bab 1 landasan teori pengertian...
TRANSCRIPT
BAB 1
LANDASAN TEORI
1.1 Pengertian Manajemen
Demi mencapai tujuan organisasi manajemen sangat berperan penting dalam
proses menggunakan sumber daya organisasi melalui fungsi planning dan
decision making, organizing, leading, dan controlling. Wibowo (2013:1). dapat
Peneliti simpulkan bahwa sumber daya manusia menjadi acuan kesuksesan suatu
organisasi karena setiap kegiatan yang dilakukan oleh sumber daya manusia
dapat berupa planning yang bermanfaat untuk kejayaan suatu organisasi.
Sedangkan menurut Robbins dan Coutler (2005, P7), menyatakan bahwa
manajemen merupakan suatu proses untuk membuat aktivitas terselesaikan
secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. peneliti menilai bahwa
manajemen menjadi suatu dasar segala proses aktivitas yang dijalankan suatu
organisasi yang dapat diselesaikan dengan mengikuti rules menggunakan peran
manusia yang sesuai dan menimbulkan hasil yanng efektif dalam suatu
perusahaan atau organisasi
Daft (2010: 4) mendefinisikan bahwa manajemen merupakan pencapaian
tujuan organisasi melalui cara yang efektif dan efisien lewat perencanaan
pengorganisasian pengawasan dan pengarahan sumberdaya organisasi.
Dalam organisasi dan perusahaan dibutuhkan manajemen yang dapat
mengatur semua proses kerja mulai dari manusia, dan sumber daya demi
membuat suatu organisasi ataupun perusahaan mencapai suatu tujuan. hal ini
menjadi jaminan awal jika suatu organisasi ingin menyebarkan suatu aktivitas
yang hebat dapat dinyatakan berhsil jika membuat sumber daya manusia yang
jelas dan sesuai dengan rules manajemen.
1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia
Berbicara tentang manajemen sumber daya manusia, manajemen sumber
daya manusia salah satu ilmu manajemen yang lebih mengutamakan diri pada
aspek-aspek tentang sumber daya manusia yakni lebih kepada pengelolaan unsur
manusia secara optimal demi menghasilkan tenaga kerja- tenaga kerja yang baik,
Sutrisno (2009:6).
Amstrong dalam Donni Juni Priansa (2014: 29) mendefinisikan praktek
sumber daya manusia (SDM) berkaitan dengan semua aspek tentang bagaimana
orang bekerja dan dikelola dalam organisasi. Ini mencakup kegiatan seperti
strategi SDM, manajemen SDM, tanggung jawab sosial perusahaan, manajemen
pengatahuian, pengembangan organisasi, sumber-sumber SDM, manajemen
kinerja, pembelajaran dan pengembangan, manajemen imbalan, hubungan
karyawan, kesejaterahan karyawan, kesehatan dan keselamatan, serta penyedia
jasa karyawan.
pengelolan sumber daya manusia adalah hal yang paling utama perusahaan
atau organisasi lakukan jika ingin menjalankan suatu hal yang dapat
menguntungkan perusahaan atau organisasi, hal ini menjadi acuan terpentingnya
adalah manusia, peusahaan dapat bergerak karena pengaruh sumber daya
manusia yang mendorong suatu perusahaan bangkit dalam segi apapun. kekuatan
manusia untuk mencapai keinginan perusahaan seperti visi misi perusahaan
dalam menjadi mimpi yang akan datang.
Sedangkan menurut Dessler dalam Sutrisno (2009:5) manajemen sumber
daya manusia merupakan suatu aspek yang lebih melihat kepada suatu kebijakan
dan praktik untuk kebutuhan dengan melakukan lima cara yakni perekrutan,
penyaringan, pelatihan, pengimbangan, dan penilaian.
Perusahaan PT. So Good Food Indonesia sudah melakukan lima cara yang
sudah dijelaskan diatas yang pertama adalah pererkutan yaitu divisi sumber daya
manusia membuat pengumuman bahwa adanya perekrutan karyawan baru sesuai
dengan kebutuhan perusahaan, setelah divisi sumber daya manusaia menerima
orang yang ingin bekerja mulaila proses penyaringan terjadi berupa intreview
dengan beberapa direksi dan medical check up bila diperlukan hingga offring,
setelah calon karyawan dinyatakan lulus, lalu tahap pelatihan dibuka berupa
training pengenalan produk hingga jobdesk di berikan didalam kelas, tahap
selanjutnya yaitu calon karyawan sudah diharuskan menjalankan jobdesknya
sesuai SOP perusahaan PT. So Good Food Indonesia, tahap terkahir yang harus
menjadi paling terpenting adalah penilaian manager setiap divisi yang
menerimakaryawan baru memberikan penilaian yang sesuai dengan realita
pekerja apakan sesuai dengan SOP perushaaan atau tidak.
Mathis, et al. (2011: 3) juga menyebutkan bahwa aktivitas manajemen
sumber daya manusia berfokus pada:
1. Produktivitas. Diukur dari jumlah output per tenaga kerja, peningkatan
tanpa henti pada produktivitas telah menjadi kompetisi global.
Produktivitas tenaga kerja di sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh
usaha, program, dan sistem manajemen.
2. Kualitas. Kualitas suatu barang/jasa akan sangat mempengaruhi
kesuksesan jangka panjang suatu organisasi. Bila suatu organisasi
memiliki reputasi sebagai penyedia barang/jasa yang kualitasnya buruk,
pengembangan dan kinerja organisasi tersebut akan berkurang.
3. Pelayanan. Sumber daya manusia sering kali terlibat pada proses produksi
barang/jasa. Manajemen sumber daya manusia harus disertakan pada saat
merancang proses tersebut. Pemecahan masalah harus melibatkan semua
karyawan, tidak hanya manajer, karena seringkali membutuhkan
perubahan pada budaya organisasi, gaya kepemimpinan, dan sumber daya
manusia.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
manajemen sumber daya manusia adalah aktivitas manajemen organisasi yang
mengatur aspek manusia di perusahaan agar perusahaan bisa mendapatkan dan
menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas dan berproduktivitas tinggi, sehingga
memaksimalkan kinerja perusahaan. PT. So Good Food Indonesia menjadikan
manajemen organisasi adalah hal yang sangat penting karena untuk menggapai
visi misi perusahaan.
1.3 Ketidakamanan Kerja
Menurut De Witte (2005) Ketidakamanan Kerja adalah perasaan terancam
akan kehilangan pekerjaan dan kekhawatiran yang berkaitan dengan ancaman.
.
Menurut Suciati dkk. (2015). Ketidakamanan Kerja adalah ketidakberdayaan
untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja
yang terancam. Dalam hal ini Ketidakamanan Kerja yang dilakukan karyawan
berdasarkan seberapa besar pejuangan seseorang jika terkena permasalahaan
yang menerpa di lingkungan pekerjaan.
Menurut Sverke, Hellgren, dan Naswall (2002) menemukan beberapa
dampak Ketidakamanan Kerja bagi karyawan dan organisasi. Dalam jangka
pendek Ketidakamanan Kerja berdampak terhadap kepuasan kerja, keterlibatan
kerja, komitmen organisasi dan kepercayaan terhadap pemimpin, seperti
berkurangnya kepercayaan terhadap pemimpin sehingga berdampak pada
kesalahpahaman antara pemimpin dan bawahan dalam hal pendapat. Dalam
jangka panjang akan berdampak terhadap kesehatan fisik, kesehatan mental,
performa kerja, dan intensi pindah kerja (turnover).
