un yana - unud
TRANSCRIPT
KED UKA H DISASTERlNSURANCECOMPANY DALAM RANG MITIGASI D REDUKSI
DAMPAKBENCA A
Pr0f. Dr. Putu Sudamla Sumadi SR. SD
NID.'f 0019045603
PROG~STunI~MUHUKUM
FA TASHUKUM
SI AS un YANA
Mei2019
1. Judul Penenlitian : Kedudukan Hukurn Disaster Insurance Company Dalam Rangka
Mitigasi Dan Reduksi Dampak Bencana ') Ketua Peneliti
a. Nama lengkap : Prof. Dr. Putu Sudanna Sumadi, SH, SU
b. Jenis kelamin : laki~laki
c. NIPINIDN : 19560419198303100310019045603
d. Jabatan struktural :
e. Jabatan fungsional: Guru Besar
f. Fakultas : Hukum g. Pusat Penelitian : Unit Penelitian dan Pengabdian Fakultas Hukum Unud
h. Alamat : J1. Pulau Bali No. 1 Sanglah, Denpasar
1. Telpon : (0361) 222666
j. Alamat rumah : J1. Gatot Subroto I!X.X1II No. 23 Denpasar 80239
3. Jumlah anggota peneliti : 1 (satu) orang
4. Pembiayaan : Mandiri
Denpasar, 18 Juli 2019
Mengetahui, Ketua Peneliti,
Ketua Bagian
(Dr. I Made Sarjana, SH.,MH.) SHSU
NIP. 196112311986011001
Mengetahui
Dekan
Fakultas Hukum
Universitas Udayana
( Prof. Dr. I Made· SH. M.Hum.)
NIP. 196502211990031005
tama
KATAPENGANTAR
Tidak ada yang dapat diungkapkan selain ekspresi perasaan yang penuh
santtuthi (sukacita) karena akhimya Laporan Penelitian yang berjudul HKedudukan Hukuro
Disaster Insurance Company Dalam Raogka Mitigasi Dan Reduksi Bencana" dapat
dirampungkan tepat pada waktunya. Akan tetapi seperti biasanya dan sudah tentu dengan
berbagai kekurangan yang menyertainya.
Penelitian ini berusaha semaksimalnya mencan penjelasan atas
permasalahanpokok pertama apakah risiko bencana seperti rasa aman yang terancam,
mengungsi, dan terganggunya kegiatan dalam masyarakat dapat dipertanggungkan. Kedua
apakah prinsip subrogasi dapat diterapkan dalam perjanjian asuransi bencana. Penjelasan
tersebut sangat bermanfaat untuk menumbuhkembangkan kesadaran berasuransi.
Terbatasnya waktu yang dapat dialokasikan untuk melaksanakan penelitian
iui secara mandiri dan terutama kemampuan dalam hal pemahaman merupakan faktor
faktof yang menyebabkan kualitas laporan peneJitian ini kurang memadai. Kendala ini
masih harus ditambah lagi dengan kesulitan memperoleh data. Akan tetapi hal ini kiranya
dapat maklumi mengingat pengerjaannya yang dilakukan dalam waktu yang hampir
bersamaan dengan kewajiban tulis-menulis yang lainnya.
Seperti sudah dikemukakan, penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Ragam dan jumlah materi berupa peristiwa dan/atau hubungan yang mengandung unsur
perjanjian asuransi bencana yang berhasil dikumpulkan maslh sangat terbatas. Untuk itu
setiap sumbang saran yang dapat melengkapi materi yang sudal1 ada sangatlah diharapkan.
Akhir kata disampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan dan terimakasih atas
segala bantuan hingga rampungnya Iaporan ini.
D"Tar, 18 Juli 2019
pene\~~
DAFfARISI
KATAPENGANTAR
DAFTARISI
RINGKASAN............................................................... I
BAB I PENDAHULUAN...................................... .......... . 2
BABIITINJAUANPUSTAKA.......................................... 6
BAB III METODE PENELITIAN.................................. ..... 13
BABIVHASILDANPEMBAHASAN................................ 15
BAB V PENUTUP........................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA
29
1
RINGKASAN
Berdasarkan pandangan bahwa ….disaster insurance is a monetary agreement
between an insurance company and an individual, entitling the individual to
compensation for losses incurred during disasters. A few common examples include
natural disaster insurance, earthquake insurance, and tsunami insurance, dapat
dikemukakan perihal yang disebut dengan asuransi bencana atau disaster insurance
itu sesungguhnya merupakan asuransi yang bersifat konvensional dalam pengertian
memiliki prinsip-prinsip yang sama seperti asuransi-asuransi pada umumnya;
asuransi kehilangan, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa.
Namun demikian apabila disimak lebih dalam memang terdapat perbedaan
yang sangat karakteristik. Perbedaannya terletak pada risiko yang ditanggung.
Risiko pada asuransi konvensional berkisar pada kehilangan, kerusakan, kerugian
pada umumnya, kebakaran, kecelakaan dan peristiwa tertentu yang tidak dapat
dipastikan kapan terjadinya (uncertainties). Sementara itu yang ditanggung dalam
asuransi bencana adalah risiko bencana.
Asuransi merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak pertama yang
disebut Penanggung menyanggupi untuk memberikan kompensasi atas terjadinya
risiko tertentu pada pihak kedua yang disebut Tertanggung yang menyanggupi
untuk membayar premi kepada pihak pertama. Dengan demikian dapat
dikemukakan asuransi pada dasarnya mengacu pada suatu bentuk transaksi untuk
memperalihkan risiko tertentu dari pihak kedua kepada pihak pertama dengan
partisipasi tertentu pihak kedua. Perilaku berasuransi dapat dipersamakan dengan
perilaku dalam berinvestasi yang berorientasi pada masa yang akan datang sembari
membuat persiapan-persiapan yang perlu dan relevan pada masa kini.
Penelitian ini memiliki tujuan jangka panjang dalam rangka meningkatkan
ko-dependensi melalui peningkatan kesadaran berasuransi sebagai langkah
pemahaman dan persiapan mitigasi dan reduksi dampak bencana. Ada pun
tujuannya secara khusus adalah mencari kejelasan mengenai ruang lingkup obyek
perjanjian asuransi bencana, dan relevansi prinsip subrogasi dalam asuransi yang
mempertanggungkan risiko bencana. Kedua tujuan tersebut penting artinya bagi
kedudukan perusahaan asuransi pada satu sisi dan bagi masyarakat yang bermukim
dan mencari penghidupan di kawasan rawan bencana.
Penelitian mengenai kedudukan hukum disaster insurance company dalam
rangka mitigasi dan reduksi dampak bencana ini dirancang sebagai penelitian
hukum normatif yang berbasis pada bahan-bahan hukum baik primer (peraturan
perundang-undangan, dll) maupun sekunder (bahan pustaka), yang dilengkapi
dengan data empiris. Pendekatan yang dipergunakan terdiri dari statute approach,
conceptual approach dan comparative approach. Bahan dan data yang relevan
dianalisis secara interpretatif menurut langkah-langkah yang sesuai dan
dideskripsikan karena hakikatnya penelitian hukum itu merupakan studi yang
menjelaskan.
2
BAB I. PENDAHULUAN
Kondisi-kondisi yang merupakan akibat atau kemungkinan-kemungkinan
akibat yang timbul baik secara alami maupun non-alam karena perbuatan tunggal
atau bersegi dua (perjanjian) yang dilakukan oleh orang-orang pada dasarnya
merupakan risiko yang dapat terjadi pada atau menimpa barang dan atau diri
(fisik) setiap orang atau hampir segala sesuatu.
Sejalan dengan berkembangnya pemahaman berdasarkan Pasal 1
angka 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana , pertama, bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kedua, bahwa bencana
alam merupakan merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor,
maka kondisi-kondisi seperti cedera, kehilangan, kerusakan dll tersebut tidak
cukup lagi untuk mendeskripsikan luas ruang lingkup pengertian risiko.
