bab 1 gabungan 2

127
BAB I PERENCANAAN PENELITIAN I. Latar Belakang Orang mungkin melakukan migrasi karena terpaksa, diatur atau tidak diatur, berkelompok atau secara perorangan (Naim,1984). Secara lebih spesifik, migrasi lebih dikenal oleh masyarakat indonesia sebagai merantau. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tampak bahwa merantau adalah bagian dari kebudayaan suku – suku bangsa indonesia walaupun tujuan dan tingkat intensitas merantau antara satu kelompok etnik berbeda dengan kelompok etnik lainnya. Kelompok masyarakat aceh (pidie) (sahur,1976; Abdullah, 1978), Bugis (abustas, 1989) telah sejak lama dikenal sebagai kelompok masyarakat perantau (Armawi,2008). Dari generasi ke generasi mereka merantau kesegala penjuru daerah di indonesia. Karakteristik perantau, alasan dan motivasi merantau, daerah tujuan merantau, jalur 1

Upload: andre-pardede

Post on 26-Dec-2015

85 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PERENCANAAN PENELITIAN

I. Latar Belakang

Orang mungkin melakukan migrasi karena terpaksa, diatur atau tidak

diatur, berkelompok atau secara perorangan (Naim,1984). Secara lebih spesifik,

migrasi lebih dikenal oleh masyarakat indonesia sebagai merantau. Dari beberapa

penelitian yang telah dilakukan tampak bahwa merantau adalah bagian dari

kebudayaan suku – suku bangsa indonesia walaupun tujuan dan tingkat intensitas

merantau antara satu kelompok etnik berbeda dengan kelompok etnik lainnya.

Kelompok masyarakat aceh (pidie) (sahur,1976; Abdullah, 1978), Bugis (abustas,

1989) telah sejak lama dikenal sebagai kelompok masyarakat perantau

(Armawi,2008). Dari generasi ke generasi mereka merantau kesegala penjuru

daerah di indonesia. Karakteristik perantau, alasan dan motivasi merantau, daerah

tujuan merantau, jalur perjalanan ke rantau dan implikasi atau dampak merantau

merupakan beberapa hal dasar untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena

merantau pada setiap kelompok masyarkat. Masyarakat yang bermigrasi ini pada

akhirnya akan membawa budaya asal mereka. Budaya inilah yang menjadi

identitas bagi perantau didaerah rantau.

Merantau adalah proses mobilitas masyarakat, namun dalam kaitannya

dengan tulisan ini merantau dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Artinya,

merantau adalah sebuah proses sosial budaya. Merantau merupakan sebuah

1

tindakan sosial yang dipicu dan dikontrol oleh kebudayaan. Ada sebuah

perhitungan dan pertimbangan subyektif yang melatarbelakangi suatu tindakan.

Namun, dibalik perhitungan dan pertimbangan tersebut terdapat sebuah nilai dan

sistem makna yang mendarah daging di keseharian hidup masyarakat. Ada

semacam misi budaya (cultural mission) yang terdapat dari satu suku bangsa yang

menentukan dan mengarahkan mereka beradaptasi dengan lingkungan dan

merangsang mereka untuk pindah dari kampung halamannya.

Indonesia sering disebut dengan negara multikultural. Hal dikarenakan

banyaknya penduduk yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Salah satu

suku yang bangsa yang ada di indonesia adalah suku batak. Suku batak pun masih

dibagi menjadi 6 bagian yaitu Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing,

Batak Simalungun, Batak Pakpak Dairi dan Batak Karo (Purba,1997:16).

Suku batak juga terkenal dengan kebudayaan yang selalu dijunjung tinggi

dimana pun mereka berada. Dalihan natolu menjadi salah satu falsafah hidup yang

akan dipegang oleh suku batak sampai mereka mati. Dalam falsafah dalihan na

tolu akan diatur bagaimana orang batak toba ketika bersikap dan menentukan

panggilan terhadap seseorang yang baru dikenal. Budaya patrilineal sangat kental

dan terkenal di budaya batak. Hal ini terlihat dari pemberian marga yang harus

mengikuti marga dari sang ayah kepada anaknya. Kebudayaan yang sudah

melekat itu pun selalu dibawa kemana pun mereka pergi.

Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan aktivitas merantaunya.

Adanya konsep hamoraon (kekayaan), hagabeon (kesejahteraan), dan

2

hasangapon (kehormatan) dalam budaya Batak menjadi dasar utama suku Batak

(terutama Batak Toba) untuk merantau keluar dari kampung halaman.1 Faktor

geografis di daerah asal suku Batak yang kurang subur di sekitaran pulau Samosir

membuat masyarakat Batak Toba lebih memilih merantau meninggalkan

kampung halaman.

Selain itu, aktivitas merantau suku Batak juga didorong oleh adanya motif

ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain. Hal ini

terutama didorong oleh berhasilnya sejumlah perantau yang lebih dulu di daerah

asing.

Pulau jawa menjadi salah satu tujuan utama untuk bermigrasi. Pusat

pemerintahan, ekonomi, industri, hiburan dan pendidikan yang sudah maju

menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Proses pembangunan yang selalu

terpusat ke jawa membuat masyarakat berlomba – lomba untuk bermigrasi ke

jawa. Begitu juga dengan kemajuan pendidikan yang sangat pesat di jawa

membuat banyaknya anak sekolah untuk bercita – cita melanjutkan studi ke pulau

jawa.

1 Konsep ini menjadi tolak ukur bagaimana masyarakat ingin selalu dihargai lebih atas status

yang diterimanya di tengah – tengah masyarakat. Nilai yang muncul tersebut pada akhirnya

memicu masyarakat untuk bermobilisasi sosial lewat migrasi. Keberhasilan yang mereka dapat

saat bermigrasi pada akhirnya menjadi sebuah kebanggaan saat mereka pulang.

(Hutagaol:2013)

3

Banyaknya sebutan bagi yogyakarta membuat kota ini menjadi sangat

terkenal di seantero nusantara. Mulai dari kota budaya, kota sepeda serta kota

pendidikan menjadi daya tarik untuk menjadi salah satu tujuan berwisata atau pun

merantau. Kota pendidikan ini pun menjadi salah satu sumbangan yang sangat

besar bagi sebuah perubahan di bidang ekonomi, budaya dan sosial bagi

masyarakat yogyakarta.

Pesatnya perkembangan pendidikan saat in membuat yogyakarta menjadi

salah satu kota favorit untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Hal ini pun diikuti

dengan suasana nyaman dan tenang. Mahasiswa perantau yang sudah lulus pun

tidak heran juga menetap di yogyakarta.

Banyaknya perantau berlatangbelakang daerah dan budaya yang tidak

sama dan melanjutkan pendidikan membuat yogyakarta juga dikenal dengan

mininya indonesia. Kebudayaan yang ada tersebut mengharuskan setiap individu

untuk mengerti dan memahami pola perilaku setiap masyarakat. Proses bertingkah

laku pun harus dilakukan melalui pemaknaan akan lingkungan tempat kita tinggal.

Yogyakarta sebagai salah satu kota budaya dan pendidikan dikenal sebagai

salah satu kota perantauan anak muda suku Batak. Perantauan ini dilakukan

dengan menjadi pekerja maupun sebagai pelajar di Yogyakarta. Banyaknya

perkumpulan atau komunitas suku Batak yang terbentuk atas dasar kesamaan

marga maupun ikatan mahasiswa di berbagai kampus membuktikan bahwa

banyaknya anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta. Saat ini terdapat beragam

4

perkumpulan anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta baik dalam

bentuk arisan marga, komunitas batak dari gereja, komunitas batak dari musik

tradisi Batak, maupun perkumpulan mahasiswa Batak di kampus.

Adaptasi dan interaksi menjadi salah satu yang wajib dilakukan oleh

masyarakat ketika sampai di tanah rantau. Bukan hal yang mudah memang untuk

melakukan kedua hal tersebut. Adanya ketidaktahuan akan kebudayaan setempat

dan sangat bertolak belakang dengan kebudayaan yang melekat didirinya

menjadikan proses adaptasi dan interaksi tidak berjalan mulus. Hal tersebut pasti

dialami oleh setiap perantau dan tak terkecuali bagi perantau batak sendiri.

Kesadaran akan identitas budaya ini akan kelihatan ketika interaksi terjadi.

Komunikasi antar budaya menempatkan posisi dari identitas tersebut. Apalagi

dengan proses adaptasi mengharuskan setiap masyarakat mengikis identitas

kebudayaan agar tidak terjadi streotipe dan benturan kebudayaan. Penelitian ini

akan menarik ketika melihat hasil dari penelitian ini akan menempatkan posisi

dari identitas budaya ini? Seberapa penting identitas budaya dalam membantu

masyarakat batak dalam berinteraksi juga hal yang patut diperhatikan dalam

penelitian ini.

Banyaknya suku Batak Toba yang merantau ke Yogyakarta menjadi

fenomena yang menarik untuk diteliti jika dilihat dari aspek penerapan dan

pemeliharaan kebudayaan serta pembauran yang terjadi di yogyakarta. Adanya

kegiatan pertemuan suku Batak Toba dalam berbagai acara dan kelompok

perkumpulan memungkinkan adanya interaksi yang signifikan antar sesama

5

masyarakat seperantauan. Proses interaksi dengan kebudayaan lain di yogyakarta

pun akan pasti terjadi dan pada akhirnya akan menimbulkan proses pemaknaan

dan cara bertingkah laku masyarakat batak di yogyakarta lewat negosiasi yang

telah dilakukan.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Bagaimana negosiasi yang dilakukan masyarakat batak toba dalam

proses interaksi interkultural di yogyakarta?

2. Bagaimana peran falsafah dalihan natolu dalam interaksi interkultural

masyarakat batak toba di yogyakarta?

III. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk negosiasi yang dilakukan masyarkat batak

toba dalam proses interaksi interkultural budaya di yogyakarta.

2. Untuk mengetahui peran falsafah dalihan natolu dalam interaksi

interkultural masyarakat batak toba di yogyakarta.

6

IV. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan

berarti bagi pengembangan keilmuan, terutama sosiologi yang berkaitan dengan

masyarakat.

2. Manfaat Praktis

Sebagai pembanding bagi masyarakat perantau yang ada di yogyakarta

dalam melakukan proses interaksi hingga dapat memecahkan masalah yang

dihadapi ketika bermasyarakat sekaligus mengangkat keunikan dari suku batak

yang belum diketahui oleh masyarakat.

V. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah masyarakat perantau suku Batak Toba yang

sudah lama tinggal dan menetap di Yogyakarta yang berasal dari Sumatera Utara.

VI. Kerangka Teoritis.

1. Konstuksi sosial budaya.

Teori konstruksi sosial digunakan untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian ini, yakni bagaimana pola negosiasi yang dilakukan oleh perantau batak

toba dalam proses interaksi interkultural di kota Yogyakarta. Melalui teori ini bisa

7

diketahui bagaimana konstruksi akan kebudayaan yang ada di yogyakarta yang

pada akhirnya membuat perantau tersebut melakukan negosiasi untuk bertahan

hidup. Selain itu juga bisa mendeskripsikan bagaimana moltif perantau memilih

yogyakarta sebagai tempat tinggal, bagaimana proses intersubyektif perantau

dalam melihat yogyakarta, dan bagaimana proses adaptasi perantau dalam

memaknai kebudayaan baru yang mereka hadapi.

Di dalam The Social Construction of Reality, Berger mengembangkan

teori yang di dalam sosiologi pengetahuan menjelaskan adanya dialektika antara

diri dengan dunia sosi-kultural yang berlangsung dalam suatu proses tiga

simultan, yaitu: eksternalisasi (penyesuaian diri dengaan sosio-kultural sebagai

produk manusia), obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang

dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi), dan internalisasi

(individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau tempat

individu menjadi anggotanya).2

Proses awal dari dialetika ini merupakan proses eksternalisasi. Sarana

yang digunakan dalam proses ini bisa melalui bahasa ataupun tindakan yang

dilakukan oleh orang yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal perantau.

Konstruksi tentang budaya yogyakarta yang dibangun oleh lingkungan ini seperti

merepresentasikan sebuah hunian yang pas untuk ditinggali, dimana konsep yang

diusung adalah aman, nyaman dan tentram sesuai dengan semboyan dari kota

yogyakarta sendiri yaitu “yogyakarta berhati nyaman”. Hal ini mungkin yang

2 Berger Peter.L, Thomas luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang sosiologi pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1990, hlmxx.

8

menjadi salah satu penyebab perantau banyak menetap di yogyakarta atau pun

untuk melanjutkan pendidikan di yogyakarta

Melalui konstruksi sosial, manusia menciptakan realitas. Budaya

yogyakarta dengan segala hal yang ada didalamnya mampu menanamkan

pengetahuan kepada masyarakat. Dalam hal ini adalah pengetahuan mengenai

definisi tentang yogyakarta yang aman, nyaman, tentram dan masyarakatnya yang

santun serta logat, tindak tanduk serta bahasa sehari – hari yang dipakai.

Ketika perantau berusaha untuk berinteraksi dengan dunia sosio-

kuturalnya, ketika itulah proses obyektivasi berlangsung. Dalam objektivasi

realitas sosial seolah-olah berada di luar diri individu tersebut. Realitas tersebut

menjadi realitas objektif. Jadi, ada realitas diri yang subyektif dan realitas di luar

yang objektif. Realitas objektif dan subyektif tersebut membuat jaringan

intersubyektif melalui proses pelembagaan yang merupakan proses membangun

kesadaran menjadi tindakan. Sebagai bentuk interaksi dengan lingkungannya,

perantau mencoba bernegosiasi dengan diri dan menerapkan pengetahuan yang

mereka dapat tentang yogyakarta apakah dengan perilaku atau bahasa yang

dipakai ketika berkomunikasi. Perilaku ini dianggap sebagai hal yang wajar

karena telah menjadi pola kebiasaan yang berulang-ulang. Pemahaman tentang

budaya yogyakarta kemudian muncul melalui proses objektivikasi tersebut.

Internalisasi merupakan momen identifikasi diri dalam dunia sosio-

kultural. Pada proses ini perantau melakukan identifikasi di lingkungannya, ini

merupakan momen penarikan realitas sosial ke dalam diri atau mengubah realitas

9

sosial menjadi realitas subyektif. Pada tahap internalisasi, individu

mengidentifikasikan dirinya dengan tempat dimana ia berada sebagai bagian dari

anggotanya. Cara masyarakat berperilaku dilakukan karena adanya pemaknaan

akan budaya yogyakarta. Asumsi ini didukung oleh lingkungan sosial sehingga

memaksa perantau untuk bernegosiasi dalam berperilaku.

2. Interaksi Sosial

Interaksi menjadi kunci dari semua segi kehidupan sosial. Tanpa ada

interaksi, maka kehidupan bersama tidak mungkin ada. Aktivitas bermasyarakat

pun tidak mungkin berkembang. Dengan demikian, syarat utama terjadinya

aktivitas adalah adanya interaksi didalamnya. Tanpa ada interaksi tidak ada

kehidupan bersama.

Interaksi sosial diartikan sebagai hubungan – hubungan sosial yang

dinamis. Hubungan sosial ini dapat berupa hubungan antara individu yang satu

dengan yang lainnya, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya, maupun

antara kelompok dengan individunya (Gillin,1954:489). Interaksi sosial dimulai

saat ada dua orang atau lebih bertemu. Aktifitas saling bertegur sapa, berjabat

tangan, saling berbicara atau bahkan berkelahi adalah salah satu bentuk awal dari

proses interaksi sosial.

Simbol adalah tanda, gerak isyarat dan bahasa yang bersifat sosial dan

dipelajari dalam hidup bermasyarakat (Usman,2004:68). Simbol pun menjadi

salah satu komponen penting dalam proses berinteraksi karena masyakarat akan

menyepakati makna dari sebuah simbol yang membuat komunikasi berjalan

10

efektif. Setiap anggota masyarakat akan mencoba menafsirkan setiap simbol agar

dapat berinteraksi.

