya kasus tuberkulosis paru atau keberhasilan

pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari jenis, keadaan

rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta

kepemilikan. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering

mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik,

sehingga penyakit tuberkulosis paru menjadi ancaman bagi mereka.

Penyebab terbesar menurunya kasus tuberkulosis paru adalah

meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat

sosial ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada

ventilasi, pencahayaan, kepadatan rumah dan pemenuhan gizi (Lubis, P.

1996).

5) Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan

risiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner,

bronchitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok

meningkatkan risiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Menurut

Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki

tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data

dari WHO tahun 2002 Indonesia menduduki urutan ke 5 terbanyak dalam

konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 2,5 miliar

batang rokok. Angka kekerapan merokok di Indonesia yaitu 60%-70%

pada laki-laki di perkotaan dan 80% - 90%. Dari hasil Sussenas (Survei

Page 21: bab 2

21

Sosial Ekonomi Nasional) 2001 menyatakan bahwa 54% penduduk laki-

laki merupakan perokok dan hanya 1,2% perempuan yang merokok.

Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya

infeksi TB Paru. Kebiasan merokok akan merusak mekanisme pertahanan

paru yang disebut muccociliary clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain

di paru tidak mudah membuang infeksi yang sudah masuk karena bulu

getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok

meningkatkan tahanan jalan napas (airway resistence) dan menyebabkan

mudah bocornya pembuluh darah di paru-paru, juga akan merusak

makrofag yang merupakan sel yang dapat memfagosit bakteri pathogen.

(Priyadi,2003).

b.Faktor Risiko lingkungan Penduduk/Prajurit

1) Kondisi Lingkungan Rumah

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko

kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya

yang masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah

tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang padat pada tahun

2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan (2001) dalam

Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita

tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan

hunian yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997)

dalam Desmon (2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah

8,3 m2.

Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan

dalam penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap

terhadap sinar matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam

Desmon (2006), rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai

risiko 3,7 kali untuk menularkan tuberkulosis dibandingkan dengan

rumah yang tidak dimasuki sinar matahari. Kelembapan udara

mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon (2006)

kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal

Page 22: bab 2

22

10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006),

rumah yang memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena

infeksi tuberculosis 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang

kelembapannya lebih kecil dari 60%.

Faktor risiko kejadian penyakit tuberkulosis paru, secara ringkas

digambarkan pada gambar berikut :

Bagan 2.2. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru.(Depkes RI,2008)

Page 23: bab 2

23

2. Kesehatan Matra

1.1. Pendahuluan

Secara umum Kesehatan Matra merupakan salah satu upaya

kesehatan seperti yang tercantum dalam pasal 97 Undang undang Nomor

36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Upaya Kesehatan Matra juga

mencakup pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Kesehatan Matra merupakan kegiatan khusus yang diselenggarakan untuk

menghadapi kondisi dari seluruh aspek matra yang berpengaruh terhadap

kelangsungan hidup manusia dalam lingkungannya.

Menurut Pedoman Kesehatan Matra Depkes yang

ditetapkan melalui Kepmenkes 1215/Menkes/SK/XI/2001 Ruang

Lingkup Kesehatan Matra dibagi menjadi :

1. Kesehatan Matra Lapangan ( Darat )

Upaya Kesehatan Haji

Upaya Kesehatan Transmigrasi

Upaya Kesehatan Penanggulangan Korban Akibat Bencana

Upaya Kesehatan di bumi perkemahan

Upaya Kesehatan Akibat Gangguan Kamtibmas

Upaya Kesehatan Lintas Alam

Upaya Kesehatan Bawah Tanah

Upaya Kesehatan Wisata dll

2. Kesehatan Matra Kelautan dan Bawah Air ( Laut )

Upaya Kesehatan Penyelaman dan Hyperbarik

Upaya Kesehatan Pelayaran dan Lepas Pantai, yang

merupakan domain dari Kesehatan TNI AL

3. Kesehatan Matra Dirgantara ( Udara )

Upaya Kesehatan Penerbangan, yang merupakan domain dari

Kesehatan TNI AU.

