bab 1 pendidikan kwn

218
BAB I Pendahuluan A. Pengertian dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan. 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di seluruh dunia, meskipun dengan berbagai macam istilah atau nama. Mata kuliah sering disebut sebagai civic education, citizenship education, dan bahkan ada yang menyebut sebagai democracy education. Mata kuliah ini memiliki epran yang strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkeadaban. Berdasarkan rumusan “Civic International” (1995), disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk pertumbuhan civic culture, untuk keverhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi (Mansoer, 2005). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Serta surat keputusan Direkture Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Nomor 43/DIKTI/Kep/2006, tentang Rambu-rambu pelaksanaan Kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi terdiri atas mata kuliah Pendidikan agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian tersebur wajib diberikan di semua fakultas dan jurusan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Dengan adanya penyempurnaan kurikulum mata kuliah pengembangan kepribadian tersebut maka pendidikan kewarganegaraan memiliki paradigma baru, yaitu Pendidikan kewarganegaraan berbasis Pancasila. Kiranya akan menjadi sangat relevan jikalau pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dewasa ini sebagai sistesis antara “civic education”, “democracy education”, serta “citizenship education” yang berlandasan Filsafat Pancasila, serta mengandung muatan identitas nasional

Upload: farid

Post on 06-Apr-2016

170 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

aq

TRANSCRIPT

BAB IPendahuluan

A. Pengertian dan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.

1. Pengertian Pendidikan KewarganegaraanPendidikan kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di

seluruh dunia, meskipun dengan berbagai macam istilah atau nama. Mata kuliah sering disebut sebagai civic education, citizenship education, dan bahkan ada yang menyebut sebagai democracy education. Mata kuliah ini memiliki epran yang strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, dan berkeadaban. Berdasarkan rumusan “Civic International” (1995), disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk pertumbuhan civic culture, untuk keverhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi (Mansoer, 2005).

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Serta surat keputusan Direkture Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Nomor 43/DIKTI/Kep/2006, tentang Rambu-rambu pelaksanaan Kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi terdiri atas mata kuliah Pendidikan agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian tersebur wajib diberikan di semua fakultas dan jurusan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Dengan adanya penyempurnaan kurikulum mata kuliah pengembangan kepribadian tersebut maka pendidikan kewarganegaraan memiliki paradigma baru, yaitu Pendidikan kewarganegaraan berbasis Pancasila. Kiranya akan menjadi sangat relevan jikalau pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dewasa ini sebagai sistesis antara “civic education”, “democracy education”, serta “citizenship education” yang berlandasan Filsafat Pancasila, serta mengandung muatan identitas nasional Indonesia, serta makna pendidikan pendahuluan bela negara (Mansoer, 2005). Hal ini berdasarkan kenyataan di seluruh negara di dunia, bahwa kesadaran demokrasi serta implementasinya harus senantiasa dikembangkan dengan basis dilsafat bangsa, indentitas nasional, kenyataan dan penglaman sejarah bangsa tersebut, serta dasar-dasar kemanusiaan dan keadaban. Oleh karena itu dengan pendidikan kewarganegaraan diharapkan intelektual indonesia memiliki dasar kepribadian sebagai warga negara yang demokratis, religius, berkeprimanusiaan dan berkeadaban.

2. Tujuan Pendidikan KewarganegaraanBerdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No.43/DIKTI/Kep-/2006, tujuan

pendidikan Kewarganegaraan adalah dirumuskan dalam visi,misi, dan kompetensi sebagai berikut.

Visi, Pendidikan Kewarganegaran di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa mantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang di hadapi, bahwa

mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi inteletual, religius, berkeadaban, berkprimanusiaan, dan cinta tanah air dan bangsanya.

Misi, pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar scara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah iar dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.

Oleh karena itu kompetensi yang diharapkan mahasiswa adalah untuk menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis, berkeadaban. Selain itu kompetensi yang diharapkan agar mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpatisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.

Berdasarkan pengertian tersebut maka kompetensi mahasiswa dalam pendidikan tinggi tisak dapat dipisahkan dengan filsafat bangsa.

B. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum1. Landasan Ilmiaha. Dasar Pemikiran Pendidikan Kewarganegaraan

Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perusahaan masa depannya. Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Ipteks) yang berlandasan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahasan Pendidikan Kewarganegaraan meliputi hubungan antara warga negara dan negara, serta pendidikan pendahuluan bela negara yang semua ini berpijak pada nilai-nilai budaya serta dasar filosofi bangsa Pancasila.

Sebagai suatu perbandingan di berbagai negara juga dikembangkan matei Pendidikan Umum (General Education/Humanities) sebagai pembekalan nilai-nilai ayng mendasari sikap dan perilaku warga negaranya.1. Amerika Serikat : History, Humanity, dan Philosophy2. Jepang : Japanase History, Ethics, dan Philosophy3. Filipina : Philipino, Family Planning, Taxation and Land Reform, The

Philiphine New Constitution, dan Study Of Human Right.

Di beberapa negara dikembangkan pula bidang studi yang sejenis dengan Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu yang di kenal dengan Civics Education

b. Objek Pembahsaan Pendidikan KewarganegaraanSetiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah, yairu mempunyai objek,

metode, siste, dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek formalnya. Objek material adalah bidang sasarang yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu yang terpilih untuk menbahas objek material tersebut. Adapun objek material daro Pendidikan Kewarganegaraan adalah segala hal yang bekaitan dengan warga negara baik yang empirik maupun

yang nonempirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara. Sebagai objek formalnya mencangkup dua segi, yaitu segi hubungan antara warga negara dan negara. Dalam hal ini epmbahasan Pendidikan Kewarganegaraan terarah pada warga negara Indonesia dalam hubungannya dengan negara Indonesia dan pada upaya pembelaan negara Indonesia.

Objek pembahasan pendidikan Kewarganegaraan menurut Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi No.43/DIKTI/KEP/2006 dijabarkan lebih rinci yang meliputi poko-pokok bahasan sebagai berikut :Substansi kajian Pendidikan kewarganegaraan mencangkup :

1.Filsafat Pancasila2. Indentitas Nasional3.Negara dan Konstitusi4.Demokrasi Indonesia5.Rule of Law dan hak Asasi Manusia6.Hak dan kewajiban Warga negara serta negara7.Geopolitik Indonesia8.Geostrategi Indonesia

c. Objek Pembahsaan Pendidikan KewarganegaraanPendidikan Kewarganegaraan dapat disejajarkan dengan Civics Education yang

dikenal di berbagai negara. Sebagai bidang studi ilmiah, Pendidikan Kewarganegaraan bersifat antardisipliner (antar bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetauhan yang membangung ilmu Kewarganegaraan ini diambil dari berbagai disiplin ilmu. Olen karena itu upaya pembahasan dan pengembangannya memerlukan sumbangan dari berbagai disiplin ilmu yang meliputi ilmu politik, ilmu hukum, ilmu filsafat, ilmu sosial, ilmu administrasi negara, ilmu ekonomi pembangunan, sejarah pembangunan bangsa dan ilmu budaya.

2. Landasan Hukuma. UUD 1945

1. Pembukaan UUD 1945, khusus pada alinea kedua dan keempat, yang memuat cita-cita tujuan dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaannya.

2. Pasal 27 (1) menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya”.

3. Pasal 30 (1) menyatakn bahwa “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib iktu serta dalam usaha pembelaan negara”.

4. Pasal 31 (1) menyatakan bahwa “ tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”.

b. Ketetapan MPR no.II/MPR/1999 tentang Garis-garis besar Haluan Negara

c. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertahanan keamanan negara Republik Indonesia (Jo.UU No.1 tahun 1988).1. Dalam pasal 18 (a) disebutkan hak kewajiban warga negara yang

diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan Pendahuluan Bela Negara sebagian tak terpisahkan dalam sistem Pendidikan nasional.

2. Dalam pasal 19 (2) disebutkan bahwa Pendidikan Pendahuluan Bela Negara wajib diikuti oleh setiap warga negara dan dilaksanakan secara bertahap. Tahap awal pada tinggkat pendidikan dasar samapi Pendidikan menengah ada dalam gerakan Pramuka. Tahap lanjutan pada tingkat pendidikantinggi ada dalam bentuk Pendidikan Kewiraan.

d. Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan berdasarkan keputusan menteri pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang pedoman Penyusuran Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil belajar Mahasiswa dan Nomor 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan bahwa Pendidikan Agama,Pendidikan Bahasa dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian, yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi.

e. Adapun pelaksanaannya berdasarkan surat Keputusan Direkture Jendral Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan nasional, Nomor 43/DIKTI/Kep/2006, yang memuat rambu-rambu pelaksaan kelompok Matakuliah pengembangan kepribadian di Perguruan Tinggi

BAB IIFILSAFAT PANCASILA

A. Pengertian Filsafat

Dalam wacana ilmu pengetahuan sebenarnya pengertian filsafat adalah sangat sederhana dan mudah difahami. Filsafat adalah satu bidang ilmu yang senantiasa ada dan menyertai kehidupan manusia. Dengan lain perkataan selama manusia hidup, maka sebenarnya ia tidak dapat mengelak dari filsafat, atau dalam kehidupan manusia senantiasa berfilsafat. Jikalau seseorang hanya berpandangan bahwa materi merupakan sumber kebenaran dalam kehidupan, maka orang tersebut berfilsafat materialisme. Jikalau seseorang berpandangan bahwa kenikmatan adalah merupakan nilai terpenting dan tertinggi dalam kehidupan maka orang tersebut berpandangan filsafat hedonisme, demikian juga jikalau seseorang berpandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat dan negara adalah kebebasan individu, maka orang tersebut berfilsafat liberalisme, jikalau seseorang memisahkan antara kehidupan kenegaraan atau kemasyarakatan dan kehidupan agama, maka orang tersebut berfilsafat sekulerisme, dan masih banyak pandangan filsafat lainnya.

Sebelum dipahami lebih lanjut tentang pengertian filsafat maka dipandang penting untuk terlebih dahulu memahami istilah dan pengertian "filsafat". Secara etimologis istilah "filsafat" berasal dari bahasa Yunani "philein" yang artinya "cinta" dan "sophos" yang artinya "hikmah" atau "kebijaksanaan" atau "wisdom" (Nasution, 1973). Jadi secara harfiah istilah filsafat adalah mengandung makna cinta kebijaksanaan. Hal ini nampaknya sesuai dengan sejarah timbulnya ilmu pengetahuan, yang sebenarnya di bawah naungan filsafat. Jadi manusia dalam kehidupan pasti memilih apa pandangan dalam hidup yang dianggap paling benar, paling baik dan membawa kesejahteraan dalam kehidupannya, dan pilihan manusia sebagai suatu pandangan dalam hidupnya itulah yang disebut filsafat. Pilihan manusia atau bangsa dalam menentukan tujuan hidupnya ini dalam rangka untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya.

Jikalau ditinjau dari lingkup pembahasannya, maka filsafat meliputi banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia, masyarakat, alam, pengetahuan, etika, logika, agama, estetika dan bidang lainya. Oleh karena itu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul dan berkembang juga ilmu filsafat yang berkaitan dengan bidang-bidang ilmu tertentu, misalnya filsafat sosial, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat bahasa, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat lingkungan, filsafat agama dan filsafat yang berkaitan dengan bidang ilmu lainnya.

Keseluruhan arti filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam sebagai berikut:

Pertama : Filsafat sebagai produk mencakup pengertiana. Pengertian filsafat yang mencakup arti-arti filsafat sebagai jenis pengetahuan,

ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau pandangan tertentu, yang merupakan hasil. dari proses berfilsafat dan yang mempunyai ciri-ciri-tertentu.

b. Filsafat sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai basil dari aktivitas berfilsafat. Filsafat dalam pengertian jenis ini mempunyai ciri-ciri khas tertentu sebagai suatu hasil kegiatan berfilsafat dan pada umumnya proses pemecahan persoalan filsafat ini diselesaikan dengan kegiatan berfilsafat (dalam pengertian filsafat sebagai proses yang dinamis).

Kedua Filsafat sebagai suatu proses mencakup pengertian

Filsafat yang diartikan sebagai bentuk suatu aktivitas berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan objek permasalahannya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini tidak lagi hanya merupakan sekumpulan dogma yang hanya diyakini ditekuni dan dipahami sebagai suatu sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat, suatu proses yang dinamis dengan menggu-nakan suatu cara dan metode tersendiri.

B. Pengertian Pancasila sebagai Suatu SistemPancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan sistem

filsafat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Suatu kesatuan bagian-bagian2) Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri 3) Saling berhubungan, saling ketergantungan4) Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan

sistem)5) Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks (Shore dan Voich, 1974:22).

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Dasar filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradabab. Namun demikian sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan keutuhan etika sila merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila. Maka dasar filsafat negara Pancasila adalah merupakan suatu kesatuan yang bersifat majemuk tunggal (majemuk artinya jamak) (tunggal artinya satu). Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri sendiri terpisah dari sila yang lainnya.

Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Antara sila-sila pancasila itu yang berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasi oleh sila-sila lainnya. Secara demikian ini maka Pancasila pada

hakikatnya merupakan sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian, sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami dari pemikiran dasar yang terkadang dalam Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan yang Maha Esa, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan suatu sistem dalam pengertian kefilsafatan sebagaimana sistem filsafat lainnya antara lain materliasisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, sosialisme dan sebagainya.

Kenyataan Pancasila yang demikian itu disebut kenyataan objektif, yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu yang lain, atau terlepas dari pengetahuan orang. Kenyataan objektif yang ada dan terlekat pada Pancasila, sehingga Pancasila sebagai suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem-sistem filsafat yang lainnya misalnya liberalisme, materialisme, komunisme dan aliran filsafat yang lainnya. Hal ini secara ilmiah disebut ciri khas secara objektif (Notonagoro, 1975:14). Misalnya kita mengamati jenis-jenis logam tertentu, emas, perak, tembaga dan lainnya. Kesemua jenis logam tersebut memiliki ciri khas tersendiri, antara lain meliputi berat jenis, warna, sifat molekulnya dari lain sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan suatu sifat objektif yang dimiliki oleh logam-logam tertentu sehingga disebut emas, perak, maupun tembaga. Jadi ciri khas yang dimiliki oleh sesuatu itu akan menunjukkan jati diri, atau sifat yang khas dan khusus yang tidak dimiliki oleh sesuatu hal lainnya. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu sistem filsafat akan memberikan ciri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak terdapat pada sistem filsafat lainnya.

C. Kesatuan Sila-Sila Pancasila

1. Susunan Pancasila yang bersifat Hierarkhis dan Berbentuk Piramidal

Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila dari Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya (kwalitas). Kalau dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam luasnya dan isi-sifatnya, merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jika urut-urutan lima sila dianggap mempunyai maksud demikian. maka di antara lima sila ada hubungan yang mengikat yang satu kepada yang lain sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan keseluruhan yang bulat. Andai kata urut-urutan itu dipandang sebagai tidak mutlak. Di antara satu sila dengan sila lainnya tidak ada sangkut-pautnya, maka Pancasila itu menjadi terpecah-pecah, oleh karena itu tidak dapat dipergunakan sebagai suatu asas kerokhanian bagi Negara. Jikalau tiap-tiap sila dapat diartikan dalam bermacam-macam maksud, sehingga sebenarnya lalu sama saja dengan tidak ada Pancasila.

Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaiknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang

berkerakyatan dan berkeadilan sosial demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya. Dengan demikian dimungkinkan penyesuaian dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktu, artinya sesuai dengan keperluan dan kepentingan keadaan, tempat dan waktunya, dalam pembicaraan kita berpokok pangkal atau memusatkan diri dalam hubungannya hierarkhis piramidal semestinya.

Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa Prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Sehingga terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas Individu-individu dalam negara yang bersatu(Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (sila 5) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara (lihat Notonagoro, 1984:61 dan 1975: 52,57).

2. Kesatuan Sila-sila Pancasila yang saling Mengisi dan Saling Mengkualifikasi

Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka hubungan hierarkhis piramidal tadi. Tiap-tiap sila seperti telah disebutkan di atas mengandung empat sila lainnya, dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan dari hubungan kesatuan keseluruhan dari sila-sila Pancasila dipersatukan dengan rumus hierarkhis tersebut di atas.

1. Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Sila kedua : kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang I3erketuhan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Sila ketiga : persatuan Indonesia adalah persatuan yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Sila keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang Berketuhanan Yang

Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan yang Berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (Notonagoro, 1975: 43,44)

D. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat

Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam anti formal. logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila (Notonagoro, 1984:61 dan 1975:52,57). Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki, dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya misainya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.

1. Dasar Ontologis Sila-sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri. melainkan memiliki sate kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia (Notonagoro, 1975: 23 ). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok kok negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.

Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat raga dan jiwa jasmani dan rokhani sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan. yang Malta Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya (Notonagoro, 1975 :53).

Hubungan kesesuaian antara negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat yaitu negara sebagai pendukung hubungan dan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab adapun negara adalah sebagai akibat.

Sebagai suatu sistem filsafat landasan sila-sila Pancasila itu dalam hal isinya menunjukkan suatu hakikat makna yang bertingkat ( Notonagoro, tanpa tahun: 7). serta ditinjau dari keluasannya memiliki bentuk piramidal.

2. Dasar Epsstemologis Sila-sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan ( belief system) yang tclah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdulgani, 1998). Sebagai suatu ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarik loyalitas dari pendukungnya yaitu : 1) logos yaitu rasionalitas atau penalarannya, 2) pathos yaitu penghayatannya, dan 3) ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996: 3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991: 50). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologis dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia (Pranarka, 1996: 32 ).

Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistemologi yaitu : pertama tentang sumber pengetahuan manusia, kedua tentang teori kebenaran pengetahuan manusia , ketiga tentang watak pengetahuan manusia (Titus, 1984 : 20). Persoalan epistemologi dalam hubungannya dengan Pancasila dapat dirinci sebagai berikut :Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan, pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber

pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukannya hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau beberapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religius, maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila Pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi.

Berikutnya tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal, dimana sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila ketiga, keempat dan kelima, sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama dan kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan kelima, sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima, adapun sila kelima didasari dan dijiwai sila-sila pertama, kedua, ketiga dan keempat. Demikianlah maka susunan sila-sila Pancasila memiliki sistem logis baik yang menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila Pancasila. Susunan isi arti Pancasila meliputi tiga hal yaitu: pertama, isi arti Pancasila yang umum universal yaitu hakikat sila-sila Pancasila. Isi arti sila-sila Pancasila yang umum universal ini merupakan inti sari atau esensi Pancasila sehingga merupakan pangkal tolak derivasi baik dalam pelaksanaan pada bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan kongkrit. Kedua, isi arti Pancasila yang umum kolektif, yaitu isi arti Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam tertib hukum Indonesia. Ketiga, isi arti Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit yaitu isi arti Pancasila dalam realisasi praksis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat yang khusus kongkrit serta dinamis (lihat Notonagoro, 1975 : 36,40).

Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa masalah epistemology Pancasila diletakkan dalam kerangka bangunan filsafat manusia. Maka konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila. Manurut Pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat manusia yang memiliki unsur-unsur pokok yaitu susunan kodrat yang terdiri atas raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). Tingkatan hakikat raga manusia adalah unsur-unsur : fisis anorganis, vegetatif, animal. Adapun unsur jiwa (rokhani) manusia terdiri atas unsur-unsur potensi jiwa manusia yaitu : akal , yaitu suatu potensi unsur kejiwaan manusia dalam mendapatkan kebenaran pengetahuan manusia. Rasa yaitu unsur potensi jiwa manusia dalam tingkatan kemampuan estetis (keindahan). Adapun kehendak adalah unsur potensi jiwa manusia dalam kaitannya dengan bidang moral atau etika. Menurut Notonagoro dalam skema potensi rokhaniah manusia terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan akal. manusia merupakan sumber daya cipta

manusia dan dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh pengetahuan yang benar terdapat tingkat-tingkat pemikiran sebagai berikut : memoris , reseptif, , kritis dan kreatif. Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau dengan lain perkataan transformasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut : demonstrasi, imajinasi , asosiasi , analogi, refleksi , intuisi , inspirasi dan ilham (Notonagoro, tanpa tahun : 3). Berdasarkan tingkatan tersebut di atas maka Pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu manusia memiliki indra sehingga dalam proses reseptif indra merupakan alat untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan yang bersifat empiris. Maka Pancasila juga mengakui kebenaran cinpiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia yang bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif Pancasila juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak hal ini sebagai tingkatan kebenaran yang tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manusia adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak . Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan Indonesia, sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam,permusyawaratan/perwakilan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun sesuai dengan tingkatan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal maka kebenaran konsensus didasari oleh kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat manusia yang bersumber pada kehendak. Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya-untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.

3. Dasar Aksiologis Sila-sila Pancasila

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian nilai dan hierarkhinya. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat kita kelompokkan pada dua macam sudut pandang yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. hal ini bersifat subjektif namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya sesuatu itu memang pada dirinya sendiri memang bernilai, hal ini merupakan pandangan dari paham objektivisme.

Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai. hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Banyak pandangan tentang nilai terutama dalam menggolong-golongkan nilai dan penggolongan tersebut amat beraneka ragam tergantung pada sudut pandangnya masing-masing.

Max Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai itu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan lainnya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Notonagoron merinci nilai di samping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Bahkan sesuatu yang nonmaterial itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur yaitu menggunakan indra maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang lebar, luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rokhaniah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia.

Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga menggandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkhis, di mana sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa sebagai basisnya sampai dengan sila Keadilan Sosial sebagai tujuannya (Darmodi-hardjo, 1978).

a. Teori Nilai

Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing, dalam menentukan tentang pengertian serta hierarkhi nilai. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dan penggolongan tersebut amat beranekaragam, tergantung pada sudut pandang dalam rangka penggolongan itu. Sebagaimana dijelaskan di muka, Max Scheler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut :

1) Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (Die Wertreihe des Angnehmen and

Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.2) Nilai-niiai kehidupan: dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting

bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan.3) Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-niiai kejiwaan (geistige

werte) yang sama sekali tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

4) Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tak suci (wermodalitas des Heiligen and (Aheiligen). Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi (Frondizi, 1963; Driyarkara, 1978).

(Walter G.Everet menggolong-golongakn nilai-nilai manusiawi ke dalam delapan kelompok yaitu :

1) Nilai-nilai ekonomis (ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli)

2) Nilai-nilai kejasmanian (membantu pada kesehatan, etisiensi dan keindahan dari kehidupan badan).

3) Nilai-nilai hiburan (nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan pada pengayaan kehidupan).

4) Nilai-nilai sosial ( berasal mula dari pelbagai bentuk perserikatan manusia).5) Nilai-nilai watak (keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang

diinginkan).6) Nilai-nilai estetis (nilai-nilai keindahan dalam alam dan karyaseni)7) Nilai-nilai intelektual (nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).8) Nilai-nilai keagamaan.

Notonagoro membagi nilai menjadi tiga yaitu :1) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat

mengadakan kegiatan atau aktivitas.2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat

mengadakan kegiatan atau aktivitas.3) Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani Nilai

kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam.a) Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.b) Nilai keindahan. atau nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan

(aesthetis, gevoel, rasa )manusia.c) Nilai kebaikan, atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak

(will, Wollen, karsa) manusia.d) Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak.

Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Masih banyak lagi cara pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan N. Recher, yaitu pembagian ini berdasarkan pembawa nilai, hakikat keuntungan yang diperoleh. dan pula dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik dan ekstrinsik, nilai objektif dan nilai Subyektif nilai positif dan nilai negatif (disvalue), dan sebagainya.

Dari berbagai macam teori nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berujud nonmaterial atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relatif lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerokhanian/spiritual, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.

Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, balk nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematis-hierarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai 'dasar' sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai `tujuan' (Darmodiharjo, 1978).

b. Nilai-nilai Pancasila sebagai Suatu Sistem

Isi arti sila-sila Pancasila pada hakikatnya dapat dibedakan atas, hakekat Pancasila yang umum universal yang merupakan substansi sila-sila Pancasila, sebagai pedoman pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yaitu sebagai dasar negara yaitu bersifat umum kolektif serta aktualisasi Pancasila yang bersifat khusus dan kongkrit dalam berbagai bidang kehidupan. Hakikat sila-sila Pancasila (substansi Pancasila) adalah merupakan nilai-nilai, sebagai pedoman negara adalah merupakan norma, adapun aktualisasinya merupakan realisasi kongkrit Pancasila.

Substansi Pancasila dengan kelima silanya yang terdapat pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Prinsip dasar yang mengandung kualitas tertentu itu merupakan cita-cita dan harapan atau hal yang ditujukan oleh bangsa Indonesia untuk diwujudkan menjadi kenyataan real dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan bermasyarakat. berbangsa maupun bernegara. Namun di samping itu, prinsip-prinsip dasar tersebut sebenarnya juga diangkat dari kenyataan real. Prinsip-prinsip tersebut telah menjelma dalam tertib sosial, tertib masyarakat dan tertib kehidupan bangsa Indonesia, yang dapat ditemukan dalam adat istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Secara demikian pula, sesuai dengan isi yang terkandung di dalam Pancasila itu, yang mengandung tiga masalah pokok dalam kehidupan manusia Indonesia yaitu bagaimana 'seharusnya' manusia itu terhadap Tuhan, dirinya sendiri dan segala sesuatu di luar dirinya, maka dalam hal ini dapat diketahui adanya implikasi nilai-nilai nilai moral. Dengan demikian substansi Pancasila itu merupakan nilai, yang harus dijabarkan lebih lanjut ke dalam suatu norma dan selanjutnya direalisasikan dalam kehidupan nyata.

Nilai-nilai yang terkandung dalam sila I sampai dengan sila V Pancasila merupakan cita-cita, harapan, dambaan bangsa Indonesia yang akan diwujudkan

dalam kehidupannya. Sejak dahulu kala nilai-nilai itu selalu didambakan, dicita-citakan bangsa Indonesia agar terwujud dalam masyarakat yang tata tentrem, karta raharja, gemah ripah loh jinawi, dengan penuh harapan diupayakan terealisasi dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. Namun seperti yang telah diuraian pada bagian-bagian sebelumnya, Pancasila yang pada tahun 1945 secara formal diangkat menjadi das Sollen bangsa Indonesia, sebenarnya dianggap dari kenyataan real yang berupa prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan dan kehidupan keagamaan atau kepercayaan bangsa Indonesia. Driyarkara menyatakan bahwa bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan Sein im Sollen. Ia merupakan harapan, cita-cita, tetapi sekaligus adalah kenyataan bagi bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia dalam hat ini merupakan pendukung nilai-nilai (subscriber of values) Pancasila. Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang perpersatuan, yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai esuatu yang bernilai. Pengakuan, penghargaan dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot yang berbeda, namun nilai-nilai itu tidak saling bertentangan. Akan tetapi nilai-nilai itu saling melengkapi. Hal ini disebabkan sebagai suatu substansi, Pancasila itu merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic whole). Dengan demikian berarti nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh pula. Nilai-nilai itu saling berhubungan secara erat dan nilai-nilai yang satu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang lain. Atau nilai-nilai yang ada itu, dimiliki bangsa Indonesia, yang akan memberikan pola (patroon) bagi sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia (Kodhi, 1994).

Pengertian Pancasila itu merupakan suatu sistem nilai dapat dilacak dari sila-sila Pancasila yang merupakan suatu sistem. Sila-sila itu merupakan kesatuan organik. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan secara erat, bahkan saling mengkualifikasi. Adanya sila yang satu mengkualisikasi adanya sila yang lainnya. Secara demikian, Pancasila itu merupakan suatu sistem dalam pengertian umum, dalam artian bahwa bagian-bagiannya (sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh.

Dari uraian mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila itu pula. tampak dengan jelas bahwa nilai-nilai yang termuat dalam Pancasila termasuk dalam tingkatan nilai yang tinggi, dengan urutan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menduduki tingkatan dan bobot nilai tertinggi, karena secara jelas mengandung nilai religius. Pada tingkatan di bawahnya adalah keempat nilai manusiawi dasar. Apabila keempat nilai manusiawi dasar itu akan diberikan tingkatan dan bobot nilainya, maka nilai kemanusiaan tingkatan dan bobot nilainya layak dinyatakan berada di bawah nilai ketuhanan. Nilai keadilan sebagai

salah satu nilai manusiawi dasar, dalam hubungannya dengan tingkatan dan bobot nilai kiranya harus diletakkan dalam tempat ketiga di bawah nilai kemanusiaan. Namun sesuai dengan sifat dasar bangsa Indonesia gang sangat menekankan kerukunan, maka nilai persatuan mempunyai tingkatan dan bobot nilainya, kiranya nilai persatuan mempunvai tingkatan dan bobot yang lebih tinggi dari nilai kerakyatan, karena nilai kerakyatan lebih merupakan sarana yang perlu untuk mencapai persatuan.

Suatu hal yang diberikan penekanan lebih dahulu yakni meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dan bobot nilai yang berbeda yang berarti ada 'keharusan' untuk menghormati nilai yang lebih tinggi, nilai-nilai yang berbeda tingkatan dan bobot nilainya itu tidak saling berlawanan atau bertentangan, melainkan saling melengkapi.

E. Pancasila sebagai Nilai Dasar Fundamental bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia

1. Dasar Filosofis

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu nilai-nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sebagai suatu dasar filsafat maka sila-sila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang bulat, hierarkhis dan sistematis. Dalam pengertian inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Oleh karena merupakan suatu sistem filsafat maka kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi makna yang utuh.

Dasar pemikiran filosofis dari sila-sila Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah sebagai berikut. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Pemikiran filsafat kenegaraan bertolak dari suatu pandangan bahwa negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan dalam hidup manusia eyal society) atau masyarakat hukum. Adapun negara yang didirikan oleh manusia itu berdasarkan pada kodrat bahwa manusia sebagai warga dari negara sebagai persekutuan hidup adalah berkedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa (hakikat sila pertama). Negara yang merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya atau makhluk yang beradab (hakikat sila kedua). Untuk terwujudnya suatu negara sebagai organisasi hidup manusia maka harus membentuk persatuan ikatan hidup bersama sebagai suatu bangsa (hakikat sila ketiga). Terwujudnya persatuan dalam suatu negara akan melahirkan rakyat sebagai suatu bangsa yang hidup dalam suatu wilayah negara tertentu. Sehingga dalam hidup kenegaraan itu haruslah mendasarkan pada nilai bahwa rakyat merupakan asal-mula kekuasaan negara. Maka merupakan suatu keharusan bahwa negara harus bersifat demokratis hak serta kekuasaan rakyat harus dijamin baik sebagai individu maupun secara bersama (hakikat sila keempat). Untuk mewujudkan tujuan negara sebagai tujuan bersama dari seluruh warga negaranya maka dalam hidup kenegaraan harus

mewujudkan jaminan per lindungan bagi seluruh warganya, sehingga untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dijamin berdasarkan suatu prinsip keadilan yang timbul dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial) (hakikat sila kelima). Nilai-nilai inilah yang merupakan suatu nilai dasar bagi kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan.

Dalam hubungannya dengan pengertian nilai sebagaimana tersebut di atas maka Pancasila tergolong nilai kerokhanian, akan tetapi nilai kerokhanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital karena pada hakikatnya menurut Pancasila bahwa negara adalah jasmani rokhani. Selain itu dalam Pancasila yang merupakan nilai-nilai kerokhanian itu di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (Kenyataan), estetis. etis maupun nilai religius. Hal ini dapat dibuktikan pada nilai-nilai Pancasila yang tersusun secara hierarkhis piramidal yang bulat dan utuh.

Selain itu secara kausalitas bahwa nilai-nilai Pancasila adalah bersifat objektif dan juga subjektif. Artinya esensi nilai-nilai Pancasila adalah bersifat universal yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Sehingga dimungkinkan dapat diterapkan pada negara lain walaupun barangkali namanya bukan Pancasila. Artinya jikalau suatu negara menggunakan prinsip filosofi bahwa negara I Berketuhanan. Berkemanusiaan, Berpersatuan, Berkerakyatan dan Berkeadilan, maka negara tersebut pada hakikatnya menggunakan dasar filsafat dari nilai sila-sila Pancasila.

Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dapat dijelaskan sebagai berikut:1. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya hakikat maknanya

yang terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum universal dan abstrak, karena merupakan suatu nilai.

2. Inti nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.

3. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi syarat sebagai pokok kaidah yang fundamental negara sehingga merupakan suatu sumber hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu dalam hierarkhi suatu tertib hukum Indonesia berkedudukan sebagai tertib hukum yang tertinggi. Maka secara objektif tidak dapat diubah secara hukum sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara. Sebagai konsekuensinya jikalau nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu diubah maka sama halnya dengan pembubaran negara Proklamasi 1945, hal ini sebagaimana terkandung dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, diperkuat Tap. No. V/ MPR/l973. Jo. Tap. No.IX/MPR/1978.

Sebaliknya nilai-nilai subjektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaan nilai-nilai Pancasila itu bergantung atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Pengertian itu dapat dijelaskan sebagai berikut :1. Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia

sebagai kausa materialis. Nilai-nilai tersebut sebagai hasil pemikiran, penilaian kritis, serta hasil refleksi filosofis bangsa Indonesia.

2. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan, keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat

berbangsa dan bernegara.3. Nilai-nilai Pancasila di dalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian

yaitu nilai kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, etis, estetis dan nilai religius, yang manifestasinya sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa (lihat Darmodihardjo, 1996).

Nilai-nilai Pancasila itu bagi bangsa Indonesia menjadi landasan, dasar serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dengan perkataan lain bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan das Sollen atau cita-cita tentang kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das Sein.

2. Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sumber dari hukum dasar dalam negara Indonesia. Sebagai suatu sumber dari hukum dasar, secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara menjadi lima sila dan ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan No. XX/ MPRS/1966.

Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung Empat Pokok Pikiran yang bilamana dianalisis makna yang terkandung di dalamnya tidak lain adalah merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila.

Pokok Pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila ketiga.

Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkwajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melakanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran sila kelima.

Pokok Pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat. Berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi yaitu kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini sebagai penjabaran sila keempat.

Pokok Pikiran keempat menyatakan bahwa, negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaban semua agama dalam pergaulan hidup negara. Hal ini merupakan penjabaran sila pertama dan kedua.

Hal itu dapat disimpulkan bahwa keempat pokok pikiran tersebut tidak lain merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila. Pokok pikiran ini sebagai dasar fundamental dalam pendirian negara, yang realisasi berikutnya perlu diwujudkan atau dijelmakan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945. Dengan perkataan lain bahwa dalam penjabaran sila-sila Pancasila dalam peraturan perundangan-undangan bukanlah secara langsung dari sila-sila Pancasila melainkan melalui Pembukaan UUD 1945. Empat pokok Pikiran dan barulah dikongkritisasikan dalam pasal-pasal UUD 1945. Selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan serta hukum positif di bawahnya.

Dalam pengertian seperti inilah maka sebenarnya dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan dasar yang fundamental bagi negara Indonesia terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

Selain itu bahwa nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu landasan moral etik dalam kehidupan kenegaraan. Hal ini ditegaskan dalam pokok Pikiran keempat yang menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mengandung anti bahwa kehidupan kenegaraan harus dijabarkan pada moral etik yang bersumber pada nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa dan menjunjung moral kemanusiaan yang beradab. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila yang dituangkan dalam pokok Pikiran keempat ini merupakan suatu dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan. Konsekuensinya dalam segala aspek kehidupan negara, antara lain pemerintahan negara, pembangunan negara, pertahanan dan keamanan negara, politik negara serta pelaksanaan demokrasi harus senantiasa berdasarkan pada moral Ketuhanan dan kemanusiaan. Selain itu dasar fundamental moral dalam kehidupan kenegaraan tersebut juga meliputi moralitas para penyelenggara negara dan seluruh warga negara. Bahkan dasar fundamental moral yang dituangkan dari nilai-nilai Pancasila tersebut juga harus mendasari moral dalam kaitannya dengan politik luar negeri Indonesia.

Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia dalam era reformasi dewasa ini seharusnya bersifat rendah hati untuk mawas diri dalam upaya untuk memperbaiki kondisi dan nasib bangsa ini hendaklah didasarkan pada moralitas yang tertuang dalam pokok Pikiran keempat tersebut yaitu moral Ketuhanan dan kemanusiaan agar kesengsaraan rakyat tidak semakin bertambah.

F. Pancasila sebagai ideologi Bangsa dan Negara Indonesia

Istilah ideologi berasal. dari kata `idea' yang berarti 'gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita' dan `logos' yang berarti 'ilmu'. Kata `idea' berasal dari kata bahasa Yunani `eidos' yang artinya 'bentuk'. Di samping itu ada kata `idein' yang artinya `melihat'. Maka secara harafiah, ideologi berarti ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, `idea' disamakan artinya dengan 'cita-cita'. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan dasar, pandangan atau faham. Memang pada hakikatnya, antara dasar dan cita-cita itu sebenamya dapat merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tetang idea-idea, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita.

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideoIogi-ideologi lain didunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat-istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila.

Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dan negara -Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya bangsa, dan bukannya mengangkat atau mengambil ideologi dari bangsa lain. Selain itu Pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari seseorang saja, yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sehingga Pancasila pada hakikatnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara komperhensif. Oleh karena ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian dengan bangsa Indonesia.

G. Makna Nilai-nilai Setiap Sila Pancasila

Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya namun kesemuannya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Oleh karena itu meskipun dalam uraian berikut ini menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila, namun kesemuannya itu tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sila-sila lainnya. Konsekuensinya realisasi setiap sila atau derivasi setiap sila senantiasa. dalam hubungan yang sistemik dengan sila-sila lainnya. Hal ini berdasarkan pada pengertian bahwa makna sila-sila Pancasila senantiasa dalam hubungannya sebagai sistem filsafat. Adapun nilai-nilai yang, terkandung dalam setiap sila adalah sebagai berikut.

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan mennjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Demikianlah kiranya nilai-nilai etis yang terkandung dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa yang dengan sendirinya sila pertama tersebut mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya.

2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sila Kemanusiaan yang adil dan Beradab secara sistematis didasari dasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila berikutnya. Sila kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikat manusia adalah susunan kodrat rokhani (jiwa) dan raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial kedudukan kodrat makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.

Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Oleh karena itu dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundang-undangan negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat dan martabat manusia, terutama hak-hak kodrat manusia sebagai hak dasar (hak asasi) harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan negara. Kemanusiaan yang adil t dan beradab adalah mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia yang didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya bermoral dan beragama.

Dalam kehidupan kenegaraan harus senantiasa dilandasi oleh moral kemanusiaan antara. lain dalam kehidupan pemerintahan negara, politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan serta dalam kehidupan keagamaan. Oleh karena itu dalam kehidupan bersama dalam negara harus dijiwai oleh moral kemanusiaan untuk Baling menghargai sekalipun terdapat suatu perbedaan karena hal itu merupakan suatu bawaan kodrat manusia untuk saling menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama.

Nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Hal ini mengandung suatu pengertian bahwa hakikat manusia harus adil dalam hubungan dengan diri sendiri, adil terhadap manusia lain, adil terhadap masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensinya nilai yang terkandung dalam Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sosial maupun agama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap sesama manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan ( Darmodihardjo, 1996 ). Demikianlah kemudian berikutnya nilai-nilai tersebut harus dijabarkan dalam segala aspek kehidupan negara termasuk juga dalam berbagai kebijakan negara sebagai realisasi pembangunan nasional.

3. Persatuan Indonesia

Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab serta mendasari dan dijiwai sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama di antara elemen-elemen yang membentuk negara yang+berupa, suku, ras, kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena itu perbedaan adalah merupakan bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk negara. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam suatu seloka Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan malainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa.

Negara mengatasi segala paham golongan, etnis, suku, ras, individu maupun golongan agama. Mengatasi dalam arti memberikan wahana atas tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan atas individu, golongan, suku, ras maupun golongan agama untuk merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral. Oleh karena itu tujuan negara dirumuskan untuk melindungi segenap warganya dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum (kesejahteraan seluruh warganya) mencerdaskan kehidupan warganya serta dalam kaitannya dengan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk mewujudkan suatu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Nilai persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil Dan Beradab. Hal ini terkandung nilai bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme religius. Yaitu nasionalisme yang bermoral Ketuhanan yang Maha Esa, nasionalisme yang humanistik yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Oleh karena itu nilai-nilai nasionalisme ini harus tercermin dalam segala aspek penyelenggaraan negara termasuk dalam era reformasi dewasa ini. Proses reformasi tanpa mendasarkan pada moral Ketuhanan, Kemanusiaan dan memegang teguh persatuan dan kesatuan, maka bukan tidak mungkin akan membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia seperti halnya telah terbukti pada bangsa lain misainya Yugoslavia, Srilangka dan lain sebagainya.