Ritzer (2010:395) berpendapat bahwa makna dan simbol memberi

karakteristik penting pada tindakan sosial (yang melibatkan aktor tunggal) dan

interaksi sosial (yang melibatkan dua aktor atau lebih yang melakukan tindakan

sosial secara timbal balik). Dalam tindakan sosial, setiap orang akan

mempertimbangkan dampak apa yang akan terjadi bagi orang lain yang terlibat.

Walaupun sebenarnya orang tersebut tanpa sadar dan tanpa berpikir yang sudah

menjadi kebiasaan bahwa sebenarnya kita memperhitungkan setiap tindak yang

akan dilakukan.

Dalam proses tersebut, setiap anggota masyarakat akan terlebih dahulu

memaknai dirinya sendiri didalam lingkungannya. Proses pemakna tersebut

mencoba mengetahui apa, siapa dan mengapa dirinya berada dilingkungan

tersebut. Proses ini dipopulerkan oleh mead dengan sebutan role taking3.

Selain itu menurut beberapa tokoh terdapat beberapa prinsip dari interaksi

sosial yang meliputi:

1. Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir

2. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial

3 Role taking adalah sebuah proses dimana kita membangun kesadaran diri dan konsep diri kita sendiri. Dalam role taking orang memperhitungkan sikap, perasaan dan perhatian orang lain, dalam arti bahwa kita dapat melihat diri kita sendiri dari luar atau pandangan orang lain (sebagaimana orang lain mungkin melihat kita). (Usman:2004,68)

11

3. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang

memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka

yang khusus itu

4. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan

khusus dan berinteraksi

5. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan

dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap

situasi

6. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan,

sebagian karena kemampuan mereka berinterakasi dengan diri mereka

sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang

tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka, dan

kemudian memilih satu diantara serangkaian tindakan itu.

7. Pola tindakan dan interaksi berkaitan yang saling berkaitan akan

membentuk kelompok dan masyarakat.

Adanya kontak sosial dan komunikasi adalah syarat utama terjadinya suatu

interaksi sosial. Kedua syarat utama tersebut menjadi suatu keharusan untuk

individu dalam beraktifitas di masyarakat. Tidak adanya kontak sosial dan

komunikasi membuat individu seperti terisolasi didalam masyarakat.

Dalam berinteraksi, simbol dan makna dalam proses bermasyarakat

sangatlah penting karena dalam hidup bermasyarakat orang menyepakati makna

suatu simbol dan kemudian mendistribusikannya maka orang dengan efektif dapat

menjalin komunikasi. Selanjutnya, karena makna suatu simbol itu adalah

12

dipelajari maka simbol – simbol itu adalah bersifat sosial dan dipelajari melalui

interaksi di dalam masyarakat.

a. Interaksi interkultural.

Budaya dan komunikasi memiliki hubungan yang saling terkait satu

dengan yang lain. Sebagai manusia yang berbudaya, tidak akan mungkin budaya

yang dimiliki tidak menjadi dasar dalam berinteraksi. Namun, budaya akan

terbentuk dalam suatu proses interaksi yang dilakukan oleh masyarakat yang pada

akhirnya akan mempengaruhi budaya tersebut. Apakah akan terbentuk asimilasi,

akulturasi, amalgamasi ataupun terjadi konflik dan etnosentrisme.

“Culture not only influences communication but also is enacted through ,

and so influenced by, communication.”(Martin & nakayama;2010”.

Ditahun pertama merantau, perantau masih membawa budaya yang

melekat dalam diri ketika berinteraksi. Hal ini mengakibatkan adanya pertemuan

kebudayaan antara budaya asal perantau dengan kebudayaan asli tempat mereka

tinggal. Ini lah yang dinamakan interaksi interkultural.

Interaksi interkultural dapat dikatakan dan sering dikenal dengan

komunikasi antar budaya. Interkultural dapat diartikan sebagai komunikasi yag

terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda

ras , etnik atau sosioekonomi atau gabungan dari semua perbedaan ini). Menurut

guo-ming chen dan william j. Sartosa, komunikasi antar budaya adalah proses

negosiasi atau pertukaran simtem simbolik yang membimbing perilaku manusia

13

dan membatasi merekea dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok

(Liliweri;2003:hal 11-12).

Liliweri(2003:hal 36-42) berpendapat bahwa terdapat 2 fungsi dari

interaksi interkultural ini yaitu fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi yang

pertama adalah fungsi pribadi dapat diartikan sebagai fungsi – fungsi komunikasi

yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang

individu. Fungsi pribadi ini antara lain:

a. Menyatakan identitas sosial.

b. Menyatakan integrasi sosial.

c. Menambah pengetahuan.

d. Melepaskan diri atau jalan keluar.

Sedangkan, fungsi yang kedua adalah fungsi sosial dimana fungsi ini berkaitan

erat dengan kondisi yang dihadapi oleh perantau itu sendiri. Fungsi sosial tidak

lagi berada didalam diri lagi tetapi sudah berkaitan dengan nilai yang akan

dihadapi dan dipelajari. Ada pun fungsi sosial ini antara:

a. Sebagai pengawasan

b. Jembatan atas setiap perbedaan ketika berkomunikasi

c. Sosialisasi hiburan, dan

d. Sebagai hiburan.

b. Negosiasi.

14

Perbedaan kebudayaan yang didapat ketika merantau membuat seorang

perantau dituntut untuk melakukan negosiasi. Negosiasi ini sangat diperlukan

karena sangat mempengaruhi ketika berinteraksi. Ketidakmampuan dalam

berinteraksi pada akhirnya akan membuat masyarakat perantau akan terisolasi

oleh lingkungan tempat tinggalnya.

Negosiasi adalah bidang pengetahuan dan usaha yang terpusat pada

pencapaian perkenaan dari orang – orang yang dari padanya kita mengingini

sesuatu (cohen;1980: hal 13). Ada suatu kepentingan yang menjadi landasan

dalam melakukan negosiasi itu. Kepentingan ini dapat berupa wibawa, cinta,

kebebasan, uang , kedudukan, keamanan dan penghargaan. Dalam setiap negosiasi

selalu ada tiga unsur yaitu informasi, waktu dan kekuatan.

Perantau sendiri akan melakukan negosiasi terhadap dirinya. Adanya

kepentingan yang melandasi itu membuat perantau harus mampu beradaptasi

dengan lingkungannya. Kepentingan itu bisa menyangkut dengan keberadaan si

perantau di tempat mereka tinggal. Kebudayaan yang dibawa perantau pada

akhirnya ikut terkena imbasnya. Pasti ada semacam benturan kebudayaan yang

terjadi ketika dua kebudayaan berbeda saling bertemu. Hingga akhirnya, perantau

harus mampu bernegosiasi dengan kebudayaan mereka untuk mencoba masuk

kedalam kebudayaan tempat mereka tinggal.

3. Perubahan sosial dan Perubahan Kebudayaan.

Bila ditelaah lebih jauh, perubahan menjadi salah satu hal yang lazim

dialami bagi setiap manusia dimana pun mereka berada. Perubahan – perubahan

15

yang terjadi sekarang ini pun menjadi sesuatu hal yang normal juga. Tidak ada

sebuah penolakan karena hampir setiap aspek kehidupan manusia itu sendiri

seperti nilai – nilai sosial, perilaku organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan

dalam masyakat, kekuasaan dan wewenang mengalami perubahan. Terjadinya

perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal:

1. Sebab – sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan

sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi pendudukan

2. Sebab – sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka

hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur –

jalur hubungan dalam masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung

untuk berubah secara lebih cepat.

Perubahan ini juga bisa berkaitan dengan nilai – nilai sosial, pola perilaku,

organisasi, lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam kemasyarakatan, kekuasaan

dan wewenang, dsb.

Perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga – lembaga

kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,

termasuk didalamnya nilai – nilai, sikap – sikap dan pola – pola perilaku tertentu

di antara kelompok – kelompok tertentu. Dalam hal ini terjadi perubahan struktur

sosial dan pola – pola hubungan yang sudah mengakar didalam suatu lembaga

masyarakat seperti sistem status, sistem politik dan kekuasaan, serta persebaran

penduduk (Soekanto,2006:261). Sedangkan perubahan kebudayaan sendiri erat

kaitannya dengan sistem ide yang telah dimiliki bersama seperti bahasa, rasa

16

keindahan (kesenian), selera, teknologi dan aturan dan norma yang digunakan

sebagai peganngan hidup (Soelaeman,1998:30). Walaupun secara pengertian

berbeda, namun terdapat hubungan timbal balik antara perubahan kebudayaan dan

perubahan sosial.

Masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan

kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan seperti mata koin yang tidak dapat

dipisahkan. Walaupun dalam kondisi tertentu, masyarakat dan kebudayaan harus

dibedakan dan dipelajari secara terpisah. Sebenarnya dalam kehidupan sehari

tidak mudah untuk menentukan letak pemisah antara perubahan kebudayaan dan

perubahan sosial. Tidak adanya masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan dan

tidak mungkin adanya suatu kebudayaan tanpa campur tangan dari masyarakat

membuat arti dari perubahan kebudayaan dan perubahan sosial menjadi sangat

kompleks.

Kingsley (Soekanto,2006:266) sendiri berpendapat bahwa perubahan

sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan kebudayaan

mencakup segala hal yaitu kesenian, pengetahuan, teknologi dan bahkan sampai

mencakup aturan – aturan didalam kelompok ataupun organisasi sosial. Sebagai

contoh, seorang pendatang cenderung akan mengalami perubahan gaya bahasa

yang mengikuti gaya bahasa tempat dimana dia berada. Namun, perubahan

tersebut tidak sampai merubah segala bentuk organisasi sosial masyarakatnya.

Dalam perubahan kebudayaan, terdapat beberapa peristiwa – peristiwa

yang biasanya terjadi. Peristiwa – peristiwa ini terjadi karena adanya kesadaran

17

akan kebudayaan lain yang saling berdampingan didalam masyarakat. Peristiwa

akan perubahan kebudayaan ini wajar adanya karena sesuatu hal baru yang

diterima yang belum pernah dirasakan. Hal tersebut pun menjadi suatu

pengalaman baru yang menarik dan harus dipelajari.

Penerimaan unsur kebudayaan baru kedalam kehidupan suatu masyarakat

memiliki perbedaan. Ada dua perbedaan yang mendasaari hal tersebut yaitu unsur

kebudayaan yang mudah diterima seperti material serta unsur kebudayaan yang

sukar diterima yaitu non-material.

Koentjaraningrat berkesimpulan bahwa unsur – unsur kebudayaan yang

mudah diterima adalah:

1. Unsur – unsur yang konkrit seperti unsur kebudayaan jasmani, benda –

benda, alat – alat, dan sebagainya.

2. Unsur – unsur yang mudah disesuaikan dengan suasana keadaan di

masyarakat suatu penerima, suatu alat besar dan asing yang menggantikan

pekerjaan dari berpuluh – puluh buruh tenaga, tidak dapat diterima

kedalam suatu masyarakat dengan memuaskan, kalau pemakaian dan

pemeliharaan dari alat – alat besar tadi demikian mahal dan susah.

3. Unsur – unsur yang terbukti membawa pengaruh besar bagi kelompok

penerima.

Ada pun unsur – unsur yang tidak dapat diterima adalah

1. Unsur yang mempunyai jaringan yang luas dalam masyarakat. Contohnya

sistim kekerabatan dan solidaritas kekerabatan yang masih mempunyai

18

fungsi penting dalam kehidupan masyarakat suku bangsa Batak Toba dan

Batak Karo.

2. Kadang – kadang unsur kebudayaan yang dipelajari pada tingkat paling

dahulu dalam proses sosialisasi dari individu – individu dalam masyarakat.

Itulah sebabnya makanan pokok yang umum, dimakan orang dalam suatu

kebudayaan tertentu sukar diganti oleh makanan dari kebudayaan yang

lain.

3. Unsur – unsur kebudayaan yang termasuk agama dan religi atau yang

mempunyai latarbelakang keagamaan, biasanya merupakan juga unsur –

unsur kebudayaan statis, dan yang tidak diganti dengan unsur – unsur

asing.4

VII. Study literatur

Sebuah studi literatur merupakan survei dan pembahasan literatur pada

bidang tertentu dari suatu penelitian. Studi ini merupakan gambaran singkat dari

apa yang telah dipelajari, argumentasi, dan ditetapkan tentang suatu topik, dan

biasanya diorganisasikan secara kronologis atau tematis. Tujuan studi literatur

adalah untuk mendapatkan “peta” tentang domain penelitian yang akan

dilaksanakan. Peta domain ini sebenarnya berwujud pengetahuan tentang riset-

riset yang dilakukan oleh peneliti lain dalam area penelitian kita. Pengetahuan ini

tidak hanya berupa pemahaman terhadap riset-riset tersebut, tetapi juga saling-kait

yang terbentuk antar riset-riset tadi. Seperti diketahui, sebuah penelitian tidak 4 Koentjaraningrat, 1964, hal 94-97.

19

muncul begitu saja, tetapi ia selalu mencoba menyelesaikan atau menjawab

persoalan yang ditinggalkan penelitian sebelumnya.

Penelitian mengenai masyarakat perantau khususnya masyarakat batak di

yogyakarta masih jarang dilakukan. Penulis hanya menemukan satu literatur

tentang masyarakat perantau batak dan menjadikan sebagai kajian literatur dan

pembanding untuk melakukan penelitian. Literatur tentang batak dan merantau

yang terkait di yogyakarta sangat jarang dan susah ditemukan. Hal ini

mengindikasikan bahwa penelitian tentang masyarakat rantau di yogyakarta

sangat sedikit. Kalau pun ada bahasan mengenai masyarakat batak lebih kearah

studi antropologi mengenai kebudayaan batak.

Literatur ini menjadi salah satu bahan rujukan untuk penelitian yang akan

dilakukan. Judul dari penelitian ini adalah penerapan tradisi Martarombo dalam

komunikasi anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta. Sebuah studi

mengenai komunikasi kebudayaan yang dilakukan mahasiswa komunikasi

(Hutagaol:2013).

Latarbelakang dari penelitian ini adalah keresahan yang muncul dari

peneliti melihat adanya komunikasi antar budaya yang terjadi ditempat

masyarakat batak berpijak yang berujung pada apakah budaya komunikasi

martarombo sendiri masih tetap diterapkan masyarakat batak di tanah perantauan.

Peneliti berpendapat bahwa ditengah banyaknya kebudayaan yang ada ditengah –

tengah masyarakat batak toba di yogyakarta ada kecenderungan masyarakat batak

kehilangan jati diri.

20

Berangkat dari asumsi awal sebagai landasan penelitian ternyata budaya

komunikasi martarombo5 tersebut masih berkembang. Tradisi yang ada di

kampung halaman masih ikut terbawa ketika mereka merantau. Ada sebuah ikatan

batin yang muncul ketika mengetahui bahwa ternyata lawan bicara adalah satu

daerah tempat tinggal, satu marga dan juga orang batak. Literatur ini juga

mendapati bahwa tradisi martorombo ini dirasa sangat penting bukan sekedar

hanya untuk dilestarikan tapi dapat menjadi awal perkenalan dan ikatan

persaudaraan sesama perantau. Penelitain ini juga membahas tentang bagaimana

penerapan tradisi komunikasi martarombo di yogyakarta dan juga kondisi

masyarakat batak di yogyakarta.

Penerapan dari tradisi komunikasi suku batak di yogyakarta menjadi tema

dari penelitian tersebut. Walaupun secara implisit terlihat sama bahwa sebuah

interaksi terbentuk dari komunikasi namun ada beberapa hal yang

membedakannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian yang

dilakukan sebelumnya hanya terfokus kepada masyarakat batak semata. Pola

5 Martarombo merupakan salah satu tradisi suku Batak yang dilakukan untuk mengetahui kekerabatan antarsuku Batak. Martarombo berasal dari kata “tarombo” atau dalam bahasa Indonesia “silsilah”, sedangkan arti kata “mar” dalam Bahasa Batak Toba bermakna kata kerja. Dapat diartikan bahwa martarombo adalah “bersilsilah” atau “menentukan silsilah”. Tidak hanya dijadikan sebagai alat pergaulan didalam bermasyarakat antarsesama, tradisi martarombo juga berperan sangat vital dalam konteks adat di masyarakat batak. Bisa dikatakan bahwa ruang lingkup peran tradisi martarombo sebenarnya sangat luas. Tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam pergaulan masyarakat Batak, akan tetapi masyarakat Batak hidup dalam tradisi ini. Tradisi martarombo hidup dalam pergaulan dan dalam seluruh kegiatan adat masyarakat Batak. Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang individu yang tidak bisa martarombo sebenarnya sudah kehilangan pengetahuan akan kebudayaan Batak Toba sendiri. Martarombo sendiri mengatur pola interaksi masyarakat Batak ketika bertemu dan berkenalan dengan suku Batak. (Hutagaol:2013).