1.2. Definisi (Dirkes Angkatan Darat, 2004)

Page 24: bab 2

24

a. Matra adalah dimensi / lingkungan / wahana / media tempat

seseorang atau sekelompok orang melangsungkan hidup serta

melaksanakan kegiatan.

b. Kondisi Matra adalah keadaan dari seluruh aspek pada matra

yang serba berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan

pelaksanaan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut.

c. Kesehatan Matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri

terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik di lingkungan

darat, laut dan udara.

Kesehatan Matra Darat adalah kesehatan matra yang berhubungan

dengan pekerjaan / kegiatan di daratan yang spesifik, bersifat temporer

dan serba berubah serta mempunyai dampak terhadap kondisi fisik,

mental dan kemampuan melaksanakan kegiatan individu yang

bersangkutan.

d. Ilmu Kesehatan Militer adalah ilmu kesehatan yang meliputi

kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diterapkan

dalam lingkup tugas dan pekerjaan kemiliteran di darat.

e. Kesehatan Militer Matra Darat meliputi :

1) Ilmu Kesehatan Matra Darat adalah ilmu kesehatan yang

berhubungan dengan pekerjaan / kegiatan prajurit di matra darat yang

spesifik, bersifat temporer dan serba berubah serta mempunyai dampak

terhadap kondisi fisik, mental dan kemampuan prajurit tersebut dalam

melaksanakan tugas pokoknya.

2) Ilmu Kesehatan Kerja Militer adalah ilmu kesehatan yang

berhubungan dengan pencegahan dan penanganan penyakit yang

disebabkan oleh pekerjaan / kegiatan prajurit dalam melaksanakan tugas

kemiliteran di darat.

2.3. Ilmu Kesehatan Matra Darat (Direktorat Kesehatan Angkatan

Darat, 2004) :

a. Aspek Suhu

Page 25: bab 2

25

1) Kesehatan pada lingkungan panas.

a) Adaptasi pada lingkungan panas.

b) Pencegahan penyakit akibat lingkungan panas

c) Penanganan penyakit akibat lingkungan panas.

2) Kesehatan pada lingkungan dingin :

a) Adaptasi pada lingkungan dingin

b) Pencegahan penyakit akibat lingkungan dingin

c) Penanganan penyakit akibat lingkungan dingin.

b. Aspek Medan :

1) Kesehatan pada daerah tinggi

a) Adaptasi pada daerah tinggi

b) Pencegahan penyakit akibat daerah tinggi.

c) Penanganan penyakit akibat daerah tinggi.

2) Kesehatan pada daerah hutan, rawa, sungai dan pantai.

3) Ilmu Kesehatan Survival.

c. Kedokteran dan Kesehatan tempur ( War Medicine )

1) Bedah Tempur ( War Surgery )

2) Traumatologi Tempur ( Combat Trumatology ).

3) Psikiatri Tempur ( War Psychiatry )

4) Kesehatan Preventif Tempur (Combat Preventive Medicine).

5) Higiene dan sanitasi Lingkungan

6) Higiene Prajurit Perorangan

7) Kesehatan Gigi dan Mulut

8) Vaccinasi / immuninasi

9) Gizi prajurit

d. Intelijen Medis ( Medical Intelligence ).

1) Analisa Medan

2) Perencanaan Dukkes, rantai evakuasi

Page 26: bab 2

26

e. Nuklir, Biologi dan Kimia

f. Ilmu Kesehatan Bencana ( Disaster Medicine ).

