55505386 back up neurologis

Upload: andymau

Post on 17-Jul-2015

984 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

I. PENDEKATAN TERHADAP PASIEN DENGAN PENYAKIT NEUROLOGIS

Neurologi dikenal sebagai salah satu cabang ilmu kedokteran yang paling sulit. Pada awalnya mahasiswa dan residen yang baru mendalami ilmu neurologi mungkin akan mudah merasa gamang dan takut dengan kompleksitas sistem saraf saat mereka pertama kali berkontak dengan neuroanatomi, neurofisiologi, neuropatologi, neurogenetik dan biologi sel. Kebiasaan yang selanjutnya mereka lihat berupa serangkaian prosedur yang disusun untuk membangkitkan tanda klinis tertentu pada pasien neurologi sering dirasakan sulit untuk diterima, sementara pada kenyataannya prosedur tersebut sering membingungkan pemeriksa dalam proses berpikir untuk menegakkan diagnosis. Lebih lanjut, para mahasiswa juga hanya memiliki sedikit dan bahkan hampir tidak ada pengalaman sama sekali tentang berbagai teknik khusus dalam pemeriksaan neurologiseperti pungsi lumbal, elektromiografi (EMG), elektroensefalografi (EEG), CTScan, MRI dan pemeriksaan pencitraan lainnyadimana mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam menginterperetasikan hasil pemeriksaan tersebut. Buku ajar neurologi hanya menjelaskan secara detail beberapa hal yang meragukan pada kasus-kasus sistem saraf yang jarang ditemukan. Penulis pencaya bahwa kesulitan dalam memahami teori neurologi tersebut bisa diatasi dengan mempelajari prinsip dasar kedokteran klinis. Suatu hal yang sangat penting disini adalah mempelajari teknik dan mencukupkan alat yang digunakan dalam metode klinis. Tanpa apresiasi yang tinggi terhadap metode ini, maka para mahasiswa akan mengalami kesulitan saat menghadapi suatu masalah klinis baru, sama halnya dengan ahli pertanian dan ahli kimia yang ingin menyelesaikan masalah penelitian namun tidak terlebih dahulu memahami langkahlangka dalam metode ilmiah. Bahkan, seorang neurologis berpengalaman yang

1

dihadapkan dengan masalah neurologis yang rumit pendekatan dasar kedokteran klinis ini.

juga akan bergantung pada

Metode klinis dianggap lebih memiliki arti penting dalam mempelajari penyakit neurologis dibandingkan dengan ilmu kedokteran lainnya. Pada sebagian besar kasus, metode klinis memiliki beberapa langkah sebagai berikut : 1. Tanda dan gejala didapatkan pelalui anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. 2. Gejala dan tanda fisik yang dianggap berhubungan dengan masalah tertentu diinterpretasikan secara fisiologis dan anatomis untuk menggambarkan ganguan fungsi dan struktur anatomi menggambarkan gangguan struktur yang dikenai. 3. Dengan analisis ini, para klinisi bisa menentukan lokasi terjadinya proses penyakit, misalnya menentukan bagian dari sistem saraf yang terkena. Langkah ini dinamakan diagnosis anatomis atau topografik. Kumpulan tanda dan gejala yang khas sering dikelompokkan menjadi sindrom anatomis, fisiologis maupun temporal. Perpaduan tanda dan gejala ini dalam satu

kesatuan akan sangat membantu untuk mengetahui proses perjalanan alamiah peyakit. Langkah ini disebut diagnosis sindrom dan sering dihubungkan secara pararel dengan diagnosis anatomi. 4. Dari diagnosis anatomi dan data medis lainnyaterutama mengenai cara dan lama onset, perkembangan penyakit, keterlibatan sistem organ nonneurologis, riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga yang berhubungan serta hasil pemeriksaan laboratoriumakan didapatkan dignosis patologik, dan ketika mekanisme serta penyebab penyakit telah dapat ditentukan, maka diagnosis etiologi juga dapat ditegakkan. Hal ini bisa mencakup etiologi secara genetik dan molekuler, yang jumlahnya bisa meningkat tajam jika sudah dilakukan serangkaian pemeriksaan khusus. Klinisi ahli sering berhasil menegakkan diagnosis sementara yang tepat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, baik yang mempertajam diagnosis ataupun untuk menyingkirkan penyakit

2

khas lainnya. Dalam prakteknya diperlukan proses berpikir yang fleksibel untuk menghindari terperangkap dalam keterangan yang salah dan secara selektif mengeluarkankan data yang meragukan. Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan neurologis sesuai dengan proses kerja sistem saraf. 5. Akhirnya, para klinisi harus menentukan tingkat disabilitas dan memutuskan apakah kelainannya bersifat temporer atau permanen (diagnosis fungsional) karena hal ini penting dalam manajemen pasien dan menentukan potensi pemulihan fungsi. Semua langkah ini dilakukan untuk mendapatkan terapi efektif, yang merupakan suatu harapan yang sedang berkembang dalam neurologi. Seperti telah ditekankan berulang-ulang pada bagian berikut ini, selalu ada proses diagnosis premium dalam menemukan penyakit yang bisa diobati, bahkan jika pengobatan khusus tidak tersedia, diagnosis yang akurat pun dapat menjadi terapi, karena ketidakjelasan penyebab dari suatu penyakit saraf akan lebih menjadi masalah bagi pasien dibandingkan dengan penyakitnya itu sendiri.

3

Gambar 1-1 tentang diagram prosedur pemecahan masalah klinis berupa serangkaian langkah berurutan yang sederhana yang kemudian disimpulkan menjadi diagnosis penyakit saraf. Pendekatan skematik ini, yang memungkinkan penentuan lokasi pasti dan bahkan diagnosis yang tepat, merupakan satu dari daya tarik intelektual dalam bidang neurologi. Solusi untuk masalah klinis tentu saja tidak selalu perlu skematisasi dengan cara ini. Terdapat berbagai variasi yang luas dalam hal urutan dan tata cara metode klinis untuk mengumpulkan informasi dan menginterpretasikannya. Kenyataannya pada beberapa kasus, tidak perlu selalu mengikuti pola formal. Dalam hubungannya dengan diagnosis sindromik yang tersebut di atas, sekali muncul biasanya gambaran penyakit tersebut akan sangat khas, misalnya pada penyakit Parkinson. Pada kasus lain, tidak perlu melakukan analisis klinis melebihi tingkat diagnosis anatomis, dimana hal itu sebenarnya mungkin mengindikasikan penyebab penyakit. Contohnya ketika vertigo, ataksia serebellar, sindrom Horner unilateral, paralisis pita suara, dan analgesia wajah pada onset akut, digabung dengan hilangnya rasa nyeri dan sensasi suhu pada lengan, batang badan dan tungkai sisi yang berlawanan, maka penyebabnya adalah suatu oklusi arteri vertebralis, karena semua struktur yang terlibat terletak pada medulla lateralis, yang merupakan daerah dari arteri ini. Jadi diagnosis anatomis menentukan dan membatasi kemungkinan etiologi. Bila tandatanda klinis mengarahkan pada penyakit saraf perifer, biasanya tidak perlu memikirkan penyebab penyakit pada medulla spinalis. Terdapat beberapa tanda spesifik, misalnya opsoklonus untuk degenerasi paraneoplastik serebelar dan pupil Argill Robertson untuk neurosifilitik atau neuropati okulomotor diabetik. Meskipun demikian, tetap hati-hati untuk menyebut suatu tanda sebagai patognomonik ditengah tanda-tanda pengecualian yang didapatkan. Klinisi berpengalaman terbiasa mengelompokkan setiap kasus dalam sekumpulan gejala khas, atau disebut sindrom. Perlu diingat bahwa sindrom bukanlah suatu bentuk penyakit, tetapi lebih merupakan abstraksi yang disusun klinisi untuk mempermudah mendapatkan diagnosis. Contohnya, kompleks gejala konfusi kanan-

4

kiri, ketidakmampuan menulis, berhitung dan mengenali jari-jari sendiri, yang sering disebut sebagai sindrom Gerstmann, penemuan yang demikian menentukan lokus anatomis penyakit (regio girus angularis kiri), dan pada saat yang sama membatasi faktor-faktor etiologi yang mungkin.

