aspek etika penelitian
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan banyaknya jumlah penelitian yang dilakukan maka terjadilah berbagai
penyimpangan terhadap kode etik, sehingga terasa keharusan adanya badan yang
mengawasi penelitian yang memakai manusia sebagai subyek penelitiannya.
Forum internasional yang pertama diadakan untuk tujuan ini mengeluarkan
Nuremberg Code, sebagai reaksi terhadap berbagai eksperimen kejam yang
dilakukan olehh para dokter Nazi terhadap tahanan Perang Dunia II. Salah satu
aspek penting dalam kode tersebut adalah keharusan adanya informed consent
(persetujuan setelah penjelasan) dari manusia yang digunakan dalam percobaan.
Pada tahun 1964, World Medical Association dalam sidangnya yang ke 18 telah
mengeluarkan peraturan-peraturan yang dituangkan ke dalam Deklarasi Helsinki
I. Rangkaian aturan tersebut merupakan panduan untuk dokter yang melakukan
penelitian klinis, baik yang bersifat terapeutik maupun non-terapeutik.
Di Indonesia standar etik penelitian kesehatan yang melibatkan manusia
sebagai subyek didasarkan pada azas perikemanusiaan yang merupakan salah satu
dasar falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Hal tersebut kemudian diatur dalam
UU Kesehatan no 23/ 1992 dan lebih lanjut diatur dalam PP no 39/ 1995 tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dalam Bab IV diuraikan tentang
perlindungan dan hak-hak manusia sebagai subyek penelitian dan sanksi bila
penyelenggaraan penelitian melanggar ketentuan dalam PP tersebut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Hukum
2.1.1 Nuremberg Code
Nuremberg Code berasal dari keputusan Pengadilan para Dokter (the
Doctor’s Trial) di kota Nuremberg tahun 1947. The Doctor’s Trial adalah
bagian dari Nuremberg Military Tribunal yang mengadili kejahatan
perang yang dilakukan rezim Nazi Jerman. Para dokter yang diadili
disalahkan melaksanakan penelitian kesehatan tanpa tujuan ilmiah yang
rasional. Penelitian dilakukan secara paksa pada tawanan kamp
konsentrasi oleh personel yang tidak memenuhi persyaratan. Nuremberg
Code meletakkan dasar perdana untuk pengembangan etik penelitian
kesehatan.
Terdapat 10 poin dalam Nuremberg Code. Isi dari Nuremberg Code
seperti ini :
1. Persetujuan sukarela dari subyek manusia merupakan hal yang
mutlak dilakukan.
2. Percobaan yang dilakukan harus senantiasa memberikan hasil
yang bermanfaat untuk kebaikan masyarakat.
3. Percobaan harus didesain dan berdasarkan hasil percobaan pada
hewan dan pengetahuan tentang perjalanan alamiah dari penyakit.
4. Percobaan harus dilakukan dengan baik dan teratur untuk menghindari
terjadinya cedera dan penderitaan baik fisik maupun mental yang tidak
perlu.
5. Percobaan tidak boleh dilakukan jika diyakini terdapat alasan bahwa
kematian atau cedera akan terjadi.
6. Tingkat risiko yang akan diambil tidak boleh melebihi batas yang
ditentukan sekalipun didasarkan pada masalah kepentingan
kemanusiaan yang harus dipecahkan melalui percobaan.
7. Persiapan yang tepat harus dibuat dan disediakan fasilitas yang
memadai untuk melindungi subjek eksperimental terhadap
kemungkinan cedera kecil sekalipun, cacat, ataupun kematian.
8. Percobaan harus dilakukan hanya oleh orang yang berkualifikasi
dalam bidangnya.
9. Selama percobaan subjek manusia harus bebas menentukan akhir
percobaan terhadap dirinya.
10. Selama percobaan ilmuwan yang bertanggung jawab harus siap untuk
mengakhiri percobaan pada tahap apapun, jika dengan
kepercayaannya, keimanan yang diyakininya, keterampilan yang
dimilikinya dan dengan pertimbangan yang matang, bahwa kelanjutan
dari percobaan kemungkinan akan mengakibatkan cedera, cacat
kematian pada subyek eksperimental.
2.1.2 Deklarasi Helsinki
Dalam Deklarasi Helsinki tercantum prinsip- prinsip dasar riset, etik
riset kedokteran yang dikombinasi dengan pengobatan (riset klinik) dan
riset biomedik non klinik yang berbunyi sebagai berikut:
1. Riset biomedik pada subjek manusia harus memenuhi prinsip-prinsip
ilmiah dan berdasarkan eksperimen laboratorium hewan percobaan
dan pengetahuan yang adekuat dan literatur ilmiah.
2. Disain dan pelaksanaan eksperimen pada manusia harus dituangkan
dalam suatu protokol untuk kemudian diajukan kepada suatu komisi
independen yang ditugaskan untuk mempertimbangkan, memberi
komentar dan bimbingan.
3. Riset biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-
orang dengan kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh
tenaga medik yang kompeten. Tanggung jawab atas manusia yang
diteliti terletak pada tenaga medik yang kompeten dan bukan pada
manusia yang diteliti walaupun subjek telah memberikan persetujuan.
4. Riset biomedik pada manusia tidak boleh dikerjakan kecuali bila
kepentingan tujuan penelitian tersebut sepadan dengan resiko yang
akan dihadapi subjek.
5. Setiap peneliti pada subjek harus diketahui oleh peneliti secara
seksama mengenai resiko yang mungkin timbul dan manfaat potensial
baik bagi subjek maupun bagi orang lain. Kepentingan subjek harus
lebih diutamakan daripada kepentingan ilmu pengetahuan maupun
masyarakat.