Pemahaman bahwa risiko atau risk ….the danger or hazard of a loss of the
property insured; the casualty contemplated in a contract of insurance; ….a
specific contingency or peril;….the specific house, factory, ship, etc. covered by
policy. Hazard, danger, peril, exposure to loss, injury, disadvantage or
destruction, and comprises all elements of danger1, dalam perkembangan terakhir
ini harus disesuaikan dengan konteks dalam hal apa risiko tersebut menjadi
pokok persoalan.
Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana
memiliki definisi sendiri mengenai “risiko bencana” yang dirumuskan sebagai
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun
waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya
rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
1 Henry Campbell Black, 1979. Black”s Law Dictionary. West Publishing Co., St. Paul Minn. Hal. 1193.
3
masyarakat (Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007).
Dari uraian ringkas tersebut dapat diketahui bahwa
risiko yang paling besar dan lengkap-menyeluruh itu dapat terjadi karena bencana
baik alam mau pun non-alam. Bencana tidak saja menghancurkan segala sesuatu
yang bersifat kebendanaan akan tetapi juga non-benda, bahkan peradaban yang
telah berkembang dan diwariskan secara turun temurun juga dapat lenyap
seketika.
Dengan demikian dapatlah dibayangkan betapa tingginya "ongkos"
ekonomi dan sosial yang harus ditanggung akibat bencana. Ongkos bencana yang
dimaksudkan dalam hal ini pada dasarnya adalah seluruh pengeluaran yang terjadi
dan pendapatan yang tidak diperoleh selama berlangsungnya seluruh tahapan
bencana.
Apabila mengacu pada tahapan atau level status gunung berapi yang
terdiri dari empat tahap; 1. aktif normal ( gunung api yang diamati tidak ada
perubahan aktivitas secara visual, seismik, dan kejadian vulkanik), 2. waspada (
aktivitas seismik meningkat dan mulai muncul kejadian vulkanik). 3. Siaga (
peningkatan seismik dan vulkaning yang dapat diamati dengan terjadinya
perubahan visual dan aktivitas kawah.4. awas ( level yang paling memungkinkan
terjadinya erupsi. Terjdi letusan utama yang dilanjutkan dengan letusan awal,
diikuti semburan abu dan uap. Setelah itu akan diikuti dengan erupsi besar), maka
setiap tahap tersebut sesungguhnya sudah menuntut dialokasikannya ongkos
bencana.
Pada level aktif normal yang tampak adem-adem saja sejumlah ongkos
bencana sudah harus dialoksikan tidak saja oleh pemerintah melalui "budget" dari
institusi atau badan nasional terkait, akan tetapi juga oleh setiap orang atau pun
korporasi terutama yang berlokasi pada kawasa rawan bencana berupa ongkos-
ongkos yang dikeluarkan sebagai langkah antisipasi dan penanggulangan
bencana.
Namun demikian sudah tentu ongkos yang terbesar akan terjadi pada dan
pasca level awas. Pada level ini berlangsung evakuasi secara besar-besaran
meliputi hampir seluruh penduduk dan properti termasuk hewan peliharaan yang
4
dapat dibawa, kecuali rumah, tempat usaha, sawah, ladang, pabrik dan ternah
yang membutuhkan perhatian khusus.
Sebagai bahan perbandingan maka pada kesempatan ini disajikan kembali
hasil penelusuran berkenaan dengan erupsi Gunung Agung di Kabupaten
Karangasem Bali pada 2017. Penelusuran yang dilatarbelakangi oleh berbagai
keterbatasan tersebut dilakukan dengan menyimak berita-berita seputar erupsi
khususnya pada media online sebagai sumber bahan hukum tertier.
Berdasarkan penelusuran tersebut diperoleh informasi bahwa erupsi
Gunung Agung yang tidak sampai mengeluarkan lava pijar dan menyebabkan
banjir lahar dingin serta letusan yang sangat dahsyat, melainkan “hanya” asap
tebal dan abu vulkanik pada waktu itu, telah menyebabkan timbulnya kerugian
hingga belasan triliun rupiah.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan
mengatakan, total kerugian akibat erupsi Gunung Agung, Bali selama 40 hari
mencapai Rp 19 triliun. Kerugian terutama disebabkan anjloknya kunjungan
wisata mancanegara (wisman) dan menyebabkan target kunjungan turis 2017 tak
tercapai. Luhut mengatakan, erupsi Gunung Agung ini bahkan membuat
Tiongkok memberikan peringatan perjalanan atau travel warning bagi warganya
yang ingin berkunjung ke Indonesia. Akibatnya, tak ada satupun turis asal
Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia saat itu.2
Intinya dari erupsi yang diembel-embeli dengan predikat
“hanya” seperti itu Indonesia mengalami kerugian dalam tiga bentuk; pertama,
tidak terwujudnya harapan memperoleh keuntungan dari kedatangan wisatawan
mancanegara, kedua, terganggunya agenda ekonomi karena target tahunan tidak
tercapai, dan ketiga semacam sanksi sosial berupa travel warning. Negara yang
menjadi sasaran dari warning tersebut akan merasakannya sebagai suatu langkah
pengucilan dari hiruk-pikuknya dunia pariwisata.
Lebih inti lagi, ongkos bencana terutama apabila
dinilai dari aspek finansialnya itu sangat tinggi. Dalam kebanyakan bencana
2 Dimas Jarot Bayu, 2018. Erupsi Gunung Agung Sebabkan Kerugian Hingga Rp 19 Triliun.
https://katadata.co.id/berita/2018/01/09/erupsi-gunung-agung-sebabkan-kerugian-hingga-rp-19-triliumedia.
5
seringkali tampak pelaksanaan penanggungalannya seperti kekurangan biaya,
belum lagi yang dialokasikan untuk yang bersangkutan dengan upaya "recovery"
yang memang butuh biaya tidak sedikit kalau tidak boleh dikatakan besar.
Biaya recovery selama ini ditanggung oleh negara terutama
untuk infrastruktur melalui pengalokasian secara khusus dana untuk
penanggulangan bencana berdasarkan amanat undang-undang. Ini merupakan
suatu bukti kesungguhan negara dalam menanggulangi bencana. Namun demikian
negara juga harus memiliki dan melaksanakan kewajibannya itu sesuai dengan
paradigm penanganan bencana.
Dalam paradigma mitigasi dan reduksi yang sedang dikembangkan
dalam beberapa tahun belakangan ini, pola penanganan dampak bencana tidak
lagi didominasi oleh institusi pemerintah, melainkan masyarakat umum melalui
strategi kebudayaan didorong untuk turut berpartisipasi, dunia bisnis diberikan
kesempatan untuk menyediakan jasa asuransi.
Urgensi penelitian ini pada dasarnya terfokus pada tujuan
untuk memperoleh kejelasan pertama apakah risiko bencana dapat dijadikan
obyek asuransi, dan kedua, apakah prinsip subrogasi berlaku bagi disaster
insurance company mengingat faktor-faktor penyebab bencana (risiko) sesuai
dengan paradigma pemahaman bencana seluruhnya bukan merupakan para pihak
yang dapat dipertanggungjawabkan.
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Bencana atau disaster (Bahasa Inggris) atau ramp (Bahasa Belanda)
merupakan bagian dari kosakata dalam Bahasa Indonesia yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang berarti sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan,
kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Dalam perspektif demikian, konsep
bencana merujuk pada sesuatu sebagai sebab.
Dalam Wet rampen en sware ongenvallen 1985 atau Undang-
Undang Belanda 1985 tentang Bencana ditentukan bahwa bencana merupakan
peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada keselamatan dan keamanan
umum, yang membahayakan kehidupan dan kesehatan sejumlah besar orang atau
sangat mengancam kepentingan material, dan memerlukan usaha terkoordinasikan
dari layanan dan organisasi dari berbagai disiplin ilmu untuk menghilangkan
ancaman atau membatasi efek yang membahayakan. Definisi tersebut pada dasarnya
bersifat lebih konkret dengan menekankan bencana-bencana (rampen) sebagai suatu
peristiwa. Elizabeth A. Martin3 tidak menyinggung tentang disaster
(bencana) melainkan mendefinisikan acts of God ….an event due to natural causes
(storms, earthquake, flood, etc) exceptionally severe that no one could reasonably be
expected to anticipate or guard against it. Selanjutnya penulis kamus ini
menghubungan act of God dengan force majeure. Oleh Karena itu dipandang layak
untuk mengetengahkan seberapa perlu tentang konsep yang disebutkan terakhir itu.