Pada analisis awal dari suatu kelainan neurologis, penentuan lokasi anatomis lebih diutamakan daripada diagnosis etiologi. Untuk mencari penyebab penyakit sistem saraf tanpa lebih dahulu memastikan bagian atau struktur mana yang dipengaruhi akan analog dengan mencari diagnosis etiologi tanpa mengetahui apakah penyakit tersebut melibatkan paru-paru, perut ataupun ginjal pada bagian ilmu penyakit dalam. Memastikan penyebab suatu sindrom klinis (diagnosis etiologi) memerlukan pengetahuan yang menyeluruh. Disini perlu adanya pengetahuan klinis yang rinci, termasuk onset, perjalanan penyakit, dan riwayat alamiah dari beragam penyakit. Fakta-fakta ini disusun dan disajikan pada bab-bab berikutnya. Ketika dihadapkan pada sekumpulan tanda-tanda klinis yang tidak memiliki analisis

5

sederhana atau berurutan, terpaksa mengingat pembagian klasik yang luas dari penyakit dalam berbagai cabang ilmu kedokteran, seperti dirangkum pada tabel 1-1. Terlepas dari proses berpikir yang digunakan dalam memecahkan suatu masalah klinis tertentu, langkah dasar dalam menegakkan diagnosis selalu mencakup bagaimana mendapatkan gejala dan tanda klinis yang akurat, serta interpretasi yang benar berkenaan dengan kerusakan fungsi sistem saraf. Sering ditemukan bahwa saat terdapat ketidakpastian atau ketidaksepakatan terhadap diagnosis, diketahui ternyata penyebabnya adalah kesalahan dalam menginterpretasikan gejala dan tanda klinis. Jadi, apabila keluhan pusing lebih diidentifikasi sebagai vertigo daripada nyeri kepala ringan atau serangan epilepsi parsial kontinua disalahartikan sebagai gangguan ekstrapiramidal seperti halnya tremor atau koreoatetosis, maka arah pemeriksaan klinis akan salah dari awal.

PREVALENSI DAN INSIDEN PENYAKIT NEUROLOGIS Tabel 1-2 menampilkan estimasi prevalensi rata-rata penyakit neurologis di Amerika Serikat yang diambil dari berbagai sumber, termasuk NIH, guna memperluas perspektif klinisi mengenai frekuensi penyakit neurologis. Donaghy dkk telah membuat daftar yang serupa namun dalam cakupan yang lebih luas dari insiden berbagai penyakit neurologis yang sering ditemukan oleh dokter umum di Inggris. Mereka mencatat stroke sebagai penyakit yang paling banyak ditemukan, diikuti dengan berbagai penyakit neurologis lain seperti terlihat pada tabel 1-3. Survei yang lebih mendalam, seperti yang dilakukan oleh Hirst dkk, memberikan gambaran angka prevalensi yang sama, dimana migrain, epilepsi dan sklerosis multipel sebagai penyakit yang paling sering ditemukan pada populasi umum (121.7,1 dan 0,9 per 1000 penduduk pertahun); stroke,cedera kepala dan cedera medulla spinalis terjadi sebanyak 183,101 dan 4,5 per 100.000 penduduk pertahun; alzhimer, parkinson dan sklerosis lateral amiotropik (ALS) di antara para lansia sebanyak 67, 9.5 dan 1.6 per 100,000 pertahun. Data-data ini cukup membantu dalam mendorong sumber daya

6

masyarakat untuk mengobati berbagai kondisi tersebut, namun agak kurang membantu para klinisi dalam menegakkan diagnosis Diperlukan prioritas hal mana yang lebih mungkin untuk menjadi diagnosis, kecuali jika mereka selalu berpegang pada diktum tak tertulis keadaan biasa yang lazim terjadi.

7

MELAKUKAN ANAMNESIS Dalam ilmu neurologi, klinisi lebih tergantung kepada kerjasama pasien untuk mendapatkan riwayat penyakit yang reliable melebihi bidang spesialisasi lain, terutama mengenai gambaran gejala yang tidak disertai dengan tanda pemeriksaan fisik yang jelas. Jika gejalanya berupa gangguan sensorik, maka hanya pasienlah yang dapat mengatakan apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Sebagai langkah awal dalam pemeriksaan klinis adalah mendapatkan kepercayaan dan kerjasama pasien serta menekankan pentingnya anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sangat dianjurkan untuk selalu membuat catatan di bangsal atau ruangan. Keluhan pasien sebaiknya langsung dicatat karena hal ini menjamin reliabilitas8

maksimal, namun seberapa reliabel pun riwayat penyakit tersebut, tetap diperlukan verifikasi cerita passion dengan pihak lain yang objektif dan banyak mengetahui kondisi pasien. Beberapa hal di bawah ini yang patut diketahui dalam melakukan anamnesis neurologi: 1. Kita harus memberikan perhatian khusus supaya tidak mengarahkan secara subjektif dalam menganamnesis keluhan pasien. Sering terjadi kesalahan dan inkonsistensi dari pencatatan riwayat penyakit, baik kesalahan dari dokter maupun keterangan yang salah dari pasien. Kita perlu mencegah pasien agar tidak merangkai keluhan sesuai dengan penyakit yang pernah didengarnya, disisi lain pasien harus didorong untuk memberikan deskripsi gejala seakurat mungkin, misalnya diminta memilih kata yang sederhana dan paling tepat untuk mendeskripsikan rasa nyeri dan menggambarkan secara tepat apa yang ia maksud dengan keadaan tertentu seperti dizziness, imbalansi atau vertigo. Ppasien yang memberikan keterangan yang berbelit-belit dapat diatasi dengan memberikan pertanyaan langsung mengenai keluhannya. 2. Keadaaan dimana terjadinya penyakit, onset dan perjalanan penyakit merupakan hal yang sangat penting. Kita harus mempelajari bagaimana setiap gejala muncul dan berkembang. Jika informasi di atas tidak bisa didapatkan dari pasien maupun keluarganya, maka perlu untuk melihat perjalan penyakit dari apa yang bisa dilakukan pasien pada waktu yang berbeda (seperti berapa jauh dia bisa berjalan, kapan tidak bisa lagi menaiki tangga atau melakukan pekerjaan seperti biasa) atau perubahan temuan klinis dari pemeriksaan yang berulang-ulang. 3. Karena penyakit neurologis sering menimbulkan gangguan fungsi mental, maka penting bagi seorang dokter untuk memutuskan pasien dengan penyakit neurologis mana yang dapat dipercaya dalam memberikan keterangan tentang penyakitnya. Jika kemampuan atensi, memori dan berfikir koheren pasien tidak adekuat maka riwayat penyakit harus didapatkan dari istri atau suami,

9

kerabat dan teman. Juga pada penyakit yang ditandai dengan kejang atau konfusi episodik, akan menghilangkan atau mengurangi ingatan pasien tentang hal yang terjadi selama episode itu. Secara umum dokter sering ceroboh dalam menentukan status mental pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk mendapatkan riwayat penyakit pada pasien yang mengalami gangguan kognitif atau yang merasa bingung kenapa mereka berobat ke dokter.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Pemeriksaan neurologis diawali dengan mengobservasi pasien sementara ia dianamnesis. Cara pasien menceritakan riwayat penyakitnya mungkin saja membingungkan, terdapat pola piker yang inkoheren, ingatan atau pendapat yang salah, maupun kesulitan dalam memahami atau mengungkapkan suatu maksud. Dokter sebaiknya mempelajari bagaimana cara untuk mendapatkan informasi tersebut tanpa membuat pasien merasa malu. Kesalahan yang biasa terjadi adalah terlampaunya batas inkonsistensi dalam cerita serta ketidaktepatan dalam hal waktu dan gejala, yang akhirnya sering ditemukan bahwa hal yang terlewatkan itulah sebenarnya yang merupakan bagian terpenting dari penyakit pasien. Menyuruh pasien untuk menginterpretasikan sendiri suatu gejala terkadang dapat menimbulkan pemahaman yang keliru pada pasien, membuat kecemasan, kecurigaan, atau bahkan pemikiran yang delusional. Dokter muda dan mahasiswa juga memiliki

kecenderungan untuk menganggap normal keadaan pasien, sering salah presepsi dengan mengikuti harapan keluarga bahwa sebenarnya tidak ada masalah yang nyata. Usaha menunjukkan simpati yang demikian itu tidak akan ada gunanya untuk pasien, malah dapat memperlambat diagnosis penyakit yang memiliki harapan untuk disembuhkan. Selanjutnya satu hal yang menjadi hasil dari pemeriksaan nervus kranial, leher dan pemeriksaan motorik tungkai, reflek, dan fungsi sensorik tungkai atas dan bawah. Hal ini dilanjutkan dengan pemeriksaan fungsi spingter dan sistem saraf

