artikel 97 yana itb
TRANSCRIPT
Kajian Fitokimia Tumbuhan Macaranga Indonesia
Yana Maolana Syah,1* Mulyadi Tanjung,1,2 Lia Dewi Juliawaty,1 Didin Mujahidin,1
Euis Holisotan Hakim,1 Sjamsul Arifin Achmad1
1 Kelompok Penelitian Kimia Organik Bahan Alam, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10, Bandung 40132,
Indonesia
2 Jurusan Kimia, Fakultas Sain dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya 60115,
Indonesia
* Penulis korepondensi: E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Macaranga, atau ”mahang-mahangan”, merupakan salah satu genus yang besar dari famili
Euphorbiaceae, terdiri dari sekitar 300 spesies dengan penyebarannya relatif luas, termasuk di
Indonesia. Kajian fitokimia terhadap kelompok tumbuhan ini masih relatif baru dan terbatas,
tetapi dari hasil-hasil penelitian yang telah dilaporkan menunjukkan adanya keunikan pada
turunan senyawa fenol yang dihasilkannya. Penelusuran pustaka memperlihatkan tumbuhan
Macaranga adalah penghasil senyawa-senyawa turunan calkon, flavanon, flavonol,
dihidroflavonol, isoflavonoid dan stilben. Keragaman struktur molekul senyawa-senyawa
turunan fenol tersebut terjadi akibat adanya pemasukan substituen terpenoid kepada berbagai
posisi cincin aromatik. Gugus terpenoid yang telah diidentifikasi meliputi prenil (C5) dan
geranil (C10), serta hasil modifikasinya. Selain itu, keragaman struktur juga diperluas oleh
adanya metilasi pada sebagian gugus-gugus fenol. Dalam rangka kajian fitokimia tumbuhan
tropika Indonesia, kami telah melakukan kajian terhadap empat spesies tumbuhan kelompok
ini yang berasal dari Kalimantan dan Jawa Barat, yaitu M. gigantea, M. pruinosa, M.
rhizinoides, dan M. trichocarpa, dan telah berhasil menemukan lima belas senyawa turunan
fenol, termasuk sepuluh senyawa baru. Pada kesempatan ini, kami akan membahas penemuan
tersebut, dengan penekanan pada aspek spektroskopinya berkaitan dengan penentuan struktur
senyawa-senyawa turunan fenol tersebut.
1 PENDAHULUAN
Macaranga merupakan salah satu genus yang besar dari famili Euphorbiaceae, terdiri dari
sekitar 300 spesies dengan penyebaran relatif luas, mulai dari Afrika dan Madagaskar di
bagian barat hingga ke wilayah tropik Asia, Australia utara, dan kepulauan Pasifik di bagian
timur (Blattner et. al., 2001). Salah satu pusat penyebarannya adalah di wilayah tropika
Indonesia, dimana kelompok tumbuhan ini dapat dijumpai di seluruh kawasan negeri ini, dan
masyarakat lokal menyebutnya sebagai tumbuhan ”mahang-mahangan”. Umumnya tumbuhan
Macaranga berupa semak atau pohon, dan menyukai tempat tumbuh yang banyak mendapat
sinar matahari di hutan sekunder atau hutan yang sudah rusak. Oleh karena itu, tumbuhan ini
dikenal sebagai tumbuhan pelopor, yang dapat mengembangkan kembali hutan yang sudah
rusak. Secara tradisional, Macaranga banyak dimanfaatkan untuk keperluan bahan bangunan,
seperti untuk tiang atau atap, dan pengobatan tradisional. Beberapa penggunaan sebagai obat
tradisional yang penting antara sebagai obat diare, luka, dan batuk (Heyne, 1987).
Walaupun sebagai suatu genus yang besar, kajian fitokimia tumbuhan Macaranga masih
relatif terbatas. Penelusuran pustaka memperlihatkan bahwa kelompok tumbuhan ini
merupakan penghasil senyawa-senyawa golongan flavonoid dan stilben sebagai metabolit
sekunder utama. Golongan flavonoid yang telah ditemukan sampai saat ini meliputi jenis-
jenis calkon, flavanon, flavonol, dan dihidroflavonol (atau flavanon-3-ol). Secara struktural,
pola oksigenasi pada golongan flavonoid dan stilben mengikuti pola-pola yang lazim
umumnya yang ditemui pada tumbuh-tumbuhan, yaitu, sebagai contoh, pada jenis flavanon
yaitu pada C-5/C-7 di cincin A serta C-4’ atau C-3’/C-4’ di cincin B. Namun demikian, ciri
lain yang menjadi keunikan turunan fenol Macaranga adalah adanya substituen tambahan dari
metabolit-metabolit terpenoid, yaitu prenil (C5), geranil (C10), atau unit diterpen (C20)
(Tanjung et al., 2009).