Dalam tulisannya dikemukakan ….Force Majeure
(Franc) irresistible compulsion or coercion. The phrase is used and that are
completely outside the parties control. Such events are normally listed in full to ensure
their enforceability; they may include “act of God, fires, failure of suppliers or
subcontractors to supply the supplier under the agreement, and strikes and other labor
disputes that interfere with the supplier’s performance of an agreement. An express
3 Elizabeth A.Martin, 1997, Oxford Dictionary of Law. Oxford University Press. Oxford, New York. Hal. 8.
7
clause would normally excuse both delay and a total failurs to performs the
agreement4. Berdasarkan
pengertian tersebut dapatlah diungkapkan bahwa konsep force majeure berasal dari
Bahasa Perancis yang pada satu sisi merupakan padanan dari konsep disaster dan lebih
mengandung nilai hukum, dan pada sisi lain mencakup aspek-aspek yang lebih luas.
Konsep force amun mencakup juga bencana-bencana yang disebabkan karena
perbuatan dan campur tangan manusia. Pada poin ini sudah mulai tampak ragam atau
jenis bencana yang dapat terjadi. Di
samping konsep force majeure, terdapat juga konsep force majesture akan tetapi
keduanya harus dibedakan dengan tegas. Henry Campbell Black mengemukakan
….Force majesture including lightnings, earthquake, storms, flood, sunstrokes,
freezing, etc.where in later two can be considered hazards in contemplation of
employer within compensation acts. Sedangkan force majeure…the law of insurance,
superior or irresistible force. Such clauses is common in construction contracts to
protect the parties in the event that a part of contract cannot be due causes are outside
the control of the parties and could no be avoided by exercise of due care.5
Intinya, kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat dari sambaran petir,
gempa bumi, badai, banjir, sengatan panas matahari, kedinginan, dll. termasuk dalam
kategori force majesture. Menurut undang-undang Kompensasi (ganti rugi) dua item
yang disebutkan terakhir itu dapat dipandang sebagai jenis-jenis bahaya yang melekat
pada para pekerja, dalam pengertian dalam hal para pekerja mengalami bencana
seperti itu, korban dapat menuntut ganti rugi.
Sementara itu berkenaan dengan force majeur pada dasarnya merupakan
suatu klausul atau suatu ketentuan khusus yang dapat dicantumkan dalam berbagai
hubungan hukum. Dalam hukum asuransi misalnya, force majeur memiliki fungsi
yang sangat penting dalam rangka melindungi para pihak. Bagaimana pelaksanaaan
hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung dalam suatu perjanjian asuransi
berkenaan dengan terjadinya bencana alam.
Tuntutan atau claim untuk memperoleh penggantian atas
4 Ibid. hal. 193.
5 Black., Op.cit. hal. 581.
8
risiko yang dialami pada umumnya terjadi dalam hubungan hukum yang tertuang
dalam perjanjian asuransi. Perjanjian ini pada dasarnya memperlihatkan suatu
Perspektif hukum memperlihatkan bahwa dalam asuransi terdapat interaksi yang
melibatkan dua pihak, yaitu; yang satu sanggup menanggung atau menjamin, bahwa
pihak lain akan mendapat penggantian suatu kerugian, yang mungkin ia akan derita
sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau semula
belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.6
Peter Gillies dalam bukunya yang berjudul
Business Law mengemukakan, Insurance law is concerned with the commercial
relationship embodied in a contract, by which A (the insurer or underwriter) agrees
with B (the insured), that, subject to the happening of a contingent, specified event
involving loss to B or injury to B’s interests, A will pay B a sum of money calculated in
acordance with their contract and the general law. B’s consideration is payment of a
sum of money termed a premium.....ditambahkannya pula.... Life is full of risks and
uncertainties. Hazards such as accidents, fire, and illness pose a constant threat to our
well-being. The principal protection against losses from such hazards is insurance.
(2003,hal. 716). Uraian-uraian tersebut pada dasarnya merupakan
pandangan-pandangan yang dikemukakan berkenaan dengan asuransi yang bersifat
umum. Sementara itu topik penelitian ini adalah mengenai kebencanaan yang tentunya
memiliki sifat atau karakter yang berbeda dengan risiko-risiko yang dapat ditanggung
dalam asuransi umum. Topik penelitian ini memiliki relevansi dengan pandangan
tentang asuransi yang berkaitan dengan bencana.
Sehubungan dengan itu maka dipandang
perlu untuk mengetengahkan pandangan tentang asuransi yang dimaksudkan. Untuk
itu sebuah sumber bahan hukum tertier pada pokoknya mengemukakan…. Disaster
insurance is a monetary agreement between an insurance company and an individual,
entitling the individual to compensation for losses incurred during disasters. A few
common examples include natural disaster insurance, earthquake insurance, and
tsunami insurance. (….2010, What Is Disaster Insurance?.
https://www.newsmax.com/fastfeatures/disaster-health-insurance-
6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1979, hal. 1.
9
natural/2010/11/04/id/375966/)
Menyimak pandangan dari sumber bahan hukum tersebut dapatlah dikemukakan
bahwa perihal yang disebut dengan asuransi bencana atau disaster insurance itu
sesungguhnya merupakan asuransi yang bersifat konvensional dalam pengertian
memiliki prinsip-prinsip yang sama seperti asuransi-asuransi pada umumnya; asuransi
kehilangan, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa. Namun
demikian apabila disimak lebih dalam memang terdapat perbedaan yang sangat
karakteristik. Perbedaannya terletak pada risiko yang ditanggung. Risiko pada asuransi
konvensional berkisar pada kehilangan, kerusakan, kerugian pada umumnya,
kebakaran, kecelakaan dan peristiwa tertentu yang tidak dapat dipastikan kapan
terjadinya (uncertainties). Sementara itu yang ditanggung dalam asuransi bencana
adalah risiko bencana.
Dalam membangunan hubungan hukum asuransi terdapat beberapa prinsip dasar
yang patut diperhatikan. Prinsip-prinsip yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut;
1. Insurable Interest (kepentingan yang diasuransikan)
Bahwa pihak yang mengansuransikan harus memiliki kepentingan (interest) atas harta
benda yang dapat diasuransikan (insurable); kepentingan dan objek tersebut harus
legal dan equitable (tidak melawan hukum dan layak). Memiliki kepentingan atas
obyek yang diasuransikan apabila Anda menderita kerugian keuangan seandainya
terjadi musibah yang menimbulkan kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut.
Pelanggaran prinsip ini bisa berakibat klaim tidak dapat dibayarkan. Apabila terjadi
musibah atas obyek yang diasuransikan dan terbukti bahwa Anda tidak memiliki
kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka Anda tidak berhak menerima ganti
rugi.
2. Utmost Good Faith (itikad terbaik)
Tertanggung berkewajiban memberitahukan segala sesuatunya dengan sejelas-jelasnya
dan teliti mengenai segala fakta-fakta penting yang berkaitan dengan obyek yang
diasuransikan (fakta material yang akan mempengaruhi Penanggung dalam menerima
atau menolak suatu permohonan asuransi). Sedangkan pihak Penanggung
10
berkewajiban menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun yang dikecualikan,
segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas serta teliti. Kewajiban untuk
memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku : Sejak perjanjian mengenai
perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, selama masa
kontrak dan pada saat perpanjangan kontrak asuransi, dan pada saat terjadi perubahan
pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-
perubahan itu.
Seharusnya prinsip seperti ini diterapkan juga terhadap penanggung yang
berkewajiban menjelaskan setiap syarat dan ketentuan dalam perjanjian asuransi
beserta akibat-akibat hukumnya kepada tertanggung. Dengan demikian tertanggung
akan memiliki pegangan yang jelas selain bertumpu pada isi perjanjian tertulis yang
seringkali kurang dipahaminya.