Menurut De Witte, H. (2000) Job Insecurity Skala (JIS) klaim untuk
mengukur dimensionalities kognitif dan afektif dari ketidakamanan kerja.
Namun, ada kekhawatiran apakah ini sebenarnya cerminan sejati dari individu,
karena kemungkinan bahwa JIS mungkin agak mengukur negatif dan
dimensionalities positif dari ketidakamanan kerja sebagai gantinya.
Dalam satu konseptualisasi multidimensi, ketidakamanan kerja terdiri dari
dua sub dimensi: Pertama, dipandang sebagai kuantitatif, dalam hal ini
digambarkan sebagai perasaan ketidakberdayaan untuk benar-benar menjaga
kontinuitas dalam situasi pekerjaan yang terancam (De Witte, H., 2005;
Erlinghagen, 2008; Greenhalgh & Rosenblatt, 1984).
Dapat peneliti simpulkan jika dikaitkan dengan penelitian ini PT. So Good
Food Indonesia permasalahan insecuritas menjadi permasalahan yang cukup
sering muncul di tengah lingkungan pekerja, latar belakang yang paling
mendalam adalah karyawan memiliki titik juang yang berbeda beda, sisi perasaan
yang berbeda beda menghasilkan solusi dalam suatu masalh yang berbeda, tetepi
ketidakberdayaan karyawan sering terjadi menghasilkan keputusan sepihak.
1.3.1. Pengukuran Ketidakamanan Kerja
Ketidakamanan Kerja dalam penelitian I ni diukur menggunakan
skala milik De Witte, H. (2000). Skala disusun berdasarkan komponen ketiga,
yaitu kekhawatiran tentang masa depan. De Witte, H. (2005) dan Sverke, et
al. (2004) menjabarkan definisi Ketidakamanan Kerja sebagai penerimaan
subjektif dan kemungkinan yang tidak diinginkan mengenai kondisi karirnya
di masa mendatang berupa respon kekhawatiran atau ketakutan mengenai
peristiwa kehilangan pekerjaan (dalam Elst, et al., 2014).
Skala terlampir berisi 8 pertanyaan yakni,
A. Dimensi Kognitif
1. (“Saya sangat yakin dapat mempertahankan pekerjaan saya”).
2. (“Saya yakin dengan lingkungan kerja saya”).
3. (“Saya berpikir akan dapat terus bekerja disini”).
4. (“Hanya ada sedikit peluang bahwa saya akan menjadi
pengangguran”).
Keempat item itu bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
penerimaan subjektif seseorang mengenai kondisi karirnya di masa
mendatang.
B. Dimensi Afektif
1. (“Saya khawatir akan dipecat jika melanggar peraturan
perusahaan “).
2. (“Saya khawatir terhadap kelanjutan karir saya”).
3. (“Saya merasa terancam kehilangan pekerjaan yang berasal
dari lingkungan internal perusahaan”).
4. (“Saya merasa tidak pasti tentang masa depan pekerjaan
saya”).
Bertujuan untuk mengukur pemikiran seseorang mengenai
kemungkinan kehilangan pekerjaan di masa mendatang. kedelapan item
tersebut mengukur penerimaan subjektif para responden dari segi kognitif dan
afektif.
Alasan penulis menggunakan skala pengukuran Ketidakamanan Kerja
miliki De Witte, H. (2005) dan Sverke, et al. (2014) dikarenakan fenomena
yang terjadi terdapat keterikatan dengan itensi keluar yang cukup tinggi di
perusahaan sehingga butir pertanyaan yang dimiliki De Witte, H. (2005) dan
Sverke, et al. (2014) terdapat kecocokan dengan fenomena yang terjadi.
1.3.2. Dampak Ketidakamanan Kerja
Dari hasil beberapa studi yang dilakukan (Greenglass, Burke &
Fiksenbaum, 2002 dalam Mizar Yuniar, 2008), ditemukan adanya pengaruh
ketidakamanan kerja (job insecurity) terhadap karyawan diantaranya :
1. Meningkatkan ketidakpuasan dalam bekerja
2. Meningkatnya gangguan fisik
3. Meningkatnya gangguan psikologis
4. Karyawan cenderung menarik diri dari lingkungan kerjanya
5. Makin berkurangnya komitmen organisasional
6. Peningkatan jumlah karyawan yang berpindah (employee
turnover)
Greenhalgh dan Rosenblatt (1989) mengkonseptualisasikan
Ketidakamanan Kerja sebagai suatu sumber Stres yang melibatkan ketakutan,
kehilangan potensi, dan kecemasan. Salah satu akibat dari Stres adalah dalam
bentuk permasalahan somatis, seperti tidak bisa tidur, dan kehilangan selera
makan.
Berdasarkan penulisan Greenhalgh dan Rosenblatt (1989), diketahui
bahwa Ketidakamanan Kerja yang tinggi yang dirasakan karyawan akan
berhubungan dengan:
a. Keinginan untuk Mencari Pekerjaan Baru
Ketegangan yang dipengaruhi oleh Ketidakamanan Kerja yang
penting disebabkan karena efeknya terhadap turnover. Seperti Stresor
yang lainnya, Ketidakamanan Kerja mungkin berhubungan dengan respon
penarikan diri sebuah usaha untuk menghindari Stres. Oleh karena itu,
Ketidakamanan Kerja seharusnya mempunyai hubungan yang positif
dengan keinginan untuk bekerja.
Orang yang mengalami Ketidakamanan Kerja mungkin juga
meninggalkan pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan
masuk akal bagi karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan
pekerjaan mereka, kemudian mencari kesempatan karir yang lebih aman
(Greenhalgh dan Rosenblatt, 1989)
b. Komitmen Organisasi yang Rendah
Penulis telah mengindikasikan bahwa orang-orang
mengembangkan pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan
sepanjang waktu (Mowday, Steers, & Porter dalam Ashford dkk, 1989),
yang ditunjukkan sebagai tingkat komitmen, kepuasan dan kepercayaan
yang tinggi. Perasaan Ketidakamanan Kerja dapat mengancam
pendekatan tersebut terhadap perusahaan. Karyawan mengharapkan
perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan akhir dari kontrak
psikologis di antara mereka. penerimaan Ketidakamanan Kerja mungkin
merefleksikan persepsi individu bahwa perusahaan telah membatalkan
kontrak psikologis, dalam hal ini tampilan penting terancam, pekerjaan
berada dalam bahaya (bahkan keduanya) dan kesetiaan dipengaruhi
secara negatif.
c. Organization Trust Rendah
Individu yang merasa bahwa perusahaan tidak dapat diandalkan untuk
menghasilkan komitmen terhadap karyawannnya, dapat mengurangi
komitrnen karyawan terhadap organisasi. Ketidakamanan Kerja akan
berhubungan secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan
mereka terhadap perusahaan. Hubungan ini akan terjadi karena karyawan
yang insecure akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan bahwa
perusahaan dapat diandalkan dan pendekatan mereka terhadap perusahaan
mereka akan berkurang.
d. Kepuasan Kerja yang Rendah
Persepsi terhadap Ketidakamanan Kerja yang berhubungan secara
negatif dengan pengukuran kepuasan kerja. para peneliti telah
mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu respon afektif terhadap
pekerjaan dan tugas-tugas. Orang berespon secara afektif terhadap
pekerjaan dalam kondisi di mana mereka secara kognitif
merepresentasikan atau menerima pekerjaan tersebut.
hal - hal yang sudah dijelaskan diatas menjdi fokus permasalahan
yang sering terjadi di PT. So Good Food Indonesia, jika peneliti kaitkan
dengan permasalahan yang ada, setiap yang terjadi di lingkungan kerja
penilaian atasan kepada bawahan menjadi aktivitas yang sering terjadi
bahkan menjadi budaya dalam suatu perusahaan, sisi lain yang timbul
dalam budaya penilaian adalah perasaan sisi karyawan terguncang
menjadikan suatu penyampaian penilian yang seharunya biasa saja
menjadi penyampaian yang tidak diinginkan oleh karyawan atau bahkan
menyebalkan. dan akhirnya kejadian yang paling parah karyawan
memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan baru.
