aspek neurologis bahasa

Upload: catabuabu

Post on 11-Jul-2015

1.806 views

Category:

Documents


41 download

TRANSCRIPT

ASPEK NEUROLOGIS BAHASA

Irine Prabasiwi (107835049) Rahmad Setyo Jadmiko (107835044)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA 2011

Perkembangan bahasa manusia terkait erat dengan perkembangan biologinya. Pertumbuhan bahasa pada manusia mengikuti jadwal perkembangan genetiknya sehingga munculnya suatu unsur bahasa tidak dapat dipaksakan. Selain faktor biologis, faktor yang juga sangat penting dalam penguasaan bahasa adalah faktor neurologis yang membahas tentang kaitan antara otak manusia

dengan bahasa. Pada bahasan ini akan disajikan struktur dan organisasi otak manusia untuk memberikan jawaban terhadap masalah pemerolehan, pemahaman, dan pemakaian bahasa, serta akibat-akibat yang akan timbul bila ada gangguan pada otak. Proses berbahasa dimulai dari enkode semantik, enkode gramatika, enkode fonologi, yang dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode gramatika, dan diakhiri dengan dekode semantik. Proses enkode semantik dan enkode gramatika terjadi dalam otak penutur, lalu dilaksanakan oleh alat ucap di dalam rongga mulut penutur. Sebaliknya, dekode fonologi dimulai dari telinga pendengar (petutur) yang dilanjutkan ke dalam otak petutur yang kemudian berlanjut dengan dekode gramatika dan berakhir pada dekode semantik. Jika organ-organ fisiologi penutur dan petutur sehat dan normal, maka pesan semantik yang dikirimkan penutur dapat diterima dengan baik oleh petutur yang bisa diartikan bahwa proses berbahasa tersebut berjalan dengan baik. Proses berbahasa ini disajikan dalam bagan berikut yang diangkat dari Chaer (2009:47).

Enkode Pesan dalam Otak Penutur

SEMANTIK GRAMATIKA FONOLOGIAlat Ucap Penutur

Transmisi Arus Ujar

Telinga Pendengar

FONOLOGI GRAMATIKADekode Pesan dalam Otak Pendengar (Petututr)

SEMANTIK

Proses berbahasa cenderung bersifat dua arah dan bolak-balik (antara penutur dan petutur), sehingga dapat menyebabkan seorang penutur bisa menjadi petutur dan begitu pula sebaliknya. Proses berbahasa yang terjadi secara bergantian ini secara teoretis berjalan terlalu lama dan panjang. Tetapi yang terjadi sebenarnya proses ini berlangsung dalam waktu singkat dan cepat. Semua proses ini dikendalikan oleh otak manusia yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktivitas manusia. 1. Struktur, Fungsi, dan Perkembangan Otak (Evolusi Otak Manusia) Otak (serebrum dan serebelum) adalah salah satu komponen dalam sistem susunan saraf manusia selain tulang belakang atau medula spinalis dan saraf tepi. Letak otak berada di dalam ruang tengkorak, medula spinalis berada di dalam

ruang tulang belakang, dan saraf tepi (saraf spinal dan saraf otak) sebagian di luar kedua ruang tadi (Kusumoputro dalam Chaer, 2009:116). Sedangkan menurut Dardjowidjojo (2010:203), sistem saraf terdiri dari dua bagian utama. Dua bagian utama ini adalah tulang punggung yang terdiri dari sederetan tulang punggung yang bersambung-sambung (spinal cord) dan otak.

Gambar 1. Otak Manusia Manusia tumbuh secara gradual (sedikit demi sedikit) dari suatu bentuk ke bentuk yang lain selama berjuta-juta tahun. Salah satu pertumbuhan yang telah diselidiki oleh para ahli palaeneurologi menunjukkan bahwa evolusi otak dari primat Austrolopithecus sampai dengan manusia masa kini telah berlangsung selama lebih kurang 3 juta tahun. Hal ini tampak pada ukuran otak yang membesar dari 400 miligram menjadi 1400 miligram pada kurun waktu 3-4 juta tahun lalu (Holloway dan Rumbaugh dalam Dardjowidjojo, 2010:201). Dari munculnya Homo erectus sampai dengan adanya Homo sapiens pada sekitar 1,7 juta tahun yang ukuran otak telah berkembang hampir dua kali lipat dari 800 miligram ke 1.500 miligram. Hal ini bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur perubahan fungsi, setidaknya ukuran itu memungkinkan adanya fungsi yang bertambah. Perkembangan otak dibagi menjadi empat tahap (Holloway dalam Dardjowidjojo, 2010:202), yaitu: 1. Tahap perkembangan ukuran yang tampak pada Homo erectus yang ditemukan di Jawa dan Cina.

2. Adanya perubahan reorganisasi pada otak. Lembah-lembah pada otak ada yang bergeser sehingga memperluas lain seperti daerah yang dinamakan daerah parietal. Perubahan ini terjadi pada masa Praaustrolopithecus ke Austrolopithecus afarensis. 3. Munculnya sistem fiber yang berbeda-beda pada daerah-daerah tertentu melalui corpus callosum. Fiber-fiber ini dapat diibaratkan sebagai kabel listrik yang memberikan aliiran-aliran elektrik untuk menggerakkan atau melakukan sesuatu. 4. Munculnya dua hemisfer yang asimetris. Tahap yang ketiga dan keempat terjadi pada perubahan dari Homo erectus ke Homo sapiens. Dari pemaparan singkat ini tampak bahwa otak manusia telah mengalami evolusi dari yang paling sederhana ke yang paling rumit seperti yang dimiliki oleh manusia sekarang. 2. Otak Manusia VS Otak Binatang Hal utama yang membedakan antara manusia dan binatang selain bentuk dan ciri-ciri fisik lainnya adalah otak. Volume otak manusia jauh lebih besar daripada binatang. Tetapi, yang memisahkan manusia dari kelompok binatang adalah dalam hal penggunaan bahasa yang tidak ditentukan dari ukuran dan bobot otaknya. Kerbau dan gajah memang memunyai otak yang lebih besar dan berat daripada otak manusia, tetapi tetap saja makhluk-makhluk ini tidak dapat berbahasa. Sebaliknya, manusia nanocephalic (manusia kate) yang memiliki bobot otak sekitar 400 gram yang diperkirakan sama dengan berat otak seekor simpanse umur tiga tahu, dapat berbicara secara normal sedangkan simpanse tidak. Manusia berbeda dengan bintang karena struktur dan organisasi otaknya juga berbeda. Selanjutnya akan dibahas sejauh mana otak manusia itu berbeda dengan otak binatang.