3. Indemnity (ganti rugi indemnitas)
Bertujuan mengembalikan posisi Tertanggung pada posisi sesaat sebelum terjadi
kerugian yang dijamin polis. Apabila obyek yang diasuransikan terkena musibah
sehingga menimbulkan kerugian maka kami akan memberi ganti rugi untuk
mengembalikan posisi keuangan Anda setelah terjadi kerugian menjadi sama dengan
sesaat sebelum terjadi kerugian. Dengan demikian Anda tidak berhak memperoleh
ganti rugi yang lebih besar (mengambil keuntungan) daripada kerugian yang Anda
derita.
Dalam hubungan ini dunia asuransi pada umumnya dapat memberlakukan beberapa
cara pembayaran ganti rugi seperti ;
a. Pembayaran ganti rugi dengan uang tunai. Bentuk ini yang biasanya dilakukan oleh
perusahaan asuransi, atau
b. Perbaikan, atau Penggantian, atau Pemulihan kembali. Dalam perjanjian
asuransi tidak tertutup kemungkinan memperjanjikan cara pembayaran yang
bersifat rehabilitatif tersebut.
Prinsip-prinsip itulah yang antara lain menjadi landasan
yang kuat untuk menjelaskan persoalan mengapa risiko bencana dapat
dipertanggungkan atau menjadi tanggungan dalam perjanjian asuransi bencana
(disaster insurance). Maknanya, risiko bencana itu bersifat insurable (dapat
11
diasuransikan), legal (tidak melawan hukum), dan equitable (layak).
Sehubungan dengan dampak bencana yang tidak pilih-pilih, ada yang
mengemukakan; bagaimana pertimbangannya hingga disaster insurance company
sampai pada keputusan menerima menjadi penanggung terhadap risiko bencana.
Persoalan ini setara dengan pertanyaan yang berkisar pada kesediaan perusahaan
asuransi menjadi penanggung untuk risiko yang tidak menyediakan upaya
melakukan “subrogasi”.
Selain yang sudah diuraikan terdahulu, konsep yang disebutkan terakhir
ini pada dasarnya juga merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum asuransi.
Subrogasi (subrogation) adalah pengalihan hak (subrogasi) dari Tertanggung
kepada Penanggung jika Penanggung telah membayar ganti rugi kepada
Tertanggung. Subrograsi juga merupakan konsekuensi dari adanya prinsip
Indemnity.
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, yang berbunyi: “Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi
sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan
kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah
menimbulkan kerugian pada Tertanggung.
Prinsip subrogasi sangat penting diketengahkan mengingat
selama ini dalam kasus-kasus yang merugikan tertanggung yang kendaraan
bermotornya yang ditabrak misalnya. Pihak yang menabrak merasa tidak
berkewajiban memberi ganti rugi karena kendaraan yang ditabraknya itu sudah
diasuransikan. Fungsi prinsip subrogasi dalam hal ini adalah memberikan
semacam edukasi bahwa pihak yang menabrak tetap harus bertanggungjawab.
Apakah prinsip ini dapat diterapkan asuransi bencana.?
Dalam upaya memahami bencana
terutama dari perspektif faktor penyebabnya, terdapat paradigma yang lazim
dipergunakan untuk memahami peristiwa yang mengancam kehidupan dan
penghidupan, korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda serta
dampak psikologis itu. Ada pun paradigma yang dimaksudkan itu terdiri dari ;
12
God/divinity, nature/contingency, the social/vulnerability, dan change paradigm.
Menurut paradigma yang pertama, banyak
bencana yang terjadi merupoakan hasil dari campur tangan Tuhan, dan ini dapat
dijumpai dalam kitab suci Alkitab dan beberapa mitologi. Paradigma yang
kedua,….disaster is a product of an unorderly and unforeseeable nature or,
rather, the disaster is an inherent part of a fundamentally contingent nature.
Paradigma yang ketiga berintikan bahwa ketiadaksiapan, ketidakberdayaan,
kekurangtanggapan, dan segala bentuk kekurangmampuan masyarakat dalam
memahami, mencegah serta menanggulangi bencana dan dampaknya
sesungguhnya merupakan suatu bentuk bencana.7 Dalam paradigma
yang keempat diilustrasikan….Energy, in its two forms of heat and cold, causes
many changes within the body and the environment. It is always in a state of
flux, of continuous change and always seeking a balance. It is the law that govern
changes in body, such a old age and illness, or in an ecological context, with
respect to such things as climates, seasons and earth movements.8
Keempat paradigma tersebut ternyata
tidak satu pun yang menyatakan tentang adanya para pihak yang dapat dijadikan
sebagai sasaran subrogasi. Tuhan, alam, vulnerabilitas, dan perubahan jelas tidak
dapat dimintai pertanggungan jawab. Namun demikian hukum kebencanaan
sebagai sub system hukum kiranya masih menyediakan jalan untuk diterapkannya
prinsip subrogasi dalam asunransi bencana.
7 Kristian Cedervall Lauta, 2015, Disaster Law. Routledge, Abingdon, Oxon. Hal. 15-18.
8Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005, The Anatomy of Disaster. The Buddhis Channel.
https://www.buddhistchannel.tv.24-2-2005.
13
BAB III. METODE PENELITIAN
a. Jenis penelitian, pendekatan dan sumber bahan hokum
Penelitian yang dirancang sebagai penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
doktrinal ini pada dasarnya merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mencari
kejelasan perihal ruang lingkup tanggungan (obyek yang dapat dipertanggungkan)
dan keberlakuan prinsip subrogasi dalam asuransi bencana. Pendekatan-pendekatan
yang dipergunakan meliputi statue approach, conceptual approach, dan comparative
approach.
Bahan hukum yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini terdiri
dari bahan hukum primer yang diperoleh dari legislasi baik Undang-undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dilengkapi lagi dengan bahan dan informasi
yang bersumber dari bahan hukum sekunder dan tertier. Namun demikian penelitian
ini tidak menutup diri dari kebutuhan beberapa data empiris yang relevan. Data ini
merupakan penunjang yang diperoleh dari sumber sekunder.
b. Teknik pengumpulan dan analisis bahan hukum
Pengumpulan bahan hukum dan beberapa data empiris dilaksanakan berdasarkan
teknik pencatatan yang diadaptasi dari sistem kartu dan disesuaikan dengan
perkembangan teknologi dokumentasi. Beberapa bahan yang diperoleh secara
empirik namun demikian analisisnya didasarkan pada teknik-teknik yang pada
umumnya dilakukan dalam penelitian hukum normatif. Berdasarkan teknik tersebut,
14
maka penentuan validitasnya tidak bertumpu pada penyebutan metode mutakhir yang
canggih, melainkan sangat ditentukan oleh langkah-langkah baku yang ditempuh.
Analisis dilakukan secara normatif; mencari kesesuaian antara yang tertuang dalam
asas, teori, pendapat dan peraturan perundang-undangan dengan fakta atau peristiwa
yang terjadi.
Teknik tersebut dapat dipahami sebagai implementasi metode deduktif yang
beranjak dari asas, teori dan seterusnya untuk dicocokkan dengan peristiwa
hukumnya. Dalam penelitian ini metode deduktif diterapkan untuk menganalisis
kesesuaian perilaku menjalankan perusahaan asuransi bencana dengan asas dan teori
hukumnya. Metode ini berangkat dari teori dan ketentuan mengenai badan hukum
pada umumnya untuk diuraikan dalam perilaku berkenaan dengan asuransi.
BAGAN ALIR PENELITIAN
Tujuan penelitian Tinjauan Pustaka : diperoleh bahan-bahan
mengenai berbagai pendapat, paradigm dan
teori mengenai obyek perjanjian asuransi
dan subrogasi. Seluruh bahan mengandung
potensi untuk dapat mengidentifikasi risiko
menerapkan prinsip subrogasi.
- Penelitian untuk memperoleh bahan
hukum lanjutan berkenaan dengan
kebencanaan dan penanggulangan-
nya. Di samping itu juga
diupayakan memperoleh data
empiris mengenai keberadaan
disaster insurance company.