21

interaksi yang coba dikaji oleh hutagaol hanya melihat penerapan dari tradisi yang

dimiliki masyarakat batak semata.

Proses interaksi yang terjadi diantara sesama perantau dan lingkungan

perantau menjadi pembeda dalam penelitian ini. Penelitian sebelumnya hanya

berfokus kepada tradisi leluhur mengenai komunikasi diantara sesama suku yang

dipraktekkan di tanah rantau. Proses – proses interaksi serta dinamika yang

terjadi didalam proses interaksi ditanah rantau tidak menjadi fokus dari penelitian

tersebut yang pada akhirnya menjadi tema dari penelitian yang akan dilakukan

menyangkut negosiasi budaya tersebut.

Studi literatur yang kedua berjudul perkawinan adat batak di kota besar.

Studi ini ditulis oleh 4 orang peneliti oleh adonis, manullang, sitanggang dan

adenan pada tahun 1993 yang diterbitkan oleh departemen pendidikan dan

kebudayaan. Ada pun locus dari penelitian ini adalah jakarta

Asumsi awal dari penelitian ini adalah adanya suatu anggapan umum yang

menyatakan bahwa kebudayaan asal/daerah akan menjadi luntur atau tidak

menguat setelah pendukung kebudayaan yang bersangkutan berada di suatu kota.

Hal ini terjadi terjadi karena berkumpulnya kelompok – kelompok dari berbagai

latarbelakang kebudayaan yang menjadikan adanya akulturasi atau percampuran

kebudayaan. percampuran dari kebudayaan ini akan membentuk suatu

kebudayaan baru.

22

Kebudayaan baru tersebut menjadi berbeda dengan kebudayaan –

kebudayaan asalnya, meskipun percampuran tersebut masih memperlihatkan ciri

dari kebudayaan yang berbaur satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini berusaha untuk memperlihatkan bahwa sesungguhnya

solidaritas kekerabatan dapat diciptakan lewat kebudayaan asal yang direproduksi

dalam suasana lingkungan kota besar. Penelitian ini juga berusaha menjelaskan

ketidakbenaran akan kebudayaan asal yang menjadi menurun atau luntur setelah

pendukungnya berada di jakarta lewat proses perkawinan adat batak toba6.

Hasil dari penelitian ini memaparkan bahwa perkawinan adat batak di

jakarta adalah suatu gejala sosial kota dimana kebudayaan daerah asal tidaklah

dominan. Penelitian ini berpendapat bahwa adat istiadat batak tidak dilihat sebagai

sebuah kesatuan kebudayaan. adat istiadat ini diuraikan sebagai kesatuan sosial.

Adat dari daerah asal itu tetap ada tetapi disesuaikan dengan kondisi dimana

mereka tinggal. Adat istiadat ini tidak dipandang menjadi suatu kebudayaan utuh

hanya bersifat kesatuan sosial yang mengikat masyarakat.

Secara garis besar, budaya masyarakat batak dapat dilihat dari buku

tersebut. Buku tersebut menjelaskan bahwa ada beberapa dari adat istiadat yang

harus menyesuaikan dengan keadaan dan lingkungan kita tinggal. Hal ini tidak

merubah tatanan kebudayaan karena menurut buku tersebut perubahan tersebut

6 Pesta perkawinan adat batak merupakan salah satu contoh unik dari salah satu kebudayaan suku batak. Bukan pesta perkawinan pada umumnya, pesta adat merupakan suatu rentetan tatacara yang tersusun berdasarkan aturan – aturan adat yang harus disaksikan secara bersama oleh seluruh undangan . Dalam pelaksanaan pesta adat batak tampak bagi kita suatu perasaan komunal berdasarkan prinsip “dalihan na tolu”, apabila tidak berdasarkan adat “dalihan na tolu” hal ini tidaklah merupakan pesta adat batak. (Adonis dkk,1993:6)

23

hanya lah gejala sosial yang sering dihadapi oleh perantau dimana mereka harus

bernegosiasi dengan budaya dan lingkungan sekitarnya.

Literatur lain yang menjadi bahan kajian untuk mempertajam penelitian ini

adalah dua artikel yang dikeluarkan oleh majalah prisma di tahun 1983. Artikel

lama ini ditulis oleh Kartini Sjahrir yang berjudul “Asosiasi Klan Orang Batak

Toba di Jakarta” dan Sitor Situmorang dengan judul “ Asosiasi Klan Batak Toba

di Jakarta, Bukan Marga tapi Lahir dari tradisi Bermarga”. Rentang waktu antara

terbitnya artikel satu dengan artikel yang kedua adalah 9 bulan. Yang menarik

dari kedua artikel ini adalah kemunculan artikel yang dibuat sitor situmorang

adalah kritik terhadap karya Kartini Sjahrir. Kedua artikel ini dibuat dengan tema

yang sama tetapi hasil kesimpulan yang dipaparkan jauh berbeda.

Artikel pertama yang ditulis oleh kartini sjahrir mencoba menggambarkan

kondisi dan situasi dari masyarakat batak di jakarta. Tulisan beliau berisi tentang

faktor penarik bagi orang batak datang ke jakarta, gambaran keseharian

masyarakat batak toba menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang mana

dalam proses penyesuaian akan difokuskan terhadap peranan dari asosiasi klan

dan sejauh mana pengaruhnya terhadap kehidupan migran Batak Toba di jakarta.

Menurut Kartini syahrir (1983:75,I.), asosiasi klan ini sudah ada sejak

tahun 1918 di mulai dengan tumbuhnya asosiasi – asosiasi bersifat lokal seperti

Jong Java, Jong batak yang berdasarkan pada ikatan etnis. Sjahrir berpendapat

asosiasi klan batak merupakan salah satu yang terkuat di jakarta pada tahun 1983.

Fungsi dari klan ini pun antara lain membantu anggota-anggotanya dalam

24

berbagai hal terutama yang menyangkut masalah adaptasi di tanah rantau.

Asosiasi ini pun dibuat agar adat istiadat dapat dipertahankan. Lambat laun,

asosiasi ini cenderung eksklusif karena mengisolasikan dirinya dalam berbagai

aktifitas adat. Penguatan identitas dari asosiasi klan ini pun terjadi dan bagi

anggotanya memberikan keuntungan berupa rasa aman baik dari segi ekonomis,

maupun politis dari asosiasi klan dan kerabat dekatnya.

Artikel yang kedua yang ditulis oleh sitor situmorang mencoba

meluruskan artikel yang ditulis oleh Syahrir (1983). Artikel tersebut seperti

sebuah pembelaan terhadap isi artikel yang sepertinya memojokkan asosiasi klan

tersebut. Asosiasi klan menurut situmorang (1983:81,IX) adalah perkumpulan

orang – orang yang bermarga sama, dalam tradisi suku Batak, memang tidak

identik dengan marga dalam pengertiannya yang asli. Dia berpendapat bahwa

asosiasi klan itu tidak dibuat dengan sengaja tetapi sebuah tradisi bermarga di

kampung halamannya. Asosiasi yang dibuat pun menyesuaikan diri dengan

perkembangan modern, dalam gaya fisiknya tetapi tetap menjadi tempat

berpaling, baik secara ekonomis sebagai teknik kelangsungan hidup, maupun

secara psikologis dan sosial sebagai tempat menampung dan menjaga identitas

dan tidak eksklusif dalam arti buruk.

Sitor situmorang (1983) berpendapat bahwa pendapat kartini (1983) yang

mengatakan bahwa asosiasi klan batak ini adalah suatu gejala sosial dimana

pembentukan asosiasi klan tersebut bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi

masyarakat batak di jakarta dan baru muncul ketika berada di tanah rantau semata

25

– mata dikritik oleh situmorang. Dia berpendapat kartini hanya melihat

permukaan dari kehidupan sosial masyarakat rantau tanpa mempelajari lebih

dalam tentang masyarakat batak itu sendiri. Asosiasi klan yang dibentuk tersebut

merupakan budaya bermasyarakat masyarakat batak toba di daerah asal. Kartini

juga kurang mendalami tentang adat istiadat dari suku batak sendiri.

Dua artikel tersebut sangatlah penting untuk mempertajam dan memberi

masukan untuk penelitian ini. Adanya jenjang waktu yang sangat lama dalam

proses penerbitan artikel ini tidak membuat artikel ini tidak saling terkait.

Keterkaitan ini kelihatan dari kesimpulan tentang pembentukan asosiasi klan

batak. Artikel dari sitor situmorang dapat dikatakan penyempurna dari artikel

yang dibuat oleh sjahrir yang mana penelitian kajian kebudayaan menjadi

penyempurna dari studi kewilayahan di jakarta pada saat itu.

Artikel ini sangat berguna dalam melihat perbandingan masyarakat batak

di jakarta dan yogyakarta di rentang waktu yang berbeda. Apalagi dengan

perubahan sosial yang terjadi saat ini akan terlihat jelas perbedaan yang terjadi

atau ideologi ini masih tetap berkembang di tengah – tengah gempuran perubahan

sosial di tengah – tengah masyarakat.

26

VIII. Metodologi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian tentang negosiasi yang dilakukan perantau batak ini bersifat

etnografi. Penelitian etnografi menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu

situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Penelitian etnografi merupakan

pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan (spradley;2006: hal 3).

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Menurut M. Nasir, metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk

meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem

pemikiran ataupun suatu strata, peristiwa pada masa sekarang dan terjadi ketika

penelitian sedang berjalan. Adapun tujuan metode deskriptif adalah untuk

mengggambarkan atau melukiskan secara sistematis, aktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang sedang diselidiki

(Nasir,1998 :63).

Menurut Jalaludin Rakhmat, metode deskriptif merupakan metode yang

tidak menjelaskan hubungan antara variabel dan tidak menguji hipotesis atau

prediksi. Metode penelitian deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan

subyek atau objek penelitian dalam masyarakat (Rakhmat, 1989 :37). Dengan

27

demikian pelaksanaan metode deskriptif tidak hanya sampai pada pengumpulan

data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang makna yang dikandung data

itu (Surakhmad, 1982:139).

Menurut Singarimbun dan Effendy, terdapat dua tujuan dilakukannya

suatu penelitian deskriptif yaitu :

1. Untuk mengetahui perkembangan saran fisik tertentu atau frekuensi

terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu.

2. Untuk mendeskripsikan fenomena sosial tertentu, umpamanya sistem

sosial, sistem kekerabatan dan sebagainya. Penelitian ini biasanya

dilakukan tanpa hipotesa yang telah dirumuskan secara kilat

(Singarimbun dan Efendy, 1989 : 4).

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan menggunakan teknik wawancara (in dept interview)

dalam mengumpulkan data primer. Informan yang dianggap memiliki pengalaman

dan pengetahuan dalam bahasa dan tradisi Batak Toba akan dilakukan wawancara

untuk menggali informasi mengenai kebudayaan batak secara garis besar dan

masyarakat di Yogyakarta secara khusus. Untuk mendapatkan data sekunder,

penelitian ini juga akan melakukan observasi secara langsung untuk melihat

proses interaksi masyarakat suku Batak Toba. Observasi dilakukan dengan masuk

dan mengikuti acara perkumpulan/pertemuan masyarakat Batak Toba di

28

Yogyakarta dan juga lingkungan kehidupan masyarakat di yogyakarta. Penelitian

ini tidak hanya mengumpulkan fakta tetapi data yang dikumpulkan akan disusun,

dijelaskan, dan kemudian diberi analisis.

Untuk memilih informan yang dapat memberikan data secara efektif dalam

wawancara maka akan digunakan teknik penggalian data seperti yang dikatakan

Spradley dalam Burhan Bungin, 2007 :

1. Subyek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan

atau aktivitas yang menjadi informasi serta menghayati kterlibatannya

yang cukup lama dengan kegiatan tersebut.

2. Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan

yang menjadi perhatian peneliti.

3. Subyek punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai.

4. Subyek yang memberikan informasi tidak cenderung

mempersiapkannya terlebih dahulu.

4. Analisis Data

Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif, sesuai dengan prinsip

penelitian deskriptif bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk

menghubungan antar variabel dan menguji hipotesis berdasarkan teori-teori

tertentu. Hasil pengamatan yang dilakukan melalui wawancara dan observasi akan

dijelaskan melalui laporan yang bersifat deskriptif dengan menggunakan analisis

29

data kualitatif. Dengan dilakukannya analisis terhadap data yang didapatkan maka

akan diperoleh nantinya gambaran bagaimana negosiasi serta fungis dan peran

dari falasafah dalihan natolu yang dimiliki suku Batak Toba di Yogyakarta.

5. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang berasal

dari daerah Sumatera Utara yang sudah lama merantau dan tinggal di Kota

Yogyakarta. Kategori masyarakat dalam penelitian ini adalah pria maupun wanita

Batak Toba yang sudah lebih dari 10 tahun merantau dan menetap di Yogyakarta.

Pemilihan informan yang sudah menetap lama di yogyakarta dikarenakan proses

negosisiasi pasti sudah terjadi ketika mereka sudah lama menetap lama di

yogyakarta. Dinamika yang terjadi di tengah – tengah masyarakat pasti akan

terlihat karena mereka pasti akan beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya.

IX. Sususan Karangan.

Secara garis besar susunan dari penulisan skripsi ini adalah :

Bab I : berisi tentang rancangan dari penelitian. Rancangan penelitian sangatlah

penting dalam melakukan penelitian karena merupakan gambaran umum

rangkaian isi dari penelitian nanti. Di bab ini akan dipaparkan tentang apa tema,

latarbelakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan metodologi dari penelitian

ini.

30

Bab II : Identitas batak akan dibahas pada bab ini. Falsafah dari dalihan natolu

sendiri mendapat fokus utama dalam pembahasan tentang identitas batak toba.

Bab III : berisi tentang masyarakat batak di yogyakarta. Bab ini akan menjelaskan

kondisi sosial masyarakat batak di yogyakarta. Banyak nya himpunan dan asosiasi

batak yang ada bisa menjelaskan bagaimana keadaan masyarakat batak di

yogyakarta. Bab ini juga berisi tentang motif apa yang menjadikan masyarakat

batak memilih yogyakarta sebagai tujuan merantau, bagaimana pandangan mereka

tentang yogyakarta itu sendiri.

Bab IV : berisi tentang pola negosiasi yang telah dilakukan oleh masyarakat batak

itu sendiri serta peran dari falsafah ini dalam kehidupan sehari – hari masyarakat

Batak Toba di Yogyakarta. Bab ini akan menjawab rumusan masalah yang telah

dibuat.

Bab V : Berisi tentang hasil kesimpulan. Bab ini adalah bab terakhir dimana

tulisan dari setiap bab akan dirangkum didalamnya.

31

Bab II

MANUSIA BATAK TOBA; BUDAYA

SEBAGAI IDENTITAS

Manusia adalah makhluk relasional, ada dirinya muncul dan dibentuk dari

relasi yang ia bangun dan ia terima dari sekitarnya (wibowo:2009;13). Manusia

selalu berupaya untuk membangun relasi yang ada disekitarnya dan tidak akan

pernah berhenti. Manusia akan mempertanyakan lingkungan yang membentuknya

untuk melakukan relasi tertentu dan selalu berupaya mencari bentuk – bentuk baru

untuk menemukan relasi yang tepat bagi dirinya bukan hanya secara horizontal

dengan sesamanya tetapi juga secara vertikal yang sesuai dengan asal dan tujuan

hidupnya. Budaya didalam diri manusia pun pada akhirnya mengalami suatu

perubahan sesuai dengan tujuan hidup manusia itu sendiri.