4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Hakikat rakyat adalah merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara. Rakyat adalah merupakan subjek pendukung pokok negara. Negara adalah dari oleh dan untuk rakyat, oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terkandung nilai demokrasi yang secara mutlak harus dilaksanakan dalam hidup negara. maka nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam sila kedua adalah (1) adanya kebebasan yang harus disertai dengan tanggung jawab baik terhadap masyarakat bangsa maupun secara moral terhadap Tuhan yang Maha Esa. (2) Menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. (3) Menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. (4) Mengakui atas perbedaan individu, kelompok, ras, suku, agama, karena perbedaan adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia. (5) Mengakui adanya persamaan hak yang melekat pada setiap individu, kelompok, ras, suku maupun agama. (6) Mengarahkan perbedaan dalam suatu kerja sama kemanusiaan yang beradab. (7) Menjunjung tinggi asas musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang beradab. (8) Mewujudkan dan mendasarkan suatu keadilan dalam kehidupan sosial agar tercapainya tujuan bersama.

Demikianlah nilai-nilai yang terkandung dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Seterusnya nilai-nilai tersebut dikongkritisasikan dalam kehidupan bersama yaitu kehidupan kenegaraan baik menyangkut aspek moralitas kenegaraan, aspek politik, maupun aspek hukum dan perundang-undangan.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nilai yang terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan. Dalam sila kelima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama. Maka di dalam sila kelima tersebut terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial). Keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, bangsa dan negaranya serta hubungan

manusia dengan Tuhannya.

Konsekuensinya nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam hidup bersama adalah meliputi (1) keadilan distribute , yaitu suatu hubungan keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban. (2) keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara dan dalam masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara. (3) keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik.

Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya serta melindungi seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa di dunia dan prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antar bangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi serta keadiIan dalam hidup bersama (keadilan sosial).

H. Pancasila sebagai Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Setiap bangsa di dunia senantiasa memiliki suatu cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut. Bangsa yang hidup dalam suatu kawasan negara bukan terjadi secara kebetulan me lainkan melalui suatu perkembangan kausalitas, dan hal ini menurut Ernest Renan dan Hans Khons sebagai suatu proses sejarah terbentuknya suatu bangsa, sehingga unsur kesatuan atau nasionalisme suatu bangsa ditentukan juga oleh sejarah terbentuknya bangsa tersebut. Meskipun bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses penjajahan bangsa asing, namun tatkala akan mendirikan suatu negara telah memiliki suatu landasan filosofis yang merupakan suatu esensi kultural religius dari bangsa Indonesia sendiri yaitu berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan dan berkeadilan. Hal inilah yang oleh Notonagoro bangsa Indonesia disebut sebagai kausa materialis Pancasila (Notonagoro, 1975). Tekad untuk menentukan bahwa filsafat Pancasila sebagai dasar filosofis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini telah mendapatkan legitimasi yuridis tatkala `the foundingfathers' kita mengesahkan dalam konstitusi UUD 1945 18-8-1945.

Konsekuensinya selama bangsa Indonesia memiliki kehendak bersama untuk membangun bangsa di atas dasar filosofis nilai-nilai Pancasila, seharusnya segala kebijakan dalam negara terutama dalam melakukan suatu pembaharuan-pembaharuan dalam negara dalam proses reformasi dewasa ini nilai-nilai Pancasila merupakan suatu pangkal tolak derivasi baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum serta kebijakan hubungan internasional dewasa ini. Hal inilah dalam wacana ilmiah dewasa ini diistilahkan bahwa Pancasila sebagai para-

digma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Istilah `Paradigma' pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilahtersebut yaitu Thomas S. Khun dalam bukunya yang bertitel The Structure of Scientific Revolution (1970: 49). Inti sari pengertian Paradigma' adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum yang merupakan suatu sumber nilai. Konsekuensinya has itu merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ilmu pengetahuan sifatnya sangat dinamis has ini disebabkan oleh semakin banyaknya hasil-hasil penelitian manusia, sehingga dalam perkembangannya terdapat suatu kemungkinan yang sangat besar ditemukannya kelemahan-kelemahan pada teori yang telah ada, dan Jikalau demikian maka ilmuwan akan kembali pada asumsi-asumsi dasar serta asumsi teoretis sehingga dengan demikian Perkembangan ilmu Pengetahuan kembali mengkaji Paradigma dari ilmu pengetahuan tersebut atau dengan lain perkataan ilmu pengetahuan harus mengkaji dasar ontologis dari ilmu itu sendiri. Misalnya dalam ilmu sosial manakala suatu teori yang g mendasarkan suatu hasil penelitian ilmiah yang mendasarkan pada suatu metode kuantitatif yang mengkaji manusia dan masyarakat pada sifat-sifat yang parsial, terukur, korelatif dan positivistik, maka ternyata hasil dari ilmu Pengetahuan tersebut secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari manusia sebagai objek ilmu pengetahuan. Berdasarkan hakikatnya manusia dalam kenyataan objektivnya bersifat ganda bahkan multidimensi. Atas dasar kajian ilmu pengetahuan sosial tersebut kemudian dikembangkanlah metode baru berdasarkan hakikat dan sifat paradigma ilmu tersebut, maka berkembanglah metode kualitatif.

Istilah ilmiah tersebut kemudian berkemban dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta ilmu Pengetahuan lain misalnya Politik hukum, ekonomi, budaya, serta bidang-bidang lainnya. Dalam masalah yang populer ini istilah "Paradigma" berkembang menjadi suatu terminologi yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan terutama dalam melaksanakan pembangunan dan pembaharuan maka harus mendasarkan pada suatu kerangka pikir, sumber nilai serta arahan yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Secara filosofis kedudukan Pancasila sebagai paradigmakehidupan kenegaraan dan kebangsaan mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Secara ontologis manusia adalah sebagai pendukung pokok negara dan manusia memiliki unsur fundamental "monopluralis", yang unsur-unsurnya meliputi susunan kodrat jasmani-rokhani, sifat kodrat individu makhluk sosial dan kedudukan kodrat makhluk pribadi makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Negara adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia individu-makhluk

sosial (Notonagoro, 1975), yang senantiasa tidak dapat dilepaskan dengan lingkungan geografis sebagai ruang tempat bangsa tersebut hidup. Akan tetapi harus diingat bahwa manusia kedudukan kodratnya adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu baik dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan tidak dapat dipisahkan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kenyataan objektif nilai-nilai filosofis Pancasila sebagai paradigma kehidupan kenegaraan dan kebangsaan sebenarnya bukanlah hanya pada tingkatan legitimasi yuridis dan politis saja melainkan pada tingkatan sosio-kultural-religius. Bagaimanapun perubahan akan terjadi bangsa Indonesia akan senantiasa hidup dalam kehidupan keagamaannya. Dalam upaya untuk merealisasikan cita-citanya dalam negara, bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan secara kodrati dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Negara dan bangsa akan eksis dan berkembang dengan baik manakala dikembangkan rasa kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Negara akan berkembang ke arah kehidupan yang lebih baik manakala rakyat diletakkan sebagai asal mula dan tujuan kekuasaan negara serta jaminan keadilan dalam hidup bersama.

Secara lebih rinci filsafat Pancasila sebagai dasar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan adalah merupakan Identitas Nasional Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu realitas bahwa kausa materiulis atau asal nilai-nilai Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri. - Konsekuensinya ciri khas sifat, serta karakter bangsa Indonesia tercermin dalam suatu sistem nilai filsafat Pancasila.

Selain itu filsafat Pancasila merupakan dasar dari Negara dan Konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara) Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa Filsafat Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, memiliki konsekuensi segala peraturan perundang-undangan dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila. Dengan lain perkataan Pancasila merupakan sumber hukum dasar Indonesia, sehingga seluruh peraturan hukum positif Indonesia diderivasikan atau dijabarkan dari nila-nilai Pancasila.

Sebagai suatu negara demokrasi kehidupan kenegaraan Indonesia mendasarkan pada rule of law, karena Negara didasarkan pada sistem konstitusionalisme. Oleh karena itu dalam hubungannya dengan pelaksanaan demokrasi baik secara normatif maupun secara praksis, harus mendasarkan pada kondisi objektif bangsa yang memiliki pandangan hidup filsafat Pancasila. Filsafat Pancasila mendasarkan core philosophynya, bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, dan manusia adalah juga sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pelaksanaan demokrasi di Indonesia harus berlandaskan filsafat Pancasila, dalam arti demokrasi tidak bersifat individualistik, tidak bersifat sekuler karena demokrasi di Indonesia harus ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila kedua Pancasila adalah `Kemanusiaan yang adil dan beradab', yang secara filosofis menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang beradab. Oleh karena itu dalam kehidupan negara perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, menjadi suatu keharusan. Mengingat manusia menurut Pancasila selain sifat kodrat sebagai manusia individu yang memiliki hak kodrat dan asasi, tetapi juga sebagai makhluk sosial, maka manusia juga harus memenuhi wajib asasinya dalam kehidupan negara. Selain itu manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, maka hak asasi manusia juga tidak dapat bertentangan dengan kodrat

manusia tersebut.

Pancasila juga merupakan dasar dan basis geopolitik dan geostrategi Indonesia. Sebagaimana dipahami bahwa geopolitik diartikan sebagai politik atau kebijaksanaan dan strategi nasional Indonesia, yang didorong oleh aspirasi nasional geografik atau kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geograf, wilayah atau teritorial dalam arti luas Negara Indonesia, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik negara. Sebaliknya politik negara itu, secara langsung akan berdampak kepada geografi negara yang bersangkutan (Suradinata, 2005: 11). Wawasan nusantara adalah merupakan geopolitik Indonesia, karena dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik yaitu unsur ruang, namun menyangkut seluruhnya (Sumiarno, 2006). Wawasan nusantara dilandasi oleh kebangsaan Indonesia, dan hal itu dilambangkan secara literal pada lima sila garuda Pancasila, serta seloka Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai konsekuensi dari konsep geopolitik Indonesia, maka Pancasila merupakan dasar filosofi geostrategi Indonesia. Hal ini berdasarkan analisis sistematis bahwa Pancasila merupakan core philosophy dari Pembukaan UUD 1945, yang menurut ilmu hukum berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm. Geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional dengan memanfaatkan geopolitik Indonesia. Dengan Pancasila sebagai dasarnya, maka pembangunan Indonesia akan memiliki visi yang jelas dan terarah.

BAB IIIIDENTITAS NASIONAL

A. Pengertian Identitas Nasional

Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional Menurut Berger daiam The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini_ ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, sosial, politik dan kebudayaan (Berger, 1988). Perubahan global ini menurut Fukuyama (1989: 48), membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular ke arah ideologi universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalimelah yang akan menguasainya.

Dalam kondisi seperti ini negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional, yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme (Rosenau). Konsekuensinya negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi challance dan response. Jikalau challance cukup besar sementara response kecil maka, bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indian di Amerika. Namun demikian jikalau challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jatidiri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreativitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.

Istilah "identitas nasional" secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian "identitas nasional" sebagaimana dijelaskan di atas maka identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau lebih populer disebut sebagai kepribadian suatu bangsa.

Pengertian kepribadian sebagai suatu identitas sebenarnya pertama kali muncul dari para pakar psikologi. Manusia sebagai individu sulit dipahami manakala ia terlepas dari manusia lainnya. Oleh karena itu manusia dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya senantiasa memiliki suatu sifat kebiasaan, tingkah laku serta karakter yang khas yang membedakan manusia

tersebut dengan manusia lainnya. Namun demikian pada umumnya pengertian atau istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Tingkah laku tersebut terdiri atas kebiasaan, sikap, sifat-sifat serta karakter yang berada pada seseorang sehingga seseorang tersebut berbeda dengan orang yang lainnya. Oleh karena itu kepribadian adalah tercermin pada keseluruhan tingkah laku seseorang dalam hubungan dengan manusia lain (Ismaun, 1981: 6).

Jikalau kepribadian sebagai suatu identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya adalah bagaimana pengertian suatu bangsa itu bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagai suatu "kesatuan nasional". Para tokoh besar ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat kepribadian bangsa tersebut adalah dari beberapa disiplin ilmu, antara lain antropologi, psikologii dan sosiologi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Margareth Mead, Ruth Benedict, Ralph Lintoon, Abraham Kardiner, David Riesman. Menurut Mead dalam "Anthropology to Day" (1954) misalnya, bahwa studi tentang "National Character" mencoba untuk menyusun suatu kerangka pikiran yang merupakan suatu konstruksi tentang bagaimana sifat-sifat yang dibawa oleh kelahiran dan unsur-unsur ideotyncrotie pada tiap-tiap manusia dan patroon umum serta patroon individu dart proses pendewasaannya diintegrasikan dalam tradisi sosial yang didukung oleh bangsa itu sedemikian rupa sehingga nampak sifat-sifat kebudayaan yang sama, yang menonjol yang menjadi ciri khas suatu bangsa tersebut (Kroeber, 1954; Ismaun, 1981: 7).

Demikian pula tokoh antropologi Ralph Linton bersama dengan pakar Psikologi Abraham kardiner, mengadakan suatu proyek penelitian tentang watak umum suatu bangsa dan sebagai objek penelitiannya adalah bangsa Maequesesas dan Tanala, yang kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam suatu buku yang bertitel "The Individual and His Society" (1938). Dari hasil penelitian tersebut dirumuskan bahwa sebuah konsepsi tentang basic personality structure. Dengan konsepsi itu dimaksudkan bahwa semua unsur watak sama dimiliki oleh sebagian besar warga suatu masyarakat. Unsur watak yang sama ini disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang sama yang telah dialami oleh warga masyarakat tersebut, karena mereka hidup di bawah pengarauh suatu lingkungan kebudayaan selama masa tumbuh dan berkembangnya bangsa tersebut.

Linton juga mengemukakan pengertian tentang status personality, yaitu watak individu yang ditentukan oleh statusnya yang didapatkan dari kelahiran maupun dari segala daya upayanya. Status personality seseorang mengalami perubahan dalam suatu saat, jika seseorang tersebut bertindak dalam kedudukannya yang berbeda-beda, misalnya sebagai ayah, sebagai pegawai, sebagai anak laki-laki, sebagai pedagang dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut maka dalam hal basic personality structure dari suatu masyarakat, seorang peneliti harus memperhatikan unsur-unsur status personality yang kemungkinan mempengaruhinya (Ismaun, 1981: 8).

Berdasarkan uraian di atas maka pengertian kepribadian sebagai suatu. identitas nasional suatu bangsa, adalah keseluruhan atau totalitas dari kepribadian individu-individu sebagai unsur yang membentuk bangsa tersebut. Oleh karena itu

pengertian identitas nasional suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan pengertian "Peoples Character ", "National Charactar" atau "National Identity ". Dalam hubungannya dengan identitas nasional Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia kiranya sangat sulit jikalau hanya dideskripsikan berdasarkan ciri khas fisik. Hal ini mengingat bangsa Indonesia itu terdiri atas berbagai macam unsur etnis, ras, suku, kebudayaan, agama, serta karakter yang sejak asalnya memang memiliki suatu perbedaan. Oleh karena itu kepribadian bangsa Indonesia sebagai suatu identitas nasional secara historis berkembang dan menemukan jati dirinya setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun demikian identitas nasional suatu bangsa tidak cukup hanya dipahami secara statis mengingat bangsa adalah merupakan kumpulan dari manusia-manusia yang senantiasa berinterkasi dengan bangsa lain di dunia dengan segala hasil budayanya. Oleh karena itu identitas nasional suatu bangsa termasuk identitas nasional Indonesia juga harus dipahami dalam konteks dinamis. Menurut Robert de Ventos sebagaimana dikutip oleh Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity (dalam Suryo, 2002), mengemukakan bahwa selain faktor etnisitas, teritorial, bahasa, agama serta budaya, juga faktor dinamika suatu bangsa tersebut dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu identitas nasional bangsa Indonesia juga harus dipahami dalam arti dinamis, yaitu bagaimana bangsa itu melakukan akselerasi dalam pembangunan, termasuk proses interaksinya secara global dengan bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

Sebagaimana kita ketahui di dunia internasional bahwa bangsa-bangsa besar yang telah mengembangkan identitasnya secara dinamis membawa nama bangsa tersebut baik dalam khasanah dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kasanah dunia pergaulan antar bangsa di dunia. Kebesaran bangsa Inggris tidak terlepas dari jerih payah serta kreativitas bangsa tersebut dalam melakukan akselerasi pembangunannya. Dalam sejarah dunia kita ketahui bahwa banyak anak-anak bangsa Inggris menemukan ilmu pengetahuan, yang kemudian dikembangkan melalui teknologi. Atas karya besar tersebut bangsa Inggris mengalami suatu revolusi kehidupan yaitu "Revolusi Industri". Dengan revolusi industri tersebut bangsa Inggris mulai menjelajahi benua lain, sehingga diberbagai benua bangsa Inggris menanamkan karya besarnya yang dikembangkan karena kreativitas dari bangsa tersebut. Hal ini dengan sendirinya tanpa mengesampingkan aspek negatifnya, yaitu bangsa Inggris melakukan penjajahan di berbagai benua di dunia. Atas kebesaran penemuan bangsa Inggris tersebut maka bangsa di seluruh dunia berniat untuk menimba ilmu pengetahuan dan teknologinya, sehingga tidak mengherankan jikalau bahasa Inggris yang merupakan salah satu identitas nasional bangsa Inggris dipelajari oleh bangsa di seluruh dunia.

Bagi bangsa Indonesia dimensi dinamis identitas nasional Indonesia belum menunjukkan perkembangan ke arah sifat kreatif serta dinamis. Setelah bangsa Indonesia mengalami kemerdekaan 17 Agustus 1945, berbagai perkembangan ke arah kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami kemerosotan dari segi identitas nasional. Pada masa mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dihadapkan pada kemelut kenegaraan sehingga tidak membawa kemajuan bangsa dan negara.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bangsa Indonesia kembali ke UUD 1945. Pada saat itu dikenal periode Orde Lama dengan penekanan kepada

kepemimpinan yang sifatnya sentralistik. Pada periode tersebut partai komunis semakin berkembang dengan subur, bahkan tatkala mencapai kejayaanya berupaya untuk menumbangkan pemerintahan Indonesia, yang ditandai dengan timbulnya gerakan G 30 S. PKI Rakyat Indonesia menjadi semakin tidak menentu. Identitas dinamis bangsa Indonesia saat itu ditandai dengan perang saudara yang memakan banyak korban rakyat kecil. Maka muncullah gerakan aksi dari para pemuda, pelajar dan mahasiswa untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari bahaya negara atheistik.

Kejatuhan kekuasaan Orde Lama diganti dengan kekuasaan Orde Baru dengan munculnya pemimpin kuat yaitu Jendral Soerharto. Pada periode Orde Baru Soeharto banyak mengembangkan program Pembangunan Nasional yang sangat populer dengan program Repelita. Memang sudah banyak yang dilakukan Soeharto melalui Pembangunan yang banyak dinikmati rakyat, namun dalam kenyataannya pemerintah saat itu banyak melakukan hutang ke dana moneter internasional, sehingga rakyat kembali dihadapkan pada beban yang sangat berat yaitu menanggung hutang negara. Selama kurang lebih tiga puluh dua tahun Soeharto berkuasa seakan-akan bangsa Indonesia menunjukkan kepada masyarakat dunia internasional bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang demokratis. Namun dalam Kenyataannya hanya semu belaka, pemerintah melakukan Pemilu memilih wakil-wakil rakyat namun secara langsung' atau tidak langsung juga mengarah kepada model kepemimpinan yang sentralistik bahkan juga ditandai dengan kekuasaan militer. Pada saat itu bangsa Indonesia berupaya secara dinamis akan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui Menristek, bahkan juga dikembangkannya teknologi modern dengan mengembangkan perusahaan pesawat terbang "Nurtanio".yang dipelopori oleh B.J. Habibie. Meskipun seakan-akan pemerintah saat itu mengembangkan teknologi modern, namun dalam kenyataannya industri pesawat terbang tersebut belum memberikan peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang paling memprihatinkan saat Itu adalah berkembangnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang mengakar pada pejabat pemerintahan negara, sehingga konsekuensinya identitas nasional Indonesia saat itu dikenal sebagai bungsa yang "korup". Selain itu penguasa Orde Baru saat itu menempatkan filsafat negara Pancasila yang sekaligus juga sebagai identitas bangsa dan negara Indonesia, sebagai alat legitimasi politis untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu akibatnya saat ini sebagian rakyat bahkan banyak kalangan elit politik memiliki pemahaman epistemologis yang sesat yaitu Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan kepribadian bangsa Indonesia, seakan-akan identik dengan kekuasaan Orde Baru.

Pasca kekuasaan Orde Baru bangsa Indonesia melakukan suatu gerakan nasional yang populer dewasa ini disebut sebagai gerakan "reformasi". Rakyat dengan ditokohi oleh kalangan elit politik, para intelektual termasuk mahasiswa melakukan reformasi dengan tujuan seharusnya adalah peningkatan kesejahteraan atas kehidupan rakyat. Diharapkan pada era reformasi dewasa ini kehidupan rakyat menjadi semakin bebas, demokratis, dan yang terlebih penting lagi adalah meningkat kesejahteraannya baik lahir maupun batin. Sudah banyak memang yang dilakukan pemerintahan negara Indonesia dalam melakukan reformasi, baik di bidang politik, hukum, ekonomi, militer, pendidikan serta bidang-bidang lainnya. Satu hal yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah seharusnya kita

bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa, kita dikaruniai kesempatan untuk melakukan suatu reformasi dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, namun saat ini kita lupa akan tujuan hidup berbangsa dan bernegara, arah kehidupan kita tidak jelas, ideologi dan filsafat bangsa dan negara hanya sebagai simbol kosong belaka. Konsekuensinya dewasa ini ideologi kebangsaan dan kenegaraan bangsa Indonesia adalah reformasi itu sendiri, sementara arah dan makna reformasi juga dimaknai secara beragam. Unsur-unsur filosofi bangsa Indonesia yang menekankan kebersamaan dalam hidup berbangsa dan bernegara di samping berbagai perbedaan, dewasa ini dianggap kosong belaka. Akibatnya dalam era reformasi dewasa ini muncullah berbagai konflik perbedaan yang bahkan ditandai dengan konflik fisik di antara elemen-elemen masyarakat sebagai pembentuk bangsa Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita konflik. Ambon, Sampit antara suku Madura dengan Dayak, Sambas, Kalimantan Barat, Poso, konflik antar daerah di berbagai wilayah, konflik antar pemeluk agama, misalnya kasus Achmadiyah, Kasus Salafiah, serta kasus konflik antar pemeluk agama lainnya. Selain itu juga konflik politik baik dalam tubuh partai politik, proses Pilkada, bahkan ironisnya juga terjadi di dunia kehidupan kampus.

Nampaknya makna kebebasan dalam era reformasi dewasa ini dimaknai lain oleh sebagian besar masyarakat, bahkan kadangkala aparat penegak hukum serta peraturan perundang-undangan dibuat tidak berdaya. Berbagai konflik tersebut di atas memakan banyak korban nyawa anak-anak bangsa yang tidak berdosa, dan anehnya tidak ada seorangpun yang mau bertanggungjawab atas musibah tersebut. Bahkan tatkala terjadi konflik etnis di Kalimantan di mana antar suku saling membantai, bangsa Indonesia di dunia Internasional mendapat identitas yang negatif sebagai bangsa yang berbudaya dan beradab.

Dalam hubungan dengan konteks identitas nasional secara dinamis dewasa ini nampaknya bangsa Indonesia tidak merasa bangga dengan bangsa dan negaranya di dunia internasional. Akibatnya dewasa ini semangat patriotisme, semangat kebangsaan, semangat untuk mempersembahkan karya terbaik bagi bangsa dan negara di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, bangsa Indonesia belum menunjukkan akselerasi yang berarti, pada hal jikalau kita lihat sumber daya manusia Indonesia ini juga seharusnya dapat dibanggakan. Sebagai contoh fakta kongkrit, anak-anak kita sering berprestasi internasional dalam Olympiade Ilmu Pengetahuan. Terlebih lagi dewasa ini muncul budaya "mudah menyalahkan orang lain" tanpa diimbangi dengan ide serta solusi yang realistik.

Oleh karena itu dalam hubungannya dengan identitas nasional secara dinamis, dewasa ini bangsa Indonesia harus memiliki visi yang jelas dalam melakukan reformasi, melalui dasar filosofi bangsa dan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang terkandung dalam filosofi Pancasila. Masyarakat harus semakin terbuka, dan dinamis namun harus berkeadaban serta kesadaran akan tujuan hidup bersama dalam berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran akan kebersamaan dan persatuan tersebut maka insya Allah bangsa Indonesia akan mampu mengukir identitas nasionalnya secara dinamis di dunia internasional.

B. Faktor-faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional

Kelahiran identitas nasional suatu bangsa memiliki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang

mendukung kelahiran identitas nasional tersebut. Adapun faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi (1) faktor objektif, yang meliputi faktor geografis ekologis dan demografis, (2) faktor subjektif, yaitu faktor historis, sosial, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002).

Kondisi geografis-ekologis yang membentuk Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang beriklim tropis dan terletak di persimpangan jalan komunikasi antarwilayah dunia di Asia Tenggara, ikut mempengaruhi perkembangan kehidupan demografis, ekonomis, sosial dan kultural bangsa Indonesia. Selain itu faktor historis yang dimilik Indonesia ikut mempengaruhi proses pembentukan masyarakat dan bangsa Indonesia beserta identitasnya, melalui interaksi berbagai faktor yang ada di dalamnya. Hasil dari interaksi dari berbagai faktor tersebut melahirkan proses pembentukan masyarakat, bangsa, dan negara bangsa beserta identitas bangsa Indonesia, yang muncul tatkala nasionalisme berkembang di Indonesia pada awal abad XX.

Robert de Ventos, sebagaimana dikutip Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity (Suryo, 2002), mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis antara empat faktor penting, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif. Faktor pertama, mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang tersusun atas berbagai macam, etnis, bahasa, agama wilayah serta bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing. Unsur-unsur yang beraneka ragam yang masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri menyatukan diri dalam suatu persekutuan hidup bersama yaitu bangsa Indonesia. Kesatuan tersebut tidak menghilangkan keberanekaragaman, dan hal inilah yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika. Faktor kedua, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan Negara. Dalam hubungan ini bagi suatu bangsa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan negara dan bangsanya juga merupakan suatu identitas nasional yang bersifat dinamis. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses pembentukan identitas nasional yang dinamis ini sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dan prestasi bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negaranya. Dalam hubungan ini sangat diperlukan persatuan. dan kesatuan bangsa, serta langkah yang sama dalam memajukan bangsa dan Negara Indonesia. Faktor ketiga, mencakup kodifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbunya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa persatuan dan kesatuan nasional, sehingga bahasa Indonesia telah merupakan bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia. Bahasa Melayu telah dipilih sebagai bahasa antar etnis yang ada di Indonesia, meskipun masing-masing etnis atau daerah di Indonesia telah memiliki bahasa daerah masing-masing. Demikian pula menyangkut birokrasi serta pendidikan nasional telah dikembangkan sedemikian rupa meskipun sampai saat ini masih senantiasa dikembangkan. Faktor keempat, meliputi penindasan, dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat. Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh bangsa lain sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat melalui memori kolektif rakyat Indonesia. Penderitaan, dan kesengsaraan hidup serta semangat

bersama dalam memperjuangkan kemerdekaan merupakan faktor yang sangat strategis dalam membentuk memori kolektif rakyat. Semangat berjuangan, pengorbanan, menegakkan kebenaran dapat merupakan identitas untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Indonesia.

Keempat faktor tersebut pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia, yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain. Pencarian identitas nasional bangsa Indonesia pada dasarnya melekat erat dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk membangun bangsa dan Negara dengan konsep nama Indonesia. Bangsa dan negara Indonesia ini dibangun dari unsur-unsur masyarakat lama dan dibangun menjadi suatu kesatuan bangsa dan negara dengan prinsip nasionalisme modem. Oleh karena itu pembentukan identitas nasional Indonesia melekat erat dengan unsur-unsur lainnya seperti sosial, ekonomi, budaya, etnis, agama serta geografis, yang saling berkaitan dan terbentuk melalui suatu proses yang cukup panjang.

C. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional

Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memiliki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menuju fase nasionalisme modern, diletakkanlah prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam hidup,berbangsa dan bernegara. Para pendiri negara menyadari akan pentingnya dasar filsafat ini, kemudian melakukan suatu penyelidikan yang dilakukan oleh badan yang akan meletakkan dasar filsafat bangsa dan negara yaitu BPUPKI. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa tersebut yang diangkat dari filsafat hidup atau pandangan hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat negara yaitu Pancasila. Jadi dasar filsafat suatu bangsa dan negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber kepada kepribadiannya sendiri. Hal inilah menurut Titus dikemukan bahwa salah satu fungsi filsafat adalah kedudukannya sebagai suatu pandangan hidup masyarakat (Titus, 1984).

Dapat pula dikatakan bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi filsafat Pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan oleh suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu fase historis yang cukup panjang. Pancasila sebelum dirumuskan secara formal yuridis dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar filsafat negara Indonesia, nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu pandangan hidup, sehingga materi Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri. Dalam pengertian seperti ini menurut Notonagoro bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar negara Republik Indonesia. Proses perumusan materi Pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang "Panitia 9", sidang BPUPKI kedua, serta akhirnya disyahkan secara formal yuridis sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia.

Sejarah Budaya Bangsa sebagai Akar Identitas Nasional

Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang. Berdasarkan kenyataan objektif tersebut maka untuk memahami jati diri bangsa Indonesia serta identitas nasional Indonesia maka tidak dapat dilepaskan dengan akar-akar budaya yang mendasari identitas nasional Indonesia. Kepribadian, jati diri, serta identitas nasional Indonesia yang terumuskan dalam filsafat Pancasila harus dilacak dan dipahami melalu sejarah terbentuknya bangsa Indonesia sejak zaman Kutai, Sriwijaya, Majapahit serta kerajaan lainnya sebelum penjajahan bangsa asing di Indonesia.

Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses terbentuknya bangsa dan negara Indonesia melalui suatu proses sejumlah yang cukup panjang yaitu sejak zaman kerajaan-kerajaan pada shad ke-IV, ke-V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad-ke-VII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya dibawah wangsa Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya. Proses terbentuknya nasionalisme yang berakar pada budaya ini menurut Yamin diistilahkan sebagai fase terbentuknya nasionalisme lama, dan oleh karena itu secara objektif sebagai dasar identitas nasonalisme Indonesia.

Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modem menurut Yamin dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk menemukan identitas nasionalnya sendiri, membentuk suatu bangsa dan negara Indonesia tercapai pada tanggal 17 Agustus 19456 yang kemudian diproklamsikan sebagai suatu kemerdekaan bangsa Indonesia.

Oleh karena itu akar-akar nasionalisme Indonesia yang berkembang dalam perspektif sejarah sekaligus juga merupakan unsur-unsur identitas nasional, yaitu nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah terbentuknya bangsa Indonesia.

BAB IV

DEMOKRASI INDONESIA

A. Demokrasi dan Implementasinya

Pembahasan tentang peranan negara dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya yang fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil studi UNESCO pada awal 1950-an yang mengumpulkan lebih dari 100 Sarjana Barat dan Timur, sementara di negara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada negara dan masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda-beda (kendati sama-sama negara demokrasi). Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya tetapi ternyata demokrasi. itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (Rais, 1995: 1).

Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam sistem pemerintahan, demokrasi juga melahirkan sistem yang bermacam-macam seperti: pertama. sistem presidensial yang menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan kepada presiden yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kedua, sistem parlementer yang meletakkan pemerintah dipimpin oleh perdana menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan bukan kepala negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja atau presiden yang hanya menjadi simbol kedaulatan dan persatuan dan; ketiga, sistem referendum yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen, Di beberapa negara ada yang menggunakan sistem campuran antara presidensial dengan parlementer, yang antara lain dapat dilihat dari sistem ketatanegaraan di Perancis atau di Indonesia berdasar UUD 1945.

Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asas demokrasi yang hampir sepenuhnya disepakati sebagai model terbaik bagi dasar penyelenggaraan negara ternyata memberikan implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan negara.

B. Arti dan Perkembangan Demokrasi

Secara etimologis Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, "demos" berarti rakyat dan "kratos/kratein" berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi berarti "rakyat berkuasa" (government of rule by the people). Ada pula definisi singkat untuk istilah demokrasi yang diartikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun demikian penerapan demokrasi diberbagai negara di dunia, memiliki ciri khas dan spesifikasi masing-masing, yang lazimnya sangat dipengaruh oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatu Negara.

Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan

sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh sebab' itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi penting dalam asas demokrasi ini berikut akan dikutip beberapa pengertian demokrasi.

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara, karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat (Noer, 1983: 207). Jadi, negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau asas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.

Dalam hubungan ini menurut Henry B. Mayo bahwa sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik (Mayo, 1960: 70).

Meskipun dari berbagai pengertian itu terlihat bahwa rakyat diletakkan pada posisi sentral "rakyat berkuasa" (government or role by the people) tetapi dalam praktiknya oleh Unesco disimpulkan bahwa ide demokrasi itu dianggap ambiguous atau mempunyai arti ganda, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi istilah ide dan praktik demokrasi (Budiardjo, 1982: 50). Hal ini bisa dilihat betapa negara-negara yang sama-sama menganut asas demokrasi ternyata mengimplementasikannya secara tidak sama. Ketidaksamaan tersebut bahkan bukan hanya pada pembentukan lembaga-lembaga atau aparatur demokrasi, tetapi juga menyangkut perimbangan porsi yang terbuka bagi peranan maupun peranan rakyat.

Memang sejak dimunculkannya kembali asas demokrasi yaitu setelah tenggelam beberapa abad dari permukaan Eropa telah menimbulkan masalah tentang siapakah sebenarnya yang lebih berperan dalam menentukan jalannya negara sebagai organisasi tertinggi: negara ataukah masyarakat? Dengan kata lain, negarakah yang menguasai negara? Pemakaian demokrasi sebagai prinsip hidup bernegara sebenarnya telah melahirkan fiksi-yuridis bahwa negara adalah milik masyarakat, tetapi pada fiksi-yuridis inilah telah terjadi tolak-tarik kepentingan, atau kontrol, tolak-tarik mana yang kemudian menunjukkan aspek lain yakni tolak-tarik antara negara-masyarakat karena kemudian negara terlihat memiliki pertumbuhannya sendiri sehingga lahirlah konsep tentang _negara organis (Mahasin, 1984: 2). Pemahaman atas masalah ini akan lebih jelas melalui. penelusuran sejarah perkembangan prinsip itu sebagai asas hidup negara yang fundamental.

Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di Yunani Kuno dan dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke 4 sebelum masehi sampai abad 6 masehi. Pada waktu itu, dilihat dari

pelaksanaanya, demokrasi yang dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat dilaksanakan secara efektif karena Negara Kota (City State) Yunani Kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya dan jumlah penduduk yang hanya lebih kurang 300.000 orang dalam satu negara. Lebih dari itu ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi yang merupakan sebagian kecil dari seluruh penduduk. Sebagian bestir yang terdiri dari budak belian, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak dapat menikmati hak demokrasi (Budiardjo, 1982: 54).

Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan lenyap dari muka Dunia Barat. ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku Eropah Barat dan Benua Eropah memasuki abad Pertengahan (600-1400). Masyarakat abad Pertengahan ini dicirikan oleh struktur sosial yang feodal; kehidupan sosial dan spiritualnya dikuasai oleh Paus dan Pejabat-pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara para bangsawan. Dengan demikian, masyarakat Abad Pertengahan terbelenggu oleh kekuasaan feodal dan kekuasaan pemimpin-pemimpin agama, sehingga tenggelam dalam apa yang disebut sebagai masa kegelapan. Kendati begitu, ada sesuatu yang penting berkenaan dengan demokrasi pada abad pertengahan itu, yakni lahirnya dokumen Magna Charta (Piagam Besar ), sesuatu piagam yang berisi semacam perjanjian antara beberapa bangsawan dan Raja John di Ingris bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan previleges bahwasannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan lain-lain. Lahirnya piagam ini, dapat dikatakan sebagai lahirnya suatu tonggak baru bagi perkembangan demokrasi, sebab dari piagam tersebut terlihat adanya dua prinsip dasar: pertama, kekuasaan Raja harus dibatasi; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan Raja (Ramdlonnaning, 1983: 9).

Ranaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani kuno, yang berupa gelombang-gelombang kebudayaan dan pemikiran yang dimulai di Italia pada abad ke14 dan mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan16. Masa Renaissance adalah masa ketika orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikan dengan kebebasan bertindak yang seluas-luasnya sepanjang sesuai dengan yang dipikirkan, karena dasar ide ini adalah kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia tanpa boleh ada orang lain yang menguasai atau membatasi dengan ikatan-ikatan. Hal itu di samping mempunyai segi positif yang cemerlang dan gemilang karena telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih modern dan mendorong berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memberi sisi negatifnya sendiri, sebab dengan adanya pemikiran untuk lepas dari semua ikatan (dan orang tak mungkin hidup tanpa ikatan-ikatan) berkembanglah sifat-sifat buruk dan asocial seperti kebencian, iri hati, atau cemburu yang dapat meracuni penghidupan yang mengakibatkan terjadinya perjuangan sengit di setiap lapangan dengan saling bersiasat, membujuk, menipu, atau melakukan apa saja diinginkan kendati melalui cara yang tercela secara moral.

Selain Renaissance peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali "demokrasi" yang dahulu tenggelam dalam abad Pertengahan adalah terjadinya

Reformasi, yakni revolusi agama yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke-16 yang pada mulanya menunjukkan sebagai pergerakkan perbaikan keadaan dalam gereja Katolik tetapi kemudian berkembang menjadi asas-asas Protestanisme. Reformasi dimulai pada pintu gereja Wittenberg (31 Oktober 1517), yang kemudian segera memancing terjadinya serangan terhadap gereja. Luther mempunyai ajaran tentang pengampunan dengan kepercayaan saja, se bagai pengganti upacara-upacara, pekerjaan baik dan perantaraan gereja, serta mendesak supaya membaca kitab suci yang ternyata telah memberikan pertanggungjawaban lebih besar kepada perseorangan untuk keselamatan sendiri. Ajaran yang kemudian disambut dimana-mana mana itu telah menyulut api pemberontakan secara cepat dan meluas di jerman dan sekitarnya, sengketa dengan gereja dan kaisar berjalan lama dan getir yang tidak terselesaikan dengan diselenggarakannya muktamar-muktamar di Speyer (1526, 1529) dan di Augsburg (1530). Berakhirnya Reformasi ditandai dengan terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang ternyata mampu menciptakan keseimbangan setelah kelelahan akibat perang yang berlangsung selama 30 tahun. Namun, Protestanisme yang lahir dari Reformasi itu tidak hilang dengan selesainya Reformasi, tetapi tetap menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampan sekarang (Shadily, 1977: 937).

Dua kejadian (Renaissance dan Reformasi) ini telah mempersiapkan Eropah masuk ke dalam Aufklarung (Abad Pemikiran) dan Rasionalisme yang mendorong mereka untuk memerdekakan pikiran dari batas-batas yang ditentukan gereja untuk mendasarkan pada pemikiran atau akal (rasio) semata-mata yang pada gilirannya kebebasan berpikir ini menelorkan lahimya pikiran tentang kebebasan politik. Dari sini timbullah gagasan tentang hak-hak politik rakyat yang tidak boleh diselewengkan oleh raja, serta timbul kecaman-kecaman terhadap raja yang pada waktu rezim memerintah dengan kekuasaan tak terbatas dalam bentuk monarki-monarki absolut. Gagasan-gagasan politik dan kecaman terhadap absolutisme monarki itu telah pula didukung oleh golongan menengah (midleclass) yang waktu itu mulai berpengaruh karena kedudukan ekonomi dan mutu pendidikan golongan ini relatif baik (Budiardjo, 1982: 55).

Kecaman dan dobrakan terhadap absolutisme monarki didasarkan pada teori rasionalistis sebagai "sosial-contract" (perjanjian masyarakat) yang salah satu asasnya menentukan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (natural) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal yang mempermasalahkan berlakunya hukum alam (naturallaw) bagi semua orang dalam bidang politik telah melahirkan pendapat umum bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasarkan pada suatu perjanjian yang mengikat kedua belah pihak; Raja diberi kekuasaan untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana yang memungkinkan rakyat menikmati hak-hak alamnya dengan aman, sedangkan rakyat akan mentaati pemerintahan raja, asal hak-hak alamnya juga terjamin (Budiardjo, 1982: 56).

