bab 2 landasan perancanganlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/rs1_2019_1... · 2020. 3....
TRANSCRIPT
5
BAB 2
LANDASAN PERANCANGAN
2.1 Tinjauan Khusus
2.1.1 Landasan Teori
2.1.1.1 Teori Permainan Anak
Bermain, selain berfungsi penting bagi perkembangan pribadi
anak, juga memiliki fungsi sosial dan emosional. Melalui bermain,
anak merasakan berbagai pengalaman emosi; senang; sedih;
bergairah; kecewa; bangga; marah; dan sebagainya. Melalui bermain
pula, anak memahami kaitan antara dirinya dan lingkungan sosialnya,
belajar bergaul dan memahami aturan ataupun tata cara pergaulan.
Selain itu, kegiatan bermain berkaitan erat dengan perkembangan
kognitif anak. (Tedjasaputra, 2001:20).
Menurut Tedjasaputra (2001:28-33), tahapan perkembangan
bermain kognitif yaitu sebagai berikut:
1. Bermain Fungsionil (Functional Play)
Bermain seperti ini biasanya tampak pada anak berusia 1-2
tahunan berupa Gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-
ulang. Dapat dilakukan dengan atau tanpa alat permainan.
Misalnya: berlari-lari sekeliling ruang tamu, mendorong atau
menarik mobil-mobilan, mengolah lilin atau tanah liat tanpa
maksud untuk membuat bentuk tertentu dan yang semacamnya.
2. Bangun Membangun (Constructive Play)
Bermain membangun terlihat pada anak usian 3-6 tahun. Anak
membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat
permainan yang tersedia. Misalnya: bermain lego, menggambar.
3. Bermain Pura-pura (Make-believe Play)
Bermain pura-pura mulai banyak dilakukan anak usia 3-7 tahun.
Dalam bermain pura-pura anak menirukan kegiatan orang yang
pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Dapat juga anak
melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang
dikenalnya melalui film kartun atau dongeng. Misalnya: main
6
rumah-rumahan, sekolah-sekolahan, menyuapi boneka, mengajari
boneka binatangnya berpakaian dan sebagainya. Anak dapat
menciptakan jalan cerita sendiri dalam kegiatan bermain ini.
4. Permainan Dengan Peraturan (Games with Rules)
Bermain jenis ini umumnya sudah dapat dilakukan oleh anak
usia 6-11 tahun. Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah
memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan.
Misalnya: main kasti, ular tangga, monopoli, dan sebagainya.
Dalam proyek ini, permainan yang dicanangkan adalah
permainan yang melibatkan aktifitas bermain membangun atau
constructive play, karena anak mendapatkan pengalaman merakit
atau membongkar dan memasang baju-baju, aksesoris, serta
perabotan boneka kertas. Permainan ini juga termasuk jenis
bermain pura-pura atau make-believe play, karena anak dapat
berpura-pura memerankan dirinya sebagai seorang peri bunga
yang sedang menanam bunga di kebun belakang rumah.
2.1.1.2 Prinsip Desain
Dalam mendesain, seorang desainer harus memerhatikan
prinsip-prinsip desain agar dapat menghasilkan karya yang bagus.
Menurut Elizabeth Resnick dalam bukunya Design for
Communication: Conceptual Graphic Design Basics (2003:24-25),
prinsip-prinsip desain dibagi menjadi:
1. Balance
Terjadi ketika semua elemen desain tersebar secara merata dalam
desain. Ada 2 tipe balance yaitu simetris dan asimetris. Simetris
berarti tersusun secara merata di kedua sisi di dalam sebuah
komposisi untuk memberikan kesan gerakan yang stabil atau
statis. Asimetris membentuk ketidakseimbangan yang disengaja
untuk memberikan kesan gerakan yang lebih dinamis.
7
2. Emphasis
Emphasis mengindikasikan elemen yang paling penting di dalam
sebuah desain berdasarkan pesannya. Emphasis merupakan
elemen yang paling menonjol dan paling pertama dilihat dan
diperhatikan. Misalnya dengan membuat elemen desain menjadi
lebih besar ukurannya, lebih tebal, dan sebagainya.
3. Rhythm
Rhythm adalah pola yang terbentuk dari elemen-elemen desain
yang berulang. Rhythm menunjukkan pergerakan melalui elemen-
elemen yang mengarahkan pandangan kita untuk memindai pesan
agar memahami informasi yang diberikan.
4. Unity
Unity bisa diraih ketika semua elemen-elemen desain saling
berhubungan satu sama lain dan memproyeksikan kelengkapan.
Tanpa unity, audiens dapat kehilangan ketertarikan. Desainer
menggunakan teori gestalt untuk menciptakan unity dalam desain
mereka. Teori gestalt adalah proses psikologis dimana audiens
menyatukan elemen desain yang berbeda ke dalam bentuk
keseluruhan yang lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya.
5. Contrast
Contrast menekankan perbedaan-perbedaan dalam visual yang
meliputi ukuran, bentuk, dan warna diantara elemen-elemen
desain untuk memperbanyak persepsi dari pesan yang
dikandungnya.
Prinsip desain yang diterapkan penulis dalam desain visual
proyek ini adalah balance, emphasis, rhythm, unity, dan contrast.
Menurut Supriyono (2010:89), prinsip balance asimetris tampak
lebih dinamis, variatif, surprise, dan tidak formal. Sementara prinsip
balance simetris mempunyai kesan kokoh, stabil, formal, sesuai
untuk citra tradisional dan konservatif. Prinsip balance asimetris
sering digunakan untuk publikasi hiburan, acara maupun publikasi
anak-anak dan dunia remaja yang memiliki karakter dinamis dan
tidak formal. Berdasarkan pemahaman tersebut, penulis
menggunakan prinsip balance asimetris dalam kemasan mainan dan
8
lembar boneka peri bunga. Kemasan dan lembar boneka peri bunga
adalah item utama yang paling sering dilihat. Karena paling utama
dilihat, dan target proyek adalah anak-anak, maka penggunaan prinsip
balance asimetris bertujuan agar dapat memberikan tampilan yang
ramai, penuh, dan dekoratif untuk memunculkan sisi naturalis atau
organis sesuai dengan tema dan style ilustrasi, namun di saat yang
sama tetap terstruktur sehingga rapi, nyaman dilihat dan mudah
dipahami oleh anak-anak.
Prinsip emphasis digunakan dalam kemasan mainan, panduan
bermain, lembar boneka peri bunga, dan beberapa implementasi
media. Dalam kemasan mainan, yang menjadi emphasis adalah
namestyle yang diletakkan di tengah-tengah. Tujuannya agar arah
mata target langsung menuju ke namestyle dan langsung segera
mengetahui nama, informasi, dan tema produk. Dibuat seperti itu
karena produk ditujukan untuk anak-anak yang pola pikirnya masih
sangat sederhana dan harafiah. Selain itu prinsip emphasis juga ada di
panduan bermain yaitu pada ilustrasi bunga matahari di halaman
belakang, yang bertujuan untuk memberikan variasi agar mata tidak
lelah membaca banyak tulisan panduan. Emphasis juga ada di lembar
boneka peri bunga yaitu pada ilustrasi boneka yang berada di tengah.
Peletakkan ilustrasi boneka di tengah dan berukuran paling besar
dimaksudkan agar memfokuskan arah pandang target ke boneka peri
bunga, karena boneka peri bunga memiliki fungsi yang paling krusial
yang mana merupakan item utama mainan. Selain itu, anak mudah
bosan. Agar anak tidak mudah bosan dalam membaca kalimat-
kalimat edukasi tentang jenis bunga yang tertera di lembar boneka,
penulis menyebarkan kalimat-kalimat edukasi ke berbagai sisi dalam
lembaran (tidak dalam satu bagian yang sama). Hal tersebut otomatis
membuat posisi boneka peri bunga menjadi lebih nyaman dilihat jika
diletakkan di tengah dan menjadi pusat perhatian.
Prinsip rhythm digunakan dalam kemasan mainan, lembar
boneka peri bunga, panduan bermain, dan lembar cara merakit latar
pajangan. Seluruh rhythm yang ada di dalam mainan ini
menggunakan prinsip rhythm berupa pengulangan dengan konsistensi
9
ukuran, posisi, maupun bentuk. Pada kemasan mainan bagian
belakang dan lembar cara merakit latar pajangan, rhythm ditunjukkan
melalui elemen ilustrasi daun yang diulang-ulang sehingga menjadi
bentuk frame yang mengelilingi bidang desain. Selain itu dibuat
untuk menunjukkan rimbunnya daun yang memberikan kesan tempat
tinggal peri yang tersembunyi di balik rimbunan daun-daun bunga.
Selain pada ilustrasi daun, rhythm juga terdapat pada desain bagian
tutup dan alas kemasan, berupa ilustrasi lima jenis bunga. Tujuannya
agar menimbulkan kesan banyaknya bunga seperti di kebun bunga.
Selain itu prinsip rhythm juga digunakan dalam lembar boneka peri
bunga dan panduan bermain. Rhythm diwujudkan melalui ilustrasi
kelopak-kelopak bunga dari lima jenis bunga. Tujuan digunakannya
rhythm tersebut adalah untuk memperkuat kesan ramai, tema naturalis
dan organis. Menceritakan tentang kelopak-kelopak bunga yang
berjatuhan layaknya diantara rerumputan tempat peri bunga tinggal.
Mainan boneka kertas yang dicanangkan penulis juga memakai
prinsip unity dimana elemen-elemen desain saling berhubungan satu
sama lain. Keberhubungan itu dicapai melalui keserasian karakter
garis, bentuk, dan warna antara elemen yang satu dengan yang
lainnya.
Prinsip contrast dalam hal warna juga banyak dijumpai dalam
desain boneka kertas ini. Semua penggunaan warna-warna yang
kontras antara elemen yang satu dengan elemen lainnya ditujukan
untuk menciptakan fokus. Misalnya pada kemasan, elemen-elemen
ilustrasi dengan warna-warna vibrant berada di atas background yang
berwarna putih, begitu pula dengan lembaran boneka kertas lainnya.
2.1.1.3 Elemen Desain
Dalam setiap desain terdiri dari satu atau lebih elemen utama
yang membentuknya. Seorang desainer harus mampu
mengkombinasikan elemen-elemen tesebut ke dalam desain yang
efektif dan dapat dipahami audiens. Menurut Elizabeth Resnick
dalam bukunya Design for Communication: Conceptual Graphic
10
Design Basics (2003:23-24), elemen-elemen desain tersebut
adalah:
1. Garis
Garis adalah elemen panjang sebagai tanda yang
menghubungkan dua titik. Garis dapat mengatur, mengarahkan,
memisahkan, menjadi ekspresif, membentuk emosi, dan
menciptakan ritme.
2. Bentuk
Bentuk mengacu pada garis tepi luar dari sebuah bentuk atau
apapun yang memiliki tinggi dan lebar. Contohnya adalah
segitiga, lingkaran, dan kotak.
3. Tekstur
Tekstur adalah penampakan dan rasa dari sebuah permukaan.
Tekstur dapat memperkaya dan menambah dimensi.
4. Ruang
Ruang menunjuk kepada jarak antara bentuk dan susunan,
namun dalam desain lebih dapat dimengerti dengan konsep
white space atau negative space – istilah untuk ruang kosong
namun aktif yang tidak berisikan elemen visual.
5. Ukuran
Ukuran adalah seberapa kecil dan besarnya sesuatu dalam skala
terhadap objek-objek lain.
6. Nilai
Nilai adalah kecerahan atau kegelapan relatif dari suatu area
atau objek. Nilai menambah dimensi dengan membentuk ilusi
kedalaman di dalam sebuah desain.
Dalam proyek ini penulis menerapkan elemen desain bentuk,
ruang (white space), dan ukuran.
Bentuk dipakai di seluruh desain item. Dalam proyek ini bentuk
yang dipakai merupakan bentuk yang lebih organis, yaitu bentuk-
bentuk nyata seperti bentuk tubuh peri secara utuh, bentuk bunga,
daun, baju peri, dan lain-lain. Menggunakan bentuk-bentuk tersebut
11
karena visual yang bermakna harafiah dapat lebih dimengerti dan
lebih menarik perhatian anak-anak.
Ruang atau white space juga dipakai dalam kemasan mainan,
lembar boneka peri bunga, lembar baju dan aksesoris peri bunga,
lembar properti bunga, lembar standing boneka, dan tempat
menyimpan boneka kertas. Dalam kemasan mainan, white space
sangat dibutuhkan agar mata dapat beristirahat atau memberikan jeda
dari penuhnya ilustrasi-ilustrasi dengan warna-warna vibrant.
Dengan begitu desain tetap dapat nyaman dilihat oleh audiens
walaupun elemen ilustrasinya ramai. Dalam lembar boneka peri
bunga, lembar baju dan aksesoris peri bunga, lembar properti bunga,
dan lembar standing boneka, white space tidak hanya dibutuhkan
untuk menciptakan jarak antara satu objek ilustrasi dengan objek
ilustrasi yang lainnya, melainkan juga untuk memastikan bahwa
jarak atau ruang tersebut cukup aman dan lebar apabila nantinya satu
kertas tersebut dipotong dengan metode lasercut di garis tepi objek-
objek ilustrasi, agar tidak memotong objek ilustrasi yang lainnya.
Selain itu, tempat menyimpan boneka kertas setelah selesai
dimainkan juga merupakan plastik dengan desain yang memiliki
banyak ruang di sekeliling namestyle (logo). Dalam hal ini plastik
berwarna transparan sehingga isi dari plastik penyimpan boneka
kertas tersebut dapat terlihat dengan jelas keluar. Hal tersebut
membuat plastik menjadi lebih menarik jika diletakkan di suatu
tempat, sekaligus dapat memberikan informasi bahwasanya isi
plastik tersebut adalah boneka kertas yang sebaiknya dijaga agar
tidak rusak.
Elemen ukuran dalam proyek mainan boneka kertas ini dapat
diidentifikasi melalui perbandingan ukuran antara boneka peri bunga
dengan properti bunganya itu sendiri. Dikarenakan temanya adalah
peri bunga, maka ukuran boneka peri bunga dalam mainan boneka
kertas ini juga lebih kecil daripada properti bunga. Selain itu elemen
ukuran terdapat juga pada kemasan, seperti ukuran bunga matahari
dan kembang sepatu yang lebih besar dibandingkan dengan bunga
matahari dan kembang sepatu lainnya di bawah rumput.
