sken 2 emergency
Post on 25-Oct-2015
44 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SKENARIO 2
TRAUMA PELVIS
Seorang laki-laki dewasa mengalami kecelakaan lalu-lintas terjatuh dari sepeda motor menabrak
pohon dengan riwayat kehilangan kesadaran (+) dan daerah selangkangannya terkena stang
motor lalu dibawa berobat ke UGD RSUD. Oleh dokter yang memeriksanya didapatkan :
A,B,C : baik, GCS : 15 St.lokalis : Regio Orbita Dextra :
Inspeksi : Visus 1/60 dan tak terkoreksi ; Hematoma palpebra ;
Conjunctiva bulbi : injeksi siliaris (+), oedem kornea, darah di COA/BMD
Pupil : bulat, reflex cahaya (+)
Fundus : sulit di evaluasi
TIO : normal per palpasi
Regio pelvis :
Inspeksi : jejas di daerah suprapubic, bulging (+), hematoma
Penis dan scrotum : ada bercak darah di osteum urethra externum yang sudah
mongering.
Palpasi : kistik, nyeri tekan daerah suprapubik.
1
Learning objective
1. Memahami dan menjelaskan kasus kegawatdaruratan pada mata
Klasifikasi
Pathogenesis
Diagnosis
Penatalaksanaan
Pencegahan
Prognosis
2. Memahami dan menjelaskan kasus kegawatdaruratan trauma pada pelvis
Klasifikasi
Pathogenesis
Diagnosis
Penatalaksanaan
Pencegahan
Prognosis
3. Memahami dan menjelaskan penilaian gangguan kesadaran
Definisi
Organ yang mengatur kesadaran
Mekanisme pengatur kesadaran
Penilaian kesadaran
2
Memahami dan menjelaskan kegawat daruratan pada mata
1. Definisi
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata.
Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi.
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan
bahkan kehilangan mata. Pada mata dapat terjadi trauma dalam bentuk-bentuk berikut:
1. Trauma tumpul
2. Trauma tembus bola mata
3. Trauma kimia
Bentuk kelainan pada mata yang terkena trauma (trauma oculi) bisa hanya berupa
kelainan ringan saja sampai kebutaan. Kelainan yang diakibatkan oleh trauma mata
sesuai dengan berat ringannya serta jenis trauma itu sendiri yang dapat menyerang semua
organ struktural mata sehingga menyebabkan gangguan fisiologis yang reversibel
ataupun non-ireversibel. Trauma oculi dapat menyebabkan perdarahan, adanya laserasi,
perforasi, masuknya benda asing ke dalam bola mata, kelumpuhan saraf, ataukah atrofi
dari struktur jaringan bola mata.
Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah atau menjadi
gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat mengenai jaringan mata: kelopak,
konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita.
2. Klasifikasi dan patogenesis
A. Tauma tumpul yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu:
1. Hematoma Palpebra
Adanya hematoma pada satu mata merupakan keadaan yang ringan, tetapi bila terjadi
pada kedua mata, hati-hati kemungkinan adanya fraktur basis kranii.
3
2. Hifema
Perdarahan dalam kamera okuli anterior, yang berasal dari pembuluh darah iris atau
korpus siliaris, biasanya di sertai odema kornea dan endapan di bawah kornea, hal ini
merupakan suatu keadaan yang serius.
Pembagian hifema:
a. Hifema primer, timbul segera oleh karena adanya trauma.
b. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma. Hifema ringan
tidak mengganggu visus, tetapi apabila sangat hebat akan mempengaruhi visus karena
adanya peningkatan tekanan intra okuler.
Edward Layden:
1. Hyphaema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata.
2. Hyphaema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata.
3. Hyphaema tingkat III bila perdarahan lebih dari ½ bilik depan mata.
Gambar tingkatan grade hifema
Rakusin membaginya menurut:
1. Hyphaema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata.
2. Hyphaema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata.
3. Hyphaema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata.
4. Hyphaema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata.
Hifema paling banyak memenuhi kurang dari 1/3 bilik mata depan.
4
Komplikasi hifema:
a. Galukoma sekunder, di sebabkan oleh adanya penyumbatan oleh darah pada sudut
kamera okuli anterior.
b. Imhibisi kornea, yaitu masuknya darah yang terurai ke dalam lamel-lamel kornea,
sehingga kornea menjadi berwarna kuning tengguli dan visus sangat menurun.
3. Galaukoma
Di sebabkan oleh karena robekan trabekulum pada sudut kamera okuli anterior, yang
di sebut “traumatic angle” yang menyebabkan gangguan aliran akquos humour.
4. Iridoparese atau irodoplegia
Adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga terjadi midriasis.
5. Iridodialisis
Ialah iris yang pada suatu tempat lepas dari pangkalnya, pupil menjadi tdak bula dan di
sebut dengan pseudopupil.