 

2.4. Ilmu Kesehatan Kerja Militer (Direktorat Kesehatan Angkatan

Darat, 2004)

Merupakan integrasi antara ilmu kesehatan / kedokteran

dengan berbagai ilmu lain seperti teknologi, kimia, fisika, biologi,

anthropologi dll yang bertujuan agar prajurit memperoleh derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya dengan usaha preventif dan kuratif

sehingga terhindar dari penyakit / gangguan kesehatan yang disebabkan

oleh faktor lingkungan kerja militer yang spesifik. Yang termasuk dalam

kesehatan kerja militer adalah :

a. Postur Prajurit

Untuk menjadi prajurit yang ideal harus dipenuhi kriteria postur

tubuh yang mampu mengemban tugas-tugas kemiliteran. Disamping itu

seorang prajurit harus mampu membawa dan menggunakan alat peralatan

militer dengan dampak negatif terhadap tubuh prajurit seminimal

mungkin.

b. Faktor-faktor penyebab gangguan kesehatan :

1) Fisik : suara, radiasi, cahaya, suhu, tekanan dll

2) Kimia : debu, asap, gas, larutan dll

3) Infeksi : mikroorganisme dll

4) Fisiologis : konstruksi alat peralatan, sikap tubuh, cara

melaksanakan kegiatan dll

5) Mental Psikologis : lingkungan kerja, hubungan kerja, faktor

keluarga dll

c. Ergonomi adalah penerapan ilmu biologi tentang manusia dan

ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama

lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya. Merupakan

Page 27: bab 2

27

aplikasi dari ilmu biologi manusia dengan ilmu teknik agar tercapai

kesesuaian optimal antara manusia dan pekerjaannya sehingga diperoleh

keuntungan berupa efisiensi dan kenyamanan dalam pekerjaannya.

Ergonomi berperan dlm berbagai aktivitas prajurit :

a. Beban kerja prajurit : ransel beserta isinya, senjata yang

dibawa, perlengkapan perorangan lainnya yang dibawa saat

melaksanakan kegiatannya.

b. Perlengkapan prajurit : pakaian, helm, sepatu dll

c. Alat peralatan prajurit : senjata, alat mekanik, alat optik, alat

komunikasi dll

d. Alat peralatan khusus : ranpur, rudal, radar dll

e. Alat peralatan markas : perlengkapan kantor dll

d. Ergometri merupakan Ilmu untuk mengukur kerja : pemakaian

tenaga oleh prajurit pada kegiatan tertentu, daya kerja fisik maksimum

dari prajurit.

e. Evaluasi tidak langsung dari kapasitas aerobik : Untuk

menguji kapasitas kerja fisik

f. Latihan militer : Mencakup beberapa aspek :

1) Manajemen latihan dari aspek kesehatan.

2) Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan latihan.

3) Kesehatan pada Han Mars.

g. Kesehatan / kedokteran Olah Raga (Military Sport Medicine).

Kegiatan prajurit identik dengan kegiatan atlit karena dalam

kegiatan tersebut selalu dituntut memiliki kekuatan, kecepatan dan

koordinasi serta keseimbangan dalam setiap gerakan. Dengan aktivitas

sehari-harinya, prajurit seharusnya juga mempunyai kemampuan seperti

atlit sehingga ada tuntutan bahwa prajurit lebih memungkinkan menjadi

atlit yang berprestasi dibandingkan dengan bidang profesi lainnya.

Namun kenyataan yang ada hanya sedikit prajurit yang berprestasi

Page 28: bab 2

28

sebagai atlit. Ini menggambarkan bahwa belum ada sinkronisasi antara

aktivitas prajurit dengan pemberdayaan prajurit sebagai sumber atlit.

h. Gizi prajurit di lapangan. Mencakup perencaan dan kegiatan :

1) Kebutuhan Gizi Prajurit.

2) Gizi prajurit dalam latihan.

3) Gizi prajurit dalam pertempuran.

i. Kesehatan Jiwa Militer. Dalam penugasannya prajurit akan

mengalami suatu situasi dan kondisi yang penuh dengan resiko kematian,

cacat dan hilang dalam pertempuran sehingga aspek Kesehatan Jiwa

sangat mutlak harus diperhatikan.

j. Higiene dan sanitasi lingkungan kerja prajurit. Meliputi aspek:

1). Higiene dan sanitasi markas / ksatrian

2). Higiene dan sanitasi daerah latihan

3). Higiene dan sanitasi lingkungan khusus.

k. Higiene perorangan prajurit

Higiene perorangan dan kesehatan prajurit adalah segala

upaya, pekerjaan dan kegiatan untuk mendapatkan derajat kesehatan yang

optimal melalui tindakan kebersihan dan peningkatan kesehatan pada

individu/perorangan.