Dalam rangka kajian fitokimia tumbuhan tropika Indonesia, kami telah melakukan kajian
terhadap empat spesies tumbuhan kelompok ini yang berasal dari Kalimantan dan Jawa Barat,
dan hasilnya akan dibahas dalam makalah ini.
2 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian fitokimia terhadap empat tumbuhan Macaranga Indonesia telah berhasil mengisolasi
dan mengidentifikasi lima belas senyawa turunan aromatik, termasuk sepuluh senyawa baru.
Keempat belas senyawa tersebut adalah macagigantin (1), glyasperin A (2), dan apigenin (3)
dari M. gigantea (Reichb.f. & Zoll.) Műll. Arg. (Kalimantan) (Tanjung et al., 2009),
macapruinosin A (4), B (5), C (6), papyriflavonol A (7), dan nymphaeol C (8) dari M.
pruinosa (Kalimantan) (Syah dan Ghisalberti, 2010), macarhizinoidin A (9) dan B (10), dan
ester methil 4-preniloksisinamat (11) dari M. rhizinoides (Blume) Muell Arg. (Jawa Barat)
(Tanjung et al., 2010), dan macatrichocarpin A (12), B (13), C (14), dan A (13) dari M.
trichocarpa (Reichb. & Zoll.) Műll.Arg (Kalimantan) (Syah et al., 2009). Sepuluh senyawa
baru adalah senyawa-senyawa 1, 4 – 6, 9 - 10, 12 – 15. Selain turunan ester sinamat, empat
belas senyawa lainnya mewakili kerangka dasar flavonoid dari kelompok dihidrocalkon (14
dan 15), flavanon (8, 12, dan 13), flavon (3), flavonol (1, 2, 6, 7, 9, dan 10), dan
dihidroflavonol (5), sementara senyawa 4 merupakan turunan dari stilben. Struktur molekul
kelimabelas senyawa tersebut ditetapkan berdasarkan data spektroskopi, termasuk spektrum
UV, IR, NMR 1D dan 2D, dan spektrum massa, sementara stereokimia pada senyawa 5
sitetapkan berdasarkan konstanta kopling sinyal proton H-2/H-3 dan putaran optik.
Pola spektrum UV dari turunan flavonol dapat dibedakan dengan mudah dari turunan flavon,
karena jenis yang pertama dicirikan oleh serapan maksimum pita II yang lebih besar (~ 30
nm) dan juga memiliki tambahan serapan maksimum bahu. Namun demikin, pembedaan
antara pola serapan turunan stilben dan turunan flavon relatif sulit dilakukan, karena memiliki
pola serapan dan panjang gelombang maksimum yang hampir sama. Adanya ikatan rangkap
pada C-2/C-3 pada kelompok flavon, flavonol, dan stilben, memberikan pola spektrum UV
yang sangat berbeda dari pola serapan UV kelompok dihidrocalkon, flavanon, dan
dihidrofalvonol. Sebagai konsekuensinya, pembedaan kedua kelompok tersebut berdasarkan
pola spektrum UV dapat dilakukan dengan mudah. Namun demikian, pola spektrum UV tidak
dapat membedakan kerangka dasar dihidrocalkon, flavanon, dan dihidrofalvonol, dan hanya
dapat dilakukan dengan menggunakan spektrum NMR.