6. Perdarahan pada badan vitreum
Perdarahan yang terjadi berasal dari korpus siliare, karena banyak terdapat eritrosit
pada korpus siliare, visus akan sangat menurun.
7. Prolaps Iris
Prolaps iris dapat terjadi saat perforasi kornea akibat beberapa sebab, yaitu setelah
trauma, setelah operasi, akibat perforasi ulkus kornea atau corneal melt. Prolaps iris
merupakan kondisi serius yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan infeksi dan
hilangnya bola mata. Jika prolaps iris itu tereksposur,seperti pada laserasi kornea,
tindakan bedah segera diperlukan, karena infeksi dapat menyebar melalui iris menuju
bola mata. Jika prolaps iris tertutupi oleh konjungtiva, misal pada luka post operasi,
maka intervensi bedah segera tidak terlalu diperlukan.Iris merupakan jaringan yang
sensitif pada mata. Jika terjadi prolaps iris maka pasien sering mengeluhkan nyeri. Iris
dapat mengalami prolaps setelah operasi (operasi katarak, transplantasi kornea),
trauma (laserasi kornea, laserasi sklera), akibat perforasi ulkus kornea dan corneal
melt yang berhubungan dengan rheumatoid arthritis. Pada prolaps iris perifer, iris
akan tampak seperti lempengan jaringan berwarna, akibat sinekia parsial perifer
(gambar 1). Saat prolaps terjadi di sentral maka seluruh tepi pupil akan prolaps
5
sehingga terjadi sinekia anterior total. Pada pasien dengan perforasi kornea, prolaps
iris akan tereksposur. Tampilan iris dapat bermacam-macam tergantung dari lamanya
prolaps. Pada prolaps iris yang baru saja terjadi iris masih viable, namun seiring
berjalannya waktu iris akan mengering dan akan menjadi non viable. Saat prolaps iris
telah keluar dari luka pada sklera maka akan tampak seperti massa berwarna yang
terletak dibawah konjungtiva. Pada kasus ini iris akan tetap viable dalam waktu yang
lama.
Gambar 1. Prolaps iris
Dikutip dari kepustakaan 6 Schlote T. Pocket Atlas of Ophthalmology. Stuttgart.
Georg Thieme Verlag.
2006.125
8. Iridodialisis
Iridodialisis adalah keadaan dimana iris terlepas dari pangkalnya sehingga bentuk
pupil tidak bulat dan pada pangkal iris terdapat lubang. Saat mata kita berkontak
dengan benda asing, maka mata akan bereaksi dengan menutup kelopak mata dan mata
memutar ke atas. Ini alasannya mengapa titik cedera yang paling sering terjadi adalah
pada temporal bawah pada mata. Pada daerah inilah iris sering terlihat seperti
peripheral iris tears (iridodialisis). Saat mata tertekan maka iris perifer akan robek
pada akarnya dan meninggalkan crescentic gap yang berwarna hitam tetapi reflek
fundus masih dapat diobservasi
Gambar 2. Iridodialisis
6
Hal ini mudah terjadi karena bagian iris yang berdekatan dengan badan silier gampang
robek. Lubang pupil pada pangkal iris tersebut merupakan lubang permanen karena
iris tidak mempunyai kemampuan regenerasi.Trauma tumpul dapat mengakibatkan
robekan pada pangkal iris sehingga bentuk pupil menjadi berubah. Perubahan bentuk
pupil maupun perubahan ukuran pupil akibat trauma tumpul tidak banyak
mengganggu tajam penglihatan penderita. Pasien akan melihat ganda dengan satu
matanya. Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi
bersama-sama dengan terbentuknya hifema. Bila keluhan demikian maka pada pasien
sebaiknya dilakukan pembedahan dengan melakukan reposisi pangkal iris yang
terlepas.
9. Ruptur Sklera
Ruptur sklera paling sering mengenai lapisan sklera paling tipis yaitu pada insersi otot
ekstra okular (rektus), limbus dan daerah sekitar N.II. Biasa ditandai dengan
perdarahan periokuler dan intraokuler, ketajaman penglihatan sama atau kurang dari
kemampuan melihat lambaian tangan, tekanan intraokuler < 5 mmHg, kedalaman
COA asimetris dan atau kesulitan menilai fundus, pada pemeriksaan slit lamp
biomicroscopy tampak kekeruhan vitreus pada sisi yang ruptur dan pada pemeriksaan
tambahan dengan Echography akan tampak vitreus yang inkarserata, penebalan atau
pelepasan retina, kontur sklera yang irreguler, penurunan reflex sklera, perdarahan
episkleral. Perbaikan terhadap ruptur sklera harus segera dilakukan begitu ditemukan
dengan menjahit sklera. Kemungkinan untuk mengembalikan penglihatan sangat
kurang pada ruptur sklera posterior yang luas, tetapi dengan instrumentasi bedah dan
7
pemahaman patofisiologi yang lebih baik, memungkinkan untuk mempertahankan
penglihatan pada derajat tertentu.