1.3.3. Faktor - faktor Yang Mempengaruhi Ketidakamanan Kerja
Komponen yang mengakibatkan timbulnya ketidakaman kerja (job
insecurty) menurut Grennhalgh dan Rosenblatt (2002 dalam Mizar Yuniar,
2008) adalah :
a. Tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek
pekerjaan seperti kemungkinan untuk mendapat promosi,
mempertahankan tingkat gaji yang sekarang atau memperoleh
kenaikan gaji.
b. Arti pekerjaan itu sebagai individu. Seberapa pentingnya aspek
pekerja tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau
rasa tidak amannya. c. Tingkat ancaman yang kemungkinan terjadi mempengaruhi
keseluruhan kerja individu. d. Tingkat kepentingan yang dirasakan individu mengenai potensi setiap
peristiwa tersebut.
Greenhalgh dan Rosenblatt (1989) telah mengkategorikan penyebab
Ketidakamanan Kerja kedalam tiga kelompok sebagai berikut:
a. Kondisi Lingkungan dan Organisasi
Kondisi lingkungan dan organisasi ini dapat dijelaskan oleh
beberapa faktor, misalnya: komunikasi organisasional dan perubahan
organisasional. Perubahan organisasional yang terjadi antara lain dengan
dilakukannya Downsizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.
Organisasi yang sukses dalam menghadapi perubahan-perubahan yang
terjadi adalah organisasi yang menciptakan tradisi pembelajaran.
Organisasi pembelajar merupakan organisasi yang siap menghadapi
perubahan dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing change).
b. Karakteristik Individual dan Jabatan Pekerja
Karakteristik individual dan jabatan pekerja terdiri dari: usia, gender,
senioritas, pendidikan, posisi pada perusahaan, Jatar belakang budaya,
status, sosial ekonomi dan pengalaman kerja.
c. Karakteristik personal pekerja
Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi
Ketidakamanan Kerja misalnya: Locus of control, Self esteem, dan
perasaan optimis atau pesimis pada karyawan.
Peneliti menyimpulkan bahwa faktor - faktor yang memang muncul
dalam PT. So Good Food yang paling besar adalah kondisi lingkungan
yang menjadi penentu timbulnya job insecurty yang mulai merasuki
perasaan karyawan, atau permasalahan yang lainnya adalah karkteristik
individual seperti perbedaan jabatan yang dilihat dari beberapa sisi disini
terlihat bagaimana karyawan menykapi semua permasalahaan personal di
lingkungan pekerjaan.
1.4 Stres Kerja
Stres Kerja dapat didefinisikan sebagai reaksi individu terhadap karakteristik
lingkungan kerja yang tampaknya mengancam secara emosional dan fisik (Jamal,
2005). Ini memungkinkan kecocokan yang buruk antara kamampuan individu
dan lingkungan kerjanya, dimana tuntutan yang berlebihan dibuat dari individu
atau individu tidak sepenuhnya siap untuk menangani situasi tertentu (Jamal,
1985).
Menurut Ivancevich dan Matteson, seperti dikutip oleh Luthans (2011),
mengatakan bahwa Stres Kerja didefinisikan sebagai sebuah respon adaptif
(tanggapan penyesuaian) dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi,
sebagai akibat dari aksi lingkungan, situasi atau peristiwa yang menyebabkan
tuntutan fisik dan psikologi secara berlebihan terhadap seseorang yang akan
menimulkan efek samping memutuskan sesuatu dengan cepat.
Menurut Leung et al (2007) Stres Kerja adalah perasaan tertekan yang
dialami oleh karyawan berkaitan dengan pekerjaannya disaat melakukan interaksi
dengan orang lain di lingkungan tempat bekerja. keadaan ini sering muncul
dibenak karyawan PT. So Good Food dapat dilihat dari berbagai hal yang
menjadikan suatu perasaan tertekan dan tidak dapat dibendung,
Sedangkan Beehr dan Newman seperti dikutip oleh Luthans (2011) Stres
Kerja merupakan sebuah kondisi yang terjadi sebagai hasil interaksi antara
karyawan dengan pekerjaan mereka dan ditandai oleh perubahan yang memaksa
untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. setelh melihat pengertian Stres
Kerja diatas dalat disimpulkan bahwa permasalahan ini adalah permasalahan
perindividu memiliki tetapi penanganan setiap individu berbeda - beda yang
paling parah akan menimbulkan Stres Kerja.
1.4.1. Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja
Menurut Riandy (2016) terdapat beberapa dimensi dari Stres Kerja
seperti komunikasi antara bawahan dan atasan, pembagian tugas kerja dan
tuntutan pekerjaan. Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres
disebut Stresors. Dalam jurnal Astianto dan Suprihhadi (2014) menerangkan
bahwa Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres disebut Stresors.
Dalam jurnal Astianto dan Suprihhadi (2014) menerangkan bahwa
menurut Handoko (2011:200) penyebab stres ada dua, yaitu on-the-job dan
off-the-job. Penyebab Stres on-the-job antara lain beban kerja yang
berlebihan, tekanan atau desakan waktu, kualitas supervisi yang jelek, iklim
politis yang tidak aman, umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak
memadai, wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung-
jawab, kemenduaan peranan, frustrasi, konflik antar pribadi dan antar
kelompok, perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan, serta
berbagai bentuk perubahan. Sedangkan penyebab stres off-the-job antara lain
kekuatiran finansial, masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak,
masalah-masalah fisik, masalah-masalah 32 perkawinan (misal, perceraian),
perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal, serta masalah-masalah
pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara. Stres yang tidak dapat diatasi
akan berpengaruh terhadap prestasi kerja. Kemampuan untuk mengatasi
sendiri stres yang dihadapi tidak sama pada semua orang. Ada orang yang
mempunyai daya tahan yang tinggi menghadapi stres dan oleh karenanya
mampu mngatasi stres tersebut. Sebaliknya tidak sedikit orang yang daya
tahan dan kemampuannya menghadapi stres rendah, sehingga dapat
mengakibatkan burnout yaitu suatu kondisi mental dan emosional serta
kelelahan fisik karena stres yang berlanjut dan tidak teratasi. Jika hal ini
terjadi, maka dampaknya terhadap prestasi dan bersifat negatif.