Gambar 2. Bentuk otak Makhluk Hidup Otak Manusia Dilihat dari bobotnya, otak manusia berkisar antara 1 sampai 1,5 kilogram dengan rata-rata 1330 gram (Halloway dalam Dardjowidjojo, 2010:203). Untuk ukuran orang Barat, ini hanyalah 2% dari berat badannya sedangkan untuk manusia Indonesia mungkin kurang dari itu. Ukuran yang sekecil ini menyedot 15% dari seluruh peredaran darah dari jantung dan memerlukan 20% dari sumber daya metabolik tubuh manusia. Dari data yang tersaji di atas tampak bahwa otak manusia memerlukan perhatian khusus. Otak bayi ketika baru lahir bobotnya hanya 40% dari bobot otak orang dewasa, sedangkan bayi makhluk primata lain seperti kera dan simpanse bobot otaknya mencapai 70% dari bobot otak dewasanya (Menyuk dalam Chaer, 2009:116). Dari perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa manusia telah dikodratkan secara biologis untuk mengembangkan otak dan kemampuannya secara cepat dan dalam waktu yang tidak terlalu lama otak telah berkembang menuju sempurna. Untuk makhluk primata seperti kera dan simpanse tadi hanya memerlukan sedikit tambahan, yaitu sekitar 30% yang bisa diartikan bintang ini hanya bisa sedikit mengembangkan kemampuan otaknya. Otak manusia terdiri dari dua bagian, yaitu batang otak (brain stem) dan korteks serebral (cerebral cortex). Tulang punggung dan korteks selebral ini merupakan sistem syaraf sentral bagi manusia. Segala sesuatu yang dilakukan manusia baik fisik maupun mental dikendalikan oleh sistem syaraf ini. Perhatikan bagan berikut ini yang diadaptasi dari Penfield dan Roberts dalam Dardjowidjojo (2010:204).

Gambar 3. Sistem Syaraf Sentral Manusia Batang otak terdiri dari bagian-bagian yang bernama medulla, pons, otak tengah, dan cerebellum. Bagian-bagian ini sangat berkaitang dengan fungsi fisikal tubuh, termasuk pernapasan, detak jantung, gerakan, refleks, pencernaan, dan pemunculan emosi (Steinberg dkk dalam Dardjowodjodo, 2010:203). Untuk korteks serebral berfungsi untuk menangani fungsi-fungsi intelektual bahasa. Korteks serebral manusia terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Kedua hemisfer ini dihubungkan oleh lebih kurang 200 juta fiber (bahan keras) yang dinamakan korpus kalosum yang bisa dilihat pada gambar yang diadaptasi dari Dingwall dalam Dardjowidjojo (2010:205) di bawah ini.

Gambar 4. Hemisfer Kiri dan Kanan Hemisfer kiri mengendalikan seluruh anggota badan yang ada di sebelah kanan termasuk muka bagian kanan, begitu pula sebaliknya hemisfer kanan mengontrol seluruh pergerakan anggota badan dan wajah sebelah kiri. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam segi pengontrolan fisik kedua hemisfer ini saling silang. Maksudnya adalah yang kiri mengontrol yang kanan dan yang kanan mengontrol yang kiri. Korpus Kalosum sendiri bertugas mengintegrasi dan mengkoordinasi segala sesuatu yang dilakukan oleh kedua hemisfer tersebut. Mata dan telinga diatur agak berbeda. Pada tiap mata dan telinga terdapat sambungan syaraf ke hemisfer kiri maupun kanan, walaupun jumlahnya berbeda. Dari mata kiri terdapat sambungan kabel ke kedua hemisfer, hanya saja yang ke hemisfer kanan lebih banyak daripada yang ke hemisfer kiri. Hal yang sebaliknya juga terjadi pada mata kanan. Sistem pengabelan yang seperti inilah yang membuat jika salah satu mata terganggu atau bahkan buta, seseorang bisa melihat objek secara utuh. Begitu juga dalam hal pendengaran. Pada waktu manusia dilahirkan, belum ada pembagian tugas antara kedua hemisfer. Pembagian fungsi yang dinamakan lateralisasi terjadi saat usia anak menjelang 12 tahun. Pada awalnya ada pernyataan tentang hemisfer kiri yang

mendapat tugas untuk mengelola segala sesuatu yang berkaitang dengan bahasa dan hemisfer kanan untuk hal-hal yang diluar kebahasaan. Namun, dalam perkembangan terakhir menunjukkan bahwa hemisfer kanan juga ikut bertanggung jawab akan penggunaan bahasa. Wujud fisik dari hemisfer kiri dan hemisfer kanan hampir merupakan pantulan cermin, tetapi ada sedikit perbedaan. Pada hemisfer kiri daerah Wernicke lebih luas daripada daerah Wernicke yang berada hemisfer kanan. Hal ini disebabkan hemisfer kiri banyak berperan dalam proses berbahasa dan berikut ini adalah gambar hemisfer kiri yang diadaptasi dari Geswich dalam Dardjowidjojo (2010:206).

Gambar 5. Hemisfer Kiri Otak Manusia Pada gambar di atas, hemisfer kiri terdiri dari empat daerah besar yang dinamakan lobe atau lobus. Empat lobe tersebut adalah lobe frontal (frontal lobe), lobe temporal (temporal lobe), lobe osipital (occipital lobe), dan lobe parietal (parietal lobe). Selain memunyai fungsi kebahasaan, masing-masing lobe juga memunyai tugas khusus yang berbeda-beda. Lobe frontal mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kognisi; lobe temporal mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan pendengaran, lobe osipital menangani tentang penglihatan, dan lobe parietal bertugas mengurus rasa somaestik (rasa yang ada pada tangan, kaki, muka dsb).

Pada lobe frontal ada daerah yang bernama daerah Broca yang berasal dari seorang ahli bedah Prancis bernama Piere Paul Broca yang hidup pada tahun 1824-1880. Suatu saat Broca menemukan seorang pasien bernama Leborgne yang kehilangan kemampuan untuk berbicara. Pasien ini menderita gangguan wicara selama 21 tahun sejak ia berumur 31 tahun. Jika diajak berbicara mengenai apa saja, dia hanya akan meresponnya dengan kata tan sehingga akhirnya dia dikenal sebagai Mr. Tan. Broca juga telah menyelidiki sekitar 20 kasus seperti yang dialami Mr. Tan menjelang tahun 1863. Ia melakukan berbagai operasi pos mortem (sesudah orangnya meninggal) dan menyimpulkan bahwa manusia berbicara menggunakan hemisfer kiri. Daerah yang berkaitan dengan wicara ini sampai sekarang dikenal dengan nama daerah Broca. Selain Broca, ada seorang ahli lain yang berasal dari Jerman bernama Carl Wernicke yang hidup tahun 1848-1904. Ia memunyai pasien yang terkena gangguan wicara yang lain. Pasien ini dapat berbicara dengan lancar, namun maknanya tidak jelas. Begitu juga yang terjadi pada komprehensinya yang sangat terganggu. Setelah ia meneliti lebih lanjut, ternyata ada sebuah daerah di lobe temporal yang agak menjorok ke daerah parietal yang berkaitan dengan komprehensi. Daerah ini dikenal dengan nama daerah Wernicke. Girus (gyrus) dan sulkus (sulcus) terdapat pada semua lobe. Girus adalah semacam gundukan atau bukit yang berlereng-lereng, sedangkan sulkus adalah sesuatu di otak yang berbentuk seperti lembah atau bagian yang masuk ke dalam. Salah satu girus yang bernama girus angular (angular gyrus) memunyai fungsi untuk menghubungkan apa yang dilihat dan dipahami di daerah Wernicke. Kelompok fiber yang bernama fasikulus arkuat (arcuate fasciculus) berfungsi untuk menghubungkan apa yang dilihat atau dengar dengan apa yang diujarkan. Tugas-tugas fiber ini adalah mengkoordinasi pendengaran, penglihatan, dan pemahaman yang diproses di daerah Wernicke dengan proses pengujaran yang dilakukan di daerah Broca. Di dekat daerah broca yang agak ke belakang ada jalur yang dinamakan korteks motor (motor cortex). Korteks ini bertugas untuk mengendalikan alat-alat ujar seperti lidah, rahang, bibir, gigi, dan pita suara.