10

otonom serta tes untuk iritasi meningen dengan memeriksa kelemahan pada leher dan tulang belakang. Cara berjalan dan posisi berdiri sebaiknya diobservasi sebelum dan sesudah pemeriksaan. Pada saat ditemukan sesuatu yang abnormal, baik kognitif, motorik, ataupun sensorik penting untuk menganalisis masalah tersebut secara yang lebih terperinci. Pemeriksaan secara luas yang lebih rinci selanjutnya akan dibahas pada bab lain (motorik: bab 3, 4, dan 5; sensorik : bab 8 dan 9; fungsi kofnitif dan kelainan berbahasa: bab 22 dan 23). Pemeriksaan neurologis sebaiknya dilakukan dan dicatat dengan cara yang relatif seragam dengan tujuan untuk menghindari adanya hal yang tidak tercantum dan untuk memudahkan analisis berikutnya dari suatu catatan kasus. Beberapa variasi urutan pemeriksaan antara dokter yang satu dengan dokter yang lain biasanya masih dapat dimengerti, namun setiap pemeriksa sebaiknya membentuk suatu pola yang lazim. Meskipun ada kalanya tidak dapat dilakukan pemeriksaan dalam cara yang biasa, seperti pada pasien yang tidak kooperatif dikarenakan usianya ataupun karena adanya defisiensi kognitif, tetap perlu dicatat semua hasil pemeriksaan tersebut sesuai urutan. Jika ada bagian pemeriksaan tertentu yang tidak dilakukan (misalnya tes penciuman pada pasien yang sama sekali tidak kooperatif), kekurangan ini sebaiknya tetap dicantumkan, sehingga siapapun yang pada waktu berikutnya membaca

keterangannya tidak akan ragu apakah suatu kelainan tidak terdeteksi sebelumnya. Ketelitian pemeriksaan neurologis yang diperlukan harus disesuaikan dengan gejala klinis yang ditunjukkan pasien. Menghabiskan waktu setengah jam atau lebih untuk memeriksa fungsi serebral, serebelar, saraf kranial dan sensorimotorik pada pasien yang sedang membutuhkan pengobatan untuk suatu kelumpuhan nervus ulnaris akibat kompresi ringan merupakan hal yang tidak perlu dan sia-sia. Pemeriksaan juga harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Pada kenyataannya, banyak bagian pemeriksaan yang tidak dapat dilakukan pada pasien koma, bayi dan anak kecil serta pasien dengan penyakit kejiwaan, harus dilakukan pemeriksaan secara khusus.

11

Bagian tertentu dari pemeriksaan fisik umum yang mungkin memberikan informasi penting pada pasien dengan penyakit neurologis, sebaiknya dimasukkan. Misalnya pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah, serta auskultasi karotis dan kardiak, merupakan hal yang penting pada pasien stroke. Demikian juga halnya kulit, dapat pula memberikan gambaran berbagai kondisi yang berhubungan dengan penyebab kongenital, metabolik, dan infeksi dari suatu penyakit saraf.

PEMERIKSAAN PASIEN DENGAN GEJALA NEUROLOGIS Banyak panduan untuk memeriksa sistem saraf yang telah tersedia (lihat referensi pada akhir bab ini). Untuk laporan lengkap pada berbagai metode ini, pembaca diarahkan kepada beberapa skema diagnosis seperti Bickerstaff dan Spillane, Campbell dan Mayo. Terdapat sangat banyak sekali bentuk pemeriksaan neurologis yang telah dirumuskan, namun tidak akan dibahas semuanya dalam buku ini. Beberapa diantaranya akan dibahas lebih rinci pada bab tertentu, sesuai dengan kelainan neurologis yang dijelaskan, fungsi nervus kranialis, sensorik, dan saraf otonom. Banyak pemeriksaan yang membingungkan dan juga merupakan pengulangan dari pemeriksaan yang lebih sederhana, pemeriksaan yang demikian itu tidak perlu diajarkan kepada mahasiswa neurologi. Untuk melakukan semua pemeriksaan pada seorang pasien memerlukan memerlukan waktu beberapa jam, dan sebagian besar contoh kasus menunjukkan bahwa hal itu tidak membuat si pemeriksa menjadi lebih paham. Yang berbahaya dari semua pemeriksaan klinis adalah lebih meyakininya sebagai indikator penyakit yang tak terbantahkan daripada sebagai cara untuk menemukan gangguan fungsi dari sistem saraf. Beberapa pendekatan berikut ini relatif simpel dan memberikan informasi paling berharga.

TES FUNGSI LUHUR Fungsi ini diuji secara rinci apabila riwayat penyakit pasien atau tingkah lakunya selama pemeriksaan umum memberikan cukup alasan untuk mencurigai

12

adanya beberapa kerusakan. Secara luas disebutkan bahwa pemeriksaan status mental mempunyai dua komponen utama, meskipun pembagiannya agak dibuat-buat, yaitu aspek kejiwaan yang menggabungkan afektif, keadaan kejiwaan serta kenormalan proses berpikir dengan isi pikiran; aspek neurologis yang mencakup tingkat kesadaran, tingkat pemahaman (atensi), bahasa, memori, serta kemapuan visiospasial. Pertanyaan-pertanyaan pertama kali ditujukan untuk menentukan orientasi tempat, waktu dan wawasan diri pasien terhadap masalah kesehatannya saat ini. Keseluruhan dari atensi, kecepatan dalam memberikan respon, kemampuan memberikan jawaban terhadap pertanyaan sederhana, dan kapasitas usaha mental yang tahan dan koheren, akan memberikan hasil observasi yang sebenar-benarnya. Terdapat banyak bedside test terhadap atensi, konsentrasi, memori, dan kejelasan berpikir pasien, termasuk disini adalah pengulangan angka-angka berurutan maju dan mundur, pengurangan 3 atau 7 yang berurutan dari 100, dan menyebutkan kembali tiga buah informasi atau suatu cerita singkat setelah interval waktu 3 menit. Cara pemeriksaan yang lebih rinci terdapat dalam bab 20-23. Cerita pasien tentang riwayat penyakit sekarang, tanggal masuk rumah sakit, serta ingatannya hari ke hari tentang timbulnya penyakit merupakan uji memori yang sangat baik; cerita tentang penyakit dan pemilihan kata-kata oleh pasien (kosakata) memberikan informasi tentang kemampuan berbahasanya dan pikiran yang koheren. Apabila muncul kesan terdapat gangguan bahasa atau bicara, perlu diperhatikan bagaimana cara pasien berbicara spontan. Sebagai tambahan, sebaiknya dinilai juga ketepatan membaca, menulis, dan mengeja, melakukan perintah yang diucapkan, mengulang kata-kata dan ungkapan yang diucapkan pemeriksa, menamai benda-benda dan bagian-bagian benda, serta memecahkan soal hitungan sederhana. Kemampuan melakukan tugas yang diperintahkan (praksis) memiliki tingkat kepentingan yang besar dalam mengevaluasi beberapa aspek dari fungsi kortek. Membagi dua sebuah garis, menggambar sebuah jam, denah rumah atau peta negara

13

dan meniru gambar berguna untuk menguji presepsi visuospasial dan diindikasikan jika dicurigai adanya kelainan serebral.