Higiene perorangan prajurit meliputi :

1. Kebersihan Kulit

Lipatan kulit dibersihkan minimal 2 hari sekali dengan sabun.

2. Kebersihan Rambut

Menggunakan shampo minimal 1 minggu sekali. Tidak memakai pisau

cukur / sisir secara bergantian dengan orang lain.

3. Kebersihan Tangan

Page 29: bab 2

29

Kuku selalu pendek dan bersih. Mencuci tangan setelah buang air besar

serta sebelum makan dengan sabun.

4. Kebersihan Gigi dan Mulut

Menggosok gigi minimal 2 kali sehari dengan menggunakan sikat gigi

yang cocok dan pasta gigi yang cocok dan pasta gigi yang berflouride.

5. Kebersihan Pakaian dan Alat Tidur

Pakaian luar dicuci segera setelah kotor. Pakaian dalam diganti sekali

sehari. Peralatan tidur (sprei, sarung bantal) dicuci minimal seminggu

sekali, kasur/bantal dijemur seminggu sekali.

6. Kebersihan Kaki

Kaki harus dicuci setiap hari lalu dikeringkan. Perhatikan sela-sela jari

kaki,. Pakailah bedak khusus anti septik tipis-tipis. Usahakan mengganti

dan mencuci kaos setiap hari.

Higiene MARS (gerak jalan), yang mencakup :

1) Periksa kaki, sepatu dan kaos kaki.

a) Kaki harus benar-benar kering, terutama sela-sela jari kaki

(kalau perlu menggunakan bedak kaki)

b) Kaos kaki harus bersih, kering dan tidak berlobang/sobek.

Sebelum memakai kaos kaki

c) Jangan menggunakan tali pengikat/karet yang terlalu kencang

untuk merapikan/melipat ujung bawah celana.

2) Minum cukup air.

a) Sebelum berangkat minum air secukupnya, dalam perjalanan

minum 0,5 – 1 iter per jam

b) Pada waktu mars sepanjang 15 mil tubuh dapat kehilangan

cairan 7 ½ liter, oleh karena itu selama perjalanan dianjurkan minum air

dingin (bukan air es) secukupnya.

c) Tambahkan garam kedalam air minum dengan konsentrasi

0,1 % (2 tablet garam dalam satu veldfles).

Page 30: bab 2

30

3) Istirahat cukup.

a) Setiap berjalan 1 jam sebaiknya diberikan waktu istirahat 10

menit.

b) Bila Mars selama 1 minggu berturut-turut, tidak boleh

melebihi 90 mil (15 mil sehari) dan pada hari ke 7 diberi istirahat sehari

penuh.

4) Waktu yang baik.

a) Waktu berangkat Mars sebaiknya pukul 6 pagi. Pada waktu malam

hari dipergunakan untuk istirahat (pemulihan tenaga)

b) Apabila hari tidak panas Mars dapat dilaksanakan 6 jam

terus menerus dengan tetap diberikan waktu istirahat.

Akibat Mars yang perlu diperhatikan adalah :

1. Kaki lecet

2. Kehilangan cairan dan garam tubuh (keseimbangan cairan

dan elektrolit tubuh terganggu)

3. Kejang panas (heat cramp)

4. Kelelahan panas (heat exhaustion)

5. Sengatan panas (heat stroke)

Perlindungan Terhadap Cuaca

1. Cuaca Dingin dan Hujan. Usahkan memakai jas hujan / jaket.

Bila pakaian basah, selekas mungkin ganti pakaian dan keringkan badan

pada kesempatan pertama.

2. Cuaca Panas ( Mars dan Lintas Medan ). Persediaan minum

harus cukup dengan pakaian cukup longgar dan menghisap keringat.