Budaya adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Dia dapat

dikatakan sebagai perilaku, cerita yang dibuat mengenai diri kita sendiri,

keseluruhan hal yang kompleks yang diperoleh manusia sebagai anggota

masyarakat dan bagi sebagian orang yang memaknainya budaya hanya ada

didalam pemikiran. Dari beberapa konsep tersebut, pemaknaan tentang

kebudayaan sangatlah luas dan tidak terbatas. Defenisi – defenisi tersebut pun

membuat budaya tampaknya mencakup (hampir) segala sesuatu.

Konotasi dari kebudayaan sendiri mengalami tumpang tindih dan

kontradiktif akibat terlalu banyak definisi mengenainya. Hal ini dapat

32

berimplikasi kepada semakin sulitnya mengidentifikasi keberadaan dan proses

perkembangan dari kebudayaan ini. Perdebatan – perdebatan yang terjadi pun

semakin membuat kabur makna dari kebudayaan itu sendiri. Walaupun bersifat

ideasional, kebudayaan tidak berada dalam kepala seseorang.

Secara etimologi, budaya terdiri atas dua suku kata yaitu budhi dan daya.

Budhi yang berarti akal budi dan daya yang berarti usaha. Dalam bahasa inggris,

budaya sering disebut dengan culture yang berasal dari bahasa latin yaitu colore.

Di indonesia sendiri, kita mengenal kata kultur untuk menerjemahkan kata culture

tersebut. Budaya juga berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah (Bakker,

1984:31) yang diartikan sebagai hal – hal yang berkaitan dengan budi dan akal

dari manusia.

Sedangkan secara terminologi, budaya adalah suatu pola hidup

menyeluruh, budaya yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek

budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur – unsur sosio budaya ini

tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia (Mulyana,2003:25).

Dengan kata lain, dia dapat dikatakan sebagai mekanisme perilaku yan terdiri atas

rencana – rencana, resep resep, instruksi dan aturan; cerita mengenai diri kita

sendiri atau pun lingkungannya, keseluruhan hal kompleks yang diperoleh

manusia sebagai anggota masyarakat (sistem pengetahuan dan kepercayaan) dan

bagi sebagian orang , pemaknaan budaya hanya ada didalam pemikiran hingga

pada akhirnya menjadi identitas manusia yang berkembang dan dimiliki bersama

oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan

budaya berlangsung melalui suatu transmisi sosial yang disebut proses belajar

33

mengajar. Sedangkan perawatannya melalui proses penciptaan yang dapat berasal

dari interaksi sosial berupa komunikasi.

Dari beberapa pengertian yang sudah dijelaskan diatas, terdapat perbedaan

antara kebudayaan dan budaya. Budaya lebih ditekankan pada cipta, karya dan

rasa yang menjunjung tinggi sebuah konsep ide dari akal sehingga menciptakan

sebuah hasil. Hasil inilah yang dinamakan kebudayaan. Menurut koentjaraningrat

(1990) unsur kebudayaan yang universal ada tujuh yakni kesenian, bahasa, sistem

teknologi, ekonomi dan mata pencaharian hidup, organisasi sosial, sistem

pengatahuan dan sistem religi.

Kata identitas berasal dari kata identity yang berarti jati diri, tanda atau ciri

yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu yang menjadi pembeda

dengan yang lain. Identitas juga merupakan keseluruhan atau totalitas yang

menunjukkan ciri – ciri atau keadaan khusus seseorang atau jati diri dari faktor –

faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu

(Bakker,1984:47).

“... there are two kinds of identity, identity as being (which offers a sense

of unity and commonality) and identity as becoming ( or a process of

identification, which shows the discontinuity in our identity formation).

(Hall:1990)

Menurut stuart hall, identitas terbagi atas 2 yaitu identitas yang berasal

dari diri kita (baca:budaya) sendiri dimana identitas itu ada sejak kita lahir dan

mengakar kuat didalam diri kita yang membuat kita berbeda dengan yang lain.

34

Identitas budaya ini tidak berubah, tetap dan berkelanjutan. Yang kedua adalah

identitas yang berasal dari pemaknaan akan sesuatu dimana budaya tidak lagi

dilihat sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berbubah. Memang keberlanjutan dari

sebuah kebudayaan ada ketika seseorang lahir namun dari proses yang ada,

sejarah yang berkelanjutan tersebut akan berubah sesuai dengan pemaknaan setiap

individu didalam kehidupannya.

Ketika sebuah kelompok memiliki simbol – simbol dan makna yang untuk

dan sudah diwariskan secara turun temurun maka keleompok tersebut telah

memiliki identitas budaya. Secara nyata, identitas budaya sangat berpengaruh

terhadap perkembangan komunikasi antar budaya. Baik secara adat, strata serta

kepercayaan antara yang satu dengan yang lain.

Banyak orang memaknai identitas budaya dan indentitas sosial adalah

sama. Bila ditelaah lebih jauh, perbedaan tersebut terasa nyata. Identitas budaya

lahir dari sebuah struktur kebudayaan yang ada di masyarakat yang menghasilkan

pola – pola persepsi, pemikiran dan perasaan sedangkan identitas sosial lahir dari

struktur sosial yang menghasilkan pola – pola perilaku sosial.

Ada beberapa komponen yang dapat membangun sebuah identitas budaya

yaitu :

a. Pembelajaran dan penerimaan tradisi berdasarkan pandangan hidup,

kosmologi dan ontologi dari kepercayaan, sikap dan nilai yang diajarkan.

b. Adanya pembelajaran serta penerimaan norma – norma yang menunjukkan

standart dan aturan perilaku yang berlaku dilingkungan masyarakat.

35

c. Penerimaan antara konsep waktu dulu dan sekarang yang kemungkinan

berbeda jauh. Penerimaan konsep waktu dulu dan sekarang ini memiliki

arti sebagai bentuk dari pemaknaan akan diri. Proses dalam memaknai ini

pada akhirnya akan menyebabkan perubahan. (Hall:1990)

Manusia sendiri lahir kedunia akan membawa identitas dari orang tua.

Dalam pembentukan karakter, keluarga memiliki peranan yang sangat penting

dalam perkembangan diri individu. Budaya yang dimiliki dari keluarganya akan

tertanam didalam diri yang terbawa ketika beranjak dewasa.

I. Asal Usul Suku Batak secara Historis.

Asal usul dari munculnya suku batak beserta tradisi adatnya sangat sukar

diketahui. Ketiadaan bukti empiris yang dapat menjelaskan keberadaan awal dari

suku batak menjadi kesulitan tersendiri dalam menentukan asal usul dari suku

batak. Hal ini terjadi karena dokumen – dokumen sejarah purba yang tertulis dan

dapat dipercaya sulit ditemukan bahkan tidak ada. Adapun lahirnya suku batak

didapat dari cerita turun temurun lintas generasi.

Antropolog menyepakati bahwa orang batak tergolong dalam suku bangsa

melayu tua. Harry parkin dalam bukunya “Batak Fruit of Hindu Thought”

(1978:11) mengatakan bahwa asal usul orang batak adalah “ethnically the Batak

are Proto-Malays”.

“Tetapi setelah para sarjana mengadakan penelitian akhirnya dapat disimpulkan

bahwa orang Batak di Sumatra termasuk salah satu golongan ethnis, atau

36

sebagian dari golongan ras besar yang berbahasa Austronesia7. Selain Batak

yang termasuk dengan ras ini adalah suku Jawa, Melayu, Aceh, Sunda,

Minangkabau, Madura, Makassar, Bugis, Bali dan beberapa suku lainnya di

Nusantara ini.. Perpindahan bangsa – bangsa dari daratan tiongkok selatan..

Mungkin pula disebabkan perpindahan bangsa barbar dari utara atau tekanan –

tekanan politik dari suatu bangsa yang sudah memiliki peradaban yang tinggi.

Perpindahan itu mungkin pada abad ke – 7 sebelum tarikh masehi. Dan dari ciri-

ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa nenek moyang orang batak,

termasuk rumpun Proto Melayu (Melayu tua)” Tambunan (dalam

Silitonga:2010,hal 26-27)

St. E. Harahap (dalam silitonga:2010,25), mengatakan bahwa yang

dimaksud dengan suku batak adalah penduduk asli yang berdiam dan bermukim

didaerah yang bernama Tapanuli, bagian utara dan barat daya barat-laut pulau

Sumatra. Masyarakat batak sendiri terdiri atas Simalungun, Toba, Angkola, Dairi,

Pakpak, mandailing (Koentjaraningrat,2004:94-95).

Menurut mitos yang masih terjaga sampai sekarang, Siboru Deak Parujar

adalah nenek moyang suku Batak, yang oleh Debata Mulajadi Nabolon , orang tua

dari Siboru Deak Parujar (Tuhan masyarakat Batak sebelum mengenal agama)

dikawinkan dengan raja Odap-odap yang juga berasal dari surga. Kemunculan

masyarakat batak sendiri terlihat dari beberapa generasi keturunan dari Siboru

Deak Parujar melalui Si Raja BatakVergouwen mengatakan suku Batak adalah

suku bangsa yang secara turun temurun dibentuk oleh sistem kekerabatan

7 Austronesia mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos(jamak: nesia) yang berarti "pulau".

37

patrilineal. Suku Batak mengenal kekerabatannya sebagai dalihan na tolu. Sistem

kekerabatan yang didasarkan dalam falsafah dalihan na tolu memiliki arti penting

dalam aturan perkawinan masyarakat Batak dan selanjutnya berpengaruh bagi

aspek kehidupan yang lain (Vergouwen, 1986 : xi).

“Nilai budaya yang menjadi tujuan hidup dan pandangan hidup ideal asli orang

Batak Toba dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial

saling mendukung yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Metode pencapaian

pandangan hidup diatur oleh struktur sosial dalihan natolu yang keberadaannya

berdasar pada sistem marga. Kemudaian aplikasi struktur itu dijabarkan dalam

sistem sosial budaya tatanan adat istiadat, kepercayaan dan

idealisme.”(Simanjuntak:1996,19)

II. Marga

Marga adalah satu terminologi khusus yang hanya dimiliki oleh bangsa

Batak dan diperkirakan sudah ada sejak keberadaan bangsa Batak. Menurut

Parkin, terminologi marga akan tetap menjadi sebuah perdebatan, namun dapat

dibuktikan bahwa kata marga sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yakni “varga”

yang berarti jalan dan berbunyi “warga” (Parkin, 1978:131). Lidah orang Batak

sendiri tidak mengenal huruf “w” sehingga kata “warga” disebut “marga”

(Situmorang, 1990:231).

Bagi masyarakat umum dan terkhusus masyarakat batak, marga dimaknai

luas dan tanpa batas. Orang batak menggunakan kata marga untuk menunjukkan

38

baik satuan - satuan yang lebih kecil maupun yang lebih besar, dan juga kelompok

– kelompok yang paling besar dalam sistem kemargaan yang membentuk struktur

masyarakat batak yang cukup rumit. Dalam struktur8 itu, dikenal beberapa istilah

yaitu kelompok suku, marga “induk” dan marga. Kelompok suku dikenakan pada

kelompok marga dari pohon silsilah. Marga “induk” adalah isitilah yang dapat

digunakan untuk menunjukkan bagian-bagian yang menjadi cabang dari

kelompok suku. Sedangkan, marga adalah itu sendiri dimaksudkan untuk

menandai bagian – bagian yang terpisah dari “marga induk” (Vergouwen:2004,7-

19).

Setiap orang batak memakai nama marganya di belakang nama biasanya

(Simanjuntak:2006). Marga pun menjadi sebuah identitas dari masyarakat Batak

Toba yang memiliki arti sebagai “pengada aktualnya”. Hingga marga pun

dikatakan sebagai “tubuh gaib”9 dari masyarakat batak. Dari penjelasan diatas,

marga dapat dikatakan sebuah organisasi yang sudah ada dan masih ada sampai

sekarang melalui proses berketurunan. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap orang

yang dilahirkan di dalam suatu keluarga marga maka dia akan memperolah marga.

Dari sejarah yang ada, marga – marga batak didasarkan pada nama nenek moyang

laki – laki yang membuat masyarakat menganut paham patrilineal

(Silitonga,2010:94).

8 Istilah dalam struktur ini diperkenalkan oleh vergowen untuk membantuk orang luar dalam memahami masyarakat Batak. Gambaran lebih jelas dan lebih mendalam dapat dicari dalam bukunya yang berjudul masyarakat dan hukum adat Batak Toba. 9 Tubuh gaib adalah sebagai identitas yang dapat menenjukkan keberadaannya(Silitonga:2010,95).

39

Didalam hubungan sosial masyarakat batak, marga merupakan dasar

dalam menentukan hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun

dengan orang – orang dari marga lain (Simanjuntak:2006). Fungsi lain dari marga

adalah menentukan kedudukan sosialnya dan kedudukan orang lain di dalam

jaringan hubungan sosial adat maupun kehidupan sehari – hari di dalam pergaulan

masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang dinamakan dalihan

natolu (Simanjuntak,B.A:2006,81). Falsafah dalihan natolu menjadi pedoman

bagi masyarakat batak toba untuk berperilaku terhadap sesama orang batak.

Tidak ada yang tahu pasti kapan munculnya keberadaan struktur

kemargaan dalam suku Batak, tapi yang pasti marga ada sejak keberadaan suku

Batak. Mitos yang ada mengatakan bahwa marga itu langsung diberikan oleh

Debata Mulajadi Na Bolon10 yang merupakan nenek moyang suku Batak.

(Simanjuntak,2006:80).

Vergouwen (dalam simanjuntak:1996,63-73), mengelompok kan marga

yang menjadi struktur dari masyarakat batak dari dua orang keturunan Si Raja

Batak yaitu Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isombaon. Dari keturunan Guru Tatea

Bulan kemudian muncul marga-marga Lontung dan dari Raja Isumbaon muncul

kelompok marga-marga Sumba. Kedua kelompok ini merupakan induk marga-

marga yang ada dalam struktur masyarakat Batak yang pada akhirnya pecah

menjadi lebih dari 325 marga (Situmorang,2009:46)

10 Debata Mulajadi Na Bolon merupakan Tuhan orang Batak sebelum mengenal agama. Parmalim merupakan aliran kepercayaan yang ada dalam suku Batak yang mengakui Debata Mulajadi Na Bolon sebagai Tuhan pencipta semesta. Hingga kini aliran keercayaan ini masih ada walaupun pengikutnya semakin sedikit akibat penyebaran agama di Tanah Batak (Hutagaol:2013).

40

I. Dalihan natolu sebagai falsafah

1. Falsafah

Filsafat merupakan salah satu cabang ilmu yang paling tua yang ada di

muka. Dia merupakan ilmu dari segala ilmu yang tidak mencoba memberikan

alternatif solusi atau jawaban terakhir dari setiap realitas yang ditemui oleh

manusia. Sifatnya yang reflektif membuat filsafat dapat memberikan berbagai

macam jawaban sesuai dengan tingkat perenungan manusia akan sesuatu. Filsafat

sebagai perenungan mengusahakan kejelasan, keruntutan dan keadan memadainya

pengetahuan, agar kita dapat memperoleh pemahaman. (Kattsoff:2006). Namun,

filsafat tidak akan memberikan solusi atau pun alternatif jawaban atas setiap

persoalan yang ada dengan melihat jawaban yang telah disepakati oleh semua

filsuf sebagai hal yang benar.

Filsafat sendiri dalam bahasa arab lebih dikenal dengan sebutan falsafah

sedangkan dalam bahasa inggris lebih dikenal dengan philosophy yang berasal

dari bahasa yunani philosophia. Kata philosophia terdiri atas dua kata yaitu philen

yang berarti cinta (love) dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Jadi

secara etimologi, istilah filsafat dapat berarti cinta kebijaksanaan (love of

wisdom) dalam arti yang sedalam – dalamnya. Kata filsafat pertama kali

digunakan oleh phytagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum begitu

jelas, kemudian pengertian filsafat itu diperjelas seperti yang banyak dipakai

41

sekarang ini dan juga yang digunakan oleh socrates (470-399SM) dan para filsuf

lainnya. (Lasiyo dan yuwono:1985;1).