TES NERVUS KRANIALIS Fungsi nervus kranialis umumnya harus diperiksa secara lebih lengkap pada pasien yang memiliki gejala neurologis dibandingkan dengan yang tidak memiliki gejala. Jika dicurigai terdapat lesi pada fossa anterior, maka perlu diperiksa indera penciuman pada kedua lubang hidung, kemudian perlu ditentukan apakah dapat membedakan bau busuk atau tidak. Lapangan pandang perlu digambarkan dengan menggunakan tes konfrontasi, yang pada beberapa kasus dilakukan dengan menguji kedua mata secara terpisah. Jika ada abnormalitas yang dicurigai, perlu diperiksa dengan perimeter dan ditemukan skotoma pada layar tangensial, atau untuk lebih akurat lagi dengan menggunakan perimeter terkomputerisasi. Ukuran pupil serta reaktivitas terhadap terang, reflek langsung, konsensual dan selama konvergensi, posisi kelopak mata, dan luas lapangan pandang selanjutnya juga perlu diobservasi. Sensasi di permukaan wajah diperiksa dengan menggunakan peniti dan segumpal kapas. Juga, dapat pula`ditentukan ada atau tidaknya reflek kornea, langsung maupun konsensual. Mimik wajah sebaiknya diobservasi pada saat pasien berbicara dan tersenyum, karena kelemahan ringan bisa tampak lebih jelas pada kondisi seperti ini dibandingkan kalau disuruh bergerak sesuai perintah. Membran pendengaran timpani dan meatus perlu diinspeksi memakai otoskop. Garputala berfrekuensi tinggi (512 Hz) yang diletakkan di samping telinga dan di atas mastoid akan menyingkap hilangnya pendengaran dan membedakan antara tuli telinga tengah (konduktif) dengan tuli saraf. Audiogram dan tes khusus lain untuk menilai fungsi pendengaran dan keseimbangan diperlukan bila dicurigai adanya penyakit pada nervus VIII, atau pada organ kokhlea dan ujung labirin (lihat bab 15). Pita suara harus dilihat dengan instrumen khusus pada kondisi dicurigai

14

adanya penyakit medula atau nervus vagus, terutama ketika terdapat suara parau. Elevasi faring secara volunter dan reflek yang didapatkan memiliki arti jika ada perbedaan pada kedua sisinya; tidak adanya reflek muntah bilateral jarang memiliki arti penting. Perlu juga dilakukan inspeksi lidah, baik saat dijulurkan maupun saat istirahat, dimana mungkin terlihat adanya atrofi, fasikulasi maupun kelemahan. Deviasi ringan dari lidah yang dijulurkan sebagai temuan tunggal biasanya dapat diabaikan, namun deviasi luas menggambarkan gangguan dari nervus hipoglosus dan otot pada sisi tersebut. Pengucapan kata-kata sebaiknya diperhatikan. Reflek jaw jerk, reflek snout, reflek bukal dan reflek mengisap sebaiknya diperiksa, khususnya jika ada keraguan berupa disfagi, disartri, dan disfoni.

TES FUNGSI MOTORIK Pada penilaian fungsi motorik, perlu tetap diingat bahwa observasi dari kecepatan dan kekuatan gerak otot, irama dan koordinasi merupakan hal yang paling informatif dan dianggap berhubungan dengan keadaan reflek tendon. Tes kemampuan lengan pada posisi supinasi dalam melawan gravitasi memiliki arti luas. Pada keadaan lengan yang lemah, akan terjadi keletihan pada fase awal yang kemudian segera akan diikuti dengan posisi melengkung; atau pada saat terdapat lesi kortikospinal, maka posisi tangan akan kembali lagi ke posisi pronasi yang natural (pronator drift). Kekuatan otot kaki dapat diperiksa dengan cara yang sama pada pasien dengan posisi telungkup serta kaki fleksi pada sendi panggul dan lutut, dan mengobservasi penyimpangan ke bawah dari kaki yang mengalami kelemahan. Pada posisi supinasi saat istirahat, kelemahan akibat suatu lesi upper motor neuron (UMN) menyebabkan rotasi eksternal dari panggul. Jangan menutupi tungkai dengan apapun agar dapat diamati apakah ada atrofi dan fasikulasi. Abnormalitas dari gerakan, sikap badan dan tremor bisa terlihat dengan mengobservasi saat istirahat maupun saat bergerak (lihat bab 4, 5 dan 6). Selanjutnya dilihat bagaimana pasien mempertahankan tangan yang direntangkan

15

dalam posisi pronasi maupun supinasi; melakukan tugas-tugas ringan, misalnya secara bergantian menyentuh hidung dan jari si pemeriksa; membuat gerak cepat bergantian yang mengharuskan aselerasi dan deselerasi mendadak serta perubahan arah, seperti menepukkan tangan yang satu di atas yang lain sambil bergantian pronasi dan supinasidari telapak tangan; secara cepat menyentuhkan ibu jari ke ujung kuku; menyelesaikan tugas sederhana seperti memasang dan membuka kancing baju, atau menggenggam suatu alat. Memperkirakan kekuatan kaki pada pasien yang terbaring di tempat tidur adalah hal yang kadang-kadang sulit dilakukan karena mungkin saja akan terlihat sedikit atau tidak ada kelemahan meskipun pasien tersebut tidak dapat bangkit dari kursi atau dari posisi berlutut bila tanpa bantuan. Secara bergantian menyentuh jari si pemeriksa dengan menggunakan jari kaki dan lutut yang berlawanan dengan tumit, serta secara ritmik menyentuh tumit dan lutut merupakan satu-satunya tes koordinasi yang perlu dilakukan di tempat tidur.

TES`REFLEK Tes reflek bisep, trisep, supinator radiobrakialis, patella, achiles, kutaneus abdomen dan plantar memberikan sampel yang cukup untuk aktifitas reflek medulla spinalis. Untuk mendapatkan reflek tendon memerlukan keadaan otot yang rilek; dimana reflek yang menurun atau menghilang dapat disebabkan oleh kontraksi volunter otot-otot lainnya (manuver Jendrassik). Kita sering kesulitan untuk mendapatkan respon plantaris karena adanya berbagai respon reflek selain babinski yang dapat dicetuskan dengan merangsang telapak kaki bagian luar, dari arah tumit menuju mata kaki, antara lain (1) dalam keadaan normal, reaksi menghindar yang cepat menyebabkan pasien menarik kaki dan tungkai, (2) gangguan patologik ringan, reflek nosiseptif/proteksi fleksor spinal (fleksi sendi lutut dan panggul serta dorsofleksi jari kaki, yang merupakan tripel fleksi). Dorsofleksi dari ibu jari kaki dan plantar fleksi jari-jari yang lainnya lazimnya dikenal sebagai tanda babinski.(3) reflek genggam plantar dan (4) reaksi

16

suportif pada bayi. Reflek menghindar dan menarik dapat mengganggu interpretasi tanda babinski dan hal ini dapat diatasi dengan menggunakan beberapa stimuli alternatif (seperti meremas betis dan tendon achiles, menjentikkan jari manis kaki, menggores bagian depan tungkai dari atas ke bawah, mengangkat tungkai dan lain lain) atau dengan menggores telapak kaki pasien. Hilangnya reflek superfisial abdomen, kremaster, dan reflek lainnya berguna sebagai informasi tambahan untuk mendeteksi lesi kortikospinal apabila ditemukan pada posisi unilateral.