Gangguan kesehatan akibat cuaca, adalah :

1. Kedinginan

2. Kaki imersi (kaki mengeriput/pucat akibat terendam, basah

terus menerus)

Page 31: bab 2

31

3. Sengatan panas

4. Kebakaran kulit akibat sengatan panas.

Perlindungan terhadap resiko kerja

1. Di Kesatuan Artileri. Harus selalu menggunakan sumbat

telinga(earplug / earmuff) pada waktu menembakkan meriam dan

sebagainya.

2. Di Daerah Operasi Bersuhu Dingin / Bersalju. Harus makan

cukup kalori dan protein untuk melawan hawa dingin, menjaga stamina

dan daya tahan tubuh. Harus memakai pakaian dan alat pelindung khusus

yang sudah di tentukan.

3. Di Daerah Operasi berdebu / berpasir. Lindungi pernapasan

dengan penutup hidung dan mulut (bila tidak ada alat gunakan sapu

tangan atau kasa pembalut yang dibasahi dengan air).

4. Daerah Operasi Terkontaminasi Bahan Radio Aktif. Taati

peraturan dan larangan yang ada (menggunakan pelindung, tindakan

dekontaminasi).

Jaga Kondisi kesehatan

1. Istirahat

Kebutuhan istirahat / tidur ideal adalah 8 jam. Jika karena tugas terus

menerus sehingga mengurangi waktu istirahat sebaiknya diganti dengan

waktu yang memungkinkan, sehingga kesegaran jasmani pulih kembali.

Seorang prajurit sebenarnya mampu bertugas dengan baik secara terus

menerus selama 1 x 24 jam.

2. Makan Teratur dan Cukup Gizi.

a. Sarapan pagi 1 jam sebelum aktifitas ( jam 04.00 – 06.00 )

b. Makan siang pada jam yang biasa ( jam 12.00 – 15.00 )

c. Makan malam sebelum istirahat malam (jam 18.00 – 19.00)

3. Olah Raga Cukup. Dilaksanakan pada waktu yang ditentukan

dengan program latihan yang teratur.

Page 32: bab 2

32

l. 1. Kesamaptaan Jasmani (Direktorat Pembinaan Jasmani Angkatan

Darat, 2002)

a. Kemampuan fisik adalah suatu kondisi dan kesanggupan

tubuh dalam memberikan penampilan dan pengaturan sistem gerak dalam

mengatasi dan menyelesaikan pekerjaan fisik.

b. Komponen fisik, terdiri dari :

1) Postur tubuh, menunjukan bentuk dan sikap

penampilan tubuh.

2) Kesegaran jasmani atau kesemaptaan jasmani dasar,

menunjukan kekuatan, daya tahan dan kelincahan tubuh dalam

menyelesaikan tugas dan pekerjaan fisik secara umum yang berat dalam

waktu relatif panjang.

3) Ketangkasan jasmani, merupakan keterampilan dan

ketrengginasan dalam melakukan gerakan umum dan khusus baik yang

sulit maupun yang berat dengan cepat dan tepat.

c. Tingkat kesamaptaan jasmani, ketiga komponen fisik

diatas sangat diperlukan oleh setiap prajurit, dan keterpaduan ketiga

kommponen itulah yang disebut kesamaptaan jasmani dan selanjutnya

mempunyai tingkat sebagai berikut:

1) Gerak dan olah raga, untuk membiasakan gerak alami dalam

tubuh

2) Kesegaran jasmani, untuk menghadapi tugas dan kewajiban

secara umum.

3) Kesiapan dan kemantapan jasmani, untuk menghadapi segala

bentuk ancaman fisik.

2. Unsur-unsur setiap komponen secara umum

a. Komponen postur tubuh, unsurnya adalah :

1) Tinggi dan berat badan, menggambarkan bentuk

tubuh

Page 33: bab 2

33

2) Sikap dalam penampilan

3) Struktur anatomis

b. Komponen kesegaran jasmani, unsurnya adalah :

1) Tenaga ( Power )

2) Kekuatan ( Strength )

3) Daya tahan ( Endurance )

4) Kecepatan ( Speed )

5) Ketepatan ( Accuracy )

6) Kelincahan (Agility )

7) Koordinasi ( coordinnation )

8) Keseimbangan ( Balance )