Tampak bahwa teori hukum alam merupakan usaha untuk mendobrak pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat dalam suatu asas yang disebut demokrasi (pemerintah rakyat). Dua fiisuf besar yaitu John Locke dan Montesquieu, masing-masing dari Inggris dan Perancis telah memberikan sumbangan yang besar bagi gagasan pemerintahan demokrasi ini. John Locke (1632 - 1704) mengemukakan bahwa hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak memiliki (live, liberal, property); sedangkan Mon-

tesquieu (1689-1955) mengemukakan sistem pokok yang menurutnya dapat menjamin hak-hak politik tersebut melalui "Trias Politika"-nya, yakni suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara ke dalam kekuasaan legislatis, eksekutif dan yudikatif yang masing-masing harus dipegang oleh organ sendiri yang merdeka, artinya secara prinsip kiranya semua kekuasaan itu tak boleh dipegang hanya seorang saja.

Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan inilah terlihat munculnya kembali ide pemerintahan rakyat (demokrasi). Tetapi dalam kemunculannya sampai saat ini demokrasi telah melahirkan dua konsep demokrasi yang berkaitan dengan peranan negara dan peranan masyarakat, yaitu demokrasi konstitusional abad ke-19 dan demokrasi konstitusional abad ke-20 yang keduanya senantiasa dikaitkan dengan konsep negara hukum (Mahfud, 1999: 20).

C. Bentuk-bentuk DemokrasiMenurut Torres demokrasi dapat dilihat dari dua aspek yaitu pertama,

formal democracy dan kedua, substantive democracy, yaitu menunjuk pada bagaimana proses demokrasi itu dilakukan (Winataputra, 2006).

Formal democracy menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai Negara. Dalam suatu negara misalnya dapat diterapkan demokrasi dengan menerapkan sistem presidensial, atau sistem parlementer.Sistem Presidensial : sistem ini menekankan petingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat. Dalam sistem ini kekuasaan eksekutif (kekuasaan menjalankan pemerintahan) sepenuhnya berada di tangan presiden. Oleh karena itu presiden adalah merupakan kepala eksekutif (head of government) dan sekaligus menjadi kepala negara (head of state). Presiden adalah penguasa dan sekaligus sebagai simbol kepemimpinan negara (Tim LP3, UMY). Sistem demokrasi ini sebagaimana diterapkan di negara Amerika dan negara Indonesia. Sistem Parlementer : Sistem ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala eksekutif (head of government) adalah berada di tangan seorang perdana menteri. Adapun kepala negara (head of state) adalah berada pada seorang ratu, misalnya di negara Inggris atau ada pula yang berada pada seorang presiden misalnya di India.

Selain bentuk demokrasi sebagaimana dipahami di atas terdapat beberapa sistem demokrasi yang mendasarkan pada prinsip filosofi Negara.

1. Demokrasi Perwakilan LiberalPrinsip demokrasi ini didasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa

manusia adalah sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karena itu dalam sistem demokrasi ini kebebasan individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi.

Pemikiran tentang negara demokrasi sebagaimana dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau bahwa negara terbentuk karena adanya perbenturan kepentingan hidup mereka dalam hidup bermasyarakat dalam suatu natural state. Akibatnya terjadilah penindasan di antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu

individu-individu dalam suatu masyarakat itu membentuk suatu persekutuan hidup bersama yang disebut negara, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan dan hak individu dalam kehidupan masyarakat negara. Atas dasar kepentingan ini dalam kenyataannya muncullah kekuasaan yang kadangkala menjurus ke arah otoriterianisme.

Berdasarkan kenyataan yang dilematis tersebut, maka muncullah pemikiran ke arah kehidupan demokrasi perwakilan liberal, dan hal inilah yang sering dikenal dengan demokrat-demokrat liberal. Individu dalam suatu negara dalam partisipasinya disalurkannya melalui wakil-wakil yang dipilih melalui proses demokrasi.

Menurut Held (2004: 10), bahwa demokrasi perwakilan liberal merupakan suatu pembaharuan kelembagaan pokok untuk mengatasi problema keseimbangan antara kekuasaan memaksa dan kebebasan. Namun demikian perlu disadari bahwa dalam prinsip demokrasi ini apapun yang dikembangkan melalui kelembagaan negara senantiasa merupakan suatu manifestasi perlindungan serta jaminan atas kebehasan individu dalam hidup bernegara. Rakyat harus diberikan jaminan kebebasan secara individual baik di dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, keagamaan bahkan kebebasan anti agama.

Konsekuensi dari implementasi sistem dan prinsip demokrasi ini adalah berkembang persaingan bebas, terutama dalam kehidupan ekonomi sehingga akibatnya individu yang tidak mampu menghadapi persaingan tersebut akan tenggelam. Akibatnya kekuasaan kapitalislah yang menguasai kehidupan negara, bahkan berbagai kebijakan dalam negara sangat ditentukan oleh kekuasaan kapital. Hal ini sesuai dengan analisis P. L. Berger bahwa dalam era global dewasa ini dengan semangat pasar bebas yang dijiwai oleh filosofi demokrasi liberal, maka kaum kapitalislah yang berkuasa. Kapitalime telah menjadi fenomena global dan dapat mengubah masyarakat diseluruh dunia baik dalam bidang sosial, politik maupun kebudayaan (Berger, 1988).

2. Demokrasi Satu Partai dan Komunisme .Demokrasi satu partai ini lazimnya dilaksanakan di negara-negara

komunis seperti, Rusia, China, Vietnam dan lainnya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan menghasilkan kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, dan akhirnya kapitalislah yang menguasai negara.

Dalam hubungan ini Marx mengembangkan pemikiran sistem demokrasi "commune structure" (struktur persekutuan). Menurut sistem demokrasi ini masyarakat tersusun atas komunitas-komunitas yang terkecil. Komunitas yang paling kecil ini mengatur urusan mereka sendiri, yang akan memilih wakil-wakil untuk unit-unit administratif yang besar misalnya distrik atau kota. Unit-unit administratif yang lebih besar ini kemudian akan memilih calon-calon administratif yang lebih besar lagi yang sering diistilahkan dengan delegasi nasional (Marx, 1970: 67). Susunan ini sering dikenal dengan struktur "piramida" dari "demokrasi delegatif'. Semua delegasi bisa ditarik kembali, diikat oleh perintah-perintah dari distrik pemilihan mereka dan diorganisasikan dalam suatu "piramida" komite-komite yang dipilih secara langsung. Oleh karena itu menurut komunis, negara post kapitalis tidak akan melahirkan kemiripan apapun dengan suatu rezim liberal, yakni rezim parlementer. Semua perwakilan atau agen negara

akan dimasukkan ke dalam lingkungan seperangkat institusi-institusi tunggal yang bertanggung jawab secara langsung.

Menurut pandangan kaum Marxis-Leninis, sistem demokrasi delegatif harus dilengkapi, pada prinsipnya dengan suatu sistem yang terpisah tetapi sama pada tingkat partai komunis. Transisi menuju sosialisme dan komunisme memerlukan kepemimpinan yang profesional, dari kader-kader revolusioner dan disiplin (Lenin 1947). Hanya kepemimpinan yang seperti itu yang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan pertahanan revolusi melawan kekuatan-kekuatan kapitalis dan mengawasi rekonstruksi masyarakat. Hal itu dikarenakan perbedaan kepentingan yang fundamental adalah kepentingan kelas, karena titik tolak kepentingan kelas pekerja merupakan suatu kepentingan yang progresif dalam masyarakat, dan karena selama dan setelah revolusi kepentingan kelas pekerja itu harus diartikulasikan secara pasti. Oleh karena itu partai revolusioner merupakan hal yang esensial. Partai tersebut merupakan instrument yang'bisa menciptakan landasan bagi sosialisme dan komunisme (Held, 2004: 15-17).

Berdasarkan teori serta praktek demokrasi sebagaimana dijelaskan di atas maka pengertian demokrasi secara filosofis menjadi semakin luas, artinya masing-masing paham mendasarkan pengertian bahwa kekuasaan di tangan rakyat.

D. Demokrasi di Indonesia

1. Perkembangan Demokrasi di IndonesiaDalam sejarah negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah

abad, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ialah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam masyarakat yang beraneka ragam pola adat budayanya. Masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dengan kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta character and nation building, dengan partisipasi rakyat, sekaligus menghindarkan timbulnya diktafur perorangan, partai ataupun militer.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode:a. Periode 1945-1959, masa demokrasi perlementer yang menonjolkan peranan

parlemen serta partai-partai. Pada masa ini kelemahan demokrasi parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.

b. Periode 1959-1965, masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh komunis, dan peran ABRI sebagai unsur sosial-politik, semakin meluas.

c. Periode 1966-1998, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin. Namun dalam perkembangannya

peran presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negara yang lain. Melihat praktek demokasi pada masa ini, nama Pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politis penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

d. Periode 1999-sekarang, masa demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar pada kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara, antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Jikalau esensi demokrasi adalah kekuasaan di tangan rakyat, maka praktek demokrasi tatkala Pemilu memang demikian, namun dalam pelaksanaannya setelah pemilu banyak kebijakan tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih ke arah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan lain perkataan model demokrasi era reformasi dewasa ini, kurang mendasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (walfare state).

2. Pengertian Demokrasi menurut UUD 1945a. Seminar Angkatan Darat II (Agustus 1966)

1) Bidang Politik dan KonstitusionalDemokrasi Indonesia seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 berarti menegakkan kembali asas-asas negara hukum di mana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak-hak asasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun dalam aspek perseorangan dijamin, dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara Institusional. Dalam rangka ini perlu diusahakan supaya lembaga-lembaga dan tata kerja Orde Baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih diperlembagakan.

2) Bidang Ekonomi:Demokrasi ekonomi sesuai dengan asas-asas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai ekonomi dalam UUD 1945 yang pada hakikatnya berarti kehidupan yang layak bagi semua warganegara yang antara lain mencakup :

a) pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara.

b) Koperasic) pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam

penggunaannya.d) peranan pemerintah yang bersifat pembinaan, penunjuk jalan serta

pelindung.

b. Munas III Persahi : The Rule of Law (Desember 1966)Asas negara hukum Pancasila mengandung prinsip: 1) Pengakuan dan perlindungan hak asasi yang mengandung persamaan dalam

bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, kultural dan pendidikan.2) Peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak terpengaruh oleh sesuatu

kekuasaan/kekuatan lain apa pun.3) Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan

kepastian hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami, dapat- dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

c. Simposium hak-hak Asasi Manusia (Juni 1967)Apa pun predikat yang akan diberikan kepada demokrasi kita, maka demokrasi itu harus demokrasi yang bertanggungjawab, artinya demokrasi yang dijiwai oleh rasa tanggungjawab terhadap Tuhan dan sesama kita. Berhubungan dengan keharusan kita di tahun-tahun yang akan datang untuk memperkembangkan "a rapidly expanding economy" maka di samping pemerintah yang kuat dan berwibawa, diperlukan juga secara mutlak pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang mendukung Pancasila. Untuk itu diperlukan kebebasan politik yang sebesar mungkin.

Persoalan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan yang wajar di antara tiga hal : 1) adanya Pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan,2) adanya kebebasan yang sebesar-besarnya,3) perlunya untuk membina suatu "rapidly expanding economy" (pengembangan

ekonomi secara cepat).

3. Demokrasi Pasca Reformasi

Dewasa ini hampir seluruh negara di dunia mengklaim menjadi penganut setia paham demokrasi. Namun demikian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Amos J. Peaslee bahwa dalam Kenyataannya demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan orang menerapkan definisi demokrasi menurut kriteria masing-masing, bahkan negara komunis seperti. RRC, Kuba, Vietnam juga menyatakan sebagai negara demokrasi.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka perlu diambil suatu pengertian esensial tentang demokrasi yang diterapkan di dalam suatu negara termasuk di negara Indonesia. Dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi harus berdasarkan pada suatu kedaulatan rakyat. Dengan lain perkataan kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah di tangan rakyat. Kakuasaan dalam Negara itu dikelola oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (Asshiddiqie, 2005: 141).

Berdasarkan esensi pengertian tersebut maka hakikat kekuasaan di tangan rakyat adalah menyangkut baik penyelenggaraan negara maupun pemerintahan. Oleh karena itu kekuasaan pemerintahan negara di tangan rakyat mengandung pengertian tiga hal: pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people); kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for people).

Prinsip pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat tersebut bagi Negara Indonesia terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang berbunyi:"..............maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada

Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Pembukaan UUD 1945 dalam ilmu hukum memiliki kedudukan sebagai ."staatsfundamentalnorm", oleh karena itu merupakan sumber hukum positif dalam negara Republik Indonesia. Maka prinsip demokrasi dalam Negara Indonesia selain tercantum dalam Pembukaan juga berdasarkan pada dasar filsafat negara Pancasila sila keempat yaitu kerakyatan, yang juga tercantum dalam Pembukaan UUD 145. Makna pengertian "dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" dimaksudkan bahwa dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia itu didasarkan pada moral kebijaksanaan yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Selain itu dasar pelaksanaan demokrasi Indonesia juga secara eksplisit tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal I ayat (2) yang berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Prinsip demokrasi tesebut secara eksplisit juga dijabarkan dalam pasal UUD 1945 hasil Amandemen dengan mewujudkan sistem penentuan kekuasaan pemerintahan negara secara langsung, yaitu melibatkan rakyat secara langsung dalam memilih presiden dan wakil presiden Pasal 6A ayat (1).

Sistem demokrasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia juga diwujudkan dalam penentuan kekuasaan negara, yaitu dengan menentukan dan memisahkan tentang kekuasaan eksekutif Pasal 4 sampai dengan Pasal 16, legislatif Pasal 19 sampai dengan Pasal 22, dan yudikatif Pasal 24 UUD 1945.

Struktur Pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945

1. Demokrasi Indonesia Sebagaimana Dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemmen 2002

Demokrasi sebagai sistem pemerintah dari rakyat, dalam arti rakyat sebagai asal mula kekuasaan negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-citanya. Suatu pemerintahan dari rakyat haruslah sesuai dengan filsafat hidup rakyat itu sendiri yaitu filsafat Pancasila, dan inilah dasar filsafat demokrasi Indonesia.

Demokrasi di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 selain mengakui adanya kebebasan dan persamaan hak juga sekaligus mengakui perbedaan serta keberanekaragaman mengingat Indonesia adalah "Bhinneka Tunggal Ika ".

Secara filosofis bahwa demokrasi Indonesia mendasarkan pada rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sekaligus sebagai tujuan kekuasaan negara. Rakyat merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, oleh karena itu dalam pengertian demokrasi kebebasan individu harus diletakkan dalam kerangka tujuan bersama, bukan bersifat liberal yang hanya mendasarkan pada kebebasan individu saja dan juga bukan demokrasi klass. Kebebasan individu yang diletakkan demi tujuan kesejahteraan bersama inilah yang menurut istilah pendiri negara disebut sebagai asas kebersamaan, asas kekeluargaan akan tetapi 'bukan nepotisme'.

Secara umum didalam sistem pemerintahan yang demokratis senantiasa

mengandung unsur-unsur yang paling penting dan mendasar yaitu : (1) Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.(2) Tingkat persamaan tertentu diantara warganegara.(3) Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh

warganegara.(4) Suatu sistem perwakilan(5) Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.

Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka demokrasi mengandung ciri yang merupakan patokan yaitu setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warganegara seharusnya terlibat dalam hal tertentu dalam. bidang pembuatan keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui wakil pilihan mereka. ciri lain yang tidak boleh diabaikan adalah adanya keterlibatan atau partisipasi warganegara baik langsung maupun tidak langsung didalam proses pemerintahan negara.

Oleh karena itu didalam kehidupan kenegaraan yang menganut sistem demokrasi, kita akan selalu menemukan adanya Supra Struktur Politik dan Infra Struktur Politik sebagai komponen pendukung tegaknya demokrasi. Dengan menggunakan konsep Montequieu maka Supra Struktur Politik meliputi lembaga Legislatif, Lembaga Ekskutif dan Lembaga Yudikatif. Untuk negara-negara tertentu masih ditemukan lembaga-lembaga negara yang lain, misalnya negara Indonesia dibawah sistem Undang-Undang Dasar 1945, lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara adalah:

Majelis Permusyawaratan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat PresidenMahkamah AgungBadan Pemeriksa Keuangan

Adapun infra struktur politik suatu negara terdiri atas lima komponen sebagai berikut:

Partai PolitikGolongan (yang tidak berdasarkan pemilu) Golongan PenekanAlat Komunikasi Politik Tokoh-Tokoh Politik

Baik Supra Struktur Politik maupun Infra Struktur Politik yang terdapat dalam sistem ketatanegaraan masing-masing saling mempengaruhi serta mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Dalam sistem Demokrasi, mekanisme interaksi antara Supra Struktur Politik dapat dilihat didalarn proscs penentuan kebijaksanaan umum atau menetapkan keputusan politik, maka kebijaksanaan atau keputusan politik itu merupakan masukan (input) dari Infra Struktur, kemudian dijabarkan sedemikian rupa oleh Supra Struktur Politik.

Dengan demikian dalam sistem demokrasi proses pembuatan kebijaksanaan atau keputusan politik merupakan keseimbangan dinamis antara prakarsa pernerintah dan partisipasi aktif rakyat atau warga negara.

Keikutsertaan rakyat yang terumuskan dalam UUD 1945 oleh para pendiri negara tercantumkan bahwa " kedaulatan di tangan rakyat" yang termuat dalam pasal I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (Thaib, 1994: 99,100).

2. Penjabaran Demokrasi menurut UUD 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 2002

Berdasarkan ciri-ciri sistem demokrasi tersebut maka penjabaran demokrasi dalam ketatanegaraan Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai " Staatsfundamentalnorm" yaitu "...Suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat..." (ayat 2), selanjutnya didalam penjelasan UIJD 1945 tentang sistem pemerintahan Negara angka Romawi III dijelaskan "Kedaulatan Rakyat..."

Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa ke dudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu "rakyat" adalah merupakan paradigma sentral kekuasaan negara. Adapun rincian struktural ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan demokrasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:(a) Konsep Kekuasaan

Konsep kekuasan Negara menurut demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut:(1) Kekuasaan di Tangan Rakyat

(a) Pembukaan UUD Alinea IV".....Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam ° suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat "

(b) Pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945"Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan " (pokok pikiran III)

(c) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal I ayat (1)"Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik ". Kemudian penjelasan terhadap pasal ini UUD 1945 menyebutkan " Menetapkan bentuk kesatuan dan Republik mengandung isi Pokok Pikiran Kedaulatan rakyat".

(d) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2)"kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar".Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tertinggi adalah ditangan rakyat dan realisasinya diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara. Sebelum dilakukan amandemen kekuasaan tertinggi dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2) Pembagian KekuasaanSebagaiman dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat,

dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar, oleh karena itu pembagian kekuasaan menurut demokrasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:

(a) Kekuasaan Ekskutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945)

(b) Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPRdan DPD (pasal5) ayat 1, pasal 19 dan pasal 22 C UUD 1945)

(c) Kekuasaan Yudikatif, didelegasikan kepada Mahkamah Agung (pasal 24 ayat(1) UUD 1945)

(d) Kekuasaan Inspektif, atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini termuat dalam UUD 1945 pasal 20 Ayat (1)"...DPR juga memiliki fungsi pengawasan terhadap presiden selaku penguasa ekskutif.

(e) Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada Kekuasaan Konsultatif, yang dalam UUD lama didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA), (pasal 16 Ul1) 1945). Dengan lain perkataan UUD 1945 hasil amandemen telah menghapuskan Dewan Pertimbangan Agung, karena hal ini berdasarkan kenyataan pelaksanaan kekuasaan negara fungsinya tidak jelas.

Mekanisme pendelegasian kekuasaan yang demikian ini dalam khasanah ilmu hukum tatanegara dan ilmu politik dikenal dengan istilah `Distribution of power' yang merupakan unsur mutlak dari negara demokrasi.

(3) Pembatasan KekuasaanPembatasan kekuasaan menurut konsep UUD 1945, dapat dilihat melalui

proses atau mekanisme 5 tahunan kekuasaan dalam UUD 1945 sebagai berikut:(1) Pasal I ayat (2) UUD 1945 "kedaulatan ditangan rakyat...". Kedaulatan

politik rakyat dilaksanakan lewat pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap 5 tahun sekali.

(2) "Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap UUD, melantik Presiden dan wakil Presiden, serta melakukan impeachment terhadap presiden jikalau melanggar konstitusi

(3) Pasal 20 A ayat (1) memuat " Dewan Perwakilam Rakyat memiliki fungsi pengawasan, yang berarti melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang dijalankan oleh Presiden dalam jangka waktu 5 tahun".

(4) Rakyat kembali mengadakan Pemilu setelah membentuk MPR dan DPR (rangkaian kegiatan 5 tahunan sebagai realisasi periodesasi kekuasaan).

Dalam pembatasan kekuasaan menurut konsep mekanisme 5 tahunan kekuasaan sebagaimana tersebut diatas, menurut UUD 1945 mencakup antara lain: periode kekuasaan, pengawasan kekuasaan dan pertanggung jawaban kekuasaan.

(b) Konsep Pengambilan KeputusanPengambilan keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut :

(1) Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok Pikiran ke III, yaitu "..Oleh karena itu sistem negara yang terbentuk dalam UUD 1945, harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/Perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

(2) Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara terbanyak, misalnya pasal 7B ayat (7).

Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa

konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hukum tata negara Indonesia adalah berdasarkan(1) Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai asasnya, artinva segala

keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.

(2) Namun demikian jikalau mufakat itu tidak tercapai, maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak.

(c) Konsep PengawasanKonsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:

(1) Pasal 1 ayat (2), " Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang dasar". Dalam penjelasan terhadap pasal I ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan, berdasarkan UUD. Berbeda dengan UUD' lama sebelum dilakukan amandemen. MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaan kekuasaan rakyat. Maka menurut UUD hasil amandenten MPR kekuasaannya menjadi terbatas, yaitu meliputi Presiden dan Wakil Presiden dan memberhentikan presiden sesuai dengan masa jabatannya atau jikalau melanggar UUD.

(2) Pasal 2 ayat (1), : Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut UUD 1945 hasil amandemen MPR hanya dipilih melalui Pemilu.

(3) Penjelasn UUD 1945 tentang kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat, disebut:"...kecuali itu anggota-anggota DPR semuanya mer angkap. menjadi anggota Majelis Permusyawatan Rakyat. Oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas maka konsep pengawasann menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum UUD 1945 pada dasarnya adalah sebagai berikut:(1) Dilakukan oleh seluruh warga negara. Karena kekuasaan di dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat. (2) Secara formal ketatanegaraan pengawasan berada pada DPR.

(d) Konsep PartisipasiKonsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut:

(1) Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945Segala Warganegara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya".

(2) Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang".

(3) Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945" Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara".

Berdasarkan ketentuan sebagaimana termuat dalam UUD 1945 tersebut diatas, maka konsep partisipasi menyangkut seluruh aspek kehidupan kenegaran

dan kemasyarakatan dan partisipasi itu terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia (Thaib, 1994: 100-112).

Demokrasi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 beserta penjelasannya mengandung suatu pengertian bahwa rakyat adalah sebagai unsur sentral, oleh karena itu pembinaan dan pengembangannya harus ditunjang oleh adanya orientasi baik pada nilai-nilai yang universal yakni rasionalisasi hukum dan perurtdang-undangan juga harus ditunjang norma-norma kemasyarakatan yaitu tuntunan dan kehendak yang berkembang dalam masyarakat.

Selain itu realisasi demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh otentisitas tafsir pasal-pasal UUD 1945. Atas musyawarah untuk mufakat yang oleh pendiri negara diistilahkan dengan asas kebersamaan kekeluargaan, bukan disalahtafsirkan sebagai "praktek nepotisme" sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan sebelum era reformasi. Kata kunci asas kekeluargaan adalah kedaulatan rakyat. Jadi sumber norma, sumber nilai demokrasi Indonesia adalah kerakyatan sebagai dasar filosofinya.

Sistem; demokrasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yang hanya memuat dasar-dasarnya saja memungkinkan untuk senantiasa dilakukan reformasi sesuai dengan perkembangan aspirasi rakyat, karena rakyat adalah sebagai pendukung kekuasaan negara. Misalnya pada zaman Orde Lama kita menganut multi partai, kemudian Orde Baru menganut sistem dua partai dan satu golongan karya, dan era reformasi dewasa ini dikembangkan kembali multi partai yang benar-benar memberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul yang sesuai dengan Undang-undang.

BAB V

NEGARA DAN KONSTITUSI

A. Pengertian Negara

Secara historis pengertian negara senantiasa berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Pada zaman Yunani kuno para ahli filsafat negara merumuskan pengertian negara secara beragam. Aristoteles yang hidup pada tahun 384-322 S.M, merumuskan negara dalam bukunya Politica, yang disebutnya sebagai negara polis, yang pada saat itu asih dipahami negara masih dalam suatu wilayah yang kecil. Dalam pengertian itu negara disebut sebagai negara hukum, yang di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut dalam permusyawaratan (ecciesia). Oleh karena itu menurut Aristoteles keadilan merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya negara yang baik, demi terwujudnya cita-cita seluruh warganya.

Pengertian lain tentang negara dikembangkan oleh Agustinus, yang merupakan tokoh Katolik. la membagi negara dalam dua pengertian yaitu,Civitas Dei yang artinya negara Tuhan, dan Civitav Terrena atau Civitas Diaboli yang artinya negara duniawi. Civitas Terrena ini ditolak oleh Agustinus, sedangkan yang dianggap baik adalah negara Tuhan atau Civias Dei. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia ini, melainkan jiwanya yang dimiliki oleh sebagian atau beberapa orang di dunia ini untuk mencapainya. Adapun yang melaksanakan negara adalah Gereja yang mewakili negara Tuhan. Meskipun demikian bukan berarti apa yang di luar Gereja .itu terasing sama sekali dari Civitas Dei (Kusnardi, 1995).

Berbeda dengan konsep pengertian negara menurut kedua tokoh pemikir negara tersebut, Nicollo Machiavelli (1469-1527), yang merumuskan negara sebagai negara kekuasaan, dalam bukunya `II Principle' yang dahulu merupakan buku referensi pada raja. Machiavelli memandang negara dari sudut kenyataan bahwa dalam suatu negara harus ada suatu kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin negara atau raja. Raja sebagai pemegang kekuasaan negara tidak ungkin hanya mengandalkan kekuasaan hanya pada suatu moralitas atau kesusilaan. Kekacauan timbul dalam suatu negara karena lemahnya kekuasaan negara. Bahkan yang lebih terkenal lagi ajaran Machiavelli tentang tujuan yang dapat menghalalkan segala cara. Akibat ajaran ini muncullah berbagai: praktek pelaksanaan kekuasaan negara yang otoriter, yang jauh dari nilai-nilai moral.

Teori negara menurut Machiavelli tersebut mendapat tantangan dan reaksi yang kuat dari filsuf lain seperti Thomas Hobbes (15881679), 1679), John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778). Mereka mengartikan negara sebagai suatu badan atau organisasi hasil dari perjanjian masyarakat secara bersama. Menurut mereka, manusia sejak dilahirkan telah membawa hak-hak asasinya seperti hak untuk hidup, hak milik serta hak kemerdekaan. Dalam keadaan alamiah sebelum terbentuknya negara, hak-hak tersebut belum ada yang menjamin perlindungannya, sehingga dalam status naturalis, yaitu sebelum terbentuknya negara, hak-hak itu akan dapat dianggar. Konsekuensinya dalam

kehidupan alamiah tersebut terjadilah perbenturan kepentingan berkaitan dengan hak-hak masyarakat tersebut. Dalam keadaan naturalis sebelum terbentuknya negara, menurut Hobbes akan terjadi homo homini lupus, yaitu manusia menjadi serigala bagi manusia lain, dan akan timbul suatu perang semesta yang disebut sebagai belum omniur,contre omnes dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba.

Berikut ini kosep pengertian negara modem yang dikemukakan oleh para tokoh antara lain: Roger H. Soltau, mengemukakan bahwa negara adalah sebagai alat agency atau wewenang authority yang mengatur atau naengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat (Soltau, 1961). Sementara itu menurut Harold J . Lasky, bahwa negara adalah merupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara . sah lebih agung dari pada individu atau kelompok, yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk tercapainya suatu tujuan bersama. Masyarakat merupakan suatu negara manakala cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun kelompok-kelompok, ditentukan suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat (Lasky, 1947: 8-9). Max Weber mengemukan pemikirannya bahwa negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai mono poli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (Weber, 1958:78). Mc. Iver menjelaskan bahwa negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang demi maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa (Iver, 1955: 22). Sementara itu Miriam Budiardjo Guru Besar Ilmu Politik Indonesia mengemukakan, bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah (Budiardjo, 1985: 40-41).

Berdasarkan pengertian yang dikemukan oleh berbagai filsuf serta para sarjana tentang negara, maka dapat disimpulkan bahwa semua negara memiliki unsur-unsur yang mutlak harus ada. Unsur-unsur negara adalah meliputi: Wilayah atau darah teritorial yang sah, rakyat yaitu suatu bangsa sebagai pendukung pokok negara dan tidak terbatas hanya pada salah satu etnis saja, serta pemerintahan yang sah diakui dan berdaulat.

Negara Indonesia

Meskipun ditinjau berdasarkan unsur-unsur yang membentuk negara, hampir semua negara memiliki kesamaan, namun-ditinjau dari segi tumbuh dan terbentuknya negara serta susunan negara, setiap negara di dunia ini memiliki spesifikasi serta ciri khas masing-masing. Negara Inggris tumbuh dan berkembang berdasarkan ciri khas bangsa serta wilayah bangsa Inggris. Mereka tumbuh dan berkembang dengan dilatar belakangi oleh megahnya kekuasaan kerajaan, sehingga negara Inggris tumbuh dan berkembang senantiasa terkait dengan eksistensi kerajaan. Negara Amerika tumbuh dan berkembang dari penduduk imigran yang bertualang menjelajahi benua, meskipun bangsa yang dimaksud adalah bangsa Inggris, yang kemudian disusul oleh berbagai etnis di dunia seperti

dari Cina dan bangsa Asia lainnya, Perancis, Sepanyol, Amerika Latin dan lain sebagainya. Oleh karena itu Negara Amerika terbentuk melalui integrasi antar etnis di dunia. Demikian, pula negara-negara lain di dunia tumbuh dan berkembang dengan ciri khas dan sejarahnya masing-masing.

Demikian pula bangsa dan Negara Indonesia tumbuh dan berkembang dengan dilatar belakangi oleh kekuasaan dan penindasan bangsa asing seperti pcnjajahan Belanda serta Jepang. Oleh karena itu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dilatar belakangi oleh adanya kesatuan nasib, yaitu bersama-sama dalam penderitaan di bawah penjajahan bangsa asing serta berjuang merebut kemerdekaan. Selain itu yang sangat khas bagi bangsa Indonesia adalah unsur-unsur etnis yang membentuk bangsa itu sangat beraneka ragam, baik latar belakang budaya seperti bahasa, adat kebiasaan serta nilai-nilai yang dimilikinya. Oleh karena itu terbentuknya bangsa dan negara Indonesia melalui suatu proses yang cukup panjang. Sejak masa sebelum bangsa asing menjajah Indonesia, seperti mass kejayaan kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya. Kernudian datanglah bangsa asing ke Indonesia maka bangsa Indonesia saat itu bertekad untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut bangsa, sebagai unsur pokok negara melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Isi sumpah itu merupakan suatu tekad untuk mewujudkan unsur-unsur negara yaitu satu nusa (wilayah) negara, satu bangsa (rakyat), dan satu bahasa, sebagai bahasa pengikat dan komunikasi antar warga negara, dan dengan sendirinya setelah kernerdekaan kemudian dibentuklah suatu pemerintahan negara.

Prinsip-prinsip negara Indonesia dapat dikaji melalui makna yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea I, menjelaskan tentang latar belakang terbentuknya negara dan bangsa Indonesia. yaitu tentang kemerdekaan adalah hak kodrat segala bangsa di dunia, dan penjajahan itu tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan oleh karena itu harus dihapuskan. Alinea ke IImenjelaskan tentang perjalanan perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, alinea III menjelaskan tentang kedudukan kodrat manusia Indonesia sebagal bangsa yang religius yang kemudian pernyataan kemerdekaan. Adapun alinea IV, menjelaskan tentang terbentuknya bangsa dan negara Indonesia, yaitu adanya rakyat Indonesia, pemerintahan negara Indonesia yang disusun berdasarkan Undang-Undang Dasar negara, Wilayah negara serta dasar filosofis negara yaitu Pancasila (Notonagoro, 1975).

B. Konstitusionalisme

Setiap negara modem dewasa ini senantiasa memerlukan suatu sistem pengaturan yang dijabarkan dalam suatu konstitusi. Oleh karena itu konstitusionalisme mengacu kepada pengertian sistem institusi-onalisasi secara efektif dan teratur terhadap suatu pelaksanaan pemerintahan. Dengan lain perkataan untuk menciptakan suatu tertib pemerintahan diperlukan pengaturan sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan (Hamilton, 1931: 255). Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam suatu kehidupan umat manusia.

Ketika negara-negara bangsa (nation states) mendapatkan bentuknya yang

sangat kuat, sentralistis dan sangat berkuasa selama abad ke-16 dan ke-17, berbagai teori politik berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan sistem yang kuat tersebut.

Basis pokok konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkaitan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara (Andrews, 1968: 9). Oleh karena itu kata kuncinya adalah konsensus general agreement. Jika kesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya dapat terjadi civil war atau perang sipil, atau dapat pula suatu revolusi. Dalam sejarah perkembangan negara di dunia peristiwa tersebut terjadi di Perancis tahun 1789, di Amerika tahun 1776, di Rusia tahun 1917 bahkan di Indonesia terjadi pada tahun 1945, 1965 dan 1998.

Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modem dewasa ini pada umumnya dipahami berdasar pada tiga elemen kesepakatan atau konsensus, sebagai berikut :1. Kesepkatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society

or general acceptance of the same philosophy of government).2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau

penyelenggaraan negara (the basis of government).3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur

ketatanegaraan (the form of institusions and procedures). (Andrews 1968: 12).

Kesepakatan pertama yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama yang sangat menentukan tegaknya konstitusionalisme dan konstitusi dalam suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan bahkan melahirkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, pada suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita Negara) yang berfungsi sebagai philoso Jhiscegronslaag dan comon platforms, di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara.

Bagi bangsa Indonesia dasar filosofis yang dimaksud adalah dasar filsafat negara Pancasila. Lima prinsip dasar yang merupakan dasar filosofis bangsa Indonesia tersebut adalah: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5) Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima prinsip dasar filsafat negara tersebut merupakan dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan cita-cita ideal dalam bernegara yaitu : (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) meningkatkan (memajukan) kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian aba di, dan keadilan social.

Kesepakatan kedua, adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan

didasarkan alas aturan hukuin dan konstitusi. Kesepakatan kedua ini juga sangat prinsipial, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersamaan bahwa dalam segala hal dalam penyelenggaraan negara harus didasarkan atas rule of law. Bahkan di Amerika dikenal istilah The Rule of law, and not rule of man" untuk' menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia.

Istilah "The Rule of law" harus dibedakan dengan istilah "The Rule by Law". Dalarn istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya bersifat instrumentalis atau hanya sebagai alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu "The Rule of Man by Law". Dalam pengertian yang demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang disebut konstitusi, baik dalam anti naskah yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dari pengertian' ini kita kenal istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Oleh karena itu kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus. didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak berguna, karena ia sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

Kespakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaan, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya, kesepakatan tersebut, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama, berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan bahwa konstitusi akan diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Meskipun demikian seharusnya konstitusi tidak,disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi tatkala Orde Baru.

Keseluruhan kesepakatan itu pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Atas dasar pengertian tersebut maka sebenarnya prinsip konstitusionalisme modern adalah menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim disebut sebagai prinsip limited government. Dalam pengertian inilah maka konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang sating berkaitan sate sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara: dan Kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lainnya.

C. Konstitusi Indonesia

1. Pengantar

Dalam proses reformasi hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945, banyak yang melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Memang amandemen tidak dimaksudkan untuk mengganti sama sekali UUD 1945, akan tetapi merupakan prosedur penyempurnaan terhadap UUD 1945 tanpa harus langsung mengubah UUD-nya itu sendiri, amandemen lebih merupakan perlengkapan dan rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD tersebut (Mahfud, 1999:64). Dengan sendirinya amandemen dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan pada pasal-pasal maupun memberikan tambahan-tambahan.

Ide tentang amandemen terhadap UUD 1945 tersebut didasarkan pada suatu kenyataan sejarah selama massa Orde Lama dan Orde Baru, bahwa penerapan terhadap pasal-pasal UUD memiliki sifat "multi interpretable" atau dengan kata lain berwayuh arti, sehingga mengakibatkan adanya sentralisasi kekuasaan terutama kepada presiden. Karena latar belakang politik inilah maka masa Orde Baru berupaya untuk melestarikan UUD 1945 bahkan UUD 1945 seakan-akan bersifat keramat yang tidak dapat diganggu gugat.

Suatu hat yang sangat mendasar bagi pentingnya amandemen UUD 1945 adalah tidak adanya sistem kekuasaan dengan "checks and balances" terutama terhadap kekuasaan eksekutif Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia proses reformasi terhadap UUD 1945 adalah merupakan suatu keharusan, karena hal itu akan mengantarkan bangsa Indonesia ke arah tahapan baru melakukan penataan terhadap ketatanegaraan.

Amandemen terhadap UUD 1945 dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak tahun 1999, di mana amandemen pertama dilakukan dengan memberikan tambahan dan perubahan terhadap pasal 9 UUD 1945.. Kemudian amandemen kedua dilakukan pada tahun 2000, amandemen ketiga dilakukan pada tahun 2001, dan amandemen terakhir dilakukan pada tahun 2002 dan disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

Demikianlah bangsa Indonesia memasuki suatu babakan baru dalam kehidupan ketatanegaraan yang diharapkan membawa ke arah perbaikan tingkat kehidupan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen 2002 dirumuskan dengan melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi rakyat dalam mengambil keputusan politik. sehingga diharapkan struktur kelembagaan negara yang lebih demokratis ini akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Hukum Dasar Tertulis ( Undang-lindang Dasar)

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa pengertian hukum dasar meliputi dua macam yaitu, hukum dasar tertulis (Undang-Undang Dasar) dan hukum tidak tertulis (convensi). Oleh karena itu sifatnya yang tertulis, maka Undang-Undang Dasar itu rumusannya tertulis dan tidak mudah berubah. Secara umum menurut E.C.S. Wade dalam bukunya Constitutional Law, Undang-Undang Dasar menurut

sifat dan fungsinya adalah suatu naskah yang memaparkan kerangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.

Jadi pada prinsipnya mekanisme dan dasar dari setiap sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai suatu organisasi kekuasaan, maka Undang-Undang Dasar dapat dipandang sebagai lembaga atau sekumpulan alas yang menetapkan bagaimana kekuasaan tersebut dibagi antara Badan Legislatif, Eksekutif, dan Badan Yudikatif.

Undang-Undang Dasar menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. Undang-Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara (Budiardjo, 1981:95,96).

Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bersifat singkat dan supel. Undang-Undang Dasar 1945 hanya memiliki 37 pasal, adapun pasal-pasal lain hanya memuat aturan peralihan dan aturan tambahan. Hal ini mengandung makna :

(1) Telah cukup jikalau Undang-Undang dasar hanya memuat aturan-atura pokok, hanya membuat garis-garis besar instruk si kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan negara, untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.

(2) Sifatnya yang supel (elastic) dimaksudkan bahwa kita senantiasa harus ingat bahwa masyarakat itu harus terus berkembang, dinamis. Negara Indonesia akan terus tumbuh berkembang seiring dengan perubahan zaman. Berhubung dengan itu janganlah terlalu tergesa-gesa memberikan kristalisasi, memberikan bentuk kepada pikiran-pikiran yang masih berubah. Memang sifat aturan yang tertulis itu bersifat mengikat, oleh karena itu makin supel sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga agar supaya sistem dalam Undang-Undang Dasar itu jangan ketinggalan zaman.Menurut Padmowahyono, seluruh kegiatan negara dapat dikelompokkan

menjadi dua macam yaitu:(1) Penyelenggaraan kehidupan negara (2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas, maka sifat-sifat Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut: (1) Oleh karena sifatnya tertulis maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum

positif yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat bagi setiap warga negara.

(2) Sebagaimana tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar1945 bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel, memuat aturan-aturan yaitu memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman, serta memuat hak-hak asasi manusia.