1.4.2. Dimensi Stres Kerja
Stres dapat muncul dengan beberapa gejala. Diantaranya dapat dilihat
dari sakit yang diderita oleh karyawan, misalnya: tekanan darah tinggi,
lambung, maag, stroke. Atau dari perilaku karyawan, kesulitan mengambil;
keputusan, hilangnya selera makan, tidak harmonis dalam berteman,
merosotnya efisiensi dan produktivitas, konsumsi alkohol berlebihan dan
sebagainya. kondisi tersebut menandakan bahwa karyawan tersebut sedang
mengalami stres. Terdapat 3 gejala umum yang dialami seseorang yang
sedang mengalami Stres Kerja, yaitu :
1. Gejala Psikologis
Berikut ini adalah gejala psikologis yang utama dari Stres Kerja :
1. Kecemasan, ketegangan, bingung, dan mudah tersinggung
2. Perasaan frustasi, marah, dan dendam
3. Sensitive dan hiperaktif
4. Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
5. Komunikasi yang tidak efektif
6. Perasaan terkucil dan terasing
7. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
8. Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan
konsentrasi
9. Kehilangan spontanitas dan kreativitas
10. Menurunnya rasa percaya diri
2. Gejala Fisiologis
Berikut ini adalah gejala fisiologis yang utama dari Stres Kerja :
5. Meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah
6. Mengalami gangguan lambung
7. Kelelahan secara fisik
8. Sakit kepala dan gangguan tidur
3. Gejala Perilaku
Berikut ini adalah gejala perilaku yang utama dari Stres Kerja :
1. Menunda, menghindari pekerjaan
2. Menurunnya prestasi dan produktivitas
3. Meningkatnya penggunaan obat-obatan
4. Periaku makan yang tidak normal
Gejala - gejala yang sudah dijelaskan diatas pastinya akan imbul
didalam benak pekerja atau karyawan dan akan menjadi permasalahan baru
yang bercabang akan tejadi di suatu perusahaan dan organisasi,
permasalahan yang sama akibat Stres bekerja pada karyawan juga ada dalam
perusahaan pada penelitian ini dampak yang terjadi juga ada didalam
permasalahan baru di PT. So Good Food Indonesia banyak sekali efek yang
terjadi jika karyawan menjadi stres dalam bekerja. hal ini sangat disayangkan
karena memang hal - hal yang akan timbul berupa efek yang dapat merugikan
perusahaan dan karyawan.
1.4.3. Pengukuran Stres Kerja
Stres Kerja dalam penelitian ini di ukur menggunakan skala milik
Abhishek Shukla dan Rajeev Srivastava (2016) yang diadopsi dari kuesioner
versi pendek yang dikembangkan oleh Jamal dan Baba (1992).
Skala terlampir berisi 9 indikator yakni.
A. Time Stress Dimension
1. (“Saya mempunyai banyak pekerjaan dan takut tidak memiliki
waktu untuk menyelesaikannya”).
2. (“Saya merasa sangat terbebani oleh pekerjaan yang
diberikan”).
3. (“Saya merasa tidak pernah mengambil cuti”).
4. (“Banyak orang diperusahaan sudah bosan dengan tugas yang
diberikan”).
B. Anxiety Dimension
5. (“Pekerjaan saya membuat saya gugup”).
6. (“Pengaruh pekerjaan saya terhadap diri saya terlalu tinggi”).
7. (“Sering kali pekerjaan saya menjadi beban yang besar”).
8. (“Terkadang ketika saya memikirkan pekerjaan saya membuat
dada saya berdetak kencang”).
9. (“Saya tidak enak apabila mengambil cuti”).
Kesembilan indikator tersebut mengukur penerimaan subjektif para
responden dari segi Time Stress dan Anxiety.
Alasan peneliti menggunakan skala milik Abhishek Shukla dan
Rajeev Srivastava (2016) yang diadopsi dari kuesioner versi pendek yang
dikembangkan oleh Jamal dan Baba (1992) yaitu karena, kesesuaian butir
pertanyaan dengan intesitas kerja yang dimiliki PT. So Good yang bergerak
di bidang industri makanan cepat saji, dimana tingkat intesitas pekerjaan yang
cukup tinggi.
1.5 Keterikatan Karyawan
Menurut Gibbons dalam Hughes dan Rog (2008) Keterikatan Karyawan
adalah hubungan emosional dan intelektual yang tinggi dimiliki oleh karyawan
terhadap pekerjaannya, organisasi, atau rekan kerja yang memberikan pengaruh
untuk menambah Discretionary effort dalam pekerjaannya. Hubungan yang baik
dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawanya, organisasi dimana tempat dia
bekerja, manajer yang menjadi atasannya dan memberikan dukungan serta
nasehat atau rekan kerja yang saling mendukung membuat individu dapat
memberikan upaya terbaik yang melebihi persyaratan dari suatu pekerjaan.
Konsep mengenai Keterikatan Karyawan sudah cukup populer dalam bidang
pengembangan sumber daya manusia. Dalam beberapa penelitian yang sudah
ada, dikemudian bahwa jika Keterikatan Karyawan yang dimiliki karyawan
tinggi, maka level kepuasan dan loyalitas customer juga tinggi, selain itu
karyawan akan lebih produktif dalam menghasilkan keuntungan (Harter et al,
2002).
Tingkat Engagement yang tinggi adalah tujuan yang strategis untuk
meningkatnya jumlah organisasi di banyak industri, termasuk manufaktur.
Keterikatan Karyawan bertujuan agar karyawan berkomitmen dengan pekerjaan
mereka, serta puas dengan pekerjaan mereka dan bersedia untuk memberikan
usaha ekstra untuk mencapai tujuan organisasi. Bukti menunjukkan bahwa
Engagement mempengaruhi tujuan utama sumber daya manusia lainnya, seperti
retensi, kinerja pekerjaan, ketidak hadiran kerja dan perekrutan (Gibbons dan
Schutt 2010; Macey dan Schneider 2008). Sumber daya manusia ahli lebih
memilih pendekatan multi-dimensi untuk mengukur Engagement. Ini
menggabungkan sejumlah item kuesioner ke dalam skala, menghasilkan Skor
keterlibatan tunggal. Metrik keterlibatan komposit yang dihasilkan dapat berguna
bagi pemberi kerja untuk melacak perkembangan dalam tindakan yang diambil
untuk meningkatkan Keterikatan Karyawan.
Keterikatan Karyawan pertama kali dibangun oleh kelompok peneliti Gallup
pada tahun 2005. Gallup (2005) mendefinisikan Keterikatan Karyawan sebagai
keterlibatan dan antusiasme dalam menyelesaikan pekerjaannya. Keterikatan
Karyawan dapat memprediksi peningkatan produktivitas pada karyawan,
profitabilitas, mempertahankan karyawan, kepuasan konsumen serta keberhasilan
untuk organisasi (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Richman, 2006).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Keterikatan Karyawan
adalah sebuah konsep yang dipercaya dapat membawa karyawan untuk memiliki
kinerja yang positif, dikarenakan adanya keterlibatan penuh individu dan
antusiasme dalam menyelesaikan pekerjaan, bekerja dalam tim, dan organisasi.