9) Kelentukan ( Flexibility )

c. Komponen ketangkasan jasmani, unsurnya adalah :

1) Kemampuan gerak secara umum ( Motor Capacity )

2) Gerakan dasar yang dimiliki ( Motor Ability )

3) Daya menyesuaikan gerak ( Motor Educability )

4) Keterampilan gerak ( Motor Skill )

3. Sumber kesamaptaan jasmani, bersumber pada

manusia baik fisik maupun psikis yaitu ada pada semua organ tubuh dan

unsur kejiwaan.

a. Secara fisik dengan sumber utama ada pada otak, otot,

jantung, paru-paru, darah, tulang dengan susunan kerangka dan

persendiannya, sedangkan sumber lainnya pada organ vital tubuh seperti

hati, ginjal, mata dan lainnya.

b. Secara psikis ada pada unsur jiwa seperti intelegensi, emosi

dan kepribadian.

4. Sifat kesamaptaan jasmani

Sifat kesamaptaan jasmani sama dengan sifat dari organ

sebagai sumbernya dan bila disimmpulkan secara umumm adalah sebagai

berikut :

Page 34: bab 2

34

a. Dapat dilatih untuk ditingkatkan.

b. Meningkat dan menurun dalam periode waktu tertentu,

tidak dengan tiba-tiba ( mendadak ).

c. Tidak menetap sepanjang masa dan selalu mengikuti

perkembangan usia manusia.

d. Pengembangan dengan cara praktek menggerakan tubuh

dalam aktifitas jasmani.

5. Faktor yang mempengaruhi tingkat kesamaptaan jasmani

Tinggi rendahnya, cepat lambatnya, berkembang dan

meningkatnya kesamaptaan jasmani dipengaruhi oleh banyak faktor, baik

dari dalam maupun dari luar tubuh sebagai berikut:

1. Faktor dalam (Endogen) yang ada pada manusia sendiri adalah :

1) Jenis kelamin

2) Usia

3) Ras / keturunan

4) Keadaan dan sifat biologis

5) Keadaan dan sifat psikologis

6) Keadaan kesehatan

7) Bakat dan minat

2. Faktor luar (Eksogen) antara lain :

1) Makanan

2) Lingkungan alam

3) Lingkungan sosial dan budaya

4) Tugas dan pekerjaan

5) Pembina / pelatih

6) Dan lain-lain

6. Manfaat kesamaptaan jasmani

Dengan memiliki kesamaptaan jasmani yang baik sangat berguna dalam

kehidupan misalnya :

Page 35: bab 2

35

a. Dengan postur yang baik dapat memberikan penampilan yang

memancarkan adanya kewibawaan lahiriah serta gerak yang efisien.

b. Dengan kesegaran yang tinggi dapat tahan mengerjakan

pekerjaan-pekerjaan yang berat tanpa mengalami kelelahan yang berarti

atau cidera, sehingga banyak hasil yang dicapai dalam pekerjaannya.

c. Dengan ketangkasan yang tinggi banyak rintangan yang

dapat diatasi sehingga semua dapat berjalan dengan cepat dan tepat untuk

mencapai tugas pokok.

d. Kesamaptaan jasmani dapat memberikan dampak positif

pada aspek psikis dan sosial yaitu :

1) Kepercayaan diri yang kuat.

2) Menimbulkan kepuasan dan kenikmatan dalam menjalani

usia.

3) Komunikasi sosial yang serasi.

4) Meningkatkan derajat kesehatan.

5) Meningkatkan kesejahteraan dan moril.

6) Meningkatkan kewibawaan.

7. Pokok-pokok pelaksanaan pembinaan

a. Prinsip-prinsip Pembinaan jasmani. Dalam membina

kesamaptaan jasmani haruslah bertolak pada 3 prinsip pokok dengan

landasan-landasannya sebagai berikut :

1) Dengan landasan falsafah bahwa manusia

merupakan suatu totalitas perpaduan jiwa dan jasmani, sehingga satu

sama lainnya tak dapat dipisah-pisahkan. Atas dasar ini ditemukan prinsip

“ meningkatnya kemampuan jasmani sekaligus dapat meningkatkan

mental/psikologis “

2) Dengan landasan azas-azas kemanusiaan. Dari

landasan ini ditemukan prinsip : “ Dalam meningkatkan kemampuan

biologis tidak perlu adanya pengorbanan mental/psikis, demikian

sebaliknya dalam meningkatkan kemampuan mental/psikis tidak perlu

mengakibatkan pengorbanan biologis “.