10. Katarak Traumatik
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat
sesudah beberapa hari ataupun tahun. Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh
cedera benda asing di lensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Tembakan sering
merupakan penyebab, sedangkan penyebab yang lebih jarang adalah anak panah, batu,
pajanan berlebih terhadap panas, sinar X, dan bahan radioaktif. Pasien mengeluhkan
penglihatan kabur secara mendadak. Mata menjadi merah, lensa opak, dan mungkin
terjadi perdarahan intraokuler. Apabila humour aqueus dan korpus vitreum keluar dari
mata, mata menjadi sangat lunak. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak
subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti
bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin
Vossius.Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil
akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan
terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya
katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata
depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan bercampur
makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis
fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks
lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai cincin Soemering atau
bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elsching. Pengobatan pada
katarak traumatik adalah dengan memberikan antibiotik
sistemik dan topikal serta kortikosteroid topikal dalam beberapa hari untuk
memperkecil kemungkinan uveitis. Atropin sulfat 1% sebanyak satu tetes tiga kali
dalam sehari dianjurkan untuk menjaga pupil tetap berdilatasi dan untuk mencegah
pembentukan sinekia posterior.9
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
8
ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Pada
katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata
menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain sebagainya
maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai
pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada
pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai
perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa.
B. Trauma tembus bola mata
Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan berbagai keadaan seperti berikut :
a. Trauma tembus pada palpebra
Mengenai sebagian atau seluruhnya, jika mengenai levator apaneurosis dapat
menyebabkan suatu ptosis yang permanen
Gambar. 3 Laserasi palpebra
b. Trauma tembus pada saluran lakrimalis
Dapat merusak sistem pengaliran air mata dari pungtum lakrimalis sampai ke rongga
hidung. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan air mata
c. Trauma tembus pada Orbita
9
Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf optik,
menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga menimbulkan paralisis
dari otot dan diplopia. Selain itu juga bisa menyebabkan infeksi, menimbulkan selulitis
orbita, karena adanya benda asing atau adanya hubungan terbuka dengan rongga-
rongga di sekitar orbita.
Gambar. 4 Trauma tembus orbita
d. Trauma tembus pada Kongjungtiva
Trauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva. Bila robekan konjungtiva ini
kecil atau tidak melebihi 1 cm, maka tidak perlu dilakukan penjahitan. Bila robekan
lebih dari 1 cm perlu dilakukan penjahitan untuk mencegah granuloma. Pada setiap
robekan conjungtiva perlu diperhatikan juga robekan sklera yang biasa disertai
robekan konjungtiva. Disamping itu, pemberian antibiotik juga perlu diberikan untuk
mencegah infeksi sekunder
10
Gambar. 5 Trauma tembus subkunjungtiva
e. Trauma tembus pada Sklera
Bila ada luka tembus pada sklera dapat menyebabkan penurunan tekanan bola mata
dan kamera okuli jadi dangkal, luka sklera yang lebar dapat disertai prolap jaringan
bola mata, sehingga bisa menyebabkan infeksi dari bagian dalam bola mata
f. Trauma tembus pada Kornea
Bila luka tembus mengenai kornea dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan
karena fungsi kornea sebagai media refraksi. Bisa juga trauma tembus kornea
menyebabkan iris prolaps, korpus vitreum dan korpus ciliaris prolaps, hal ini dapat
menurunkan visus.
Bila tanpa perforasi : erosi atau benda asing tersangkut di kornea. Tes fluoresia (+).
Jaga jangan sampai terkena infeksi, sehingga menyebabkan timbulnya ulkus atau
herpes pada kornea. Lakukan pemberian antibiotika atau kemoterapeutika yang
berspektrum luas, lokal dan sistemik. Benda asing di kornea diangkat, setelah diberi
anastesi lokal dengan pantokain. Kalau mulai ada neovaskularisasi dari limbus,
berikanlah kortison lokal atau subkonjungtiva. Tetapi jangan diberikan kortison pada
luka yang baru atau bila ada herpes kornea.
Bila ada perforasi : bila luka kecil, lepaskan konjungtiva di limbus yang berdekatan,
kemudian ditarik supaya menutupi luka kornea tersebut (flap konjungtiva). Bila luka
di kornea luas, maka luka itu harus dijahit. Kemudian ditutup dengan flap konjingtiva.
Jika luka di kornea itu disertai prolaps iris, iris yang keluar harus dipotong dan sisanya
di repossisi, robekan di kornea dijahit dan ditutup dengan flap konjungtiva. Kalau luka
telah berlangsung beberapa jam, sebaiknya bilik mata depan dibilas terlebih dahulu
dengan larutan penisilin 10.000 U/cc, sebelum kornea dijahit. Sesudah selesai
seluruhnya, berikan antibiotika dengan spektrum luas dan sistemik, juga
subkonjungtiva.