Pada lobe temporal terdapat korteks pendengaran primer (primary auditory cortex) yang berfungsi untuk menanggapi bunyi yang didengar. Pada lobe osipital juga terdapat korteks yang serupa yang bernama korteks visual yang bertugas untuk menanggapi apa yang dilihat. Otak Binatang Evolusi otak pada manusia dengan makhluk hidup lainnya memang berbeda. Pada binatang seperti ikan, tikus, dan burung, korteks selebralnya bisa dikatakan tidak tampak, padahal pada manusia korteks inilah yang berkembang. Pada otak binatang lain seperti simpanse dan gorila pun tidak terdapat daerahdaerah yang digunakan untuk memproses bahasa. Manusia memakai sebagian besar otaknya untuk proses mental, termasuk proses kebahasaan seperti bagian-bagian yang berkaitan dengan pendengaran, ujaran, pengontrolan alat ujar, dan sebagainya. Untuk binatang lebih banyak menggunakan otaknya untuk kebutuhan-kebutuhan fisik karena tidak ada bagianbagian pada otaknya yang berkenaan dengan ujaran. Pada otak binatang banyak bagian-bagian yang berhubungan dengan insting, sedangkan pada otak manusia tidak banyak. Hal ini bisa diartikan bahwa perbuatan binatang lebih banyak dikendalikan oleh insting, sedangkan pada perbuatan manusia tidak hanya sekadar menggunakan insting. Dari perbandingan antara otak manusia dengan otak binatang yang paling modern sekalipun, tampak bahwa struktur otak dan pengorganisasiannya sangat berbeda. Perbedaan neurologis seperti inilah yang membuat manusia dapat berbahasa, sedangkan binatang tidak. 3. Pemberbahasaan Hewan Pada otak manusia ada bagian-bagian yang sifatnya bisa disebut manusiawi (bagian-bagian yang berkaitan dengan pendengaran, ujaran, pengontrolan alat ujar, dan sebagainya), sedangkan pada otak hewan tidak ada. Karena ketiadaan fungsi-fungsi manusiawi inilah yang membuat binatang tidak dapat berbicara atau berbahasa. Pada kenyataannya, sering dijumpai binatang seperti kuda, anjing, gajah, dan sebagainya yang bisa melakukan perintah-perintah dari pawang atau pemiliknya yang berbentuk ujaran. Sekilas, tampaknya binatang-binatang itu mengerti bahasa manusia karena mampu melaksanakan

perintah-perintah yang diberikan. Ada juga beberapa jenis burung seperti beo, nuri dan kakak tua yang bisa diajar berbicara. Tapi apakah binatang bisa diajar atau dilatih berbahasa? Mengerti bahasa dan dapat berbahasa merupakan dua hal yang berbeda. Binatang-binatang yang dilatih, terutama dalam sirkus, memang mengerti bahasa karena dapat melakukan perbuatan yang diperintahkan kepadanya. Namun, kemengertian ini sebenarnya bukan karena binatang-binatang tersebut mengerti bahasa, melainkan sebagai hasil dari respon-respon yang dikondisikan (conditioned responses). Untuk burung beo, nuri, dan kakak tua yang bisa berbicara bukan karena burung-burung itu dapat berbahasa, melainkan karena alat artikulasinya yang memungkinkan dia dapat menirukan ujaran manusia yang didengar atau dilatihkan. Dalam teori generatif Chomsky yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk menghasilkan kalimat-kalimat baru yang belum pernah didengar atau diucapkan orang lain, maka dapat disimpulkan bahwa binatang-binatang itu tidak dapat berbahasa. Burung beo, nuri, dan kakak tua hanya bisa mengucapkan kalimat yang pernah didengarnya, tetapi tidak bisa membuat kalimat-kalimat baru. Walaupun demikian banyak pakar yang telah mencoba mengajarkan bahasa manusia pada binatang primata yang secara organis dekat dengan manusia, yaitu simpanse. Pakar-pakar tersebut adalah: a. Keith J. Hayes dan Catherine Hayes Pasangan suami istri ini memelihara seekor simpanse betina yang diberi nama Viki dan membesarkannya seperti anak sendiri. Kedua psikolog ini melatih Viki mengucapkan empat buah kata, yaitu mama, papa, up, dan cup. Pelatih harus menggerakkan bibir sedemikian rupa dengan benar agar Viki dapat menirukan kata-kata itu. Viki memang dapat memelajari posisi bibir dan mulut dengan dibantu kedua tangannya saat diminta mengucapkan kata-kata oleh kedua orangtua angkatnya (jika diberi hadiah berupa makanan dan minuman setelah itu), namun Viki tidak memahami makna kata-kata itu. b. R. Allen Gardner dan Beatrice T. Gardner Sepasang suami istri ini juga mengajarkan bahasa pada simpanse betina yang diberi nama Washoe. Mereka mengajar Washoe dengan bahasa

isyarat Amerika (American sign language) yang digunakan oleh para tunarungu di Amerika dengan alasan simpanse lebih peka terhadap isyarat visual daripada verbal. Mereka dibantu sejumlah asisten dan mendidiknya secara bergantian sehingga tidak pernah terlepas dari perhatian manusia. Para asisten tidak diperbolehkan memakai bahasa lisan dan juga harus memotivasi Washoe untuk memelajari bahasa isyarat itu dengan cara menunjukkan posisi tangan berulang-ulang dengan cara memperbaiki posisi tangan Washoe pada saat membuat isyarat. Washoe juga diperkenalkan dengan berbagai macam objek dan mainan untuk mengembangkan kosakata yang dimilikinya agar Washoe dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan tangan. Setelah dua tahun belajar Washoe dapat menggunakan 34 kata secara benar dalam situasi yang tepat, misalnya ia membuat isyarat anjing ketika dia melihat gambar anjing atau ketika mendengar suara anjing (tanpa melihat anjingnya). Setelah 3,5 tahun Washoe dapat mengungkapkan 132 kata. Washoe juga dapat memadukan isyarat buka makanan minuman untuk membuka kulkas, dan dengar makan ketika mendengar bunyi jam yang menandakan waktu makan. Ada juga laporan tentang Washoe yang sudah memahami kaidah gramatikal secara sederhana, misalnya membuat isyarat saya beri ketika ingin memberi sesuatu dan beri saya ketika ingin diberi sesuatu. Tetapi, paduan kata-kata itu banyak dipengaruhi oleh isyarat-isyarat yang disampaikan oleh para pengasuhnya dalam tiruan yang sebagian maupun seluruhnya. Jika dibandingkan dengan anak manusia yang seumuran dengan Washoe, kemampuan Washoe memang belum apaapa. Pada usia 5 tahun anak manusia telah menguasai beratus-ratus kata serta telah dapat membuat kalimat yang lebih kompleks. Walaupun demikian, Washoe telah tercatat dalam sejarah sebagai simpanse yang dapat berkomunikasi dengan kata-kata dalam bahasa isyarat (bukan lisan). c. David Premack dan Ann Premack Satu lagi pasangan suami istri yang mencoba mengajarkan bahasa manusia pada beberapa simpanse, mereka adalah David dan Ann. Salah satu simpanse yang mereka ajar adalah Sarah yang berjenis kelamin betina.