TES FUNGSI SENSORIK Oleh karena pemeriksaan ini hanya didapatkan melalui respon subjektif pasien, maka sangat dibutuhkan pasien yang kooperatif. Karena alasan yang sama, maka bisa saja terjadi overinterpretasi dan penekanan yang tidak tepat. Biasanya, tes sensorik dilakukan pada akhir pemeriksaan, jika hasil pemeriksaan ini telah dapat dipercaya maka jangan dilakukan lebih dari beberapa menit. Setiap tes sebaiknya diberi penjelasan secara singkat; terlalu banyak menjelaskan secara rinci akan menyebabkan pasien melaporkan variasi intensitas rangsangan yang tidak bermakna. Pemeriksaan ini tidak harus dilakukan pada semua permukaan kulit. Pemeriksaan secara cepat pada muka, leher, lengan, badan, dan tungkai dengan menggunakan jarum hanya memerlukan waktu beberapa detik. Biasanya pemeriksa mencari perbedaan sensasi antara kedua sisi badan (lebih baik ditanyakan apakah rangsangan pada sisi yang berlawanan dirasakan sama, dari pada ditanyakan apakah ada perbedaan pada kedua sisi), pada tingkat mana sensasi menghilang, daerah analgesi relatif atau absolute (hilang sensasi nyeri) atau anastesi (hilang sensasi raba). Selanjutnya diperiksa secara lebih teliti daerah yang mengalami defisit sensorik dan hasilnya kemudian dipetakan. Disarankan untuk mulai memberikan rangsangan dari daerah yang sensasinya berkurang ke area yang normal karena hal ini dapat mempertinggi persepsi dari perbedaan sensasi tersebut.

17

Sensasi getar dapat diperiksa dengan membandingkan antara ambang rasa getar pada bagian penonjolan tulang pasien dan pemeriksa. Pemeriksa dianjurkan untuk menghitung berapa detik waktu yang diperlukan sampai sensasi getar pada maleolus hilang. Jika didapatkan hiperestia (sensasi meningkat), maka hal ini merupakan tanda kerusakan sensasi superfisial. Gejala sensorik yang bervariasi menggambarkan bahwa pemeriksaan yang berbeda bisa memberikan respon yang berbeda pula.

TES CARA BERJALAN DAN BERDIRI Pemeriksaan fisik dilengkapi dengan penilaian cara pasien berdiri dan berjalan. Abnormalitas cara berdiri atau berjalan bisa saja merupakan kelainan neurologis yang paling menonjol atau bahkan satu-satunya yang didapatkan, seperti halnya pada beberapa kasus tertentu yang disebabkan oleh gangguan serebelar dan kerusakan lobus frontal; demikian juga gangguan postural dan gerakan adaptasi otonomik cepat dalam berjalan, dapat menjadi point diagnostik untuk beberapa penyakit, misalnya Parkinson. Pasien yang berjalan dua-dua atau berjalan menggunakan sisi samping telapak kakinya, dapat menjadi tanda untuk distonic posture lengan dan batang badan. Gaya berjalan menyeret atau bertumpu pada satu tungkai menunjukkan suatu gangguan keseimbangan atau kelemahan, sedangkan gaya berdiri dengan kaki sejajar dan mata tertutup menunjukkan ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh hilangnya sensasi dalam (tes Romberg).

TES UNTUK PASIEN TANPA GEJALA NEUROLOGIS Dalam hal ini kecekatan sangat diperlukan, namun setiap langkah pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Seperti yang tertera pada tebel 1.4, orientasi, wawasan, penilaian dan integritas fungsi bahasa harus diperiksa dalam menegakkan diagnosis. Berkenaan dengan nervus kranial, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, gerakan bola mata, ketajaman penglihatan dan pendengaran,

18

gerak otot wajah, palatum dan lidah harus diperiksa. Pemeriksaan lengan untuk atropi, kelemahan, tremor atau gerakan abnormal, kekuatan genggam dan dorsofleksi pergelangan tangan, menanyakan adanya gangguan sensorik, memeriksa reflek bisep dan trisep merupakan pemeriksaan rutin pada anggota gerak atas.

Pemeriksaan fisik dasar lainnya adalah inspeksi gerak fleksi dan ekstensi dari sendi pergelangan kaki, jari, lutut dan paha; reflek patella, reflek Achilles, reflek plantar; tes sensasi getar serta sensasi posisi jari tangan dan jari kaki; pemeriksaan koordinasi dengan meminta pasien secara bergantian menyentuh hidungnya dan jari pemeriksa serta mengangkat tumitnya kemudian diturunkan di depan kaki yang berlawanan, dan pemeriksaan cara berjalan akan melengkapi bagian penting dalam rangkaian pemeriksaan neurologis. Keseluruhan prosedur pemeriksaan fisik ini dapat dilakukan hanya dalam beberapa menit, namun pada pasien yang dengan gangguan kesadaran, hanya dilakukan beberapa pemeriksaan rutin yang sederhana. Misalnya, pada pasien yang diduga menderita neuropati diabetik dan neuropati alkoholik, didapatkan reflek achiles yang negatif dan berkurangnya sensasi getar pada kaki dan tungkai. Pemeriksaan denyut karotis telah dijadikan sebagai skrining dalam pemeriksaan

19

neurologis, serta pemeriksaan denyut dan irama jantung, tekanan darah dan auskultasi jantung merupakan hal rutin yang juga harus diperiksa pada pasien stroke. Pencatatan yang akurat untuk hasil yang negatif berguna dalam mengarahkan diagnosis.

PASIEN KOMA Walaupun terkendala oleh pemeriksaan yang terbatas, pemeriksaan yang teliti pada pasien stupor dan koma akan menghasilkan informasi yang bermakna

sehubungan dengan fungsi sistem saraf. Hal yang luar biasa, selain pemeriksaan fungsi kognitif, hampir semua sistem saraf, termasuk nervus kranial, dapat dievaluasi pada pasien koma. Munculnya tanda penyakit serebral fokal atau batang otak dan tanda rangsang meningeal sangat penting dalam menyusun diagnosis banding pada penyakit yang menyebabkan stupor dan koma. neurologis dijelaskan pada bab 17. Adaptasi dalam pemeriksaan

PASIEN PSIKIATRIK Satu hal yang menjadi kendala dalam pemeriksaan pasien psikiatrik adalah mereka tidak kooperatif dan kurang bisa dipercaya serta kita tidak terbiasa dengan pendapat dan pernyataan mereka. Misalnya pada pasien depresi, sering mengeluh hilang daya ingat dan kelemahan walaupun sebenarnya tidak terdapat amnesia atau tanda penurunan kekuatan otot, demikian juga pada pasien dengan gangguan sosial atau hysteria, sering juga bepura-pura lumpuh. Sebaliknya, terkadang ada juga yang benar; pasien psikotik bisa memberikan keterangan yang jelas tentang penyakitnya tapi hal ini sering terabaikan oleh pemeriksa dikarenakan oleh gangguan mentalnya. Seandainya pasien tersebut dapat sedikit lebih kooperatif, banyak hal yang bisa dipelajari tentang integritas fungsi dari berbagai bagian sistem saraf. Dari cara pasien menyampaikan idenya, cara berbicara atau menulis, kita sudah dapat menentukan waham dan halusinasi, gangguan memori, atau gejala gangguan otak lainnya yang dapat dianalisis selama kita melihat dan mendengar keluhan pasien.

20

Gerakan okuler dan lapang pandang dapat diperiksa dengan mengamati respon pasien terhadap stimulus yang bergerak dan ancaman yang terdapat dalam lapang pandang. Nervus kranial, fungsi motorik dan reflek dapat diperiksa dengan cara seperti biasa, namun yang perlu diingat adalah bahwa pemeriksaan neurologis tidak akan pernah lengkap kecuali bila pasiennya dapat diajak bicara selama pemeriksaaan dan kooperatif. Di lain sisi, pasien yang bisu atau yang melawan dan dianggap psikotik ternyata terbukti mengalami gangguan serebral yang luas seperti hipoksia atau ensefalopati hipoglikemik, tumor otak, lesi vaskuler, atau lesi demielinisasi yang luas.

BAYI DAN ANAK Sebagi pedoman adalah metode pemeriksaan khusus dari Gessel dan

Amatruda, Thomas, Paine dan Oppe, klinik Mayo, dan lain-lain. Hampir semua dari pemeriksaan ini membahas tentang aspek perkembangan sistem saraf anak, dan walaupun beberapa tanda klinis sulit dianalisis terkait masalah umur, namun pemeriksaan-pemeriksaan tersebut di atas sampai sekarang masih menjadi gold standar.