1.5.1. Pengukuran Keterikatan Karyawan
Keterikatan Karyawan dalam penelitian ini diukur menggunakan skala
milik Gibsons and Schutt 6 item dalam skala keterlibatan mengukur dimensi
kunci yang telah diidentifikasi para peneliti sebagai pusat konsep Keterikatan
Karyawan (Gibbons dan Schutt 2010). Secara khusus, skala Engagement
yang dikembangkan untuk EES mengukur tiga dimensi Engagement:
1. Emotional: 1. “Saya bangga memberitahukan kepada orang bahwa
saya bagian dari perusahaan”. 2. “Saya merasa nilai yang saya miliki
dengan perusahaan memiliki persamaan”
2. Rational: 1. “Saya merasa puas dengan keseluruhan pekerjaan saya”.
2. “Menurut saya tempat saya bekerja saat ini (Skala buruk - baik) (1-
6)”
3. Behavioural: 1. “Saya berharap untuk pergi bekerja”. 2. “Perusahaan
menginspirasi saya dalam meningkatkan prestasi kerja saya”
Alasan peneliti menggunakan skala pengukuran milik (Gibsons and
Schutt 2010), yaitu dikarenakan terdapat kesesuaian keinginan peneliti untuk
mengetahui hubungan keterikatan karyawan terhadap perusahaan yang
berdampak kepada turnover di perusahaan tersebut.
1.5.2. Dimensi Keterikatan Karyawan
Dimensi atau aspek-aspek dari Keterikatan Karyawan terdiri dari tiga
(Schaufeli et al, 2003), yaitu:
a. Aspek Vigor
Vigor merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat
kekuatan dan resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk
berusaha 13 dengan sungguh-sungguh di dalam pekerjaan, gigih
dalam menghadapi kesulitan (Schaufeli & Bakker, 2003).
b. Aspek Dedication
Aspek dedication ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna,
antusias, inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan.
Orang-orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat
menidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman
berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka
biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka.
Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi
diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki pengalaman
bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa
tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka (Schaufeli dan
Bakker, 2003).
c. Aspek Absorption
Aspek absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat
yang mendalam, tenggelam dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu
begitu cepat dan individu sulit melepaskan diri dari pekerjaan
sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya, (Schaufeli &
Bakker, 2003). Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh
pekerjaan, merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan
untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun
disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya
orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa 14 tertarik
dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk
berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu
disekeliling mereka, termasuk waktu (Schaufeli & Bakker, 2003).
1.5.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi Keterikatan Karyawan
Keterikatan Karyawan adalah tanggung jawab seluruh tenaga kerja.
Faktor-faktor yang membuat karyawan merasa engagement (BlessingWhite,
2011), adalah sebagai berikut:
1. Individuals (I): Ownership, Clarity, and Action.
Individu perlu mengetahui apa yang mereka inginkan, apa
kebutuhan organisasi, dan kemudian mengambil tindakan untuk
mencapai kedua hal tersebut. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Maslach, Schaufelli, dan Leiter, 2001 dalam
(Kulaar, et al 2008),, bahwa Keterikatan Karyawan dikarakteristikkan
dengan kekuatan, dedikasi dan kesenangan dalam bekerja.
Engagement dasarnya persamaan individual. Hal ini mencerminkan
hubungan yang unik pada setiap orang dengan pekerjaan. Apakah satu
karyawan menemukan hak yang menantang atau bermakna mungkin
disisi lain ada yang merasa terbebani dengan pekerjaan. Para
pemimpin dan manajer tidak dapat dan tidak harus memikul seluruh
beban melibatkan tenaga kerja mereka. Individu harus memiliki
engagement, datang bekerja dengan motivator yang unik, minat, dan
bakat. Mereka tidak bisa mengharapkan organisasi untuk memberikan
set yang tepat dari tugas atau kondisi agar sesuai pribadi mereka
definisi pekerjaan yang berarti atau memuaskan. Mereka bertanggung
jawab untuk kesuksesan pribadi dan profesional mereka. Jelas pada
nilai-nilai inti dan tujuan organisasi, 15 tidak akan menemukannya
dalam pekerjaan mereka saat ini atau berpotensi di lain. Jika karyawan
tidak tahu apa yang penting bagi mereka. Individu juga harus
mengambil tindakan, karyawan tidak bisa menunggu ketukan di bahu
untuk perintah langkah karir atau proyek baru yang menarik. Mereka
perlu mengambil inisiatif untuk membangun keahlian mereka,
mengartikulasikan kepentingan mereka, memuaskan nilai-nilai inti
mereka, dan mengidentifikasi cara untuk menerapkan bakat mereka
untuk mencapai tujuan organisasi. Individu perlu untuk memulai
percakapan tentang membentuk kembali pekerjaan mereka,
menjelaskan prioritas kerja mereka, atau mendapatkan dukungan yang
mereka butuhkan dari manajer mereka, (BlessingWhite, 2011).
2. Managers (M): Coaching, Relationships, and Dialogue.
Manajer harus memahami bakat masing-masing individu,
kepentingan, dan kebutuhan dan kemudian mencocokkan mereka
dengan tujuan organisasi, sementara pada saat yang sama menciptakan
hubungan interpersonal yaitu hubungan saling percaya. Manajer yang
engaged juga mempengaruhi level engagement karyawan (Vazirani,
2007).
Hubungan interpersonal yang saling mendukung dan membantu
antar karyawan akan meningkatkan level engagement dari karyawan
(Vazirani, 2007). Manajer harus mengendalikan engagement mereka
sendiri. Dimana manajer harus memfasilitasi engagement sebagai
persamaan yang unik bagi pekerja melalui pelatihan. Yang
mempengaruhi atas kepuasan kerja di seluruh dunia adalah
kesempatan untuk menggunakan bakat dan pengembangan karir,
umpan balik kinerja yang spesifik dan kejelasan apa dan mengapa
yang diperlukan oleh organisasi. Manajer harus menjaga dialog
dengan 16 memberikan umpan balik, tentu saja koreksi, dan
kesempatan pengembangan untuk memastikan kinerja tinggi. Selain
itu manajer juga harus membangun hubungan, semakin banyak
karyawan merasa mereka mengetahui manajer mereka, mungkin
mereka akan semakin engaged. Menajer harus menghargai dinamika
tim, tingkat engagement pada salah satu anggota tim memiliki dampak
sisa tim yang baik atau buruk. Manajer tidak dapat menutup mata
terhadap isu-isu engagement individu tanpa risiko efek domino yang
negatif. Mereka perlu untuk menangani dengan cepat dengan potensi
masalah dan juga memanfaatkan antusiasme dan etos kerja anggota
tim dengan membangun engagement tim secara keseluruhan,
(BlessingWhite, 2011).
3. Executives (E): Trust, Communication, and Culture
Eksekutif harus menunjukkan konsistensi dalam kata-kata dan
tindakan, banyak berkomunikasi (dan dengan banyak kedalaman), dan
menyelaraskan semua pelaksanaan organisasi dan perilaku seluruh
organisasi untuk mendorong hasil dan engagement. Sebuah strategi
juga dikomunikasikan dengan jelas membangun kepercayaan tenaga
kerja dalam kompetensi bisnis eksekutif yang memperkuat
kepercayaan. Eksekutif harus mendorong hasil dan engagement dalam
setiap kegiatan organisasi (misalnya, penghargaan dan pengakuan,
kesepakatan penjual, kebijakan pribadi) atau hambatan lain (misalnya,
manajer tingkat menengah yang buruk) yang melemahkan kinerja
tinggi dan tempat kerja yang berkembang. Eksekutif harus mengatur
arah yang jelas. Kepentingan karyawan untuk engaged harus selaras
dengan tujuan organisasi. Hal itu tidak bisa terjadi jika arah organisasi
dan definisi keberhasilan tidak didefinisikan dengan 17 baik dan jelas.