Namun ada sebuah perbedaan yang cukup mendasar dalam memahami

sebuah falsafah dan filsafat. Menurut kamus besar bahas indonesia online,

falsafah diartikan sebagai pandangan hidup atau anggapan, gagasan, dan sikap

batin paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat11. Falsafah yang

menjadi pandangan hidup dan bertindak seseorang muncul ketika seseorang

berfilsafat. Secara sederhana hal ini berarti bahwa tujuan filsafat ialah

mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan menerbitkan serta

mengatur semua itu didalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita

kepada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih

layak. (Kattsoff:2004;3). Penjelasan ini menunjukkan bahwa filsafat itu adalah

sebuah lingkaran besar dimana falsafah berada didalamnya.

2. Falsafah Dalihan natolu

Dalihan na tolu berasal dari dua suku kata, yakni dalihan yang berarti

tungku untuk memasak dan tolu yang berarti tiga, yakni tungku yang berkaki tiga

(Simanjuntak, 2006 :99). Kaki tungku terbuat dari batu yang dibentuk bulat

panjang dan digunakan sebagai penyangga tungku untuk memasak (dalihan).

Kaki dalihan berjumlah tiga yang ditanam berdekatan sehingga membentuk

segitiga yang jaraknya simetris dan ditempatkan di dapur sebagai tungku alat

masak (Situmorang, 2010 : 101). Tungku itu diibaratkan sebagai orang Batak

11 http://kbbi.web.id/falsafah diunduh pada tanggal 01/09/014

42

secara keseluruhan, sedangkan tiga pilar itu adalah tiga golongan dari masyarakat

Batak yang sejajar dan menyokong berdirinya tungku.

Dalam kehidupan masyarakat Batak, dalihan na tolu tidak dimaknai

sebagai alat masak akan tetapi sebagai pengistilahan yang menggambarkan

tentang kekerabatan masyarakat Batak yang terdiri dari tiga bagian penting.

Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak. Jika

satu dari ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan. Inilah

yang dimaknai sebagai keseimbangan dalam sistem kekerabatan suku Batak.

Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang

akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan

tubu. Dengan demikian perlu adanya sikap saling menghormati di antara tiga

golongan masyarakat Batak, baik sebagai dongan tubu, hula-hula, dan boru

(Sitanggang, 2010 :48).

Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalihan

natolu adalah suatu bentuk kebudayaan berupa sistem kekerabatan yang mengatur

hubungan antar manusia masyarakat Batak yang merupakan nilai utama dari inti

budaya Batak yang terdiri dari ketiga unsur yaitu dongan sabutuha, hula hula, dan

boru. Unsur-unsur dalam dalihan na tolu dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hula - hula

Hula-hula berasal dari bahasa sansekerta ”kula” yang berarti pihak

pemberi istri (bride giving party). Berdasarkan sistem perkawinan, sumber

istri (bride giver) itulah yang disebut dengan hula-hula (Parkin, 1978 :

43

130). Misalnya seorang yang bermarga Silitonga memperistri seorang

perempuan yang bermarga Silalahi, maka seluruh orang Batak yang

bermarga Silalahi adalah kelompok pemberi istri kepada Silitonga dan

dengan begitu Silalahi adalah hula-hula mereka (Silitonga, 2010:103).

Terdapat landasan kognitif dan landasan normatif dalam hubungan hula-

hula ini, hal ini dapat dilihat dari makna umpama (pantun ungkapan bijak)

berikut ini :

“Hula-hula bona ni ari, tinongos ni ompunta Mulajadi, Sisubuton marulak

noli, sisombaon di rim ni tahi. Hula-hula matani ari binsar, Sipanumpuk

do Tondina, Sipanuai ia sahala, di nasa pomparanna”. (Basyral hamidy

dan Siahan, 1987:47)

Pantun ini bermakna bawah hula-hula adalah matahari yang dikirim

Ompung Mulajadi, harus membujuk hatinya setiap saat, merasa takjim

dalam kebersamaan. Hula-hula adalah matahari terbit, roh nya selalu

memberkati, dan kebijaksanaannya memperkuat batin keturunannya.

(Silitonga:2010).

Menurut adat Batak, hula-hula adalah matahari yang diutus Tuhan untuk

memberi pengayoman kepada roh setiap boru nya, oleh karena itu hula-

hula memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan dihormati oleh pihak

boru. Bagi pihak boru, hula-hula diumpamakan seperti matahari yang

menjadi sumber kehidupan dan pemberi berkat (Silitonga, 2010 : 105).

2. Dongan tubu.

Dongan tubu dapat dimaknai sebagai kelompok yang dianggap satu asal

perut. Bagi keseharian masyarakat batak sendiri, mereka memaknainya

44

sebagai teman semarga. Keturunan satu bapak atau satu nenek moyang

satu marga diartikan sebagai satu perut sumber kelahiran. Walau pun tidak

saling kenal, kelompok ini akan menganggap secara otomatis teman

semarga mereka sebagai satu garis darah atau satu keturunan (Silitonga,

2010 : 104). Umpama (pantun) yang melandasi hubungan dongan tubu

adalah :

“Ansimun sada holbung, pege sangkarimpang,Manimbang rap tu toru,

mangangkat rap tu ginjang”.

Arti pantun ini yaitu mentimun satu kantong, jahe satu bakul, sama sama

melompat ke bawah dan sama sama menanjak ke atas.

Hal ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menanggung suka dan duka,

ringan sama dijinjing berat sama dipikul di antara teman semarga(Basyral

dan Siahaan dalam Silitonga, 2010 : 104).

3. Boru

Boru adalah pihak penerima istri (bride receiving party). Boru artinya anak

perempuan, termasuk suaminya dan anak-anaknya, orang tua dari

suaminya dan golongan dongan tubu atau semarga dari suaminya. Dalam

dalihan na tolu, semua semua kelompok itu termasuk dalam golongan

boru. Terdapat pantun yang melandasi hubungan kekerabatan boru,

bunyinya adalah sebagai berikut :

“Siporsan na dokdok, sialap na dao, Na so mabiar di ari golap, siboan

indahan na so bari, Siboan tuak na so mansom”.

45

Pantun ini mengatakan bahwa Boru adalah pembawa beban berat dan

penjemput yang jauh, yang tidak takut pada keadaan gelap, yang

membawa nasi yang tidak basi dan pembawa tuak (air aren) yang tidak

masam. Boru diisyaratkan kepada pihak yang bersedia berkorban demi

hula-hula nya, dengan demikian pihak boru harus diperlakukan dengan

baik (Basyral dan Siahaan dalam Silitonga, 2010 : 105).

Ketiga unsur dalam dalihan na tolu tersebut saling betalian satu dengan

yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut karena setiap orang dapat

menjadi dongan sabutuha, boru, maupun hula-hula bagi individu yang lainnya.

Hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya X adalah seorang

suami dari Y. Apabila X sedang berada pada keluarga Y maka ia berperan sebagai

boru. Apabila X sedang berada pada keluarganya maka ia berperan sebagai

dongan tubu. Sedangkan apabila X memiliki anak perempuan dan menikah

dengan keluarga Z maka X adalah hula-hula bagi keluarga Z. Hal inilah yang

menunjukkan bahwa dalihan natolu memiliki nilai demokrasi didalam sistem

kekerabatannya.

Mekanisme dalihan na tolu menurut Sitorus (1998) berfungsi memelihara

kesatuan (integrasi) masyarakat Batak Toba. Hal tersebut dapat berlangsung

karena keluarga inti menjalankan fungsi-fungsi hula-hula, dongan tubu, dan boru

pada tempat, waktu, dan konteks peristiwa dan dengan cara yang benar. Fungsi

fungsi itu adalah :

a. Hula – hula pemberi pengayom

46

b. Dongan sabutuha menanggung bersama beban ringan maupun berat

(solidaritas).

c. Boru “berkorban” untuk hula – hula.

Sekali keluarga inti berhenti menjalankan fungsi-fungsi di atas, maka

integrasi masyarakat akan terancam. Nasib prasyarat integrasi tersebut ditentukan

oleh sejauh mana terjadi keseimbangan dalam pelaksanaan tri-fungsi dalihan

natolu. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: apabila seseorang tidak

menjalankan peran berdasarkan statusnya maka peran tersebut tidak dapat

digantikan oleh orang lain yang mimiliki status yang berbeda. Keadaan ini

menjadikan adanya peran yang tidak dijalankan, contohnya: jika hula-hula tidak

menjalankan fungsinya, maka tidak ada yang memberikan pengayoman; jika

dongan sabutuha tidak menjalankan fungsinya, maka tidak ada yang menanggung

beban; jika boru tidak menjalankan fungsinya, maka tidak ada yang berkorban

atau melayani. Hal ini dapat mengancam integrasi masyarakat Batak.

Ada satu semboyan yang menjadi pegangan bagi orang batak ketika akan

bepergian ketanah seberang yang terkait dengan dalihan natolu yaitu “ Somba

marhula hula, Manat mardongan tubu, elek marboru yang memiliki arti hendaklah

hati-hati dengan teman semarga, terhadap boru haruslah melayani, dan kepada

hula-hula harus dengan sikap menyembah.” (Siahaan, 1982).

47

INTI AJARAN ADAT DALIHAN NATOLU

No Sikap Batin Wujud Sasaran

a.Saling menghormati

(Marsihormatan) Somba marhula - hulaBanyak keturunan

(Hagabeon)

b.Saling menghargai (Marsipangasopan)

Manat mardongan tubu

Kehormatan (Hasangapon)

c. Saling menolong (Marsiurupan)

Elek marboru Kekayaan (Hamoraon)

Sebelum merantau, masyarakat batak akan mendapat pesan dari orang tua

untuk mencari hula – hula, dongan dan boru yang penentuannya berdasarkan garis

kekeluargaan dari ayah dan ibu. Orangtua menganggap bahwa merekalah yang

menjadi keluarga ketika mereka di rantau. Inti dari ajaran ini pun selalu

dipesankan kepada perantau. Ketika sampai di tanah rantau, masyarakat batak

akan mencari siapa saja yang menjadi bagian dari keluarganya. Biasanya, mereka

telah membawa alamat sanak famili yang mereka kunjungi diawal dan kemudian

tinggal selama beberapa hari untuk sekedar berteduh sebelum mendapatkan

hunian pribadi. Masyarakat yang tinggal di tanah rantau pun akan menerima

perantau yang datang ini walaupun mereka baru kenal ditanah rantau.

Sesuai dengan inti ajaran dalihan natolu, masyarakat batak pun akan

berperilaku sesuai dengan posisinya didalam tubuh dalihan natolu. Biasanya,

masyarakat batak ketika akan berkenalan dengan sesama masyarakat batak akan

menyebutkan terlebih dahulu silsilah keluarganya dan juga kemudian juga dengan

teman kenalannya. Apabila ada satu garis silsilah yang dapat menggambarkan ada

kesamaan ikatan kekeluargaan, masyarakat batak akan menentukan sikap nya

48

dalam bertindak. Proses perkenalan ini dinamakan martarombo. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh hutagaol (2010), budaya martarombo ini masih ada

dan berkembang luas ditengah – tengah masyarakat batak toba di yogyakarta.

Tanpa disadari, ada semacam pemaknaan yang berbeda yang ditanam

lewat dalihan natolu ketika berperilaku kepada sesama orang batak. Masyarakat

batak akan merasa lebih nyaman berada di lingkungan yang sama dengan garis

silsilah nya dibandingkan dengan sesama marga batak yang tidak memiliki silsilah

ini. Posisi yang dimiliki mereka membuat mereka tahu bagaimana berperilaku

dengan saudaranya lewat pemaknaan terhadap unsur dalihan natolu ini. Mereka

akan hormat kepada hula – hulanya, segan terhadap teman satu marga dan

menyayangi borunya. Sikap ini pun akan selalu dibawa dimana pun mereka

berada.

3. Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon, tujuan Hidup

Bangsa Batak.

Tujuan hidup dari bangsa batak adalah hamoraon, hagabeon dan

hasangapon. Manusia tidak akan mencapai tingkatan tertinggi sebagai seorang

batak ketika belum mencapai tujuan tersebut. Hamoraon memiliki arti kekayaan,

hagabeon memiliki arti banyak keturunan dan hasangapon berarti kehormatan atau

kemuliaan (Silitonga,111-112).

Ketiga unsur tersebut saling mendukung dan sama penting. Tujuan hidup

itu pun harus dicapai agar dapat disebut sebagai manusia batak yang utuh. Apabila

ketiga unsur tersebut tidak tercapai maka keberadaannya pun tidak sempurna.

49

Seseorang tidak akan dikatakan terhormat atau dihormati (hagabeon)

apabila dia tidak memiliki kekayaan (hamoraon). Keturunan pun menjadi hal yang

utama karena garis keturuanannya akan habis apabila tidak ada keturunan.

Apalagi ditambah dengan paham patrilinial yang dimiliki, seorang manusia batak

harus memiliki anak terkhusus anak laki – laki. Walaupun, dia memiliki harta

kekayaan yang melimpah tetapi ada suatu yang mengganjal dan kurang apabila

belum mendapatkan anak. Anak juga diibaratkan sebagai pelengkap dari tubuh

dalihan natolu ini. Walaupun anak laki – laki dipandang sebagai penerus dari

keturunan, anak perempuan juga memiliki peran yang cukup besar dalam keluarga

sebagai posisi dalam mengurus rumah tangga keluarga. Dua unsur utama itu

menjadi faktor untuk mencapai tujuan ketiga. Seorang batak akan lengkap

hidupnya jika hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), hasangapon (rasa

hormat) sudah tercapai, pencapaian hidup ini pun tidak hanya berguna ketika

hidup saja tapi berkaitan erat dengan keberadaan setelah kematian. Dari tujuan

hidup itu dapat disimpulkan bahwa suku memiliki karakter yang keras, enerjik,

dan memiliki ambisi seperti yang kita ketahui sehari – hari.

Menurut B.A Simanjuntak, Guru Besar Antropologi Universitas Negeri

Medan migrasi orang Batak keluar kampung halamannya didorong pandangan

hagabeon (sukses berketurunan), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon

(kekayaan) (Simanjuntak, 2006 : 105). Hamoraon, Hasangapon, Hagabeon,

merupakan falsah yang dipegang teguh masyarakat Batak dalam kehidupan

mereka. Menurut Aritonang hal inilah yang menjadi cita-cita tertinggi manusia

Batak masyarakat Batak. Simanjuntak mengatakan bahwa pencapain tujuan hidup

50

masyarakat Batak berdasarkan ketiga kosep itu merupakan sebagai kehormatan

dan kesempurnaan hidup (Simanjuntak, 2006 : 105). Ketiga konsep tujuan hidup

ini jugalah yang membuat suku Batak tidak segan meninggalkan kampung

halamannya untuk mencari penghidupan yang yang lebih baik, di tempat yang

sangat jauh sekalipun.

Ketiga unsur yang dijelaskan diatas menjadi satu identitas yang

mempengaruhi pola perilaku masyarakat batak. Dimana pun mereka berada,

budaya ini pun masih hidup dan tidak pernah hilang walaupun mereka sudah

bersentuhan dengan kebudayaan yang lain.

51

Bab III

Masyarakat Batak Toba di Yogyakarta

I. Migrasi masyarakat batak.

a. Pengertian migrasi

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lain dengan

melewati batas administratif sesuatu daerah dengan tujuan untuk menetap.

(Salamun;31)

Gerak perpindahan sering terjadi di indonesia yang menjadi salah satu

negara terbesar dan terbanyak penduduknya. Kebanyakan daerah – daerah di

indonesia memiliki kelompok – kelompok etnis yang menyebar akibat adanya

arus mobilisasi penduduk. Gerak mobilisasi ini pun terbilang cepat. Dipastikan

hampir setiap tahunnya, mobilisasi penduduk pasti terjadi. Contoh kasus bisa

terlihat dari kota jakarta. Salah satu kota terpadat di indonesia ini memiliki

masalah akibat gerak penduduk yang masuk kekota jakarta semakin meningkat.