PEMERIKSAAN MEDIS UMUM Hasil pemeriksaan medis umum sangat sering menemukan penyakit-penyakit sistemik yang mendasari timbulnya kerusakan sekunder pada sistem saraf. Kenyataannya, banyak masalah neurologis serius yang berasal dari gangguan seperti ini. Dua contoh yang umum yaitu adenopati atau neoplasi dengan gambaran infiltrate pada paru atau sarkoidosis sebagai penyebab kelumpuhan nervus kranial multiple, serta munculnya gejala demam subfebris, anemia, bising jantung dan splenomegali pada pasien stroke yang etiologinya tidak jelas, yang mengarahkan pada suatu diagnosis endokarditis bakterialis dengan oklusi emboli pada arteri serebri. Sudah pasti semua pemeriksaan pada pasien stroke belum menjadi belum lengkap tanpa

21

pemeriksaan terhadap hipertensi, bising karotis, bising jantung dan denyut jantung yang ireguler.

PENTINGNYA PENGETAHUAN TENTANG NEUROANATOMI, NEUROFISIOLOGI, GENETIKA MOLEKULER DAN NEUROPATOLOGI Pada awalnya mahasiswa dan residen yang baru menguasai teknik untuk mendapatkan data klinis yang terpercaya mungkin masih akan merasa kurang yakin dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan tersebut karena pengetahuan ilmu dasar neurologi yang mereka miliki masih kurang. Karena alasan tersebut maka bab-bab berikutnya akan meninjau ulang sistem motorik, sensasi, indera khusus, kesadaran, dan fungsi bahasa, dengan mengulang pembahasan anatomis dan fisiologis yang dirasa penting dalam memahami kelainan klinis yang dimaksud. Minimal seorang klinisi harus tahu tentang anatomi traktus kortikospinal, unit motorik (sel kornu anterior, saraf dan otot), hubungan motorik ganglia basal dan serebelar, jalur utama sistem sensorik, nervus kranialis, hipothalamus dan hipofisis, formasio retikularis dan thalamus, sistem limbik, area kortek serebral dan koneksi utamanya, jaras penglihatan, jaras pendengaran, sistem otonom, dan aliran LCS. Pengetahuan neurofisiologi ini mencakup pemahaman tentang perjalanan impuls syaraf, transmisi neuromuskular, proses kontraksi otot, reflek spinal, neurotransmisi sentral, proses eksitasi dan inhibisi saraf, aktivasi kortikal serta munculnya kejang. Pentingnya biologi genetika dan biologi molekuler pada penyakit saraf telah meningkat pada beberapa dekade terakhir. Setidaknya, dokter umum harus terbiasa dengan terminologi genetika mendel dan mitokondria, serta penyimpangan dalam kode genetik yang meningkatkan resiko timbulnya penyakit saraf. Berdasarkan cara membuat diagnosis kerja dan menentukan terapi, kita yakin bahwa spesialis saraf sangat bergantung pada pengetahuan patologi anatomi, misalnya perubahan neuropatologis yang disebabkan oleh proses penyakit seperti infark, hemoragik, demielinisasi, trauma fisik, kompresi, inflamasi, neoplasma dan infeksi, menjadi suatu bentuk yang lebih umum. Memahami bentuk mikroskopis dan

22

makroskopis dari proses penyakit akan sangat meningkatkan kemampuan dalam menjelaskan berbagai efek klinis. Kemampuan membayangkan ketidaknormalan penyakit pada saraf, otot, otak, medula spinalis, meningeal dan pembuluh darah, akan menimbulkan pemahaman yang kuat tentang tanda klinis mana yang diharapkan ada pada suatu penyakit tertentu serta tanda klinis mana yang tidak bisa ditemukan atau tidak berhubungan dengan diagnosis tertentu. Sebagai tambahan, manfaat lain yang didapatkan dari neuropatologis tentu saja adalah bahwa klinisi akan bisa lebih baik dalam mengevaluasi perubahan patologis dan melaporkan hasil pemeriksaan bahan yang didapatkan dari biosi.

DIAGNOSIS LABORATORIUM Dari penjelasan metode klinis sebelumnya, tampak bahwa penggunaan laboratorium dalam membuat diagnosis penyakit sistem saraf idealnya didahului dengan pemeriksaan klinis yang teliti. Seperti pada ilmu kedokteran umumnya, pemeriksaan laboratorium perlu direncanakan dengan tepat berdasarkan informasi klinis. Jangan membalik proses ini karena mudah menghasilkan informasi yang tidak relevan. Pencegahan penyakit saraf memerlukan dua pendekatan lain yaitu informasi genetik dan tes skrining laboratorium, tidak cukup dengan metode klinis saja. Tes penyaringan biokimia dapat dilakukan pada keseluruhan populasi, dan

memungkinkan untuk mendapatkan identifikasi penyakit saraf secara individual, terutama pada bayi dan anak-anak yang belum menunjukkan gejala untuk pertama kali; pengobatan untuk beberapa penyakit dapat dilakukan sebelum sistem saraf mengalami kerusakan. Demikian pula halnya pada dewasa, skrining untuk aterosklerosis dan penyebab metabolik yang mendasarinya akan bermanfaat pada beberapa populasi tertentu sebagai cara untuk mencegah stroke. Informasi genetik akan memungkinkan spesialis saraf membuat diagnosis penyakit tertentu serta

23

mengidentifikasi resiko berkembangnya penyakit tersebut pada pasien dan keluarganya. Metode laboratorium yang tersedia untuk diagnosis neurologis dibahas dalam bab berikutnya dan bab 45, pada pembahasan elektrofisiologi klinis. Prinsip yang relevan dari metode skrining genetik dan laboratorium untuk memperkirakan penyakit ditampilkan pada diskusi pemeriksaan mana yang dapat dilakukan untuk penyakit tertentu.

KEKURANGAN METODE KLINIS Jika benar-benar bergantung kepada pemeriksaan klinis, maka diagnosis neurologis benar-benar akan menjadi sederhana. Dalam banyak kasus kita dapat dengan mudah menegakkan diagnosis anatomi tapi untuk menentukan diagnosis etiologi jauh lebih sulit dan tidak jarang harus disokong oleh pemeriksaan laboratorium yang khusus dan rumit, sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Bagaimanapun, walau telah dilakukan serangkaian pemeriksaan klinis dan laboratorium yang teliti, masih saja terdapat sejumlah pasien yang penyakitnya tidak bisa didiagnosis. Pada keadaan yang demikian, kita biasanya tertolong oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika salah dalam menginterpretasi gejala utamajika tremor dikira ataksia atau fatigue dikira kelemahanmaka pemeriksaan klinis akan menjadi salah arah dari awal. Fokuskan analisis klinis pada gejala dan tanda klinis utama serta jangan sampai terganggu oleh gejala-gejala dan tanda-tanda minor yang meragukan. 2. Hindari menegakkan diagnosis yang terlalu cepat. Sering hal ini terjadi akibat fiksasi yang terlalu cepat pada beberapa hal yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga menutup pikiran kita dari berbagai kemungkinan diagnosis banding. Untuk membuat diagnosis awal, sebaiknya diperhatikan bahwa hal itu merupakan hipotesis yang harus bisa diuji dan bisa dimodifikasi

24

jika didapatkan informasi baru yang terpercaya. Gejala dan tanda klinis akan muncul seiring dengan waktu perkembangan penyakit dan diagnosis penyakit pun akan makin jelas. 3. Ketika gejala-gejala penyakit tidak mayor yang merupakan bentuk khas dari sebuah maka perlu dibuat diagnosis banding.