Strategi juga dikomunikasikan untuk membangun kepercayaan tenaga
kerja dalam kompetensi bisnis eksekutif yang memperkuat
kepercayaan. Membangun budaya yang engagement merupakan dasar.
Kata-kata dan tindakan kolektif dari semua pemimpin membentuk
budaya organisasi. Budaya yang engagement bukan hanya hangat dan
ramah. Inspirasi komitmen dan kepercayaan pada Keterikatan
Karyawan tidak hanya memahami apa yang perlu dilakukan, tetapi
juga cukup peduli untuk menerapkan upaya bijaksana,
(BlessingWhite, 2011).
Dari berbagai faktor yang mempengaruhi Keterikatan Karyawan di atas,
sebagian besar menempatkan pada lingkungan kerja yang mendukung kinerja
tinggi di organisasi sebagai pembentuk engagement pada karyawan.
1.6 Intensitas Keluar
Intensitas Keluar merupakan suatu keadaan dimana pekerja memiliki niat
atau kecenderungan yang dilakukan secara sadar untuk mencari suatu pekerjaan
lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda dan turnover adalah penggerak
keluarnya tenaga kerja dari tempatnya bekerja (Abdillah, 2012). menurut peneliti
permasalahan yang terjadi pada karyawan yang sudah memutuskan untuk
mencari pekerjaan baru adalah timbul dari permasalahan personal.
Menurut Moblye (2011 : 15) Turnover intention didefinisikan sebagai
keinginan pemeberhentian keterikatan dalam suatu organisasi oleh individu yang
menerima kompensasi dari organisasi dimana dia berkerja.
Turnover intention haruslah disikapi sebagai suatu fenomena dan perilaku
manusia yang penting dalam kehidupan suatu perusahaan, baik dari sudut
pandang individu maupun sosial, mengingat bahwa tingkat keinginan berpindah
karyawan tersebut akan berdampak cukup signifikan bagi perusahaan dan
individu yang bersangkutan (Suartana, 2000). Turnover yang tinggi
dapat berdampak buruk bagi organisasi seperti menciptakan ketidakstabilan dan
ketidakpastian terhadap kondisi tenaga kerja yang ada serta tingginya biaya
pengelolaan SDM seperti biaya pelatihan yang sudah dilakukan pada karyawan
sampai dengan biaya rekrutmen dan pelatihan kembali (Sartika, 2014).
Peneliti menyimpulkan kejadian ini adalah keadaan fatal yang akan
merugikan kedua belah pihak, keadaan ini sudah melewati ebberapa proses
personality anatara karyawan dengan atasan atau karyawan dengan lingkungan
pekerjaan yang kurang baik, jika dikaitkan dengan peneltian ini perusahaan PT.
So Good Food Indonesia juga memiliki permasalahaan serupa yaitu banyak
karyawan yang lebih memilihi mencari pekerjaan lain dibandingkan tetap bekerja
di perusahaan PT. So Good Food Indonesia. memang tidak semua divisi yang
mengalami turnover pada karyawan. hanya satu divisi yg karyawannya keluar
yakni divisi sales Marketing.
1.6.1. Pengukuran Intensitas Keluar
Intensitas Keluar dalam penelitian ini diukur menggunakan skala
milik Nasrin Arshadi dan Hojat Damiri (2013) yang dikembangkan dari
kuesioner Camman, Fichman, Jenkins, & Klesh (1979).
Skala terlampir berisi 4 indikator yakni,
1. (“Saya sering berpikir untuk berhenti”).
2. (“Kemungkinan saya akan aktif mencari pekerjaan baru tahun
depan”).
3. (“Saya mungkin akan mencari pekerjaan baru di masa depan”).
4. (“Saya sering berpikir untuk mengganti pekerjaan saya”).
1.6.2. Jenis – jenis Intensitas Keluar
Menurut Mathis dan Jackson (2011), turnover dikelompokkan dalam
beberapa klarifikasi, yaitu:
a. Turnover secara tidak langsung (Invenluntary Turnover)
Pemberhentian karyawan karena melanggar aturan atau karena
memiliki kinerja yang buruk, hal ini disebabkan juga oleh kebijakan
perusahaan untuk hal-hal tertentu. 16
b. Turnover secara sukarela (Voluntary Turnover)
Berhentinya seseorang karyawan dari perusahaan karena keinginan
sendiri. Keinginan karyawan untuk berhenti ini seringkali disebut sebagai
Intensitas Keluar. Penyebab Intensitas Keluar salah satunya adalah karena
faktor pribadi karyawan.
c. Functional Turnover
Pemberhentian seseorang karyawan dari perusahaan karena memiliki
kinerja atau performa yang rendah, karyawan yang kurang bias diandalkan,
dan karyawan yang hanya mengganggu rekan kerjanya saja selama
diperusahaan.
d. Dysfunctional Turnover
Berhentinya seseorang karyawan yang memiliki posisi penting saat
masa-masa kritis di perusahaan.
e. Uncontrollable Turnover
Berhentinya seseorang karyawan dengan alasan diluar pekerjaan
kantor, seperti pindah rumah tinggal, memilih bekerja dirumah, pasangan
karyawan dipindah tugaskan oleh perusahaan.
f. Controllable Turnover
Berhentinya seseorang karyawan karena adanya faktor yang dating
dari perusahaan.
1.6.3. Dampak Intensitas Keluar
Turnover merupakan proposisi mahal bagi perusahaan. Biaya yang
dibutuhkan meliputi rekrutmen, seleksi, dan pelatihan karyawan baru. Biaya
tidak langsung meliputi peningkatan beban kerja dan biaya lembur untuk
rekan kerja dan lain-lain. Menurut Mathis dan Jackson (2011), biaya dari
turnover terbagi atas 4 (empat) biaya sebagai berikut:
1. Replacement cost adalah biaya yang dikeluarkan pada saat
penerimaan karyawan termasuk iklan perekrutan, perencanaan,
pencarian, wawancara, gaji karyawan, serah terima karyawan,
dan test karyawan.
2. Vacancy Cost adalah biaya sementara misalnya karyawan
kontrak, dan lembur, sampai adanya pengganti orang akan posisi
yang kosong.
3. Hidden Cost adalah Biaya yang tidak jelas, seperti berkurangnya
produktifitas, penurunan layanan pelanggaran, karyawan keluar
tambahan yang tak terduga, dan lain-lain.
4. Training cost adalah biaya yang dikeluarkan untuk pelatihan
kepada karyawan baru karena harus menggantikan posisi
karyawan yang telah pindah.
5. Separation cost adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengakhiri
hubungan kerja dengan karyawan misalnya pesangon, dokumen,
dan lain-lain. Turnover tidak selalu berdampak buruk bagi
perusahaan.
Menurut Martin (2011:8) turnover menawarkan kesempatan untuk
menjaga organisasi yang dinamis dengan memperkenalkan karyawan dengan
ide-ide baru, keterampilan baru dan kepribadian.
1.6.4. Dimensi Intensitas Keluar
Dimensi Intensitas Keluar menurut Mobley dalam Mahdi et. al.
(2012) meluputi:
4. Thingking of quitting adalah pemikiran seseorang karyawan untuk
keluar dari sebuah perusahaan dan adanya pemikiran bahwa ia
berkemungkinan tidak bertahan dengan perusahaan.