(3) Memuat norma-norma, aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.

(4) Undang-Undang Dasar 1945 dalam tertib hukum Indonesia merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi, di samping itu sebaggi alat kontrol

terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarkhi tertib hukum Indonesia.

3. Hukum Dasar yang Tidak Tertulis (convensi)Convensi adalah hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar

yang timbul dan terpelihara, dalam. praktek penyelenggaraan negara meskipun sifatnya-tidak tertulis. Convensi ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

(1) Merupakan kebiasaan yang berulang kali dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara.

(2) Tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan berjalan sejajar.(3) Diterima oleh seluruh rakyat.(4) Bersifat sebagai pelengkap, sehingga memungkinkan sebagai aturan-

aturan dasar yang tidak terdapat dalam Undang Undang Dasar.

Contbh-contoh Convensi antara lain sebagai berikut:(1) Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Menurut pasal 37

ayat (1) dan (4) Undang-Undang Dasar 1945, segala keputusan MPR diambil berdasarkan suara terbanyak. Akan tetapi sistem ini dirasa kurang jiwa kekeluargaan sebagai kepribadian bangsa, karena itu dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara selalu diusahakan untuk mengambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dan ternyata hampir selalu berhasil. Pungutan suara baru ditempuh jikalau usaha musyawarah untuk mufakat sudah tidak dapat dilaksanakan. Hal yang demikian ini merupakan perwujudan dari cita-cita yang terkandung dalam Pokok Pikiran Kerakyatan dan Permusyawaratan Perwakilan.

(2) Praktek-praktek penyelenggaraan negara yang sudah menjadi hukum dasar tidak tertulis antara lain:(a) Pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap tanggal 16 Agustus

di dalam sidang Dewan Perwakilan. Rakyat.(b) Pidato Presiden yang diucapkan sebagai keterangan pemerintah tentang

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja negara pada minggu pertama pada minggu bulan Januari setiap tahunnya.

Ketiga hal tersebut dalam batinnya secara tidak langsung adalah merupakan realisasi dari Undang-Undang Dasar (merupakan pelengkap). Namun perlu digaris bawahi bilamana convensi ingin dijadikan menjadi rumusan yang bersifat tertulis, maka yang berwenang adalah MPR, dan rumusannya bukanlah merupakan suatu hukum dasar melainkan tertuang dalam ketetapan MPR.

Jadi convensi bilamana dikehendaki untuk menjadi suatu aturan dasar yang tertulis, tidak secara otomatis setingkat dengan UUD, melainkan sebagai suatu ketetapan MPR.

4. KonstitusiDisamping pengertian Undang-Undang Dasar, dipergunakan juga istilah

lain yaitu "Konstitusi ". Istilah berasal dari bahasa Inggris "Constitution" atau dari bahasa Belanda " Constitutie". Terjemahan dari istilah tersebut adalah Undang-Undang Dasar,: dan hal ini memang sesuai dengan kebiasaan orang Belanda dan Jerman. yang dalam percakapan sehari-hari memakai kata "Grondwet" (Grond=dasar, wet=undang-undang) yang keduanya menuniukkan naskah tertulis.

Namun pengertian konstitusi dalam praktek ketatanegaraan umumnya

dapat mempunyai arti:1. Lebih luas daripada Undang-Undang Dasar atau2. Sama dengan pengertian Undang-Undang Dasar.

Kata konstitusi dapat mempunyai arti lebih luas dari pada pengertian Undang-Undang Dasar, karena pengertian Undang-Undang Dasar hanya meliputi konstitusi tertulis saja, dan selain itu masih terdapat konstitusi tidak tertulis yang tidak tercakup dalam Undang-Undang Dasar.

Dalam praktek ketatanegaraan negara Republik Indonesia pengertian konstitusi adalah lama dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Hal ini terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo, 1981: 25.26).

5. Sistem Pemerintahan Negara Menurut IJUD 1945 Hasil Amandemen 2002

Sistem pemerintahan negara Indonesia sebelum dilakukan amandemen dijelaskan secara terinci dan sistematis dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan negara Indonesia ini dibagi atas tujuh yang secara sistematis merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat oleh karena itu sistem pemerintahan negara ini dikenal dengan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara yang dirinci sebagai berikut. Walaupun tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara menurut penjelasan tidak lagi merupakan dasar yuridis, namun tujuh kunci pokok tersebut mengalami perubahan. Oleh karena itu sebagai studi komparatif, sistem pemerintahan negara menurut UU D 1945 setelah amandemen, dijelaskan sebagai berikut.

a. Indonesia ialah Negara Yang Berdasarkan Atas Hukum (Rechtstaat)

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya Pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan pada kekuasaan (machi). Prinsip dari sistem ini disamping akan tampak dalam rumusannya dalam pasal-pasalnya, juga akan sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 yang diwujudkan oleh cita-cita hukum (rechtsidee) yang menjiwai UUD 1945 dan hukum dasar yang tidak tertulis.

Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud berarti negara bukan hanya sebagai polisi lalu lintas atau penjaga malam saja, yang menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran dan menindak pada pelanggar hukum. Pengertian negara hukum baik dalam arti formal yang melindungi seluruh warga dan seluruh tumpah darah, juga dalam pengertian negara hukum material yaitu negara hares bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan kecerdasan seluruh warganya.

Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam anti material itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbang dua kepentingan atau landasan,

ialah kegunaannya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Dalam segala hal harus senantiasa diusahakan agar setiap tindakan negara (pemerintah) itu selalu memenuhi dua kepentingan atau landasan tersebut. Adalah suatu seni tersendiri untuk mengambil keputusan yang tepat apabila ada pertentangan kepentingan atau salah satu kepentingan tidak terpenuhi, sehingga harus dilakukan secara bijaksana yang dengan sendirinya harus senantiasa berlandasan atas peraturan hukum yang berlaku.

b. Sistem Konstitusionat

Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar). tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Sistem ini memberikan penegasan bahwa cara pengendalian pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan hukum lain merupakan produk konstitusional, Ketetapan MPR, Undang-Undang dan sebagainya. Dengan demikian sistem ini memperkuat dan menegaskan lagi sistem negara hukum seperti dikemukakan di alas.

Dengan landasan kedua sistern negara hukum dan sistem konstitusional diciptakan sistem mekanisme hubungan dan hukum antar lembaga negara, yang sekiranya dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksana pencapaian cita-cita nasional.

c. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat

Sistem kekuasaan tertinggi sebelum dilakukan amandemen dinyatakan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut: "Kedaulatan rakyat dipegangg oleh suatu badan, bernama MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungorgatan des willens des Statsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-Garis 3esar.Hatuan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis (Mandataris) dari Majelis. Presiden wajib menjalankan putusan-putusan Majelis, dan "tidak neben" akan tetapi "untergeordnet" kepada Majelis.

Namun menurut UUD 1945 hasil amandemen 2002 kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD (pasal I ayat 2). Hal ini berarti terjadi suatu reformasi kekuasaan tertinggi dalam negara secara kelembagaan tinggi negara, walaupun esensinya tetap rakyat yang memiliki kekuasaan. MPR menurut UUD 1945 basil Amandemen 2002, hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden dan wakil Presiden sesuai masa jabatan, atau jika atau melanggar suatu konstitusi. Oleh karena itu sekarang presiden Bersifat 'neben' bukan 'Untergeordnet', karena presiden dipilih langsung oleh rakyat, UUD 1945 hasil Amandemen 2002, pasal6A ayat (1).

d. Presiden ialah Penyelenggara Pemerintahan Negara yang Tertinggi di Samping MPR dan DPR-

Kekuasaan Presiden menurut UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen, dinyatakan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai berikut :

"Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden (Concentration of power responsibility upon the president). "

Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen 2002, presiden merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di samping MPR dan DPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat UUD 1945 pasal 6A ayat. (1). Jadi menurut UUD-1945 ini tidak lagi merupakan mandataris MPR, melakukan dipilih langsung oleh rakyat.

e. Presiden Tidak Bertanggungjawab Kepada DPR

Sistem ini menurut UUD 1945 sebelum amandemen dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, namun dalam UUD 1945 hasil amandemen 2002 juga memiliki isi yang sama, sebagai berikut :

"Disamping presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk Undang-Undang (Gezetzgebung) pasal 5 ayat (1) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbergrooting) sesuai dengan pasal 23. Oleh karena itu Presiden harus bekerja sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung Dewan

f. Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak Bertanggungjawab Kepada Dewan Perwakilan Rakyat

Sistem ini dijelaskan dalam UUD 1945 basil amandemen 2002 maupun dalam,penjelaan UUD 1945, sebagai berikut:

"Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahannya dibantu oleh menteri-menteri negara (Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Hasil Amandemen), Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-Menteri Negara (Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 Hasil Amandemen 2002). Menteri-menteri Negara itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat".

g. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak-Terbatas

Sistem ini dinyatakan secara tidak eksplisit dalam UUD 1945 hasil Amandemen 2002 dan masih sesuai dengan penjelasan UUD 1945 dijelaskan sebagai berikut:

Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen 2002, Presiden dan Wakil

Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung (UUD 1945 hasil Amandemen. 2002 pasal 6A ayat (1). Dengan demikian dalam sistem kekuasaan kelembagaan negara Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR bahkan sejajar dengan DPR dan MPR. Hanya jikalau Presiden melanggar Undang-Undang maupun Undang-Undang Dasar, maka MPR dapat melakukan Impeachment.

Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan "Diktator", artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Di atas telah ditegaskan bahwa ia bukan mandataris Permusyawaratan Rakyat, namun demikian ia tidak dapat membubarkan DPR atau MPR kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.

6. Negara Indonesia adalah Negara Hukum

Menurut Penjelasan UUD 1945, negara Indonesia adalah negara Hukum: negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Sifat negara hukum hanya dapat ditunjukkan jikalau alat-alat perlengkapannya bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasai untuk mengadakan aturan-aturan itu.

Ciri-ciri suatu negara Hukum adalah:a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi yang mengandung persamaan

dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.b. Peradilan yang bebas dan suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan

tidak memihak.c. Jaminan kepastian hukum, yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat

dipahami dapat dilaksanakan dan aman dalam melaksanakannya.

Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksananya, ketentuan ini menunjukkan bahwa di negara Indonesia dijamin adanya perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum, bukan kemauan seseorang yang menjadi dasar kekuasaan. Menjadi suatu kewajiban bagi setiap penyelenggaraan negara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan. Di samping itu sifat hukum yang berdasarkan Pancasila, hukum mempunyai fungsi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan terpelihara.

Namun demikian untuk menegakkan hukum demi keadilan dan kebenaran perlu adanya Badan-badan kehakiman yang kokoh kuat yang tidak mudah dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lainnya. Pemimpin eksekutif (Presiden) wajib bekerja sama dengan badan-badan kehakiman untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan sehat.

Dalam era reformasi dewasa ini bangsa Indonesia benar-benar akan mengembalikan peranan hukum, aparat penegak hukum beserta seluruh sistem peraturan perundang-undangan akan dikembalikan pada dasar-dasar negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 hasil amandemen 2002 yang mengemban amanat demokrasi dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Adapun pembangunan hukum di Indonesia sesuai dengan tujuan negara hukum, diarahkan pada terwujudnya sistem hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional terutama rakyat, melalui penyusunan materi hukum yang

bersumberkan pada Pancasila sebagai sumber filosofinya dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusionalnya, serta aspirasi rakyat sebagai sumber materialnya.

BAB VI

RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Pengertian Rule of Law dan Negara Hukum

Pengertian Rule of Law dan negara hukum pada hakikatnya sulit dipisahkan. Ada sementara pakar mendeskripsikan bahwa pengertian negara hukum. dan Rule of Law itu hampir dapat dikatakan sama, namun terdapat pula sementara pakar menjelaskan bahwa meskipun antara negara hukum dan Rule of Law tidak dapat dipisahkan namun masing-masing memiliki penekanan masing-masing. Menurut Philipus M. Hadjon misalnya bahwa negara hukum yang menurut istilah bahasa Belanda rechisstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yaitu dari kekuasaan raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan negara yang didasarkan pada suatu peraturan -perundang-undangan. O1eh karena itu dalam proses perkembangannya rechtsstaattu lebih memiliki ciri yang revolusioner. Gerakan masyarakat yang menghendaki bahwa kekuasaan raja maupun penyelenggara negara harus dibatasi dan diatur melalui suatu peraterrs perundang-undangan, dan pelaksanaan dalam hubungannya dengan segala peraturan perundang-undangan itulah yang sering diistilahkan dengan Rule of Law. Oleh karena itu menurut Hadjon Rule of Law lebih memiliki ciri yang evokisioner, sedangkan upaya untuk mewujudkan negara hukum atau rechts-sthaat lebih memiliki ciri yang revolusioner, misalnya gerakan revolusi Perancis serta gerakan melawan absolutisme di Eropa lainnya, baik dalam melawan kekuasaan raja, bangsawan maupun golongan teologis.

Oleh karena itu menurut Friedman, antara pengertian negara hukum atau rechisstaat dan Rule of Law sebenarnya saling mengisi (Friedman, 1960: 546). Oleh karena itu berdasarkan bentuknya sebenarnya Rule of Law adalah kekuasaan publik yang diatur secara legal. Oleh karena itu setiap organisasi atau persekutuan hidup dalam masyarakat termasuk negara mendasarkan pada Rule of Law. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap negara yang legal senantiasa menegakkan Rule of Law. Dalam hubungan ini Pengertian Rule of Law berdasarkan substansi atau isinya sangat berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara. Konsekuensinya setiap negara akan mengatakan mendasarkan pada Rule of Law dalam kehidupan kenegaraannya, meskipun negara tersebut adalah negara otoriter. Atas dasar alasan ini maka diakui bahwa sulit menentukan pengertian Rule of Law secara universal, karena setiap masyarakat melahirkan pengertian itupun secara berbeda pula (lihat Soegito, 2006: 4), dalam hubungan inilah maka Rule of Law dalam hal munculnya bersifat endogen, artinya muncul dan berkembang dari suatu masyarakat tertentu.

Munculnya keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap kekuasaan. pada dasarnya disebabkan politik kekuasaan cenderung korup. Hal ini dikhawatirkan akan menjauhkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar pengertian tersebut maka terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan pembatasan terhadap kekuasaan secara normatif yuridis untuk menghindari kekuasaan yang dispotik (Hitchner, 1981: 69). Dalam

hubungan inilah maka kedudukan konstitusi menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dalam hubungan ini di jadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun sesuai dengan prinsip government by law, not by man (pemerintahan berdasarkan hukum; bukan berdasarkan manusia atau penguasa).

Carl J. Friedrich dalam bukunya constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe land America, memperkenalkan istilah negara hukum dengan istilah rehtsstaat atau constitutional state. Demikian juga tokoh lain yang membahas rechtsstaat adalah Friederich J. Stahl, yang menurutnya terdapat empat unsur pokok untuk berdirinya sate rechsstaat. yaitu: (1) hak-hak manusia; (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan; dan (4) peradilan administrasi dalam perselisihan (Muhtaj, 2005: 23).

Bagi negara Indonesia ditentukan secara yuridis formal bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Hal itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, yang secara eksplisit splisit dijelaskan bahwa "....maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia....". Hal ini mengandung arti bahwa suatu keharusan Negara Indonesia yang didirikan itu berdasarkan atas Undang-Undang Dasar Negara.

Dengan pengertian lain dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum atau rechts stoat dan bukan nnegara kekuasaan atau machtsstaat. Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem kostitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak penguasa. Dalam paham negara hukum itu, hukumlah yang menjadi komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Dalam penyelenggaraan negara yang sesungguhnya memimpin adalah hukum itu sendiri. Oleh karena itu berdasarkan pengertian ini Negara Indonesia pada hakikatnya menganut prinsip "Rule of Law, and not of- fan", yang sejalan dengan pengertian nontocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum atau nomos.

Dalam negara hukum yang demikian ini, harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukurn itu sendiri pada hakikatnya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh karena itu prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat atau democratische rechtsstat. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka atau machtsstaat. Prinsip Negara hukum tidak. boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsi-prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau constitutional democracy yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis (democratische rechtsstaat) Asshiddigie, 2005: 69-70).

Prinsip-prinsip Rule, of Law

Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa pengertian Rule of Law tidak dapat dipisahkan dengan pengertian negara hukum atau rechtsstoat. Meskipun demikian dalam negara yang menganut sistem Rule of Lotiv harus memiliki prinsip-prinsip yang jelas, terutama dalam hubungannya dengan realisasi Rule of law itu sendiri. Menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to the aw of The Constitution, memperkenal istilah the rule of law yang secara sederhana diartikan sebagai suatu keteraturan hukum. Menurut Dicey terdapat tiga unsur yang fundamental dalam Rule of Lau, yaitu: (1) supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum, jikalau memang melanggar hukum; (2) kedudukan yang santa di muka hukum. Hal ini berlaku baik bagi masyarakat biasa maupun pejabat negara; dan (3) terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh Undang-Undang serta keputusan-keputusan pengadilan.

Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa jikalau dalam hubungan dengan negara hanya berdasarkan prinsip tersebut, maka negara terbatas dalam pengertian negara hukum formal, yaitu negara tidak bersifat proaktif melainkan pasif. Sikap negara yang demikian ini dikarenakan negara hanya menjalankan dan taat pada apa yang termaktub dalam konstitusi semata. Dengan perkataan lain negara tidak hanya sebagai 'penjaga malam' (nachtwachterstaat). Dalam pengertian seperti ini seakan-akan negara tidak berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Setelah pertengahan abad ke-20 mulai bergeser, bahwa negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Untuk itu negara tidak hanya sebagai `penjaga. Malam saja, melainkan harus aktif melaksanakan upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan cara mengatur kehidupan sosial-ekonomi.

Gagasan baru inilah yang kemudian dikenal dengan welvaart stoat, verzorgingsstaat, welfare slate, social service state, atau 'negara hukum materal. Perkembangan baru inilah yang kemudian menjadi raison d'etre untuk melakukan revisi atau bahkan melengkapi pemikiran Dicey tentang negara hukum formal.

Dalam hubungan negara hukum ini organisasi pakar hukum internasional, International Comission of Jurists (ICJ), secara intens melakukan kajian terhadap konsep negara hukum dan unsur-unsur esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa kali pertemuan ICJ di berbagai Negara seperti di Athena (1955), di New Delhi (1956), di Amerika Serikat (1957), di Rio de Janeiro (1962), dan Bangkok (1965), dihasilkan paradigma baru tentang negara hukum. Dalam hubungan ini kelihatan ada semangat bersama bahwa konsep negara hukum adalah sangat penting, yang menurut Wade disebut sebagai the rule of law is a phenomenon of a free society and the mark of it. ICJ dalam kapasitasnya sebagai forum intelektual, juga menyadari bahwa yang terlebih penting lagi adalah bagaimana konsep rule of law dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan kehidupan dalam masyarakat.

Secara praktis, pertemuan ICJ di Bangkok tahun 1965 semakin menguatkan posisi rule of law dalam kehidupan bernegara. Selain itu, melalui pertemuan tersebut telah digariskan bahwa di samping hak-hak hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi, sehingga perlu

dibentuk standar-startdar sosial-ekonomi. Komisi ini merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law yang dinamis, yaitu: (1) perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi harus pula menentukan teknis-prosedural untuk meperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; (2) lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak; (3) pemilihan umum yang bebas; (4) kebebasan mennyatakan pendapat; (5) kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan (6) pedidikan kewarganegaraan (Azhary, 1995: 59).

Gambaran ini mengukuhkan negara hukum sebagai welfare slate, karena sebenarnya mustahil mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara sangat minimal dan lemah. Atas dasar inilah kemudian negara diberikan keluasan dan kemerdekaan bertindak tindak atas dasar inisyatif parlemen. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki freies ermessen atau pouvoir discretionnare, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial-ekonomi dan keleluasaan untuk tidak terlalu terikat pada produk legislasi parlemen. Dalam gagasan welfare state ternyata negara memiliki kewenangan yang relatif lebih besar, ketimbang format negara yang hanya bersifat negara hukum formal saja. Selain itu dalam welfare state yang terpenting adalah negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran negara bagi kesejahteraan hidup ' masyarakat. Kecuali itu, sejalan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental serta saling mengisi. Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara hukum yang berbeda, konsep negara hukum dan rule of law adalah suatu relitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, termasuk negara Indonesia.

B. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia sebagai gagasan, paradigma serta kerangka konseptual tidak lahir secara tiba-tiba sebagaimana kita lihat dalam `Universal Declaration of Human Right' 10 Desember 1948, namun melalui suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah peradaban manusia. Dari perspektif sejarah deklarasi yang ditandatangani oleh Majelis Umum PBB dihayati sebagai suatu pengakuan yuridis formal dan merupakan titik kulminasi perjuangan sebagian besar umat manusia di belahan dunia khususnya yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Upaya konseptualisasi hak-hak asasi manusia, baik di Barat maupun di Timur meskipun upaya tersebut masih bersifat lokal, parsial dan sporadikal.

Pada zaman Yunani Kuno Plato telah memaklumkan kepada warga polisnya, bahwa kesejahteraan bersama akan tercapai manakala setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam akar kebudayaan Indonesiapun pengakuan serta penghormatan - tentang hak asasi manusia telah mulai berkembang, misalnya dalam masyarakat Jawa telah dikenal tradisi 'Hak Pepe', yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa (Baut & Beny, 1988: 3).

Awal perkembangan hak asasi manusia dimulai tatkala ditanda tangani

Magna Charta (1215), oleh Raja John Lackland. Kemudian juga penandatanganan Petition of Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam hubungan ini Raja berhadapan dengan utusan rakyat (House of Commons)-. Dalam hubungan inilah maka perkembangan hak asasi manusia itu sangat erat hubungannya dengan perkembangan demokrasi. Setelah itu perjuangan yang lebih nyata pada penandatangan Bill of Right, oleh Raja Willem III pada tahun 1689, sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang disebut sebagai the Glorious Revolution. Peristiwa ini tidak saja sebagai suatu kemenangan parlemen atas raja, melainkan juga merupakan kemenangan rakyat dalam pergolakan yang menyertai pergolakan Bill of Rights yang berlangsung selama 60 tahun (Asshiddiqie, 2006: 86). Perkembangan selanjutnya perjuangan hak asasi manusia dipengaruhi oleh pemikiran filsuf inggris John Locke yang berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang diserahkan kepada penguasa adalah akhakayang berkaitan dengan perjanjian tentang negara, adapun hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu.

Puncak perkembangan perjuangan hak-hak asasi manusia tersebut yaitu ketika 'Human Rights'I itu untuk pertama kalinya dirumuskan secara resmi dalam 'Declaration of Independence' Amerika Serikat pada tahun 1776. Dalam deklarasi Amerika Serikat tertanggal 4 Juli 1776 tersebut dinyatakan bahwa seluruh umat manusia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya. Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi kemudian menjadi dasar pokok konstitusi Negara Amerika Serikat tahun 1787, yang mulai berlaku 4 Maret 1789 (Hardjowirogo, 1977: 43).

Perjuangan hak asasi manusia tersebut sebenarnya telah diawali di Perancis sejak Rousseau, dan perjuangan itu memuncak dalam revolusi Perancis, yang berhasil menetapkan hak-hak asasi manusia dalam `Declaration des Droits L’Homme et du Citoyen ' yang ditetapkan oleh Assemblee Nationale, pada 2.6 Agusts 1789 (Asshiddiqie, 2006: 90). Semboyan revolusi Perancis yang terkenal yaitu : (1) Liberte (kemerdekaan), (2) egalite (Kesamarataan), (3) fraternite (kerukunan atau persaudaraan). Maka menurut konstitusi Perancis yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia adalah : hak-hak yang dimiliki 100 manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisakan dengan hakikatnya.

Dalam rangka konseptualisasi dan reinterpretasi terhadap hak-hak asasi yang mencakup bidang-bidang yang lebih luas itu, Franklin I). Roosevelt, Presiden Amerika pada permulaan abad ke-20 memformulasikan empat macam hak-hak asasi yang kemudian dikenal dengan "The Four Freedom" itu adalah: (1) Freedom of speech, yaitu kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat, (2) Freedom of Religion, yaitu kebebasan beragama, (3) Freedom from Fear, yaitu kebebasan dari rasa ketakutan, dan (4) Freedom from Want, yaitu kebebasan dari kemelaratan (Budiardjo, 1981: 121). Hal inilah yang kemudian menjadi inspirasi dari Declaration of Human Right 1948 Perserikatan Bangsa-bangsa.

Doktrin tentang hak-hak asasi manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai `a moral, political, legal framework and as a guideline ' dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penirldasan serta perlakukan yang tidak adil. Terhadap deklarasi sedunia tentang hak-hak asasi manusia PBB tersebut, bangsa-bangsa sedunia melalui wakil-wakilnya

memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal walaupun realisasinya juga disesuaikan dengan kondisi serta peraturan perundangan yang berlaku dalam setiap negara di dunia ini.

Namun demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di berbagai negara. Oleh karena itu PBB secara terus-menerus berupaya untuk memperjuangkannya. Akhirnya setelah kurang lebih 18 tahun kemudian, PBB berhasil juga melahiran Convenant on Economic, Social and Cultral (Perjanjian tentang ekonomi, sosial dan budaya) dan Convenant on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik) (Asshiddiqie, 2006: 92).

C. Penjabaran Hak-hak Asasi Manusia dalam UUD 1945

Hak-hak asasi manusia sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filosofis tentang hakikat manusia yang melatar belakanginya. Menurut pandangan filsafat bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila hakikat manusia adalah 'monopluralis'. Susunan kodrat manusia adalah jasmani-rokhani, atau raga dan jiwa,'sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, serta kekdudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa; Dalam rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia, secara resmi Deklarasi Pembukaan dari pasal-pasal UUD 1945 telah lebih dahulu merumuskan hak-hak asasi manusia dari pada Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia PBB. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB pada tahun 1948. Hal ini menunjukkan kepada dunia bahwa sebenarnya bangsa Indonesia sebelum tercapainya pernyataan hak-hak asasi manusia beserta convenantnya, telah mengangkat hak-hak asasi manusia dan melindunginya dalam kehidupan negara, yang tertuang dalam UUD 1945. Hal ini juga telah ditekankan oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia, misalnya pernyataan Moh. Hatta dalam siding BPUPKI sebagai berikut :

"Walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara, agar jangan sampai timbul negara kekuasaan atau `Machtssiaat', atau negara penindas (Yamin, 1959: 207).

Deklarasi bangsa Indonesia pada prinsipnya terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan Pembukaan inilah yang merupakan sumber normatif bagi hukum positif Indonesia terutama penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945.

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea I dinyatakan bahwa : "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa". Dalam pernyataan ini terkandung pengakuan secara yuridis hak-hak asasi manusia tentang kemerdekaan sebagaimana terkandung dalam Deklarasi PBB pasal 1. Dasar filosofis hak asasi manusia tersebut'adalah bukan kemerdekaan manusia secara individualis saja, melainkan menempatkan manusia' sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial yaitu sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu hak asasi ini tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban asas manusia. Pernyataan berikutnya pada alinea III Pembukaan UUD 1945,

adalah sebaai berikut :

"Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".

Pernyataan tentang "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa...", mengandung arti bahwa dalam deklarasi bangsa Indonesia terkandung pengakuan bahwa manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, dan diteruskan dengan kata-kata, "... supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas...". Berdasarkan pengertian ini maka bangsa Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, dan hal ini sesuai dengan deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB pasal 18, adapun dalam pasal UUD 1945 tercantum dalam pasal 29 terutama ayat (2) UUD 1945.

Melalui Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dalam alinea IV bahwa negara Indonesia sebagai suatu persekutuan hidup bersama, bertujuan untuk melindungi warganya terutama dalam kaitannya dengan perlindungan hak-hak asasinya. Adapun tujuan negara terebut adalah sebagai berikut :

“...Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa....”

Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat formal tersebut mengandung konsekuensi bahwa negara berkewajiban. untuk melindungi seluruh warganya dengan suatu Undang-Undang terutama melindungi hak-hak asasinya demi kesejahteraan hidup bersama. Demikian juga negara .Indonesia memiliki ciri tujuan negara hukum material, dalam rumusan tujuan negara "...memajukan kesejahteran umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa ".

Berdasarkan pada tujuan negara sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka negara Indonesia menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia para warganya, terutama dalam kaitannya dengan kesejahteraan hidupnya baik jasmaniah maupun rokhaniah, antara lain berkaitan dengan hak-hak asasi bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama. Adapun rincian hak-hak asasi manusia dalam pasal-pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut.

BAB XA

HAK ASASI MANUSIA

PASAL 28ASetiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya. **)Pasal 28 B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. **)

(2) Setiap anak berhak alas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. **)

Pasal 28C(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan

dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. **)

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan Negara. * * )

Pasal 28 D(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. **)(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perakuan

yang adil dan layak dalam hubunga kerja * * )(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan. ** )(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. **)

Pasal 28 E(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal dari wilayah negara dan meningkatkannya serta berhak kembali. **)

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap yang sesuai dengan hati nuraninya. **)

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. **)

Pasal 28 FSetiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **)

Pasal 28 G(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. **)

Pasal 28 H(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. **)

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus watak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. **)

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)

(4) Setiap orang berhak mempunyai milik pribadi dan hak milik tersebut sebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. **)

Pasal 28 I(1) Hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikeran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut alas dasar hukum yang berlaku surut adalah adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. **)

(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu. **)

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. **)

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. **)

Pasal 28 J(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara **)(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta. penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. **)

Dalam perjalanan sejarah kenegaraan Indonesia pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia di Indonesia mengalami kemajuan. Antara lain sejak kekuasaan Rezim Soeharto telah dibentuk KOMNAS HAM walaupun pelaksanaannya belum optimal.

Dalam proses reformasi dewasa ini terutama akan perlindungan hak-hak asasi manusia semakin kuat bahkan merupakan tema sentral. Oleh karena itu jaman hak-hak asasi manusia sebagaimana terkandung dalam UUD 1945, menjadi semakin efektif terutama dengan diwujudkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia dalam konsiderans dan ketentuan Umum pasal I dijelaskan , bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan 'Yang Maha Esa1 dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Selain hak asasi juga dalam UU No.39 tahun 1999, terkandung kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak mungkin terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.

UU No.39 tahun 1999 tersebut terdiri atas 105 pasal yang meliputi berbagai macam hukum tentang hak asasi, perlindungan hak asasi, pembatasan terhadap kewenangan pemerintah serta KOMNAS HAM yang merupakan lembaga pelaksanaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi tersebut meliputi, hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, dari hak anak. Demi tegaknya hak asasi setiap orang maka diatur pula kewajiban dasar manusia, antara lain kewajiban untuk menghormati hak asasi perang lain, dan konsekuensinya setiap orang harus tunduk kepada peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Selain itu juga diatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan serta memajukan hak-hak asasi manusia tersebut yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Dengan diundangkannya UU.No.39 tahun 1999 tentang hak-hak asasi manusia tersebut bangsa Indonesia telah masuk pada era baru terutama dalam menegakkan masyarakat yang demokratis yang melindungi hak-hak asasi manusia. Namun demikian sering dalam pelaksanaannya mengalami kendala yaitu dilema antara menegakkan hukum dengan kebebasan sehingga kalau tidak konsisten maka akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.

Dalam Undang-Undang dasar 1945 hasil amandemen 2002, telah memberikan jaminan secara eksplisit tentang hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam Bab XA, pasal 28A sampai dengan pasal 28J. Jikalau dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen, ketentuan yang menggatur tentang jaminan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen 2002 dikembangkan menjadi tambah pasalnya dan lebih rinci. Rincian tersebut antara lain misalnya tentang hak-hak sosial dijamin dalam pasal 28B ayat (1), (2), pasal 28C ayat (2),pasal 28H ayat (30), hak ekonomi diatur dalam pasal 28D, ayat (2), hak politik diatur dalam pasal 28D ayat (3), pasal 28E ayat (3), hak budaya pada pasal 281 ayat (3), hak perlindungan hukum yang sama pada pasal 28G ayat (1), hak memeluk, memiliki, menyimpan,

mengolah, menyampaikan informasi dan komunikasi melalui berbagai saluran yang ada.

Konsekuensinya pengaturan atas jaminan hak-hak asasi manusia tersebut harus diikuti dengan pelaksanaan, serta jaminan hukum yang memadai. Untuk ketentuan yang lebih rinci atas pelaksanaan dan penegakan hak-hak asasi tersebut, diatur dalam Undang-Undang No.9 tahun 1999. satu kasus yang cukup penting bagi Bangsa Indonesia dalam menegakkan hak-hak asasi, adalah dengan dilaksanakannya Pengadilan Ad Hoc, atas pelanggar hak-hak asasi manusia di Jakarta, atas pelanggaran di Timor-timur. Hal ini menunjukkan kepada masyarakat internasional, bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen atas penegakan hak-hak asasi manusia. Memang pelaksanaan pengadilan Ad Hoc atas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Timor-Timur tersebut penuh dengan kepentingan-kepentingan politik. Diatur pihak pelaksana pengadilan Ad Hoc tersebut atas desakan PBB, yang taruhannya adalah nasib dan kredibilitas bangsa Indonesia di mata internasional, dipihak, lain perbentukan kepentingan antara penegakan hak-hak asasi dengan kepentingan nasional serta rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia. Dalam -kenyataannya mereka-mereka yang dituduh melanggar HAM berat di Timor-Timur pada hakikatnya berjuang demi kepentingan bangsa dan negara.

Terlepas dari berbagai macam kelebihan dan kekurangannya, bagi kita merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti, karena bangsa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi atas jaminan serta penegakan hak-hak asasi manusia, dalam kehidupan kenegaraan.

Ketentuan pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia PBB adalah sebagai berikut :

Pasal 1Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

Pasal 2Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum , dalam pernyataan ini tanpa pengecualian apapun, misalnya bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pendapat lain, asal-usul. kebangsaan atau sosial, milik, kelahiran, atau :status lainnya. Selanjutnya tidak ada perbedaan status politik, status hukum, dan status internasional negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang tidak merdeka, yang berbentuk trust, yang tidak berpemerintahan sendiri maupun yang berada di bawah pembatasan kedaulatan lainnya.

Pasal 3Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang.

Pasal 4Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhambakan. Perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apapun harus dilarang.

Pasal 5Tidak seorangpun boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam tanpa mengingat kemanusiaan atau dengan perlakukan atau hukuman yang menghinakan.

Pasal 6Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi di hadapan undang-undang di mana saja ia berada.

Pasal 7Semua orang adalah sama di hadapan undang-undang dan berhak atas perlindungan yang sama dari setiap perbedaan yang memperkosa pernyataan ini dan dari segala hasutan yang ditujukan kepada perbedaan semacam iri.

Pasal 8Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang berkuasa mengadili perkosaan hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang.

Pasal 9Tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.

Pasal 10Setiap orang berhak memperoleh perlakukan yang sama dan suaranya didengarkan sepenuhnya di muka umum secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak dalam menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya.

Pasal 11 Ayat (1)

Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu pelanggaran pidana dianggap tak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang terbuka di mana segala jaminan yang perlu untuk pembelaanya diberikan.

Ayat (2)Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidanakarena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran-pelanggaran pidana menurut undang-undang nasional atau internasional ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12Tidak seorangpun dapat diganggu secara sewenang1wenang dalam urusan perseorangannya, keluarganya, rumah tangganya, hubungan surat menyuratnya, dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan undang-undang terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran-pelanggaran demikian.

Pasal 13 Ayat (1)

Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas lingkungan tiap negara.

Ayat (2)Setiap orang berhak meninggalkan satu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14Ayat (1)

Setiap orang berhak mencari dan mendapat suaka di negeri-negeri lain untuk menjauhi pengejaran.

Ayat (2)Hak ini tidak dapat dipergunakan dalam pengejaran yang benar-benar timbul dari kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik arms dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar-dasar PBB.

Pasal 15Ayat (1)

Setiap orang berhak atas kewarganegaraan

Ayat (2)Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16 Ayat (1)

Orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, berhak untuk mencari jodoh dan untuk membentuk keluarga tanpa dibatasi oleh kebangsaan, kewarganegaraan atau agama. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam perkawinan, dan di kala perceraian.

Ayat (2)Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara sutra sama suka dari kedua mempelai.

Ayat (3)Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan negara.

Pasal 17Ayat (1)

Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.

Ayat (2)Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.

Pasal 18Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri maupun bersama saat orang lain di tempat umum maupun tempat sendiri.

Pasal 19Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, termasuk kebebasan mempunyai pendapat tanpa mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima serta menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun tanpa memandang batas-batas.

Pasal 20Ayat (1)

Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berapat.

Ayat (2)Tidak seorangpun dapat dipaksa memasuki salah satu perkumpulan.

Pasal 21Ayat (1)

Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri baik secara langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih secara bebas.

Ayat (2)Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.

Ayat (3)Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintahan, kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkasamaan serta melalui pemungutan suara yang rahasia atau cara-cara lain juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.

Pasal 22Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial dan berhak melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang perlu untuk martabatnya dan untuk perkembangan bebas pribadinya dengan perantaraan usaha-usaha nasional dan kerjasama internasional yang sesuai dengan sumber-sumber kekayaan setiap negara.

Pasal 23 Ayat (1)

Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak memilih pekerjaan dengan bebas, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan baik serta atas perlindungan terhadap pengangguran.

Ayat (2)Setiap orang tanpa ada perbedaan, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.

Ayat (3)Setiap orang yang melakukan pekerjaan berhak atas pengupahan yang adil dan baik yang menjamin penghidupannya bersama dengan keluarganya sepadan dengan martabat manusia dan apabila perlu ditambah dengan bantuan-bantuan sosial lainnya.

Ayat (4)Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat sekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.

Pasal 24Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari-hari liburan berkala dengan menerima upah.

Pasal 25Ayat (1)

Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan, keadaan yang baik untuk dirinya dan keluarganya. termasuk soal makanan, pakaian. perumahan, perawatan kesehatannya serta usaha-usaha sosial yang diperlukan dan berhak atas Jaminan di waktu mengalami ,g pengangguran, kematian suami, lanjut usia. atau megalami kekurangan nafkah atau ketiadaan mata pencaharian yang lain di luar penguasaannya.

Ayat (2)Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar pernikahan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26Ayat (1)

Setiap orang berhak mendapat pengajaran. Pengajaran harus dengan percuma, setidak-tidaknya dalam tingkat rendah dan tingkat dasar. Pengajaran sekolah

rendah diwajibkan. Pengajaran sekolah teknik dan vak harus terbuka bagi semua orang dan pengajaran tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang berdasarkan kecerdasan.

Ayat (2)Pengajaran harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta upaya memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Pengajaran harus meningkatkan saling pengertian, rasa saling menerima, persahabatan antara semua bangsa, golongan kebangsaan atau kelompok agama, dan harus memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.

Ayat (3)Ibu bapak mempunyai hak utama untuk memilih jenis pengajaran yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Pasal 27Ayat (1)

Setiap orang berhak untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya masyarakat, untuk mengecap kenikmatan kesenian, dan untuk turut serta dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan dalam mendapat manfaatnya.

Ayat (2)Setiap orang berhak mendapat perlindungan atas kepentingan moral dan material yang didapatnya sebagai hasil dari lapangan ilmu pengetahuan, kesusastraan, atau kesenian yang diciptakannya sendiri.

Pasal 28Setiap orang berhak atas susunan sosial internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29 Ayat (1)

Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat di mana ia mendapat kernungkinan untuk mengembangkan pribadinya sepenuhnya dan seutuhnya.

Ayat (2)Di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk mernenuhi syarat-syarat benar kesusilaan, tata-tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Ayat (3)Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini tidak boleh dijalankan dengan cara yang

bertentangan dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar PBB.

Pasal 30Tidak sesuatupun dalam pernyataan ini boleh diartikan sebagai pemberian hak kepada salah satu negara, golongan atau seseorang untuk melakukan kegiatan atau perbuatan yang bertujuan merusak salah satu hak dan kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini (Baut dan Beny Hartman, 1988).

D. Hak dan Kewajiban Warga Negara

1. Pengertian Warganegara dan Penduduk

Syarat-syarat utama berdirinya suatu negara merdeka adalah harus ada wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan ada pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa wilayah dan rakyat yang tetap, namun bila negara itu tidak memiliki pemerintahan yang berdaulat secara nasional, maka negara itu belum dapat disebut sebagai negara merdeka.

Warganegara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan negara. Dalam hubungan antara warganegara dan negara, warganegara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap negara dan sebaliknya warganegara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.