mencukupi,

Bagaimanapun juga, secara umum orang lebih sering menemukan manifestasi klinis yang jarang dari suatu penyakit yang lazim, daripada menemukan manifestasi klinis yang khas dari suatu penyakit yang jarang (ungkapan dari teori Bayes). 4. Diagnosis lebih baik ditegakkan berdasarkan pengalaman klinis dengan tanda dan gejala yang dominan, bukan berdasarkan analisis statistik dari frekuensi fenomena klinis. Pada sebagian besar kasus, penggunaan metode analisis keputusan berdasarkan pada probabilitas terbukti mengecewakan dalam menegakkan diagnosis neurologis, karena hal itu tidak bisa menentukan seberapa pentingnya setiap data klinis yang ada. Yang perlu dipenuhi dalam semua metode diagnosis adalah penilaian terhadap semua penyebab yang mungkin dari tanda klinis atau sindrom sehubungan dengan karakteristik demografis yang luas, berupa umur, jenis kelamin, ras, etnik dan keadaan geografis. Sebagai contoh, neurologis di Amerika menganggap bahwa meningitis kronis tidak jarang yang disebabkan oleh penyakit bechet, namun neurologis di Turki berpendapat sebaliknya. Lebih lanjut, seperti yang disebutkan sebelumnya, neurologis menempati posisi yang tinggi dalam menemukan penyakit yang bisa diobati, bahkan pada saat temuan klinis tidak mendukung ke arah diagnosis. Sebagaimana dijelaskan oleh Chimowitz, mahasiswa kedokteran cenderung melakukan kekeliruan sehingga gagal mengenali suatu penyakit yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Sementara klinisi yang berpengalaman bisa saja tidak menyadari munculnya varian yang jarang dari suatu penyakit lazim. Tentu saja ada beberapa klinisi yang lebih mahir dalam memecahkan masalah yang rumit dibandingkan dengan klinisi lainnya. Kemampuannya itu tidaklah berdasarkan intuisi

25

belaka sebagaimana yang biasanya dianggap, tetapi hal itu dihasilkan dari perhatian yang besar terhadap pengalaman mereka yang terperinci sehubungan dengan berbagai penyakit dan telah menyusun suatu daftar sebagai referensi untuk masa yang akan datang. Kasus yang tidak lazim akan terekam dalam memori dan bisa menjadi bahan pemikiran apabila suatu saat muncul kasus yang serupa.

TERAPI DALAM NEUROLOGI Diantara bidang spesialisasi kedokteran, neurologi telah lama menempati posisi yang agak anomali, dimana kebanyakan orang menganggap posisinya hanya sedikit saja lebih tinggi dari sekedar bidang yang pemikirannya menekankan pada pembuatan diagnosis untuk penyakit-penyakit tak terobati. Pandangan seperti ini terhadap posisi kita tidaklah sepenuhnya benar. Terdapat peningkatan jumlah penyakit, baik pada bidang bedah maupun nonbedah, yang sekarang telah memiliki terapi spesifik, seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang neurosains. Sebagai tambahan, banyak penyakit yang fungsi neurologisnya dapat dipulihkan pada tingkat yang bermacam-macam melalui tindakan rehabilitasi yang tepat atau dengan penggunaan secara bijak agen terapeutik yang belum sepenuhnya terbukti benar. Tuntutan akan keefektifan terapi khusus yang didasarkan pada analisis statistik dari penelitian klinis skala besar harus dipenuhi dengan hati-hati. Perlu dikaji terlebih dahulu, apakah penelitian tersebut telah disusun dengan baik dalam hal hipotesis dan kriteria hasil, apakah konsisten dengan proses random untuk memilih kasus yang akan dimasukkan dalam penelitian, apakah metode statistik sudah tepat, dan apakah data kontrol benar-benar bisa digunakan sebagai pembanding. Pengalaman telah menunjukkan bahwa merupakan hal yang bijaksana untuk menunggu sampai terdapat penelitian lebih lanjut yang bisa memperjelas manfaat dari terapi yang demikian. Walaupun di satu sisi kita mendukung agar berpegang pada evidence based medicine, namun di sisi lain kita juga setuju dengan pernyataan Caplan bahwa banyak dari bukti-bukti ini yang tidak dapat diterapkan dalam memberikan terapi individual dengan kasus rumit. Hal ini sebagian benar, karena pada saat diterapkan sebagai terapi pasien secara individual, mungkin saja didapatkan

26

efek kecil yang memiliki makna penting secara statistik. Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa data yang didapatkan dari percobaan harus digunakan dalam konteks kondisi pasien secara keseluruhan, baik fisk maupun mental dan juga usia. Lebih jauh, untuk kebanyakan kasus neurologis, saat ini belum terdapat evidence based medicine yang cukup. Disini pasien memerlukan klinisi terampil untuk membuat keputusan berdasarkan pada data yang jumlahnya hanya sebagian atau tidak cukup. Bahkan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, saat ini klinisi harus bisa mengobati pasien dengan menggunakan sekumpulan pengalaman pribadinya secara bijak, serta menggabungkannya dengan data-data terbaik saat ini. Bahkan ketika tidak ada terapi efektif yang mungkin, diagnosis neurologis tetap lebih dari pemikiran masa lalu. Langkah pertama dalam penelitian ilmiah tentang suatu proses penyakit adalah mengidentifikasi pasien yang hidup. Selanjutnya metode klinis dari neurologi memberikan hasil berupa arahan untuk menegakkan diagnosis, prognosis dan pengobatan bagi klinisi, dan bahan untuk penelitian tentang mekanisme dan penyebab penyebab penyakit bagi ilmuan klinis. Terdapat beban penyakit yang luar biasa pada sistem saraf di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat. Dalam hal ini tidak hanya kondisi seperti trauma otak dan medulla spinalis, stroke, epilepsi, retardasi mental, penyakit mental dan demensia yang terdapat dimana-mana dan menjadi penyakit utama, hanya di beberapa tempat yang menempati posisi kedua setelah penyakit infeksi, namun hal ini tetap menimbulkan disabilitas yang tinggi dan bersifat kronis serta dapat merubah kehidupan individu yang dikenai secara mendasar. Lebih lanjut, melebihi bidang spesialisasi lain, harapan penyembuhan atau perbaikan dengan adanya teknik baru seperti biologi molekuler, terapi genetika dan keterlibatan komputerisasi otak telah mengundang perhatian luas dan menjadi alasan untuk memasukkan aspek pengkajian ilmiah terkini pada bagian yang tepat.

27

II. PEMERIKSAAN KHUSUS UNTUK DIAGNOSIS NEUROLOGIS

Analisis serta interpretasi data yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang hati-hati bisa dianggap cukup untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium khusus tidak lebih dari penguat kesimpulan klinis. Bagaimanapun, perjalanan penyakit tidak dapat dilihat hanya dari sisi studi kasus saja, dimana kemungkinan diagnosis mungkin bisa diciutkan menjadi dua atau tiga, namun diagnosis yang sesungguhnya masih belum dapat dipastikan. Dalam keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan tambahan. Tujuan seorang neurologis adalah menegakkan diagnosis akhir dengan seni menganalisis data klinis yang dibantu dengan sedikit mungkin pemeriksaan laboratorium. Pada beberapa dekade yang lalu, pemeriksaan laboratorium yang tersedia untuk bidang neurologis hanya analisis cairan serebrospinal (LCS), radiologi konvensional kepala dan tulang belakang, mielografi dengan kontras,

pneumoensefalografi dan elektroensefalografi. Sekarang ini, dengan berkembang pesatnya teknologi ilmiah, maka senjata para klinisi untuk menegakkan diagnosis juga bertambah dengan adanya neuroimaging yang beragam serta metode biokimia dan genetika. Beberapa metode baru ini sangat mengesankan dan membuat kita tergoda untuk menjadikannya sebagai pengganti anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pemeriksaan laboratorium untuk tujuan seperti ini tidak dianjurkan. Sebagai gambaran, dari pemeriksaan yang teliti terhadap 86 pasien neurologis yang dirawat, tampak bahwa hasil temuan laboratorium (termasuk MRI) pada 40 orang pasien berhasil mengklarifikasi diagnosis klinis, namun gagal pada 46 kasus lainnya (Chimowitz, dkk). Lebih lanjut, sering terjadi pada praktek modern penggunaan pemeriksaan tambahan untuk mengklarifikasi abnormalitas yang sebenarnya tidak begitu penting dalam persoalan klinis yang sedang ditangani. Oleh karena itu, para neurologis diharapkan terbiasa melakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan penyakit saraf yang dihadapi, tingkat reliabilitas dan resiko tindakan tersebut.