Sarah diajar untuk menguasiai bahasa buatan yang disusun dari lempengan-lempengan plastik. Bentuk dan warna lempengan tidak berhubungan dengan maknanya. Untuk apel lempengan yang digunakan berbentuk segitiga berwarna biru dan konsep sama berbentuk lempengan bergerigi berwarna oranye. Dalam proses pembelajaran Sarah dan pengajarnya duduk dibangku terpisah. Sarah ditempatkan dalam kandang dan pengajarnya duduk di bangku yang berada di luar kandang. Untuk mengajarkan nama makanan, pengajar akan menukar makanan itu dengan lempengan plastik yang sesuai. Misalnya dalam mengajarkan konsep apel pengajar meletakkan sepotong apel di atas meja dalam jarak yang tidak dapat dijangkau Sarah, lalu pengajar meletakkan lempengan plastik segitiga biru dalam jangkauan Sarah. Pengajar tidak akan memberikan apel jika Sarah tidak meletakkan segitiga biru itu pada sebuah papan bahasa yang ada di depannya. Cara lainnya adalah Sarah disuruh memilih segitiga biru dari sekumpulan lempengan yang mengandung arti jenis makanan-makanan lain. Jika dia memilih lempengan segitiga biru itu, maka ia akan diberikan makanan yang sesuai (apel). Dalam hal ini Sarah tidak mengalami kesulitan. Setelah sukses menguasai sebuah kata dalam bentuk lempengan plastik Sarah dengan perlahan diajarkan untuk mengurutkan dua, tiga, dan empat kata secara perlahan. Jika urutannya salah, maka ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia maksudkan. Seperti urutan beri apel dan Sarah terbalik menyusunnya menjadi apel beri, maka ia tidak akan diberi apel. Sarah juga diajarkan membaca urutan lempeng plastik dari yang sederhana sampai dengan yang rumit. Setiap urutan merupakan perintah untuk melakukan sesuatu terhadap objek-objek yang ditempatkan di depannya. Sarah mampu melakukannya dengan baik yang membuktikan bahwa ia memahami hubungan antar kata-kata yang berupa lempengan-lempengan tersebut. Berikut ini adalah contoh lempengan plastik yang digunakan dalam mengajar Sarah yang diangkat dari Fromkin dan Rodman dalam Chaer (2009:143).

Gambar 6. Lempengan Plastik Perkembangan upaya mengajarkan bahasa manusia kepada simpanse menunjukkan bahwa simpanse yang merupakan binatang primata yang dikatakan tingkat kognisinya hanya satu jenjang di bawah manusia tetap tidak bisa menguasai bahasa manusia kalau bahasa itu disepakati sebagai alat komunikasi verbal berupa sistem bunyi yang arbitrer. Pengajaran bahasa manusia ini memang telah menimbulkan berbagai macam pendapat yang kontroversial, karena memang pada dasarnya otak binatang dan manusia dikodratkan berbeda. 4. Fungsi Kebahasaan Otak Kedua hemisfer otak memunyai peranan yang berbeda bagi fungsi kortikal. Fungsi bicara-bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang tidak kidal. Hemisfer kiri juga disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa dan korteksnya dinamakan korteks bahasa. Hemisfer dominan atau superior secara morfologis memang agak berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau inferior. Hemisfer dominan lebih berat dan girusnya lebih besar dan panjang. Hemisfer kiri juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal (verbal memory). Sebaliknya hemisfer kanan memunyai fungsi emosi, lagu isyarat (gestrure), baik yang emosional maupun verbal.

Hemisfer kiri memang dominan untuk fungsi bicara bahasa, namun tanpa adanya peranan hemisfer kanan pembicaraan seseorang menjadi monoton, tak ada prosodi, tak ada lagu kalimat (tanpa menampilkan emosi atau mimik), dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa. Secara lengkap fungsi-fungsi yang dimiliki oleh hemisfer kiri dan kanan disajikan dalam gambar yang diadaptasi dari Simanjuntak dalam Chaer (2009:121) di bawah ini.

Gambar 7. Fungsi-fungsi Hemisfer Kiri dan Kanan Penentuan dan pembuktian daerah-daerah tertentu dalam otak yang berkaitan dengan fungsi bicara-bahasa dan fungsi-fungsi lain pada awalnya dilakukan dengan penelitian terhadap orang-orang yang mengalami kerusakan otak atau kecelakaan yang mengenai kepala. Kemudian dilakukan juga dengan berbagai eksperimen terhadap orang sehat. Pada bulan September tahun 1848 di negara bagian Vermount, Amerika Serikat, terjadi musibah kemanusiaan yang sangat mengerikan dan menyayat hati yang dialami seorang pekerja konstruksi jalan raya yang bernama Phineas Gage.

Akibat sebuah ledakan, bagian depan kepalanya terkena lemparan balok bantalan rel yang terbuat dari besi sepanjang empat kaki. Potongan besi itu menembus tengkoraknya. Pada saat itu, dikabarkan Gage tidak akan sembuh. Namun sebulan kemudian ia dapat pulih dan bekerja kembali. Ternyata tidak terdapat kerusakan pada indra penglihatan maupun pengucapannya. Dia tetap dapat berbicara dengan lancar. Berdasarkan peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa daerah kemampuan berbahasa tidak terletak di bagian depan otak yang sekaligus membantah pendapat Franz Josep Gall yang mengatakan bahwa kemampuan memori verbal memunyai pusat di bagian depan otak (Kusumaputro dalam Chaer, 2009:122).

Gambar 8. Phineas Gage dan batangan besinya yang menemaninya selama sisa hidupnya

Gambar 9. Cavendish, lokasi terjadinya kecelakaan yang menimpa Phineas Gage

Gambar 10. Potongan besi dalam tengkorak Gage (tampak depan)

Gambar 11. Gambar yang memungkinkan kedua lobus depan rusak akibat potongan besi, tetapi beberapa studi menunjukkan bahwa kerusakan hanya sebagian kecil saja Pada pembahasan otak manusia sempat disinggung tentang beberapa ilmuwan yang melakukan pembedahan pada otak manusia yang sudah meninggal untuk mencari bagian otak yang berkaitan dengan bahasa. Mereka adalah Paul Broca dan Carl Wernicke yang masing-masing namanya diabadikan sebagai nama suatu daerah yang berkaitan dengan bahasa pada otak. Hasil penelitian tentang kerusakan otak oleh Broca dan Wernicke yang disertai penelitian Penfield dan Robert mengarah pada simpulan bahwa hemisfer kiri terlibat dengan fungsi bahasa. Krashen dalam Chaer (2009:123) mengemukakan lima alasan yang mendasari kesimpulan itu, yaitu: 1. Hilangnya kemampuan berbahasa akibat kerusakan otak lebih sering disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf hemisfer kiri daripada hemisfer kanan. 2. Ketika hemisfer kiri dianestesia kemampuan berbahasa menjadi hilang, sedangkan ketika hemisfer kanan dianestesia kemampuan berbahasa itu tetap ada.