11
Gambar .6 Laserasi kornea
g. Trauma tembus pada Uvea
Bila terdapat luka pada uvea maka dapat menyebabkan pengaturan banyaknya cahaya
yang masuk sehingga muncul fotofobia atau penglihatan kabur.
h. Trauma tembus pada Lensa
Bila ada trauma akan mengganggu daya fokus sinar pada retina sehingga menurunkan
daya refraksi dan sefris sebagai penglihatan menurun karena daya akomodasi tidak
adekuat
i. Trauma tembus pada Retina
Dapat menyebabkan perdarahan retina yang dapat menumpuk pada rongga badan
kaca, hal ini dapat muncul fotopsia dan ada benda melayang dalam badan kaca.
j. Trauma tembus pada corpus siliar
Luka pada corpus siliar mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan besar
dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis yang berakhir dengan ptisis bulbi
pada mata yang terkena trauma. Sedangkan pada mata yang sehat dapat timbul
oftalmia simpatika. Oleh karena itu, bila lukanya besar, disertai prolaps dari isi bola
mata, sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi,
supaya mata yang sehat tetap menjadi baik.
Patogenesis
Benda asing dengan kecepatan tinggi (trauma karena suatu ledakan) akan menembus
seluruh lapisan sclera atau cornea serta jaringan lain dalam bulbus oculi sampai ke
12
segmen posterior kemudian bersarang didalamnya bahkan dapat mengenai os orbita.
Dalam hal ini akan ditemukan suatu luka terbuka dan biasanya terjadi prolaps
(lepasnya) iris, lens, ataupun corpus vitreus. Perdarahan intraocular dapat terjadi
apabila trauma mengenai jaringan uvea, berupa hifema atau henophthalmia.
Trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata,
maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti tajam penglihatan yang
menurun, laserasi kornea, tekanan bola mata rendah, bilik mata dangkal, bentuk dan
letak pupil yang berubah, terlihat ruptur pada kornea atau sklera, terdapat jaringan
yang prolaps seperti cairan mata, iris, lensa, badan kaca, atau retina, katarak traumatik,
dan konjungtiva kemosis.
Pada perdarahan yang hebat, palpebra menjadi bengkak, berwarna kebiru-biruan,
karena jaringan ikat palpebra halus. Ekimosis yang tampak setelah trauma
menunjukkan bahwa traumanya kuat, sehingga harus dilakukan pemeriksaan dari
bagian-bagian yang lebih dalam dari mata, juga perlu dibuat foto rontgen kepala.
Perdarahan yang timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktur dari dasar
tengkorak. Sebagian besar cedera tembus menyebabkan penurunan penglihatan yang
mencolok, tetapi cedera akibat partikel kecil berkecepatan tinggi yang dihasilkan oleh
tindakan menggerinda atau memalu mungkin hanya menimbulkan nyeri ringan dan
kekaburan penglihatan. Tanda-tanda lainnya adalah kemosis hemoragik, laserasi
konjungtiva, kamera anterior yang dangkal dengan atau tanpa dilatasi pupil yang
eksentrik, hifema, atau perdarahan korpus vitreus. Tekanan intraokuler mungkin
rendah, normal, atau yang jarang sedikit meninggi.
13
Gambar. Lokasi cedera mata; tampak depan
Gambar. Lokasi cedera mata; tampak samping
14
C. Trauma asam
Etiologi
Bahan kimia asam yang sering menyebabkan trauma kimia asam pada mata antara lain :
asam sulfat, sulfurous acid, asam hidroklorida, asam nitrat, asam asetat, asam kromat,dan
asam hidroflorida. Akibat ledakan baterai mobil, yang menyebabkan luka bakar asam
sulfat, mungkin merupakan penyebab tersering dari luka bakar kimiawi pada mata. Asam
Hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan penghilang karat, pengkilap
aluminum, dan cairan pembersih yang kuat.
Patogenesis
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata dan termasuk
kegawatdaruratan mata yang disebabkan zat kimia bersifat asam dengan pH < 7.
Beberapa zat asam yang sering mengenai mata adalah asam sulfat, asam asetat,
hidroflorida, dan asam klorida. Jika mata terkena zat kimia bersifat asam maka akan
terlihat iritasi berat yang sebenarnya akibat akhirnya tidak berat. Asam akan
menyebabkan koagulasi protein plasma. Dengan adanya koagulasi protein ini
menimbulkan keuntungan bagi mata, yaitu sebagai barrier yang cenderung membatasi
penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan basa yang mampu
menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan lebih jauh. Selain
keuntungan, koagulasi juga menyebabkan kerusakan konjungtiva dan kornea. Dalam
masa penyembuhan setelah terkena zat kimia asam akan terjadi perlekatan antara
konjugtiva bulbi dengan konjungtiva tarsal yang disebut simblefaron.