28

Berikut ini disajikan penjelasan tentang pemeriksaan laboratorium yang digunakan pada berbagai kasus penyakit saraf. Penjelasan yang berhubungan dengan dengan kompleks gejala khusus atau sekelompok penyakit tertentuaudiogram untuk menilai tingkat ketulian, elektronistagmografi (ENG) untuk kasus vertigo, elektromiografi (EMG) dan penilaian konsuksi saraf , serta biopsi saraf dan otot saat terdapat penyakit neuromuskulerdibahas pada bab yang sesuai dengan penjelasan kelainan tersebut.

PUNGSI LUMBAL (LP) DAN PEMERIKSAAN CAIRAN SEREBROSPINAL (LCS) Informasi yang didapatkan dari analisis LCS sangat penting dalam menegakkan diagnosis pada beberapa penyakit saraf tertentu, khususnya pada kasus infeksi dan peradangan, perdarahan subarakhnoid, dan penyakit yang dapat merubah tekanan intracranial. Kombinasi tertentu atau gabungan dari hasil pemeriksaan LCS umumnya menunjukkan suatu kelompok khusus penyakit yang seperti terangkum dalam tabel 2-1.

29

INDIKASI PUNGSI LUMBAL 1. Untuk mengetahui tekanan LCS dan mendapatkan sampel LCS untuk pemeriksaan sel, sitologi, kimia dan pmeriksaan bakteriologis. 2. Membantu dalam hal terapi dengan cara pemberian anastesi spinal, akses pemberian antibiotik, zat antitumor atau dengan menurunkan tekanan LCS. 3. Untuk menyuntikkan bahan radioopak (kontras) seperti pada prosedur mielografi, atau zat radioaktif seperti pada sisternografi radionukleotida. LP memiliki resiko tertentu jika tekanan intrakranial (TIK) sangat tinggiditandai oleh sakit kepala dan udem papilkarena hal itu meningkatkan resiko herniasi tentorial dan herniasi serebelar yang bisa berakibat fatal. Risiko LP menjadi sangat besar jika papil udem disebabkan oleh massa intrakranial, namun resiko ini menjadi lebih rendah pada pasien dengan perdarahan subarakhnoid (SAH), hidrosefalus yang semua ventrikelnya saling berhubungan atau pada pseudotumor otak, dimana LP ulangan digunakan sebagai follow up terapi. Pada pasien meningitis purulenta, juga terdapat resiko herniasi ringan, namun hal ini tidak perlu menjadi penghalang mengingat kebutuhan akan LP dalam menegakkan diagnosis definitif dan sebagai sarana penanganan yang tepat sedini mungkin. Dengan pengecualian di atas, secara umum LP sebaiknya didahului dengan pemeriksaan CT atau MRI jika dicurigai adanya peningkatan TIK. Jika gambaran radiologis tadi memperlihatkan massa yang menyebabkan pergeseran jaringan otak ke arah tentorial atau foramen magnum (dimana massa tunggal sering luput dari perhatian) dan jika dianggap sangat dibutuhkan informasi dari analisis LCS maka LP dapat dilakukan dengan beberapa perhatian khusus. Sebaiknya menggunakan jarum spinal nomor 22 atau 24 dan jika tekanan LCS sangat tinggi (lebih dari 400mmH2O) sebaiknya sampel LCS yang diambil sesedikit mungkin, dan kemudian berdasarkan kondisi pasien dan penyakit yang diduga mendasarinya, diberikan manitol lalu penurunan tekanan diobservasi

30

dengan menggunakan manometer. Deksametason dan kortikosteroid lain yang setara juga diberikan secara intravena dengan dosis inisial 10 mg, diikuti dengan dosis 4-6 mg setiap 6 jam dengan tujuan untuk menurunkan TIK. Kortikosteroid terutama berguna untuk mengatasi peningkatan TIK yang disebabkan udem serebral vasogenik. Pungsi sisterna dan pungsi subarachnoid servikal lateral , meskipun cukup aman jika dilakukan para ahli, namun sangat berbahaya jika dilakukan oleh klinisi yang belum berpengalaman dan mencegah peningkatan TIK. Sebenarnya LP lebih dianjurkan saat dibutuhkan sampel LCS dari sisterna atau untuk mielografi di atas lesi, kecuali pada keadaan terdapat blok spinal yang nyata.

TEKNIK LUMBAL PUNGSI Pengalaman telah menunjukkan betapa pentingnya ketelitian dalam

melakukan LP. LP haris dilakukan dalam kondisi local yang steril. Xylokain diinjeksikan di bawah kulit untunk mengurangi nyeri. Dengan sedikit menggesek vial xylokain ternyata seseddikit mengurangi ransa terbakar sewaktu di injeksikan. Pasien berada pada posisi miring, sebaiknya miring ke kiri untuk pemeriksa yang menggunakan tangan kanan dengan panggul dan lutut difleksikan, dan kepala ditekukkan kearah lutut. Panggul pasien harus datar, punggung harus lurus dan segaris dengan teppi tempat ttidur dan bantal diletakkan dibawah telinga pasien. LP lebih mudah dilakukan pada daerah di antara L3-L4 sejajar dengan bidang aksial Krista iliaka., atau satu tingkat di atas atau di bawahnya. Anastesiologis yang

berpengalaman menganjurkan semakin kecil jarum yang digunakan semakin baik dan bevelnya diarahkan pada bidang longitudinal dari serat dural (sebaiknya digunakan jarum atraumatik. Biasanya celah intervetebralis dapat teraba dan dan ketika jarum dimasukkan akan terasa sedikit tahanan ketika menembus membrane

subarachnoid.Setelah itu jarum trokar harus ditarik secara perlahan lahan untuk mnecegah mencederai syaraf yang nantinya dapat menyebabkan nyeri radik.Jika terjadi nyeri sciatic ketika jarum spinal ditusukkan merupakan tanda bahwa arah jarum terlalu ke lateral. Jika aliran LCS yang keluar Lambat, kita coba untuk sedikit

31

meninggikan kepala pasien. Kadang-kadang LP dengan menggunakan jarum spinal khusus dapat mengatasi tahanan dari cairan LCS yang kental. Jika gagal setelah 2 sampai 3 kali percobaan maka dianjurkan melakukan LP pada pasien dengan posisi duduk. Jika cairan LCS tidak keluar pada LP lebih sering disebabkan dari posisi jarum yang tidak tepat dari pada obliterasi ruang subarachnoid yang disebabkan lesi kompresif di cauda equina atau arachnoiditis adhesive. LP memiliki beberapa komplikasi yang serius. Yang paling sering adalah sakit kepala,terjadi pada satu dari 3 pasien, namun jarang yang bekembang menjadi sakit kepala hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan tekanan LCS dan dan penarikan pembuluh darah dural dan serebral jika pasien berdiri. Walaupun tidak terlalu membantu, posisi berbaring sering disarankan dan obat analgetik oral sering diberikan untuk mangatasi hal ini. sStrupp dan kawan-kawan mengatakan bahwa penggunaan jarum spinal atraumatik menurunkan angka kejadian sakit kepala. Anehnya kejadian sakit kepala terjadi dua kali lipat lebih sering dibandingkan setelah prosedur LP diagnostik, sama halnya dengan setelah dilakukan anestesi spinal. Berdasarkan pengalaman, pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat sakit kepala akan memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami sakit kepala setelah LP. Sakit kepala hebat biasanya diikuti dengan muntah dan kaku leher. Walaupun jarang, kelumpuhan nervus VI secara unilateral atau bilateral maupun nervus lainnya (nervus VII dan VIII), dapat terjadi dengan atau tanpa disertai sakit kepala. Sindrom akibat penurunan tekanan LCS diatasi dengan blood patch. Perdarahan ke dalam meningen medulla spinalis atau rongga epidural dapat terjadi pada pasien yang sedang mendapat terapi antikoagulan (umumnya dengan rasio normalisasi internasional/INH > 1.7), jumlah trombosit yang rendah (