Spektrum 1H NMR turunan dihidrocalkon 14 dan 15 dicirikan oleh adanya dua sinyal triplet
pada H sekitar 3,3 – 3,4 dan 3,8 – 3,9 ppm (J ~ 8 Hz), turunan flavanon oleh tiga sinyal dobel
doblet pada H sekitar 2,7 (J ~ 17 dan 3 Hz) dan 3,1 (J ~ 17 dan 13 Hz) untuk H2-3, dan
sekitar 5,3 ppm (J ~ 13 dan 3 Hz), sementara turunan dihidroflavonol dengan mudah
diidentifikasi oleh adanya sepasang sinyal proton doblet pada H sekitar 4,5 dan 5,0 ppm (J ~
12 Hz, kopling trans). Ciri utama dari turunan flavon adalah adanya sinyal proton aromatik
singlet pada H ~ 6,6 ppm, sinyal singlet ini tidak muncul pada turunan dihidroflavonol, tetapi
sebagai gantinya adalah kemunculan sinyal karbon kuarterner pada C ~ 135 – 137 ppm.
Untuk turunan stilben, ciri penting yang dapat digunakan adalah kemunculan sepasang sinyal
proton doblet yang berdekatan pada H ~ 6,6 – 6,9 ppm (J ~ 16 Hz, kopling trans) dari unit
1,2-disubstitusi etenil. Berdasarkan ciri-ciri khas sinyal 1H dan 13C NMR tersebut, maka
masing-masing jenis flavonoid dan stilben dapat dengan mudah diidentifikasi.
Adanya gugus samping prenil, geranil, dan farnesil dengan mudah diidentifikasi
keberadaanya berdasarkan adanya sinyal-sinyal yang khas bagi ketiga gugus tersebut. Gugus
prenil ditandai oleh adanya empat sinyal proton pada H ~ 5,1 – 5,4 ppm untuk gugus
trisubstitusi etenil berupa tripel dari multiplet (tm), H ~ 3,3 – 3,5 ppm sebagai doblet yang
sedikit melebar (br d), dan dua sinyal metil singlet melebar pada H ~ 1,6 – 1,8 ppm. Adanya
dua gugus prenil tentu saja ditandai oleh adanya dua kali lipat sinyal-sinyal tersebut, sehingga
sinyal gugus metil menjadi ada empat buah. Namun demikian, adanya empat buah gugus
metil juga dapat berasal dari gugus farnesil, tetapi dalam hal ini disertai oleh munculnya tiga
sinyal trisubstitusi etenil dan empat sinyal metilen yang berimpit, selain satu gugus metilen
doblet. Dengan penalaran yang sama keberadaan gugus geranil ditandai dengan munculnya
dua sinyal dari gugus trisubstitusi etenil, dua sinyal metilen yang hampir berimpit, satu sinyal
metilen berupa doblet, dan tiga gugus metil singlet yang melebar. Posisi gugus-gugus prenil,
geranil, dan farnesil tersebut dapat dengan mudah ditetapkan berdasarkan multiplisitas dari
sinyal-sinyal aromatik.
Munculnya sepasang sinyal aromatik berkopling-meta berarti gugus samping terpenoid
tersebut berada di cincin B, dan dengan menganalisis multiplisitas sinyal-sinyal aromatik,
maka posisi gugus tersebut dapat ditentukan, tentu saja dengan mempertimbangkan pola
oksigenasi di cincin B tersebut yang dapat ditentukan berdasarkan jumlah sinyal oksiaril pada
spektrum 13C NMR (C ~ 140 – 165 ppm). Apabila gugus samping terpen berada di cincin A,
maka seringkali dijumpai sinyal aromatik singlet, yang berarti gugus tersebut dapat di C-6
atau C-8. Kepastian posisi gugus samping tersebut dapat dengan mudah ditetapkan
berdasarkan analisis spektrum NMR 2D HMBC, terutama salah satunya mengandalkan
korelasi yang berasal dari sinyal –OH kelat berupa singlet sekitar H ~ 13 ppm. Apabila
korelasi 1H-13C jarak jauh dari sinyal ini terjadi kepada tiga sinyal karbon kuarterner, salah
satunya pasti kepada sinyal karbon oksiaril, maka gugus terpen tersebut (prenil, geranil, atau
farnesil) partilah berada di C-6. Akan tetapi, apabila salah satu dari ketiga korelasi 1H-13C
jarak jauh tersebut dengan sinyal karbon metin aromatik, maka gugus samping tersebut di C-
8. Dengan penalaran yang sama, posisi gugus metoksi, apabila ada, dapat ditetapkan dengan
tanpa ragu melalui analisis spektrum HMBC. Dalam beberapa kasus, lebih baik dilakukan
pengukuran spektrum NMR 2D NOESY untuk lebih memudahkan penentuan posisi gugus
metoksi melalui interaksi NOE yang ditimbulkan antara sinyal proton metil metoksi dengan
sinyal-sinyal aromatik atau –OH fenol tertentu sesuai dengan posisi dari gugus metoksi
tersebut.