Dalam hubungan internasional di setiap wilayah negara selalu ada warga negara dan orang asing yang semuanya disebut penduduk. Setiap warganegara adalah penduduk suatu negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu warganegara, karena mungkin seorang asing. Penduduk suatu negara mencakup warganegara dan orang asing, yang memiliki hubungan berbeda dengan negara. Setiap warganegara mempunyai hubungan yang tak terputus meskipun dia bertempat tinggal di luar negeri. Sedangkan seorang asing hanya mempunyai hubungan selama dia bertempat tinggal di wilayah negara tersebut.

Menurut UUD 1945, negara melindungi segenap penduduk, misalnya dalam pasal 29 (2) disebutkan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Di bagian lain UUD 1945 menyebutkan hak-hak khusus untuk warganegara, misalnya dalam pasal 27 (2) yang menyebutkan "Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" dan dalam pasal 31 (1) yang menyebutkan "Tiap-tiap warganegara berhak mendapat pengajaran".

2. Asas-asas Kewarganegaraan

a. Asas ius-sanguinis dan asas ius-soli

Setiap negara yang berdaulat berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi warganegara. Terkait dengan syarat-syarat menjadi warganegara dalam ilmu tata negara dikenal adanya dua asas Kewarganegaraan,

yaitu asas ius-sanguinis dan asas iussoli. Asas ius-soli adalah asas daerah kelahiran, artinya bahwa status Kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya di negara A tersebut. Sedangkan asas ius-sanguinis adalah asas keturunan atau hubungan darah, artinya bahwa Kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh orangtuannya. Seseorang adalah warga negara B karena orangtuanya adalah warganegara B.

b. Bipatride dan apatride

Dalam hubungan antar negara seseorang dapat pindah tempat dan berdomisili di negara lain. Apabila seseorang atau keluarga yang bertempat tinggal di negeri lain melahirkan anak, maka status Kewarganegaraan anak ini tergantung pada asas yang berlaku di negara tempat kelahirannya dan yang berlaku di negara orangtuanya. Perbedaan asas yang dianut oleh negara yang lain, misalnya negara A menganut asas ius-sanguinis sedangkan negara B menganut asas ius-soli, hal ini dapat menimbulkan status biptride atau apatride pada anak dari orangtua yang berimigrasi di antara kedua negara tersebut.

Bipatride (dwi Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan dari dua negara terkait seseorang dianggap sebagai warganegara kedua negara itu. Misalnya, Adi dan Ani adalah suami isteri yang berstatus warga negara A namun mereka berdomisili di negara B. negara A menganut asas ius-sanguinis dan negara B menganut asas ius-soli. Kemudian lahirlah anak mereka, Dani. Menurut negara A yang menganut asas ius-sanguinis, Dani adalah warga negaranya karena mengikuti Kewarganegaraan orang tuanya. Menurut negara B yang menganut his-soli, Dani juga warga negaranya. karena tempat kelahirannya adalah di negara B. Dengan demikian Dani mempunyai status dua Kewarganegaraan atau bipatride.

Sedangkan apatride (tanpa Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan Kewarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warganegara dari negara manapun. Misalnya, Agus dan Ira adalah suami isteri yang berstatus warganegara B yang berasas ius-soli. Mereka berdomisili di negara A yang berasas ius-sanguinis. Kemudian lahirlah anak mereka, Budi, menurut negara A, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena orangtuanya bukan warganegaranya. Begitu pula menurut negara B, Budi tidak diakui sebagai warganegaranya, karena lahir di wilayah negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai Kewarganegaraan atau apatride.

3. Hak dan Kewajiban Warganegara menurut UUD 1945Pasal-pasal UUD 1945 yang menetapkan hak dan kewajiban warganegara

mencakup pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, 33 dan 34.a. Pasal 27 ayat (1) menetapkan hak warganegara yang sama dalam

hukum dan pemerintahan, serta kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan.

b. Pasal 27 ayat (2) menetapkan hak warganegara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

c. Pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua UUD 1945 menetapkan hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

d. Pasal 28 menetapkan hak kemerdekaan warganegara untuk berserikat,

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.e. Pasal 29 ayat (2) menyebutkan adanya hak kemerdekaan untuk

memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya.f. Pasal 30 ayat (1) dalam Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan

hak dan kewajiban warganegara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

g. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

4. Hak dan Kewajiban Bela Negara

a. Pengertian

Pembelaan negara atau bela negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Bagi warganegara Indonesia, usaha pembelaan negara dilandasi oleh kecintaan pada tanah air (wilayah Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia dengan keyakinan pada Pancasila sebagai dasar negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Wujud dari usaha bela negara adalah kesiapan dan kerelaan setiap warganegara untuk berkorban demi mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional, serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

b. Asas Demokrasi dalam Pembelaan Negara

Berdasarkan pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua UUD 1945, bahwa usaha beta negara merupakan hak dan kewajiban setiap warganegara. Hal ini menunjukkan adanya asas demokrasi dalam pembelaan negara yang mencakup dua arti. Periama. bahwa setiap warganegara turut serta dalam menentukan kebijakan tentang pembelaan negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, bahwa setiap warganegara hares turut serta dalam setiap usaha pembelaan negara, sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.

c. Motivasi dalam Pembelaan Negara

Usaha pembelaan negara bertumpu pada kesadaran setiap warganegara akan hak dan kewajibannya. Kesadarannya demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan : negara. Proses motivasi untuk membela negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga memahami keunggulan dan kelebihan negara dan bangsanya. Disamping itu setiap warga negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Dalam hal ini ada beberapa dasar pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warga negara untuk ikut serta membela negara Indonesia.1) Pengalaman sejarah perjuangan RI.

2) Kedudukan wilayah geografis Nusantara yang strategis3) Keadaan penduduk (demografis) yang besar4) Kekayaan sumber daya alam5) Perkembagan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan.6) Kemungkinan timbulnya bencana perang

BAB VII

GEOPOLITIK INDONESIA

A. Pengertian

Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau teritorial dalam arti luas) suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu negara. Sebaliknya politik negara itu secara langsung akan berdampak kepada geografi negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu kepada geografi sosial (hukum geografi); mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu negara.

Dalam hubungan dengan kehidupan manusia dalam suatu negara dalam hubungannya dengan lingkungan alam, kehidupan manusia di dunia mempunyai kedudukan sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wakil Tuhan (Khalifatullah) di bumi yang menerima amanatNya untuk mengelola kekayaan alam. Sebagai hamba Tuhan mempunyai kewajiban untuk beribadah dan menyembah Tuhan Sang Pencipta dengan penuh ketulusan. Adapun sebagai wakil Tuhan di bumi, manusia dalam hidupnya berkewajiban memelihara dan memanfaatkan segenap karunia kekayaan alam dengan sebaik-baiknya untuk kebutuhan hidupnya. Kedudukan manusia tersebut mencakup tiga segi hubungan, yaitu: hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan antar manusia, dan hubungan antara manusia dengan makhluk lainnya. Bangsa Indonesia sebagai umat manusia religius dengan sendirinya harus dapat berperan sesuai dengan kedudukan tersebut.

Manusia dalam melaksanakan tugas dan kegiatan hidupnya bergerak dalam dua bidang, universal filosofis dan sosial politis. Bidang universal filosofis bersifat transenden dan idealistik, misalnya dalam bentuk aspirasi bangsa pedoman hidup dan pandangan hidup bangsa. Aspirasi bangsa ini menjadi dasar wawasan nasional bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan wilayah Nusantara. Sedangkan bidang sosial politis bersifat imanen dan realistic yang berifat lebih nyata dan dapat dirasakan, misalnya aturan hukum atau perundang-undangan yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai produk politik. Di Indonesia yang termasuk dalam bidang sosial politik adalah produk politik yang berupa UUD 1945 dan aturan perundangan lainnya yang mengatur proses pembangunan nasional.

Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbinneka, negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan dan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para pendiri negara ini. Dorongan kuat untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia tercermin pada

momentum Sumpah Pemuda tahun 1928. Kemudian dilanjutkan dengan perjuangan kemerdekaan yang puncaknya terjadi pada saat proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Penyelenggaraan negara kesatuan Republik Indonesia sebagai sistem kehidupan nasional bersumber dari dan bermuara pada landasan ideal pandangan hidup dan konstitusi UUD 1945. Dalam pelaksanaannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan, regional maupun internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara, sehingga disebut Wawasan Nusantara. Kepentingan 'nasional yang mendasar bagi bangsa Indonesia adalah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa dan segenap aspek kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan upaya inilah bangsa dan negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat melanjutkan perjuangan menuju masyarakat yang dicita-citakan.

Oleh karena itu wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia. Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan nusantara terkandung konsepsi geopolitik Indonesia yaitu unsur ruang, yang kini berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian secara keseluruhannya (Suradinata; Sumiarno: 2005).

B. Pengertian Wawasan Nusantara

Setiap bangsa mempunyai Wawasan Nasional (National outlook) yang merupakan visi bangsa yang bersangkutan menuju ke masa depan. Kehidupan berbangsa dalam suatu negara memerlukan suatu konsep cara pandangan atau wawasan nasional yang bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa dan wilayahnya serta jati diri bangsa itu. Bangsa yang dimaksudkan di sini adalah bangsa yang menegara (nation state). Adapun wawasan nasional bangsa Indonesia dikenal dengan Wawasan Nusantara.

Istilah wawasan berasal dari kata 'wawas' yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi. Akar kata ini membentuk kata `mawas' yang berarti memandang, meninjau, atau melihat. Sedangkan 'wawasan' berarti cara pandang cara tinjau, atau cara melihat. Sedangkan istilah Nusantara berasal dari kata 'nusa' yang berarti pulau-pulau, dan 'antara' yang berarti diapit di antara dua hal. Istilah Nusantara dipakai untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak di antara samudra Pasifik dan samudra Indonesia serta diantara benua Asia dan benua Australia.

Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Sedangkan Wawasan Nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Dengan demikian Wawasan Nusantara berperan untuk membimbing bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan

kehidupannya serta sebagai rambu-rambu dalam perjuangan mengisi kemerdekaannya. Wawasan Nusantara sebagai cara pandangan juga mengajarkan bagaimana pentingnya membina persatuan dan kesatuan dalam segenap aspek kehidupan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan dan cita-citanya.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara

1. Wilayah (Geografi)

a. Asas Kepulauan (Archipelagic PrincipleKata 'archipelago' dan 'archipelagic' berasal dari kata Italia

'archipelagos'. Akar katanya adalah 'archi' berarti terpenting, terutama, dan pelagos berarti laut atau wilayah lautan. Jadi, archipelago dapat diartikan sebagai lautan terpenting.

Istilah archipelago antara lain terdapat dalam naskah resmi perjanjian antara Republik Venezza dan Michael Palaleogus pada tahun 1268. Perjanjian ini menyebut "Arc(h) Pelago " yang maksudnya adalah "Aigaius Pelagos " atau Laut Aigia yang dianggap sebagai laut terpenting oleh negara-negara yang bersangkutan. Pengertian ini kemudian berkembang tidak hanya laut Aigaia tetapi termasuk pulau-pulau di dalamnya. Istilah archipelago adalah wilayah lautan dengan pulau-pulau di dalamnya. Arti ini kemudian menjadi pulau-pulau saja tanpa menyebut unsur lautnya sebagai akibat penyerapan bahasa Barat, sehingga archipelago selalu diartikan kepulauan atau kumpulan pulau.

Lahirnya asas archipelago mengandung pengertian bahwa pulau-pulau tersebut selalu dalam kesatuan utuh, sementara tempat unsur perairan atau lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur penghubung dan bukan unsur pemisah. Asas dan wawasan kepulauan ini dijumpai dalam pengertian The Indian Archipelago. Kata 'archipelago' pertama kali dipakai oleh John Crawford dalam bukunya The History of Indian Archipelago (1820). Kata Indian Archipelagos diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda Indische Archipel, yang semula ditafsirkan sebagai wilayah kepulauan Andaman sampai Marshanai.

b. Kepulauan Indonesia

Bagian wilayah Mdische Archipel yang dikuasai Belanda dinamakan Nederlandsch Oost Indishe'Archipelago. Itulah wilayah jajahan Belanda yang kemudian menjadi wilayah negara Republik Indonesia. Sebagai sebutan untuk kepulauan ini sudah banyak nama dipakai, yaitu "Hindia Timur ", "Insulinde " oleh Multatuli, "Nusantara ", "Indonesia" dan "Hindia Belanda (Nederlandsch-indie) pada masa penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia sangat mencintai nama 'Indonesia 'meskipun bukan dari bahasanya sendiri, tetapi ciptaan orang barat. Nama Indonesia mengandung arti yang tepat, yaitu kepulauan India. Dalam bahasa Yunani, "Indo " berarti India dan pesos' berarti pulau. Indonesia mengandung makna spiritual, yang di dalamnya terasa ada jiwa perjuangan menuju cita-cita luhur, negara kesatuan, kemerdekaan dan kebesaran.

Sebutan "Indonesia" merupakan ciptaan ilmuwan J.R. Logan dalam Journal of the Indian Archipelago and East Asia (1850). Sir W.E.Maxwel1, seorang ahli hukum, juga memakainya dalam kegemarannya mempelajari rumpun

Melayu. Pada tahun 1882 dia menerbitkan buku penuntun untuk bahasa itu dengan kata pembukaan yang memakai istilah `Indonesia' semakin terkenal berkat peran Adolf Bastian, seorang etnolog, yang menegaskan arti kepulauan ini dalam bukunya Indonesien order die Inseln des Malaysichen Archipels (1.884-1889).

Setelah cukup lama istilah itu dipakai hanya sebagai nama keilmuan, pada awal abad ke-20 perhimpunan para mahasiswa Indonesia di Belanda menyebut diri dengan "perhimpunan Indonesia" dan membiasakan pemakaian kata `Indonesia'. Berikutnya pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 kata Indonesia dipakai sebagai sebutan bagi bangsa, tanah air dan bahasa sekaligus menggantikan sebutan Nederlandsch Oost Indie. Kemudian sejak proklamasi kemerdekaan RI pada 17-8-1945, Indonesia menjadi nama resmi negara dan bangsa Indonesia sampai sekarang.

c. Konsepsi tentang Wilayah Lautan

Dalam perkembangan hukum taut internasional dikenal beberapa konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah taut sebagai berikut :1) Res Nullius, menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memilikinya.2) Res Cimmunis, menyatakan bahwa taut itu adalah milik masyarakat dunia

karena itu tidak dapat dimilliki oleh masing-masing negara.3) Mare Liberum, menyatakan bahwa wilayah taut adalah bebas untuk semua

bangsa.4) Mare Clausum (The Right and Dominion Of the Sea), menyatakan bahwa

hanya taut sepanjang pantai saja yang dapat dimilki oleh suatu negara sejauh yang dapat dikuasai dari darat (waktu itu kira-kira sejauh 3 mil).

5) Archipelagic State Pinciples (asas Negara Kepulauan) yang menjadikan dasar dalam Konvensi PBB tentang hukum laut.

Saat ini Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the Sea UNCLOS) mengakui adanya keinginan untuk membentuk tertib hukum laut dan samudra yang dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut dan samudra secara damai. Di samping itu ada keinginan pula untuk mendayagunakan sumber kekayaan alamnya secara adil dan efisien, konservasi dan pengkajian sumber kekayaan hayatinya, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Sesuai dengan Hukum Laut Internasional, secara garis besar Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, Zone Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:1) Negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau

lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Pengertian 'kepulauan' adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian.

2) Laut Teritorial adalah satu wilayah taut yang tebarnya tidak melebihi 12 mil taut di ukur dari garis pangkal, sedangkan garis pangkal adalah garis air surut

terendah sepanjang pantai, seperti yang terlihat pada peta Laut skala besar yang berupa garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari dua pulau dengan batas-batas tertentu sesuai konvensi ini. Kedaulatan suatu negara pantai mencakup daratan, perairan pedalaman dan laut teritorial tersebut.

3) Perairan Pedalaman adalah wilayah sebelah dalam daratan atau sebelah dalam dari garis pangkal.

4) Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak boleh melebihi 200 mil taut dari garis pangkal. Di dalam ZEE negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam hayati dari perairan.

5) Landas Kontinen suatu negara berpantai meliputi dasar Taut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar Taut teritorialnya sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil Taut dari garis pangkal atau dapat lebih dari itu dengan tidak melebihi 350 mil, tidak boleh melebihi 100 mil dari garis batas kedalaman dasar taut sedalam 2500 m.

d. Karakteristik Wilayah Nusantara

Nusantara berarti Kepulauan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia dan diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia, yang terdiri dari 17.508 pulau besar maupun kecil. Jumlah pulau yang sudah memiliki nama adalah 6.044 buah. Kepulauan Indonesia terletak pada batas-batas astronomi sebagai berikut:

Utara : + 6'08' LU Setatan : ± 11° 15' LS Barat : ± 940 45' BT Timur : ± 141° 05' BT

Jarak utara-selatan sekitar 1.888 Kilometer, sedangkan jarak barat-timur sekitar 5.110 Kilometer. Bila diproyeksikan pada peta benua Eropa, maka jarak barat-timur tersebut sama dengan jarak antara London (inggris). dan Ankara (Turki). Bila diproyeksikan pada peta Amerika Serikat, maka jarak tersebut sama dengan jarak antara pantai barat dan pantai timur Amerika Serikat.

Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 'km`. yang terdiri dari daratan seluas 2.027.087 km` dan perairan 127 3.166.163 km'. Luas wilayah daratan Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara merupakan yang terluas. Sedang

2. Geopolitik dan Geostrategi

a. Geopolitik.

1) Asal istilah GeopolitikIstilah geopolitik semula diartikan oleh Frederich Ratzel (18441904)

sebagai ilmu bumi politik (Political Geography). Istilah ini kemudian dikembangkan dan diperluas oleh sarjana ilmu politik Swedia, Rudolf Kjellen (1864-1922) dan Karl Haushofer (1869-1964) dari Jerman menjadi Geographical Politic dan disingkat Geopolitik. Perbedaan dari dua istilah di atas terletak pada titik perhatian dan tekanannya, apakah pada bidang geografi ataukah politik. Ilmu

bumi politik (Political Geography) mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik mempelajari fenomena politik dari aspek georgrafi.

Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam menentukan atternatif kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan tertentu. Prinsip-prinsip dalam geopolitik menjadi perkembangan suatu wawasan nasional. Pengertian geopolitik telah dipraktekkan sejak abad XIX, namun pengertiannya baru tumbuh pada awal abad XX sebagai ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-masalah geografi wilayah yang menjadi tempat tinggal suatu bangsa.

2) Pandangan Ratzel dan Kjellen

Frederich Ratzel pada akhir abad ke-19 mengembangkan kajian geografi politik dengan dasar pandangan bahwa negara adalah mirip organisme (makhluk hidup) Dia memandang negara dari sudut konsep ruang. Negara adalah ruang yang ditempati oleh kelompok masyarakat politik (bangsa). Bangsa dan negara terikat oleh hukum alam. Jika bangsa dan negara ingin tetap eksis dan berkembang, maka harus diberlakukan hukum ekspansi (pemekaran wilayah). Di samping itu Rudolf Kjellen berpendapat bahwa negara adalah organisme yang harus memiliki intelektual. Negara merupakan sistem politik yang mencakup geopolitik, ekonomi politik, kratopolitik, dan sosiopolitik. Kjellen juga mengajukan paham ekspansionisme dalam rangka untuk mempertahankan negara dan mengembangkannya. Selanjutnya lanjutnya dia mengajukan langkah strategis untuk memperkuat negara dengan memulai pembangunan kekuatan daratan (kontinental) dan diikuti dengan pembangunan kekuasaan bahari (maritim).

Pandangan Ratzel dan Kjellen hampir sama. Mereka memandang pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme (makhluk hidup). Oleh karena itu negara memerlukan ruang hidup (lebensraum), serta mengenal proses lahir, tumbuh, mempertahankan hidup, menyusut dan mati. Mereka juga mengajukan paham ekspansionisme (pemekaran wilayah) yang kemudian melahirkan ajaran,adu kekuatan (Power Plitics atau Theory of Power).

3) Pandangan Haushofer

Pandangan demikian ini semakin jelas pada pemikiran Karl Haushofer yang pada masa itu mewarnai geopolitik Nazi Jerman di bawah pimpinan Hittler. Pemikiran Haushofer di samping berisi paham ekspansionisme juga mengandung ajaran rasialisme, yang menyatakan bahwa ras Jerman adalah ras paling unggul yang harus dapat menguasai dunia. Pandangan semacam ini juga di dunia berkembang di Jepang berupa ajaran Hako Ichiu yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme.

Pokok-pokok Pemikiran Haushofer adalah sebagai Berikut:

a) Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam. Hanya bangsa yang unggul (berkualitas) saja yang dapat bertahan° hidup dan terus berkembang, sehingga hal ini menjurus ke arah rasialisme.

b) Kekuasaan Imperium Daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasaan Imperium maritim untuk menguasai pengawasan di lautan.

c) Beberapa negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa, Afrika dan Asia l3arat (yakni Jerman dan Italia). Sementara Jepang akan menguasai wilayah Asia Timur Raya.

d) Geopolitik dirumuskan sebagai perbatasan. Ruang hidup bangsa dengan kekuasaan ekonomi dan sosial yang rasial mengharuskan pembagian baru kekayaan alam dunia. Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik untuk memperjuangkan kelangsungan hidup dan mendapatkan ruang hidupnya. Berdasarkan teori yang bersifat ekspansionisme, wilayah dunia dibagi-bagi menjadi regionregion yang akan dikuasai oleh bangsa-bangsa yang unggul seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, inggris dan Jepang.

4) Geopolitik Bangsa Indonesia

Pandangan geopolitik bangsa Indonesia yang didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas dan tegas tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan, karena penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Oleh karena itu bangsa Indonesia juga menolak paham ekspansionisme dan adu kekuatan yang berkembang di Barat. Bangsa Indonesia juga menolak paham rasialisme, karena semua manusia mempunyai martabat yang sama, dan semua bangsa memiliki hak dan kewajiban yang sama berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang universal.

Dalam hubungan internasional, bangsa Indonesia berpijak pada paham kebangsaan (nasionalisme) yang membentuk suatu wawasan kebangsaan dengan menolak pandangan Chauvisme. Bangsa Indonesia selalu terbuka untuk menjalin kerjasama antar bangsa yang saling menolong dan saling menguntungkan. Semua ini dalam rangka ikut mewujudkan perdamainan dan ketertiban dunia yang abadi.

b. Geostrategi

Strategi adalah politik dalam pelaksanaan, yaitu upaya bagaimana mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan politik. Karena strategi merupakan upaya pelaksanaan, maka strategi pada hakikatnya merupakan suatu seni yang implementasinya didasari oleh intuisi, perasaan dan hasil pengalaman. Strategi juga dapat merupakan ilmu, yang langkah-langkahnya selalu berkaitan dengan data dan fakta yang ada. Seni dan ilmu digunakan sekaligus untuk membina atau mengelola sumber daya yang dimillikki dalam suatu rencana dan tindakan.

Sebagai contoh pertimbangan geostrategis untuk negara dan bangsa Indonesia adalah kenyataan posisi silang Indonesia dari berbagai aspek, di samping aspek geografi juga dari aspek-aspek demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam. Posisi silang Indonesia tersebut dapat dirinci sebagai berikut:1) Geografi : wilayah Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia;

serta di antara samudera Pasifik dan samudera Hindia.

2) Demografi : penduduk Indonesia terletak di antara penduduk jarang di selatan (Australia) dan penduduk padat di utara (RRC dan Jepang).

3) Ideologi : ideologi Indonesia (Pancasila) terletak di antara liberalisme di selatan (Australia dan Selandia. Baru) dan Komunisme di utara (RRC, Vietnam dan Korea Utara).

4) Politik : Demokrasi Pancasila terletak di antara demokrasi liberal di selatan dan demokrasi rakyat (diktator proletar) di utara.

5) Ekonomi : Ekonomi Indonesia terletak di antara ekonomi Kapitalis dan selatan Sosialis di Utara.

6) Social : Masyarakat Indonesia terletak di antara masyarakat individualisme di selatan dan masyarakat sosialisme di utara.

7) Budaya: Budaya Indonesia terletak di antara budaya Barat di selatan dan budaya timur di utara.

8) Hankam: Geopolitik dan geostrategi Hankam (Pertahanan dan Keamanan) Indonesia terletak diantara wawasan kekuatan maritim di selatan dan wawasan kekuatan kontinental di utara.

Strategi biasanya menjangkau masa depan, sehingga pada umumnya strategi disusun secara bertahap dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian geostrategi adalah perumusan strategi nasional dengan memperhitungkan kondisi dan konstelasi geografi sebagai faktor utamanya. Disamping itu dalam merumuskan strategi perlu pula memperhatikan kondisi sosial, budaya, penduduk, sumber daya alam, lingkungan regional maupun internasional.

3. Perkembangan Wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnya

a. Sejak 17-8-1945 sampai dengan 13-12-1957Wilayah negara Republik Indonesia ketika merdeka, meliputi wilayah

bekas Hindia Belanda berdasarkan ketentuan dalam "Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie" tahun 1939 tentang batas wilayah taut teritorial Indonesia. Ordonansi tahun 1939 tersebut menetapkan batas wilayah taut teritorial sejauh 3 mil dari garis pantai ketika surut, dengan asas pulau demi pulau secara terpisah-pisah

Pada masa tersebut wilayah negara Republik Indonesia bertumpu pada wilayah daratan pulau-pulau yang saling terpisah oleh perairan atau selat di antara pulau-pulau itu. Wilayah taut teritorial masih sangat sedikit karena untuk setiap pulau hanya ditambah perairan sejauh 3 mil di sekelilingnya. Sebagian besar wilayah perairan dalam pulau-pulau merupakan perairan bebas. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara kesatuan RI.

b. Dari Deklarasi Juanda(13-12-1957) sampai dengan 17-2-1969.

Pada tanggal 13 Desember 1957 dikeluarkan deklarasi Juanda yang dinyatakan sebagai pengganti Ordonansi tahun 1939 dengan tujuan sebagai berikut:1) Perwujudan bentuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh

dan bulat.

2) Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia di sesuaikan dengan asas negara kepulauan (Archipelagic State Principles).

3) Pengaturan lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Asas Kepulauan itu mengikuti ketentuan Yurisprudensi Mahkamah Internasional pada tahun 1951 ketika menyelesaikan kasus perbatasan antara Inggris dan Norwegia. Dengan berdasarkan asas kepaulauan maka wilayah Indonesia adalah satu kesatuan kepulauan nusantara termasuk perairannya yang utuh dan bulat. Di samping itu berlaku pula ketentuan "point to point theon,,'untuk menetapkan garis dasar wilayah antara titik-titik terluar dari pulau-pulau terluas.

Deklarasi Juanda kemudian dikukuhkan dengan Undang-Undang No.4/Prp/1960 tanggal 18 Februari 1960. Tentang perairan Indonesia. Sejak itu terjadi perubahan bentuk wilayah nasional dan cara perhitungannya. Laut teritorial diukur sejauh 12 mil dari titik-titik pulau terluar yang saling dihubungkan. Sehingga merupakan satu kesatuan wilayah yang utuh dan bulat. Semua perairan di antara pulau-pulau Nusantara menjadi laut teritorial Indonesia. Dengan demikian luas wilayah teritorial Indonesia yang semula hanya sekitar 2 juta km2 kemudian bertambah menjadi 5 juta km2 lebih. Rincian perhitungannya daratan 2.027.087 km2 + perairan 3.166.163 km2 = 5.193.250 km2. Tiga perlima wilayah Indonesiaa berupa perairan atau lautan. Oleh karena itu negara Indonesia dikenal sebagai negara maritim.

Untuk mengatur lalu lintas perairan maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.8 tahun 1962 tentang lalu lintas damai di perairan pedalaman Indonesia (internal waters) yang meliputia) semua pelayaran dari taut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia,b) semua pelayaran dari pelabuhan Indonesia ke taut babas, danc) semua pelayaran dari dan ke laut bebas dengan melintasi perairanIndonesia.

Pengaturan demikian ini sesuai dengan salah satu tujuan Deklarasi Juanda tersebut di atas dalam rangka menjaga keselamatan dan keamanan RI.

c. Dari 17-2-1969 (Deklarasi Landas Kontinen) sampai sekarang

Deklarasi tentang landas kontinen negara RI merupakan konsep politik yang berdasarkan konsep wilayah. Deklarasi ini dipandang pula sebagai upaya untuk mengesahkan Wawasan Nusantara. Disamping dipandang pula sebagai upaya untuk mewujudkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Konsekuensinya bahwa sumber kekayaan alam dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara RI.

Asas-asas pokok yang termuat di dalam Deklarasi tentang landas kontinen adalah sebagai berikut:1) Segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia

adalah milik eksklusif negara RI.2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas tandas kontinen

dengan negara-negara tetangga melalui perundingan.3) Jika tidak ada garis batas, maka landas kontinen adalah suatu garis yang di

tarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan wilayah terluar negara tetangga.

4) Claim tersebut tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan diatas landas kontinen Indonesia maupun udara diatasnya.

Demi kepastian hukum dan untuk mendukung kebijaksanaan Pemerintah, asas-asas pokok tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor I tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Di samping itu UU No. 1/1973 juga memberi dasar bagi pengaturan eksplorasi serta penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalah-masalah yang ditimbulkannya.

d. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)

Pengumuman Pemerintah negara tentang Zona Ekonomi EkskIusif terjadi pada 21 Maret 1980. Batas ZEE adalah selebar 200 mil yang dihitung dari garis dasar laut wilayah Indonesia. Alasan-alasan yang mendorong Pemerintah mengumumkan ZEE adalah :1) Persediaan ikan yang semakin terbatas.2) Kebutuhan untuk pembangunan nasional Indonesia. 3) ZEE mempunyai kekuatan hukum internasional.

Melalui perjuangan panjang di Forum Internasional, akhirnya Konferensi PBB tentang Hukum Laut II di New York 30 April 1982 menerima "The United Nation Convention on the Law of the Sed' (UNCLOS), yang kemudian ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica oleh 117 negara termasuk Indonesia. Konvensi tersebut mengakui asas Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle) serta menetapkan asas-asas pengukuran ZEE. Pernerintah dan DPR negara RI kemudian menetapkan UU No.5 Tahun 1983 tentang ZEE, serta UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS. Sejak 3 Februari 1986 Indonesia telah tercatat sebagai salah satu dari 25 negara yang telah meratifikasinya.

D. Unsur-unsur Dasar Wawasan Nusantara

1. Wadah

Wawasan Nusantara sebagai wadah meliputi tiga komponen:

a. Wujud wilayahBatas ruang lingkup wilayah Nusantara ditentukan oleh lautan yang di

dalamnya terdapat gugusan ribuan pulau yang saling dihubungkan oleh dalamnya perairan. Baik laut maupun selat serta dirgantara di atasnya yang merupakan satu kesatuan ruang wilayah. Oleh karena itu Nusantara dibatasi oleh lautan dan daratan serta dihubungkan oleh perairan dalamnya. Sedangkan secara vertikal is merupakan suatu bentuk kerucut terbuka ke atas dengan titik puncak kerucut di pusat bumi.

Letak geografis negara berada di posisi dunia antara dua samudera, yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan anatara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Letak geografis ini berpengaruh besar terhadap aspek-aspek kehidupan

nasional Indonesia. Perwujudan wilayah Nusantara ini menyatu dalam kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.b. Tata Inti Organisasi

Bagi Indonesia, tata inti organisasi negara didasarkan pada UUD 1945 yang menyangkut bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintahan, sistem pemerintahan dan sistem perwakilan. Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang. Sistem pemerintahannya menganut sistem presidensial. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD 1945. Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kedudukan kuat, yang tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Anggota DPR .merangkap sebagai anggota MPR.

c. Tata Kelengkapan Organisasi

Wujud tata kelengkapan organisasi adalah kesadaran politik dan kesadaran bernegara yang harus dimiliki oleh seluruh rakyat yang mencakup partai politik, golongan dan organisasi masyarakat, kalangan pers serta seluruh aparatur negara.

Semua lapisan masyarakat itu diharapkan dapat mewujudkan demokrasi yang secara konstitusional berdasarkan UUD 1945 dan secara ideal berdasarkan dasar filsafat Pancasila, dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Isi Wawasan Nusantara

Isi Wawasan Nusantara tercermin dalam perspektif kehidupan manusia Indonesia dalam eksistensinya yang meliputi cita-cita bangsa dan asas manunggal yang terpadu.a. Cita-cita bangsa Indonesia tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 yang

menyebutkan

1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.2) Rakyat Indonesia yang berkehidupan kebangsaan yang bebas.3) Pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan

scluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

b. Asas keterpaduan semua aspek kehidupan nasional berciri manunggal, utuh menyeluruh yang meliputi:1) Satu kesatuan wilayah Nusantara yang mencakup daratan, perairan dan

dirgantara secara terpadu.2) Satu kesatuan politik, dalam arti satu UUD dan politik pelaksanaannya serta

satu ideologi dan identitas nasional.3) Satu kesatuan sosial-budaya, dalam--arti satu perwujudan masyarakat

Indonesia atas dasar "Bhineka Tunggal Ika ", satu tertib sosial dan satu tertib hukum.

4) Satu kesatuan ekonomi dengan berdasarkan atas asas usaha bersama dan asas kekeluargaan dalam satu sistem ekonomi kerakyatan.

5) Satu kesatuan pertahanan dan keamanan dalam satu sistem terpadu, yaitu sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata).

6) Satu kesatuan kebijakan nasional dalam arti pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang mencakup aspek kehidupan nasional.

3. Tata Laku Wawasan Nusantara Mencakup Dua Segi, Batiniah dan Lahiriah

a. Tata laku batiniah berlandaskan falsafah bangsa yang membentuk sikap mental bangsa yang memiliki kekuatan batin. Dalam hal ini Wawasan_ Nusantara berlandaskan pada falsafah Pancasila untuk membentuk sikap mental bangsa yang meliputi cipta, rasa dan karsa secara terpadu.

b. Tata laku lahiriah merupakan kekuatan yang utuh, dalam arti kemanunggalan kata dan karya, keterpaduan pembicaraan dan perbuatan. Dalam hal ini Wawasan Nusantara diwujudkan dalam satu sistem organisasi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.

E. Implementasi Wawasan Nusantara

1. Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila

Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal proses pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang. Konsep Wawasan Nusantara berpangkal pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama yang kemudian melahirkan hakikat misi manusia Indonesia yang terjabarkan pada sila-sila berikutnya. Wawasan Nusantara sebagai aktualisasi falsafah Pancasila menjadi landasan dan pedoman bagi pengelolaan kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

Dengan demikian Wawasan Nusantara menjadi pedoman bagi upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia. Di samping itu Wawasan Nusantara merupakan konsep dasar bagi kebijakan dan strategi Pembangunan Nasional.

2. Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional

a. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik

1) Kebulatan wilayah dengan segala isinya merupakan modal dan milik bersama bangsa Indonesia.

2) Keanekaragaman suku, budaya, dan bahasa daerah serta agama yang dianutnya tetap dalam kesatuan bangsa Indonesia.

3) Secara psikologis, bangsa Indonesia merasa satu persaudaraan, senasib dan seperjuangan, sebangsa dan setanah air untuk mencapai satu cita-cita bangsa yang sama.

4) Pancasila merupakan falsafah dan ideologi pemersatu bangsa Indonesia yang membimbing ke arah tujuan dan cita-cita yang sama.

5) Kehidupan politik di seluruh wilayah nusantara sistem hukum nasional.6) Seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum

nasional.7) Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban

dunia dan perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas dan aktif.

b. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi

1) Kekayaan di wilayah Nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata.

2) Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di seluruh daerah tanpa mengabaikan ciri khas yang memiliki daerah masing-masing.

3) Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dalam sistem ekonomi kerakyatan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

c. Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya

1) Masyarakat Indonesia adalah satu bangsa yang harus memiliki kehidupan serasi dengan tingkat kemajuan yang merata dan seimbang sesuai dengan kemajuan bangsa.

2) Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.

d. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Kemanan

1) Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya adalah ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.

2) Tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.

3. Penerapan Wawasan Nusantara

a. Salah satu manfaat paling nyata dari penerapan Wawasan Nusantara, khususnya di bidang wilayah, adalah diterimanya konsepsi Nusantara di forum internasional, sehingga terjaminlah integritas wilayah teritorial Indonesia. Laut Nusantara yang semula dianggap "laut bebas" menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia. Di samping itu pengakuan terhadap landas kontinen Indonesia dan ZEE Indonesia menghasilkan pertambahan luas wilayah yang cukup besar.

b. Pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup tersebut menghasilkan sumber

daya alam yang cukup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Sumber daya alam itu meliputi minyak, gas bumi dan mineral lainnya. yang banyak berada di dasar laut, balk di lepas pantai (Offshore) maupun di taut dalam.

c. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia Internasional termasuk negara-negara tetangga: Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, India, Australia dan Papua Nugini yang dinyatakan dengan persetujuan yang dicapai karena negara Indonesia memberikan akomodasi kepada kepentingan negara tetangga antara lain di bidang perikanan yang mengakui hak nelayan tradisional (traditional fishing right) dan hak lintas dari Malaysia Barat ke Malaysia Timur atau sebaliknya.

d. Penerapan Wawasan Nusantara dalam pembangunan negara di berbagai bidang tampak pada berbagai proyek pembangunan sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi. Contohnya adalah pembangunan satelit palapa dan Microwave Systeni, pembangunan lapangan terbang perintis dan pelayaran perintis di berbagai daerah. Dengan adanya proyek tersebut maka taut dan hutan tidak lagi menjadi hambatan bagi integrasi nasional. Dengan demikian lalu lintas perdagangan dan integrasi budaya dapat berjalan lebih lancar.

e. Penerapan di bidang sosial budaya terlihat pada kebijakan untuk menjadikan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal 1ka tetap merasa sebangsa, setanah air, senasib sepenanggungan dengan asas Pancasila. Salah satu langkah penting yang harus dikembangkan terus adalah pemerataan pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi ke semua daerah atau propinsi.

f. Penerapan Wawasan Nusantara di bidang Pertahanan Keamanan terlihat pada kesiap siagaan dan kewaspadaan seluruh rakyat melalui Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta untuk menghadapi berbagai ancaman bangsa dan negara.

4. Hubungan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

Dalam penyelenggaraan kehidupan nasional agar tetap mengarah pada pencapaian tujuan nasional diperlukan suatu landasan dan pedoman yang kokoh berupa konsepsi wawasan nasional. Wawasan nasional Indonesia menumbuhkan dorongan dan rangsangan untuk mewujudkan aspirasi bangsa serta kepentingan dan tujuan nasional. Upaya pencapian tujuan nasional dilakukan dengan pembangunan nasional yang juga harus berpedoman pada wawasan nasional.

Dalam proses pembangunan nasional untuk mencapai tujuan nasional selalu akan menghadapi berbagai kendala dan ancaman. Untuk mengatasi perlu di bangun suatu kondisi kehidupan nasional yang disebut ketahanan nasional. Keberhasilan pembangunan nasional akan meningkatkan kondisi dinamik kehidupan nasional dalam wujud ketahanan nasional yang tangguh. Sebaliknya, ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong pembangunan nasional semakin baik.

Wawasan nasional bangsa Indonesia adalah Wawasan Nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. Sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Oleh karena itu diperlukan suatu konsepsi Ketahanan Nasional yang sesuai dengan

karakteristik bangsa Indonesia.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Wawasan Nusantara dan ketahanan nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedoman bagi pengyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya dan berkembang seterusnya.

BAB VIII

GEOSTRATEGI INDONESIA

A. Pengertian Geostrategi

Setiap bangsa dalam rangka mempertahankan kehidupannya, eksistensinya dan untuk mewujudkan cita-cita serta tujuan nasionalnya perlu memiliki pemahaman tentang geopolitik dan dalam implementasinya diperlukan suatu strategi yang besifat nasional, dan hal inilah yang disebut sebagai "geostrategi". Mapping global strategy ke depan sangat diperlukan bagi setiap bangsa, dan bagi bangsa Indonesia Wawasan Nusantara merupakan konsep nasional dan ilmu geopolitik mengenai persatuan dan kesatuan dalam berbagai bidang kehidupan, sebagai perekat bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Geostrategi diartikan sebagai metode atau atauran-aturan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan melalui proses pembangunan yang memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan dan keputusan yang terukur dan terimajinasi guna mewujudkan masa depan yang lebih baik, lebih aman, dan bermartabat. Sir Balford Mackinder (1861-1947) guru besar geostrategi Universitas London teori yang dikembangkannya tentang "geostrategi continental", merupakan teori yang saat ini digunakan oleh negara-negara maju maupun negara-negara berkembang (Suradinata, 2005: 10).