Asam dipisahkan dalam dua mekanisme, yaitu ion hidrogen dan anion dalam
kornea. Molekul hidrogen merusak permukaan okular dengan mengubah pH, sementara
anion merusak dengan cara denaturasi protein, presipitasi dan koagulasi. Koagulasi
protein umumnya mencegah penetrasi yang lebih lanjut dari zat asam, dan menyebabkan
tampilan ground glass dari stroma korneal yang mengikuti trauma akibat asam. Sehingga
trauma pada mata yang disebabkan oleh zat kimia asam cenderung lebih ringan daripada
trauma yang diakibatkan oleh zat kimia basa (Randleman & Bansal, 2009). Asam
hidrofluorik adalah satu pengecualian. Asam lemah ini secara cepat melewati membran
sel, seperti alkali. Ion fluoride dilepaskan ke dalam sel, dan memungkinkan menghambat
15
enzim glikolitik dan bergabung dengan kalsium dan magnesium membentuk insoluble
complexes. Nyeri local yang ekstrim bisa terjadi sebagai hasil dari immobilisasi ion
kalsium, yang berujung pada stimulasi saraf dengan pemindahan ion potassium.
Fluorinosis akut bisa terjadi ketika ion fluoride memasuki sistem sirkulasi, dan
memberikan gambaran gejala pada jantung, pernafasan, gastrointestinal, dan neurologic.
Bahan kimia asam yang mengenai jaringan akan mengadakan denaturasi dan
presipitasi dengan jaringan protein disekitarnya, karena adanya daya buffer dari jaringan
terhadap bahan asam serta adanya presipitasi protein maka kerusakannya cenderung
terlokalisir. Bahan asam yang mengenai kornea juga mengadakan presipitasi sehingga
terjadi koagulasi, kadang – kadang seluruh epitel kornea terlepas. Bahan asam tidak
menyebabkan hilangnya bahan proteoglikan di kornea. Bila trauma diakibatkan asam
keras maka reaksinya mirip dengan trauma basa.
Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi koagulasi protein epitel
kornea yang mengakibatkan kekeruhan pada kornea, sehingga bila konsentrasi tidak
tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali biasanya kerusakan hanya
pada bagian superfisial saja. Koagulasi protein ini terbatas pada daerah kontak bahan
asam dengan jaringan. Koagulasi protein ini dapat mengenai jaringan yang lebih dalam.
Gambar 1 Trauma pada Mata Akibat Bahan Kimia Asam
16
D. Trauma basa
Patogenesis
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan iritasi ringan pada mata
apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada bagian dalam mata, trauma basa ini
mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan menembus kornea, camera oculi
anterior, dan sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir dengan kebutaan. Pada
trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa
bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai dengan dehidrasi. Trauma
basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua
sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi sel membran
dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina.
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan.
Pada pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan persabunan disertai dengan disosiasi
asam lemak membrane sel. Akibat persabunan membrane sel akan mempermudah
penetrasi lebih lanjut dari pada alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan
menghilang dan terjadi penggumapalan sel kornea atau keratosis. Serat kolagen kornea
akan bengkak dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea akan terdapat serbukan
sel polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini cenderung disertai dengan
masuknya pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Akibat membrane sel basal epitel
kornea rusak akan memudahkan sel epitel diatasnya lepas. Sel epitel yang baru terbentuk
akan berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui plasminogen activator.
Bersamaan dengan dilepaskan plasminogen aktivatir dilepas juga kolagenase yang akan
merusak kolagen kornea. Akibatnya akan terjadi gangguan penyembuhan empitel yang
berkelanjutan dengan tukak kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini
mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma dan puncaknya terdapat pada hari ke 12-21.
Biasanya tukak pada kornea mulai terbentuk 2 minggu setelah trauma kimia.
Pembentukan tukak berhenti hanya bila terjadi epitelisasi lengkap atau vaskularisasi telah
menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke dalam bilik mata depan maka
akan terjadi gangguan fungsi badan siliar. Cairan mata susunannya akan berubah, yaitu
17
terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang. Kedua unsur ini memegang peranan
penting dalam pembentukan jaringan kornea.
Gambar 2 Kekeruhan Kornea Akibat Trauma Basa.11
Gambar 3 Gambaran “Cooked fish eye” Akibat Trauma Alkali. 12
Gambar 4 Kornea Menjadi Keruh Akibat Trauma Alkali.
18
Klasifikasi
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi:
Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi dengan
garam fisiologik selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit
60 menit setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk
mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma basa, diperlukan untuk
menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh. Penyulit yang dapat
terjadi adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema, dan neovaskularisasi
kornea, katarak, disertai dengan ptisis bola mata.