12
2.1.1.4 Teori Branding
Branding merupakan janji, ide besar dan harapan yang
mengesampingkan setiap pemikiran konsumen mengenai produk,
pelayanan, atau perusahaan. Hal ini selaras dengan penjelasan
menurut Wirania Swasty dari bukunya berjudul Branding:
Memahami dan Merancang Strategi Merek (2016:14), branding
merupakan keseluruhan proses dalam memilih unsur, nilai, hingga
janji apa yang dimiliki oleh suatu entitas (produk, jasa, perusahaan,
dan sebagainya). Menurutnya, branding adalah proses disiplin yang
digunakan untuk membangun kesadaran dan memperluas loyalitas
pelanggan. Tantangan branding adalah untuk mengembangkan
seperangkat asosiasi positif bagi merek, seperti kualitas premium,
berkelas, menyehatkan, menyegarkan, dan sebagainya.
Untuk membangun identitas merek yang baik dan tepat, seorang
desainer harus mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan
visual yang dapat membangun citra, nama, reputasi, dan apa yang
masyarakat pikirkan mengenai merek dari perusahaan tersebut.
Swasty (2016:102) mengemukakan bahwa ada beberapa tahap proses
dalam membangun identitas merek, diantaranya:
• Melakukan riset
Memperjelas visi, strategi, tujuan, dan nilai-nilai, melakukan
audit pemasaran.
• Memperjelas strategi merek
Menciptakan atribut merek, membuat strategi penamaan,
menulis konsep kreatif, dan lain-lain.
• Merancang identitas
Memvisualisasikan masa depan, merancang identitas merek,
strategi visual.
Dalam proyek ini, proses membangun identitas merek
permainan boneka kertas bertema peri bunga di kebun belakang
rumah juga dilakukan secara runtut sesuai dengan tahap-tahap di
atas. Penulis telah melakukan riset terhadap lebih dari 100 orang
target audience yaitu anak-anak, khususnya anak perempuan usia 5-
9 tahun, yang duduk di bangku TK sampai dengan SD kelas 3.
13
Kemudian dari hasil riset yang diperoleh, penulis merancang konsep
kreatif, setelah itu merancang strategi visual.
Riset yang telah dilakukan menyatakan hasil bahwa target
audience lebih tertarik pada warna-warna yang cerah dan mencolok
serta lebih tertarik pada karakter yang berekspresi ceria. Dari sana
penulis merancang konsep kreatif yang mampu menggambarkan
perasaan ceria dengan menggunakan strategi visual yang berfokus
pada warna-warna cerah.
2.1.1.5 Teori Tipografi
Menurut Rustan (2011:106), bagi pembaca dewasa, persyaratan
dalam tipografi tidak seketat pembaca anak-anak dan orang berusia
lanjut. Menurutnya juga, Kate Clair dan Cynthia Busic-Snyder
pernah menulis: anak-anak dan orang berusia lanjut punya
persyaratan yang spesifik terhadap huruf untuk bodytext, keduanya
butuh teks yang relatif berukuran besar, serta jarak antar huruf, kata
dan baris yang cukup besar pula. Anak-anak belum fasih membaca,
mereka belajar membaca dengan mengenali satu-persatu bentuk
karakter, sedangkan orang berusia lanjut biasanya mengalami
penurunan kemampuan penglihatan. Mereka memutuhkan jenis
huruf yang sangat legible:
• Ukuran huruf sekitar 12 sampai 14 point.
• Huruf besar dan huruf kecil harus dapat dibedakan dengan
jelas.
• Weight jangan terlalu tipis / light.
Berdasarkan teori tersebut, dalam proyek permainan ini, penulis
menggunakan tipografi yang memiliki tingkat legibility dan
readability yang tinggi bagi anak-anak, yaitu huruf yang berukuran
cukup besar, huruf yang memiliki weight yang cukup atau tidak
terlalu tipis, serta jarak antar huruf, kata, dan baris yang cukup besar
sehingga dapat terbaca dengan jelas oleh anak-anak.
14
Menurut Supriyono (2010:25), berdasarkan sejarah
perkembangannya, huruf dapat digolongkan menjadi tujuh style,
yaitu:
1. Huruf Klasik
Huruf yang memiliki kait (serif) lengkung. Banyak digunakan
untuk desain-desain media cetak Inggris pada awal adanya
teknologi cetak sampai sekarang, Memiliki kemudahan baca
(readability) yang tinggi.
2. Huruf Transisi
Hampir sama dengan huruf klasik, hanya berbeda pada ujung
kait yang runcing dan sedikit perbedaan tebal-tipis pada tubuh
huruf.
3. Huruf Modern Roman
Ketebalan tubuh huruf sangat kontras, bagian yang vertikal
tebal, garis-garis horizontal dan serifnya sangat tipis sehingga
untuk teks berukuran kecil agak sulit terbaca.
4. Huruf Sans Serif
Tidak memiliki serif/kait/kaki. Memiliki bagian-bagian tubuh
yang sama tebalnya. Sering digunakan untuk buku dan majalah
karena simpel dan dinamis.
5. Huruf Berkait Balok (Egyptian Slab Serif)
Memiliki kait berbentuk balok yang ketebalannya hampir sama
dengan tubuh huruf sehingga terkesan elegan, jantan, kaku.
6. Huruf Tulis (Script)
Berasal dari tulisan tangan (handwriting), melelahkan jika
dipakai untuk teks yang panjang dan jika menggunakan all
capital.
7. Huruf Hiasan (Decorative)
Bukan termasuk huruf teks, tidak tepat digunakan untuk teks
panjang.
Dalam proyek permainan yang ditujukan untuk anak-anak ini,
untuk teks-teks yang lebih panjang, penulis menggunakan huruf
dengan jenis script yaitu berbentuk tulisan tangan (handwriting)
15
namun merupakan turunan variasi yang berasal dari huruf sans serif
sehingga tetap memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi walaupun
memiliki bentuk yang lebih dinamis, serta menggunakan huruf
hiasan (decorative) untuk teks yang lebih pendek seperti judul
konten dan sebagainya. Menggunakan script berbentuk tulisan
tangan agar memberikan kesan yang playful, dinamis dan feminin
karena ditujukan untuk anak-anak khususnya anak perempuan,
namun disaat yang bersamaan tidak menghilangkan aspek
readability karena huruf yang dipilih merupakan turunan variasi dari
huruf sans serif, sehingga tetap mudah dibaca oleh anak-anak yang
belum mampu mencerna huruf yang terlalu kompleks. Selain itu
menggunakan huruf hiasan (decorative) untuk penulisan judul atau
tulisan-tulisan lain yang lebih pendek karena bentuknya yang
kekanakan, playful, sesuai dan dapat menyuarakan tema yang
dikandung dalam permainan.
2.1.1.6 Teori Warna
Menurut Supriyono (2010:70-72) di dalam bukunya, salah satu
elemen visual yang dapat dengan mudah menarik perhatian pembaca
adalah warna. Sebagai desainer grafis perlu berhati-hati dalam
penggunaan warna. Apabila pemakaian warna kurang tepat maka
dapat merusak citra, mengurangi nilai keterbacaan, dan bahkan dapat
menghilangkan gairah baca. Jika menggunakan warna dengan tepat,
warna dapat membantu menciptakan mood dan membuat teks lebih
berbicara.
Berdasarkan Hue, warna dipilahkan menjadi tiga golongan
yaitu:
• Warna primer (primary colors) terdiri dari merah, kuning, biru.
• Warna sekunder (secondary colors), merupakan campuran dua
warna primer dengan perbandingan seimbang (1:1),
menghasilkan warna oranye (merah + kuning), hijau (kuning +
biru), dan ungu (biru + merah).
• Warna tersier (tertiary colors) terjadi jika warna primer
dicampur dengan warna sekunder.
16
Gambar 2.1 Roda Warna Primer, Sekunder, dan Tersier.
(Sumber: colormatters.com/color-and-design)
Dalam proyek permainan ini, penulis banyak menggunakan
warna-warna primer, sekunder, beserta turunannya untuk beberapa
bagian elemen. Penulis menggunakan warna-warna terang karena
berdasarkan survey yang telah dilakukan, lebih dari 50% target pasar
utama tertarik pada warna terang. Contoh warna yang banyak
dipakai diantaranya adalah hijau, pink, ungu, kuning, merah, putih,
beserta turunan-turunan dari warna-warna tersebut.
2.1.1.7 Teori Layout
Menurut Gavin Ambrose dan Paul Harris (2011:9-10) dalam
bukunya Basic Design: Layout, Layout atau tata letak adalah
susunan elemen-elemen desain dalam kaitannya dengan ruang yang
mereka tempati dan sesuai dengan skema estetika keseluruhan, atau
bisa juga disebut sebagai manajemen bentuk dan ruang.
Tujuan utama layout adalah untuk menyajikan elemen-elemen
visual dan tekstual yang akan dikomunikasikan dengan cara yang
memungkinkan pembaca untuk menerimanya dengan upaya
minimum. Dengan layout yang baik, pembaca dapat digiring atau
dinavigasi melalui informasi yang cukup kompleks, baik dalam
media cetak maupun elektronik.
Beliau juga menyatakan bahwa desain layout berhubungan
dengan grid dan menciptakan aturan, tetapi hal ini hanyalah “alat”
untuk bisa dieksploitasi. Sejatinya, desain layout adalah tentang
menginformasikan, menghibur, menuntun, dan memikat seorang
audiens.
17
Menurut Cullen (2005:62-68) di dalam bukunya, grid terbagi
menjadi 4, yaitu:
1. Single-Column Grids
Single-column grid adalah struktur grid yang paling dasar.
Grid ini menyediakan kerangka kerja komposisi yang
sederhana, yang cocok untuk menyajikan teks berkelanjutan
dalam jumlah besar.
2. Multiple-Column Grids
Multiple-column grids berisi beberapa interval spasial yang
menyediakan opsi komposisi yang tak berujung. Grid ini
fleksibel dan mengakomodasi berbagai elemen visual. Grid
ini cocok untuk proyek yang kompleks seperti buku,
majalah, dan publikasi yang mengandung konten yang
beragam.
3. Modular Grids
Modular grids adalah perpanjangan dari multiple-column
grids dengan penambahan garis aliran horizontal, yang
membagi halaman menjadi unit spasial atau modul-modul.
4. Alternative Grids
Alternative grids seringnya longgar dan organis dan sangat
bergantung pada penempatan intuitif elemen visual. Grid ini
sering dipakai jika grid dasar tidak dibutuhkan atau jika
kontennya memerlukan lebih banyak kompleksitas spasial.
Dalam proyek Tugas Akhir ini, layout dibutuhkan dalam
merancang kemasan produk, panduan bermain, dan lembar boneka
peri bunga. Layout yang dipakai dalam konten-konten permainan
tersebut adalah multiple-column grid. Memakai multiple-column grid
karena fleksibilitasnya yang dirasa cocok untuk mendesain sebuah
permainan dengan konsep baru.
2.1.1.8 Teori Namestyle
Seperti yang dilansir pada jurnal berjudul Namestyle Sebagai
Pencitraan Visual Sebuah Film Animasi karangan Kartika dan
Riyadi (2011:1323-1325), namestyle adalah tulisan yang terbentuk
18
dari kumpulan huruf, tanpa penambahan gambar tetapi
dimungkinkan untuk dimodifikasi dengan tujuan menonjolkan
tulisan tersebut. Umumnya namestyle memiliki petunjuk aplikasi
penggunaan.
Karakter tipografi akan memberikan gambaran visual yang
menyambut audiens dengan memberikan gambaran awal tentang
dunia fantasi suatu produk atau hasil karya – dalam proyek ini yaitu
produk permainan terkait. Menurut Kartika dan Riyadi, rangkaian
huruf dalam sebuah kata maupun kalimat, apalagi sebagai judul,
maka fungsi dan bentuknya sudah dikategorikan sebagai logo.
Sebagai logo, berarti berfungsi juga sebagai brand. Maka judul dan
desain visualnya berarti sebagai logo dan brand name harus
memiliki suatu makna dan kemampuan untuk menyuarakan suatu
citra ataupun kesan secara visual yang terkait dari produk tersebut.
Dengan melihat namestyle saja, calon audiens sudah bisa menebak
tema produk tersebut.
Dalam proyek ini peneliti ingin merancang desain visual
produk mainan boneka kertas yang bertema peri bunga. Berarti
namestyle dibutuhkan pada packaging, produk permainan, buku
panduan bermain, berikut implementasi-implementasinya.
Namestyle memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan logo.
Rencana namestyle pada produk ini berbunyi “Peri Bunga di Kebun
Belakang Rumahku”. Dikarenakan tema yang diangkat sekitar dunia
fantasi dan imajinasi anak-anak kecil perempuan khususnya
mengenai peri bunga, maka karakter huruf yang dipilih untuk
namestyle juga mengikuti style dari tema tersebut. Karakter huruf
yang digunakan yaitu huruf dekoratif yang memiliki kesan naturalis
melambangkan unsur alam karena mengangkat tema bunga, atau
huruf dekoratif yang memiliki kesan magical karena mengangkat
tema peri.
2.1.1.9 Teori Packaging
Menurut Calver (2007:7), packaging atau kemasan adalah alat
penjualan aktif yang dapat membuat kehadirannya terasa di tengah
19
pasar atau massa, dan menjual produk pada titik pembelian. Selain
itu, dengan keunggulan branding, kemasan seringkali merupakan
perwujudan hidup dari nilai-nilai dan kepribadian suatu merek.
Waktu dan upaya dihabiskan untuk mendefinisikan atribut dan
sifat-sifat ini, memahami persepsi konsumen tentang mereka, dan
kemudian memanipulasi desain kemasan untuk
mengkomunikasikannya. Desain kemasan memainkan peran
penting dalam memastikan persepsi konsumen terhadap merek yang
dicerminkan pada kemasan.
Di dalam bukunya, Calver (2007:6) juga memaparkan bahwa
fungsi utama packaging atau kemasan adalah untuk melindungi
produk, meningkatkan penampilan produk, dan memudahkan
distribusi produk.