5. Intent to search adalah sikap seseorang karyawan untuk mencari
alternatif perusahaan lain.
6. Intent to quit adalah sikap seorang karyawan yang menunjukkan
indikasi keluar seperti meminimalisasi usaha dalam bekerja, dan
membatalkan pekerjaan penting.
1.7 Kerangka Berfikir
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir
Sumber Penulis, 2019
Dimana:
X1 = Ketidakamanan Kerja Y = Intensitas Keluar
X2 = Stres Kerja
X3 = Keterikatan Karyawan
1.8 Hubungan Antara Variabel
1.8.1. Hubungan Ketidakamanan Kerja dengan Intensitas Keluar
Menurut Suciati dkk. (2015) Ketidakamanan Kerja adalah
ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan
dalam kondisi kerja yang terancam. dalam hal ini Ketidakamanan Kerja yang
dilakukan karyawan berdasarkan seberapa besar pejuangan seseorang jika
terkena permasalahaan yang menerpa di lingkungan pekerjaan. Sehingga
karyawan yang memang merasa bahwa dirinya terancam atau merasa tidak
aman dalam lingkungan kerja sangat mudah berfikir untuk keluar dari
perusahaan dan mencari pekerjaan baru yang bisa dikatakan lebih aman.
Hal ini didukung dengan 5 penelitian sebelumnya yang dilakukan
diantaranya; Thomas Staufenbiel dan Cornelius J. Konig (2010) dengan
judul “A model for the effects of job insecurity on performance, turnover
intention, and absenteeism” menunjukan bahwa adanya efek dari
Ketidakamanan Kerja dengan Intensitas Keluar secara tidak langsung dan
yakni pada Ketidakamanan Kerja yang dialami adalah ketidak sesuaian antara
apa yang diharapkan karyawan dengan apa yang perusahaan berikan yang
mengarah pada penurunan performa karyawan dengan begitu terjadinya
Intensitas Keluar.
Saija Mauno, Nele De Cuyper, Asko Tolvanen, Ulla Kinnunen,
dan Anne Mäkikangas (2013) dengan judul “Occupational well-being as a
mediator between job insecurity and turnover intention: Findings at the
individual and work department levels” jurnal ini menyatakan bahwa adanya
hubungan Ketidakamanan Kerja dengan Intensitas Keluar dan kesejahteraan
kerja menjadi variabel mediasi dikarenakan rasa terancam dalam pekerjaanya
sehingga membuat Intensitas Keluar yang tinggi namun dapat diminimalisir
dengan menafsirkan ketidakamanan kerja menjadi stressor kolektif dengan
kesejahteraan kerja yang didapat sehingga dapat membuat Intensitas Keluar
menurun.
Orhan Çınar, Fatih Karcıoğlu, dan İmran Aslan (2014) dengan
judul “ The relationships among Organizational Cynicism, Job Insecurity and
Turnover Intention: A Survey Study in Erzurum/Turkey”. Bahwa terdapat
pengaruh positif variabel Ketidakamanan Kerja, Organizational Cynicism
terhadap Intensitas Keluar, Ketidakamanan Kerja yang terjadi pada karyawan
dikarenakan komunikasi yang kurang antara organisasi dengan karyawan
serta kurangnya organisasi dalam memberikan partisipasi dalam pengambilan
keputusan kepada karyawan.
Mustafa Günalan dan Adnan Ceylan (2015) dengan judul “The
Mediating Effect of Organizational Support between Job Insecurity and
Turnover Intention in Private Hospitals”. Penelitian ini menunjukan bahwa
ada pengaruh positif variabel Ketidakamanan Kerja terhadap Intensitas
Keluar. Dikarenakan baik hasil kualitatif dan kuantitatif pada Ketidakamanan
Kerja yang didasari kondisi pasar para pencari kerja sehingga Intensitas
Keluar terjadi pada organisasi.
Che-Sung Park dan Keun-Ja Cho Ni (2015) dengan judul “Effects
of job insecurity and job engagement on turnover intention of paramedics in
emergency medical institution”. Dari penelitian diatas menunjukan bahwa
ada pengaruh positif variabel Ketidakamanan Kerja terhadap Intensitas
Keluar. Dikarenakan tinggi tingkat kecemasan dalam menyelesaikan
pekerjaan yang didukung dengan fasilitas rumah sakit yang kurang memadai
sehingga menimbulkan rasa kekhawatiran yang berlebih pada karyawan
medis di perusahaan.
H1 : Didug adanya pengaruh Ketidakamanan Kerja secara parsial terhadap
Intensitas Keluar.
1.8.2. Hubungan Stres Kerja dengan Intensitas Keluar
Menurut Ivancevich dan Matteson, seperti dikutip oleh Luthans
(2011), mengatakan bahwa Stres Kerja didefinisikan sebagai sebuah respon
adaptif (tanggapan penyesuaian) dimediasi oleh perbedaan individu dan
proses psikologi, sebagai akibat dari aksi lingkungan, situasi atau peristiwa
yang menyebabkan tuntutan fisik dan psikologi secara berlebihan terhadap
seseorang yang akan menimulkan efek samping memutuskan sesuatu dengan
cepat. Akibat yang paling ekstrim adalah kinerja menjadi nol dan karyawan
menjadi tidak kuat lagi bekerja, putus asa, atau menolak bekerja untuk
menghindari stres hingga muncullah keinginan untuk keluar dari
perusahaan.
Hal ini didukung dengan 5 penelitian sebelumnya diantaranya; Nasrin
Arshadi dan Hojat Damiri (2013) dengan judul “The Relationship of Work
Stress with Turnover Intention and Job Performance: Moderating Role of
OBS”. Hasil dari penelitian ini yakni adanya hubungan positif yang signifikan
antara Stres Kerja dan Intensitas Keluar. Dikarenakan stress pada lingkungan
kerja mempengaruhi kepuasan kerja pada karyawan yang membuat Intensitas
Keluar mengalami peningkatan.
Eun Kyoung Chung, Yeseul Jung dan Young Woo Sohn (2017)
dengan judul “A Moderated Mediation Model of Work Stress, Job
Satisfaction, and Turnover Intention for Airport Security Screeners”. Jurnal
ini menyatakan ketika job satisfaction menjadi mediator, Stres Kerja dengan
Intensitas Keluar memiliki hubungan yang signifikan, jadi bisa dikatakan
antara Stres Kerja dan Intensitas Keluar terdapat hubungan secara tidak
langsung. Dikarenakan Stres Kerja yang terjadi diteliti dengan umur kerja
karyawan dan dimediasikan dengan job satisfaction serta Organizational
culture yang dimana pengaruh yang diberikan Stres Kerja kepada Intensitas
Keluar tinggi namun tidak secara langsung.
Ali Mohammad Mosadeghrad, Ewan Ferlie dan Duska Rosenberg
(2011) dengan judul “A study of relationship between Work Stress, quality of
working life and turnover intention among hospital employees”. menjawab
isi hasil dari jurnal di atas yakni adanya hubungan yang positif signifikan
antara Stres Kerja dengan Intensitas Keluar pada karyawan rumah sakit.
Dikarenakan indikator gaji yang tidak memadai, ketidaksetaraan ditempat
kerja, beban kerja yang berlebihan, tingkat staff yang tidak memadai, serta
peluang promosi yang buruk, menjadikan Stres Kerja mempengaruhi tingkat
Intensitas Keluar diperusahaan.