Pengolahan bahan dan juga data : editing
15
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Ruang Lingkup Asuransi Bencana
Sebelum menguraikan persoalan berkenaan dengan ruang lingkup atau obyek atau
hal-hal apa saja yang dapat dipertanggungkan dalam asuransi bencana (disaster
insurance), maka terlebih dahulu bahkan yang sangat menentukan pada dasarnya
adalah memperoleh informasi apakah di Indonesia terdapat perusahaan asuransi
yang memberikan pertanggungan terhadap korban bencana.
Di Indonesia terdapat sekitar 139 gunung api aktif yang keberadaannnya
tersebar secara merata pada hampir seluruh provinsi.9 Jumlah ini hampir empat
kali lipat jumlah provinsi yang ada. Namun demikian terdapat provinsi yang tidak
memiliki gunung api, dan sebaliknya terdapat beberapa daerah memiliki lebih dari
satu gunung api, misalnya Bali, sebuah pulau yang relatif kecil dengan Gunung
Agung (sesekali erupsi dan masih berada dalam status siaga) dan Gunung Batur.
Di samping gunung api yang dapat menimbulkan bencana melalui
letusannya dan aliran lava sebagai susulannya, bumi Nusantara ini juga
mencatatkan banyak daerah yang rawan banjir dan tanah longsor. Pada 2012 yang
lalu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan
240 kabupaten/kota di Indonesia rawan banjir dan longsor.10
Erupsi gunung api, banjir dan tanah
9 Ralf Gertisser, Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia ada di Daftar yang dipantau
ilmuwan dunia. https://theconservation.com 10
2012, BNPB: 240 Kabupaten/Kota Rawan Banjir dan Longsor. https://voaindonesia.com
Analisis bahan :
- Bahan-bahan diinterpretasikan dan
dikonstruksi
- Penyusunan laporan
16
longsor dapat dikemukakan sebagai bencana yang dapat atau pernah dialami oleh
banyak negara, di Indonesia selain bencana-bencana yang "lumrah" juga memiliki
potensi bencana yang lain dan agak spesifik. Saking khasnya bahkan sampai
berhasil diciptakan konsep yang khas pula yaitu "Karhutla". Konsep ini
merupakan singkatan dari "kebakaran hutan dan lahan". Yang dimaksudkan
"lahan" disini adalah "lahan gambut" dan lahan seperti ini bisa mengalami
kebakaran.
Intinya, disamping memiliki lahan yang subur, laut yang penuh dengan
ragam ikan, hutan yang lebat (dahulu) dan berbagai bentuk properti yang masih
tersimpan di perut bumi pertiwi (sekarang sudah berkurang) dan lain-lain yang
pada pokoknya berhasil mengantarkan predikat sebagai negara yang berlimpah
dengan kekayaan alam, pada dasarnya juga Indonesia itu juga kaya dengan
potensi bencana. Oleh karena itu akan merupakan suatu hal yang ironis
apabila di Indonesia tidak terdapat perusahaan asuransi bencana.
Kalau pun tidak ada disaster insurance
company yang beroperasi di Indonesia, kiranya ketidakhadiran asuransi tersebut
dapat dimaklumi. Betapa pun juga suatu usaha bisnis tentunya harus
memperhitungkan faktor rugi-laba, sementara itu seperti telah diuraikan, kondisi
geografis Indonesia yang juga kaya potensi bencana dapat mengundang
kekhawatiran di samping datangnya banjir bandang juga munculnya banjir klaim.
Apabila di kawasan rawan bencana
seperti Indonesia setiap orang, setiap tempat tinggal, tempat usaha, kendaraan dan
lain-lain yang pada pokoknya meliputi setiap benda baik bergerak maupun tidak
bergerak diasuransikan, dapatlah dibayangkan betapa besarnya jumlah klaim yang
harus dipenuhi atau dibayar oleh perusahaan asuransi. Hal ini sesungguhnya
merupakan suatu kendala bagi perusahaan asuransi beroperasi di negara-negara
yang memiliki potensi bencana yang tinggi pada umumnya.
Oleh karena itu pula kebanyakan
pelaku bisnis asuransi memilih berada di zona nyaman dalam pengertian banyak
yang hanya memusatkan bisnisnya pada bidang atau jenis asuransi yang sangat
umum diselenggarakan. Jenis asuransi yang dimaksudkan ini adalah asuransi
17
jiwa, asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan yang berkembang dengan relatif
cepat. Jangankan swasta,
negara sendiri melalui unit usaha yang didirikan, dimiliki dan dikelola
berdasarkan fungsi state as entrepreneur pada dasarnya juga masih berkonsentrasi
pada bidang “asuransi kecelakaan” melalui PT (Persero) Asuransi Kecelakaan
Jasa Raharja. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menyelenggarakan jasa
asuransi wajib yang sangat berkembang. Kiranya
kuranglah tepat apabila kawasan dengan ragam, jumlah, dan frekuwensi bencana
yang relatif tinggi dijadikan sebagai dasar kekhawatiran mendirikan perusahaan
asuransi bencana. Dari perspektif obyek, bidang asuransi ini sesungguhnya tidak
berbeda jauh dengan bidang-bidang asuransi yang lainnya, bahkan terdapat
hubungan antara jenis yang satu dengan yang lainnya.
Asuransi jiwa misalnya atau juga yang disebut dengan “pertanggungan
sejumlah uang” pada dasarnya merupakan perjanjian timbal-balik antara penutup
(pengambil asuransi dengan penanggung , dimana penutup asuransi mengikatkan
diri untuk membayar uang premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk
membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya
pertanggungan dan didasarkan atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.11
Dalam asuransi jiwa yang ditanggung atau yang diasuransikan itu
bukanlah kerugian, melainkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh perusahaan
asuransi berdasarkan hidup atau matinya seseorang tertanggung. Sementara itu
persoalan hidup-matinya seseorang sesungguhnya merupakan suatu kepastian
dalam ketidakpastian (uncertainties) berkenaan dengan saat terjadinya peristiwa
tersebut. Seseorang dapat saja meninggal karena menjadi korban keganasan
dari suatu bencana. Apabila seseorang yang bersangkutan itu menjadi pihak
tertanggung, maka dengan meninggalnya itu perusahaan asuransi berkewajiban
untuk membayar sejumlah uang sesuai dengan yang diperjanjikan. Apakah
dengan demikian asuransi jiwa dapat dikemukakan sebagai suatu asuransi
bencana. Disimak dari isi polis asuransi jiwa yang terdiri dari a. hari
11
H.M.N. Purwosutjipto, 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Hukum Pertanggungan. Penerbit Djambatan,
Jakarta. Hal. 116.
18
ditutupnya pertanggungan berkenaan dengan saat dimulainya dan jangka waktu
dalam mana risiko menjadi beban penaggung, b. nama tertanggung, yaitu orang
yang menutup atau mengambil asuransi, c. badan tertanggung – orang yang
jiwanya dipertanggungkan, d. masa pertanggungan, e. jumlah pertanggungan, dan
f. uang premi, jadi tidak ada disebutkan dalam polis tentang hal-hal yang
membebaskan penanggung dari kewajibannya membayar sejumlah begitu
peristiwa meninggalnya tertanggung terjadi.
Yang dimaksudkan dengan “bahaya” dalam
pertanggungan jiwa adalah “matinya” orang yang jiwanya dipertanggungkan.
Tentang matinya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti….yang belum
pasti terjadinya ialah “kapan” mati itu mendatangi orang yang bersangkutan.
Inilah yang disebut peristiwa tak tentu (oinzeker voorval). Peristiwa matinya
orang yang jiwanya dipertanggungkan itu merupakan unsur yang mengakibatkan
timbulnya kewajiban pada penanggung untuk melakukan prestasinya….dan
karena peristiwa mati itu tidak mempunyai jenis lain, maka dalam polis tidak
perlu disebut.12
Di samping itu hukum
asuransi juga memperkenankan diadakannya “Klausul All Risk” terutama dalam
perjanjian asuransi kerugian. Berdasarkan klausul tersebut penanggung harus
mengganti kerugian atas seluruh kemungkinan kerusakan atau kehilangan benda
yang dipertanggungkan baik karena cacat bawaan atau pun karena kesalahan
tertanggung sendiri. Klausul ini dapat ditafsirkan secara luas hingga tanggung
jawab penanggung atas kerusakan dan kehilangan bukan karena cacat bawaan
mau pun kesalahan tertanggung. Bagaimana halnya dengan
risiko bencana yang menurut Pasal 1 angka 17 Undang-undang Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang
dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Apakah seluruh risiko tersebut dapat dipertanggungkan dalam perjanjian asuransi.