Kemasan yang baik dapat membangun merek dan mendorong
penjualan. Peran desain grafis sangat penting dalam hal ini karena
seorang desainer bertanggungjawab menentukan desain kemasan
sebuah produk yang mana kemasan adalah sesuatu yang pertama
kali dilihat oleh konsumen. Citra baik atau buruknya suatu produk
dapat terdeteksi dan dinilai secara langsung oleh konsumen hanya
dari penampakan desain kemasannya.
Agar desain kemasan produk yang dikerjakan dalam proyek ini
menjadi lebih menarik dan memberikan keamanan pada produk,
penulis menggunakan material kardus berbentuk card box yang
kokoh sebagai cangkang luarnya, dimana di permukaan kardus
terdapat hasil desain berbasis ilustrasi. Konten permainan didesain
dalam material yang lebih kokoh daripada material boneka kertas
(BP) lainnya yang berada di pasaran.
2.1.1.10 Teori Ilustrasi
Menurut Zeegen (2005:12) gambar ilustrasi menangkap
imajinasi, yang membekas bagi audiens dan mengikat momen dalam
sejarah pribadi seseorang hingga masa kini. Dari mulai seorang anak
diperkenalkan pada buku-buku ilustrasi, hingga akhirnya mereka
beranjak dewasa dan melihat ilustrasi-ilustrasi dalam album CD,
20
ilustrasi memegang peranan dalam mendefinisikan momen-momen
penting dan periode waktu.
Zeegen (2005:65) juga menyebutkan bahwa ilustrasi berada di
suatu tempat diantara seni dan desain. Tidak pernah benar-benar
dianggap sebagai pelengkap seni yang benar-benar bulat seni, atau
sepenuhnya diizinkan untuk ada sebagai disiplin desain tunggal,
tanpa penyangga yang merupakan desain grafis, ilustrasi telah secara
terus menerus dimiliki oleh seniman maupun desainer. Ilustrasi telah
dicemooh atau disebut sebagai sesuatu yang aneh, tidak biasa namun
menarik bagi para seniman dan “nyeni” bagi para desainer.
Diantara sekian banyak jenis ilustrasi, di dalam proyek ini,
penulis menggunakan ilustrasi anak-anak. Menurut Ross (2012) di
dalam artikelnya yang berjudul Children’s Illustration Grows Up,
jika digarap dengan bagus, ilustrasi anak-anak adalah salah satu
media artistik yang paling kuat dan paling berpengaruh dari
semuanya, dan hal tersebut membuat semuanya menjadi lebih kuat
dengan fakta bahwa ilustrasi anak-anak adalah pengalaman pertama
yang akan dimiliki banyak orang tentang karya seni. Para ilustrator
anak-anak terbaik menyukai fakta bahwa anak-anak dapat memiliki
selera humor yang cukup gelap, menyukai hal-hal yang absurd dan
tidak masuk akal dan terpesona oleh hal-hal yang aneh atau sedikit
menakutkan. Tetapi anak-anak juga memiliki kebutuhan mendasar
akan keamanan dan keakraban. Misalnya, Max, pahlawan dari buku
berjudul Where The Wild Things Are karangan Maurice Sendak,
dimana di bukunya diceritakan bahwa sepanjang perjalanannya Max
terancam oleh binatang buas yang besar, tetapi pada akhirnya ia
kembali ke rumah yang aman, dimana makan malamnya sudah
menunggunya.
Selain aspek tersebut, ilustrasi anak-anak sangat kompleks
karena membutuhkan kreatifitas untuk membuat pekerjaan yang
sederhana tanpa menjadi sederhana. Bagi para seniman atau
ilustrator yang diposisikan dengan kuat di dalam dunia orang
dewasa, kembali kepada mitos, binatang, makhluk-makhluk ajaib
atau makhluk mitologi dan antropomorfisme, dapat membutuhkan
21
perubahan fokus yang cukup besar – namun itulah yang dibutuhkan
oleh banyak proyek anak-anak. Ilustrasi anak-anak dapat mencakup
segala hal mulai dari buku karton untuk balita hingga komik canggih
untuk remaja.
Dalam proyek permainan boneka kertas ini, penulis
menggunakan ilustrasi anak-anak yang dilatarbelakangi oleh aspek-
aspek seperti yang telah dibahas di dalam paragraf sebelumnya.
Dikarenakan ilustrasi anak-anak sangat berpengaruh dan merupakan
pengalaman pertama yang akan dimiliki banyak anak tentang karya
seni, penulis menyuguhkan ilustrasi yang menarik dengan tetap
mempertimbangkan keprihatinan tersebut. Aspek-aspek tidak masuk
akal dan absurditas yang disukai anak-anak dimunculkan dalam
ilustrasi permainan misalnya melalui tokoh peri bersayap yang
memang sejatinya adalah makhluk mitologi yang hanya tinggal di
negeri dongeng dan tidak masuk akal, selain itu juga dimunculkan
melalui peri-peri bunga yang sedang melakukan aktifitas menanam
bunga di kebun bunga berukuran kecil yang sebanding dengan
ukuran tubuh mereka, yang tersembunyi di antara rerumputan kebun
belakang rumah (ditunjukkan melalui ilustrasi pada latar pajangan
dalam permainan). Jika dilihat dari kacamata orang dewasa, peri
bunga sebenarnya adalah makhluk yang aneh dan sedikit
“menakutkan” berkaitan dengan citranya akan makhluk mitologi
yang berasal dari legenda masyarakat yang memiliki peran tertentu
dalam menyeimbangkan alam. Namun nilai aneh dan sedikit
menakutkan itulah yang biasanya justru menjadi daya tarik bagi
anak-anak.
Absurditas dan nilai sedikit menakutkan tersebut juga harus
diimbangi dengan hal-hal yang familiar karena anak tetap
membutuhkan keamanan dan keakraban. Keamanan dan keakraban
dimunculkan dalam permainan boneka kertas melalui kegiatan yang
familiar bagi anak seperti menanam bunga (adanya ilustrasi pakaian
dan aksesoris menanam) dan bermain (adanya ilustrasi pakaian
bermain).
22
Hal tersebut berkaitan erat dengan nilai antropomorfisme yang
dikandung dalam permainan. Menurut Laksmidewi dan Soelasih
(2016:1), antropomorfisme didefinisikan sebagai pengenaan ciri-ciri
manusia pada binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda mati. Ilustrasi
pakaian dan aksesoris menanam untuk peri bunga melambangkan
adanya unsur antropomorfisme dalam permainan boneka kertas ini,
yaitu pengenaan ciri-ciri manusia (melalui kegiatan yang dilakukan
serta style pakaian dan aksesoris) kepada tokoh peri. Dalam proyek
ini, ilustrasi anak-anak disajikan dalam bentuk permainan boneka
kertas (BP).
Selain daripada ilustrasi anak-anak, di dalam proyek ini,
penulis juga menggunakan style ilustrasi khayalan atau ilustrasi
fantasi karena tema yang diangkat pada proyek ini adalah peri bunga
yang merupakan makhluk mitologi yang hidup di dunia dongeng,
sehingga memiliki karakter ilustrasi yang imajinatif. Peri merupakan
makhluk mitologi yang banyak ditemukan dalam cerita-cerita
khayalan atau cerita dongeng (folklore).
Menurut Moffat (2008) dalam artikelnya yang berjudul The
History of Fantasy Art, berkaitan tentang kemunculan seni fantasi,
mitologi agama telah merajalela dalam gerakan seni dan karya-karya
seni sebelumnya tentang malaikat, setan, dewa, centaur, atau
makhluk serupa lainnya, yang dapat ditemukan dalam seni mitologis
Kristen dan seni Yunani dan Romawi. Hari ini, seni agama, mitologi,
dan fantasi secara kolektif telah direduksi menjadi “seni rakyat” (folk
art). Seni fantasi secara historis berakar pada mitologi, cerita rakyat
dan seni keagamaan dari seluruh dunia. Kita dapat melacak sejarah
seni fantasi kembali ke mitologi Yunani, mitologi Kristen, cerita
rakyat Cina, berbagai tradisi budaya dan mitos Afrika dan takhayul
tentang sihir. Buktinya adalah patung-patung dan tembikar yang
menggambarkan dewa, naga, setan jahat, roh, hantu, kekuatan alam,
malaikat, dan makhluk abadi yang heroik. Seni fantasi adalah
campuran imajinasi dan pengamatan langsung terhadap kenyataan.
Dalam seni fantasi dibutuhkan realitas dan menambahkan perasaan
ajaib, tidak realistis, fantastis, dan dreamy.
23
Dalam hal ini, begitu pula dengan ilustrasi fantasi. Ilustrasi
fantasi juga menggambarkan hal-hal yang memberikan perasaan
ajaib, tidak realistis, fantastis dan terkesan dreamy. Perasaan-
perasaan tersebut dapat terwakilkan melalui style ilustrasi yang
dipakai dalam proyek permainan yang dicanangkan penulis. Seperti
contohnya ilustrasi karakter peri bunga bersayap beserta tempat
tinggalnya yang berupa kebun bunga berukuran sangat kecil
(sebanding dengan kecilnya tubuh peri) yang tersembunyi diantara
rerumputan halaman belakang rumah. Selain morfologi tubuh dan
lokasi tempat tinggal karakter utama, style fantasi atau khayalan juga
tercermin dalam beberapa bentuk pakaian dan aksesoris peri bunga
yang menggunakan unsur alam (unsur-unsur bunga dan daun)
sebagai bahan dasarnya.
2.1.1.11 Teori Karakter
Menurut Brooks (2016:12-13), kita harus jelas pada aspek-
aspek kunci dari karakter, baik fisik maupun nonfisik. Terkadang
menghabiskan waktu menyempurnakan kepribadian karakter secara
tidak sengaja akan membentuk atribut fisik juga.
Beliau juga memaparkan bahwa pada saat mengembangkan
karakter, penting bagi seorang desainer untuk meluangkan waktu
untuk mempertimbangkan bagaimana karakter tersebut akan
berdampak, dan dipengaruhi oleh, dunia dan karakter-karakter lain di
sekitar mereka. Kepribadian karakter akan mempengaruhi atribut
fisiknya, dan sebaliknya. Agar lebih jelas, kepribadian karakter yang
akan dibuat dapat dikaji berdasarkan kesukaan, kebencian, motif dan
tujuan, serta kekurangan yang dimiliki masing-masing karakter.
Dikarenakan target audience dalam proyek ini adalah anak-anak
usia 5-9 tahun, penulis mengacu pada tipe karakter untuk usia muda.
Menurut Brooks (2016:46) di dalam bukunya, untuk membuat
karakter yang memberikan kesan usia muda, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan. Anak-anak dan bayi memiliki kepala yang lebih
besar daripada tubuh mereka jika dibandingkan dengan desain
karakter orang dewasa, jadi ingatlah itu ketika menggambar anak-
24
anak. Desainer bebas menggunakan hal tersebut sebagai fitur untuk
menonjolkan tampilan seperti anak kecil. Anggota tubuh anak-anak
juga sedikit lebih gemuk ketika mereka masih sangat muda, dan
ketika mereka menjadi remaja, proporsi mereka mulai bergerak lebih
mirip seperti orang dewasa. Ada beberapa trik yang dapat dipakai
untuk membuat karakter anak-anak yang dapat memberikan kesan
“lucu”, yaitu:
• Mata yang besar, bulat, dan berkilau.
• Pipi dan rahang yang lembut (tidak tegas) dan melengkung.
• Pipi yang bulat dan sintal.
• Pipi atau hidung yang merona.
Dalam pengerjaan proyek ini, jenis karakter yang dipilih adalah
lima (5) peri bunga yang berjenis kelamin perempuan, nama-
namanya adalah nama-nama bunga, berusia 6-8 tahun, serta
memiliki warna kulit lokal, dan watak serta kepribadiannya
mengikuti masing-masing jenis bunga yang menjadi identitasnya.
Masing-masing peri bunga memiliki kepribadian yang unik yang
mampu menjadi pembeda antara peri bunga yang satu dengan yang
lainnya. Kepribadian masing-masing peri bunga juga berpengaruh
terhadap atribut fisik yang meliputi bentuk-bentuk pakaian dan
aksesoris hingga gestur tubuh. Karena permainan boneka kertas
ditujukan terutama untuk anak perempuan usia 5-9 tahun, maka
penggambaran karakter yang berupa peri bunga lebih menggunakan
ilustrasi bentuk tubuh yang sesuai dengan target pasar yaitu anak-
anak kecil perempuan dengan tubuh yang lebih ramping dan lebih
tinggi sedikit daripada balita. Kepala peri bunga berukuran lebih
besar dibandingkan dengan ukuran tubuh mereka untuk
memberikan kesan muda. Memiliki mata yang besar, bulat, dan
berkilau, bentuk rahang yang melengkung dan tidak tegas, dengan
pipi yang bersemu-semu untuk memberikan kesan menggemaskan.
Pada anggota-anggota tubuh, pakaian, dan ilustrasi secara
keseluruhan sudah mulai ada detail yang terbentuk, bentuk tubuh
25
juga sedikit lebih proporsional, dengan warna yang sedikit lebih
kompleks dan lebih ada kedalamannya dibandingkan karakter
ilustrasi untuk balita.
2.2 Tinjauan Umum
2.2.1 Sumber Data
2.2.1.1 Literatur Buku
Pencarian data diperoleh dari buku berupa materi yang
berhubungan dengan tema topik yang diangkat, yaitu:
• Buku Bermain, Mainan, dan Permainan Untuk Pendidikan
Usia Dini yang ditulis oleh Mayke S. Tedjasaputra, diterbitkan
oleh Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia), pada tahun
2001.
• Buku Celestial Art: The Fantastic Art of Josephine Wall
(Gothic Dreams), yang ditulis oleh Joseph Simas, diterbitkan
oleh Flame Tree Publishing, pada tahun 2015.
• Buku Galeri Tanaman Hias: Bunga, yang ditulis oleh Juwita
Ratnasari, diterbitkan oleh Penebar Swadaya, pada tahun 2007.
• Buku The Power of Paper in Graphic Design, yang ditulis oleh
Catharine Fishel, diterbitkan oleh Rockport Publishers, pada
tahun 2002.