Page 36: bab 2

36

3) Dengan landasan ilmu pengetahuan : Bahwa dalam

meningkatkan kesamaptaan jasmani selalu tunduk kepada hukum-hukum

biologis, psikologis dan sosial serta alam sekitar dan peraturan-peraturan

yang berlaku. Atas dasar pengetahuan dan prinsip-prinsip inilah

pembinaan jasmani disusun dalam sistem dan metoda untuk dilaksanakan

agar dapat dipertanggung jawabkan.

4) Sistematika latihan jasmani. Latihan jasmani dimulai

dari yang ringan bertahap menuju ke yang berat dengan sistematika

penyajian sebagai berikut :

a) Pemanasan 5 – 10 menit, dengan mengulangi gerakan dasar

dari tubuh.

b) Latihan inti dan kegiatan-kegiatan dalam program.

c) Penenangan. yaitu pengaturan kegiatan menuju

kepenenangan sampai penghentian latihan.

b. Pembiasaan latihan. Bahwa pembiasaan latihan dapat

menciptakan kemampuan. Dengan pembiasaan akan terjadi proses :

1) Adaptasi / aklimatisasi

2) Otomatisasi

3) Refleksi

8. Pertimbangan dalam Penentuan Norma Kesamaptaan Jasmani

a. Tugas.

b. Jabatan.

c. Umur.

d. Jenis Kelamin.

m. Epidemiologi militer.

Epidemiologi yang sering terjadi adalah penyakit di medan pertempuran

dan penyakit menular yang mewabah di lingkungan prajurit.

Page 37: bab 2

37

n. Rehabilitasi medik (RSPAD,2008)

Adalah pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsional yang

diakibatkan oleh keadaan atau kondisi sakit, penyakit atau cedera tempur

prajurit melalui panduan intervensi medik, keterapian fisik dan atau

rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal.

Pelayanan Rehabilitasi Medik meliputi:

Pelayananan Fisioterapi

Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara

dan memulihkan gerak dan fungsi organ tubuh dengan penanganan secara

manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektro terapiutik dan

mekanis), pelatihan.

Pelayanan Okupasi Terapi

Adalah Pelayanan kesehatan untuk mengembangkan, memelihara,

memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk

aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living), produktivitas, dan waktu

luang melalui remediasi dan fasilitasi.

Pelayanan Terapi Wicara

Adalah bentuk pelayanan kesehatan untuk memulihkan dan

mengupayakan kompensasi/adaptasi fungsi komunikasi, bicara dan

menelan dengan melalui pelatihan remediasi, stimulasi dan fasilitasi

(fisik, elektroterapiutis dan mekanis)

Pelayanan Ortotis-Prostetis:

Adalah salah satu bentuk pelayanan keteknisian medik yang ditujukan

kepada individu untuk merancang, membuat dan mengepas alat bantu

guna pemeliharaan dan pemulihan fungsi, atau pengganti anggota gerak.

Pelayanan Psikologi

Adalah bentuk pelayanan untuk pengembangan, pemeliharaan mental

emosianal serta pemecahan problem yang diakibatkan oleh

keadaan/kondisi sakit, penyakit dan cedera tempur.

Pelayanan Sosial Medik

Page 38: bab 2

38

Adalah bentuk pelayanan pemecahan masalah sosial akibat dari suatu

keadaan/kondisi sakit, penyakit atau cedera untuk bisa kembali ke

masyarakat atau tugas prajurit.

o. Forensik militer.