Untuk dapat
12
Ibid. hal. 123.
19
menjelaskan persoalan tersebut maka terlebih dahulu harus ditelusuri prinsip-
prinsip dalam perjanjian asuransi. Dalam kaitannya dengan hukum, prinsip
merupakan asas hukum yang tidak berupa peraturan hukum konkret, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat
umum dalam peraturan konkret tersebut.13
Fungsi asas
hukum itu pada intinya melandasi hukum yang konkret dan oleh karena itu asas
hukum terdapat di belakang, di dalam dan bahkan mendahului norma hukumnya.
Berkenaan dengan asas hukum asuransi dijumpai adanya 6 (enam) prinsip yang
terdiri dari insurable interest, utmost good faith, indemnity, subrogation,
contribution, dan proximate cause.
Disimak dari prinsip-prinsip insurable interest, utmost good faith, indemnity, dan
contribution dapat dikemukakan beberapa jenis dari risiko bencana seperti kematian,
luka, sakit, kerusakan, dan kehilangan harta memenuhi kriteria untuk menjadi obyek
dalam perjanjian asuransi. Sementara itu risiko-risiko dalam bentuk jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, dan gangguan kegiatan masyarakat kiranya masih
membutuhkan pemikiran yang lebih dalam untuk dapat sampai pada kedudukan sebagai
obyek asuransi. Sampai sejauh ini bahasan ringkas tadi pada dasarnya
sudah menguraikan bahwa perusahaan asuransi yang mengcover risiko bencana
adalah layak dan legal dan oleh karena itu dapat pula dipertimbangkan sebagai
partisipasi dunia bisnis dalam rangka mitigasi dan reduksi dampak bencana yang
membutuhkan alokasi dana yang sangat besar.
Namun demikian hasil penelusuran berita-berita
berkenaan dengan bencana yang terjadi memperlihatkan bahwa peranan disaster
insurance company di Indonesia sesungguhnya belum maksimal. Hal ini tampak
dari ketimpangan antara jumlah kerugian terjadi yang diperbandingkan dengan
jumlah klaim yang dibayarkan oleh penanggung (perusahaan asuransi).
PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia
Re mencatat, total klaim reasuransi umum akibat banyaknya bencana alam yang
13
Sudikno Mertokusumo, 1987. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Penerbit Liberty, Yogyakarta. Hal. 32-33.
20
menimpa Indonesia selama 2018 mencapai lebih dari Rp284 miliar berdasarkan data
yang diterima hingga Desember 2018. Jumlah klaim tersebut berasal dari Gempa
Lombok dengan total klaim sebesar Rp87,6 miliar dan Gempa Palu & Donggala sebesar
Rp196,7 miliar.14
Sudah tentu jumlah kerugian diderita mencapai trilyunan rupiah karena
meliputi kerusakan infrastruktur dan aset-aset yang tidak diasuransikan. Sebagai
perbandingan dampak kerugian gempa bumi yang melanda Bali pada 16 Juli 2019 yang
berkekuatan 5,8 SR adalah Rp.733,3 berupa kerusakan bangunan tempat suci dan rumah
penduduk yang tidak diasuransikan.
2. Relevansi Prinsip Subrogasi dalam Asuransi Bencana
Menurut Pasal 1400 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, subrogasi
pada dasarnya merupakan penggantian hak-hak oleh seorsng pihak ketiga yang
membayar kepada kreditur baik karena perjanjian mau pun undang - undang.
Subrogasi harus dinyatakan secara tegas karena subrogasi berbeda dengan
pembebasan utang. Tujuan pihak ketiga melakukan pembayaran kepada kreditur
adalah untuk menggantikan kedudukan kreditur lama, bukan membebaskan
debitur dari kewajiban membayar utang kepada kreditur.
Pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak melakukan penagihan utang
terhadap debitur dan jika debitur wanprestasi, maka kreditur baru mempunyai hak
untuk melakukan eksekusi atas benda-benda debitur yang dibebani dengan
jaminan seperti gadai, hipotek, dan hak tanggungan. Keterangan ringkas ini
mengandung relevansi dalam hubungan hukum perutangan menurut hukum
perdata umum.
Subrogasi juga dikenal dalam lapangan hukum dagang yang diatur dalam
Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya
menentukan bahwa "penanggung yang telah membayar ganti kerugian atas benda
yang diasuransikan menggantikan tertanggung dalam segala hak yang
diperolehnya terhadap pihak ketiga sehubungan dengan kerugian tersebutyang
14
https://finansial.bisnis.com/read/20190110/215/877474/total-klaim-asuransi-bencana-indonesia-re-rp284-miliar
21
telah menimbulka kerugian tersebut.
dan tertanggung bertanggungjawab untuk setiap perbuatqn yang dapat
Dalam hubungan hukum asuransi, Subrogasi dapat diuraikan dengan
ilustrasi yang menggambarkan misalnya si A mempertanggungkan sebuah mobil
atas risiko kerusakan dan kehilangan pada perusahaan asuransi B. Ketika mobil A
hilang karena dicuri, maka berdasarkan prinsip subrogasi, B berkewajiban
mengganti kerugian A dan selanjutnya B memiliki hak untuk memperoleh
penggantian atas pembayaran yang telah dilakukan dari si pencuri.
Subrogasi merupakan salah satu prinsip atau asas dalam hukum asuransi.
Agar prinsip ini dapat diterapkan dibutuhkan suatu syarat yaitu agar pihak yang
meyebabkan timbulnya kerugian itu diketahui dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan hak
tagih atas segala sesuatu yang telah dibayarkan.
Pelaksanaan subrogasi membutuhkan dukungan prinsip proximate atau
suatu pemahaman mengenai penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian
kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang
mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independen. Artinya untuk
dapat mengklaim subrogasi harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang
menyebabkan timbulnya bencana.
Dalam hubungan ini terdapat beberapa paradigma pemahaman bencana
yang seluruhnya menguraikan tentang penyebab bencana itu sendiri. Ada pun
paradigma yang dimaksudkan itu terdiri dari paradigma KeTuhanan, paradigma
Alamiah, paradigma kerentanan, dan yang terakhir adalah paradigma perubahan
yang merupakan penambahan terhadap paradigm-paradigma yang lazim
dipergunakan dalam wacana pembahasan kebencanaan.
Paradigma KeTuhanan atau God/definity paradigm seperti sudah
dikemukakan pada bagian tinjauan kepustakaan pada dasarnya memandang
bahwa bencana-bencana merupakan hasil campur tangan Tuhan. Deskripsi yang
paling jelas berkenaan dengan campur tangan tersebut tercantum dalam Alkitab
(Genesis Chapter 6-8). Dalam bab tersebut (6:7), dituliskan sabda Tuhan kepada
Nabi Nuh: “aku akan menghapus manusia dari muka bumi, manusia, ciptaanku
22
sendiri dan binatang-binatang, dan makhluk-makhluk yang merangkak di tanah,
serta burung-burung di udara ; karena aku menyesal telah menciptakannya.