2.2.1.2 Literatur Internet
Beberapa pencarian dilakukan melalui artikel yang tersebar di
internet, yang berhubungan dengan tugas akhir ini untuk
diterapkan, yaitu:
• Artikel A Brief History of Fairies dalam daring 5 Minute History
(https://www.fiveminuteshistory.com/)
• Artikel Fairy Flower Garden: A Guide to Attracting Fairies to
Your Garden dalam daring Gardenfairy.com.
• Artikel Dulunya Bukan untuk Mainan, Inilah Sejarah Boneka
dari Dulu Hingga Sekarang, yang ditulis oleh Aan Madrus
26
dalam daring majalah anak-anak Bobo (https://www.bobo.id),
pada tanggal 30 April 2018.
• Artikel Permainan Edukatif: Jenis dan Manfaat Mainan Edukasi
Anak yang Mendidik, yang ditulis oleh Ibnu Aji Setyawan dalam
daring GuruDigital.id, pada tanggal 24 Desember 2018.
• Artikel Collectible, yang ditulis oleh James Chen dalam daring
Investopedia (https://www.investopedia.com), pada tanggal 14
Januari 2020.
2.2.1.3 Wawancara
• Ni Putu Srinadi (Playtherapist / Certified Practitioner in
Therapeutic Play Skill)
• Familia Kreativa (komunitas penyedia produk edukatif dan
kreatif untuk anak Indonesia) melalui Devi Arifiani Azhar
(CEO).
• Dwi Astuti Wulansari (Guru Kelas 2 SD Bosowa Bina Insani,
Bogor)
2.2.1.4 Survei
Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh melalui
kuesioner yang disebarluaskan secara online dan offline, serta melalui
survei langsung ke tempat yang bersangkutan dengan topik.
1. Kuesioner online untuk orangtua yang disebarluaskan kepada:
• Umum (yang sesuai dengan target market)
• Orangtua murid TK Bosowa Bina Insani, Bogor
2. Kuesioner offline untuk orangtua yang disebarluaskan kepada:
• Orangtua murid SD Bosowa Bina Insani, Bogor
3. Kuesioner online untuk anak yang disebarluaskan kepada:
• Umum (yang sesuai dengan target market)
27
4. Kuseioner offline untuk anak yang disebarluaskan kepada:
• Siswi TK Bosowa Bina Insani, Bogor (kelas nol besar /
kelompok B)
• Siswi SD Bosowa Bina Insani, Bogor (kelas 1-3)
2.2.2 Data Umum
2.2.2.1 Hasil Wawancara dengan Playtherapist
Penulis bertemu dan mewawancarai salah seorang
playtherapist yang berbasis di Jakarta, yaitu Ibu Ni Putu Srinadi.
Beliau merupakan seorang playtherapist atau terapis anak-anak
yang berkonsentrasi pada media mainan sebagai alat terapinya.
Beliau memiliki latarbelakang pendidikan psikologi dan juga
merupakan praktisi tersertifikasi dalam therapeutic play skill.
Dalam proyek ini, penulis membutuhkan perspektif Ibu Ni Putu
Srinadi dari sisi psikologis untuk mendukung ketepatan dan
membantu memberikan dasar yang valid terhadap proyek
permainan yang dicanangkan.
Menurut Ibu Ni Putu Srinadi atau yang biasa dipanggil Ibu
Putu, dunia anak merupakan dunia yang menarik, pada saat anak-
anak itulah pertumbuhan emosi dan kognitif terjadi. Anak sangat
penting mendapatkan stimulasi. Salah satu cara stimulasi yang baik
yaitu dengan bermain. Melalui bermain anak dapat belajar
memecahkan masalah, mengelola emosi, dan belajar untuk
berusaha. Permainan banyak macamnya, ada permainan
konstruktif, role play, permainan fungsionil, permainan dengan
peraturan, dan sebagainya. Ketika masih dalam usia dini, anak
cenderung masih meraba-raba.
Banyak teori permainan yang sudah dikaji dari lama seperti
contohnya teori kognitif dan teori psiko-analisa. Teori psiko-
analisa ditunjukkan melalui alam bawah sadar yang terjadi di
dalam diri anak yang sedang bermain. Pada saat anak sedang
bermain, sebenarnya ia juga sekaligus sedang mengurangi
ketegangan-ketegangan yang dialami dan didapatkan di dalam
permasalahan kehidupan sehari-hari. Selain teori-teori lama, ada
28
juga teori baru yang digagas oleh Sue Jennings. Sue Jennings
menyebutkan bahwa pada tahap perkembangan anak, pertama-
tama anak memasuki proses mengenal dan memahami terlebih
dahulu. Misalnya mengenal jenis bentuk, tekstur, dan sebagainya.
Di tingkat yang lebih tinggi, anak mulai mengklasifikasi objek.
Misalnya dengan mengelompokkan objek yang memiliki
persamaan warna, bentuk, ukuran, profesi, dan lain-lain. Pada usia
7 atau 8 tahun biasanya anak sudah mulai role play atau bermain
peran, seperti masak-masakan, sekolah-sekolahan, atau dokter-
dokteran. Selain teori itu, ada lagi pendapat Jung yang
menyatakan bahwa ketika anak melakukan pola gerakan yang
sama dalam suatu permainan secara berulang-ulang, sebenarnya
ada tekanan (stress) atau trauma dalam alam bawah sadar anak
berupa bayangan masa lalu yang gelap yang sedang berusaha
disembuhkan.
Permainan pada anak perempuan dan anak laki-laki memiliki
peran dan pendekatan secara psikologis yang berbeda, yang juga
dapat ditentukan oleh pola asuh orang tua di rumah. Misalnya anak
perempuan menjadikan tokoh ibu sebagai model. Ibu mengajarkan
pada anak perempuan bermain masak-masakan, sekolah-sekolahan
dan sejenisnya. Sedangkan anak laki-laki lebih diajarkan untuk
bermain mobil-mobilan dan sejenisnya.
Berdasarkan topik penelitian yang diambil dalam proyek ini,
permainan boneka kertas adalah contoh permainan role play.
Permainan boneka kertas bisa menjadi bahan bagi anak usia 5-9
tahun dalam melakukan role play sebagai bagian dari
perkembangan dramatisnya. Di dalamnya anak dapat menentukan
sendiri peran apa yang akan dipilihnya. Selain itu proyek
permainan boneka kertas merupakan jenis permainan imajinasi.
Boneka kertas dapat menstimulasi imajinasi anak. Imajinasi pada
anak sangat penting, karena bermanfaat untuk membangun
kreativitas (daya cipta) anak. Permainan boneka kertas juga dapat
membuat anak belajar hal baru, karena memiliki konten edukasi
yang mengenalkan jenis-jenis bunga. Selain itu, permainan boneka
29
kertas juga dapat membantu meregulasi situasi emosi dan
ketegangan-ketegangan yang dialami anak dalam kehidupan
sehari-hari, melalui kegiatan konstruktif (merakit, membongkar
pasang) yang dilakukan anak dalam permainan.
Untuk target pasar anak usia dini, jenis-jenis bunga dan
karakter-karakter peri bunga yang diangkat di dalam permainan
sebaiknya menggunakan sistem cara bermain atau istilah-istilah
yang lebih sederhana. Jenis bunga yang bisa dipakai misal bunga
mawar, bunga melati, bunga matahari, atau jenis-jenis bunga yang
lebih umum dan lebih lumrah didengar serta tidak asing bagi anak
usia dini. Karena pola pemahaman anak usia dini belum dapat
mencapai konsep yang lebih kompleks daripada itu. Ketika
menggunakan jenis-jenis bunga endemik Indonesia misalnya,
dengan pelafalan yang rumit dan jarang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari seperti edelweiss, Raflesia arnoldii, atau
katelya misalnya, anak usia dini akan menemukan kendala. Selain
dari segi istilah, dari segi jumlah juga harus diperhatikan. Anak
usia dini cenderung masih belajar dengan pola yang sangat
sederhana sehingga pastikan tidak terlalu banyak jumlah jenis
bunga yang diusung dalam permainan. Diatas usia 9 anak baru
mulai memahami konsep yang lebih kompleks.
Dalam kaitannya dengan konsep warna yang digunakan dalam
proyek permainan, anak usia 5-9 tahun sudah dapat
mengklasifikasikan warna-warna yang ia jumpai di sekitarnya.
Konsep warna menjadi salah satu unsur yang diperhatikan dalam
proyek ini karena jenis-jenis bunga yang dikenalkan dapat
dibedakan oleh anak menurut warnanya. Dari usia 2 sampai 3
tahun warna sudah lebih dulu diperkenalkan dan dikuasi oleh anak,
sehingga anak-anak yang berusia diatas 3 tahun biasanya sudah
memiliki pengetahuan dasar yang memadai tentang warna.
Dalam memilih sesuatu (dalam proyek ini misalnya memilih
figur peri tertentu untuk dimainkan), anak-anak memiliki
kebebasan penuh yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar masing-
masing. Sama seperti manusia dewasa pada umumnya, saat
30
disuguhkan beberapa objek atau figur, anak akan tertarik kepada
objek atau figur yang paling “memanggil” mereka. Antara anak
yang satu dengan lainnya bisa memiliki preferensi yang berbeda.
Misalnya ada anak yang lebih tertarik pada bunga mawar, tetapi
ada juga yang lebih tertarik pada bunga melati. Ada yang lebih
menyukai warna merah, ada juga yang lebih menyukai warna biru.
Ada juga objek atau figur yang cenderung dipilih atau diambil
berkali-kali oleh seorang anak, yang juga disebabkan dan
dipengaruhi oleh alam bawah sadar anak.
Secara teknis, karena proyek ini adalah permainan konstruktif
yang membutuhkan keterampilan merobek dan melipat kertas,
anak usia dini cenderung tidak menemukan masalah atau kesulitan
dalam hal tersebut, atau dapat dibimbing dan dicontohkan terlebih
dahulu oleh orangtua atau kakaknya.
Secara bahasa, untuk bahasa pengantar permainan
menggunakan bahasa Indonesia yang sangat sederhana dan jangan
ada yang berkonotasi negatif. Hindari memakai istilah yang asing
dan kurang dipahami anak usia dini. Dalam menyampaikan
informasi edukasi, dibandingkan dengan memaparkan informasi
berupa kalimat fakta, leburkan kalimat informasi tersebut ke dalam
konteks yang lebih sederhana, yang dapat lebih mudah dimengerti
oleh anak. Misalnya kalimat “Bunga mawar hidup di dataran
tinggi”, diganti menjadi “Bunga mawar ada di gunung”, dan
seterusnya. Kemampuan berpikir anak usia 5-9 tahun masih
terbatas pada konsep yang disebut konkret-operasional. Diatas 12
tahun anak baru dapat mengerti pola pikir abstrak-konseptual.
31
Gambar 2.2 Foto Wawancara dengan Ibu Ni Putu Srinadi,
Playtherapist yang membantu memberikan dasar psikologis dalam
permainan
(Sumber: Dok. Pribadi)
2.2.2.2 Hasil Wawancara dengan Komunitas Penyedia Produk
Edukatif dan Kreatif untuk Anak
Gambar 2.3 Logo Familia Kreativa
(Sumber: familiakreativa.blogspot.com)
Familia Kreativa adalah komunitas dari Bojongsoang,
Bandung, Jawa Barat yang memproduksi konten dan produk-
produk kreatif dan edukatif untuk anak Indonesia yang dapat
membantu mengasah daya kreativitas anak serta meningkatkan
kelekatan antara orang tua dan anak. Contoh produknya yaitu
boneka kertas (Paper Dolls), Stiker Doa, Poster Asmaaul Husna,
Kartu Sensa, Poster Adab, buku aktivitas anak serta printable-
printable edukatif gratis yang dapat diunduh di blog mereka.
Selain produk-produk tersebut, awalnya Familia Kreativa adalah
penulis buku-buku aktivitas (workbook) untuk anak dan orangtua
32
yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo, tetapi seiring
berjalannya waktu akhirnya Familia Kreativa berdiri secara
mandiri. Kini produk-produk bernuansa edukasi dan kreativitas
yang diproduksi oleh Familia Kreativa dapat diperoleh konsumen
melalui reseller yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penulis mewawancarai secara langsung pendiri komunitas
Familia Kreativa yaitu Ibu Devi Arifiani Azhar.
Gambar 2.4 Wawancara dengan Ibu Devi Azhar, Pendiri Komunitas
Familia Kreativa
(Sumber: Dok. Pribadi)
Berdasarkan wawancara mengenai latar belakang produk yang
dilakukan dengan Ibu Devi, Ibu Devi menerangkan bahwa target
audiens Familia Kreativa biasanya adalah perempuan atau orangtua
murid berusia 23 – 36 tahun, memiliki latar belakang pendidikan
Strata 1 dan Strata 2, peduli terhadap dunia pendidikan anak,
cenderung ibu rumah tangga meski sebagian berkarir dan memiliki
anak dalam rentang usia 2 – 9 tahun, dimana produk Familia
Kreativa tersebut nantinya akan dimainkan oleh anak-anak di dalam
rentang usia tersebut. Produk-produk Familia Kreativa dibandrol
33
dengan harga yang cukup terjangkau untuk kalangan menengah
sampai keatas.
Berkaitan dengan topik penelitian mengenai seberapa penting
produk edukasi dan kreatifitas untuk anak, menurut Ibu Devi,
pentingnya materi belajar atau produk edukasi bisa dilihat dari
berbagai dimensi, salah satunya penting karena bisa membantu
mendukung perkembangan anak dengan menstimulus beragam aspek
inderawi sang anak. Beliau menyatakan bahwa minat masyarakat
terhadap produk edukasi dan kreativitas untuk anak-anak cukup
besar, meski Familia Kreativa belum memetakan data pasti secara
kuantitas, namun animo masyarakat terhadap produk edukasi dan
kreativitas anak rasanya cukup besar. Namun jika dibandingkan
dengan populasi masyarakat (contoh: Bandung – tempat komunitas
berdiri) perbandingannya masih kecil namun terus bertumbuh, hal ini
mengindikasikan bahwa minat masyarakat terhadap produk edukasi
dan kreativitas anak sangat berpotensi untuk berkembang dari segi
kuantitas.