Dalam rangka mengkonfirmasi struktur molekul yang disarankan, maka pengukuran spektrum
massa resolusi tinggi mutlak dilakukan untuk menetapkan, sekaligus mengkonfirmasi, rumus
molekul. Karena flavonoid umumnya relatif stabil, metoda pengionan elektron (EI) masih
dapat dilakukan dan menghasilkan puncak ion molekul radikal dengan kelimpahan tinggi
sehingga massa yang dihasilkan akan sangat akurat. Penionan dengan metoda tumbukan atom
(FAB) juga dapat dilakukan sebagai ion [M+H]+, tetapi seringkali, karena massa turunan
flavonoid berada di sekitar 300 – 500 Da, seringkali terkotori oleh massa yang sama dari
matriks sampel, sehingga keakuratan penentuan massanya menjadi terganggu. Metoda yang
relatif bersih dapat dilakukan dengan menggunakan metoda pengionan spray (ESI) dengan
monitoring sebagai ion negatif [M-H]- melalui penambahan sedikit amonia dalam pelarut
aseton-air.
3 KESIMPULAN
Lima belas senyawa turunan flavonoid dan stilben telah berhasil diisolasi dari empat spesies
tumbuhan Macaranga, yaitu M. gigantea, M. pruinosa, M. rhizinoides, dan M. trichocarpa.
Turunan flavonoid yang ditemukan meliputi kelompok dihidrocalkon, flavanon, flavon,
flavonol, dan dihidroflavonol, dengan gugus samping terpenoid meliputi prenil, geanil,
farnesil, dan seskuiterpen tak-teratur. Senyawa-senyawa tersebut dengan mudah ditetapkan
berdasarkan data spektroskopi, utamanya adalah data NMR 1D (1H dan 13C NMR) untuk
menyarankan satu atau lebih struktur alternatif, dan NMR 2D (HMQC, HMBC, dan NOESY)
untuk memilih dan mengkonformasi satu struktur yang sesuai. Mengingat Indonesia memiliki
banyak spesies tumbuhan Macaranga ini, yang tersebar di seluruh kawasan negeri ini, maka
kajian fitokimia ini perlu dilanjutkan dalam rangka mencari kegunaan dari senyawa-senyawa
turunan aromatik.
PUSTAKA
Blattner, F.R., Weising, K., Banfer, G., Maschwitz, U., Fiala, B., 2001. “Molecular analysis
of phylogenetic relationships among Myrmecophytic Macaranga species (Euphorbiaceae)”,
Mol. Phylogen. Evol., 19, 331-334.
Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid I, Yayasan Sarana Wanajaya, Jakarta.
Syah, Y.M., Hakim, E.H., Achmad, S.A., Hanafi, M., Ghisalberti, E.L., 2009. “Isoprenylated
Flavanones and Dihydrochalcones from Macaranga trichocarpa”, Nat. Prod. Commun., 4,
63-67.
Syah, Y.M., Ghisalberti, E.L., 2010. “Phenolic Derivatives with an Irregular Sesquiterpenyl
Side Chain from Macaranga pruinosa”, Nat. Prod. Commun., 5, 219-222.
Tanjung, M., Hakim, E.H., Syah, Y.M., 2009. “Fitokimia dan sifat biologis senyawa-senyawa
turunan fenol dari tumbuhan Macaranga”, Bull. Soc. Nat. Prod. Chem. (Indonesia), 9, 1-15.
Tanjung, M., Hakim, E.H., Mujahidin, D., Hanafi, M., Syah, Y.M., 2009. “Macagigantin, a
farnesylated flavonol from Macaranga gigantea”, J. Asian Nat. Prod. Res., 11, 929-932.
Tanjung, M., Mujahidin, D., Hakim, E.H., Darmawan, A., Syah, Y.M., 2010. “Geranylated
flavonols from Macaranga rhizinoides, Nat. Prod. Commun., 5 (sudah diterima untuk
dipublikasikan).