Bagi bangsa Indonesia geostrategi diartikan sebagai metode untuk mewujudkan cita-cita proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, melalui proses pembangunan nasional. Karena tujuan itulah maka hal itu sebagai pegangan atau bahkan doktrin pembangunan dan hal ini lazim disebut sebagai suatu ketahanan nasional. Dalam Pembukaan UUD 1945 dijelaskan setelah alinea III. tentang pernyataan Proklamasi "Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa.." Pernyataan dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut sebagai landasan fundamental geostretegi Indonesia. Hal ini sejalan dengan kedudukan Pembukaan UUD 1945 dalam Negara Indonesia merupakan suatu dasar fundamental negara, atau dalam ilmu hukum disebut sebagai ‘staatsfundamentalnorm', atau pokok kaidah negara yang fundamental, yang merupakan sumber hukum dasar negara.

Berdasarkan pengertian tersebut maka berkembangnya geostrategi Indonesia sangat terkait erat dengan hakikat terbentuknya bangsa Indonesia yang terbentuk dari berbagai macam etnis, suku, ras, golongan, agama bahkan terletak dalam teritorial yang terpisahkan oleh pulau-pulau dan lautan. Selain itu hal itu terwujud karena adanya proses sejarah, nasib serta tujuan untuk mencapai martabat kehidupan yang lebih balk. Dengan lain perkataan menuru Notonagoro terbentuknya bangsa Indonesia merupakan proses persatuan 'monopluralis'. Oleh karena itu prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:1. Kesatuan sejarah, yaitu bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dalam

suatu proses sejarah, sejak zamanpra-sejarah, Sriwijaya, Majapahit, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan sampai proklamasi 17 Agustus 1945, dan kemudian membentuk bangsa dan Negara Indonesia.

2. Kasatuan nasib, yaitu segenap unsur bangsa berada dalam suatu proses sejarah yang sama dan mengalami nasib yang sama, yaitu dalam penderitaan penjajahan dan kebahagiaan bersama.

3. Kesatuan kebudayaan, yaitu beraneka ragam kebudayaan tumbuh dan berkembang dan secara bersama-sama membentuk puncak-puncak kebudayaan nasional Indonesia.

4. Kesatuan wilayah, yaitu segenap unsur bangsa Indonesia berdiam di segenap wilayah teritorial yang dalam wujud berbagai pulau, dengan lautannya, namun merupakan satu kesatuan wilayah tumpah darah negara dan bangsa Indonesia.

5. Kesatuan asas kerokhanian, yaitu adanya kesatuan ide. tujuan, cita-cita dan nilai-nilai kerokhanian yang secara keseluruhan tersimpul dalam dasar filosofis negara Indonesia Pancasila (Notonagoro, 1975: 106).

Berbeda dengan prinsip-prinsip geostrategi yang dikembangkan oleh Rudolf Kjelle, Karl Haushoffer, Frederich Ratzel yang mengembangkan geostrategi demi kepentingan militer, bagi bangsa Indonesia geostrategi dikembangkan demi tujuan bangsa dan Negara Indonesia yang bersifat mulia, yaitu kesejahteraan dalam kehidupan bersama.

O1eh karena itu geostrategi Indonesia sebagai suatu cara atau metode dalam memanfaatkan segenap konstelasi geografi negara Indonesia dalam menentukan kebijakan, arahan serta sarana-sarana dalam mencapai tujuan seluruh bangsa dengan berdasar asas kemanusiaan dan keadilan sosial. Dapat pula dikatakan bahwa geostrategi Indonesia adalah memanfaatkan segenap kondisi geografi Indonesia untuk tujuan politik, dan hal itu secara rinci dikembangkan dalam pembangunan nasional (Lihat Suradinata, 2005: 33; Armawi, 2005: 1).

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka geostrategi Indonesia diperlukan dan dikembangkan untuk mewujudkan dan mempertahankan integritas bangsa dan wilayah tumpah darah negara Indonesia. mengingat kemajemukan bangsa Indonesia serta sifat khas wilayah tumpah darah negara Indonesia, maka geostrategi Indonesia dirumuskan dalam bentuk Ketahanan Nasional.

B. Ketahanan Nasional

Negara Indonesia sebagai suatu negara memiliki letak geografis yang sangat strategis di Asia Tenggara. Oleh karena itu di kawasan Asia Tenggara Indonesia memiliki posisi yang sangat penting, sehingga tidak menutup kemungkinan di era global dewasa ini menjadi perhatian banyak negara di dunia. Berdasarkan peranan dan posisi negara Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan akan merupakan ajang perebutan kepentingan kekuatan transnasional. Oleh karena itu. sebagai suatu negara, Indonesia harus memperhatikan dan mengembangkan ketahanan nasional.

Ketahanan nasional sebagai istilah sebenarnya belum lama dikenal. Istilah ketahanan nasional mulai dikenal dan dipergunakan pada permulaan tahun 1960-an. Istilah ketahanan nasional untuk pertama kali dikemukan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno. Kemudian pada tahun 1962 mulai

diupayakan secara khusus untuk mengembangkan gagasan ketahanan nasional di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat Bandung (Armawi, 2005: 2).

Pengertian Ketahanan Nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung mebahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional Indonesia (Suradinata, 2005: 47).

Setiap bangsa dalam rangka mempertahankan eksistensinya dan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya harus memiliki suatu ketahanan nasional. Dalam hubungan ini cara mengembangkan dan mewujudkan ketahanan nasional, setiap bangsa berbeda-beda, sesuai dengan falsafah,- budaya dan pengalaman sejarah masing-masing. Oleh karena itu bagi bangsa Indonesia ketahanan nasional dibangun di atas dasar falsafah bangsa dan negara Indonesia yaitu Pancasila. Sebagai dasar falsafah bangsa dan negara; Pancasila tidak hanya merupakan hasil pemikiran seseorang saja,melainkan nilai-nilai Pancasila telah hidup dan berkembang dalam kehidupan objektif bangsa Indonesia sebelum membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Hal inilah yang menurut Notonagoro disebut sebagai kausa materialis Pancasila. Kemudian dalam proses pembentukan negara, nilai-nilai Pancasila dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia (founding fathers), dan secara formal yuridis Pancasila ditetapkan sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia, dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu dalam pengertian ini Pancasila sebagai suatu dasar filsafat dan sekaligus sebagai landasan ideologis ketahanan nasional Indonesia.

Dalam hubungan dengan realisasi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, maka filsafat Pancasila merupakan esensi dari `staatsfundamenialnorm’ atau pokok kaidah negara yang fundamental. Konsekuensinya Pancasila merupakan suatu pangkal tolak derivasi dari seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk hukum dasar dan seluruh sistem hukum positif lainnya (Kaelan, 2004). Sementara itu dalam hubungannya dengan ketahanan nasional, dalam konsepsi 'dan seluruh pelaksanannya harus memiliki landasan yuridis yang jelas. Atas dasar pengertian inilah maka landasan konstitusional atau landasan yuridis ketahanan nasional Indonesia adalah UUD 1945, yang bersumber pada dasar falsafah Pancasila.

1. Konsepsi Ketahanan Nasional

Secara konseptual, ketahanan nasional suatu bangsa dilatar belakangi oleh:a. Kekuatan apa yang ada pada suatu bangsa dan negara sehingga ia mampu

mempertahankan kelangsungan hidupnya.b. Kekuatan apa yang harus dimiliki oleh suatu bangsa dan negara sehingga

ia selalu mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, meskipun mengalami berbagai gangguan, hambatan dan ancaman baik dari dalam maupun dari luar.

c. Ketahanan atau kemampuan bangsa untuk tetap jaya, mengandung makna keteraturan (regular) dan stabilitas, yang di dalamnya terkandung potensi

untuk terjadinya perubahan (the stability idea of changes) (Usman, 2003: 5).

Berdasarkan konsep pengertiannya maka yang dimaksud dengan ketahanan adalah suatu kekuatan yang membuat suatu bangsa dan negara dapat bertahan, kuat menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan. Konsekuensinya suatu ketahanan harus disertai dengan keuletan, yaitu suatu usaha secara terus-menerus secara giat dan terus-menerus secara giat dan berkemauan keras menggunakan segala kemampuan dan kecakapan untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Identitas merupakan ciri khas suatu negara dilihat sebagai suatu totalitas, yaitu suatu negara yang dibatasi oleh wilayah, penduduk, sejarah, pemerintahan dan tujuan nasionalnya, serta peranan yang dimainkan di dunia internasioal. Adapun pengertian lain yang berkaitan dengan integritas adalah kesatuan yang menyeluruh dalam kehidupan bangsa, baik sosial maupun alamiah, potensial maupun tidak potensial. Tantangan adalah merupakan suatu usaha yang bersifat menggugah kemampuan. adapun ancaman adalah suatu usaha untuk mengubah atau merombak kebijaksanaan atau keadaan secara konsepsional dari sudut kriminal maupun politis. Adapun hambatan adalah suatu kendala yang bersifat atau bertujuan melemahkan yang bersifat konseptual yang berasal dari dalam sendiri. Apabila hal tersebut berasal dari luar maka dapat disebut sebagai kategori gangguan.

Berdasarkan pengertian sifat-sifat dasarnya maka ketahanan nasional adalah :

a. IntegratifHal itu mengandung pengertian segenap aspek kehidupan kebangsaan dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya, lingkungan alam dan suasana ke dalam saling mengadakan penyesuaian yang selaras dan serasi.

b. Mawas ke dalamKetahanan nasional terutama diarahkan kepada diri bangsa dan negara itu sendiri, untuk mewujudkan hakikat dan sifat nasionalnya. Pengaruh luarnya adalah basil yang wajar dari hubungan internasional dengan bangsa lain.

c. Menciptakan kewibawaanKetahanan nasional sebagai hasil pandangan yang bersifat integratif mewujudkan suatu kewibawaan nasional serta memiliki deterrent effect, yang harus diperhitungkan pihak lain.

d. Berubah menurut waktuKetahanan nasional suatu bangsa pada hakikatnya tidak bersifat tetap, melainkan sangat dinamis. Ketahanan nasional dapat meningkat atau bahkan dapat juga menurun, dan hal itu sangat tergantung kepada situasi dan kondisi.,

Konsepsi ketahanan nasional dapat juga dipandang sebagai suatu pilihan atau altematif dan konsepsi tentang kekuatan nasional (national power), yang biasanya dianut oleh negara-negara besar di dunia. Kosepsi tentang kekuatan nasional bertumpu pada kekuatan, terutama bertumpu pada kekuatan fisik militer dengan politik kekuasaannya (power politics), sedangkan ketahanan nasional tidak semata-mata mengutamakan kekuatan fisik, melainkan memanfaatkan dana dan kekuatan lainnya pada suatu bangsa. Ketahanan nasional pada hakikatnya

merupakan suatu konsepsi dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan kemakmuran serta pertahanan dan keamanan di dalam kehidupan nasional. Untuk dapat mencapai suatu tujuan nasional suatu bangsa harus mempunyai kekuatan, kemampuan, daya tahan dan keuletan. Dengan demikian jelaslah bahwa ketahanan nasional harus diwujudkan dengan mempergunakan baik pendekatan kesejahteraan, maupun pendekatan keamanan. Kehidupan nasional tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa aspek sebagai berikut:

a. Aspek alamiah yang meliputi :1) Letak geografis negara2) Keadaan dan kekayaan alam3) Keadaan dan kemampuan penduduk

b. Aspek kemasyarakatan yang meliputi :1) Ideologi2) Politik3) Ekonomi4) Sosial budaya dan hankam5) Pertahanan dan keamanan

Unsur-unsur tersebut yang meliputi alamiah karena jumlahnya tiga, maka disebut sebagai Tri Gatra; sedangkan aspek kemasyarakatan dinamakan Panca Gatra, karena jumlahnya lima. Keseluruhan unsur secara sistematik yang membagi kehidupan nasional dalam delapan aspek tersebut disebut Asta Gatra.

Konsepsi ketahanan nasional tidak memandang aspek-aspek alamiah dan kemasyarakatan secara terpisah-pisah melainkan meninjaunya secara korelatif, di mana aspek yang satu senantiasa berhubungan erat dengan lainnya, sedangkan keseluruhannya merupakan suatu konfigurasi yang menimbulkan daya tahan nasional.

2. Ketahanan Nasional sebagai Kondisi

Ditinjau dari segi sifatnya maka sebenarnya konsepsi ketahanan nasional tersebut bersifat objektif dan umum, oleh karena itu secara teoretis dapat diterapkan di negara manapun juga. Dalam hubungan dengan penerapan konsepsi tersebut faktor situasi dani kondisi negara sangat menentukan. Oleh karena itu meskipun secara konsepsional sama, namun karena situasi dan kondisi negara berbeda-beda, maka wujud ketahanan nasionalpun akan berbeda-beda pula. Oleh karena itu berkaitan dengan kondisi ketahanan nasional Indonesia, adalah kondisi dinamis bangsa dan negara Indonesia. Sesuai dengan konsepsi ketahanan nasional, maka kondisi tersebut mengan dung suatu kemampuan untuk menyusun kekuatan yang dimliki oleh bangsa Indonesia. Kekuatan ini diperlukan untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai bentuk ancaman yang ditujukan terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Dalam hubungan dengan ketahanan nasional Indonesia dengan memperhatikan berbagai macam bahaya, gangguan yang mengancam, serta situasi dan kondisi dalam negara Indonesia, maka ditetukan strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup negara Indonesia. Bagi bangsa dan negara Indonesia bahaya yang mengancam dapat berupa subversi dan infiltrasi terhadap semua bidang kehidupan masyarakat, serta adanya kelemahan-kelemahan yang inheren dengan suatu masyarakat majemuk yang sedang membangun, maka

strategi yang dipilih ' adalah strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, maka cara yang dipilih adalah dengan memantapkan ketahanan nasional. Strategi ini ditentukan berdasarkan pengalaman sendiri, yang kemudian diolah dan disistematisi hingga menjadi doktrin. Demikianlah maka ketahanan suatu bangsa adalah merupakan suatu persoalan universal, sedang ,cara dan strategi yang ditentukan berbeda-beda. Terdapat berbagai istilah misalnya strategy of interdependence, strategy of limited war, sedangkan bagi bangsa Indonesia dikembangkan konsepsi strategi ketahanan nasional (Suradinata, 2005: 50).

C. Pengaruh Aspek Ketahanan Nasional terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Konsepsi Tannas sebagaimana dijelaskan di depan yang merupakan suatu gambaran dari kondisi sistem kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada suatu saat tertentu. Dengan sendirinya berbagai aspek tersebut memiliki sifat dinamis terutama dalam era global dewasa ini. Konsekuensinya tiap-tiap aspek senantiasa berubah sesuai dengan kondisi waktu, ruang dan lingkungan sehingga interaksi dari kondisi tersebut sangat kompleks dan sulit dipantau.

Dalam era reformasi dewasa ini dan dalam rangka bangsa Indonesia menyongsong era global, maka tidak mengherankan jikalau berbagai aspek akan mempengaruhi ketahanan nasional baik dalam aspek ideologi, politik, sosial, budaya serta aspek pertahanan dan keamanan. Sebagaimana dipahami bahwa dalam era global dewasa ini setiap bangsa tidak mungkin dapat menentukan kebijaksanaannya hanya berdasarkan kemampuan dan otoritas bangsa itu sendiri melainkan senantiasa berkaitan dengan kekuatan bangsa lain dalam pergaulan internasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Rosenau bahwa pergeseran dari tahap industrial ke tahap pasca industrial telah mengubah kondisi global manusia. Periode politik internasional di mana negara kebangsaan scan mendominasi skenario global, telah digantikan dengan periode politik pasca internasional, yaitu periode di mana negara kebangsaan harus membagi panggung pentasnya dengan berbagai organisasi internasional dan transnasional dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang ideologi, potitik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup (Hall, 1990: 71). Dunia mulai bergeser dari dunia yang 0berpusat pada negara (state centric world) kepada dunia yang berpusat majemuk (multi centric world) dan sebagaimana kita lihat dalam panggung politik dunia negara adidaya sangat berperanan dalam segala aspek kebijakan negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Kondisi krisis yang melanda bangsa Indonesia pada era reformasi dewasa ini sangat mempengaruhi berbagai kebijakan dalam negeri maupun luar negeri Indonesia. Pengaruh ideologi dunia menjadi semakin kuat melalui isu demokrasi dan penegakkan HAM dalam wujud kekuatan-kekuatan yang ada pada elemen-elemen masyarakat terutama Lembaga Swadaya Masyarakat yang banyak mendapat dukungan kekuatan internasional serta berbagai elemen infrastruktur politik. Hal inilah yang merupakan kendala bagi kokohnya ketahanan nasional yang berbasis pada ideologi bangsa dan negara, karena banyak elemen-elemen masyarakat lebih setia terhadap kekuatan asing daripada kepada filosofi bangsanya sendiri. Barangkali kenyataan inilah yang merupakan wujud

penjajahan pada era pasca modem dewasa ini. Di lain pihak kondisi krisis yang melanda bangsa Indonesia menimbulkan berbagai pengangguran serta penderitaan rakyat, terlebih lagi kurangnya kepekaan moralitas politik kalangan elit politik kita untuk mendahulukan perbaikan nasib bangsa dari pada mengembangkan sentimen politik, balas dendam serta kecurigaan dengan berebut predikat tokoh reformasi total. Keadaan yang demikian ini menimbulkan gerakan di kalangan aktor politik yang sakit hati untuk berkiblat pada paham kiri yang bernafaskan komunisme dengan alasan membela kaum buruh, tani, nelayan, memperjuangkan tanah, rakyat miskin yang sekali lagi juga tidak mengindahkan komitmen bangsa Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat dan berasas kebersamaan.

3. Pengaruh Aspek Ideologi

Istilah ideologi berasal dari kata 'Idea' yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar dan 'logos' yang berarti 'ilmu'. Kata 'idea' berasal dari kata bahasa Yunani 'eidos' yang berarti 'bentuk'. Di samping itu ada kata 'idein' yang berarti `melihat'. Maka secara harfah, ideologi berarti ilmu tentang pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari, kata `idea' disamakan artinya dengan 'cita-cita'. Cita-cita yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap yang harus'dicapai, sehingga cita-cita yang bersifat tetap itu sekaligus merupakan suatu dasar, pandangan atau faham. Memang pada hakikatnya. antara dasar dan cita-cita itu sebenarnya dapat merupakan satu kesatuan. Dasar ditetapkan karena atas suatu landasan, asas atau dasar yang telah ditetapkan pula. Dengan demikian ideologi mencakup pengertian tentang idea-idea, pengertian dasar, gagasan dan cita-cita.

Bilamana ditelusuri secara historis istilah ideologi pertama kali dipakai dan dikemukakan oleh seorang Perancis yang bernama Destutt de Tracy pada tahun 1976. Seperti halnya Leibniz, de Tracy mempunyai cita-cita untuk membangun sistem pengetahuan. Apabila Leibniz menyebutkan impiannya sebagai "One great system of truth ", di mana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebenaran ilmiah, maka de Tracy menyebutkan 'Ideologie ', yaitu 'science of ideas', suatu program yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis. Namun Napoleon mencemoohkannya sebagai suatu khayalan belaka. yang tidak mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian yang tidak akan menemukan kenyataan (Pranarka, 1987).

Perhatian kepada konsep ideologi menjadi berkembang lagi antara lain karena pengaruh Karl Marx. Ideologi menjadi vokabuler penting di dalam pemikiran politik maupun ekonomi. Karl Marx mengartikan ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan kepentingan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Dalam artian ini ideologi menjadi bagian dari apa yang disebutnya Uberbau atau suprastruktur (bangunan atas) yang didirikan di atas kekuatan-kekuatan yang memiliki faktor-faktor produksi yang menentukan coraknya, dan oleh karena itu kebenarannya bersifat relatif, dan semata-mata benar hanya untuk golongan tertentu. Dengan demikian maka ideologi lalu merupakan keseluruhan ide yang relatif karena justru mencerminkan kekuatan lapisan.

Seperti halnya filsafat, ideologipun memiliki pengertian yang berbeda-beda. Begitu pula dapat ditemukan berbagai definisi, batasan pengertian tentang

ideologi. Hal itu antara lain disebabkan juga oleh dasar filsafat apa yang dianut karena sesungguhnya ideologi itu bersumber kepada suatu filsafat tertentu.

Pengertian ideologi secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut :

a. Bidang politikb. Bidang sosialc. Bidang kebudayaand. Bidang keagamaan (Soemargono : 8).Maka ideologi negara dalam arti cita-cita negara atau cita-cita yang

menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain memiliki ciri berikut:a. Mempunyai derajad yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan

kenegaraan.b. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia,

pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan kepada generasi berikutnya (Notonagoro, 1975 :2,3).

Dalam panggung politik dunia terdapat berbagai macam ideologi namun yang sangat besar peranannya dewasa ini adalah ideologi Liberalisme, Komunisme serta ideologi Keagamaan. Dalam masalah inilah bangsa Indonesia menghadapi berbagai benturan kepentingan ideologis yang saling tarik menarik sehingga agar bangsa Indonesia memiliki visi yang jelas bagi masa depan bangsa maka harus membangun ketahanan ideologi yang berbasis pada falsafah bangsa sendiri yaitu ideologi Pancasila yang bersifat demokratis; nasionalistis, religiusitas, humanistis dan berkeadilan sosial.

Pada era reformasi dewasa ini yang sekaligus era global tarikmenarik kepentingan ideologi akan sangat mempengaruhi postur ketahanan nasional dalam bidang ideologi bangsa Indonesia, terutama banyak kalangan aktivis politik yang justru menjadi budak ideologi asing, sehingga berbagai aktivitasnya akan berpengaruh bahkan sering melakukan tekanan terhadap ketahanan ideologi bangsa Indonesia.

a. Ideologi Dunia

1) Liberalisme

Pada akhir abad ke-18 di Eropa terutama di Inggris terjadilah suatu revolusi dalam bidang ilmu pengetahuan kemudian berkembang ke arah revolusi teknologi dan industri. Perubahan tersebut membawa pula perubahan orientasi kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik.

Paham liberalisme berkembang dari akar-akar rasionalisme yaitu paham yang mendasarkan pada rasio sebagai sumber kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai nilai tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat ditangkap melalui indra manusia), serta individualisme yang meletakkan nilai dan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan negara.

Berpangkal dari dasar ontologis bahwa manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu yang bebas, manusia menurut paham liberalisme sebagai pribadi yang utuh dan lengkap yang terlepas dari manusia lainnya. Manusia sebagai individu memiliki potensi dan senantiasa berjuang untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam pengertian inilah maka dalam kehidupan masyarakat bersama akan menyimpan potensi konflik, manusia akan menjadi ancaman bagi manusia lainnya yang menurut istilah Hobbes disebut 'homo homini lupus', sehingga manusia harus membuat perlindungan bersama. Negara menurut liberalisme harus tetap menjamin kebebasan individu, negara pada hakikatnya merupakan alat untuk mencapai tujuan individu dan dalam kepentingan inilah kemudian manusia secara bersama-sama menyelenggarakan dan mengatur negara sebagai lembaga kemasyarakatan dan lembaga kemanusiaan.

Atas dasar ontologis hakikat manusia tersebut maka dalam kehidupan masyarakat bersama yang disebut negara, kebebasan individu sebagai basis demokrasi bahkan hal ini merupakan unsur yang fundamental. Dasar-dasar demokrasi inilah yang merupakan referensi model demokrasi politik di berbagai negara di dunia pada awal abad ke-19 (Poespowardoyo,1989). Namun demikian dalam kapasitas manusia sebagai rakyat dalam negara, maka sering terjadi perbedaan persepsi. Liberalisme tetap pada suatu prinsip bahwa rakyat adalah merupakan ikatan dari individu-individu yang bebas, dan ikatan hukumlah yang mendasari kehidupan bersama dalam negara.

Berdasarkan latar belakang timbulnya liberalisme yang merupakan sintesis dari beberapa paham filsafat antara lain paham materialisme, rasionalisme, empirisme dan individualisme maka dalam penerapan ideologi tersebut dalam negara senantiasa didasari oleh aliran-aliran serta paham-paham tersebut secara keseluruhan. Kebebasan manusia dalam realisasi demokrasi senantiasa mendasarkan atas kebebasan individu di atas segala-galanya. Aktualisasinya rasio merupakan suatu tingkat kebenaran tertinggi dalam negara, dan dalam masalah ini akan memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada nilai religius. Hal inilah yang akan merupakan kendala dalam kaitan dengan ketahanan ideologi di Indonesia, sebab sebagaimana diketahui secara bersama bahwa ideologi bangsa Indonesia yang bersumber pada pandangan hidupnya yang telah berakar secara objketif, yaitu sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam kaitan dengan ketahanan ideologi hal itu haruslah dipahami dan terlebih lagi demokrasi dalam suatu negara sebenarnya tidak hanya menyangkut masalah politik saja melainkan juga demokrasi ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan bahkan kehidupan keagamaan atau kehidupan religius (Kaelan, 2001). Atas dasar itulah maka sifat, ciri, serta karakter bangsa sering menimbulkan gejolak dalam penerapan demokrasi yang hanya mendasarkan pada paham liberalisme saja dengan basis kebebasan individu. Penekanan demokrasi pada era reformasi dewasa ini kurang memperhatikan sifat serta karakter budaya bangsa sehingga persepsi yang berbeda atas makna demokrasi tidak sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia. Akibatnya terjadilah gejolak di berbagai wilayah di Indonesia bahkan sudah pada eskalasi yang mengkawatirkan yaitu ke arah disintegrasi serta perpecahan bangsa. Di berbagai wilayah terjadi konflik dengan alasan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Dalam kiprah demokrasi kalangan elit politik memanfaatkan keterbatasan pengetahuan dan tingkat pendidikan sebagian besar bangsa Indonesia, dan terlebih

lagi sifat keanekaragaman bangsa Indonesia yang bersifat majemuk dan berada pada letak geografis yang kurang menguntungkan dalam arti kelompok-kelompok etnis berada terpisah dengan etnis lain dalam jarak kepulauan yang cukup jauh. Akibatnya kekecewaan persaingan politik pada tingkat pusat membias dan dimanfaatkan untuk memprovokasi kelompok etnisnya untuk memisahkan diri dengan negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana kita lihat pada berbagai gerakan misalnya di Aceh, Irian Jaya dengan secara leluasanya mengibarkan bendera Papua Merdeka, kemudian juga di Maluku.

Pengaruh yang cukup kuat dari ideologi liberal terhadap ketahan ideologi bangsa Indonesia adalah konsepnya tentang hakikat masyarakat sipil atau civil society yang seakan-akan berbeda dan terpisah dari negara. Hal sebenarnya berkaitan erat dengan hakikat konsep negara sebagai organisasi kemasyarakatan dalam mewujudkan suatu cita-cita bersama dari seluruh warganya. Dalam masalah ini terdapat dua sudut pandang yang berbeda yang sering digunakan dalam memahamai pengertian dan eksistensi masyarakat sipil.

Pertama, perspektif yang melihat posisi negara sebagai yang mengungguli masyarakat sipil. Perspektif ini sering digunakan sebagai dasar pijak untuk menjelaskan kedaan politik dalam suatu negara yang menerapkan sistem otoritarianisme.

Kedua, perspektif yang melihat adanya otonomi dari masyarakat sipil di luar negara dan yang harus diperjuangkan dalam rangka mengimbangi kekuasaan negara.

Kedua pandangan tersebut pada hakikatnya menekankan pada pemisahan antara domain negara dengan domain masyarakat sipil sebagai dua hal yang berbeda. Hal ini jikalau dipaksakan dalam suatu negara yang sedang berkembang maka akan terjadi suatu gejolak yang dalam tingkatan tertentu dapat menghancurkan negara tersebut.

Selain kedua perspektif tersebut terdapat pula pandangan yang bersifat eklektis yaitu yang memadukan dua pandangan yang berbeda tersebut, yaitu sebenarnya terdapat hubungan yang bersifat fungsional antara negara dengan masyarakat sipil. Perspektif ini melihat masyarakat sipil terpecah akibat kepentingan-kepentingan yang berbeda, yaitu antara sektor pribadi dan umum, antara individu dan masyarakat, dan antara kesadaran dan kenyataan. Sementara negara dianggap bertugas untuk memberikan pengawasan dan pengaturan sosial yang secara kongkrit bekerja, misalnya melakukan pemungutan pajak, pelaksanaan hukum, peraturan, birokrasi, diplomasi, sistem keamanan dan perang. Dalam pengertian ini masyarakat dan negara disatukan melalui hukum dan hak (Kuntowijoyo, 1997).

Menurut Henningsen bahwa masyarakat sipil pada dasarnya identik dengan ruang publik dalam masyarakat modern yang berfungsi dengan baik. Dalam suatu negara yang telah mencapai tingkat perkembangan demokrasi yang matang, domein negara dengan masyarakat sipil itu tidak lagi relevan untuk dipermasalahkan dan dipertentangkan secara kontradiktif, karena masyarakat sipil adalah negara itu sendiri dan negara adalah sebenarnya merupakan organisasi kemasyarakatan yang dibangun oleh masyarakat sipil itu sendiri.

Pengaruh yang mempertentangkan antara negara dengan masyarakat sipil ini dewasa ini sangat terasa dalam konteks reformasi, sehingga tidak mengherankan mengakibatkan rapuh dan menipisnya komitmen terhadap

ketahanan ideologi yang telah merupakan kesepakatan para pendiri negara yang merupakan kontrak sosial dari seluruh elemen bangsa Indonesia.2) Komunisme

Berbagai macam konsep dan paham sosialisme di dunia ini sebenarnya hanya komunismelah sebagai suatu paham yang paling jelas dan lengkap. Paham ini adalah sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis yang merupakan produk masyarakat liberal. Berkembangnya paham individualisme liberalisme di barat berakibat munculnya masyarakat kapitalis menurut paham komunisme, mengakibatkan penderitaan rakyat. Komunisme muncul sebenarnya sebagai reaksi atas penindasan rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung oleh pemerintah.

Bertolak belakang dengan individualisme kapitalisme, paham komunisme yang dicetuskan melalui pemikiran Karl Marx memandang bahwa hakikat kebebasan dan hak individu itu tidak ada. Ideologi komunisme mendasarkan pada suatu keyakinan bahwa manusia pada hakikatnya adalah merupakan makhluk sosial saja. Manusia secara ontologis merupakan sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan bukannya individualitas. Hak milik pribadi tidak ada karena ini akan menimbulkan kapitalisme yang pada gilirannya akan melakukan penindasan pada kaum proletar. Sehingga menurut komunisme dapat disimpulkan bahwa berkembangnya individualisme kapitalisme merupakan sumber penderitaan rakyat terutama kaum miskin. Oleh karena itu hak milik individual harus diganti dengan hak milik kolektif, individualisme diganti sosialisme komunis. Oleh karena tidak adanya hak individu maka sudah dapat dipastikan bahwa menurut komunisme, demokrasi individualis tidak ada yang ada adalah hak komunal. Demokrasi untuk seluruh masyarakat sebagai suatu komunitas bukannya individualitas.

Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling berinteraksi secara dialektis, yaitu kelas kapitalis dan kelas proletar, kelas buruh. Walaupun kedua hal tersebut bertentangan namun saling membutuhkan. Kelas kapitalis senantiasa melakukan penindasan terhadap kelas buruh proletar, adapun kelas buruh proletar membutuhkan kapitalis karena haknya untuk hidup sejahtera dirampas oleh kapitalis. Oleh karena itu kelas kapitalis harus dilenyapkan, dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu revolusi. Hal inilah yang merupakan konsep komunisme untuk melakukan suatu perubahan terhadap struktur masyarakat. Untuk mengubah suprastruktur masyarakat harus dilakukan secara revolusioner dan kalau perlu dengan suatu kekerasan. Menurut komunisme ideologi hanya diperuntukkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Etika komunisme mendasarkan pada suatu kebaikan yang hanya diperuntukkan bagi kepentingan keuntungan kelas masyarakat secara totalitas. Atas dasar inilah maka komunisme mendasarkan moralnya pada kebaikan relatif demi keuntungan kelasnya, oleh karena itu untuk mencapai tujuannya segala cara dapat dihalalkan.

Dalam kaitannya dengan negara, bahwa negara adalah sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara revolusioner harus berakhir dengan kemenangan pihak proletar. Untuk kepentingan ini maka pemerintahan harus dipegang oleh oknum-oknum yang meletakkan kepentingannya pada kelas proletar. Menurut komunisme hak asasi individual tidak ada, yang ada hanyalah hak asasi yang berpusat pada hak kolektif,

sehingga hak asasi itu hanya diukur berdasarkan kepentingan kelas proletar. Atas dasar inilah maka sebenarnya komunisme adalah ideologi yang anti demokrasi dan anti hak asasi.

Paham komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan agama meletakkan pada pandangan filosofisnya yaitu materialisme dialektis dan materialisme historis. Hakikat kenyataan tertinggi menurut komunisme adalah materi. Namun materi menurut komunisme berada pada suatu ketegangan intern secara dinamis bergerak dari keadaan tesis ke keadaan lain antitesis, kemudian menyatukan sehingga merupakan suatu sintesis yang merupakan tingkat yang lebih tinggi. Selanjutnya sejarah sebagaimana berlangsungnya suatu proses sangat ditentukan oleh fenomena-fenomena dasar, yaitu dengan suatu kegiatan-kegiatan yang paling material yaitu fenomena-fenomena ekonomis. Dalam pengertian inilah maka komunisme yang dipelopori oleh Karl Marx menyatakan bahwa manusia adalah merupakan suatu hakikat yang menciptakan dirinya sendiri, dengan menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga sangat menentukan dalam suatu perubahan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan bahkan agama. Paham inilah yang dikembangkan oleh komunisme sehingga ciri komunisme adalah berpaharn atheis, karena manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan bukannya terikat oleh suatu hukum sebab akibat secara kausalitas dengan Tuhan. Agama menurut komunisme adalah merupakan suatu kesadaran diri bagi manusia untuk kemudian menghasilkan masyarakat negara. Agama menurut komunisme adalah merupakan suatu realisasi fantastis makhluk manusia, agama adalah merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu menurut komunisme Marxis, agama adalah merupakan candu masyarakat dan oleh karena itu harus diperangi dan dilenyapkan (Leahy, 1992).

Berdasarkan prinsip-prinsip ideologi komunisme tersebut maka komunisme berpaham atheis, tidak mengakui adanya Tuhan bahkan anti Tuhan, sehingga hal ini tidak sesuai dengan pandangan hidup dan dasar filsafat bangsa Indonesia Yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu dalam operasionalisanya komunisme senantiasa menciptakan konflik dan untuk mencapai tujuannya senantiasa menghalalkan segala cara. Kekuatan sosial, politik, budaya dan keagamaan yang merupakan unsur vital bagi bangsa Indonesia sangat rentan untuk dikembangkan ke arah tingkat konflik, dan hal ini sangat jelas kita lihat pada reformasi dewasa ini isu demokrasi, kebebasan dan HAM dimanfaatkan demi tujuan politik, sehingga berkembanglah konflik di berbagai daerah baik konflik horisontal maupun vertikal, seperti di Kalimantan yaitu Sambas Kalimantan barat, Sampit, Poso, Ambon dan lain sebagainya.

Ideologi komunisme pada hakikatnya bercorak partikular yaitu suatu ideologi yang hanya membela dan diperuntukkan suatu golongan tertentu, yaitu golongan proletar (Mahendra, 1999). Dalam. kaitannya dengan sifat dan lingkup pengembangannya maka ideologi komunisme bersifat Kosmopolitisme yaitu mengembangkan hegemoninya ke seluruh dunia. Marx menyerukan kepada seluruh kaum buruh di seluruh dunia untuk bersatu memerangi kaum kapitalis dan agama.

Sebagai suatu ideologi komunisme mencanangkan suatu cita-cita yang bersifat utopis yaitu suatu masyarakat tanpa kelas, masyarakat yang sama rata dan sama rasa. Masyarakat tanpa kelas dilukiskan suatu masyarakat yang dapat memberikan suasana hidup yang aman tanpa hak milik pribadi, tanpa

pertentangan, sarana dan alat produksi tidak berdasarkan atas hak milik pribadi melainkan komunal. Namun demikian perjalanan sejarah menunjukkan bahwa dalam kenyataannya cita-cita tersebut tidak kunjung datang karena munculnya kontradiksi intern yaitu ternyata muncullah kelas-kelas baru dalam tubuh pemerintahan komunis yaitu kaum kamrat dan kaum elit partai komunis yang memiliki kekuasaan mutlak.

Sesuai dengan filosofinya komunisme berpendapat bahwa cita-cita itu dapat tercapai dengan melakukan perombakan masyarakat secara total dengan jalan revolusi. Jikalau revolusi tercapai maka hanya kaum proletarlah yang memegang kekuasaan pemerintahan negara yang dilakukan secara diktator yang populer disebut diktator proletariat.

3) Ideologi Keagamaan

Ideologi keagamaan pada hakikatnya memiliki perspektif dan tujuan yang berbeda dengan ideologi liberalisme dan komunisme. Sebenarnya sangatlah sulit untuk menentukan tipologi ideologi keagamaan, karena sangat banyak dan beraneka ragamnya wujud, gerak dan tujuan dari ideologi tersebut. Namun secara keseluruhan terdapat suatu ciri bahwa ideologi keagamaan senantiasa mendasarkan pemikiran, cita-cita serta moralnya pada suatu ajaran agama tertentu.Gerakan-gerakan politik yang mendasarkan pada suatu ideologi keagamaan lazimnya sebagai suatu reaksi atas ketidak adilan, penindasan, serta pemaksaan terhadap suatu bangsa, etnis ataupun kelompok yang mendasarkan pada suatu agama. Pola politik global banyak menimbulkan ketidakseimbangan bahkan terjadinya suatu praktek konspirasi kekuatan transnasional melalui suatu organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa. Keseimbangan dunia atas kelompok Barat yang diwakili oleh Nato dan kelompok Timur yang diwakili oleh kalangan negara Sosialis Komunis terutama dulu Uni Sovyet sekarang berubah petanya yaitu didominasi kelompok Nato yang dipimpin oleh Amerika, pasca runtuhnya Komunisme di Uni Sovyet. Keadaan yang demikian ini menimbulkan praktek-praktek penindasan internasional terutama terhadap negara-negara atau bangsa-bangsa kecil seperti Palestina, bangsa Asia, Afrika dan bangsa lainnya. Lobi-lobi serta negosiasi politik tingkat internasional lazimnya sudah tidak mampu lagi membawa solusi yang demokratis, karena adanya negara-negara yang memiliki hak veto di PBB.

Atas dasar kenyataan politik dunia yang demikian ini maka muncullah berbagai gerakan yang berbasis pada ideologi keagamaan, untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan bangsa satu terhadap bangsa lainnya. Misalnya di Belfas Inggris persoalan Irlandia Utara dan Selatan oleh karena tekanan Inggris maka muncullah gerakan Tentara Republik Irlandia Utara yang berbasis pada ideologi Nasrani, sehingga kekerasan terjadi di Inggris. Di Pilipina merasa kelompok Muslim diperlakukan tidak adil atas kelompok lainnya maka muncullah gerakan politik yang berbasis ideologi keagamaan yaitu gerakan pembebasan rakyat Moro. Di Indonesia sendiri karena ketidakpuasan politik maka timbullah gerakan untuk mendirikan suatu negara Islam yaitu Darul Islam di bawah Kartosuwiryo.

Pada era reformasi dan era global dewasa ini dunia dikuasai oleh kekuatan Sekutu di bawah komando Amerika. Berbagai praktek eksploitasi bangsa di

berbagai negara terutama negara yang sedang berkembang dewasa ini di bawah tekanan internasional baik ekonomi, politik, maupun keamanan. Amerika dengan sekutu-sekutunya tidak segan-segan melakukan invasi pada suatu negara dengan secara arogan, tanpa mempertimbangkan hak-hak dari bangsa lain di dunia, dengan alasan menegakkan hak asasi, demokrasi dan terakhir pasca peristiwa runtuhnya gedung WTC 11 September 2001, dengan alasan memberantas terorisme.