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan gawai, Familia
Kreativa dapat mengatakan bahwa produk edukasi dan kreativitas
non-digital masih menarik bagi orangtua dan masyarakat dari
kalangan tertentu. Mereka masih tertarik untuk membelikan anak-
anaknya produk edukasi dan kreativitas non-digital. Justru para
orang tua lah yang paham akan membelikan alternatif permainan
atau produk yang bersifat riil dan dapat disentuh dan diraba oleh
anak-anak. Hal ini dilakukan untuk meng-counter dampak negatif
berlebihan yang ditimbulkan oleh gawai.
Sebagai penyedia produk edukasi dan kreatif untuk anak-anak
di Indonesia, tentunya ada keuntungan dan kendala tersendiri yang
dialami Familia Kreativa. Keuntungan yang didapatkan seperti
misalnya ada sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai jika produk
yang dihasilkan bisa menemani masa kecil anak-anak dengan nuansa
positif. Sedangkan kendalanya biasanya dari aspek ide-ide baru yang
harus dieksplorasi agar bisa disajikan dalam bentuk produk atau
permainan yang tepat untuk anak-anak. Kendala lain mungkin
34
muncul dari aspek penjualan, misalnya sosialisasi tentang produk,
penyerapan produk dan distribusi produk ke pasar.
Dalam memproduksi poster, kartu, boneka kertas, sticker, dan
lain-lain, Familia Kreativa menggunakan sistem produksi pada
umumnya. Di fase pra-produksi semua kru terlibat disini, mulai dari
mencari insight, tema, keyword, gaya tutur, referensi dan beragam
aspek yang perlu dicari, diteliti dan disarikan untuk mendapat
produk yang dibutuhkan anak-anak. Di fase produksi melibatkan
desainer dan tim proofreader, biasanya memakan waktu 2 sampai 4
pekan, hingga master Final Artwork jadi, dan 2 sampai 4 pekan
tambahan untuk mencetak produk hingga dikemas rapi. Dalam fase
ini kendala yang umum ditemukan adalah proses packing yang tidak
sempurna dimana produk Paper Dolls misalnya, oleh percetakan
belum sempat dipotong-potong menjadi bentuk lembaran-lembaran
dan belum sempat dibungkus plastik, dimana di waktu yang
bersamaan Familia Kreativa juga harus mengejar deadline distribusi.
Di fase pasca-produksi Familia Kreativa menjual produk dan
mendistribusikannya ke reseller di seluruh Indonesia.
Berkaitan dengan topik yang diangkat oleh penulis, Familia
Kreativa memaparkan bahwa untuk menciptakan produk edukasi
dan kreativitas untuk anak-anak yang menarik, produsen harus
memerhatikan dari segi desain visual. Produk edukasi yang baik
adalah yang menarik secara visual, memiliki bentuk yang sederhana
dan mudah dipegang dan digunakan, cenderung memiliki warna
yang cerah dan obyek gambar yang tidak terlalu kompleks. Dan
yang pasti harus aman untuk digunakan karena ditujukan untuk
anak-anak usia dini.
Berhubung Familia Kreativa juga memproduksi mainan
edukatif boneka kertas yang dinamai Paper Dolls, penulis
mendapatkan informasi seputar produk tersebut dari Ibu Devi.
Menurut Ibu Devi, awal mula tercetus ide untuk memproduksi Paper
Dolls dikarenakan keprihatinan pribadi melihat mainan boneka
kertas murah yang beredar di pasar lokal pada umumnya memiliki
karakter dari negara luar yang berpakaian kurang sopan atau kurang
35
cocok ditujukan pada anak. Ibu Devi sendiri adalah ibu dari tiga (3)
orang anak usia dini sehingga sangat peka akan pentingnya
memberikan konten yang mendidik untuk anak. Berangkat dari
keprihatinan itulah Familia Kreativa memutuskan untuk
memproduksi boneka kertas dengan kualitas premium yang memiliki
karakter yang berpakaian sopan dan relevan dengan kehidupan
sehari-hari anak Indonesia. Paper Dolls dibandrol dengan harga Rp
25.000,- yang terdiri dari enam (6) lembar dengan karakter atau
tokoh yang berbeda-beda di setiap lembarnya. Hingga saat ini Paper
Dolls sudah dirilis dalam dua (2) edisi yaitu edisi reguler dan edisi
Ramadhan. Di dalam edisi reguler terdapat gambar anak-anak
dengan pakaian sekolah, pakaian bermain, pakaian olahraga, dan
pakaian profesi. Di dalam edisi Ramadhan terdapat gambar anak-
anak melakukan aktifitas-aktifitas di bulan Ramadhan serta gambar
transportasi mudik.
Gambar 2.5 Mainan Paper Dolls (Boneka Kertas) yang diproduksi
oleh Familia Kreativa.
(Sumber: Dok. Pribadi)
Penulis juga berkesempatan bertemu dan mewawancarai
desainer grafis Familia Kreativa yaitu Pak Yanuar Rahman. Menurut
Pak Yanuar, Familia Kreativa memiliki signature atau ciri khas
berupa warna-warna vibrant dan cheerful dalam desain visualnya
seperti kuning, merah, oranye, dan biru seperti yang ada pada logo.
Selain main color ada juga warna-warna turunannya yang juga
merupakan warna vibrant. Pemilihan warna tersebut karena secara
36
umum anak-anak cenderung lebih menyukai warna-warna mencolok.
Paper Dolls didesain seluruhnya oleh Pak Yanuar dalam jangka
waktu 7 sampai 10 hari dari mulai ide awal hingga desain final.
Perancangan visual berangkat dari saran-saran customer dan solusi
terhadap keprihatinan melihat bongkar pasang kebarat-baratan yang
beredar di pasar lokal. Desainer memiliki keinginan untuk
mengembangkan Intellectual Property (IP) tentang kisah dua anak
homeschooling bernama Aluna dan Hanami. Walaupun konsepnya
belum terbilang besar dan solid, namun Familia Kreativa sudah
memiliki semesta (universe) cerita untuk tokoh-tokoh di dalam
desain produknya.
Dalam memproduksi Paper Dolls, tentunya diperlukan studi
karakter. Karakter-karakter yang dipakai oleh Familia Kreativa
disesuaikan dengan target pasar mereka, yaitu anak-anak usia 2
sampai 6 tahun yang pada umumnya adalah anak Indonesia, dan
pada khususnya adalah anak muslim Indonesia. Walaupun pada
kenyataannya juga dapat menjangkau pasar universal. Dalam setiap
produk-produknya, – tidak hanya Paper Dolls melainkan juga buku
dan lain-lain – Familia Kreativa sudah memiliki karakter utama yang
dijadikan sebagai maskot, yaitu tokoh bernama Aluna dan Hanami.
Di dalam Paper Dolls ini, Aluna dan Hanami muncul bersama
dengan tokoh-tokoh lain yang merupakan teman-teman Aluna dan
Hanami. Karena menyesuaikan target pasar, maka dalam mendesain
karater Aluna, Hanami, dan teman-temannya, desainer memilih
karakter bergaya “chibi” yang identik dengan bentuk tubuh yang
pendek, imut, berkepala besar, dan bermata besar. Namun untuk
desain pakaiannya desainer juga memasukkan kostum profesi,
sekolah, dan lain-lain.
37
Gambar 2.6 Penulis Bersama Ibu Devy (CEO) dan Pak Yanuar
Rahman (Desainer Grafis) Familia Kreativa, serta Produk-Produk
Familia Kreativa
(Sumber: Dok. Pribadi)
Pemilihan judul Paper Dolls dikarenakan lebih mampu
menggiring visualisasi masyarakat terhadap mainan bongkar pasang
(BP) yang umum dikenal di Indonesia, dibandingkan menamainya
dengan sebutan Boneka Kertas (bahasa Indonesia). Boneka Kertas
bisa bermakna luas dan memiliki arti bermacam-macam, seperti
contohnya origami dan lain-lain, yang dikhawatirkan tidak mampu
menyampaikan tujuan yang dimaksud kepada pasar secara efektif.
Alasan utama yang paling membuat Paper Dolls laku di pasaran
adalah aspek nostalgia. Paper Dolls adalah produk mainan nostalgia
yang bermanfaat untuk story-telling dan role-playing. Produk ini
paling diminati oleh orang tua yang melewati masa 90-an dan
mereka ingin mengajak anak-anaknya untuk bisa mengalami masa
itu. Keunggulan lain mainan ini adalah menjadi alternatif mainan
digital atau mainan gawai. Menurut Pak Yanuar, semakin tinggi latar
belakang ekonomi orangtua, semakin tinggi juga kesadaran mereka
akan pentingnya permainan non-digital untuk anak-anaknya, seperti
contohnya Paper Dolls.
Paper Dolls seri pertama Familia Kreativa berhasil diserap
pasar sebanyak 20.000 eksemplar dalam waktu kurang dari dua (2)
38
bulan, yang mana untuk ukuran produk mainan berarti itu cukup
diminati, dan hingga saat ini setiap bulannya selalu ada pembelian
terhadap Paper Dolls ini. Menurut Pak Yanuar, harga Rp 25.000,-
untuk satu set Paper Dolls sudah cukup profitable, sudah mampu
meng-cover biaya produksi dan biaya penjualan, termasuk di
dalamnya ide dan kreativitas desainer grafis. Respon pembeli
terhadap Paper Dolls juga sangat positif.
Gambar 2.7 Penulis Bersama Tim Familia Kreativa di Markas
Familia Kreativa
(Sumber: Dok. Pribadi)
2.2.2.3 Hasil Wawancara dengan Pengajar Sekolah Dasar (SD)
Penulis bertemu dan mewawancarai salah seorang guru dari SD
Bosowa Bina Insani Bogor bernama Ibu Dwi Astuti Wulansari atau
biasa dipanggil Ibu Dwi. Beliau adalah guru yang berpengalaman
mengajar murid-murid kelas 1 sampai dengan kelas 4. Dalam proyek
39
ini, penulis membutuhkan perspektif Ibu Dwi dari sisi pendidikan
tentang jenis-jenis bunga bagi murid kelas 1 sampai kelas 3 (usia 5-9
tahun) untuk mendukung ketepatan dan membantu memberikan
dasar dari sisi edukasi yang valid terhadap proyek permainan edukasi
yang dicanangkan.
Gambar 2.8 Wawancara dengan Ibu Dwi Astuti, Guru Kelas 2
SD Bosowa Bina Insani – Bogor.
(Sumber: Dok. Pribadi)
Sekolah Dasar Bosowa Bina Insani – Bogor adalah sekolah
dasar swasta di Kota Bogor dengan akreditasi A, dimana murid-
muridnya berasal dari latarbelakang ekonomi menengah keatas (SES
B-A).
Berkaitan dengan topik Tugas Akhir yang dicanangkan oleh
penulis yaitu mainan edukasi, menurut Ibu Dwi, peran mainan
edukasi dalam pengajaran sangatlah penting. Anak-anak butuh
bermain untuk melatih daya konsentrasi, kemampuan bekerjasama,
dan melatih mereka agar mau bergantian dengan anak yang lain. Di
40
dalam kelas, Ibu Dwi juga menyediakan permainan seperti catur dan
congklak untuk anak-anak. Tujuannya adalah untuk
memperkenalkan mainan tradisional kepada anak-anak. Ibu Dwi
setuju bahwa produk atau mainan edukasi dan kreatifitas non-digital
atau tradisional sangat penting untuk perkembangan anak, di tengah
maraknya hiburan dan permainan gawai di era kemajuan teknologi.
Dari pihak sekolah bahkan telah melakukan sosialisasi terhadap
murid-murid berkenaan dengan dampak penggunaan gawai yang
berlebihan.
Permainan boneka kertas (bongkar pasang) yang diusung oleh
penulis memiliki tema edukasi mengenai jenis-jenis bunga. Untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan anak-anak usia 5 sampai 9
tahun terhadap jenis-jenis bunga, Ibu Dwi memaparkan bahwa
murid kelas 1 sampai dengan kelas 3 (usia 5-9 tahun) belum
diajarkan tentang bunga-bunga-an di sekolah. Jenis-jenis bunga
tidak ada di dalam materi pembelajaran kelas 1 sampai dengan kelas
3. Murid baru akan mendapatkan pelajaran mengenai bunga pada
saat ia memasuki kelas 4, 5, dan 6. Itupun lebih menitikberatkan
kepada morfologi (pengetahuan tentang bentuk) bunga itu sendiri,
dibandingkan pengetahuan tentang jenis-jenisnya. Jenis-jenis bunga
sudah mulai diajarkan di kelas 4, 5, dan 6, namun sebatas pada
bunga yang umum dan sederhana saja, seperti mawar, bunga sepatu,
dan lain-lain.
Materi pembelajaran mengenai bunga untuk kelas 1 sampai
kelas 3 SD masih berkonsentrasi sebatas pada penanaman rasa
kasih sayang terhadap lingkungan dan makhluk hidup lain seperti
tumbuhan, hewan, dan sebagainya. Misalnya mengajarkan kepada
murid-murid bahwa kita harus menyayangi makhluk hidup lain
seperti tumbuhan (bunga), yang caranya adalah dengan merawat
mereka. Merawat bunga dilakukan dengan menanam bunga dan
menyiram bunga. Jadi murid-murid masih diajarkan tentang
perasaan cinta kasih terhadap alam sekitar secara umum, belum
spesifik pada pengetahuan tentang bunga itu sendiri. Materi
pembelajaran yang dimaksud masih termasuk ke dalam pelajaran
41
Bahasa, yang meliputi cerita-cerita, lagu-lagu, dan sebagainya. Tidak
ada perbedaan signifikan antara kelas 1, kelas 2, maupun kelas 3
berkaitan tentang pengetahuan murid-murid terhadap bunga.
Menurut Ibu Dwi, jenis-jenis bunga yang cocok diperkenalkan
dan dipelajari oleh murid-murid kelas 1 sampai 3 SD adalah jenis-
jenis bunga yang sederhana seperti contohnya bunga mawar, melati,
dan anggrek. Bunga sepatu masih termasuk kurang familiar di
telinga murid-murid karena jarang ditemukan di kehidupan nyata di
lingkungan sekitar.
Berdasarkan pengalaman pribadi Ibu Dwi, kendala yang
dialami guru dalam mengajarkan materi tentang bunga kepada
murid-muridnya adalah sulitnya bunga itu sendiri untuk tumbuh
dengan baik di lingkungan perkotaan. Misalnya pada saat Ibu Dwi
ingin mengajarkan tentang morfologi dan pengelompokkan bunga
kepada murid-murid kelas 3 ke atas, Ibu Dwi membeli lima (5) bibit
bunga mawar namun dari ke-lima bibit mawar tersebut hanya satu
(1) yang berhasil tumbuh. Dengan adanya pengalaman tersebut,
tujuan guru memperkenalkan fisik bunga secara nyata di depan
murid-murid menjadi kurang tersampaikan dengan efektif.