3. Sewaktu bersaing dalam menerima masukan bahasa secara bersamaan dalam tes dikotik, ternyata telinga kanan lebih unggul dalam ketepatan dan kecepatan pemahaman daripada telinga kiri. Keunggulan telinga kanan dan hemisfer kiri lebih baik daripada hubungan telinga kiri dengan hemisfer kanan. 4. Ketika materi bahasa diberikan melalui penglihatan mata kanan dan mata kiri, maka ternyata penglihatan kanan lebih cepat dan tepat dalam menangkap materi bahasa itu daripada penglihatan kiri. Keunggulan penglihatan kanan itu karena hubungan antara penglihatan kanan dan hemisfer kiri lebih baik daripada hubungan penglihatan kiri dan hemisfer kanan. 5. Pada waktu melakukan kegiatan berbahasa baik secara terbuka maupun tertutup, hemisfer kiri menunjukkan kegiatan elektris lebih hebat daripada hemisfer kanan. Hal ini diketahui melalui analisis gelombang otak. Hemisfer yang lebih aktif adalah hemisfer yang lebih sedikit menghasilkan gelombang alfa. 5. Teori Lateralisasi Teori lateralisasi adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa belahan korteks dominan (hemisfer kiri) bertanggung jawab untuk mengatur penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa ilmiah. Banyak pakar psikologi yang meragukan teori ini. Mereka berpendapat bahwa seluruh otak bertanggung jawab dan terlibat dalam proses produksi bahasa, bukan hanya pada hemisfer kiri saja.pendapat ini di dalam psikologi disebut holisme (Simanjuntak dalam Chaer, 2009:1990). Walaupun demikian, dari bukti-bukti eksperimen yang dilakukan terhadap otak yang normal (bukan otak yang rusak seperti yang dilakukan oleh Broca dan Wernicke), kebenaran teori lateralisasi itu bisa dipertimbangkan dengan beberapa eksperimen berikut ini. a. Tes Menyimak Rangkap (Dichotic Listening) b. Tes Stimulus Elektris (Electrical Stimulation of Brain) c. Tes Kegiatan Elektris (Electris-Encephalo-Graphy) d. Tes Wada (Tes Amysal) e. Teknik Fisiologi Langsung (Direct Physiological Technique)

f. Teknik Belah-Dua Otak (Bisected Brain Teechnique) 6. Teori Lokalisasi Teori ini juga sering disebut pandangan lokalisasi (localization view) yang berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada di daerah Broca dan Wernicke. Untuk lebih jelas mengenai lokasi-lokasi kemampuan bahasa itu berikut ini adalah gambar yang diadaptasi dari Chaer (2009:128).

Gambar 12. Lokasi-lokasi Kemampuan Bahasa Gambar di atas menunjukkan wilayah dalam otak yang ada kaitannya dengan kegiatan berbahasa. kanan. Hand dan writing adalah adalah wilayah wilayah yang yang mengendalikan tangan Speech dan face

mengendalikan saraf saluran ucapan. Auditory merupakan wilayah yang memproses bahasa lisan terutama melalui telinga kanan. Tactile adalah wilayah yang memproses informasi pengindraan melalui kulit, saraf, dan tangan kanan. Visual adalah wilayah yang memproses bahasa tulis. Sedangkan di bagian tepi terdapat bagian-bagian lagi yang bernama frontal, parental, occipital, dan temporal yang keempatnya tidak punya pengaruh dalam proses bahasa ujar. Geschwind melaporkan kasus wanita muda (22 tahun) yang keracunan karbon monoksida. Wanita tersebut dapat diselamatkan, namun mengalami kerusakan berat pada bagian otak. Selama dirawat di rumah sakit keadaannya diteliti dengan detil dari sudut linguistik sampai dia meninggal 10 tahun kemudian. Selama sakit, wanita itu sama sekali tidak bisa menggerakkan anggota badannya, kecuali mulut, lidah, dan mukanya. Meskipun pemahaman bahasanya agak kurang seperti produksi bahasanya, tetapi ia bisa mengulangi kalimat-

kalimat yang didengarnya dengan lancar. Setelah meninggal dan dibedah, ternyata seluruh otaknya telah rusak kecuali medan-medan bahasa pada hemisfer kiri yang hanya mengalami kerusakan ringan. Pusat-pusat bahasa telah terisolasi dan putus hubungan dengan bagian-bagian otak lain yang sudah rusak berat. Kasus ini membuktikan bahwa lokalisasi pusat-pusat bahasa terletak pada hemisfer kiri, selain yang telah dilakukan oleh Paul Broca dan Carl Wernicke. Berikut ini adalah beberapa cara lain yang digunakan untuk menunjukkan kebenaran teori lokalisasi. a. b. c. Teknik Stimulus Elektrik Teknik Perbedaan Anatomi Otak Melihat Otak dengan PET (Positron Emission Tomography)

7. Peran Hemisfer Kiri dan Hemisfer Kanan (Hemisfer yang Dominan) Pandangan lama memang beranggapan bahwa hemisfer kiri menangani tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa. Sampai sekarang pandangan itu masih banyak dianut orang dan banyak yang menyatakan bahwa pendapat itu benar. Meskipun banyak kasus yang mendukung peran hemisfer kiri sebagai hemisfer bahasa, dari penelitian-penelitian mutakhir menyimpulkan bahwa pandangan ini tidak seluruhnya benar. Hemisfer kanan juga ikut berperan dalam kegiatan berbahasa. Pada saat mausia dilahirkan, belum ada lateralisasi atau pembagian tugas pada kedua hemisfer otak. Kasus-kasus yang terjadi pada anak-anak berumur belasan bawah (11, 12, dan 13 tahun) yang cedera hemisfer kirinya dapat memeroleh bahasa seperti anak normal. Hal ini menunjukkan bahwa hemisfer kanan pun mampu untuk melakukan fungsi kebahasaan. Hal-hal yang berkaitan dengan bahasa juga ditangani hemisfer kanan, buktinya orang-orang yang hemisfer kanannya terganggu tidak bisa mengurutkan peristiwa sebuah cerita atau narasi secara benar. Mereka tidak mampu lagi menyatakan apa yang terjadi pertama, kedua, ketiga, dan urutan yang seterusnya. Orang-orang ini juga sukar dalam menarik kesimpulan. Selain itu, mereka sangat sukar mendeteksi kalimat ambigu, sarkasme, dan metafora. Intonasi kalimat tanya dan pernyataan juga tidak bisa mereka ujarkan dengan berbeda, sehingga tidak dapat dibedakan antara bertanya dan memberikan pernyataan. Dari gambaran ini