Sulaiman Olanrewaju Adebayo (2011) dengan judul “Influence of
Supervisory Behaviour and Work Stress on Job Satisfaction and Turnover
Intention of Police Personnel in Ekiti State” sesuai dengan hasil jurnal yang
tertera dengan judul diatas bahwa terdapat pengaruh antara Stres Kerja
dengan Intensitas Keluar pada personil polisi di negara bagian Ekiti. Yang
disebabkan ketegangan ketika sedang menjalani tugas yang membuat tingkat
Stres Kerja yang tinggi sehingga membuat perasaan ingin berhenti dan
berdampak pada Intensitas Keluar namun hubungan pengaruh yang
cenderung normal.
Mei-Fang Chen, Chieh-Peng Lin, dan Gin-Yen Lien (2011)
dengan judul “Modelling Work Stress as a mediating role in predicting
turnover intention”. Penelitian sebelumnya yakni jurnal dengan judul diatas
mengemukakan bahwa Stres Kerja menjadi model variabel mediasi yang bisa
memprediksi terjadinya Intensitas Keluar didalam sebuah perusahaan.
Dikarenakan Stres Kerja memiliki tiga indikator fenomena yaitu peningkatan
konflik, ambiguitas, dan kelebihan beban kerja yang cenderung dapat
meningkatkan Stres Kerja sehingga memediasi tingkat aktual terhadap
Intensitas Keluar.
H2 : Diduga adanya pengaruh Stres Kerja secara parsial terhadap Intensitas
Keluar.
1.8.3. Hubungan Keterikatan Karyawan dengan Intensitas Keluar
Menurut Robinson, Perryman dan Hayday (2004), Keterikatan
Karyawan adalah sikap positif individu karyawan terhadap organisasi dan
nilai organisasi. Seorang karyawan yang memiliki tingkat keterikatan tinggi
pada organisasi memiliki pemahaman dan kepedulian terhadap lingkungan
operasional organisasi, mampu bekerja sama untuk meningkatkan pencapaian
unit kerja/organisasi melalui kerja sama antara individu karyawan dengan
manajemen. Maka dari itu dengan mempertahankan Keterikatan Karyawan
didalam suatu perusahaan bisa menekan adanya Turnover pada perusahaan
itu sendiri.
Hal ini didukung dengan 5 penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Tara Shankar dan Jyotsna Bhatnagar (2010) dengan judul “Work Life
Balance, Employee Engagement, Emotional Consonance/Dissonance &
Turnover Intention”. Hasil dari penelitian yang berjudul diatas adalah bahwa
bener adanya hubungan yang berdampak positif antara Keterikatan Karyawan
dengan Intensitas Keluar secara tidak langsung. Dikarenakan untuk
menciptakan etos kerja yang unggul, keseimbangan kehidupan dan pekerjaan
harus melibatkan Keterikatan Karyawan dengan demikian karyawan
mempunyai etos kerja yang baik dan mempunyai Work life balance sehingga
jauh dari keinginan untuk keluar dari perusahaan atau Intensitas Keluar.
Brad Shuck, Devon Twyford, Thomas G. Reio Jr, dan Angie
Shuck (2014) dengan judul “Human Resource Development Practices and
Employee Engagement: Examining the Connection With Employee Turnover
Intentions”. Dalam jurnal ini mengemukakan bahwa Keterikatan Karyawan
memiliki hubungan terhadap Employee Intensitas Keluar. Karena hubungan
positif antara kegiatan belajar, pelatihan dan pengembangan, dan Kinerja
yang dilakukan HRD juga ada hubungan yang eksplisit dan dukungan antara
Keterikatan Karyawan dengan Human Resources Development. Dengan
begitu niat dari karyawan yang ingin melakukan pemberhentian atau
Intensitas Keluar akan berkurang apabila prinsip-prinsip Keterikatan
Karyawan di pertahankan.
Mary Lynn Berry and Michael L. Morris (2008) dengan judul “The
Impact of Employee Engagement Factors and Job Satisfaction On Turnover
Intent”. Pada jurnal diatas mengatakan bahwa impek dari Keterikatan
Karyawan berpengaruh positif terhadap Intensitas Keluar. Karena dengan
meningkatkan Keterikatan Karyawan dan kepuasan karyawan atau job
satisfaction dalam segi lingkungan kerja, niat keluar karyawan akan
berkurang.
TAUSEEF AHMAD CHUGHTAI (2013) dengan judul “Role of HR
Practices in Turnover Intentions with the Mediating Effect of Employee
Engagement”. Dalam hasil penelitian yang dilakukan salah satu mahasiswa
di Pakistan ini mengemukakan bahwa adanya efek Keterikatan Karyawan
sebagai mediasi terhadap Intensitas Keluar. Dikarenakan selain praktik
SDM ketika digunakan untuk mengarahkan mereka dengan benar untuk
melakukan pekerjaan mereka dengan cara efektif. Pemanfaatan
pengembangan kompetensi praktik membuat karyawan merasa bahwa mereka
adalah bagian penting dari organisasi dan yang mereka miliki telah diurus.
H3 : Diduga adanya pengaruh Employee Engagement secara parsial terhadap
Intensitas Keluar.
1.9 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2018) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. di katakan sementara, karena
jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum
didasarkan pada faktafakta empiris yang di peroleh melalui pengumpulan data.
Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritus terhadap rumusan
masalah penelitian belum jawaban yang empirik. Rumusan hipotesis penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Untuk T-1 : Untuk mengetahui seberapa besar Ketidakamanan Kerja
mempunyai pengaruh terhadap Intensitas Keluar karyawan pada PT. SO
GOOD FOOD INDONESIA.
Ho : Tidak ada pengaruh Ketidakamanan Kerja terhadap Intensitas Keluar
Ha : Ada pengaruh Ketidakamanan Kerja terhadap Intensitas Keluar
2. Untuk T-2: Untuk mengetahui seberapa besar Stres Kerja mempunyai
pengaruh terhadap Intensitas Keluar karyawan pada PT. SO GOOD
FOOD INDONESIA
Ho : Tidak ada pengaruh Stres Kerja terhadap Intensitas Keluar
Ha : Ada pengaruh Stres Kerja terhadap Intensitas Keluar
3. Untuk T-3: Untuk mengetahui seberapa besar Keterikatan Karyawan
mempunyai pengaruh terhadap Intensitas Keluar pada PT. So Good Food.
Ho : Tidak ada pengaruh Keterikatan Karyawan terhadap Intensitas
Keluar
Ha : Ada pengaruh Keterikatan Karyawan terhadap Intensitas Keluar
4. Untuk T-4: Untuk mengetahui seberapa besar Ketidakamanan Kerja, Stres
Kerja, dan Keterikatan Karyawan berpengaruh signifikan secara simultan
terhadap Intensitas Keluar karyawan pada PT. SO GOOD FOOD
INDONESIA.
Ho : Tidak ada pengaruh signifikan Ketidakamanan Kerja, Stres Kerja,
dan Keterikatan Karyawan secara simultan terhadap Intensitas Keluar.
Ha : Ada pengaruh signifikan Ketidakamanan Kerja¸ Stres Kerja, dan
Keterikatan Karyawan secara simultan terhadap Intensitas Keluar.