Berdasarkan kejadian nyata yang dialami oleh murid kelas 2
bimbingan Ibu Dwi, kelemahan dari belum adanya pengajaran
tentang jenis-jenis bunga membuat murid hanya mengetahui bunga
sebatas pada satu bentuk umum itu saja, dan justru membuat murid-
murid menjadi bosan dan protes terhadap guru mengapa bunga
melulu.
Kegiatan sekolah yang pernah dilakukan yang melibatkan
interaksi langsung antara anak dengan tumbuhan (bunga) yaitu
berjalan-jalan untuk melihat berbagai macam bunga dan tanaman
yang ada di lingkungan sekolah. Selain itu ada juga menanam jagung
di dalam pot, yang mana kemudian jagungnya dijadikan sebagai
bahan kolase.
Dibandingkan dengan jenis-jenis bunga, menurut Ibu Dwi,
anak-anak kelas 1 sampai dengan kelas 3 lebih mengenal dan lebih
peka terhadap istilah dan jenis-jenis warna.
42
Berkaitan dengan topik edukasi yang diberikan terhadap target
pasar dalam proyek permainan boneka kertas ini, Ibu Dwi
berpendapat bahwa pemakaian kalimat edukasi seperti “Bunga X
hidup di dataran tinggi” masih terlalu susah untuk dipahami murid
kelas 1 sampai 3. Kalimat-kalimat yang ada di buku pelajaran
sebenarnya sudah tergolong mudah, namun pada kenyataannya di
lapangan, murid-murid masih banyak yang belum paham dan
bertanya lagi kepada guru. Jika ingin ada edukasi mengenai
karakteristik bunga seperti tempat tumbuh bunga, cahaya yang
dibutuhkan bunga, atau pengairan pada bunga, permainan boneka
kertas tersebut berarti butuh melibatkan bimbingan langsung dari
orangtua. Anak-anak akan lebih paham dengan kalimat seperti
“Bunga X tumbuh di gunung”. Selain itu, anak-anak juga lebih
memahami konsep akan suatu objek melalui, contohnya lagu.
Mereka akan ingat dengan bunga mawar dan melati karena terdapat
dalam salah satu lagu anak-anak, dan contoh lainnya misalnya
mereka akan ingat dengan pohon cemara yang tinggal di gunung
karena juga terdapat di dalam salah satu lagu anak-anak. Menurut
Ibu Dwi, anak-anak kelas 1 sampai 3 pada umumnya masih belum
bisa serius, berbanding terbalik dengan materi yang tinggi yang
diberikan oleh kurikulum. Anak baru mulai terlihat potensinya dari
mulai menginjak usia 7 tahun keatas. Dibawah itu anak-anak masih
fokus pada bermain.
Dalam kaitannya dengan peran visual dalam edukasi, menurut
Ibu Dwi pemakaian ilustrasi dalam edukasi sangat penting untuk
menarik perhatian dan minat anak. Gambar ilustrasi dalam buku
pelajaran misalnya, lebih menarik bagi anak dibandingkan hanya
berisi teks saja. Pada usia 5 sampai 9 tahun, adalah puncaknya
anak-anak menyukai kegiatan menggambar atau yang melibatkan
gambar atau ilustrasi. Ibu Dwi setuju bahwa permainan edukatif
yang menggunakan eksplorasi ilustrasi efektif bagi anak-anak usia 5
sampai 9 tahun.
Kemampuan anak-anak usia target dalam melakukan kegiatan
yang merangsang motorik halus mereka seperti menggunting,
43
melipat, menempel, dan sebagainya dinilai sudah cukup mampu. Jika
ada kegiatan atau permainan yang melibatkan hal-hal tersebut
umumnya mereka menunjukkan ketertarikan. Menurut Ibu Dwi,
kegiatan-kegiatan seperti itu berguna untuk melatih kesabaran anak.
Jika tingkat kesulitannya lebih tinggi maka butuh bimbingan dari
orang yang lebih tua, tetapi hanya dibimbing saja tidak sepenuhnya
dikerjakan oleh pembimbing.
Berkaitan dengan jumlah jenis-jenis bunga yang diusungkan
penulis dalam proyek mainan boneka kertas, yakni lima (5) jenis
bunga, Ibu Dwi berpendapat bahwa sebagai varian, jumlah tersebut
cukup dan tidak terlalu banyak atau memusingkan untuk bisa
dipahami oleh anak usia target. Kemungkinan anak hanya akan
menemukan kendala tidak hafal satu persatu jenis bunganya.
2.2.2.4 Kesimpulan Hasil Kuesioner
1. Hasil Kuesioner Orangtua (Online dan Offline)
Pengambilan data melalui survei kuesioner yang dilakukan
secara online (untuk umum yang sesuai dengan target pasar) dan
offline (khusus orangtua murid SD Bosowa Bina Insani). Terdapat
120 responden yang telah bersedia untuk mengisi kuesioner yang
berisi beberapa pertanyaan yang terkait. Berikut hasil data yang
didapat dari survei kuesioner yang telah disebarkan.
Dari 120 responden yang sudah sesuai dengan target pasar,
90% adalah wanita dan 10% adalah pria dengan rentang usia yang
dominan sebanyak 57.8% adalah berumur 30 – 40 tahun, sisanya
lebih muda dan lebih tua daripada itu namun tetap sesuai target
pasar. Mereka memiliki anak atau adik perempuan yang memiliki
rentang usia yang dominan sebanyak 25.8% untuk usia 7 tahun,
21.6% untuk usia 8 tahun, dan 15.8% untuk usia 6 tahun. Pada
umumnya mereka berdomisili di Bogor sebanyak 80.8%, di
Jakarta sebanyak 12.5%, dan sisanya dari berbagai kota lain di
Jabodetabek dan kota-kota besar diluar Jawa Barat. Paling banyak
berprofesi sebagai karyawan swasta (27.5%), berkarir lain selain
44
pelajar, karyawan, dan wiraswasta (17.5%), dan wiraswasta
(16.7%).
Sebanyak 50.8% membelikan mainan untuk anaknya
tergantung pada saat anak menginginkannya saja, sebanyak 25%
jarang membelikan mainan untuk anak, dan sebanyak 18,3% sering
membelikan mainan untuk anaknya.
Berkaitan dengan topik Tugas Akhir, pada umumnya target
pasar mengetahui permainan bongkar pasang atau boneka kertas
(97.5%). Mereka juga pernah bermain boneka kertas (90.8%) dan
tertarik memperkenalkan mainan boneka kertas kepada anaknya
(95%). Sebanyak 86.7% berpendapat bahwa mainan boneka kertas
atau bongkar pasang masih menarik di tengah pesatnya kemajuan
teknologi, hiburan, dan permainan anak digital. Pada umumnya
mereka memiliki kesadaran tinggi bahwa mainan tradisional yang
riil seperti boneka kertas dapat membantu mengalihkan anak dari
kecanduan bermain gadget, dapat melatih motorik halus anak yang
tidak didapatkan dalam permainan gadget, membuat komunikasi
antara anak dan orangtua menjadi lebih dekat karena orangtua dapat
menemani anaknya bermain sekaligus nostalgia, dapat melatih
kreativitas dan imajinasi anak, serta memiliki keunikan dan
keseruan tersendiri dibandingkan permainan digital. Sebanyak
94.2% juga setuju bahwa boneka kertas (bongkar pasang) dengan
konsep, desain, dan material yang lebih bagus dan ter-upgrade
masih menarik di tengah adanya boneka figurin/3D seperti boneka
Barbie.
Pada umumnya kendala yang ditemukan saat bermain boneka
kertas (bongkar pasang) adalah bahan kertasnya tipis, ringkih, dan
mudah sobek (40%), potongan baju dan aksesoris terkadang tidak
pas dengan bentuk badan bonekanya (30.8%), berbentuk lembaran
kertas satuan yang terlepas-lepas sehingga mudah hilang (28.3%),
sulit melepaskan potongan objek (baju/aksesoris) dari kertasnya
(23.3%), dan sebanyak 55.8% menyetujui bahwa semua kendala
tersebut benar.
45
Menurut orangtua, permainan bongkar pasang cukup mudah,
anak dapat memahami cara memainkan boneka kertas namun harus
dicontohkan terlebih dahulu (45.8%), namun ada juga yang
berpendapat bahwa permainan bongkar pasang sangat mudah,
anaknya sudah paham dan langsung paham cara memainkan boneka
kertas (45%), sisanya belum paham karena belum pernah mencoba
atau anak dan orangtuanya adalah laki-laki.
Dari segi desain, hampir seluruhnya dari mereka setuju bahwa
permainan bongkar pasang yang beredar di pasar lokal perlu
didesain agar lebih menarik lagi dan lebih disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Dari segi warna dibuat agar tidak terkesan
norak dan desain karakternya tidak melulu harus tokoh kartun barat,
lebih bervariatif baju dan aksesorisnya, terutama juga
dikembangkan dari segi materialnya yaitu banyaknya saran
penggunaan kertas atau bahan mainan yang lebih kokoh.
Berkaitan dengan tema spesifik yang diangkat penulis dalam
proyek mainan boneka kertas, sebanyak 94.2% setuju bahwa
mainan boneka kertas bertema peri bunga (melalui tokoh peri, anak
mengenal jenis-jenis bunga) adalah ide yang menarik. Sebanyak
77.5% setuju bahwa tokoh peri dapat menarik minat atau
menginspirasi anak. Sebanyak 98.3% juga menyetujui bahwa
pengetahuan tentang jenis-jenis bunga penting bagi anak-anak.
Sebanyak 50% responden berpendapat bahwa anaknya belum
banyak tahu mengenai jenis-jenis bunga dan masih perlu diajarkan
atau dibimbing lagi, sedangkan sisanya mengetahui jenis bunga
yang sederhana dan umum, dan sudah lihai mengidentifikasi jenis-
jenis bunga. Pada umumnya (94.2%), orangtua tertarik jika tokoh
dalam boneka kertas adalah anak perempuan yang memiliki ciri
fisik orang Indonesia. Referensi desain yang paling menarik bagi
orangtua adalah desain ilustrasi dengan outline tegas dan warna
simple (opsi 2) yang memperoleh suara terbanyak sebesar 47.5%.
Sebanyak 98.3% juga setuju bahwa boneka kertas bertema peri
bunga dengan kemasan dus boks (berisi boneka kertas, baju,
aksesoris, perabotan, latar lokasi) adalah ide yang bagus. Manfaat
46
yang diharapkan orangtua untuk anaknya dalam mainan boneka
kertas tentang peri bunga ini adalah dapat memperkaya kreativitas
dan imajinasi anak (31.7%), dapat menambah pengetahuan atau
edukasi tentang jenis-jenis bunga (22.5%), dapat melatih motorik
halus anak (20.8%), dapat dijadikan sebagai penyalur emosi anak
(12.5%), dan sebanyak 67.5% mengharapkan semua manfaat
tersebut.
Dari segi penjualan, biaya yang berani dikeluarkan oleh
customer pada umumnya untuk mainan boneka kertas (bongkar
pasang) dengan desain yang menarik adalah dibawah Rp 100.000,-
(65.8%).
2. Hasil Kuesioner Siswi TK dan SD
Pengambilan data melalui survey kuesioner yang dilakukan
secara langsung di TK dan SD Bosowa Bina Insani, Bogor. Selain
itu kuesioner juga disebar secara online ke publik yang sesuai
dengan target usia pasar.
Gambar 2.9 Kunjungan Survei di SD dan TK Bosowa Bina
Insani
(Sumber: Dok. Pribadi)
Terdapat 118 responden yaitu siswi-siswi TK kelompok 0
besar dan siswi-siswi SD kelas 1-3 yang telah bersedia untuk
mengisi kuesioner yang berisi beberapa pertanyaan yang terkait.
47
Berikut hasil data yang didapat dari survey kuesioner yang telah
disebarkan.
Responden berusia 6 tahun (34.7%), 7 tahun (23.7%), 8 tahun
(22.9%), dan sisanya yaitu 5 dan 9 tahun. Pada umumnya
bersekolah di SD Bosowa Bina Insani, Bogor (79.6%), dan di TK
Bosowa Bina Insani, Bogor (12.7%). Sebanyak 84.7% adalah murid
SD kelas 1 sampai dengan kelas 3, dan 14.4% adalah murid TK
kelompok 0 besar. Sebagian besar (96.6%) berdomisili di Kota
Bogor.
Berkaitan dengan proyek Tugas Akhir, karakter peri yang
paling banyak disukai oleh anak-anak adalah karakter peri nomor 1
(71.2%), yaitu peri yang memiliki karakteristik visual berupa
ilustrasi dengan ciri tubuh karakter yang sederhana dan tidak
memiliki banyak detail. Alasan mereka memilih peri nomor 1
kebanyakan karena mereka menganggap peri tersebut cantik dan
lucu. Selain itu banyak yang berpendapat bahwa peri tersebut
memiliki baju yang cantik. Kebanyakan dari responden (83.1%)
lebih tertarik pada pilihan bunga mawar, bunga melati, bunga
matahari, kembang sepatu, dan bunga anggrek. Dari segi pemilihan
warna, anak-anak lebih banyak yang menyukai warna terang
(50.8%).
2.2.2.5 Permainan Edukatif untuk Anak
Dilansir dari artikel berjudul Permainan Edukatif: Jenis dan
Manfaat Mainan Edukasi Anak yang Mendidik yang ditulis oleh
Setyawan (2018), permainan edukatif adalah suatu alat permainan
anak yang mendidik yang didesain atau dibuat untuk memberikan
edukasi atau pelajaran bagi seseorang yang memainkannya.
Mainan edukasi anak ini selalu diberikan kepada anak-anak atau
pun remaja bertujuan untuk meningkatkan kreativitas, ide dan juga
ketangkasan. Kebanyakan permainan edukatif ini disesuaikan oleh
umur si pengguna.