tampak bahwa hemisfer kanan juga memunyai peran bahasa, tetapi memang tidak seintensif pada hemisfer kiri. Walaupun demikian, tetap saja hemisfer kanan memegang peranan yang cukup penting. Kritik terhadap teori lateralisasi dan lokalisasi sebagai hasil penelitian lanjutan yang berujung pada lahirnya hipotesis adanya hemisfer yang dominan yang mungkin pada hemisfer kiri dan mungkin pula pada hemisfer kanan. Kemungkinan Broca dan Wernicke menemukan fungsi-fungsi bahasa pada hemisfer kiri hanya suatu kebetulan. Begitu juga dengan sejumlah tes yang dilakukan untuk membuktikannya. Pada kasus Genie seorang anak perempuan Amerika yang dikucilkan oleh orangtuanya sejak bayi sampai berumur 13 tahun, ternyata fasilitasi bahasanya terdapat pada hemisfer kanan. Kenyataan ini membuktikan bahwa hemisfer kanan pun dapat dilatih untuk difungsikan sebagai tempat kegiatan berbahasa. 8. Gangguan Wicara Meskipun ukuran otak hanya maksimal 2% dari seluruh badan manusia, ia banyak sekali energi. 15% dari seluruh aliran darah dan 20% dari sumber daya metabolik tubuh. Jika aliran darah pada otak tidak cukup atau ada penyempitan pembuluh darah, bahkan gangguan lain yang menyebabkan jumlah oksigen yang diperlukan berkurang, maka akan terjadi kerusakan pada otak. Penyakit yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah, tersumbatnya pembuluh darah, atau kurangnya oksigen pada otak dinamakan stroke. Stroke menimbulkan berbagai akibat. Karena adanya kontrol silang dari hemisfer kiri dan hemisfer kanan, maka stroke yang terdapat pada hemisfer kiri (kalau menyebabkan gangguan fisik) akan menyebabkan gangguan pada belahan badan sebelah kanan. Sebaliknya, kalau stroke itu terjadi pada hemisfer kanan, maka bagian kiri tubuhlah yang akan terganggu. Akibat penyakit stroke juga ditentukan oleh letak kerusakan pada hemisfer yang bersangkutan. Umumnya, kerusakan pada hemisfer kiri mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Gangguan wicara yang disebabkan oleh stroke dinamakan afasia (aphasia).

Macam-macam Afasia Macam afasia ditentukan bergantung pada daerah hemisfer mana yang kena stroke. Berikut adalah beberapa macam afasia yang sering ditemukan (Kaplan dalam Dardjowodjojo, 2010:214). a. Afasia Broca Kerusakan (umumnya disebut lesion) terjadi di daerah Broca. Daerah ini berdekatan dengan jalur korteks motor, maka akan menyebabkan alat-alat ujaran termasuk bentuk mulut menjadi terganggu (mulut bisa mencong). Afasia Broca menyebabkan gangguan pada perencanaan dan pengungkapan ujaran. Kalimat-kalimat yang diproduksi biasanya terpatahpatah dan karena alat penyuara juga terganggu maka seringkali lafalnya juga tidak jelas. Kata-kata dari kategori sintaktik utama seperti nomina, verba, dan adjektiva tidak terganggu, tetapi pasien sukar mengujarkan kata-kata fungsi seperti be atau which. b. Afasia Wernicke Kerusakan ini terjadi di daerah Wernicke yang berada di bagian agak ke belakang dari lobe temporal. Korteks-korteks lain yang berdekatan juga bisa ikut terkena. Penderita afasia ini lancar berbicara dan cukup baik dalam bentuk sintaksisnya, namun kalimat-kalimat ini sukar dimengerti karena banyak kata yang tidak cocok maknanya dengan kata-kata lain sebelum dan sesudahnya. Hal ini disebabkan karena penderita afasia ini sering keliru memilih kata-kata yang berdekatan atau mirip pengujarannya, seperti kata fair dengan chair dan carrot dengan cabbage. Penderita afasia Wernicke juga mengalami gangguan dalam komprehensi lisan serta tidak mudah dapat memahami apa yang diujarkan orang lain. c. Afasia Anomik Kerusakan otak ini terjadi pada bagian depan dari lobe parietal atau pada batas antara lobe parietal dengan lobe temporal. Gangguan wicaranya tampak pada ketidakmampuan penderita untuk mengaitkan konsep dan bunyi atau kata yang mewakilinya. Jadi, kalau ada pasien yang diminta mengambil gunting, dia bisa melakukannya tetapi tidak bisa menyebutkan nama benda itu.

d. Afasia Global Kerusakan terjadi pada beberapa daerah otak. Kerusakan bisa menyebar dari daerah Broca, melewati korteks motor, menuju ke lobe parietal, dan sampai ke daerah Wernicke. Luka yang sangat luas ini mengakibatkan gangguan fisikal dan verbal yang sangat besar. Dari segi fisik, penderita bisa lumpuh di sebelah kanan, mulut bisa mencong, dan lidah bisa menjadi tidak fleksibel. Dari segi verbal, penderita bisa kesukaran dalam memahami ujaran orang, ujrannya pun tidak mudah dimengerti orang lain karena tidak jelas apa yang diujarkannya. e. Afasia Konduksi Bagian yang rusak adalah fiber-fiber yang berada pada fasikulus arkuat yang menghubungkan lobe frontal dengan lobe temporal. Broca berada di lobe frontal dan Wernicke di lobe temporal. Jika sambungan antara keduanya terputus maka penderita tidak bisa mengulang kata yang baru saja diberikan kepadanya. Penderita dapat memahami apa yang dikatakan orang lain, misalnya dia akan dapat mengambil pena yang terletak di meja, kalau disuruh seperti itu. Penderita juga akan dapat berkata Pena itu di meja, tetapi tidak akan bisa menjawab secara lisan pertanyaan Di mana penanya? Bisa terjadi, penderita ditanya tapi yang dijawab adalah tentang B atau C. Bentuk gangguan wicara lainnya adalah disartria, agnosia atau demensia, aleksia, agrafia, dan disleksia. Disartria (dysarthria) adalah gangguan yang berupa lafal yang tidak jelas, tetapi ujarannya utuh. Hal ini disebabkan yang rusak pada otak adalah bagian korteks motor saja sehingga mungkin hanya lidah, bibir, atau rahangnya saja yang berubah. Agnosia atau demensia (dementia) adalah gangguan pada pembuatan ide. Penderita tidak bisa merencanakan apa yang ingin diujarkan dengan baik sehingga isi ujaran bisa tidak berurutan. Aleksia (alexia) adalah hilangnya kemampuan untuk membaca, sedangkan agrafia (agraphia) adalah hilangnya kemampuan untuk menulis dengan huruf-huruf yang normal. Kedua penyakit ini disebut juga dengan disleksia (dyslexia). Berikut ini adalah contoh tulisan penderita agrafia dari siswa yang mengambil kursus di Universitas Atma

Jaya pada tanggal 14 Oktober 1998 yang diadaptasi dari Dardjowidjojo (2010:217).