Campur tangan Tuhan berkenaan dengan terjadinya
bencana tidaklah terbatas seperti yang tertuang dalam Alkitab saja. Campur
tangan seperti itu dapat juga dijumpai dalam mitos banjir tertua di dunia menurut
mitologi Mesopotamia. Menurut mitologi ini manusia diciptakan oleh para dewa
untuk melakukan kerja keras; namun karena kegaduhan yang dihasilkan oleh
manusia yang berkerja itu membuat para dewa mengubah pikiran mereka dan
menghancurkan umat manusia dengan banjir selama tujuh hari.15
Paradigma KeTuhanan kiranya sangat lekat dengan nuansa
“indeterminisme” yang menempatkan God/Divinity sebagai sebab awal. Dengan
kekuatan yang digambarkan sangat dahsyat dan lengkap, sebab awal yang
dimaksudkan itu mampu melakukan tindakan dua arah yaitu menciptakan
dan menghancurkan segala sesuatunya. Namun demikian paradigma ini masih
mengakui dan menghargai ikhtiar serta perbuatan baik.16
Intinya, paradigma KeTuhanan tidak sekadar “memperlakukan” Tuhan
sebagai suatu konsep semata-mata, melainkan merupakan sesuatu yang aktif
dalam segala hal. Tuhan tidak hanya bersemayam dalam pikiran dan hati sanubari
manusia, akan tetapi juga menjadi perencana, intervensi dan sudah tentu
melakukan pengawasan yang abadi. Tidak ada sesuatu pun yang sudah, sedang
dan yang akan terjadi termasuk dalam bencana tanpa kehadiranNya.17
Paradigma alamiah atau paradigm kontingensi atau
nature/contingency paradigm merupakan paradigma yang usianya relatif muda
yang muncul setelah gempa bumi besar melanda Portugis pada 1775. Dalam
menjelaskan paradigma kontingensi Seorang pencerah (aufklarung) bernama
Francois-Marie Arouet atau yang populer sebagai Voltaire dengan menulis sebuah
puisi yang bermakna…. dunia ini penuh dengan ketidakteraturan yang
mengandung ketidakadilan. Dalam pandangannya, teratur sama dengan adil.
15
Putu Sudarma Sumadi, 2019. Hukum Bencana Dan Bencana Hukum. Zifatama, Surabaya. Hal. 34. Mengutip
Kristian Cedervall Lauta. 16
Ibid. hal. 35. 17
Ibid.
23
Segala sesuatu yang tidak teratur adalah tidak adil. Pada suatu tempat, manusia
mengalami penderitaan yang teramat sangat, tetapi di tempat lain di bumi ini
manusia justru menikmati segala bentuk kesenangan. Voltaire tidak
mengemukakan bahwa dunia ini lekat dengan ketidakpastian, melainkan penuh
dengan berbagai kemungkinan yang seharusnya mengarahkan agar umat manusia
siap menghadapinya. Paradigma kontingensi pada
dasarnya memandang alam semesta yang tidak teratur dan penuh dengan berbagai
kemungkinan itu merupakan penyebab terjadinya segala bencana di dunia.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa paradigma kontingensi
mengejawantahkan perkembangan yang revolusioner berkenaan dengan penyebab
bencana dari Tuhan ke alam. Namun demikian paradigma kontingensi diakui
telah membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebencanaan. Faktor inilah yang
membedakannya dengan paradigma yang pertama.18
Dengan
bertumpu pada pemahaman kerentanan sosial yang mengacu pada
ketidakmampuan orang, organisasi , dan masyarakat untuk menahan dampak
negatif dari berbagai pemicu yang mereka hadapi. Dampak ini sebagian
disebabkan oleh karakteristik yang melekat dalam interaksi sosial, lembaga, dan
sistem nilai budaya. Dapatlah dijelaskanm betapa pun juga social vulnerability
merupakan bagian dari bencana seperti halnya bencana alam. Perbedaannya,
dua paradigma terdahulu menekankan pada faktor yang bersifat transcendental
dan alam, sedangkan paradigm sosial/kerentanan menekankan pada faktor
manusia pada umumnya dan lingkungan sosialnya.
Dari uraian yang ringkas tersebut apabila diringkas lagi diharapkan
akan dijumpai inti dari pokok persoalan yang dibahas. Ada pun inti dari
social/vulnerability paradigm memperlihatkan bahwa ketidaksiapan,
ketidakberdayaan, kekurangtanggapan, dan segala bentuk kekurangmampuan
masyarakat dalam memahami, mencegah serta menanggulangi bencana dan
dampaknya sesungguhnya merupakan suatu bentuk bencana.19
18
Ibid. hal. 36 19
Ibid. hal. 37
24
Paradigma perubahan atau change paradigm pada pokoknya memandang
bahwa keberadaan semua makhluk dan alam semesta sesungguhnya merupakan
gabungan dari elemen-elemen dan energi. Elemen-elemen tersebut terdiri dari
tanah, angin, air dan api. Dapat dikemukakan, tanah terdiri dari unsur-
unsur yang tercakup dalam ruang lingkup tanah, sedangkan angin, air serta api
merupakan energi. Elemen-elemen dan energi tersebut tunduk pada dan diatur
oleh hukum alam yang bekerja dalam siklus abadi (perpetual cycle); lahir,
tumbuh, hancur dan lenyap….this universe of animate and inanimate objects
exists on a basis of conditioning and the occurrence of mental and physical
events that are governed by natural laws (Dhamma Niyama)20
.
Terma Dhamma Niyama mengacu pada hukum alam versi Buddhis
yang terdiri dari Utu Niyama, Bija Niyama, Kamma Niyama, Citta Niyama, dan
Dhamma Niyama. Aspek hukum alam Buddhis yang paling relevan dengan topik
ini adalah Utu Niyama yang pada dasarnya merupakan hukum tentang
energy….Energy, in its two forms of heat and cold, causes many changes within
the body and the environment. It is always in a state of flux, of continuous change
and always seeking a balance. It is the law that govern changes in body, such a
old age and illness, or in an ecological context, with respect to such things as
climates, seasons and earth movements.21
Dari pernyataan tersebut dapatlah diangkat sebuah kata
kunci yaitu “perubahan” yang berlangsung secara terus-menerus.
Perubahan tidak hanya terjadi di dunia fisik, akan tetapi juga pada alam
metafisika, baik yang berupa benda beruwujud mau pun tidak berwujud. Seluruh
elemen ini dapat mengalami perubahan. Energi yang berubah secara terus-meneru
dapat dikemukakan sebagai suatu contoh. Panas dan dingin yang merupakan
bentuk-bentuk energi telah banyak menimbulkan perubahan pada manusia dan
lingkungannya. Penyakit, ketuaan, cuaca, musim dan pergerakan-
pergerakan bumi semuanya berkenaan dengan perubahan.
20
Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005. The Anatomy Of Disaster. The Buddhist Channel.
https://www.buddhistchannel.tv. 24-2-2005
21
Ibid.
25
Apabila disimak kembali setiap
paradigma yang telah diuraikan menunjuk masing-masing sebagai penyebab
bencana. Namun demikian masing-masing penyebab tersebut bukanlah subyek
hukum yang dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Sementara itu
keberlakuan prinsip subrogasi membutuhkan adanya subyek hukum yang mampu
bertanggungjawab. Oleh karena itu lalu apakah prinsip subrogasi sama sekali
tidak berlaku dalam asuransi bencana. Ternyata hukum kebencanaan masih
berbaik hati memberlakukannya kendati pun terbatas untuk asuransi bencana yang
mengcover risiko bencana non-alam.
BAB V. P E N U T U P
1. Kesimpulan
potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan
kurun waktu tertentu yang berupa kematian, luka, sakit, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat pada dasarnya
merupakan risiko yang dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian asuransi
bencana. Risiko bencana termasuk terganggunya pendapatan masyarakat
misalnya karena usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang digeluti
tidak berjalan normal juga dapat dipertanggungkan. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan, risiko bencana memenuhi kriteria menurut prinsip-prinsip
hukum asuransi, terutama elemen insurable interest atau kepentingan yang
diasuransikan layak dan tidak melawan hukum, utmost good faith atau itikad
baik berkenaan dengan kewajiban baik tertanggung ma pun penanggung
mengenai obyek yang diasuransikan dan risiko yang ditanggung, dan elemen
indemnity atau ganti rugi indemnitas yang bertujuan mengembalikan posisi
tertanggung pada posisi seperti saat sebelum terjadi kerugian. Di samping itu
risiko bencana pada dasatnya merupakan uncertainties terutama dari
perspektif waktu terjadinya. Dengan karakteristik demikian maka risiko
26
bencana semakin layak menjadi obyek pertanggungan.