Kesehatan Matra Darat secara umum sudah dilaksanakan dan menjadi

bagian dari kegiatan rutin Depkes dan jajarannya. Bidang Kesehatan

Militer Matra Darat merupakan tanggung jawab Lakesmil. Dalam hal ini

karena bidang Kesehatan Militer Matra Darat sudah banyak tertinggal

baik dalam bidang penyiapan SDM maupun Alat peralatan maka

Lakesmil memilih prioritas mengembangkan bidang Kesehatan Kerja

Militer dan Kesehatan Jiwa Militer sehingga produk-produk nya secara

langsung dan tidak langsung dapat mendukung tugas prajurit dalam

kondisi damai (prajurit di home base), latihan maupun pertempuran.

Page 39: bab 2

39

B. Penelitian Terkait Sebelumnya

Penelitian dengan tema ini sudah pernah dilakukan sebelumnya, diantaranya

adalah yang dilakukan oleh Slamet Priyadi (2003), melakukan penelitian

mengenai analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis

paru BTA (+) di Wonosobo, yang diteliti adalah lingkungan rumah, status gizi,

minum-minuman alkohol, merokok, penyakit penyerta, kontak dengan penderita

tuberkulosis paru dan sosial ekonomi yang berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis paru BTA (+), dengan desain penelitian case control.

Penelitian lain dilakukan oleh Bambang Rusmanto (2010), yang menganalisis

Faktor kependudukan dan lingkungan terhadap kejadian TB paru di kabupaten

Pekalongan, dengan desain case control.

Yang membedakan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah

dilakukan adalah :

1. Di RS Salak Bogor belum pernah dilakukan penelitian mengenai TB Paru.

2. Subyek Penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu pada prajurit

militer.

3. Pada penelitian ini variabel-variabel independentnya lebih ditekankan pada

karakteristik prajurit (usia, pangkat, IMT, tempat tinggal, perilaku merokok,

dan keikutsertaan penyuluhan) dengan insidensi TB paru di RS Salak Bogor.

Page 40: bab 2

40

C. Kerangka Teori

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

= Garis hubungan yang tidak diteliti

= Garis hubungan yang diteliti

Karakteristik Penderita TB Paru Prajurit :

Karakteristik Penderita TB Paru Prajurit :

Insidensi Penderita TB

Penyakit TB Paru

Pada Prajurit

Klasifikasi karakteristik:

Usia Pekerjaan Pangkat Tempat

tinggal Keikusertaan

Penyuluhan IMT BTA +/- Perilaku

Merokok

Faktor Risiko :

Usia Jenis Kelamin Pekerjaan Sosial

Ekonomi Kontak dengan

penderita TB Pendidikan Merokok Status Gizi Kondisi rumah

Page 41: bab 2

41

Bagan 2.3. Kerangka Teori Penelitian

D.Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang

ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Bagan 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

A. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. H₁ : Ada hubungan antara karakteristik prajurit terhadap insidensi

penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode

Januari-Desember tahun 2010.

2. H2 : Ada hubungan antara usia prajurit terhadap insidensi penyakit

tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-

Desember tahun 2010.

3. H3 : Ada hubungan antara pangkat prajurit terhadap insidensi penyakit

tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-

Desember tahun 2010.

Karakteristik Penderita TB Paru Pada Prajurit :

Usia Pekerjaan Pangkat Tempat tinggal Keikusertaan

Penyuluhan IMT Perilaku Merokok

Insidensi Penyakit TB Pada Prajurit

TNI di RS Salak Bogor periode

Januari-

Page 42: bab 2

42

4. H4 : Ada hubungan antara tempat tinggal prajurit terhadap insidensi

penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode

Januari-Desember tahun 2010.

5. H5 : Ada hubungan antara keikutsertaan penyuluhan terhadap insidensi

penyakit tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode

Januari-Desember tahun 2010.

6. H6 : Ada hubungan antara Indeks Massa Tubuh terhadap insidensi penyakit

tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-

Desember tahun 2010.

7. H7 : Ada hubungan antara perilaku merokok terhadap insidensi penyakit

tuberkulosis pada prajurit TNI di RS Salak Bogor periode Januari-

Desember tahun 2010.