Manifestasi Klinis
1. Kelopak Mata :
a. Trauma alkali akan membentuk jaringan parut pada kelopak.
b. Margo palpebra rusak sehingga mengakibatkan gangguan ada break up time air
mata.
c. Lapisan air pada depan kornea atau tear film menjadi tidak normal.
d. Terjadinya pembentukan jaringan parut pada kelenjar asesori air mata yang
mengakibatkan mata menjadi kering.
2. Konjungtiva :
a. Terjadi kerusakan pada sel goblet.
b. Sekresi musin konjungtiva bulbi berkurang daya basahnya pada setiap kedipan
kelopak. Dapat terjadi simblefaron pada konjungtiva bulbi yang akan menarik
bola mata sehingga pergerakan mata menjadi terbatas.
c. Konjungtiva chemosis
d. Akibat terjadinya simblefaron penyebaran air mata menjadi tidak merata.
e. Terjadi pelepasan kronik daripada epitel kornea.19
f. Terjadi keratinisasi (pertandukan) epitel kornea akibat berkurangnya mucin.
3. Lensa :
Lensa keruh diakibatkan kerusakan kapsul lensa.
3. Diagnosis dan penatalaksanaan
ANAMNESA
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma,
benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang
mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang
mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan lain.
Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan penglihatan itu
terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan terjadinya trauma.
Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan apakah sudah dapat
pertolongan sebelumnya.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua
titik dan defek pupil aferen.
2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk mencari
defek pada tepi tulang orbita.
3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi
4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak
5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan
6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata yang
lain)
7. Oftalmoskop: menilai lensa, korpus vitreus, diskus optikus dan retina.
20
Pemeriksaan paska-cedera bertujuan menilai ketajaman visus dan sebagai prosedur
diagnostik, antara lain:
1. Kartu mata snellen (tes ketajaman pengelihatan) : mungkin terganggu akibat
kerusakan kornea, aqueus humor, iris dan retina.
2. Lapang penglihatan : penurunan mungkin disebabkan oleh patologi vaskuler okuler,
glukoma.
3. Pengukuran tonografi : mengkaji tekanan intra okuler ( TIO ) normal 12-25 mmHg.
4. Tes provokatif : digunakan untuk menentukan adanya glukoma bila TIO normal atau
meningkat ringan.
5. Pemerikasaan oftalmoskopi dan teknik imaging lainnya (USG, CT-scan, x-ray):
mengkaji struktur internal okuler, edema retine, bentuk pupil dan kornea.
6. Darah lengkap, laju sedimentasi LED : menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
Tes toleransi glokosa : menentukan adanya /kontrol diabetes.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radilogi
Pemeriksaan radiologi pada trauma mata sangat membantu dalam menegakkan
diagnosis, terutama bila ada benda asing. Pemeriksaan USG dilakukan untuk
menentukan letaknya.
2. Pemeriksaan CT Scan
a. Penatalaksanaan Trauma Tumpul Bola Mata
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas adanya
ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat
anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan sikloplegik atau antibiotik
topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan meningkat pada jaringan intraokular
yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan secara parenteral spektrum luas. Analgetik,
aneiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan, dengan restriksi makan
dan minum. Induksi anestesi umum harus menghindari substansi yang dapat menghambat
21
depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola
mata, sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular.
Kelainan pada palpebra dan konjungtiva akibat trauma tumpul, seperti edema dan
perdarahan tidak memerlukan terapi khusus, karena akan menghilang sendiri dalam
beberapa jam sampai hari. Kompres dingin dapat membantu mengurangi edema dan
menghilangkan nyeri, dilanjutkan dengan kompres hangat pada periode selanjutnya untuk
mempercepat penyerapan darah.
b. Penanganan hifema, yaitu :
1. Pasien tetap istirahat ditempat tidur (4-7 hari ) sampai hifema diserap.
2. Diberi tetes mata antibiotika pada mata yang sakit dan diberi bebat tekan.
3. Pasien tidur dengan posisi kepala miring 60º diberi koagulasi.
4. Kenaikan TIO diobati dengan penghambat anhidrase karbonat. (asetasolamida).
5. Di beri tetes mata steroid dan siklopegik selama 5 hari.
6. Pada anak-anak yang gelisah diberi obat penenang
7. Parasentesis tindakan atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan bila
ada tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam
atau bila setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema akan berkurang.
8. Asam aminokaproat oral untuk antifibrinolitik.
9. Evakuasi bedah jika TIO lebih 35 mmHg selama 7 hari atau lebih 50 mmH selama 5
hari.