Permainan edukatif memiliki banyak sekali manfaat,
diantaranya menambah pengetahuan anak akan suatu konsep
48
tertentu yang pembawaannya dilakukan dengan cara
menyenangkan (sambil bermain), meningkatkan daya konsentrasi
anak, membantu anak mengenal warna, bentuk, maupun ukuran,
dan lain-lain.
Permainan boneka kertas dalam proyek Tugas Akhir ini
termasuk mainan edukatif, karena di dalamnya anak dapat belajar
mengenai jenis-jenis bunga di lingkungan sekitar.
2.2.2.6 Barang Koleksi
Barang koleksi mengacu pada barang yang nilainya jauh
lebih banyak daripada yang dijual awalnya karena kelangkaan
dan / atau popularitasnya. Harga untuk koleksi tertentu biasanya
tergantung pada berapa banyak barang yang sama tersedia serta
kondisi keseluruhannya. Kategori umum koleksi termasuk
barang antik, mainan, koin, buku komik, dan prangko. Orang-
orang yang mengumpulkan koleksi membutuhkan banyak waktu
untuk mengumpulkannya, dan biasanya menyimpannya di lokasi
yang tidak akan hancur (Chen, 2020).
Selain merupakan permainan untuk anak-anak, mainan
boneka kertas dalam proyek Tugas Akhir ini juga dapat dijadikan
sebagai barang koleksi.
Menurut survey yang dilakukan, mainan bongkar pasang
semakin sulit dicari di zaman sekarang. Hal tersebut membuat
bongkar pasang menjadi salah satu mainan yang cukup langka
yang dapat memberikan perasaan nostalgia terhadap beberapa
kelompok audiens. Boneka kertas (BP) yang dicanangkan
penulis juga memiliki latar (berbentuk environment) yang bisa
dipakai untuk memajang boneka-bonekanya. Karena dua hal
tersebut, selain untuk dimainkan, bongkar pasang yang
dicanangkan oleh penulis juga dimaksudkan sebagai benda
koleksi.
49
2.2.2.7 Bermain Bangun Membangun (Constructive Play)
Menurut Tedjasaputra dalam bukunya Bermain, Mainan, dan
Permainan untuk Pendidikan Usia Dini (2001:56), bermain
konstruktif yaitu kegiatan yang menggunakan berbagai benda yang
ada untuk menciptakan suatu hasil karya tertentu. Manfaat bermain
konstruktif adalah untuk mengembangkan daya cipta (kreativitas)
anak, melatih keterampilan motorik halus, melatih konsentrasi,
ketekunan, dan daya tahan. Apabila anak berhasil, maka ia akan
mendapatkan penghargaan sosial berupa pujian dari orang lain,
yang akan menyemangati anak untuk bekerja lebih baik lagi.
Contoh bermain konstruktif adalah menggambar, menggunting dan
menempel kertas atau kain, merakit kepingan kayu atau plastik
menjadi bentuk tertentu, dan lain-lain.
Dalam proyek ini, permainan yang dikaji oleh penulis adalah
contoh permainan yang memiliki fungsi konstruktif. Karena anak
dilibatkan untuk memotong, melipat, merakit kepingan-kepingan
kertas berbentuk boneka peri bunga beserta aksesoris-aksesorisnya
menjadi bentuk suasana aktivitas peri bunga di kebun belakang
rumah.
2.2.2.8 Bermain Khayal atau Bermain Peran (Make-Believe Play)
Bermain khayal atau bermain peran, atau bisa juga disebut
bermain imajinasi, termasuk salah satu jenis bermain aktif,
diartikan sebagai pemberian atribut tertentu terhadap benda, situasi
dan anak memerankan tokoh yang ia pilih. Apa yang dilakukan
anak tampil dalam tingkah laku yang nyata dan dapat diamati dan
biasanya melibatkan penggunaan bahasa.
Kegiatan bermain khayal umumnya disukai dan sering
dilakukan oleh anak usia sekitar 2 sampai 8 tahun, dapat bersifat
produktif atau kreatif dan bisa juga reproduktif (merupakan
pengulangan dari situasi yang diamati anak sehari-hari). Pada
kegiatan bermain khayal yang produktif maka anak akan
memasukkan unsur-unsur baru terhadap apa yang ia amati dalam
hidup sehari-hari.
50
Dalam kegiatan bermain khayal anak melakukan
impersonalisasi terhadap karakter baik yang ia temui dalam hidup
sehari-hari maupun dari tokoh yang ia tonton di film atau ia baca di
media masa. (Tedjasaputra, 2001:57)
Manfaat bermain khayal adalah membantu penyesuaian diri
anak. Dengan memerankan tokoh-tokoh tertentu ia belajar tentang
aturan-aturan atau perilaku apa yang bisa diterima oleh orang lain,
baik dalam berperan sebagai ayah, ibu, guru, murid, dan
seterusnya. Anak juga belajar memandang suatu masalah dari
kacamata tokoh-tokoh yang ia perankan sehingga diharapkan dapat
membantu pemahaman sosial pada diri anak. Manfaat lain adalah
anak dapat memperoleh kesenangan dari kegiatan yang dilakukan
atas usaha sendiri. Perkembangan bahasa juga dapat ditingkatkan
karena adanya penggunaan bahasa di dalam kegiatan bermain ini.
(Tedjasaputra, 2001:58)
Proyek yang dilakukan oleh peneliti adalah salah satu contoh
permainan untuk bermain khayal/imajinasi atau bermain peran.
Karena anak dilibatkan untuk secara aktif memainkan peran peri
bunga sekaligus berkhayal mengarang cerita atau kejadian yang
dialami oleh boneka-boneka peri di permainan tersebut, yang mana
membantu anak mendapatkan manfaat-manfaat bermain khayal
atau bermain peran sebagaimana yang dipaparkan di atas.
2.2.2.9 Boneka Kertas (Bongkar Pasang)
Menurut Madrus dalam salah satu artikel mengenai boneka di
website majalah anak-anak Bobo (2018), boneka adalah tiruan dari
bentuk manusia. Umumnya boneka digunakan untuk mainan anak
perempuan. Boneka biasanya dilengkapi dengan aneka pakaian,
sepatu, tas, rumah dan perabotannya, perlengkapan dapur, dan lain-
lain. Main boneka itu menyenangkan, karenanya boneka tidak akan
pernah hilang dari kehidupan manusia.
Aan Madrus juga mengemukakan bahwa boneka sudah ada
sejak zaman kuno dan tersebar di seluruh dunia. Boneka kuno
bentuknya sangat sederhana, terbuat dari bahan alami seperti tanah
51
liat, batu, kayu, tulang, gading, atau kulit. Boneka modern yang
dibuat secara masal di pabrik dimulai di Jerman pada abad ke-15
M. Boneka itu terbuat dari porselain dan plastik. Sejak itu boneka
berkembang. Ada boneka khas seperti boneka mathryoskha dari
Rusia, Kokeshi dari Jepang, boneka tentara kerjaan Inggris, boneka
tanpa wajah khas orang Amish, dan lain-lain. Dari bentuknya ada
boneka yang menyerupai manusia, menyerupai hewan, atau
menyerupai tokoh kartun favorit anak-anak. Sejak abad ke-20,
boneka bukan saja sebagai barang mainan, tapi juga menjadi
barang koleksi.
Berkaitan dengan peran kertas dalam desain grafis, menurut
Fishel (2004:12), kertas bersifat lunak dan kokoh dan dapat dibuat
menjadi hampir semua objek. Seperti kayu dan logam, kertas
selalu dapat diubah bentuknya maupun ke dalam bentuk seperti
apa kertas tersebut akan dibuat. Terlebih kertas termasuk material
yang murah dan ringan. Kertas tidak membutuhkan bentukan atau
tempaan untuk dapat dibentuk: tangan manusia sudah cukup
mampu mengubah bentuk kertas. Kertas dapat dijadikan sebagai
bahan dasar mainan. Apa yang para desainer inginkan dari kertas,
dapat terwujud dengan bantuan printer dan perakit.
Boneka kertas atau di Indonesia lebih populer dengan istilah
bongkar pasang (BP) adalah figur yang terbuat dari kertas, dengan
pakaian terpisah, juga terbuat dari kertas, yang dapat dipasang
ke boneka. Bongkar pasang (BP) adalah permainan boneka kertas
berupa potongan-potongan gambar boneka full-body (biasanya
bergambar tokoh kartun perempuan), gambar baju, gambar
aksesoris, gambar rumah-rumahan beserta furniturnya yang terbuat
dari kertas karton, yang mana anak perempuan bisa mengganti baju
boneka mereka sesuka hati dengan melepas dan memasang
potongan gambar-gambar baju diatas potongan gambar boneka
tersebut. Selain itu juga bisa dipasangkan aksesoris berupa sepatu,
kalung, tas, dan sebagainya. Anak perempuan memegang boneka
kertas dengan menegakkan kertas tersebut kemudian dijalankan
dengan menggunakan tangan. Biasanya anak perempuan juga
52
bermain boneka kertas (bongkar pasang) dengan teman-temannya
lalu mereka berdialog seakan-akan itu adalah suara bonekanya.
Negara produsen terbanyak permainan ini biasanya dari negara
barat atau negara-negara tetangga lainnya sehingga dapat dilihat
dari karakter bonekanya yang merupakan salah satu contoh BP
yang paling populer di era 90-an yaitu diadaptasi dari tokoh kartun
Jepang. Namun negara barat juga memproduksi permainan serupa
dengan karakter boneka yang juga bergaya barat.
Gambar 2.10 Permainan Bongkar Pasang yang Hits di Tahun 90-an
(Sumber: https://id.pinterest.com/pin/676877018978757602/)
53
2.2.2.10 Peri
Menurut artikel A Brief History of Fairies dalam daring 5
Minute History (fiveminutehistory.com), penyebutan istilah peri
yang paling awal ada dalam tulisan-tulisan Gervase dari Tilbury,
seorang sarjana Bahasa Inggris dan pengacara kanon abad ke-12.
Sebagian besar cerita rakyat peri berkisar pada perlindungan dari
kejahatan mereka. Kembali ke masa ketika dunia adalah tempat
yang jauh lebih misterius, orang-orang takut menyinggung peri
yang bisa melemparkan mantra jahat atau kutukan. Dalam cerita
dan legenda tradisional, peri tidak memiliki sayap. Konsep peri
yang memiliki sayap dan bisa terbang menjadi populer
belakangan setelah itu. Orang-orang Victoria dan Edwardian
yang mempopulerkan gagasan peri terbang yang dipercaya
hingga kini oleh masyarakat dunia.
Menurut artikel yang sama, sebagian besar dari kita tidak
dapat melihat peri. Mereka hidup di alam semesta paralel yang
disebut “realm of the fey” atau “faery realm”. Menurut legenda,
para peri bersembunyi untuk menghindari manusia karena
manusia telah menyerang dan menghancurkan daerah mereka.
Ketika manusia memodernisasi dunia dengan listrik, membangun
jalan-jalan dan kota-kota, dan menebang pohon, para peri
dipaksa untuk “pergi ke bawah tanah” dan bersembunyi di gua,
liang, benteng bawah laut, dan akhirnya ke dunia roh.
Gambar 2.11 Lukisan “Fairy Dance” oleh Hans Zatzka (1859-1945)
(Sumber: http://fiveminutehistory.com/the-history-of-fairies/)
54
Berdasarkan buku Gothic Dreams Celestial Art: The Fantastic
Art of Josephine Wall yang ditulis oleh Simas (2015:97), peri
berasal dari kata ‘fairie’ yang diturunkan dari bahasa Perancis
“ faerie”, istilah tersebut pertama kali digunakan di Inggris untuk
menunjuk kepada tempat yang biasa disebut sebagai negeri
dongeng, rumah dari makhluk-makhluk supranatural. Di dalam
buku On Fairy-stories karangan Tolkien, ‘Faerie’ juga termasuk
banyak hal lain disamping elves, fays, kurcaci, penyihir, trolls,
raksasa, dan naga; itu juga mencakup lautan-lautan, matahari,
bulan, langit, air dan batu, anggur, roti, dan diri kita, manusia yang
bisa mati, saat kita terpesona.’
Sebagai sebuah kata benda, peri atau ‘fay’ sering digunakan
secara bergantian dengan ‘elf’’ dan jarang memliki tubuh kecil,
seringnya bersayap, memiliki tubuh seukuran manusia di dunia
nyata. Di dalam fantasi modern, Tolkien memberikan status baru
kepada peri sebagai makhluk yang terpenting, terbijak, dan paling
terkesan “negeri dongeng” diantara semua makhluk-makhluk
legendaris lainnya.
Penulis menggunakan tokoh peri sebagai pengantar dalam
edukasi mengenai jenis-jenis bunga di proyek permainan ini.
Mengapa peri? Mainan yang diangkat dalam proyek ini selain
memiliki fungsi edukasi, juga merupakan mainan imajinasi. Salah
satu cara untuk memunculkan sisi imajinatif dalam konten
permainan adalah melalui pemilihan tokoh atau karakter. Tokoh
imajinasi yang dekat dengan kehidupan dramatis anak kecil
perempuan diantaranya adalah peri. Peri identik dengan karakter
makhluk bersayap berukuran kecil yang hidup di dalam dunia
fantasi. Dibandingkan dengan tokoh imajinasi lainnya, peri adalah
tokoh imajinasi yang cocok membawakan karakter boneka kertas
yang memiliki fitur membongkar pasang baju-baju dan aksesoris.
Menurut survey yang dilakukan, anak-anak perempuan usia dini
banyak yang tertarik dengan tokoh peri. Sebanyak 77.5% dari
responden orangtua murid juga setuju bahwa peri dapat
menginspirasi dan meningkatkan minat anak perempuan mereka.
55
Dalam kaitannya dengan proyek, konsep peri sebagaimana
yang dimaksud di dua paragraf sebelumnya dianggap masih terlalu
rumit dan samar bagi anak-anak usia target komunikasi. Seorang
anak usia 5-9 tahun belum dapat menerima informasi yang
kompleks dan terlalu spesifik, sehingga secara visual, dalam
proyek ini penulis menyuguhkan visual peri bersayap sebagaimana
yang dipopulerkan oleh orang-orang Victoria atau Edwardian
sesuai dengan penjelasan di atas. Mengapa demikian? Karena
konsep peri seperti itulah yang paling populer di dunia termasuk di
Indonesia, merupakan konsep yang paling dekat dan akrab di
telinga anak-anak perempuan usia dini, sehingga pesan dan tujuan
permainan dapat tersampaikan secara efektif kepada target
komunikasi.