Pemudik akan membawa teman atau sanak saudara mengadu nasib di kota

metropolitan ini. Masuknya penduduk ini tidak dibarengi dengan keluarnya

masyarakat yang telah menghuni jakarta hingga membuat jakarta semakin padat.

Masyarakat yang datang pun tidak memiliki cukup modal untuk mendapatkan

pekerjaan hingga mengakibatkan pengangguran semakin bertambah.

Pengangguran ini pun membuat angka kriminalitas meningkat. Masalah semakin

kompleks lagi ketika masyarakat yang ada itu memilih untuk menetap permanen

52

di jakarta. Ringkasan singkat dan contoh kasus ini dapat dikatakan sebagai salah

satu contoh perpindahan penduduk yang sering kita kenal dengan migrasi.

Riwayat migrasi adalah setua riwayat manusia (Naim,1984). Begitu juga

di indonesia, migrasi sudah dikenal sejak lama. Hal ini dapat dilihat dari catatan

sejarah yang menandakan bahwa migrasi orang Bugis Makassar sudah ada sejak

abad 17 ( Makmur:1988, 199). Migrasi sendiri dapat diartikan sebagai perubahan

tempat tinggal secara permanen, tidak ada pembatasan baik pada jarak

perpindahan maupun sifatnya yaitu apakah tindakan itu bersifat sukarela atau

terpaksa serta tidak diadakan perbedaan antara perpindahan dalam dan migrasi ke

luar negeri (Lee:1979,4). Namun, tidak semua proses perpindahan itu dapat

dikatakan sebagai sebuah migrasi seperti pengembaraan, pekerja musiman yang

tidak menetap, perpindahan sementara atau orang – orang yang sedang berlibur.

Jadi migrasi lebih bersifat menetap dan selamanya.

Penduduk yang bermigrasi tidak jarang membentuk sebuah kelompok –

kelompok etnis didaerah dengan kebudayaan yang jauh berbeda. Tidak jarang

kelompok – kelompok ini dipandang sebagai kaum minoritas oleh masyarakat

sekitar. Ini menjadi salah satu isu yang sering terjadi dan dapat menimbulkan

tindakan kekerasan yang sering terjadi akibat pelabelan yang diberikan oleh

masyarakat pendatang atau pun penduduk setempat. Kondisi seperti ini pernah

terjadi di indonesia yang dikenal dengan negara yang multietnis dan sangat

primordial. Sebagai contoh, kita mengenal konflik di poso dan sampit yang

menelan korban jiwa yang sangat banyak (Klinken:2007). Ada pun karakteristik

dari kelompok minoritas etnis ini adalah:

53

1. Didalam struktur masyarakat, kelompok dilabeli di posisi yang

paling bawah.

2. Kelompok yang paling dominan di dalam masyarakat memiliki

rasa hormat yang rendah terhadap budaya dan karakteristik dari

komunitas ini.

3. Memiliki kecintaan yang sangat besar terhadap kelompoknya

yang didasari atas bahasa, budaya, dan kesamaan atas ideologi,

tradisi dan tujuan didalam masyarakat mereka tinggal.

4. Keanggotaan yang ada bersifat turun temurun dan kebudayaan

yang ada selalu digariskan ke keturunannya.12

Di indonesia, migrasi lebih dikenal dengan sebutan merantau. Merantau

memiliki kata dasar rantau yang berarti sebuah daratan, atau pinggiran sungai,

sehingga lebih dikenal sebagai bahagian dari daerah pantai. Merantau dengan

awalan me berarti pergi ke rantau atau pergi merantau. Sering juga disebut

melakukan perantauan. (Sahur:1988,13). Merantau sendiri lebih dikenal dan

menjadi ciri khas bagi suku minangkabau (Naim:1984) dan bagi bangsa batak

lebih dikenal dengan marserak (Purba:1997).

Menurut naim (1984:2), merantau dari sudut pandang sosiologi

mengandung enam unsur pokok berikut:

1. Meninggalkan kampung halaman.

2. Dengan kemauan sendiri

3. Untuk jangka waktu yang lama atau tidak12 Castels and miller. 1993. The age of migration. The Guilford Press. New York. Hal 26-27.

54

4. Dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari

pengalaman.

5. Biasanya dengan maksud kembali pulang, dan

6. Merantau adalah lembaga sosial yang membudaya.

Unsur yang terkandung dalam merantau ini sangat menarik untuk dibahas

lebih jauh. Hal pertama yang patut dicermati adalah adanya kemauan yang

muncul dengan sendirinya dari seseorang untuk mengubah nasib dengan

bermigrasi. Ada semacam pemaknaan akan realitas kondisi lingkunga. Tuntutan

tersebut akan mendorong setiap orang untuk bermigrasi

Dorongan untuk pergi pun semakin kuat ketika melihat banyaknya orang

yang sukses di tanah perantauan. Akan tetapi, tujuan akhir dari perantau ini adalah

kembali pulang. Kembali pulang disini bukan berarti mereka meninggalkan apa

yang telah mereka bangun. Biasanya, mereka pulang untuk sekedar menunjukkan

bahwa mereka telah sukses ataupun sekedar ingin melepas rindu dikampung

halaman. Tidak hanya sekedar materi yang dibawa, perantau ini pun bercerita

tentang kehidupan mereka di rantau. Cerita kesuksesan ini pun membuat setiap

orang berkeinginan untuk merantau. Perantau yang ingin kembali ke tanah rantau

pun tidak segan – segan mengajak orang kampung untuk ikut ke tanah rantau. Hal

ini akan menjadi suatu lembaga sosial yang membudaya dimana siklus ini akan

terus ada dan turun temurun.

b. Migrasi bangsa batak toba.

55

Perpindahan penduduk bagi suku minangkabau dikenal dengan sebutan

merantau sedangkan dalam bahasa batak dikenal dengan kata marserak. Marserak

sendiri memiliki arti menyebar keseluruh wilayah marga sendiri dan apabila tidak

memungkinkan lagi perluasan wilayah berlangsung ke daerah – daerah yang

tanahnya belum dimiliki marga lainnya. Dewasa ini, marserak mengandung arti

yang sangat luas. Selain memiliki arti menyebar, marserak memiliki unsur

mobilitas ekonomi dan sosial13.

Dalam percakapan sehari hari, ditemukan beberapa kata – kata yang

memiliki maksud yang sama dengan kata marserak yaitu manombang,

mangaranto, marjalang, marlompang, mangombo, mangalului jampalan na

lomak atau masiampapaga na lomak. Istilah - istilah ini pada umumnya

mempunyai tujuan yang sama yaitu pergi ke daerah lain, di luar kabupaten atau

propinsi. 14

1. Sejarah migrasi bangsa batak toba

Menurut mitos yang ada, kakek moyang suku batak itu bermukim di

daerah didaerah sekitar Danau Toba. Kampung leluhur mereka (Siraja Batak)

adalah Sianjur Mula – Mula, di kaki gunung Pusuk Buhit15. Proses migrasi

penduduk sudah ada ditatanan hidup masyarakat batak sejak Siraja Batak

mendiami Sianjur Mula - Mula. Menurut vergouwen, gerak mobilitas orang batak

13 Purba, OHS & Elvis. 1997. Migrasi Spontan Batak Toba (MarseraK). Medan:Monora, Hal22.14 Perbedaan istilah diatas hanya terdapat di siapa, apa, kapan dan bagaimana sifat dari masing – masing perpindahan tersebut. Penjelasan mendalam dapat dilihat di buku marserak karangan purba.15 Lihat juga Hutagalung, 1926; Vergowen, 1964; Silitonga , 2010

56

toba berawal dari keturunan Siraja Batak dan lambat laun ke seluruh penjuru

Tanah Batak16. (Purba:1997,14).

Dalam sistem nilai masyarakat Batak Toba Tradisional, memiliki tanah

terutama persawahan memberi status yang tinggi bagi masyarakat mereka. Tanah

merupakan lambang kekayaan dan kerajaan. Jadi, untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarganya, masyarakat Batak Toba akan memperluas tanah untuk

dijadikan sebagai areal pertanian yang berimbas pada pembangunan “kerajaan”

buat diri dan anggota keluarga kelak.

Sebuah ungkapan yang berisi lulu anak, lulu tano dapat menjelaskan

bahwa ada korelasi antara proses migrasi dengan tujuan hidup masyarakat batak.

Ungkapan diatas secara harafiah memiliki arti suka akan anak ( supaya gabe/

berketurunan), juga suka akan tanah. Maksud dari ungkapan ini adalah semakain

banyak anak (keturunan) dibutuhkan areal pertanian yang luas untuk menghidupi

mereka. Lingkungan kampung dan areal pertanian yang terbatas mendorong

petani meninggalkan kampung halamannya (Purba:1997,27)

Pada akhirnya, masyarakat akan berpindah dari satu desa ke desa lainnya

atau dari satu daerah kedaerah lainnya secara berkelompok ataupun individu

untuk mewujudkan cita - citanya. Perpindahan kelompok ini biasanya berasal dari

satu kelompok kecil marga atau mungkin satu kakek (sasuha) atau satu kampung

asal. Kampung baru yang mereka buka menjadi daerah “kerajaannya” dan tidak

jarang memberi nama sama dengan kampung asal atau marga pembukanya.

16 Menurut joustra (dalam Purba:1997,1), tanah batak berada pada 0,50 – 3,50 Lintang utara dan 97,50 – 1000 bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 50.000 km2

57

(Purba:1997,28). Selain dikarenakan lahan yang tidak cukup untuk digarap,

masyarakat batak juga melakukan migrasi dikarenakan hukuman akibat

pelanggaran berat yang dilakukan. Pengusiran dan sanksi sosial yang diterima

memaksa mereka untuk keluar dan membuka kampung baru.

Seiring dengan berjalannya waktu, suku Batak mula-mula kemudian

bertambah banyak dan mulai menyebar dari Pusuk Buhit (Bukit di Daerah Danau

Toba) ke beberapa daerah di Sumatera Utara. Penyebaran ini kemudian

menyebabkan perpecahan suku Batak ke dalam beberapa sub suku Batak. Di

daerah Tapanuli Utara terdapat sub suku Batak Toba (Pulau Samosir, Balige,

Siborong-borong, Tarutung), dan sub suku Batak Pakpak (Dairi). Di daerah

Tapanuli Selatan terdapat sub suku Batak Angkola (Padang Sidempuan, Sipirok,

Gunung Tua) serta sub suku Batak Mandailing (Penyabungan, Natal, dan Muara

Sipongi). Di daerah Sumatera Timur terdapat sub suku Batak Karo (Kabanjahe),

dan sub suku Batak Simalungun (Pematangsiantar). Dengan begitu suku Batak

terdiri dari enam sub suku yaitu Toba, Pakpak, Angkola, Mandailing, Karo, dan

Simalungun. Jumlah sub suku Batak terbesar dalah Batak Toba (Hutauruk,

1987:6).

Masuknya unsur baru pasti membawa perubahan bagi manusia.

Pendidikan menjadi salah satu unsur baru yang mempengaruhi pola pikir

masyarakat batak. Menurut purba (1987), sistem pendidikan yang dimiliki oleh

masyarakat batak pada awalnya bersifat pengetahuan praktis yang disesuaikan

dengan kebutuhan dan lingkungan serta diperoleh dari warisan atau pun meniru.

58

Masuknya misionaris17 ke daerah batak juga diikuti oleh pendidikan barat

yang membuat sistem pendidikan praktis mulai ditinggalkan. Pendidikan barat

tersebut membuka pola pikir masyarakat yang bersifat agraris lambat laun

menjadi memudar. Masyarakat pun pada saat itu sadar bahwa tanah tidak lagi

menjadi salah satu media untuk mencapai kehormatan (hasangapon). Pada saat

itu, masyarakat memandang bahwa jabatan di dalam gereja dapat mengangkat

status hidupnya karena berwibawa dan dihormati (Purba;1987,65).

Dewasa ini, peluang untuk mendapatkan jabatan dan penghasilan yang

lebih besar di instansi pemerintahan, perkebunan dan instansi – instansi swasta

terbuka lebar. Hal ini membuat masyarakat berlomba – lomba mencoba untuk

mencari pekerjaan yang dapat mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan.

Masyarakat pun berlomba – lomba untuk memperoleh pendidikan yang tinggi

untuk mendapatkan pekerjaan didaerah atau pun sampai ke pulau jawa.

(Purba:1987,65). Orang tua pun pada akhirnya bersedia mengorbankan apapun

untuk menyekolahkan anaknya18. Menurut castles (1972), pendidikan menjadi

salah satu media mobilitas sosial untuk mendapatkan kedudukan ditempat mereka

kerja.

Pemikiran yang sudah terbuka akibat pendidikan yang sudah ada membuat

masyarakat mampu melihat kondisi sekitarnya. Masyarakat pun merantau

dikarenakan melihat kondisi dari daerah Batak yang masih tertinggal.19 Kondisi

17 Misionaris adalah sekumpulan orang yang memiliki misi untuk menyebarkan agama kristen 18 Aritonang, Jan S. 1988. Sejarah Pendidikan di Tanah Batak. Jakarta:BPK Gunung Mulia.19 Simanjuntak, BA. Konflik Status dan Kesuksesan Orang Batak Toba, Prisma Tahun 1993, hal 20.

59

dan pemikiran ini masih tetap ada di benak masyarakat Batak yang membuat arus

perpindahan masyarkat batak cukup tinggi.

2. Falsafah penuntun Migran Batak

Etos manusia sebagai individu dan masyarakat berkaitan erat dengan

filsafat yang dianut, dan filsafat tersebut berkaitan erat dengan kebudayaan.

Keterkaitan yang saling mempengaruhi di antara filsafat dan kebudayaan

menyebabkan pembahasan tentang etos suatu masyarakat atau manusia tidak

mungkin dilakukan dengan baik tanpa mendalami kebudayaan dari masyarakat

yang bersangkutan.20

Falsafah hidup pun menjadi penuntun bagi masyarakat batak kemana pun

mereka pergi. Prinsip dalihan na tolu dijadikan konsep dasar kebudayaan Batak

baik di kampung halaman atau desa maupun tanah perantauan. Pada tahap yang

lebih tinggi, dalihan na tolu dihayati sebagai sistem kognitif ,sistem berperilaku

berdasarkan pengetahuan, yang memberikan pedoman bagi orientasi setiap orang

Batak. Hal ini ditunjukkan dengan posisi orang batak sendiri dalam kaitannya

bermasyarakat sesuasi dengan prinsip dalihan natolu. Di tingkat selanjutnya,

dalihan natolu adalah pengetahuan kolektif yang menentukan persepsi dan definisi

terhadap realitas (Harahap, 1987).

Penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa tujuan hidup (hamoraon,

hagabeon, hasangapon), yang pencapaiannya diatur oleh dalihan natolu hingga

20 Muhammad, mar’ie. 1996. Ruh Islam dalam Budaya Bangsa. Yayasan Festival Istiqlal:Jakarta, hal 69.

60

dapat berjalan dengan adanya marga dari masyarakat batak yang tidak dapat

dilepas dari gerak perpindahan masyarakat (Purba:1997). Hasil pemakanaan akan

budaya yang udah ditanamkan dan diwariskan membuat masyarakat batak dikenal

dengan sikapnya yang tidak pantang menyerah untuk mendapatkan sesuatu.

Sebelum lebih jauh mendalami tentang pola perilaku yang didasari atas

pemaknaan akan falsafah, pandangan umum tentang orang batak perlu dicermati

lebih mendalam. Warnaen (2001, 185) telah mengelompok beberapa stereotipe

tentang masyarakat rantau di jakarta.

Isi stereotipe tentang Orang batak menurut tujuh golongan etnis di dalam Jakarta yang dilengkapi dengan frekuensi dalam %.