Jikalau kita membandingkan dua peristiwa di dunia yaitu kasus Rakyat Palestina dan negara timur tengah lainnya atas pendudukan dan penjajahan Israel dan kasus Timor Timur yang melibatkan negara Indonesia. Kita masih ingat peristiwa penyerahan Timor Timur tahun 1998 yang lalu bagaimana bangsa Indonesia menjadi bulan-bulanan negara-negara Sekutu di bawah Amerika. Bangsa Indonesia yang dahulu disponsori oleh Amerika untuk menarik rakyat Timor Timur berintegrasi ke dalam wilayah kekuasaan negara Indonesia, sebab muncul suatu kekhawatiran gerakan komunis Fretilin di Timor Timur akan menguasai dan Timor Timur dijadikan basis pangkalan Uni Sovyet kala itu. Namun setelah Indonesia dilanda krisis dan muncullah gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan Orde Baru kekuatan dunia di bawah Sekutu menekan Indonesia melalui politik terutama ekonomi untuk melepaskan Timor Timur dari wilayah negara Republik Indonesia. Secara konspiratif jajak pendapat dilakukan yang sudah dapat dipastikan Timor Timur lepas dari negara Indonesia dan bangsa Indonesia dengan rela melepaskannya. Namun kenyataannya tidak demikian tekanan masih dilakukan oleh Sekutu Amerika melalui PBB, berbagai tuduhan dan tudingan dialamatkan kepada bangsa Indonesia, antara lain bangsa Indonesia terutama ABRI banyak melakukan , pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Anehnya banyak anak-anak bangsa Indonesia sendiri yang menjadi budak-budak sekutu mendirikan berbagai bentuk organisasi terutama organisasi kemasyarakatan yang mendapat subsidi dollar, ikut merongrong kewibawaan pemerintahnya sendiri dengan menumpang jargon populer yaitu melaksanakan Reformasi Total. Akibatnya hasilnya dapat kita saksikan sendiri hancurnya nasionalisme Indonesia, lemahnya ideologi nasional dan rakyat bertambah penderitaannya.

Sebaliknya bangsa Israel yang melakukan penjajahan di berbagai wilayah di negara Timur Tengah sejak tahun 1967 tidak pernah bisa diselesaikan karena kekuasaan hak veto oleh negara-negara sekutu. Pelanggaran HAM berat telah dilakukan di berbagai wilayah misalnya di Libanon, pembantaian atas rakyat sipil di kamp pengungsian Sabra dan Satilla, pembantaian di Hebron atas rakyat sipil penyerangan dan pembantaian di wilayah rakyat Palestina, sampai saat ini tidak pernah bisa diselesaikan oleh PBB karena kekuasaan sekutu. Akibatnya saat ini banyak bangsa yang tertindas baik secara ekonomi maupun politik dan berbagai lobi politik apalagi konfronatsi senjata akan sia-sia. Hal inilah yang mengakibatkan munculnya berbagai gerakan radikal yang berbasis pada ideologi agama, misalnya gerakan Hisbollah, gerakan Hammas, Al Qaeda yang melakukan gerakan bawah tanah karena tertutupnya lobi politik pada tingkat apapun. Atas gerakan tersebut akhirakhir ini Amerika dengan sekutunya melakukan gerakan untuk menguasai dunia dengan mempopulerkan melalui pers meberantas terorisme'.

Dalam kaitan dengan konsep negara juga banyak gerakan politik di

berbagai negara termasuk di Indonesia, yang mendasarkan organisasinya atas basis ideologi agama. Sebenarnya berkembangnya ideologi keagamaan memiliki aspek positif dan negatif. Aspek positif sebenarnya tidak satu agamapun mengajarkan kekerasan, saling menyerang dan membuat kekacauan. Agama senantiasa mengajak umat manusia untuk mengembangkan dan mengamalkan moral yang baik dalam hidup di dunia, terutama dalam hubungan antar umat manusia. Adapun aspek negatifnya jikalau terdapat suatu gerakan politik yang membenarkan tindakannya berdasarkan sempalan-sempalan norma agama. Hal inilah yang seringkali menimbulkan kekaburan ajaran agama yang sebenarnya sangat mulia kemudian disalahgunakan untuk tujuan-tujuan sempit, bahkan kadangkala dengan suatu kekerasan.

b. Ideologi Pancasila

Pancasila pada. hakikatnya merupakan suatu kesepakatan filosofis dan kesepakatan politis dari segenap elemen bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Dapat juga diistilahkan bahwa Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kontrak sosial seluruh elemen bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Kausa finalis atau tujuan pokok dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara, sehingga konsekuensinya seluruh aspek dalam penyelenggaraan negara berasaskan sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Proses terjadinya Pancasila berbeda dengan idologi-ideologi besar lainnya seperti liberalisme, komunisme, sosialisme dan lain sebagainya. Pancasila digali dan dikembangkan oleh para pendiri negara dengan melalui pengamatan, pembahasan dan konsensus yang cermat nilai-nilai Pancasila yang bersumber dari budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri disublimasikan menjadi suatu prinsip hidup kebangsaan dan kenegaraan bagi bangsa Indonesia. Berdasarkan proses kausalitas perumusan dan pembahasan Pancasila tersebut maka sumber materi yang merupakan nilai-nilai kultural dan religius, pada hakikatnya dari bangsa Indonesia sendiri. Dengan lain perkataan bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan kausa materialis bagi Pancasila. Oleh karena itu terdapat kesesuaian secara korespondensi antara bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai suatu sistem nilai.

Berdasarkan proses kausalitas sebagai suatu kausa materialis nilai Pancasila telah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu pada awalnya Pancasila adalah merupakan suatu pandangan hidup masyarakat, kemudian kondisi bangsa Indonesia yang dijajah berjuang untuk mewujudkan jati dirinya dan terformulasi dalam suatu prinsip nilai yang konsisten dan komperhensif yaitu nilai-nilai Pancasila, akhirnya atas dasar proses kausalitas tersebut maka Pancasila telah diakui kebenarannya dan kesesuaiannya dengan bangsa Indonesia sehingga akhirnya Pancasila ditentukan sebagai dasar filsafat dan ideologi bangsa dan negara Indonesia.

Berbeda dengan ideologi-ideologi lainnya maka Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu ideologi yang bersifat komprehensif, artinya ideologi Pancasila bukan untuk dasar perjuangan kelas tertentu, golongan tertentu atau kelompok primordial tertentu. Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu ideologi bagi seluruh lapisan, golongan, kelompok dan seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara

(Yusril Ihza Mahendra, 1999). Oleh karena itu ideologi Pancasila bukannya untuk memperjuangkan kelas tertentu atau golongan tertentu. Ideologi Pancasila secara ontologis berprinsip monopluralis atau majemuk tunggal yang bersumber pada hakikat manusia baik sebagai individu dan makhluk sosial. Bangsa Indonesia pada prinsip tersusun atas individu-individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok, golongan-golongan, suku bangsa, yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yaitu tanah tumpah darah Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu pulau yang memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam, keseluruhannya itu merupakan suatu kesatuan integral baik lahir maupun batin (Kaelan, 2001). Kesatuan integral bangsa dan negara Indonesia tersebut dipertegas dalam Pokok Pikiran pertama, ".... Negara melindungi.segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia". Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Dalam pengertian yang demikian ini maka manusia pada prinsipnya merupakan makhluk yang saling tergantung, sehingga hakikat manusia itu bukanlah total individu sebagaimana prinsip negara liberal, namun juga bukan merupakan total makhluk sosial yang merupakan prinsip negara sosialis komunis. Relasi yang saling tergantung tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah merupakan suatu totalitas makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun penjelmaan dalam wujud persekutuan hidup bersama adalah terwujud dalam suatu bangsa yaitu suatu kesatuan yang bersifat integralistik (Abdul kadir Besar, 1975).

Berdasarkan konsep tersebut maka menurut Pancasila negara pada hakikatnya merupakan. suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Negara mengatasi semua golongan, bagian-bagian yang membentuk negara, negara tidak memihak pada suatu golongan tertentu betapapun golongan itu paling besar. Negara dan bangsa adalah untuk semua unsur yang membentuk kesatuan tersebut.

Dalam kehidupan kemasyarakatan dan negara ideologi Pancasila tidak mengenal dikotomi masyarakat dan negara. Negara adalah merupakan masyarakat hukum yang merupakan kesatuan organis sehingga setiap anggota, bagian, lapisan, kelompok, maupun golongan yang ada yang membentuk negara, sate dengan lainnya saling berhubungan erat dan merupakan suatu kesatuan hidup. Eksistensi setiap unsur hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan. Setiap bagian dalam negara memiliki tempat, kedudukan dan fungsi masing-masing yang harus diakui, dijamin, dihargai dan dihormati. Paham ini beranggapan bahwa setiap unsur merasa berkewajiban akan terciptanya keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. Hal inilah yang dilukiskan dalam suatu seloka Bhinneka Tunggal Ika.

c. Ketahanan Nasional Bidang Ideologi

Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi. Sebagaimana diketahui bersama bahwa bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, yang dengan sendirinya memiliki beraneka ragam budaya masing-masing. Selain itu bangsa Indonesia juga tersusun atas golongan, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam. Keadaan yang demikian ini memiliki dua kemungkinan.

Pertama, keanekaragaman itu dapat menimbulkan potensi perpecahan,

jikalau di antara unsur-unsur bangsa tidak memiliki wawasan kebersamaan sebagaimana terkandung dalam ideologi Pancasila. Oleh karena itu jikalau unsur bangsa memiliki wawasan yang sempit maka bukannya tidak mungkin, akan terjadi perpecahan bangsa atau disintegrasi bangsa. Hal ini nampak pada kondisi bangsa pada era reformasi dewasa ini yang salah memahami kebebasan serta otonomi daerah.

Kedua, keanekaragaman itu justru merupakan suatu khasanah budaya bangsa yang dapat dikembangkan serta menguntungkan dalam pelbagai kepentingan, misalnya dalam bidang pariwisata, serta dapat menumbuhkan kebanggaan nasional serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan latar belakang keadaan tersebut, lebih-lebih keadaan wilayah yang terdiri atas berbagai gugusan pulau dan kepulauan besar maupun kecil, maka diperlukan secara mutlak sarana penangkal ideologis untuk mempersatukan persepsi, mempersatukan bangsa yaitu Pancasila. Pancasila sebagai suatu ideologi merupakan suatu sistem nilai yang telah diyakini kebenaran dan kesesuaiannya dengan pandangan hidup bangsa, sehingga merupakan suatu prinsip dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan demikian salah satu' fungsi pokok Pancasila sebagai suatu ideologi bangsa dan negara adalah merupakan prinsip untuk mempersatukan bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita dan mewujudkan tujuan bersama.

Pancasila sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia, kecuali sebagai prinsip persatuan dan kesatuan bangsa, juga berfungsi mengarahkan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya sehingga peranannya sangat penting dalam kehidupan negara. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa secara politic persatuan dan kesatuan itu merupakan suatu syarat mutlak berdirinya suatu negara dan juga merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya tujuan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu membina ideologi dalam kehidupan negara, pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk meningkatkan ketahanan nasional, dalam arti mempersatukan tekad dan semangat untuk menjaga kelestarian hidup bangsa dan negara serta konsistensi bangsa terhadap cita-citanya.

1) Konsep Pengertian Ketahanan Ideologi

Sejalan dengan prinsip-prinsip di atas, ketahanan nasional bidang ideologi adalah merupakan suatu kondisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan untuk mengembangkan kekuatan ideologi di dalam menghadapi dan menga tasi segala tantangan, rongrongan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar negara Indonesia maupun yang datang dari dalam negara Indonesia sendiri. Dalam hubungannya dengan kondisi sejarah bangsa Indonesia yang sedang mangalami proses reformasi tantangan dan gangguan banyak bermunculan dengan suatu dalih politis demokrasi dan penegakan HAM. Banyak kelompok masyarakat yang merupakan unsur bangsa Indonesia diprovokasi oleh kalangan elit politik yang merasa gagal dalam mengambil posisi politis pada tingkat pusat dengan segala alasan dan kekecewaan menghimpun kekuatan untuk menyuarakan kehendaknya melalui rakyat yang kurang memahami proses demokrasi dan kebebasan pada era reformasi dewasa ini. Oleh karena itu banyak terjadi gejolak politik yang

eskalasinya bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Berbagai macam contoh yang telah mencuat kepermukaan antara lain Gerakan Aceh Merdeka, gerakan dengan alasan kebebasan misalnya Siera Aceh yang dengan keras menghendaki kebebasan rakyat Aceh untuk merdeka dengan melalui referendum, Gerakan Papua Merdeka di mana dalam proses sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang telah menelan korban para pahlawan dengan nama Irian Barat dipaksa diubah dengan ciri etnis dengan bendera untuk kemerdekaan Papua, gerakan Republik Maluku Selatan dan sebagainya. Pada tingkat yang demikian ini posisi ideologi sangat lemah karena kekaburan proses reformasi. Oleh karena itu untuk membangun bangsa yang kuat dan besar jelas harus memiliki suatu ketangguhan dan ketahanan ideologi yang memadai.

Ideologi adalah suatu perangkat prinsip pengarahan (guiding principles) yang dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai dalam melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional suatu bangsa dan negara. Ideologi memiliki sifat futuristik, artinya mempu memberikan suatu gambaran masa depan yang ideal (Sastra Pratedja, 1995 : 143). Dengan lain perkataan ideologi merupakan suatu konsep yang mendalam mengenai kehidupan yang dicita-citakan serta yang ingin diperjuangkan dalam suatu kehidupan yang nyata.

Selain itu fungsi dasar ideologi juga membentuk identitas suatu kelompok atau bangsa. Ideologi memiliki kecenderungan untuk menentukan karakteristik kelompok manusia. Dengan demikian dalam kehidupan bernegara ideologi menentukan kepribadian nasional, sehingga mampu mempersatukan aspirasi atau cita-cita suatu kehidupan yang diyakini sebagai terbaik, serta mempersatukan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam realitas kehidupan manusia dalam kenyataannya sangat kompleks, oleh karena itu ideologi dijabarkan dari suatu sistem nilai (value system). Dengan demikian penjabaran ideologi secara sistematik sebagai suatu kebulatan ajaran atau doktrin. Lazimnya pengembangan doktrin dimulai atau timbul dari pemikiran yang bersifat perenungan dengan berpangkal kepada pandangan hidup dan pandangan dunia atau populer sebagai suatu sistem filsafat tertentu. Dengan demikian pandangan dunia menimbulkan suatu cita-cita yang dalam perkembangan lebih lanjut menjadi suatu faham atau ideologi. Demikianlah maka setiap ideologi dapat dipastikan bersumber pada suatu prinsip atau suatu pandangan filsafat tertentu.

Dalam kaitannya dengan ideologi nasional Indonesia maka secara yuridis prinsip sistem nilai tersebut telah tertuang dalam dasar filsafat Pancasila, di mana setelah melalu suatu proses penyelidikan dalam BPUPKI kemudian pembahasan serta konsensus oleh para komponen dan elemen bangsa yang terwadahi dalam BPUPKI kemudian disahkan secara yuridis oleh PPKI, sebagai lembaga pembentuk negara dan termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Menya-dari pentingnya ideologi pada proses reformasi dewasa ini maka para wakil rakyat menuangkan komitmennya untuk mengembangkan ketahanan ideologi dalam Ketetapan MPR RI Nomor : XVIII/MPR/1998. Dalam ketetapan tersebut ditegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia dan sebagai ideologi nasional. Demikian pula kedudukan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Sumber dari Segala Sumber Hukum terdapat dalam Ketetapan MPR RI Nomor: XX/MPRS/1966, yo., Ketetapan MPR RI Nomor: IX /MPR/1978.

2) Strategi Pembinaan Ketahanan Ideologi

Dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara upaya untuk meningkatkan ketahanan nasional bidang ideologi dipengaruhi oleh sistem nilai, artinya kemanfaatan ideologi sangat bergantung kepada serangkaian nilai yang terkandung di dalamnya yang dapat memenuhi dan menjamin segala aspirasi dalam kehidupan masyarakat baik secara pribadi, makhluk sosial, maupun sebagai warga negara sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Pada dasarnya setiap bangsa itu mengembangkan ideologinya sesuai dengan filsafat hidup atau pandangan hidupnya yaitu suatu sistem nilai yang sesuai dengan kepribadian bangsa itu sendiri. Ideologi bagi suatu negara merupakan system nilai yang mencakup segenap nilai hidup dan kehidupan bangsa serta negara baik bersifat interelasi maupun interdependensi. Memiliki suatu ideologi yang sempurna dan cocok belum menjamin ketahan nasional bangsa tersebut di bidang ideologi.

Agar terwujudnya suatu ketahanan nasional bidang ideologi secara strategis harus diwujudkan baik secara kenegaraaan maupun secara kewarganegaraan. Artinya suatu ideologi harus terealisasikan baik dalam kehidupan perseorangan dalam berbangsa dan bernegara, maupun dalam kehidupan kenegaraan secara formal. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ideologi dibedakan atas dua macam aktualisasi yaitu :

Pertama: aktualisasi secara objektif, yaitu pelaksanaan ideologi dalam bidang kenegaraan. Hal ini terwujud dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara serta peraturan perundang-undangan lainnya serta dalam segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.

Kedua: aktualisasi yang subjektif, yaitu aktualisasi ideologi negara dalam kehidupan para warga negara serta kehidupan kewarganegaraan secara perseorangan. Hal itu terwujud dalam sikap, perilaku, kepribadian setiap warga negara perseorangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Makin tinggi kesadaran suatu bangsa melaksanakan dan meng-aktualisasikan ideologi, baik aktualisasi objektif maupun subjektif, pada hakikatnya semakin tinggi pula ketahanan bidang ideologi bangsa tersebut.

Secara rinci dalam rangka strategi pembinaan ideologi adalah sebagai berikut : a) Secara prinsip aktualisasi secara kongkrit ideologi negara harus diwujudkan

baik dalam bidang kenegaraan maupun pada setiap warga negara dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara, secara realistis, objektif dan aktual.

b) Aktualisasi fungsi ideologi sebagai perekat pemersatu bangsa harus senantiasa ditanamkan kepada semua warga negara terutama dalam perwujudan kongkrit dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

c) Dalam proses reformasi dewasa ini aktualisasi ideologi bangsa dan negara harus dikembangkan ke arah keterbukaan dan kedinamisan ideologi, yang senantiasa mampu-mengantisipasi perkembangan zaman, iptek, peradaban, serta dinamika aspirasi masyarakat untuk mencapai cita-cita reformasi.

d) Senantiasa menanamkan dan memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa yang bersumber pada asas kerokhanian ideologi Pancasila yang mengakui

keanekaragaman dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Ideologi adalah untuk persatuan, kesatuan dan kesejahteraan seluruh bangsa. Perjalanan bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi dewasa ini yang menunjukkan adanya tanda-tanda ke arah disintegrasi bangsa, harus dikembaikan kepada kesadaran terhadap pentingnya cita-cita bangsa yang tertuang dalam ideologi Pancasila.

e) Kalangan elit negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus mencurahkan kepada cita-cita- untuk memperbaiki nasib bangsa pada era reformasi dewasa ini, dengan melalui realisasi pembangunan nasional yang tertuang dalam program-program pembangunan negara. Sikap-sikap sentimen politik harus secepatnya dihindarkan agar bangsa tidak terjebak pada sikap balas dendam politik yang tanpa akhir, dengan sendirinya hal ini harus tetap konsekuen terhadap pemberantasan KKN agar perjalanan pembangunan tidak mengalami kesulitan.

f) Mengembangkan dan menanamkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, pada generasi penerus bangsa dengan cara menanamkan ideologi Pancasila sebagai ideologi yang humanis, religius, demokratis, nasionalistis dan berkeadilan. Proses penanaman dilakukan secara objektif dan ilmiah bukan secara doktriner, melalui berbagai jenjang pendidikan dan dilakukan dengan metode yang sesuai dengan tingkat pendidikan masing-masing (lihat Lemhanas, 2000, SUSCADOSWAR).

g) Menumbuhkan sikap positif terhadap warga negara untuk memiliki kesadaran bermasyarakat berbangsa dan bernegara, dengan meningkatkan motivasi dalam pembangunan nasional demi kesejahteraan seluruh bangsa (Parmono, 1995). Terutama pada era reformasi dewasa ini perhatian terhadap perbaikan taraf kehidupan bangsa harus dititik beratkan agar krisis multidimensi yang menimpa bangsa Indonesia ini segera berakhir.

2. Pengaruh Aspek Politik.

a. Pengertian

Sejalan dengan pengertian ketahanan rasional secara umum, maka pengertian ketahanan nasional bidang politik adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa, yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan potensi nasional menjadi kekuatan nasional, sehingga dapat menangkal dan mengatasi segala kesulitan dan gangguan yang dihadapi oleh negara baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri.

Sebagai titik tolak pembahasan, ada baiknya difahami makna politik itu sendiri secara umum. Dalam kehidupan bernegara, istilah politik memiliki makna bermacam-macam, dan kesemuanya itu dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : Pertama : politik sebagai sarana atau usaha untuk memperoleh kekuasaan dan

dukungan dari masyarakat dalam melakukan kehidupan bersama. Dengan demikian politik dapat dikatakan menyangkut kekuatan hubungan (power relationship). Dengan kata lain, politik mengandung makna usaha dalam memperoleh, memperbesar, memperluas serta mempertahankan kekuasaan yang dalam bahasa Inggris dikenal

dengan istilah politics.Kedua : politik dipergunakan untuk menunjuk kepada suatu rangkaian

kegiatan atau cara-cara yang dilakukan untuk mencapai sesuatu tujuan yang dianggap baik. Secara singkat politik dapat diartikan sebagai suatu kebijakan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah policy (Parmono, 1995).

Bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan cita-citanya, tidak lepas dari akumulasi seluruh kekuatan nasional, baik aktual maupun potensial. Tidak saja akumulasi kekuatan nasional, melaknkan juga penerapan kedaulatan rakyat yang didelegasikan kepada wakil-wakil rakyat, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bangsa Indonesia setiap lima tahun sekali menuangkan aspirasinya untuk memilih wakil-wakilnya melalui suatu pemilu, atau yang populer dengan pesta demokrasi.

Dalam proses reformasi mekanisme lima tahunan yang tertuang dalam proses politik selama masa Orde Baru kurang memberikan ruang kepada terwujudnya proses demokrasi. Hal ini dilakukan oleh kalangan eksekutif maupun legislatif dengan melakukan reformasi pada bidang politik, dan yang paling esensial adalah melakukan reformasi terhadap Undang-Undang Politik tahun 1985, dan diganti dengan Undang-Undang Politik no. 4 tahun 1999. Atas dasar Undang-Undang Politik inilah maka bangsa Indonesia melakukan pemilu dan menghasilkan para wakil rakyat kita sekarang ini (Kaelan, 2000).

Para wakil rakyat itulah secara politis memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menentukan kebijaksanaan apa yang terbaik bagi rakyat, dalam suatu pengertian kebijaksanaan apa yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf kehidupan rakyat. Para wakil rakyat inilah yang harus melakukan kebijaksanaan untuk menentukan strategi pembangunan yang pada gilirannya dilakukan oleh kalangan eksekutif kita. Politik dan strategi nasional dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan nasional, dirumuskan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dan tertuang dalam berbagai kebijakan politik pemerintah.

Politik dalam arti kebijakan (policy) merupakan suatu proses alokasi sistem nilai dan norma kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diyakini baik dan benar, dilakukan oleh suatu institusi yang berwenang, agar menjadi pedoman pelaksanaan dalam mewujudkan cita-citanya. Mengingat bangsa Indonesia itu sangat hiterogen, kiranya dapat difahami bahwa di dalam kehidupan politik itu sering terjadi perbedaan persepsi, perbedaan skala prioritas, bahkan konflik kepentingan kelompok atau golongan. Namun yang harus selalu diingat, bahwa di dalam proses penentuan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan itu terdapat rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, yaitu kepentingan nasional, persatuan dan kesatuan bangsa, serta tetap tegaknya negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berdasar filsafat Pancasila.

Sebagai suatu proses penentuan pilihan kebijakan yang diyakini baik dan benar (the quality of life) dalam hidup bernegara, tingkah laku seseorang atau sekelompok orang, berkaitan dengan tingkat kecerdasan, tingkat kemakmuran ekonomi, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keeratan sosial, integritas bangsa serta situasi keamanan. Sesuai dengan sistematisasi aspek kehidupan politik tersebut satu dengan lainnya saling mempengaruhi secara menyeluruh. Oleh karena itu adanya konotasi negatif terhadap pengertian politik, perlu diluruskan. Di dalam makna politik tidak dapat diingkari, bahwa di

dalamnya terdapat aspek kekuatan (forces) dan kekuasaan (power). Namun harus diperhatikan, bahwa kehidupan politik harus dibimbing oleh suatu sistem nilai, sehingga makna politik dititik beratkan kepada kebijakan dalam arti demi kesejahteraan seluruh rakyat. Jika tidak demikian bukannya tidak mungkin akan terjadi suatu gangguan stabilitas baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik maupun pertahanan dan keamanan, bahkan dapat menjurus ke arah konflik kepentingan, pertikaian, isu negatif yang pada gilirannya akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Keadaan sebagaimana tersebut di atas, marupakan suatu kerawanan yang dapat membahayakan kepentingan seluruh bangsa. Sebaliknya kondisi politik yang stabil dan dinamis, dapat memberikan kesempatan yang luas kepada segenap warga negara bersama-sama pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Stabilitas politik memberikan rasa aman, memperkokoh persatuan dan kesatuan, dan pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional.

Politik dilakukan dalam rangka kehidupan bernegara, kekuasaan politik (political power) berpusat pada pemerintah negara yang telah memperoleh mandat dari rakyat, bertindak atas nama rakyat, sistem pemerintahan mempunyai otoritas menentukan kebijaksanaan umum. Oleh karena itu perjuangan politik pada akhirnya ditujukan untuk menguasai pemerintahan dalam arti positif.

Kehidupan politik dapat dibagi dalarn 2 sektor, yaitu : Pertama : sektor pemerintahan,Kedua : sektor kehidupan politik masyarakat.

Dalam mekanisme pemerintahan, kita dapat melihat adanya kehendak masyarakat (social demands) yang masuk dalam pemerintahan sebagai input, di pihak lain kita dapat menyaksikan kebijaksanaan umum yang keluar dari pemerintahan sebagai output.

Sejalan dengan sistem tersebut di atas, maka dalam kehidupan negara tidak bisa dilepaskan dengan sistem kepartaian dan sistem politik. Sistem kepartaian kecuali merupakan wadah untuk merumuskan aspirasi rakyat, juga merupakan organisasi rakyat sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasinya di dalam pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem politik meliputi cara bagaimana berlangsungnya penyaluran kehendak masyarakat dalam pemerintahan dan bagaimana cara mengolahnya, yang akhirnya keluar sebagai kebijakan umum. Dengan demikian kegiatan politik adalah suatu interaksi institusi yang memperoleh wewenang sah dari rakyat untuk menentukan alokasi sistem nilai, serta strategi dasar yang dipakai sebagai arahan sekaligus pedoman dalam rangka mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan.

Dengan memahami pengertian politik yang cukup luas tersebut di atas maka objek materia politik yang merupakan bahan kajian meliputi: kekuasaan, kebijaksanaan, negara, pemerintahan, fakta politik, kegiatan`politik, serta organisasi kemasyarakatan (Ismail Ghani, 1984).

Berdasarkan ketentuan tersebut maka ruang lingkup studi politik memang amat luas, sehingga untuk memahami ketahanan nasional dalam bidang politik juga memerlukan suatu kajian yang lebih mendalam. Dengan demikian hal-hal yang menyangkut ketahanan nasional bidang politik meliputi beberapa unsur, antara lain :

1) Menempatkan secara proporsional kedaulatan rakyat di dalam kehidupan negara, dalam arti kesempatan, kebebasan yang menempatkan hak dan kewajiban, partisipasi rakyat yang menentukan kebijaksanaan nasional.

2) Memfungsikan lembaga-lembaga negara, sesuai dengan ketentuan konstitusi yaitu kedudukan, peran, hubungan kerja, kewenangan, dan produktivitas.

3) Menegakkan keadilan sosial dan keadilan hukum.4) Menciptakan situasi yang kondusif, dalam arti memelihara dan

mengembangkan budaya politik.5) Meningkatkan budaya politik dalam arti luas, sehingga kekuatan sosial politik

sebagai pilar demokrasi dapat melaksanakan hak dan kewajiban dengan semestinya.

6) Memberikan kesempatan yang optimal kepada saluran-saluran politik untuk memperjuangkan aspirasinya secara proporsional. Saluran-saluran politik itu antara lain : partai politik, media massa, kelompok moral, kelompok kepentingan agar tumbuh rasa memiliki, partisipasi dari seluruh rakyat.

7) Melaksanakan pemilihan umum, secara demokratis secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.

8) Melaksanakan sosial kontrol yang bertanggung jawab kepada jalannya pemerintahan negara, walaupun tidak harus menjadi partai oposisi.

9) Menegakkan hukum dan menyelenggarakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

10) Mengupayakan pertahan dan keamanan nasional.11) Mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Unsur-unsur tersebut sangat penting direalisasikan demi terwujudnya ketahanan nasional dalam bidang politik. Namun dalam era reformasi dewasa ini terdapat berbagai macam perbenturan kepentingan politik dengan alasan kebebasan, demokrasi, HAM serta pemberantasan KKN, sehingga tidak menumbuhkan kesadaran bernegara yang positif. Akibatnya kepentingan nasional sebagai kepentingan rakyat bersama terabaikan, dan sebagaimana kita lihat sendiri yang menjadi korban adalah rakyat. Kebijaksanaan negara tidak diarahkan kepada perbaikan kondisi dan nasib rakyat melainkan sentimen dan persaingan politik yang tidak sehat. Oleh karena itu agar terwujudnya ketahanan politik dalam era reformasi dewasa ini seluruh lapisan kekuatan sosial politik harus memiliki kesadaran akan pentingnya bernegara demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat.

b. Politik Dalam Negeri

Politik dalam negeri adalah kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang mampu menyerap aspirasi dan dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam suatu sistem. Unsur-unsurnya terdiri atas struktur politik; proses politik, budaya politik, komunikasi politik, dan partisipasi politik.1) Struktur politik merupakan wadah penyaluran kepentingan masyarakat dan

sekaligus wadah pengkaderan pimpinan nasional.2) Proses politik merupakan suatu rangkaian pengambilan keputusan tentang

berbagai kepentingan politik maupun kepentingan umum yang bersifat nasional dan penentuan dalam pemilihan kepemimpinan yang puncaknya

terselenggara melalui pemilu.3) Budaya politik merupakan pencerminan dari aktualisasi hak dan kewajiban

rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dilaksanakan secara sadar dan rasional melalui pendidikan politik maupun kegiatan politik yang sesuai dengan disiplin nasional.

4) Komunikasi politik merupakan suatu hubungan timbal balik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di mana rakyat merupakan sumber aspirasi dan sumber pimpinan nasional.

Ketahanan pada Aspek Politik Dalam Negeri

1) Sistem pemerintahan yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan yang bersifat absolut, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat

2) Mekanisme politik yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat. Namun perbedaan tersebut tidak menyangkut nilai dasar, sehingga tidak menjurus pada konflik fisik. Di samping itu, timbulnya diktator mayoritas dan tirani minoritas harus dicegah.

3) Kepemimpinan nasional mampu mengakomodasikan aspirasi yang hidup dalam masyarakat dan tetap berada dalam lingkup dasar filsafat Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara.

4) Terjalin komunikasi politik timbal balik antara pemerintah dan masyarakat, dan antarkelompok/golongan dalam masyarakat dalam rangka mencapai tujuan nasional dan kepentingan nasional (Lemhanas, SUSCADOSWAR, 2000). Dalam era reformasi dewasa ini memang banyak menghadapi kendala, karena banyak kelompok yang hanya menekankan pada kepentingan golongannya sehingga kepentingan bangsa serta rakyat sebagai inti tujuan nasional menjadi tersisihkan. Akibatnya banyak terjadi kekecewaan pada rakyat yang terekspresi pada unjuk rasa, atau gerakan-gerakan yang kadangkala melemahkan ketahan pada bidang politik. Oleh karena itu kesadaran untuk kembali kepada tujuan bangsa sebagai tujuan yang esensial harus difahami oleh semua fihak agar terciptanya suatu ketahanan dalam bidang politik. Hal itulah yang harus difahami oleh segenap warga negara terutama kalangan elit politik yang dewasa ini sangat berperan dalam konstelasi politik Indonesia, dan dengan sendirinya secara langsung maupun tidak langsung sangat menentukan keberhasilan katahanan bidang politik.

c. Politik Luar Negeri

Politik luar negeri adalah salah satu sarana pencapaian kepentingan nasional dalam pergaulan antar bangsa. Politik luar negeri Indonesia yang berlandaskan pada Pembukaan UUD 1945, yaitu melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, serta anti penjajahan bangsa satu terhadap bangsa lainnya karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka rincian politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut : 1) Sebagai bagian integral dari strategi nasional. Politik luar negeri merupakan

proyeksi kepentingan nasional dalam kehidupan antar bangsa. Hal tersebut dijiwai oleh filsafat negara Pancasila sebagai tuntutan moral dan etika, politik luar negeri Indonesia ditujukan pada kepentingan nasional terutama pembangunan nasional. Dengan demikian, politik luar negeri merupakan bagian integral dari strategi nasional dan secara keseluruhan merupakan salah satu sarana pencapaian tujuan nasional.

2) Garis politik luar negeri Indonesia adalah bebas dan aktif. Bebas artinya bahwa negara Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Aktif dalam pengertian peran Indonesia dalam percaturan dunia internasional tidak bersifat reaktif, dan Indonesia tidak menjadi objek percaturan dunia internasional. Indonesia berperan serta atas dasar cita-cita bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Karena hiteroginitas kepentingan bangsa-bangsa di dunia, maka politik luar negeri Indonesia harus bersifat fleksibel dalam arti moderat dalam hal yang kurang prinsipial dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasar seperti' yang ditentukan dalam Pembukaan WD 1945. Politik luar negeri juga harus lincah dalam menghadapi dinamika perubahan hubungan antar bangsa yang cepat dan tidak menentu. Daya penyesuaian yang tinggi diperlukan dalam menghadapi dan menanggapi perkembangan-perkembangan tersebut.

Ketahanan pada Aspek Politik Luar Negeri

1) Hubungan luar negeri ditujukan untuk meningkatkan kerjasama internasional di berbagai bidang atas dasar sikap saling menguntungkan, meningkatkan citra positif Indonesia di luar negeri, dan memantapkan persatuan serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Politik luar negeri terus dikembangkan menurut prioritas dalam rangka, meningkatkan persahabatan dan kerjasama antar negara berkembang serta antara negera berkembang dengan nergara maju sesuai dengan kemampuan demi kepentingan nasional. Peran Indonesia dalam membina dan mempererat persahabatan dan kerja-' sama antar bangsa yang saling menguntungkan perlu terus ditingkatkan. Kerjasama dengan negara-negara ASEAN, terutama di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya, harus terus dilanjutkan dan dikembangkan. Peran aktif Indonesia dalam Gerakan Non Blok dan OKI serta mengembangkan hubungan demi kerjasama antar negara di kawasan Asia Pasifik perlu terus ditingkatkan.

3) Citra positif Indonesia terus ditingkatkan dan diperluas antara lain melalui promosi, peningkatan diplomasi, lobi internasional, pertukaran pemuda, pelajar, dan mahasiswa serta kegiatan olah raga.

4) Perkembangan, perubahan, dan gejolak dunia terus diikuti dan dikaji dengan saksama agar dampak negatif yang mungkin mempengaruhi stabilitas nasional dan menghambat kelancaran pembangunan dan pencapaian tujuan nasional dapat diperkirakan secara dini.

5) Langkah bersama negara berkembang dengan industri maju untuk memperkecil ketimpangan dan mengurangi ketidakadilan perlu ditingkatkan melalui perjanjian perdagangan internasional serta kerjasama lembaga-lembaga keuangan internasional.

6) Perjuangan mewujudkan suatu tatanan dunia baru dan ketertiban dunia

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui penggalangan, pemupukan solidaritas, kesamaan sikap, serta kerjasama internasional dalam berbagai forum internasional dan global. Peran aktif Indonesia dalam perlucutan senjata, pengiriman serta pelibatan pasukan perdamaian, dan penyelesaian konflik antar bangsa perlu terus ditingkatkan. Upaya restrukturisasi PBB terutama Dewan Keamanan agar efektif, efisien dan demokratis harus terus dilaksanakan.

7) Peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu dilaksanakan dengan pembenahan sistem pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan calon diplomat secara menyeluruh agar mereka dapat menjawab tantangan tugas yang mereka hadapi. Selain itu, aspek-aspek kelembagaan dan sarana penunjang lainnya perlu ditingkatkan.

8) Perjuangan bangsa Indonesia yang menyangkut kepentingan nasional, seperti melindungi kepentingan Indonesia dari kegiatan diplomasi negatif negara lain dan melindungi hak-hak warga negara Republik Indonesia di luar negeri perlu ditingkatkan (Lemhanas RI, SUSCADOSWAR 2000).

3. Pengaruh Aspek Ekonomi

a. Pengertian Perekonomian

Bidang ekonomi merupakan suatu. bidang kegiatan manusia dalam rangka mencukupi kebutuhannya di samping' alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Hal tersebut dalam ilmu ekonomi menyangkut berbagai bidang antara lain permintaan, penawaran, produksi, distribusi barang dan jasa.

Bidang ekonomi tidak bisa dilepaskan dengan faktor-faktor lainnya yang Baling berkaitan. Perekonomian selain berkaitan dengan wilayah geografi suatu negara, juga sumber kekayaan dan sumber daya manusia, cita-cita masyarakat yang lazimnya disebut ideologi, akumulasi kekuatan, kekuasaan, serta kebijaksanaan yang akan diterapkan dalam kegiatan produksi dan distribusi, nilai sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan yang memberikan jaminan lancarnya roda kegiatan ekonomi suatu bangsa. Proses tersebut akan mempunyai dampak positif dalam arti meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa manakala kegiatan ekonomi itu terselenggara dalam posisi keseimbangan antara permintaan dan penawaran, produksi, distribusi barang dan jasa (Parmono, 1995).

Proses inilah yang kemudian sangat ditentukan oleh suatu sistem dimana suatu bangsa tertentu mengambil suatu kebijakan untuk menentukan bagaimana keseimbangan tersebut dapat diwujudkan. Ekonomi kapitalis akan memberikan kebebasan persaingan (free fight liberalism) kepada para pelaku ekonomi, sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk bersaing. Sebaliknya ekonomi sosialis komunis menekankan aspek pemerataan sehingga distribusi dilakukan oleh negara dan dalam masalah ini peran individu ditentukan oleh negara. Kebebasan individu dibatasi bahkan ditiadakan oleh negara. Namun demikian dewasa ini telah terjadi pergeseran sistem, artinya sulit ditemukan dalam suatu negara yang hanya murni liberalisme dan atau hanya satu sistem yang hanya murni sosialis komunis. Banyak negara yang menganut kapitalisme yang sangat memperhatikan pemerataan, namun juga telah banyak negara yang dahulu komunisme telah menerapkan sistem distribusi kapitalisme.

Pada abad ke-21 ini telah terjadi suatu fenomena yang lain yaitu sistem perekonomian telah masuk era globalisasi. Memang dalam pengertian sempit globalisasi telah mulai nampak sejak lama, tatkala negara-negara barat melakukan penjajahan atas negara lain. Sebelumnya kemunculan nation state, perdagangan dan migrasi lintas benua juga telah lama berlangsung. Perdagangan regional telah membuat interaksi antar suku bangsa yang terjadi secara alamiah. Sejak masa sejarah modern, khususnya sebelum memasuki abad ke-21 ini, globalisasi dipandang sebagai gelombang masa depan. Dua dekade sebelum Perang Dunia II, arus uang internasional telah mengikatkan Eropa lebih erat dengan Amerika Serikat, Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Pasar modal mengalami booming di kedua sisi Atlantik, sementara bank dan investor swasta sibuk mendiversifikasikan investasinya, mulai dari Argentina hingga Singapura. Namun sejalan dengan siklus ekonomi dan politik dunia, gelombang globalisasi juga mengalami pasang-surut. Salah satu kekuatan yang melatar belakanginya adalah tarik menarik antara paham internasionalisme dan nasionalisme atau isolasionisme (Faisal Basri, 1998).

Gelombang globalisasi yang melanda seantero dunia sejak tahun 1980, jauh berbeda dari segi intensitas dan cakupannya. Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh berbagai sendi kehidupan, tidak saja menyangkut ekonomi, politik, sosial, budaya, ideologi, melainkan juga telah menjamah ke tataran sistem, proses, aktor dan events, sekalipun prosesnya tidak berjalan mulus. Hal inilah yang sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi terutama di Indonesia pada, masa reformasi dewasa ini. Peristiwa pada suatu negara terutama negara besar yang berperanan dalam bidang ekonomi akan mempengaruhi gelombang pasang surut perekonomian negara lain. Tragedi 1 I September yang melanda gedung kembar WTC telah dirasakan membawa kelesuan perekonomian dunia. Oleh karena itu dewasa ini tidak satu negarapun yang mampu mengembangkan perekonomiannya bertumpu hanya pada negara, tersebut, tanpa keterlibatan negara lain.

b. Perekonomian Indonesia

Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa walaupun terdapat sistem perekonomian besar seperti liberalisme dan sosialisme komunis, namun dalam kenyataannya kedua sistem tersebut tidak pernah diterapkan dalam satu negara secara murni, sehingga terjadi saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Sistem ekonomi sosialis komunis juga telah banyak menggunakan sistem yang merupakan ciri ekonomi kapitalis seperti persaingan, pemilikan modal oleh individu demikian pula sistem kapitalis juga telah banyak memperhatikan pemerataan dan lain sebagainya.