2.2.2.11 Bunga
Bunga merupakan salah satu bagian penting dari tumbuhan.
Biasanya bunga merupakan salah satu bagian yang berfungsi
membantu proses berkembang biak pada tumbuhan. Menurut
Ratnasari dalam bukunya Galeri Tanaman Hias: Bunga
(2007:5), bunga adalah alat reproduksi seksual pada tumbuhan.
Bunga merupakan bagian tanaman yang menunjukkan variasi
besar dalam struktur, susunan, dan ukurannya.
Bagian-bagian bunga terdiri dari tangkai bunga, daun
pelindung, dan perhiasan bunga yang terbagi menjadi kelopak
bunga dan daun mahkota. Selain itu bunga juga memiliki alat
reproduksi yaitu benang sari dan putik.
Bunga adalah bagian dari tumbuhan yang memiliki banyak
sekali jenis atau varietas. Dari mulai bunga yang umum didengar
dan diketahui seperti bunga matahari, bunga mawar, bunga
melati, sampai kepada bunga-bunga yang jarang terdengar oleh
umum.
Pengetahuan tentang bunga dan jenis-jenisnya penting bagi
anak, agar ia lebih mengenal alam di sekitarnya. Namun dalam
kehidupan nyata, pendidikan tentang jenis-jenis bunga belum
56
mendapat perhatian yang besar, sebesar pendidikan tentang jenis-
jenis hewan misalnya. Hal tersebut dibenarkan oleh guru SD
yang menjadi narasumber peneliti. Menurut Ibu Dwi, murid
kelas 1 sampai dengan kelas 3 (usia 5-9 tahun) belum
mendapatkan materi pembelajaran tentang jenis-jenis bunga di
sekolah. Sehingga masih banyak anak yang perlu diajarkan atau
dibimbing lagi. Dengan proyek ini, diharapkan anak-anak
menjadi lebih mengenal, lebih paham dan lebih memiliki
ketertarikan serta dapat membedakan jenis-jenis bunga yang ada
di lingkungan sekitar.
Berdasarkan survey melalui kuesioner yang disebarluaskan
kepada siswi-siswi SD kelas 1-3, diperoleh hasil bahwa sebanyak
82.5% anak lebih menunjukkan ketertarikan terhadap jenis-jenis
bunga sederhana seperti mawar, melati, dan sebagainya. Menurut
kuesioner yang disebarluaskan kepada orangtua, diperoleh hasil
bahwa responden paling banyak yang mengaku bahwa anaknya
belum banyak tahu jenis-jenis bunga sehingga masih perlu
diajarkan lagi. Berdasarkan wawancara dengan playtherapist yang
bertanggungjawab dalam sisi psikologis anak, beliau mengatakan
bahwa sebaiknya gunakanlah jenis-jenis bunga yang umum dan
sederhana karena anak usia 6-8 tahun masih terlalu muda untuk
memahami konsep yang lebih kompleks atau rumit. Guru SD juga
berpendapat demikian. Berdasarkan keseluruhan hasil survey
yang telah dilakukan tersebut, Peneliti memilih bunga mawar,
bunga melati, bunga matahari, kembang sepatu, dan bunga
anggrek sebagai identitas untuk lima (5) karakter peri bunga yang
terdapat di dalam mainan boneka kertas. Masing-masing bunga
memiliki warna yang berbeda-beda antara satu sama lainnya.
Perbedaan warna antara bunga yang satu dengan lainnya terbilang
cukup kontras, sehingga ketika diterapkan ke dalam bentuk
ilustrasi akan memberikan varian identitas melalui warna yang
menarik. Menurut wawancara dengan guru SD didapatkan
informasi bahwa anak usia target tertarik dengan konsep warna.
Itulah alasan mengapa peneliti menggunakan konsep warna
57
sebagai salah satu faktor pembeda dari masing-masing karakter
peri bunga di dalam proyek. Mawar mewakilkan peri yang
berwarna merah, melati mewakilkan peri yang berwarna putih,
kembang sepatu mewakilkan peri yang berwarna pink, bunga
matahari mewakilkan peri yang berwarna kuning, dan anggrek
mewakilkan peri yang berwarna ungu. Warna-warna tersebut
adalah warna-warna yang umumnya digemari oleh anak
perempuan.
Gambar 2.12 Atas-Bawah, Kiri-Kanan: Bunga Mawar, Bunga
Melati, Bunga Matahari, Kembang Sepatu, Bunga Anggrek
(Sumber: Google)
Karakteristik kelima jenis bunga perlu diperhatikan yang
nantinya akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian
maupun atribut masing-masing tokoh peri bunga, dan menjadi
referensi untuk kalimat edukasi yang dipaparkan dalam konten
utama produk (lembar boneka peri bunga). Karakteristik lima
jenis bunga yang dimaksud adalah:
• Bunga Mawar
Menurut Ratnasari (2007:190), mawar atau nama
latinnya Rosa sp. adalah bunga berwarna merah,
bermahkota tumpuk dengan diameter sekitar 6 cm,
58
membutuhkan cahaya penuh, kebutuhan air sedang,
tumbuh baik di dataran tinggi.
• Bunga Melati
Menurut Ratnasari (2007:140), melati atau nama
lainnya common white jasmine atau melati teh adalah
bunga berwarna putih yang memiliki 5 buah kelopak,
merupakan tanaman rambat, beraroma harum,
membutuhkan cahaya penuh, kebutuhan air sedang,
tumbuh baik di dataran tinggi, sedang maupun
rendah.
• Bunga Matahari
Menurut Ratnasari (2007:121), bunga matahari atau
nama latinnya Helianthus annuus adalah bunga yang
memiliki kelopak warna kuning, biji bunga ini sering
dimanfaatkan untuk kwaci dan diolah menjadi
minyak goreng, termasuk tanaman obat,
membutuhkan cahaya penuh, kebutuhan air sedang,
tumbuh baik di dataran rendah, sedang dan tinggi.
• Kembang Sepatu
Menurut Ratnasari (2007:130), kembang sepatu atau
nama latinnya Hibiscus rosa-sinensis adalah bunga
yang berwarna pink polos, bunganya muncul
sepanjang tahun, tidak mengenal musim, sering
dijumpai di taman sebagai center point (oleh sebab itu
peri kembang sepatu menjadi center atau pemeran
utama dibandingkan peri-peri bunga lainnya),
membutuhkan cahaya penuh, kebutuhan air sedang,
tumbuh baik di dataran rendah, sedang dan tinggi.
• Bunga Anggrek
Menurut Ratnasari (2007:170), anggrek atau nama
latinnya Palaenopsis ‘Sogo-vivien’ adalah bunga
yang didominasi oleh warna ungu, dua petal yang
berada di bawah berukuran relative kecil jika
59
dibandingkan dengan ketiga petal lainnya. ‘Sogo-
vivien’ sering digunakan sebagai tanaman hias pot
dan bunga potong. Membutuhkan cahaya yang
sedikit, kebutuhan air sedang, tumbuh baik di dataran
rendah, sedang dan tinggi.
2.2.2.12 Peri Bunga
Peri identik dengan makhluk bersayap berukuran kecil
yang hidup di dalam dunia fantasi. Peri bunga adalah peri yang
tinggal di bunga-bunga dan bertugas menjaga bunga-bunga
tersebut. Peri dan bunga adalah dua entitas yang tidak dapat
dipisahkan. Menurut sebuah artikel di Gardenfairy.com yang
berjudul Fairy Flower Garden: A Guide to Attracting Fairies to
Your Garden, disebutkan bahwa peri senang tinggal di habitat
yang sama dengan habitat yang disukai oleh kupu-kupu atau
lebah, diantaranya yaitu bunga.
Dalam proyek permainan ini, penulis menggunakan
karakter peri bunga. Antara satu peri dengan peri lainnya
dibedakan menurut jenis-jenis bunga. Diantaranya adalah peri
bunga mawar, bunga matahari, dan bunga-bunga lainnya
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya.
Peri-peri bunga tersebut diceritakan sedang melakukan aktifitas
di kebun belakang rumah seorang anak perempuan. Selain dibuat
dengan konsep tersebut, melalui tokoh peri-peri bunga, target
sekaligus diberikan sedikit edukasi tentang masing-masing jenis
bunga sehingga diharapkan target menjadi lebih mengenal, lebih
paham dan lebih memiliki ketertarikan serta dapat membedakan
jenis-jenis bunga yang ada di lingkungan sekitar.
2.2.2.13 Landasan Media Permainan
5W + 1H
• What :
Permainan boneka kertas bertema peri bunga yang sedang
menanam bunga di kebun belakang rumah. Selain sebagai
60
mainan imajinasi, juga sekaligus memiliki nilai edukasi
tentang jenis-jenis bunga. berisi 5 set boneka kertas peri bunga
full body, 3 set pakaian dan aksesoris peri bunga untuk setiap
jenis peri, 1 set properti bunga, dan 1 latar lokasi kebun.
• Why:
Permainan anak non-digital dengan ilustrasi dapat membantu
anak mempelajari suatu konsep dengan lebih efektif dan lebih
menarik, mengembangkan kemampuan bermain peran seorang
anak, merupakan bentuk revolusi konsep dan desain permainan
bongkar pasang 90-an yang desainnya kurang menarik dan
variatif.
• When:
Siang atau sore hari saat waktunya anak bermain.
• Where:
Di kamar tidur anak, ruang belajar anak, ruang bermain,
perpustakaan, dan lain-lain.
• Who:
Anak kecil perempuan Indonesia usia 5-9 tahun yang menyukai
dunia peri, keajaiban, dan bunga-bunga.
• How:
1. Lepaskan gambar boneka-boneka peri, pakaian peri,
aksesoris peri dari karton.
2. Padu padankan peri dengan pakaian dan aksesorisnya,
sesuai dengan karakter masing-masing jenis bunga.
3. Dudukkan boneka peri bunga yang sudah dipasangkan baju
di depan latar lokasi yang tersedia. Pasang gambar properti
bunga di depan gambar lokasi sehingga terlihat seperti
sedang ada aktifitas menanam bunga Bersama peri bunga
betulan. Berdirikanlah peri bersama dengan peri-peri
lainnya, dan biarkan anak bermain simulasi kehidupan atau
bermain peran disini.
4. Bermain sesuai kreatifitas anak.
61
2.2.2.14 Pembanding
Gambar 2.13 MoMA Modern Play Family, permainan bongkar
pasang buatan The Museum of Modern Art (MoMA), New York.
(Sumber: https://ebabeelikes.wordpress.com/tag/dolls-house/,
https://sardinette.wordpress.com/tag/modern-play-house/,
https://kurtzgraphics.com/moma-kits-for-modern-kids/)
MoMA Modern Play Family adalah permainan simulasi
yang digagas oleh The Museum of Modern Art (MoMA), New
York. Berbentuk rumah modern yang terdiri dari boks-boks
berupa sarang modular (latar lokasi) yang terbuat dari kertas,
dimana desainer, arsitek, atau penikmat kreatifitas lainnya dari
segala rentang usia dapat membentuk simulasi ruangan modern,
termasuk di dalamnya menata furnitur, aksesoris, maupun
mencampur padu pilihan-pilihan pakaian untuk boneka
kertasnya. Satu (1) pak permainan terdiri dari 6 boks sarang
(latar lokasi), 8 buah furnitur yang dapat di-mix and match, dan
12 set tempelan lainnya.
62
Gambar 2.14 Permainan Bongkar Pasang Modern dari Familia
Kreativa
(Sumber: https://www.bukalapak.com)
Paper Dolls buatan Familia Kreativa dibandrol dengan harga
Rp 25.000,- yang terdiri dari enam (6) lembar dengan karakter
atau tokoh yang berbeda-beda di setiap lembarnya. Hingga saat
ini Paper Dolls sudah dirilis dalam dua (2) edisi yaitu edisi
reguler dan edisi Ramadhan. Di dalam edisi reguler terdapat
gambar anak-anak dengan pakaian sekolah, pakaian bermain,
pakaian olahraga, dan pakaian profesi. Di dalam edisi Ramadhan
terdapat gambar anak-anak melakukan aktifitas-aktifitas di bulan
Ramadhan serta gambar transportasi mudik.
63
Gambar 2.15 Simulasi Rumah-Rumahan Untuk Permainan
Bongkar Pasang dari Jepang
(Sumber: https://id.pinterest.com/pin/676877018978757657/?nic=1)
2.2.2.15 Analisa SWOT
Strength:
• Boneka kertas (BP) dengan tema peri bunga merupakan
mainan boneka kertas dengan konsep, desain, dan material
yang menarik. Sehingga anak di zaman modern tetap dapat
melihat keindahan dari boneka kertas, tidak kalah bersaing
dengan permainan gawai.
• Boneka kertas (BP) dengan tema peri bunga merupakan
mainan imajinasi sekaligus mainan edukasi yang
mengenalkan kepada anak tentang jenis-jenis bunga.
• Boneka kertas (BP) dengan tema peri bunga bermanfaat
untuk mengembangkan imajinasi, aspek kognisi, dan
sebagai media intervensi bagi anak.
• Boneka kertas (BP) dengan tema peri bunga dapat
menjauhkan anak dari kecanduan bermain gadget, lebih
aman, dapat membangun interaksi dan kedekatan antara
anak dengan orangtua.
Weakness:
• Berbahan dasar kertas sehingga tidak tahan lama, mudah
rusak, atau hilang di tangan anak.
64
Opportunity:
• Masih sedikit sekali pesaing lokal yang memproduksi
produk sejenis.
• Boneka kertas (BP) dengan tema peri bunga diminati
pasar karena memiliki desain yang orisinil dan material
yang lebih kokoh dibandingkan dengan BP lainnya di
pasaran lokal.
• Boneka kertas (BP) dengan tema peri bunga diminati oleh
orangtua yang melewati tahun 90-an karena membuat
mereka bernostalgia dan ingin mengajak anaknya untuk
bisa mengalami masa itu.
Threat:
• Sudah majunya permainan dan hiburan gawai di era
kemajuan teknologi.
• Memiliki potensi kalah saing dengan boneka figurin atau
boneka berbentuk 3D.
65