Gambar 13. Tulisan Penderita Agrafia Akibat lain dari Stroke Pengaruh stroke tidak hanya terbatas pada gangguan wicara saja, tetapi juga hal lain yang tidak langsung berkaitan dengan bahasa. Penderita apraksia (apraxia) tidak dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu meskipun tidak menderita cacat lumpuh tangan. Penderita ataksia (ataxia) kehilangan kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan otot seperti biasanya. Orang yang terkena stroke juga dapat kehilangan ingatannya. Penderita anterograde amnesia mengalami kerusakan pada bagan otak yang dinamakan hippocampus yang menyebabkan ia tidak mampu menyimpan informasi dalam jangka waktu yang lama. Dalam beberapa menit saja ia tidak ingat lagi dengan informasi yang baru saja didapatkannya. Selain itu, kerusakan pada hippocampus juga menyebabkan retrograde amnesia, yaitu penyakit yang membuat penderita tidak ingat masa lalu (tempat tinggal, barang yang disimpan beberapa menit yang lalu, dsb). Stroke juga dapat menyebabkan penyakit prosopagnosia, yaitu ketidakmampuan untuk mengenal wajah. Penderita ini bahkan bisa tidak mengenal istri dan anaknya.

Bermacam-macam penyakit bisa terjadi pada penderita stroke, bergantung pada daerah mana yang diserang. Dalam hal merespon, orang yang kena afasia Broca tidak bisa menjawab secara lisan, tetapi kalau daerah untuk tulisannya masih utuh, dia bisa menjawab dengan cara menulis. Orang yang korteks pendengarannya terserang, tetapi korteks visualnya masih utuh dapat menerima input lewat tulisan. 9. Hipotesis Umur Kritis Pada intinya hipotesis umur kritis adalah kemampuan anak untuk memperoleh bahasa yang disajikan secara natif sampai dengan umur 12 tahun dan mampu menggunakan bahasa seperti penutur asli. Hal ini terjadi karena sebelum umur 12 tahun pada anak belum terjadi lateralisasi, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan belum dipisah untuk diberi tugas sendiri-sendiri. Keduanya juga masih lentur dan masih dapat menerima tugas apa saja. Ini juga yang menyebabkan anak yang kena stroke dan berusia di bawah 12 tahun dapat pulih 100% dalam memeroleh bahasa, sedangkan orang dewasa sangat kecil kemungkinannya untuk sembuh total. Hipotesis umur kritis banyak diperbincangkan orang dan dianut banyak orang, tetapi ada pula yang menyanggahnya. Krashen dalam Dardjowidjojo (2010:219) beranggapan bahwa lateralisasi sudah terjadi jauh lebih awal, yaitu sekitar umur 4-5 tahun. 10. Kekidalan dan Kekinanan Manusia ada yang kidal (left-handed) dan ada yang kinan (right-handed). Ada juga orang yang mampu menggunakan tangan kiri dan kanannya secara imbang yang dikenal dengan sebutan ambidekstrus (ambidextrous). Menurut penelitian yang telah dilakukan orang (Klar dalam Dardjowidjojo, 2010:219) menyatakan bahwa jumlah penduduk dunia yang kidal adalah 9%. Dari jumlah tersebut hanya 30% orang kidal yang didominasi oleh hemisfer kanan. Dapat disimpulkan biarpun seseorang itu kidal tetap saja hemisfer yang lebih dominan untuk kebahasaan adalah hemisfer kiri. Pada sebagian besar manusia, bahasa ada pada hemisfer kiri: sekitar 99% dari orang kinan memakai hemisfer kiri untuk berbahasa. Demikian juga orang

kidal, 75% dari mereka dari mereka juga memakai hemisfer kiri meskipun kadar dominasi hemisfer ini tidak sekuat seperti pada orang kinan. Di Amerika pemakaian hemisfer kanan untuk bahasa kurang dari 5%. (Damasio dan Damasio dalam Dardjowidjojo, 2010:220). Ada yang mengatakan bahwa kadar dominasi hemisfer kiri pada orang kidal yang tidak sekuat seperti pada orang kinan membuat orang kidal memunyai masalah dalam hal baca tulis (Lamn dan Epstein dalam Dardjowidjojo, 2010:220). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa orang kidal cenderung mati muda (halpern dan Coren dalam Dardjowidjojo, 2010:220), sementara peneliti lain berpandangan lain pula (Salvie dkk dalam Dardjowidjojo, 2010:220). Orang kidal yang sangat menonjol adalah Presiden Amerika Truman, Reagan, Bush Sr., dan Clinton. Orang yang ambidekstrus juga ada yang menonjol seperti Benjamin Franklin, Michaelangelo, dan Leonardo da Vinci. Pada masyarakat Indonesia dan pada masyarakat tertentu kekidalan dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Hal ini berkaitan dengan budaya Indonesia yang menganggap segala sesuatu yang kiri itu kurang baik dan tidak sopan. Dalam bahasa Jawa ada ungkapan-ungkapan yang maknanya negatif yang dinyatakan dengan kata kiwo kiri. Orang yang selingkuh dikenal dengan istilah ngiwo dan tempat buang air dinamakan pekiwan (dari pe-kiwo-an). Pada masyarakat yang berbudaya seperti ini, umumnya menghalangi anak untuk menjadi kidal. Padahal masalah kekidalan dan kekinanan adalah sebenarnya masalah genetik. Dampak yang terjadi akibat pemaksaan penggunaan tangan kanan belum dapat dipastikan. 11. Otak Pria dan Otak Wanita Pada kelas bahasa, pada umumnya mayoritas siswa atau mahasiswanya adalah wanita. Dalam beberapa kelas jumlah ini bahkan bisa mencapai lebih dari 80%. Jika setingkat SLTP atau SLTA, gurunya bisa 50% pria dan 50% wanita. Begitu juga ditingkat sarjana. Sedangkan dilihat dari tingkat magister atau doktor, biasanya banyak dosen pria daripada wanita. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kaitan antara otak dengan jenis kelamin. Steinberg dkk dalam Dardjowidjojo (2010:221) memuat pendapat tentang perbedaan antara otak pria dengan otak wanita terletak pada bentuknya, hemisfer

kiri pada wanita lebih tebal daripada hemisfer kanan. Keadaan inilah yang menyebabkan kelas bahasa umumnya didominasi oleh wanita. Tetapi temuan Philip dkk dalam Dardjowidjojo (2010:221) menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan dalam pemrosesan bahasa antara pria dan wanita, perbedaan ini hanya mengarah pada pengaruh budaya daripada pengaruh genetik. Wanita cenderung lebih besar kemungkinan sembuh dari penyakit afasia daripada pria dan afasia lebih sering muncul pada pria daripada wanita saat mereka terkena stroke. Kelebihan otak wanita daripada pria yang lainnya adalah otak wanita lebih seimbang, lebih tajam, dan lebih awet serta selektif. 12. Peningkatan Kemampuan Otak: Membaca dengan Kedua Belah Otak Harian Media Indonesia edisi 6 Januari 2000 menerbitkan satu artikel yang berjudul Membaca dengan Kedua Belah Otak. Isi artikel tersebut adalah agar tidak ketinggalan informasi dalam era globalisasi ini orang harus membaca. Namun, pekerjaan membaca ini menjadi sukar bagi orang yang tidak bisa membaca di tempat yang bising dan tidak punya waktu karena sibuk dalam bekerja. Walaupun yang terjadi seperti itu, bagi orang yang memunyai tingkat kecepatan baca tinggi tentu hal yang demikian tidak akan menjadi masalah. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tingkat kecepatan membaca bisa dilatih. Orang dewasa rata-rata dapat membaca 250 kata per menit dengan daya ingat tinggal 10% setelah 36 jam. Sedikitnya penguasaan tersebut disebabkan orang hanya menggunakan hemisfer kirinya. Hemisfer kiri biasanya membaca dengan pola analisis, harfiah, dan linear. Sedangkan hemisfer kanan mampu melakukan pemahaman secara simbolik dan spasial, serta mudah menangkap makna intuitif dan metafor. Jika kedua hemisfer ini bisa difungsikan secara bersamaan, kemungkinan membaca sekaligus memahami teks dapat dilakukan dengan kecepatan luar biasa. Diane Alexander (seorang ahli saraf di Amerika Serikat) adalah orang yang pertama kali memperkenalkan metode membaca dengan kedua belah otak. Menurut Diane Alexander, lambannya kecepatan membaca dan minimnya daya ingat seseorang terhadap apa yang dibacanya adalah terfokusnya mata pada apa yang dibaca. Sering terjadi ketika menghadapi sebuah buku, mata lari ke deretan