61

Suku

Stereotipe

Sun

da (

Jaka

rta)

Jaw

a (J

akar

ta)

Min

angk

abau

(Ja

kart

a)

Bat

ak (

Jaka

rta)

Min

ahas

a (J

akar

ta)

Mal

uku

(Jak

arta

)

Tio

ngho

a (J

akar

ta)

Jaw

a/S

unda

(Ja

kart

a)

Jaw

a/L

ain

- la

in (

Jaka

rta)

Sun

da/L

ain

- la

in (

Jaka

rta)

Cam

pura

n / L

ain

- la

in (

Jaka

rta)

Lai

n -

lain

(Ja

kart

a)

Kasar 75 70 84 38 90 80 84 82 68 71 75 64Ikatan keluarga

kuat45 33 34 67 40 28 26 37 29 32 44 37

Cepat marah 43 35 35 30 33 36 41 34 39 50 41 45Emosional 38 38 39   26 28 30 25 34 35 41 29

Senang berkelompok

28 27 21         28 29   27 32

Agresif     26 26 23         28    Kepala batu 36 25         22 34 36   33 16

Ribut   19       36            Licik     23     24 19     25    

Blak – blakan       30     19         16Ambisius       22 26   16   21 25    Terbuka       20                

Suka pesta         20              Kolot                        

Serakah           32           16Jorok               22        

Subjek penelitian ini terdiri atas 8 suku yaitu suku bangsa Jawa, suku

bangsa Batak, suku bangsa Sunda, suku bangsa Minangkabau, suku bangsa Bugis

– Makassar, suku bangsa Minahasa, suku bangsa Ambon, suku bangsa Tionghoa.

Lokasi penelitian sendiri berada di jakarta yang menurut warnaen dipilih karena

daerah dimana semua suku bangsa yang dijadikan sampel jumlah penduduknya

merupakan kaum minoritas dan terdapat kontak antarsuku bangsa yang luas dan

intensif. Pemilihan ini juga didasari atas jakarta yang merupakan pusat

pemerintahan dan juga pusat perekoniman yang membuat masyarakat selalu

bermimpi untuk bekerja di jakarta.

Dari bagan diatas, stereotipe yang muncul stereotipe tentang orang batak

toba adalah kasar, cepat marah, emosional dan memiliki ikatan kekeluargaan

yang sangat kuat. Sifat kasar pun menjadi urutan pertama dalam stereotipe yang

muncul di tengah – tengah masyarakat multietnis ini tentang masyarakat batak.

Nilai yang muncul dari skala 100% menunjukkan hampir sebagian besar

masyarakat batak dinilai sebagai pribadi yang kasar. Penelitian yang dilakukan

bruner21 (dalam narwaen:2001,hal30-45) juga menunjukkan bahwa stereotipe

yang muncul di kota – kota tertentu juga cenderung memandang bahwa orang

batak sebagai orang yang kasar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat batak

tidak bisa merubah kebiasaan mereka didalam berperilaku di masyarakat. Orang

batak sendiri masih

Silalahi (1996,hal 70-72) mencoba meninjau secara filosofis tentang

masyarakat batak Toba melalui perilaku berbisnisnya yang juga mempengaruhi

21

62

perilaku bermasyarakat di daerah tempat mereka tinggal. Dalam setiap upacara

adat, masyarakat batak selalu menekankan dan ditekankan konsep tujuan hidup

yang harus dicapai hingga menjadi manusia yang unggul di bandingkan yang lain.

Penekanan yang dilakukan terus menerus ini membuat unsur persaingan terasa

kuat di dalam diri orang batak Toba. Dibeberapa contoh kasus, unsur persaingan

ini pun lambat laun menjadi sebuah kompetisi bagi orang Batak Toba yang pada

akhirnya menimbulkan sikap cemburu dan sombong secara berlebihan.

Tinjauan filosofis lainnya juga dapat dilihat dari pelaksanaan tata adat

masyarakat batak, baik pesta perkawinan, pesta kematian dll. Musyawarah dan

mufakat, yang didalamnya harus ada unsur dalihan natolu, merupakan prasyarat

yang harus dilakukan sebelum melakukan upacara adat batak. Setiap unsur

dalihan natolu diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat mengenai hak

dan kewajibannya. Peniadaan kesempatan dari unsur tersebut dapat diartikan

sebagai bentuk dari penghinaan yang menginjak harkat martabat identitas dari

orang batak itu sendiri. Hal ini dapat menunjukkan bahwa orang batak toba adalah

orang yang demokratis dan sangat keras terkait dengan hak dan kewajibannya

(silalahi:1996,hal 72-73).

Menurut koentjaraningrat (1982, hal 126-143), konsep gotong royong

dapat dilihat di upacara adat batak Toba yang selalu berlandaskan dalihan natolu.

Setiap unsur dalam dalihan natolu mempunyai peranan dalam mensukses upacara

adat ini. Sebagai contoh:

63

Bila ditelaah lebih jauh, sifat kasar ini muncul ketika mereka berada di

daerah rantau. Sikap keterbukaan yang selalu ditanamkan serta cara

mengungkapkan hak dan kewajiban yang berbeda (keras) dengan budaya setempat

membuat mereka di cap sebagai orang yang kasar (silalahi:1996,hal 73-75).

Silalahi (1996) berpendapat sikap kasar yang dipandang masyarakat umum terjadi

karena kebiasaan masyarakat batak yang berbicara keras didalam berkomunikasi

di setiap upacara adatnya. Kerasnya berbicara ini pun tidak lepas dari lingkungan

mereka di kampung. Wilayah topografi yang luas dan berbukit – bukit serta letak

antar kampung yang jauh dan jarak antar rumah dan sawah yang relatif dekat

mengharuskan mereka untuk berbicara keras dalam menjalin komunikasi. Hal ini

pun pada akhirnya menjadi kebiasaan masyarakat batak toba yang dikenal dengan

suaranya yang keras. Kebiasaan berkomunikasi dengan suara yang keras dan

lantang ini pun masih tetap terbawa ketika mereka berada didaerah rantau. Tidak

jarang terjadi rasa ketidaksenangan kepada masyarakat rantau dimana pun mereka

berada.

Nilai - nilai kebudayaan yang mempengaruhi perilaku seseorang

memunculkan berbagai stereotipe di masyarakat umum. Bentuk dari stereotipe ini

pasti akan mempengaruhi proses adaptasi di masyarkat sekitar. Timbulnya

sentimen – sentimen di dalam lingkungan tempat mereka tinggal tidak jarang

berujung konflik yang diakibatkan adanya kepentingan – kepentingan yang harus

dijaga saat di tanah rantau. Kepentingan – kepentingan ini dapat berupa

kelangsungan hidupnya, pekerjaannya, dan juga harta bendanya.

II. Masyarakat batak di yogyakarta.

64

a. Migrasi bangsa batak ke yogyakarta

Yogyakarta dikenal dengan sebutan kota budaya. Pelabelan kota

yogyakarta ini tidak terlepas dari budaya keraton yang masih melekat erat dan

membudaya di setiap unsur lapisan masyarakat. Masyarakat pun masih memegang

teguh nilai – nilai filosofis dari budaya yang diwariskan. Tidak banyak kota di

indonesia memiliki keterikatan budaya sekuat kota yogyakarta. Biasanya, unsur

modernitas sudah menggrogoti setiap jengkal dari sudut kota yang membuat

kebudayaan lantas tergerus dan lambat laun menghilang.

Selain dikenal dengan budaya keratonnya, yogyakarta pun dikenal dengan

kota yang memiliki masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa.

Data statistik tahun 2000 yang dirangkum (leo, dkk: 2003) menunjukkan hampir

3,18 % merupakan warga pendatang yang terdiri atas sunda, melayu, batak, sina,

minangakabau, bali, madura, banjar, bugis, betawi dan banten. Data statistik ini

pun belum menunjukkan komposisi dari masyarakat timur yang ada di

yogyakarta. Walaupun terdiri dari berbagai macam kebudayaan, masyarakatnya

tetap hidup rukun dan saling menghormati.

Pemaknaan tentang yogyakarta

St M. Marpaung22 berpendapat masuknya masyarakat batak juga dibarengi

dengan berdirinya gereja HKBP di yogyakarta. 22 St M Marpaung adalah salah satu pengurus yang ada di yogyakarta. Beliau merupakan salah satu narasumber yang dipilih karena mengetahui seluk beluk sejarah tentang masyarakat batak secara keseluruhan dan juga mengetahui tentang dinamika yang terjadi terhadap masyarakat batak toba di yogyakarta.

65

Pardede, 09/14/14,
Jelaskan berdasarkan pendapat narasumber

“Berdirinya HKBP di yogyakarta terjadi pada tahun 1946 dimana sebelum tahun 1946 telah ada persekutuan – persekutuan yang dibuat untuk

mewadahi masyarakat batak Toba yang sudah merantau melaksanakan kewajibannya sebagai umat beragama.”23

Pendapat ini didasari atas gereja HKBP yang merupakan perpaduan antara

agama dan budaya. Ada unsur didalam kebudayaan yang beralkulturasi di agama

kristen sendiri seperti bahasa dan tata ibadah yang membuat HKBP dapat

dikatakan juga sebagai identitas dari masyarkat batak. Salah satu bentuk dari

eksistensi masyarakat batak dapat dilihat dari ada dan terbentuknya gereja HKBP

disuatu daerah.

Pada tahun 1940an, masyarakat batak telah banyak datang ke pulau jawa,

termasuk yogyakarta. Tuntuntan profesi sebagai pejabat pemerintahan menjadi

motif datangnya orang batak pertama ke yogyakarta. Setelah itu, masyarakat batak

Toba datang ke Yogyakarta untuk melakukan studi di AMS (Algemene

Middlebare School)24 yang hanya ada di yogyakarta.25

“Pendidikan dan pekerjaan menjadi motif awal masyarakat memilih yogyakarta untuk merantau. Namun, yogyakarta dikenal dan dijadikan tujuan utama untuk merantau karena pendidikan. Mahasiswa batak yang datang ke yogyakarta bisa mencapai lebih kurang 200 orang setiap tahunnya. Yang menetap di yogyakarta itu kira kira sekitar 10.000 warga. Untuk tinggal dikota sendiri saya melihat ada

kencenderungan masyarakat batak memilih tinggal karena sudah merasakan suasana jogja yang nyaman dan tenang serta biaya hidup yang murah ketika si anak melanjutkan study atau orang tua yang mengunjungi anaknya yang kuliah

23 Hasil wawancara yang dilakukan oleh bapak St. M Marpaung pada tanggal 4 september 2014 pada pukul 16.00 24 AMS adalah sekolah setingkat SMU.25 Lima puluh tahun HKBP Yogyakarta, Gereja HKBP Yogyakarta: 1996, hal 3.

66

hingga memutuskan untuk pindah ke jogja. Orang batak yang sudah lama tinggal di yogyakarta pun dikarenakan mereka pensiun dan memilih untuk tinggal di

yogyakarta. Hal lain yang saya liat adalah adanya penempatan kerja membuat masyarakat batak harus menetap di jogja. Kecenderungan yang terjadi akhir –

akhir ini adalah masyarakat batak pindah ke jogja karena semua anaknya bersekolah di jogja. Orang tua merasa jauh dan tidak dapat mengontrol anaknya

di kampung. Hal ini membuat keluarga memutuskan untuk pindah ke jogja.”26

Dewasa ini, motif awal kedatangan masyarakat batak toba juga tidak

dapat terlepas dari urusan pekerjaan dan pendidikan. Yogyakarta yang dikenal

dengan kualitas pendidikan yang cukup tinggi membuat orang tua memilih

menyekolahkan anaknya ke yogyakarta. Akses informasi yang begitu besar dan

luas membuat orang tua di kampung sudah memiliki banyak informasi tentang

kehidupan di yogyakarta beserta sekolah dan universitas yang berkualitas. Hal ini

tercermin dari jumlah masuknya mahasiswa batak yang kira – kira sekitar 200

orang per tahun yang tersebar di sekolah maupun universitas negeri dan swasta di

yogyakarta.

Walaupun jumlah mahasiswa masuk ke yogyakarta cukup tinggi,

mahasiswa yang menetap dan tinggal secara permanen tidaklah banyak. Motif

mereka untuk melanjutkan studi membuat waktu untuk tinggal hanya sebatas lama

mereka menyelesaikan studi. Mereka yang sudah menyelesaikan waktu studi akan

meninggalkan yogyakarta dikarenakan sudah mendapatkan kerja di luar

yogyakarta ataupun pulang ke kampung halaman. Setelah pensiun dari kerja,

perantau ini biasanya kembali dan menetap ke yogyakarta untuk menghabiskan

masa tua. Perantau ini cenderung menyekolahkan anaknya di pulau jawa agar

26 Hasil wawancara yang dilakukan kepada bapak St. M Marpaung pada tanggal 4 september 2014 pada pukul 16.00

67

lebih dekat dengan orang tuanya. Penempatan kerja dari instansi pemerintah atau

pun mendapatkan pekerjaan di yogyakarta menjadi salah satu motif lain dari orang

batak menetap di yogyakarta.

Orang batak yang datang ke yogyakarta untuk mengunjungi anaknya

terkesan dengan lingkungan nyaman dan kondusif beserta biaya hidup yang

murah. Kenyamanan yang mereka rasakan membuat mereka membeli tanah dan

rumah disana. Trend yang akhir – akhir ini berkembang adalah orang tua ingin

menemani anak yang melanjutkan studi di yogyakarta. Trend ini terjadi

dikarenakan orangtua yang memiliki keterbatasan akses akibat tuntutan pekerjaan

yang membuat interaksi dengan si anak jadi terasa kurang. Biasanya, ayah yang

memiliki pekerjaan di kalimantan memiliki akses yang sangat terbatas untuk

berkomunikasi ke ibu yang ada di kampung dan anak melanjutkan studi di

yogyakarta. Sehingga di ambil keputusan bahwa seluruh keluarga pindah ke

yogyakarta.

Tingginya tingkat migrasi suku Batak ke tempat yang jauh dari kampung

halamannya ternyata tidak mengikis ikatan suku Batak terhadap kampung

halamannya (bona pasogit). Suku Batak termasuk salah satu suku yang tetap

memelihara ikatan kuat terhadap adat dan tradisi mereka. Ikatan geneologis tetap

dipegang, dan bahkan ikatan itu menjadi pedoman untuk membangun solideritas.

Batak adalah tetap Batak, sekalipun mereka sudah berpindah dari desa ke kota,

sikap-sikap dan ideologi Batak tetap dipertahankan (Adonis, dkk : 1993:31).

Ikatan kultural yang terbentuk dari nilai – nilai kultur yang ada akan tetap

68

dilestarikan dimana pun orang batak berada. Di yogyakarta sendiri, orang batak

membawa kebudayaan, lewat acara adat dan pembentukan perkumpulan serta

kegiatan sosial, yang ada di kampung halaman (bona pasogit) dan hidup bersama

dengan kebudayaan asli yogyakarta. Tidak ada perbedaan dari bentuk kegiatan

dilakukan di kampung dan di yogyakarta.

Hutagaol (2013), dalam penelitiannya, mencoba mengelompokkan bentuk

– bentuk tradisi masyarakat batak toba di yogyakarta.

1. Punguan Marga (perkumpulan marga)

Punguan marga atau parsadaan marga adalah perkumpulan orang Batak

yang didasarkan atas kesamaan marga. Tujuan dibentuknya perkumpulan marga

di kota adalah agar dapat saling membantu sesama mereka dalam berbagai

masalah, terutama masalah ekonomi. Selain itu, upacara-upacara adat dan

keagamaan yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian seseorang

juga diselenggarakan dengan melibatkan orang-orang dalam lingkungan

perkumpulan marga (Adonis, dkk: 2993 :31-32). Menurut Sulistyowati, punguan

marga sangat berpotensi untuk mempertebal rasa solideritas sesama suku Batak

ketika aktivitas punguan marga diintensifkan dalam berbagai pertemuan dan pesta

adat (acara kematian, pernikahan, dan sebagainya) (Sulistyowati, 2005 : 96-99).

Panjaitan mengatakan bahwa perkumpulan marga juga berperan dalam

menyelesaikan berbagai sengketa keluarga (Panjaitan, 1977 :64-66).