Selain dari itu bangsa Indonesia telah memiliki sistem perekonomian sendiri yang oleh para pendiri negara telah dicanangkan, yaitu yang menekankan asas kebersamaan dan kekeluargaan, dalam arti penekanan pada aspek kemakmuran bersama di samping kemakmuran individu dan kelompok. Sistem ini secara konstitusional telah dijamin dalam pasal 33 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa sistem perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sistem ini menekankan bahwa suatu usaha bersama berarti bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam menjalankan roda perekonomian dengan tujuan untuk mensejahterakan bangsa. Dalam pengertian ini individupun memiliki kesempatan untuk melakukan suatu usaha, namun juga pemerintahan negara sebagai lembaga hidup bersama juga ikut serta dalam kegiatan perekonomian demi kesejahteraan rakyat secara bersama. Maka perekonomian tidak hanya dijalankan oleh pemerintah yang berupa kegiatan badan-badan usaha miliki negara, namun juga masyarakat dapat turut serta dalam kegiatan perekonomian dalam bentuk usaha-usaha swasta dalam berbagai bidang. Namun perlu diperhatikan betapapun swasta memiliki kebebasan untuk melakukan suatu usaha, dalam sistem perekonomian Indonesia tidak dikenal praktek monopoli maupun monopsoni, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta. Masyarakat yang tidak termasuk dalam badan usaha milik negara atau badan usaha swasta masih mempunyai peluang untuk membentuk badan usaha dalam bentuk koperasi. Koperasi adalah suatu kegiatan ekonomi dalam bentuk badan usaha yang mendasarkan asas kekeluargaan. Masyarakat secara berkelompok dapat membentuk badan usaha dalam bentuk koperasi.

Secara makro Sistem perekonomian Indonesia dapat disebut sistem perekonomian kerakyatan. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat yang dimaksud adalah kemakmuran rakyat seluruh Indonesia, termasuk mereka-mereka yang berada di pulau-pulau kecil terpencil, di pedalaman, di gunung maupun di hamparan hutan lainnya. Negara dalam hal ini pemerintah, harus dapat memakmurkan rakyat setempat melalui pemanfaatan sumber kekayaan alam yang berada di daerah mereka masing-masing. Pada era reformasi dewasa ini di mana kita mengembangkan otonomi daerah sering terjadi kendala dilematis antara asas kebersamaan dengan kebebasan daerah untuk mengelola sumber kekayaan alam yang berada di wilayah mereka masing-masing. Hal ini mengingat struktur geografis negara Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu pulau kecil yang tersebar di berbagai wilayah, ditambah keaneka-ragaman budaya etnis masing-masing seringkali menimbulkan fanatisme primordial. Oleh karena itulah maka kita harus kembali pada asas kebersamaan, sehingga otonomi daerah dalam reformasi dewasa ini tidak menimbulkan ekslusivisme etnis tertentu, namun justru mengembangkan rasa kebersamaan.

Selain itu perlu diingat bahwa pada era global dewasa ini satu negara tidak mungkin menutup diri dari sistem perekonomian dunia. Secara makro perekonomian satu negara senantiasa tidak bisa dipisahkan dengan negara lain. Demikian juga perekonomian Indonesia, senantiasa terbuka terhadap sistem perekonomian dunia. Tingkat integrasi ekonomi nasional dengan ekonomi global sangat penting, karena hal itu merupakan ukuran dari kemampuan ekonomi nasional untuk secara adaptif mengikuti irama dan dinamika pasar internasional. Oleh karena itu Indonesia juga menyambut bentuk-bentuk kerjasama ekonomi dunia seperti GATS, AFTA dan APEC, yang diharapkan dapat meningkatkan potensi ekonomi nasional dan pada gilirannya akan meningkatkan tingkat kemakmuran rakyat secara nasional. Sehingga harus disadari bahwa sistem

perekonomian Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sistem perekonomian dunia bahkan merupakan suatu bagian yang integral dari sistem perekonomian internasional.

c. Ketahanan pada Aspek Ekonomi

Ketahanan ekonomi adalah merupakan suatu kondisi dinamis kehidupan perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan, kekuatan nasional dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan dan dinamika perekonomian baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara Indonesia, dan secara langsung maupun tidak langsung menjamin kelangsungan dan peningkatan perekonomian bangsa dan negara republik Indonesia yang telah diatur berdasarkan UUD 1945.

Wujud ketahanan ekonomi tercermin dalam kondisi kehidupan perekonomian bangsa yang mampu memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis, menciptakan kemandirian ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi, dan mewujudkan kemakmuran rakyat yang secara adil dan merata. Dengan demikian, pembangunan ekonomi diarahkan kepada mantapnya ketahanan ekonomi melalui suatu iklim usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, tersedianya barang dan jasa, terpeliharanya fungsi lingkungan hidup serta meningkatnya daya saing dalam lingkup perekonomian global.

Pencapaian tingkat ketahanan ekonomi yang diinginkan memerlukan pembinaan berbagai hal, yaitu antara lain : 1) Sistem ekonomi Indonesia diarahkan untuk dapat mewujudkan kemakmuran

dan kesejahteraan yang adil dan merata di seluruh wilayah negara Indonesia, melalui ekonomi kerakyatan serta menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan hidup bangsa dan negara yang berdasarkan UUD 1945.

2) Ekonomi kerakyatan harus menghindarkan diri dari : a) Sistem free fight liberalism yang hanya menguntungkan pelaku ekonomi

yang bermodal tinggi dan tidak memungkinkan berkembangnya ekonomi kerakyatan.

b) Sistem etatisme, dalam arti negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sektor negara.

c) Pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.

3) Struktur ekonomi dimantapkan secara seimbang dan saling menguntungkan dalam keselarasan dan keterpaduan antara sektor pertanian perindustrian serta jasa.

4) Pembangunan ekonomi, yang merupakan usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan di bawah pengawasan anggota masyarakat, memotivasi dan mendorong peran serta masyarakat secara aktif. Keterkaitan dan kemitraan antar para pelaku dalam wadah kegiatan ekonomi, yaitu pemerintah, badan usaha milik negara, koperasi badan usaha swasta, dan sektor informal harus diusahakan demi mewujudkan pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas

ekonomi.5) Pemerataan pembangunan dan pemanfaatan hasil-hasilnya senantiasa

dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan dan keserasian pembangunan antar wilayah dan antar sektor.

6) Kemampuan bersaing harus ditumbuhkan secara sehat dan dinamis untuk mempertahankan serta meningkatkan eksistensi dan kemandirian perekonomian nasional. Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya nasional secara optimal serta sarana Iptek yang tepat guna dalam menghadapi setiap permasalahan, dan dengan tetap memperhatikan kesempatan kerja (Lemhanas, 2000).

Demikianlah ketahanan ekonomi yang hakikatnya merupakan suatu kondisi kehidupan perekonomian bangsa berlandaskan UUD 1945 dan dasar filosofi Pancasila, yang menekankan kesejahteraan bersama, dan mampu memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan dinamis serta menciptakan kemandirian perekonomian nasional dengan daya saing yang tinggi.

4. Pengaruh Aspek Sosial Budaya

a. Pengertian Budaya

Manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa di dalam kehidupan ini mempunyai kedudukan yang tinggi, dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Jika dicermati dengan saksama, perbedaan itu terjadi karena manusia dikaruniai kemampuan jiwa, yaitu akal, rasa, kehendak serta keyakinan. Dengan kemampuan jiwanya, kehidupan manusia mampu menghasilkan serentetan produk yang disebut kebudayaan.

Menurut Koentjaraningrat produk kebudayaan dibedakan atas tiga macam yaitu :

(1) Sistem nilai, gagasan-gagasan atau sistem pemikiran yang bersifat abstrak yang hanya mampu difahami, dimengerti dan dipikirkan.

(2) Benda-benda budaya, yaitu suatu karya kebudayaan manusia yang berupa benda-benda, baik berupa prasasti, candi, lembaran sejarah, pusaka, rumah, kerajinan, benda seni dan lain sebagainya.

(3) Suatu sistem interaksi antar manusia dalam kehidupan bersama atau sering diistilahkan dengan kehidupan sosial. Manusia berinteraksi antara satu dengan lainnya untuk memenuhi kebutuhannya, ekspresi, kerjasama atau untuk memenuhi hasrat emosi dan lain sebagainya. Yang terakhir ini diistilahkan dengan sistem sosial (Koentjaraningrat, 1987).

Melalui budayanya itulah manusia berkarya, sehingga manusia menjadi makhluk yang berbudaya, terhormat dan beradab. Melalui kebudayaan kehidupan manusia menjadi serasi, selaras serta mempunyai dinamika yang normatif menuju taraf kehidupan yang lebih tinggi. Dinamika kehidupan manusia, terus dinamis dan berkembang melalui sistem nilai dan norma-norma. Dengan demikian individu sebagai anggota masyarakat dalam berbuat itu mengembangkan kepribadiannya ke arah yang lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Berdasarkan pengamatan perkembangan nilai-nilai kehidupan manusia hanya dapat dilakukan dalam situasi yang aman dan damai. Nilai-nilai kehidupan

serta interaksi individu menjadi selaras dan serasi, jika keadaan lingkungan mendukung, dalam arti interaksi anggota masyarakat itu selalu dilandasi oleh sistem nilai dan norma, sehingga menempatkan manusia pada posisi saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Dengan kata lain, perkembangan kepribadian itu dapat terwujud, manakala setiap individu konsisten terhadap sistem nilai dan norma, menempatkan kepentingan individu dan sosial secara selaras, serasi dan seimbang, serta setiap kegiatan individu atau kelompok itu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan bersama. Sebaliknya kehidupan masyarakat akan timpang manakala perilaku individu atau kelompok, terdapat kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Demikian pula kehidupan berbangsa dan bernegara, adanya erosi penghayatan nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa, dapat menimbulkan ketegangan sosial serta membahayakan ketahanan nasional.

b. Kondisi Budaya di Indonesia

Bangsa Indonesia terdari atas berbagai suku bangsa dan subetnis, yang masing-masing memiliki kebudayaannya sendiri. Karena suku-suku bangsa tersebut mendiami daerah-daerah tertentu, kebudayaan tertentu kemudian sering disebut dengan kebudayaan daerah. Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan daerah sebagai suatu sistem nilai yang menuntun sikap, perilaku dan gaya hidup merupakan identitas dan menjadi kebanggaan dari suku bangsa yang bersangkutan. Dalam setiap kebudayaan daerah terdapat nilai-nilai budaya yang tidak dapat dipengaruhi budaya asing, yang sering disebut sebagai local genius. Local genius inilah pangkal segala kemampuan budaya daerah untuk menetralisir pengaruh negatif budaya asing.

Kebudayaan suku-suku yang mendiami wilayah nusantara ini telah lama saling berkomunikasi dan berinteraksi dalam kesetaraan. Dalam kehidupan bernegara saat ini, dapat dikatakan bahwa kebudayaan daerah merupakan kerangka dari kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian kehidupan sosial budaya bangsa tidak akan terlepas dari perkembangan sosial budaya daerah (Lemhanas, SUSCADOSWAR, 2000).

Kebudayaan Nasional

Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam etnis yang mendiami beribu-ribu pulau, dan masing-masing memiliki kebudayaan sesuai dengan daerah masing-masing. Oleh karena itu untuk merumuskan pengertian kebudayaan nasional tidak bisa dilepaskan dengan eksistensi kebudayaan daerah yang merupakan unsur kebudayaan nasional. Oleh karena itu kebudayaan nasional adalah merupakan hasil interaksi kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang masing-masing memiliki kebudayaan daerah, yang kemudian diterima sebagai nilai bersama dan sebagai suatu identitas bersama sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia.

Kebudayaan nasional juga merupakan suatu hasil interaksi dari nilai-nilai kebudayaan yang telah ada dengan kebudayaan asing yang datang dari luar Indonesia, yang kemudian juga diterima sebagai nilai bersama bangsa Indonesia. Hal yang perlu diingat adalah bahwa interaksi budaya tersebut berjalan secara alamiah dan wajar, tanpa adanya unsur pemaksaan dan dominasi budaya satu

daerah tertentu terhadap budaya daerah lainnya. Dengan demikian kebudayaan nasional berkembang dan tumbuh sejalan dengan perkembangan budaya daerah yang ada di Indonesia (Lemhanas, SUSCADOSWAR, 2000). Oleh karena itu kebudayaan nasional menurut Koentjaraningrat berfungsi sebagai pemberi identitas kebudayaan bersama sebagai suatu bangsa. Jadi seluruh gagasan kolektif seluruh bangsa Indonesia yang Bhinneka yang beraneka warna itulah yang merupakan kebudayaan nasional dalam fungsinya untuk saling berkomunikasi dan untuk memperkuat solidaritas. Oleh karena itu berdasarkan fungsinya kebudayaan nasional adalah : 1) Suatu sistem gagasan dan perlambang yang memberi identitas kepada warga

negara Indonesia.2) Suatu sistem gagasan dan perlambang yang dapat dipakai oleh semua warga

negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian untuk dapat memperkuat solidaritas (Koentjaraningrat, 1986).

Berdasarkan proses interaksi budaya tersebut maka kebudayaan nasional Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Bersifat religius2) Bersifat kekeluargaan 3) Bersifat serba selaras 4) Bersifat kerakyatan

Bagi bangsa dan negara Indonesia secara formal yuridis rumusan kebudayaan nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam penjelasan ULTD 1945 pasal 32 yang berbunyi : "Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya."

Jadi kebudayaan nasional Indonesia dalam pengertian ini merupakan suatu totalitas dari seluruh akar-akar budaya daerah.

Integrasi nasional

Komunikasi dan interaksi suku-suku bangsa yang mendiami wilayah nusantara Indonesia pada tahun 1928 telah menghasilkan aspirasi bersama untuk hidup bersama sebagai satu bangsa di satu tanah air. Aspirasi itu terwujud secara sah diakui oleh bangsa-bangsa lain di dunia melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa keanekaragaman budaya justru merupakan hikmah bagi bangsa Indonesia dan di masa lalu telah mampu memunculkan faktor-faktor perekat persatuan atau merupakan suatu integrasi bangsa. Bangsa Indonesia menyadari bahwa untuk mewujudkan hakikat kodratnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial harus melakukan suatu kontrak untuk menyepakati suatu integrasi bersama hidup dalam suatu wilayah negara yaitu tumpah darah negara Indonesia. Untuk selanjutnya di masa depan, upaya untuk melestarikan keberadaan faktor perekat persatuan bangsa tersebut yaitu keinginan dan semangat untuk hidup dan meraih cita-cita bersama, akan merupakan tugas seluruh warga bangsa terutama generasi penerus bangsa.

Kebudayaan dan Alam Lingkungan

Perkembangan kebudayaan dalam suatu wilayah daerah tertentu senantiasa sangat ditentukan oleh alam lingkungan di mana kebudayaan tersebut tumbuh dan berkembang. Hal itu telah berlangsung sejak bertahun-tahun lamanya, namun belum pernah dipikirkan bahwa interaksi manusia dalam mengembangkan kebudayaan senantiasa tidak bisa dilepaskan dengan struktur alam lingkungan di mana mereka hidup. Lazimnya kebudayaan lama meninggalkan nilai-nilai kebudayaan yang meletakkan manusia di bawah kekuasaan alam lingkungannya. Akibatnya bangsa Indonesia dikuasai oleh mitos, legenda bahkan.takhayul sehingga bangsa Indonesia ketinggalan dalam mengembangkan Iptek.

Berdasarkan tradisi kebudayaan lama yang kurang mendukung pengembangan Iptek tersebut maka secara arif bijaksana harus dikembangkan budaya yang meletakkan manusia sebagai bagian sistemik dari alam lingkungannya. Sebenarnya telah banyak kebudayaan lama yang memiliki konsep untuk senantiasa membuat keselarasan antara manusia dengan alam lingkungannya, misalnya pada budaya Jawa yang terungkap dalam kalimat "Memayu hayuning bawono ", yang artinya membuat alam lingkungan sejahtera.

Oleh karena itu bangsa Indonesia melalui budaya daerah masing-masing harus mengembangkan sistem budaya yang meletakkan manusia sebagai bagian dari alam, sehingga harus membuat keselarasan, keserasian antara kebudayaan manusia dengan alam lingkunganhya. Manusia harus mampu memanfaatkan alam dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup, karena kerusakan lingkungan juga akan berakibat langsung terhadap kehidupan manusia.

c. Struktur Sosial di Indonesia

Pengertian sosial pada hakikatnya merupakan interaksi da-lam pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat. Dalam proses ini terkandung di dalamnya nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, kesamaan nasib sebagai unsur pemersatu kelompok. Untuk menjamin keberadaan dan keberlangsungan hidup masyarakat, terdapat empat unsur penting yaitu : 1) Struktur sosial artinya fungsi utama dari hidup berkelompok dimaksudkan

agar mudah dalam menjalankan tugas dan memenuhi kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, papan, keamanan dan sejenisnya.

2) Pengawasan sosial, yaitu merupakan suatu sistem dan prosedur yang mengatur kegiatan dan tindakan anggota masyarakat, dalam berintaraksi satu dengan lainnya, agar tidak terjadi konflik. Di samping pengawasan sosial dalam masalah pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi), juga pengawasan dalam hal penggunaan pengetahuan, peralatan, tingkah laku, agama/kepercayaan, moral, hukum, serta interaksi dengan kelompok luar.

3) Media sosial, yaitu di dalam suatu masyarakat diperlukan hubungan/relasi. Untuk itu masyarakat memerlukan landasan material untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan alat transportasi, serta landasan spiritual untuk mengadakan komunikasi dengan menggunakan bahasa dan isyarat. Transformasi dan informasi, merupakan mekanisme yang memungkinkan komunikasi dan relasi berlangsung lancar.

4) Standar sosial, yaitu di dalam realita kehidupan masyarakat, standar sosial baik tertulis maupun tidak tertulis, betapapun sederhana selalu ada. Hal itu diperlukan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu tindakan itu baik

atau buruk, benar atau salah, hina atau mulia dan lainnya. Di samping setiap masyarakat itu memiliki standar sosial, juga menjaga dan mengembangkannya agar kualitas hidup itu menjadi lebih baik. Dengan kata lain, standar sosial kecuali berfungsi sebagai pengarah perilaku anggota masyarakat, juga memberikan inspirasi dan pedoman untuk mencapai tujuan hidup yang diyakini baik oleh kelompok masyarakat. Standar sosial berguna untuk memanfaatkan cara dalam rangka mencapai tujuan (Gerungan, WA., 1987).

d. Ketahanan pada Aspek Sosial Budaya

Berdasarkan pengertian sosial dan kebudayaan sebagaimana tersebut di atas maka dapat dirumuskan bahwa ketahanan nasional bidang sosial budaya adalah suatu kondisi dinamis sosial budaya suatu bangsa, yang berisi keuletan, ketangguhan dari kemampuan suatu bangsa untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, permasalahan, gangguan, ancaman serta hambatan baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara Republik Indonesia.

Berdasarkan batasan pengertian ketahanan bidang sosial budaya tersebut, maka dapat difahami bahwa ketahanan pada aspek sosial budaya merupakan salah satu pilar yang penting untuk menyangga kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia. Hal itu dipertegas secara yuridis dalam UUD 1945 pasal 32 bahwa:

"Kebudayaan nasional itu adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajad kemanusiaan Indonesia".

Wujud ketahanan bidang sosial budaya tercermin dalam kehidupan sosial budaya bangsa, yang mampu membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju, dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi dan seimbang serta mampu menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Esensi pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia dengan demikian adalah pengembangan kondisi sosial budaya di mana setiap warga masyarakat dapat merealisasikan pribadi dan segenap potensi manusiawinya berdasarkan pandangan hidup, filsafat hidup dan dasar nilai yang telah ada dan dimilikinya sejak zaman dahulu kala, yang tertuang dalam filsafat negara Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang merupakan pedoman sikap bagi setiap tingkah laku setiap bangsa dan kehidupan kenegaraan Indonesia dan sekaligus akan merupakan sumber semangat, motivasi serta jiwa bagi akselerasi dalam setiap praktek kenegaraan, kemasyarakatan dan kebangsaan.

Jikalau kita tinjau kondisi bangsa Indonesia pada era reformasi dewasa ini kondisi ketahanan sosial budaya kita sangat memprihatinkan. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai macam peristiwa yang terjadi di seluruh wilayah tanah air tercinta ini selama reformasi. Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa bangsa Indonesia dapat mengenyam kebebasan melalui reformasi. Namun dalam kenyataannya euforia kebebasan itu justru berkembang ke arah perpecahan bangsa, berbagai tragedi penderitaan menimpa bangsa, konflik horisontal, serta penderitaan anak-anak bangsa semakin bertambah. Misalnya akibat kebebasan yang tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya bangsa itu berbagai peristiwa seperti tragedi konflik di Ambon, Poso, Sampit, Kalimantan Barat dan lain sebagainya mengakibatkan penderitaan rakyat. Sampai saat ini beberapa juta rakyat kita hidup di kamp pengungsian, segala harapannya musnah, masa depannya tidak jelas, pekerjaan dan harta bendanya hilang dirampas oleh kelompok bangsa kita sendiri, dikejar-kejar dan dibantai, namun pemerintah negara hanya asyik berebut kekuasaan dan mengembangkan sentimen politik dengan alasan pemberantasan KKN. Komnas HAM maupun kalangan LSM sering bertindak tidak adil, yaitu tidak pernah menindak pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh kelompok masyarakat. Mereka hanya curiga terhadap aparat dan penguasa negara, hukum tidak diterapkan dengan tegas, kalangan cut politik hanya berdiskusi penting atau tidak penerapan hukum darurat namun setiap menit, setiap jam banyak nyawa dibantai dengan tidak berperikemanusiaan.

Hal itu sebagai bukti pada era reformasi saat ini kita tidak memperhatikan ketahanan bidang sosial budaya, sehingga penafsiran yang keliru akan kebebasan mengakibatkan konflik dan dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat yang ingin menindas kelompok lainnya, bahkan pada reformasi dewasa ini telah meledak kasus SARA, yang tatkala zaman Orde Baru dahulu sering dikritik oleh kalangan elit politik serta LSM, namun dalam kenyataannya pada saat reformasi dewasa ini benar-benar meledak dan terjadi. Anehnya sampai saat ini sulit mengatasinya, dan korban terus berjatuhan.

Dalam hubungan ketahanan bidang sosial budaya harus diingat bahwa demokrasi harus menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat., tidak hanya politik saja melainkan juga sosial, budaya, ekonomi bahkan kehidupan umat beragama. Oleh karena itu sudah saatnya kalangan intelektual kampus mengembangkan ketahanan nasional bukannya untuk kekuasaan, ideologi atau sekelompok penguasa atau bahkan bukan untuk reformasi melainkan untuk kesejahteraan dan kebersamaan seluruh elemen bangsa untuk hidup aman, tenteram, damai yang Berketuhanan Yang Maha Esa dan berkemanusiaan yang adil dan beradab.

5. Pengaruh Aspek Pertahanan dan Keamanan

a. Filosofi Pertahanan dan Keamanan

Dewasa ini konsep pertahanan dan keamanan negara sering diartikan negatif, yaitu untuk mempertahankan kekuasaan atau meningkatkan supremasi kekuasaan negara. Bagi sekelompok orang yang memandang konsep negara terpisah dari masyarakat sipil, maka akan berpandangan bahwa konsep pertahanan dan keamanan hanya akan memperkuat supremasi kekuasaan negara, bahkan

kekuasaan sekelompok orang. Namun bagi sementara orang yang memandang negara adalah sebagai lembaga hidup bersama yang berkembang dalam masyarakat, maka pertahanan dan keamanan adalah sebagai sesuatu yang mutlak harus ada, karena masyarakat membentuk negara salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan jaminan keamanan dari negara, sehingga dalam kehidupan sehari-harinya dapat tenteram,damai dan sejahtera.

Bangsa dan negara Indonesia dalam memenuhi tujuannya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pertahanan dan keamanan adalah merupakan suatu kebutuhan yang mutlak harus diwujudkan. Pertahanan dan keamanan merupakan upaya preventif untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia dari berbagai rongrongan, tekanan, maupun gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara Republik Indonesia. Menurut deklarasi Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa negara berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah negara Indonesia.

Sejalan dengan pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan pengertian ketahanan nasional dalam bidang pertahanan dan keamanan, yaitu merupakan suatu kondisi dinamis suatu bangsa, berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung potensi untuk mengembangkan kemampuan nasional menjadi kekuatan nasional, guna menghadapi dan mengatasi segala ancaman, rongrongan, gangguan, hambatan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negara Indonesia, langsung maupun tidak langsung membahayakan pertahanan dan keamanan bangsa dan negara.

Pertahanan mengandung makna suatu kemampuan bangsa untuk membina dan menggunakan kekuatan nasional guna menghadapi ataupun menangkal rongrongan, gangguan, ancaman maupun tekanan dari luar. Adapun keamanan mengandung arti kemampuan bangsa untuk membina dan menggunakan kekuatan nasional untuk menghadapi serta menangkal ancaman, gangguan, dan tantangan yang datang dari dalam negeri. Dua macam tugas pertahanan dan keamanan itu berdasarkan teori maupun pengalaman kehidupan berbangsa dan bernegara dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan salah satu tugas negara pertahanan dan keamanan (defences and security). Di samping itu tugas tersebut secara keseluruhan juga mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan unsur-unsur ketahanan nasional lainnya (Parmono, 1995).

Pertahanan dan keamanan Indonesia adalah kesemestaan daya upaya seluruh rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan mengamankan negara demi kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia dilaksanakan dengan menyusun,, mengerahkan, dan menggerakkan seluruh potensi nasional secara terintegrasi dan terkoordinasi. Penyelenggaraan pertahanan dan keamanan secara nasional merupakan salah satu fungsi utama pemerintah dan Negara Republik Indonesia dengan TNI dan Polri sebagai intinya. Tujuannya adalah untuk menciptakan keamanan bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan Ketahanan Nasional Indonesia.

Wujud ketahanan, pertahanan, dan keamanan tercermin dalam kondisi daya tangkal bangsa yang dilandasi oleh kesadaran bela negara seluruh rakyat. Kondisi ini mengandung kemampuan bangsa dalam memelihara stabilitas

pertahanan dan keamanan negara, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara dan menangkal segala bentuk ancaman. Sejalan dengan pengertian ketahanan nasional, ketahanan pertahanan dan keamanan pada hakikatnya adalah suatu keuletan dan ketangguhan bangsa dalam mewujudkan kesiapsiagaan serta upaya bela negara. Hal ini merupakan perjuangan rakyat semesta, di mana seluruh potensi dan kekuatan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, militer, dan kepolisian disusun dan dikerahkan secara terpimpin, terintegrasi dan terkoordinasi untuk menjamin penyelenggaraan sistem keamanan nasional, dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional serta kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, yang secara konstitusional berdasarkan UUD 1945 dan dasar falsafah Pancasila. Hal itu didasari oleh prinsip-prinsip nilai yang merupakan dasar keyakinan dan kebenaran bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut : 1) Pandangan bangsa Indonesia tentang perang dan damai. Bangsa Indonesia

cinta damai dan ingin bersahabat dengan semua bangsa di dunia serta tidak menghendaki terjadinya sengketa bersenjata atau perang. Bangsa Indonesia berhasrat untuk selalu mengutamakan cara-cara damai dalam setiap penyelesaian pertikaian nasional maupun internasional. Walaupun cinta damai, namun bangsa Indonesia lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatannya. Bagi bangsa Indonesia, perang adalah jalan terakhir yang terpaksa harus ditempuh untuk mempertahankan ideologi dan dasar negara Pancasila, kemerdekaan, dan kedaulatan negara Republik Indonesia serta keutuhan bangsa.

2) Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara kesatuan Republik Indonesia, dilandasi oleh landasan ideal nilai-nilai Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan visional Wawasan Nusantara. Bangsa Indonesia berhak dan wajib, mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan bangsa dan wilayah, terpeliharanya keamanan nasional dan tercapainya tujuan nasional.

3) Pertahanan dan Keamanan Negara merupakan suatu upaya nsional terpadu. Hal ini melibatkan segenap potensi dan kekuatan nasional. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, dan kerelaan berjuang serta berkorban bagi bangsa dan negara tanpa kenal menyerah. Upaya pertahanan dan keamanan negara yang melibatkan segenap potensi dan kekuatan nasional tersebut dirumuskan dalam doktrin yang selama ini disebut Doktrin Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia.

4) Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia diselenggarakan dengan Siskamnas (Siskankamrata). Hal ini bersifat total. kerakyatan, dan kewilayahan. Pendayagunaan potensi nasional dalam pertahanan dan keamanan negara dilakukan secara optimal dan terkoordinasi untuk mewujudkan kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan negara yang menyeimbangkan dan menyerasikan kepentingan kesejahteraan dengan keamanan.

5) Segenap kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan rakyat semesta diorganisasikan dalam satu wadah tunggal yang dinamakan Tentara Nasional

Indonesia (TM) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pembangunan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang memiliki jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional tetap mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia.

b. Postur Kekuatan Pertahanan dan Keamanan

Postur Kekuatan Hankam

Postur kekuatan Hankam mencakup struktur kekuatan, tingkat kemampuan, dan gelar kekuatan. Terdapat empat pendekatan yang digunakan untuk membangun postur kekuatan hankam, yaitu (1) pendekatan ancaman, (2) misi, (3) kewilayahan, dan (4) politik. Dalam konteks ini perlu ada pembagian tugas dan fungsi yang jelas antara masalah pertahanan dan masalah keamanan. Pertahanan difokuskan untuk menghadapi ancaman dari luar negeri dan menjadi tanggung jawab TNI. Keamanan difokuskan untuk menghadapi ancaman dan gangguan dari dalam negeri dan hal ini menjadi tanggung jawab POLRI. TNI dapat dilibatkan untuk ikut menangani masalah keamanan apabila diminta atau POLRI sudah tidak mampu lagi karena eskalasi ancaman yang meningkat ke keadaan darurat.

Pembangunan Kekuatan Hankam

Konsepsi Hankam perlu mengacu kepada konsep Wawasan Nusantara dimana Hamkam mengarah pada upaya pertahanan seluruh wilayah kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi wilayah laut, udara, dan darat termasuk pulau-pulau besar dan kecil. Di samping itu kekuatan Hankam perlu mengantisipasi prediksi ancaman dari luar sejalan dengan pesatnya perkembangan Iptek militer, yang telah menghasilkan daya gempur yang tinggi dan jarak jangkauannya jauh.

Hakikat Ancaman

Rumusan ini akan mempengaruhi kebijaksanaan dan strategi pembangunan kekuatan Hankam. Kekeliruan dalam merumuskan hakikat ancaman akan mengakibatkan postur kekuatan Hankam menjadi kurang efektif dalam menghadapi berbagai gejolak dalam negeri, bahkan tidak mempu untuk melakukan perang secara konvensional. Perumusan hakikat ancaman juga perlu mempertimbangkan konstelasi geografi Indonesia dan kemajuan Iptek. Kedaulatan Negara Republik Indonesia yang dua pertiga wilayahnya terdiri atas taut menempatkan taut dan udara di atasnya sebagai mandala perang yang pertama kali akan terancam karena keduanya merupakan initial point, untuk memasuki kedaulatan Republik Indonesia di darat. Ancaman dari luar senantiasa akan menggunakan media laut dan udara di atasnya karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Dengan demikian pembangunan postur kekuatan hankam masa depan perlu diarahkan ke pembangunan kekuatan secara proporsional dan seimbang antara unsur-unsur utama kekuatan pertahanan, yaitu TNI AD, TNI AL, dan TNT AU serta unsur mama keamanan, yaitu POLRI. Pesatnya kemajuan

Iptek membawa implikasi meningkatnya kemampuan tempur, termasuk daya hancur dan jarak jangkau. Dengan demikian ancaman masa depan yang perlu diwaspadai adalah serangan langsung lewat udara dan laut oleh kekuatan asing yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia (Lemhanas, 2000).

Gejolak dalam Negeri

Di dalam era globalisasi dewasa ini (tin di masa mendatang, tidak tertutup kemungkinan munculnya campur tangan asing dengan alasan menegakkan nilai-nilai HAM, demokrasi, penegakan hukum, dan lingkungan hidup di balik kepentingan nasional mereka. Situasi seperti ini kemungkinan besar dapat terjadi apabila unsur-unsur utama kekuatan hankam dan komponen bangsa yang lain tidak mampu mengatasi permasalahan dalam negeri. Untuk itu ancaman yang paling realistik adalah adanya lingkup antara kekuatan dalam negeri dan kekuatan luar negeri.

Geopolitik ke Arah Geoekonomi

Kondisi ini mengimplikasikan semakin cangggihnya upaya diplomasi guna mencapai tujuan politik dan ekonomi. Pergeseran ini seolah-olah tidak akan menimbulkan ancaman yang serius dari luar negeri. Namun bilamana dikaji secara mendalam, pergeseran tersebut justru dapat menimbulkan ancaman yang sangat membahayakan integritas bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia. Sebelum melakukan tindakan agresi, , pihak asing yang berkepentingan terhadap Indonesia akan menggunakan wahana diplomasi dan membangun opini untuk mencari dukungan internasional. Kemajuan Iptek informasi sangat memungkinkan untuk itu, terlebih saat dunia internasional sedang mengalami unbalance of power.

Perkembangan Lingkungan Strategis

Perkembangan ini mengisyaratkan bahwa pergeseran geopolitik ke arah geoekonomi, membawa perubahan besar dalam penerapan kebijaksanaan dan strategi negara-negara di dunia dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Penerapan cara-cara baru telah meningkatkan eskalasi konflik regional dan konflik dalam negeri yang mendorong keterlibatan negara superpower. Dalam menyikapi perkembangan seperti ini, kita perlu membangun postur kekuatan Hankam yang memiliki profesionalisme yang tinggi untuk melaksanakan (1) kegiatan intel strategis dalam semua aspek kehidupan nasional; (2) upaya pertahanan darat, laut dan udara; (3) pemeliharaan dan penegakan keamanan dalam negeri secara berlanjut dalam semua aspek kehidupan nasional; (4) pembinaan potensi dan kekuatan wilayah dalam semua aspek kehidupan nasional untuk meningkatkan Tannas ; (5) pemeliharaan stabilitas nasional dan Tannas secara menyeluruh dan berlanjut.

Mewujudkan Postur Kekuatan Hankam

Perwujudan postur kekuatan Hankam yang memiliki daya bendung dan

daya tangkal yang tinggi dalam menghadapi kemungkinan ancaman dari luar membutuhkan anggaran yang sangat besar. Di sisi lain, kita dihadapkan kepada berbagai keterbatasan. Dengan mengacu kepada negara-negara lain. yang membangun kekuatan Hankam melalui pendekatan misi, yaitu hanya untuk melindungi diri sendiri dan tidak untuk kepentingan invasi barangkali konsep standing armed forces secara proporsional dan seimbang perlu dikembangkan. Pengembangan konsep dengan susunan kekuatan Hankam ini meliputi : (1) perlawanan bersenjata yang terdiri atas bala nyata yang merupakan kekuatan TN1 yang selalu siap dan yang dibina sebagai kekuatan cadangan serta bala potensial, yaitu Polri dan Ratih yang fungsinya adalah sebagai Wanra; (2) perlawanan yang tidak bersenjata yang terdiri atas Ratih yang berfungsi sebagai Tibum, Linra, Kamra dan Linmas; (3) komponen pendukung perlawanan bersenjata dan tidak bersenjata sesuai bidang profesi masing-masing dengan pemanfaatan semua sum-ber daya nasional, sarana, dan prasarana serta perlindungan masyarakat terhadap bencana perang dan bencana lainnya (Lemhannas, 2000).

c. Ketahanan pada Aspek Pertahanan dan Keamanan

1) Pertahanan dan keamanan harus dapat mewujudkan kesiapsiagaan serta upaya bela negara, yang berisi ketangguhan, kemampuan dan kekuatan melalui penyelenggaraan Siskamnas (Sishankamrata) untuk menjamin kesinambungan Pembangunan Nasional dan kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan filsafat Pancasila dan landasan konstitusional UUD 1945.

2) Bangsa Indonesia cinta damai akan tetapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatan. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan mengamankan kedaulatan negara merupakan suatu kehormatan demi martabat bangsa dan negara. Karena itu, pertahanan dan keamanan harus diselenggarakan dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri.

3) Pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan dimanfaatkan untuk menjamin perdamaian dan stabilitas keamanan demi kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan hidup bangsa dan negara.

4) Potensi nasional dan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai harus dilindungi dari segala ancaman dan gangguan agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin segenap lapisan masyarakat Indonesia.

5) Perlengkapan dan peralatan untuk mendukung pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan dan keamanan sedapat mungkin dihasilkan oleh industri dalam negeri. Pengadaan dari luar negeri dilakukan karena industri dalam negeri masih terbatas kemampuannya. Karena itu, industri dalam negeri harus ditingkatkan kemampuannya.

6) Pembangunan dan penggunaan kekuatan dan kemampuan pertahan dan keamanan harus diselenggarakan oleh manusia-manusia yang berbudi luhur, arif, bijaksana, menghormati Hak Asasi Manusia (HAM),dan menghayati tnakna nilai dan hakikat perang dan damai. Kelangsungan hidup dan perkembangan hidup bangsa memerlukan dukungan manusia-manusia yang bermutu tinggi, tanggap, tangguh, bertanggung jawab, rela berjuang, dan

berkorban de-mi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan dan pribadi.

7) Sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional, TNI berpedoman pada Sapta Marga yang merupakan penjabaran dari asas kerokhanian negara Pancasila. Dalam keadaan damai TNI dikembangkan dengan kekuatan kecil, profesional, efektif, efisien, dan modern bersama segenap kekuatan perlawanan bersenjata dalam wadah Siskamnas (Sishankamrata) yang strateginya adalah penangkalan. Sebagai kekuatan inti Kamtibmas, Polri berpedoman kepada Tri Brata dan Catur Prasetiya dan dikembangkan sebagai kekuatan yang mampu melaksanakan penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan penciptaan ketertiban masyarakat.

8) Kesadaran dan ketaatan masyarakat kepada hukurn perlu terus menerus ditingkatkan.

Dengan demikian Ketahanan Pertahanan dan Keamanan yang diinginkan adalah kondisi daya tangkal bangsa dilandasi oleh kesadaran bela negara seluruh rakyat dan mengandung kemampuan memelihara stabilitas Pertahanan dan Keamanan Negara yang dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal segala bentuk ancaman (Lemhanas, 2000).

d. Keberhasilan Ketahanan Nasional Indonesia

Kondisi kehidupan nasional merupakan suatu pencerminan Ketahanan Nasional yang mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Kondisi ini harus ada dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan ideal Pancasila dan konstitusional UUD 1945, dari landasan visional wawasan nusantara. Untuk mewujudkan keberhasilan ketahanan nasional setiap warga negara Indonesia perlu : 1) Memiliki semangat perjuangan bangsa dalam bentuk perjuangan non fisik

yang disertai keuletan dan ketangguhan tanpa kenal menyerah dan mampu mengembangkan kekuatan nasional dalam rangka menghadapi segala tantangan, ancaman, gangguan dan hambatan yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta pencapaian tujuan nasional.

2) Sadar dan peduli akan pengaruh-pengaruh yang timbal pada aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga setiap warga negara Indonesia dapat mengeliminir pengaruh tersebut.

Apabila setiap warganegara Indonesia memiliki semangat perjuangan bangsa, sadar serta peduli terhadap pengaruh yang timbal serta dapat mengeliminir pengaruh tersebut, Ketahanan Nasional Indonesia akan berhasil. Perwujudan Ketahanan Nasional memerlukan sate kebijakan umum dan pengambilan kebijakan yang disebut Politik dan Strategi nasional (Polstranas) (Lemhanas, 2000).

Demikianlah letak pentingnya pengaruh aspek Pertahanan dan Keamanan Nasional dalam mewujudkan cita-cita nasional, terutama ke arah terwujudnya

masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran. Hal ini menjadi sangat penting sekali terutama pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang melakukan reformasi di berbagai bidang dan kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensional dewasa ini. Hakikat tujuan reformasi pada akhirnya adalah perbaikan nasib bangsa agar menjadi lebih sejahtera, makrnur, tenteram, aman dan damai. Hal yang demikian ini dapat tercapai manakala pertahanan dan keamanan dapat terwujud dengan proporsional dan memadai.