kata di seluruh halaman dan bukan pada satu deret kalimat yang dibaca. Kata-kata yang sukar atau kalimat yang menarik juga menjadi penyebab tidak fokusnya mata pada kalimat-kalimat yang harus dibaca. Membaca zigzag atau melafalkan kata di dalam hati pada saat yang bersamaan juga menjadi faktor penyebab memperlambat waktu baca. Oleh karena itu menurutnya, langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengubah kebiasaan itu adalah membaca dengan runtut dari samping kiri ke samping kanan halaman, dengan bantuan jari tangan yang digunakan untuk mengikuti baris demi baris kalimat tersebut. Mata harus dibiasakan untuk mengikuti rute ini secara tertib. Metode ini bergantung pada koordinasi mata, jari, dan otak. Menurut Ken Shera dalam Chaer (2009:139), dengan metode ini siswa yang mengikuti kursus membaca di tempatnya mampu meningkatkan kecepatan membacanya menjadi 450 kata per menit dengan penguasaan materi antara 90100%. Tentunya hal ini bisa dicapai dengan keadaan otak yang rileks dan harus melakukan aktivitas lain untuk melemaskan saraf otak (orang tidak boleh membaca terus-menerus). Istirahat yang cukup perlu dilakukan, tetapi waktu istirahat harus dimanfaatkan untuk mengingat apa saja yang telah dibaca. Otak harus dilatih untuk mengingat informasi yang dapat diinterpretasikannya dalam hitungan detik. Bahasa, simbol, dan warna merupakan hal yang dapat diingat dengan baik oleh otak kiri. Bila latihan dilakukan secara rutin dan kedua hemisfer otak difungsikan secara optimal, maka kecepatan baca bisa mencapai 600 kata per menit dengan tingkat pemahaman antara 90-100% adalah sesuatu yang mudah. Berdasarkan penelitian-penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teori lokalisasi yang menyatakan tiap wilayah otak memiliki fungsi-fungsi tertentu ternyata tidak semuanya benar karena ternyata hemisfer kanan pun dapat dilatih untuk tugas-tugas kebahasaan. 13. Bahasa Sinyal Bahasa sinyal (sign language) digunakan saat bahasa lisan tidak dapat digunakan. Bahasa ini menggunakan tangan dan jari-jari untuk membentuk kata dan kalimat. Orang yang tuna rungu dapat mempergunakan bahasa sinyal untuk berkomunikasi. Bahasa sinyal sendiri terdiri dari beberapa jenis yang di antaranya adalah Bahasa Sinyal Amerika dan Bahasa Sinyal Inggris.

Hemisfer kanan memang lebih unggul untuk menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan desain dan pola-pola visual, tetapi ternyata tetap saja hemisfer kiri yang lebih banyak mendominasi bahasa sinyal. Orang tuna rungu yang hemisfer kirinya kena stroke ternyata juga mengalami gangguan bahasa seperti yang dialami oleh penderita stroke yang awal kondisinya normal. Mereka yang menderita afasia Broca kesukaran dalam mensinyalkan apa yang ingin dinyatakan. Mereka mungkin bisa mensinyalkan kata, tetapi infleksi untuk kata itu, atau fungsi gramatikalnya kacau. Begitu juga dengan orang tuna rungu yang mengalami kerusakan di daerah Wernicke, mereka dapat memberikan sinyal dengan lancar tapi maknanya tidak karuan. Konfigurasi, lokasi, dan gerakan tangan atau jarinya menghasilkan kata-kata yang tidak cocok maknanya sehingga kalimat tadi tidak berarti. Bukti lain bahwa pengguna bahasa sinyal lebih banyak memakai hemisfer kiri untuk bersinyal adalah jika yang rusak hemisfer kanan, pada umumnya tidak terjadi gangguan dalam bersinyal. Tatabahasanya masih utuh dan tidak terbata-bata. Simpulan Otak merupakan salah satu komponen dalam sistem susunan saraf manusia yang sangat penting. Tanpa otak, manusia tidak bisa melakukan apa-apa apalagi berbahasa. Maka dari itu banyak dilakukan penelitian tentang otak yang berkaitan dengan bahasa. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam bidang ini adalah Paul Broca dan Carl Wernicke sehingga nama belakang mereka diabadikan sebagai salah satu bagian yang ada dalam otak. Dari beberapa penelitian yang mereka lakukan diperoleh kesimpulan bahwa yang berperan dalam proses berbahasa adalah hemisfer kiri. Namun, seiring berjalannya waktu pendapat mereka ini terbukti tidak sepenuhnya benar. Ternyata hemisfer kanan juga berperan dalam proses berbahasa walau tak sedominan hemisfer kiri. Daftar Rujukan Arifuddin. 2010. Neuropsikolinguistik. Jakarta: Rajawali Pers. Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Daftar Istilah Deklinasi : sistem fleksi mengenai bentuk (nomina, adjektiva, pronomina, dsb) untuk menyatakan perbedaan kategori (genus atau kasus). (Depdiknas, 2008:306) Fleksi : perubahan bentuk kata sesuai dengan perbedaan waktu, jenis kelamin, jumlah, dsb, misal pada bahasa Inggris dan Jerman. (Depdiknas, 2008:394) Infleksi : perubahan bentuk kata (dalam bahasa fleksi) yang menunjukkan berbagai hubungan gramatikal (seperti deklinasi nomina, pronomina, adjektiva, dan konjungsi verba). (Depdiknas, 2008:534-535) Intuisi : daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. (Depdiknas, 2008:545) Intuitif : bersifat (secara) intuisi, berdasarkan bisikan (gerak) hati. (Depdiknas, 2008:545) Konfigurasi : bentuk atau wujud (untuk menggambarkan orang atau benda). (Depdiknas, 2008:723) Korteks : bagian luar suatu alat organ. (Depdiknas, 2008:735) Neurolinguistik : ilmu tentang hubungan antara bahasa dan saraf otak. (Depdiknas, 2008:960) Neurologi : ilmu tentang urat saraf, terutama tentang penyakit urat saraf. (Depdiknas, 2008:960) Neurologis : bersifat atau menurut ilmu urat saraf; berkaitan dengan neurologi. (Depdiknas, 2008:960) Neuron : sel-sel saraf dengan cabang-cabang halusnya. (Depdiknas, 2008:961)