Dalam hubungan asuransi bencana, subrogasi atau
pelaksanaan hak penanggung untuk memperoleh penggantian biaya yang telah
dikeluarkan dari pihak yang menyebabkan terjadinya kerugian menemui
hambatan pokok sehubungan dengan faktor penyebab bencana yang tidak
menunjukkan kualitas sebagai subyek hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini dapat diketahui dari paradigma-paradigma
KeTuhanan, Alamiah, Kerentanan Sosial dan paradigma perubahan yang sama
sekali tidak menjelaskan bahwa faktor-faktor penyebab bencana merupakan
pihak yang bertanggungjawab atas kerugian. Namun demikian subrogasi
masih tetap mengandung relevansi dengan asuransi bencana terutama untuk
risiko bencana yang merupakan bencana non-alam. Dalam jenis bencana yang
disebutkan terakhir ini dapat diidentifikasi adanya peran aktif atau setidak-
tidaknya campur tangan subyek hukum baik orang maupun badan hukum
yang dapat dipertanggungjawabkan atau memiliki legal standing yang
sempurna dalam lalu lintas hukum. Terdapat beberapa bencana non-alam yang
terjadi baik di luar negeri mau pun di Indonesia yang memperlihatkan bahwa
terhadap kerugian yang ditimbulkannya dibebankan kepada subyek hukum.
2. Saran-saran
- mengingat recovery dampak bencana membutuhkan biaya yang sangat
tinggi, maka kesadaran masyarakat untuk turut berpatisipasi baik dalam
mitigasi maupun reduksi dan pemulihan sangat perlu ditingkatkan antara
lain melalui program ko-dependensi.
- Salah satu bentuk partisipasi yang sangat diharapkan adalah kesiapan
masyarakat bisnis menyelenggarakan asuransi bencana. Kalangan yang
memiliki potensi mengelola investasi keuangan dapat mendirikan
perusahaan asuransi bencana dan masyarakat bisnis memantapkan
kesediaannya untuk mempertanggungkan entitas bisnis dalam perjanjian
asuransi bencana.
27
- Perusahaan asuransi bencana tidak perlu mengkhawatirkan kondisi
kawasan yang yang sering dilanda bencana berarti sering pula membayar
klaim, karena selain adanya perusahaan Reasuransi yang siap menerima
peralihan risiko, dalam asuransi bencana terutama yang non-alam juga
masih dimungkinkan diterapkannya prinsip subrogasi yang dapat
difungsikan untuk memperoleh penggantian klaim yang telah dikeluarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell, 1979. Black”s Law Dictionary. West Publishing Co., St.
Paul Minn.
H.M.N. Purwosutjipto, 1983. Pengertian Pokok Hukum Dagang. Hukum
Pertanggungan. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Martin, Elizabeth A. 1997, Oxford Dictionary of Law. Oxford University Press.
Oxford, New York.
Lauta, Kristian Cedervall, 2015, Disaster Law. Routledge, Abingdon, Oxon.
Putu Sudarma Sumadi, 2019. Hukum Bencana Dan Bencana Hukum. Zifatama,
Surabaya.
Sudikno Mertokusumo, 1987. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Penerbit
Liberty, Yogyakarta.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Di Indonesia, PT. Pembimbing Masa,
Jakarta, 1979,
Internet
2012, BNPB: 240 Kabupaten/Kota Rawan Banjir dan Longsor. https://voaindonesia.com
28
Dimas Jarot Bayu, 2018. Erupsi Gunung Agung Sebabkan Kerugian Hingga Rp
19 Triliun. https://katadata.co.id/berita/2018/01/09/erupsi-gunung-agung-sebabkan-
kerugian-hingga-rp-19-triliumedia.
Gertisser, Ralf Katie Preece, Sylvain Charbonnier, 2018, Gunung Api Indonesia
ada di Daftar yang dipantau ilmuwan dunia. https://theconservation.com
https://finansial.bisnis.com/read/20190110/215/877474/total-klaim-asuransi-
bencana-indonesia-re-rp284-miliar
Sri Dhammananda Maha Nayaka Thera, 2005, The Anatomy of Disaster. The
Buddhis Channel. https://www.buddhistchannel.tv.24-2-2005.
KATA PENGANTAR
Tidak ada yang dapat diungkapkan selain ekspresi perasaan yang penuh
santtuthi (sukacita) karena akhirnya Laporan Penelitian yang berjudul “Kedudukan
Hukum Disaster Insurance Company Dalam Rangka Mitigasi Dan Reduksi Bencana”
dapat dirampungkan tepat pada waktunya. Akan tetapi seperti biasanya dan sudah tentu
dengan berbagai kekurangan yang menyertainya.
Penelitian ini berusaha semaksimalnya mencari penjelasan atas
permasalahan pokok pertama apakah risiko bencana seperti rasa aman yang terancam,
mengungsi, dan terganggunya kegiatan dalam masyarakat dapat dipertanggungkan.
Kedua apakah prinsip subrogasi dapat diterapkan dalam perjanjian asuransi bencana.
Penjelasan tersebut sangat bermanfaat untuk menumbuhkembangkan kesadaran
berasuransi. Terbatasnya waktu yang dapat dialokasikan untuk
melaksanakan penelitian ini secara mandiri dan terutama kemampuan dalam hal
pemahaman merupakan faktor-faktor yang menyebabkan kualitas laporan penelitian ini
kurang memadai. Kendala ini masih harus ditambah lagi dengan kesulitan memperoleh
29
data. Akan tetapi hal ini kiranya dapat maklumi mengingat pengerjaannya yang dilakukan
dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kewajiban tulis-menulis yang lainnya.
Seperti sudah dikemukakan, penelitian ini
masih jauh dari sempurna. Ragam dan jumlah materi berupa peristiwa dan/atau hubungan
yang mengandung unsur perjanjian asuransi bencana yang berhasil dikumpulkan masih
sangat terbatas. Untuk itu setiap sumbang saran yang dapat melengkapi materi yang
sudah ada sangatlah diharapkan. Akhir kata disampaikan permohonan maaf atas segala
kekurangan dan terimakasih atas segala bantuan hingga rampungnya laporan ini.
Denpasar, 18 Juli 2019
Peneliti,
Putu Sudarma Sumadi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
RINGKASAN……………………………………………………… 1
BAB I PENDAHULUAN………………………………………… 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………… 6
BAB III METODE PENELITIAN………………………………… 13
30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………………………….. 15
BAB V PENUTUP……………………………………………….. 25
DAFTAR PUSTAKA
KEDUDUKAN HUKUM DISASTER INSURANCE COMPANY
DALAM RANGKA MITIGASI DAN REDUKSI
DAMPAK BENCANA
Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH. SU
31
NIDN 0019045603
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
Mei 2019 1. Judul Penenlitian : Kedudukan Hukum Disaster Insurance Company Dalam Rangka
Mitigasi Dan Reduksi Dampak Bencana
2. Ketua Peneliti
a. Nama lengkap : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH, SU
b. Jenis kelamin : laki-laki
c. NIP/NIDN : 195604191983031003/0019045603
d. Jabatan struktural :
e. Jabatan fungsional: Guru Besar
f. Fakultas : Hukum
g. Pusat Penelitian : Unit Penelitian dan Pengabdian Fakultas Hukum Unud
h. Alamat : Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah, Denpasar
i. Telpon : (0361) 222666
j. Alamat rumah : Jl. Gatot Subroto I/XXIII No. 23 Denpasar 80239
3. Jumlah anggota peneliti : 1 (satu) orang
4. Pembiayaan : Mandiri
Denpasar, 18 Juli 2019
Mengetahui, Ketua Peneliti,
Ketua Bagian
32
( Dr. I Made Sarjana, SH.,MH.) (Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi,
SH,SU)
NIP . 196112311986011001 NIP. 195604191983031003
Mengetahui
Dekan
Fakultas Hukum
Universitas Udayana
( Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.)
NIP. 196502211990031005
Newswire - Bisnis.com 10 Januari 2019 | 19:53 WIB
33
34