6. Dalam penelitian, hak seseorang untuk melindungi integritas dirinya
harus selalu dihormati. Peneliti harus berusaha menekan sekecil
mungkin dampak penelitian terhadap integritas mental, fisik dan
kepribadian subjek.
7. Seorang dokter tidak diperbolehkan ikut dalam proyek riset dengan
subjek manusia jika ia tidak dapat memperkirakan bahaya apa yang
mungkin timbul. Dokter juga harus menghentikan penelitian bila
bahaya apa yang mungkin timbul. Dokter juga harus menghentikan
penelitian bila bahaya yang dijumpai ternyata melampaui manfaat
yang diharapkan.
8. Dalam mempublikasikan hasil penemuannya, maka harus dilaporkan
hasil yang akurat. Eksperimen yang dilakukan tanpa mengindahkan
prinsip-prinsip yang digariskan dalam deklarasi helsinki tidak boleh
diterima untuk publikasi.
9. Dalam riset manusia, maka kebanyakan subjek harus diberitahu
tentang tujuan, metode, manfaat serta kerugian yang bisa dialami.
10. Dalam meminta persetujuan setelah penjelasan ini, dokter harus
berhati-hati bilamana ada kemungkinan pasien merasa tergantung
kepada dokter atau keadaan dimana subjek memberi persetujuan
dibawah paksaan.
11. Untuk penderita yang tidak kompeten secara hukum, maka
persetujuan setelah penjelasan harus diminta dari pelindungnya yang
sah menurut hukum setempat.
12. Dalam protokol riset, selalu harus dicantumkan pernyataan tentang
norma-norma etik yang dilaksanakan telah sesuai dengan deklarasi
helsinki.
Baik dalam Nuremberg Code maupun dalam Deklarasi Helsinki I, para
peneliti hanya diimbau untuk memperhatikan serta mematuhi peraturan-
peraturan. Jadi kebijaksanaan diserahkan pada peneliti sendiri, tidak ada
keharusan adanya pihak lain yang mengawasi. Peneliti harus membuat
keputusan sendiri apakah penelitiaannya menyimpang dari norma etika
yang telah digariskan atau tidak. Karena tidak ada pengawasan dari pihak
lain, maka pengertian para peneliti tentang perbedaan suatu tindakan
sebagai pengobatan atau penelitian kadang menjadi tidak jelas, sehingga
masih terjadi berbagai penyimpangan norma-norma etika.
Untuk menghindari hal tersebut di atas maka pada tahun 1975 dalam
World Health Assembly ke 20 di Tokyo telah dibuat Deklarasi Helsinki II
sebagai hasil revisi dari Deklarasi Helsinki I. Perubahan yang penting
adalah adanya peraturan yang mengharuskan semua protokol penelitian
yang menyangkut manusia, harus ditinjau dahulu oleh suatu Komisi
khusus untuk dipertimbangkan, diberi komentar dan mendapatkan
pengarahan (consideration, comments and guidance).
Juga harus dicantumkan pada protokol bahwa telah dilakukan
pertimbangan etika dan hasil penelitian tidak boleh dipublikasi jikalau
tidak ada ethical clearence. Dengan demikian maka mulailah dibentuk
Panitian-panitia etika kedokteran di semua lembaga yang
menyelenggarakan penelitian.
2.2 Ethical Clearance
Pada dasarnya seluruh penelitian/riset yang menggunakan manusia sebagai
subyek penelitian harus mendapatkan Ethical Clearance, baik penelitian yang
melakukan pengambilan spesimen, ataupun yang tidak melakukan pengambilan
spesimen. Penelitian/riset yang dimaksud adalah penelitian biomedik yang
mencakup riset pada farmasetik, alat kesehatan, radiasi dan pemotretan, prosedur
bedah, rekam medis, sampel biologik, serta penelitian epidemiologik, sosial dan
psikososial.
Usulan ethical clearance diserahkan kepada sekretariat Komisi Etik Penelitian
Kedokteran. Kelengkapan berkas terdiri dari :
1. Surat usulan dari institusi
2. Protokol penelitian
3. Daftar tim peneliti
4. CV peneliti utama
5. Surat persetujuan pelaksanaan penelitian dari scientific board (PPI)
6. Informed Consent (formulir persetujuan keikutsertaan dalam penel
7. Ethical Clearance dari institusi lain (bila ada)
8. Kuesioner / pedoman wawancara (bila ada)
Catatan : Seluruh berkas dibuat rangkap 3.
2.3 Komisi Etik Penelitian Kedokteran
Berkaitan dengan revisi deklarasi Helsinki yang telah dilakukan pada tahun
1975 dalam World Health Assembly ke 20 di Tokyo, maka diberbagai negara di
buat suatu komite untuk mengelola penelitian dalam segi etika. Susunan komisi
etik penelitian kedokteran di tiap institusi dan negara juga tidak seragam. Susunan
anggota bersifat multidisiplin yaitu adanya anggota dari berbagai bidang ilmu
kelompok medis/ klinis maupun dari kelompok non-medis antara lain dari bidang
hukum, sosial-budaya yang terkait, dari kelompok yang peduli terhadap
kepentingan masyarakat dan dari kelompok awam (layperson). Komposisi
keanggotaan mempertimbangkan juga keseimbangan usia dan gender; adanya
perbedaan latar belakang, sosial-budaya dan agama yang dapat mempengaruhi
sudut pandang.