69

Di yogyakarta, setiap marga suku Batak di yogyakarta memiliki punguan

( perkumpulan ) marga sendiri. Setiap punguan biasanya memiliki acara sendiri

seperti arisan yang dilaksanakan setiap sebulan sekali, acara natal, dan acara

perayaan Tahun Baru. Selain berdasarkan marga, terdapat perkumpulan

berdasarkan induk marga. Sebagai contoh, marga pardede yang memiliki

punguan sonakmalela dimana punguan sonak malela ini terdiri atas marpaung,

sonakmalela, napitupulu dan pardede.

Pada dasarnya fungsi punguan marga yang paling penting adalah sebagai

pengganti orang tua di daerah perantauan. Punguan marga berperan dalam

membantu anggota menyelesaikan berbagai masalah. Dalam punguan dibuat

aturan dan cara-cara untuk dapat saling membantu satu sama lain, misalnya dalam

hal menanggulangi kemalangan, pengadaan upacara-upacara adat dan acara

keagamaan. Dalam punguan marga dibentuk struktur pengurus yang terdiri dari

ketua dan bendahara dan struktur lainnya lainnya, merekalah yang senantiasa

mengurus aktivitas punguan (Sulistyowati, 2005:98-99).

2. Paradaton (pelaksanaan adat)

Hutagaol (2013) berpendapat acara adat Batak yang tergolong besar masih

tetap dilaksanakan di Yogyakarta seperti acara pra-pernikahan (membicarakan

sinamot, dan martonggoraja)27 hingga acara pernikahan, acara adat kematian,

27Sinamot merupakan sejumlah uang diberikan pihak lelaki kepada pihak perempuan sebelum mereka dinikahkan sebagai tanda “dibelinya” perempuan dan masuk ke keluarga lelaki. Sinamot merupakan hasil kesepakatan kedua pihak yang menikahkan anaknya. Martonggoraja adalah acara dimana para penatua adat dan keluarga kedua belah pihak yang akan menikahkan anaknya bertemu dan membahas konsep pernikahan yang akan dilangsungkan. Dalam acara martonggoraja juga akan dibicarakan mengenai jumlah sinamot yang akan dibayarkan pihak lelaki kepada pihak perempuan.

70

acara mangadati (membuat acara adat bagi pasangan menikah yang belum

dinikahkan secara adat Batak), dan acara adat lainnya.

Pada umumnya tidak terdapat pergeseran yang besar dalam pelaksanaan

adat Batak di Yogyakarta dengan kampung halaman. Perbedaan yang mungkin

sering terjadi di daerah perantauan adalah dalam adat pernikahan. Misalnya

seorang putri Batak yang menikah dengan putra Jawa, dalam konteks adat Batak

merekatidak bisa dinikahkan karena putra Jawa tersebut tidak memiliki marga

sehingga adat dalihan na tolu tidak bisa diterapkan. Dengan begitu harus

dilakukan penyesuaian dengan memberi putra Jawa tersebut marga atau mereka

tidak dinikahkan dalam adat Batak. Situasi ini tentu berbeda dengan di bona

pasogit yang mengharuskan adanya pernikahan dalam adat Batak Toba.

Perkawinan campur tidak akan berpengaruh terhadap kelangsungan adat Batak

karena pelestarian adat Batak Toba terletak pada kesadaran dan kemauan generasi

muda untuk melestarikannya.

3. Gereja Batak Toba

Gereja HKBP di Yogyakarta hanya satu yang terletak di jalan I.D.

Nyoman Oka No. 22. Gereja HKBP Yogyakarta berdiri tanggal 7 April 1946 dan

menjadi gereja Ressort pada tahun 1989. Gereja HKBP Yogyakarta mempunyai 5

Gereja Pagaran yaitu HKBP Surakarta, HKBP Magelang, HKBP Boyolali, HKBP

Klaten, dan HKBP Jogja Timur Sleman.28

28 http://h-k-b-p.blogspot.com/2007/08/hkbp-jogjakarta.html, diakses 11 Juli 2013

71

Di Yogyakarta selain Gereja Batak Toba (HKBP), terdapat juga gereja

gereja dari sub suku Batak Simalungun yakni Gereja Kristen Simalungun

Indonesia (GKPS) dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang terletak di jalan

Monjali Nandan Yogyakarta. Selain di gereja Batak, orang Batak yang mayoritas

menganut agama kristiani juga banyak yang bergereja di gereja lain. Misalnya

GKI (Gereja Kristen Indonesia), Katholik, gereja-gereja yang beraliran

Kharismatik, Gereja Kristen Protestan Indonesia, dan sebagainya. Gereja

merupakan salah satu wadau berkumpulnya orang Batak di daerah perantauan

karena suku Batak mayoritas beraga kristen.

4. Lapo (warung khas batak)

Lapo adalah warung yang menyediakan makanan dan minuman khas

Batak. istilah lapo biasanya dipakai hanyadi kota saja yang jauh dari bona pasogit.

Di kampung halaman istilah lapo masih jarang digunakan, istilah yang digunakan

adalah kode (kedai). Di Lapo biasanya disediakan makanan khas Batak seperti

ikan mas arsik, sambal teri, daging babi atau anjing panggang (B2/B1) dan daging

babi atau anjing (B2/B1) saksang. Minuman yang menjadi ciri khas di lapo adalah

minuman khas Batak, tuak. Tuak adalah air aren yang bisanya digunakan untuk

membuat gula merah. Tuak berasal dari air aren (arenga pinnata) yang baru

diambil dari pohonnya yang kemudian difermentasi menggunakan kulit kayu yang

dalam bahasa Batak disebut raru. Setelah difermentasi oleh paragat (penyadap air

aren) kemudian tuak didistribusikan ke kedai penjual tuak atau lapo (Ikegami,

1997).

72

Menurut Sunanto, pohon aren tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian

500 - 800 meter diatas permukaan air laut (Sunanto, 1993). Pohon aren sendiri

sangat jarang ditemui di yogyakarta. Kondisi tofografi dari yogyakarta yang hanya

memiliki ketinggian 100-300 meter dari permukaan air menjadi penyebabnya. Hal

ini disikapi oleh penjual tuak di yogyakarta dengan menggantinya dengan

menggunakan air yang diambil dari batang pohon kelapa yang memiliki rasa yang

sangat berbeda dengan air aren.

Lapo sendiri tidak tidak dimaknai sebagai tempat makan saja karena

biasanya orang batak saling bercerita, bersenang – senang, dan memperluas

jaringan pergaulan antar sesama suku Batak. Hanya terdapat dua lapo di

Yogyakarta, yakni di daerah Bantul (parpollung) dan di warung kaki lima yang

bernama “tuak mulana” didepan RS Panti Rapih Yogyakarta. Terdapat beberapa

rumah makan yang menyediakan makanan khas Batak, akan tetapi mereka lebih

banyak tidak menyediakan tuak.

5. Parbopas

Parbopas merupakan singakat dari “parsadaan bona pasogit” atau dalam

bahasa indonesia adalah persatuan bona pasogit. Parbopas sendiri berdiri dengan

tujuan sebagai tempat berkumpulnya orang batak dalam berbagai acara dan

kegiatan. Acara yang sering dilakukan dan menjadi event tahunan adalah

kompetisi olahraga seperti sepakbola dan bola voli yang diperlombakan antar

induk marga dan marga dari semua sub suku Batak Toba di Yogyakarta. Parbopas

73

cup sendiri hampir melibatkan keseluruhan orang batak karena sifatnya yang

membawa nama marga atau induk marga yang membuat pengelolaan setiap tim

diserahkan kepada setiap anggota dari induk atau marga.

Parbopas sendiri dapat dikatakan sebagai tempat untuk mempererat tali

persaudaraan sesama orang batak rantau. Tidak ada induk marga yang

mendominasi di organisasi parbopas ini dimana semua keanggotaan dari parbopas

adalah setiap marga yang memiliki perkumpulan marga.

6. Parsahutaon (Perkumpulan teman sekampung)

Parsahutaon pada dasarnya hampir sama dengan punguan marga, begitu

juga dengan kegiatannya. Parsahutaon berasal dari kata “huta” yakni kampung.

Parsahatuan merupakan perkumpulan orang Batak yang berasal dari daerah yang

sama di kampung halaman (bona pasogit) dan daerah tempat tinggal orang Batak

lainnya (luar bona pasogit). Kegiatan parsahutaon pada dasarnya hampir sama

dengan punguan marga seperti arisan dan kegiatan pertemuan rutin lainnya. Yang

membedakan parsahutaon dengan punguan marga adalah terbentuknya rasa

persaudaraan yang tidak didasarkan atas hubungan geneologis akan tetapi atas

rasa kepemilikian akan kampung halaman (Adonis, 1993:32).

Dalam penelitian yang dilakukan hutagaol (2013), era terbentuknya

parsahutaon di yogyakarta dimulai pada tahun 2000 an. Terbentuknya ikatan ini

ditandai dengan adanya kegiatan yang mengatasnamakan kampung halaman

seperti mahasiswa Batak Pakpak yang terbentuk dalam organisasi IMPY (Ikatan

Mahasiswa Pakpak Yogyakarta) anggotanya adalah mahasiswa Batak Pakpak

74

Kabupaten Dairi Sidikalang. Perkumpulan ini tidak hanya didominasi oleh

mahasiswa saja. Masih banyak perkumpulan suku Batak yang mengatasnamakan

kampung halaman di yogyakarta seperti dari daerha pematangsiantar, balige dan

sebagainya.

7. Organisasi Mahasiswa Batak di Kampus

Organisasi batak sendiri juga sudah masuk kedalam lingkungan kampus.

Banyaknya mahasiswa batak yang merantau dan melanjutkan kuliah di yogyakarta

mengakibatkan terbentuknya perkumpulan mahasiswa yang anggotanya terdiri

dari orang – orang batak. Menurut hutagaol, tujuan dari terbentuknya organisasi

ini adalah untuk mengenalkan adat dan tradisi Batak bagi anggota dan juga untuk

menjaga nilai – nilai budaya dari batak sendiri. Tidak sekedar hanya berkaitan

dengan pelestarian nilai – nilai budaya setiap anggota juga dilatih berorganisasi.

Adanya pembagian struktur kepengurusan membuat setiap pos harus diisi oleh

setiap anggota dimana setiap anggota adalah roda penggerak dari organisasi ini.

Kegiatan yang rutin yang selalu dilaksanakan adalah Malam keakraban untuk

menyambut anggota baru, acara natal, tahun baru, rapat anggota dan berbagai

bentuk kegiatan sosial lainnya. Pendanaan sendiri didapat dari iuran yang

diberikan setiap anggota dan juga pembuatan acara baksos seperti pesta

kebudayaan dan penjualan makanan daerah. Beberapa organisai mahasiswa Batak

Yogyakarta yang sering melakukan kegiatan dan aktif di situs sosial adalah

sebagai berikut :

75

PERMABA (Persaudaraan Mahasiswa Batak) Universitas Atmajaya

Yogyakarta.

KBMB (Keluarga besar Mahasiswa Batak) Universitas Pembangunan

Nasional Yogyakarta.

IMABA (Ikatan Mahasiswa Batak) Universitas Negeri Yogyakarta.

PISAU SURIT ( Ikatan Mahasiswa Batak Karo) Universitas Gadjah Mada.

Selain organisasi mahasiswa Batak diatas, masih banyak perkumpulan

mashasiswa yang berafiliasi suku Batak akan tetapi kebanyakan dari organisasi

tersebut masih kecil dan cenderung tertutup sehingga tidak terlalu aktif di media

sosial dan kegiatan sosial lainnya.

76

X. Daftar Pustaka

Buku :

Abdillah, ubed. 2002. Politik identitas etnis: Pergulatan tanda tanpa

identitas. Magelang; IndonesiaTera.

Adonis,dkk. 1993. Perkawinan Adat Batak di Kota Besar. Jakarta.

Departemen pendidikan dan budaya.

George Ritzer & Douglas goodman. 2010. Teori Sosiologi: Dari Teori

Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial

Postmodern. Bantul; PT. Kreasi Utama.

Gillin dan gillin,1954. Cultural Sociology:A revision of An

Introduction to Sociology. New york; The macmillan Company.

Hall, stuart. Cultural identity and diaspora. London:1990 hal 393.

Harahap. 1987. Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak. Jakarta: Sanggar

Willem Iskandar

77

Koentjaraningrat. 1977. Metode – metode Penelitian Masyarakat.

Jakarta; PT Gramedia.

Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta; UI Press

Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan kebudayaan di Indonesia.

Jakarta; Djambatan.

Koentjaraningrat.1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini.

Jakarta; Yayasan Penerbit F.E.U.I.

Leo,dkk. 2003. Indonesia’s Population:Ethnicity and Religion in a

Changing Political Landscape. Singapore; Institude of Southeast

Asian Studies.

Lucas david, peter mcdonald, elspeth young, christabel young.1982.

Pengantar Kependudukan Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Mulyana, d & Rakhmat, j. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Narwoko, j & Suyanto, Bagong. 2004. Sosiologi: Teks pengantar dan

Terapan. Jakarta; Kencana.

Purba, O.H.S &Purba, elvis. 1997. Migrasi Spontan Batak Toba.

Medan; CV. Monora.

78

Salamun. 1980. Pengaruh Migrasi Penduduk terhadap Perkembangan

Sosial Budaya di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul,

Daerah Istimewa Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Yogyakarta.

Siahaan, N. 1982. Adat Dalihan Natolu: Prinsip dan

Pelaksanaannya. Jakarta: Grafina.

Silitonga, Saut. 2010. Manusia Batak Toba:Analisa Filosofis tentang

Esensi dan Aktualisasi dirinya.t.t:MGU.

Simanjutak, B.A. 2006. Struktur Sosial dan Sistem Sosial Politik Batak

Toba hingga 1945. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Singarimbun, M dan efendy, S. 1989. Metode Penelitian Survei.

Jakarta : LP3ES

Sitorus, M.T. 1998. Dalihan Na Tolu: Fungsi Keluarga Batak Toba,

suatu Analisis Makro-Fungsional. Mimbar Sosek: Jurnal Sosial

Ekonomi Pertanian Faperta IPB, vol 11 no 1, April 1998.

Surakhmad, Winarno.1892. Dasar dan teknik research : Pengantar

Metodologi Ilmiah. Bandung : Tarsito.

Soekanto, soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta; PT.

Grafindo Persada.

79

Soelaeman, munandar. 1998. Ilmu budaya dasar: Suatu pengantar.

Bandung: PT Refika aditama.

Usman, sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah, Teori dan Metodologi.

Yogyakarta; CIRED.

Internet :

www.webometrics.info/en/asia/indonesia%20

http://www.kopertis12.or.id/2013/07/17/peringkat-perguruan-tinggi-

di-indonesia-versi-4icu-edisi-juli-2013.html.

http://bps.go.id/tab_sub/view.php?

kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12&notab=8.

http://jogja.okezone.com/read/2013/09/07/510/862120/lpsk-kasus-

cebongan-dilatarbelakangi-kartel-narkoba.

http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/063510542/Massa-

Demo-Minta-Kasus-Cebongan-Dikesampingkan.

http://togapardede.wordpress.com/2010/01/19/tata-cara-pelaksanaan-

adat-Batak-5/, diakses 16 Maret 2014.

Artikel

Kartini, sjahrir. 1983. Asosiasi Klan Orang Batak Toba di Jakarta.

Prisma I.

80

Situmorang, sitor. 1983. Asosisasi Klan Orang Batak Toba di Jakarta,

Bukan Marga tapi Lahir dari Tradisi Bermarga. Prisma IX.

Skripsis dan Tesis:

Armawi, armaidy. 2008. Merantau Sebagai Refleksi Ideologi Gender

pada Masyarakat Motean, Desa Ujungalang, Kecamatan Kampung

Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tesis UGM, Fakultas FIB,

Jurusan Antropologi tidak untuk dipublikasikan.

Hutagaol, ronald. 2013. Penerapan Tradisi Martarombo dalam

Komunikasi Anak Muda Perantau Suku Batak Toba di Yogyakarta.

Skripsi UGM, Fakultas ISPOL, Jurusan Komunikasi tidak untuk

dipublikasikan.

81