10. Vitrektomi dilakukan bila terdapat bekuan sentral dan lavase kamar anterior.
11. Viskoelastik dilakukan dengan membuat insisi pada bagian limbus.
Pada fraktur orbita, tindakan bedah diindikasikan bila:
- Diplopia persisten dalam 30 derajat dari posisi primer pandangan, apabila terjadi
penjepitan
- Enoftalmos 2 mm atau lebih
- Sebuah fraktur besar (setengah dari dasar orbita) yang kemungkinan besar akan
menyebabkan enoftalmos.
22
Penundaan pembedahan selama 1 – 2 minggu membantu menilai apakah diplopia dapat
menghilang sendiri tanpa intervensi. Penundaan lebih lama menurunkan kemungkinan
keberhasilan perbaikan enoftalmos dan strabismus karena adanya sikatrik. Perbaikan
secara bedah biasanya dilakukan melalui rute infrasiliaris atau transkonjungtiva.
Periorbita diinsisi dan diangkat untuk memperlihatkan tempat fraktur di dinding medial
dan dasar. Jaringan yang mengalami herniasi ditarik kembali ke dalam orbita, dan defek
ditutup dengan implan.
c. Penatalaksanaan trauma tembus
Diberikan antibiotik topical, mata ditutup, dan segera dikirim pada dokter mata untuk
dilakukan pembedahan. Diberikan antibiotik sistemik secara oral atau intravena, anti
tetanus profilaktik, analgesik, dan sedatif bila perlu. tidak boleh diberikan steroid local
dan bebat tidak boleh menekan bola mata. Pengeluaran benda asing sebaiknya dilakukan
di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai.
d. Penatalaksaan trauma asam
Penatalaksanaan yang tepat pada trauma kimia adalah irigasi dengan menggunakan salin
isotonic steril dan memeriksa pH permukaan mata dengan meletakkan seberkas kertas
indicator di forniks. Ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3-7,7. Trauma asam
pada dasarnya akan kembali normal, namun jika perlu dapat diberikan anastesitopikal,
penetralisir natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik
e. Penatalaksaan trauma basa
Penatalaksanaan yang dilakukan untuk menangani trauma basa pada mata adalah :
1. Bila terjadi trauma basa adalah secepatnya melakukan irigasi dengan garam fisiologik
selama mungkin. Irigasi dilakukan sampai pH menjadi normal, paling sedikit 2000 ml
selama 30 menit. Bila dilakukan irigasi lebih lama akan lebih baik.
2. Untuk mengetahui telah terjadi netralisasi basa dapat dilakukan pemeriksaan dengan
kertas lakmus. pH normal air mata 7,3.
3. Bila penyebabnya adalah CaOH, dapat diberi EDTA karena EDTA 0,05 dapat bereaksi
dengan CaOH yang melekat pada jaringan.
23
4. Pemberian antibiotika dan debridement untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
5. Pemeberian sikloplegik untuk mengistirahatkan iris mengatasi iritis dan sinekia
posterior.
6. Pemberian Anti glaukoma (beta blocker dan diamox) untuk mencegah terjadinya
glaucoma sekunder.
7. Pemberian Steroid secara berhati-hati karena steroid menghambat penyembuhan.
Steroid diberikan untuk menekan proses peradangan akibat denaturasi kimia dan
kerusakan jaringan kornea dan konjungtiva. Steroid topical ataupun sistemik dapat
diberikan pada 7 hari pertama pasca trauma. Diberikan Dexametason 0,1% setiap 2
jam. Steroid walaupun diberikan dalam dosis tinggi tidak mencegah terbentuknya
fibrin dan membrane siklitik.
8. Kolagenase inhibitor seperti sistein diberikan untuk menghalangi efek kolagenase.
Diberikan satu minggu sesudah trauma karena pada saat ini kolagenase mulai
terbentuk.
9. Pemberian Vitamin C untuk pembentukan jaringan kolagen.
10. Selanjutnya diberikan bebat (verban) pada mata, lensa kontak lembek dan artificial
tear (air mata buatan).
11. Operasi Keratoplasti dilakukan bila kekeruhan kornea sangat mengganggu
penglihatan.
4. Prognosis
Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya cedera makula,
robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular intravitreus.
Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi tersebut.
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior, maka pasien harus
tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5
hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder,
glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmentasi hemosiderin.
24
Memahami dan menjelaskan gawat darurat trauma pada pelvis
1. Definisi
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan
jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien
dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik,
yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari
cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien
dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35%
pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera
tersendiri. Daya yang sama yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering
dihubungkan dengan cedera abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan
terhadap cedera-cedera ini, 60-80% pasien dengan fraktur pelvis
berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan cedera muskuloskeletal,
12% berhubungan dengan cedera urogenital dan 8% berhubungan dengan
cedera pleksus lumbosacralis.
2. Pathogenesis
Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab
kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif
dari fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan
fraktur pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun
25
demikian, fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi
paling mencolok perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil
secara hemodinamik, terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol
perdarahan dari sumber lain gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus
dugaan perdarahan fraktur pelvis, stabilisasi pelvis sementara harus segera
terjadi selama evaluasi dan resusitasi awal. Stabilisasi sementara dapat
terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran sederhana yang dibungkuskan
dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan dengan pengapit kokoh.
Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan menilai pulsasi,
tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi ATLS dari American
College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan dengan syok
hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan
ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb).
Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS
Kelas Rata-rata Kehilangan Darah (mL)
Volume Darah (%)
Tanda dan Gejala Umum Kebutuhan Resusitasi
I < 750 < 15 Tidak ada perubahan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
Tidak ada
II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe; tekanan darah sistolik mungkin hanya menurun sedikit; sedikit pnoe; tekanan darah sistolik mungkin hanya menurun sedikit; pengurangan pengurangan output urin (20-30 mL/jam)
Biasanya larutan kristaloid tunggal, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi darah
III 1500 – 2000 30 – 40 Takikardi dan takipnoe yang jelas, ekstremitas dingin dengan pengisian-kembali kapiler terlambat secara signifikan,menurunnya tekanan darah sistolik, menurunnya
Seringnya membutuhkan transfusi darah
26
status mental, menurunnya output urin (5-15 mL/jam)
IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan darah sistolik yang menurun secara signifikan, kulit dingin dan pucat, mental status yang menurun dengan hebat, output urin yang tak berarti
Perdarahan yang membahayakan-jiwa membutuhkan transfusi segera
3. Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis
berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah
tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk
memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan
masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe
fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan
Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait
dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran
dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut
disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera yang
dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh tubrukan
anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera
“open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya
ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC
dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh
darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca
anterior.
27
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada
sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale,
serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi
pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif
luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi
fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis
mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi
fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan
terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah
menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan
mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana
meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah
berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210
pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan
transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan rata-
rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien dengan cedera
VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan transfusi rata-
rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka
mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan
pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera
pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan
kematian pada pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang
teridentifikasi paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera
kepala tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan
cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini
mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah
tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan
28
transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan
pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi
agar tidak menjadi perdarahan yang berat.
4. Diagnosis
Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan pada pasien
dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu, termasuk ahli bedah
umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah, seorang ahli intervensi
radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola gambaran cedera sehubungan
dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada evaluasi dan perawatan masalah
jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan manajemen syok hipovolemik adalah
wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan pernafasan.
Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult Respiratory
Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait dengan trauma
tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk kompromi hipovolemik,
septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan sistematik terhadap sumber
hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan penyebab tersering hipotensi pada
pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat menjadi hipotensif akibat kehilangan darah
terkait dengan satu lokasi perdarahan atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan.
Pemeriksaan fisik, radiografi dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan
dan beratnya kehilangan darah intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak
terlalu jelas pada pasien yang tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus
dikecualikan sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil
secara hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan
sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focused abdominal sonography for
trauma/FAST.
5. Penatalaksaan
Military Antishock Trousers
29
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan
kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui
tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan
untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk
membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan
mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu
dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis,
MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara
komersil.
Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada
awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi.
Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara
biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah
ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah
studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan
rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC
Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi
pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak
stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari
beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan
perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa
pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator
eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open
book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu
30
tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur
hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang
adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi
posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-
clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi
kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati
persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera
iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan
fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah
alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah
berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan
agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan
embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10%
pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki
Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain,
8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi.
Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis
kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari
46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil,
termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif
(58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas
hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan
31
arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses
menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk
menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena
harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan
kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada
dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus
kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa
tersedia
Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan
sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya,
semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh
frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan
untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi,
dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk
darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC
merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera.
Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus
diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas
PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini.
Memahami dan menjelaskan trauma buli-buli dan urethra 32
1. Definisi
Trauma buli- buli
Trauma buli-bulu atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat bedah yang
memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan segera dapat
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan sepsis. Secara
anatomic buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh tulang pelvis sehingga
jarang mengalami cedera.
Trauma uretra
Ruptur uretra adalah ruptur pada uretra yang terjadi langsung akibat trauma dan
kebanyakan disertai fraktur tulang panggul, khususnya os pubis (simpiolisis).
2. Manifestasi klinis dan diagnosis
Trauma buli- buli
Faktor Resiko:Trauma kandung kemih akibat trauma tumpul pada panggul, tetapi bisa
juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh senjata tajam, dan
cedera dari luar, cedera iatrogenik dan patah tulang panggul. Pecahan-pecahan tulang
panggul yang berasal dari fraktur dapat menusuk kandung kemih tetapi rupture kandung
kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul pada panggul atas kandung terisi penuh.
Tenaga mendadak atas massa urinaria yang terbendung di dalam kandung kemih yang
menyebabkan rupture. Perforasi iatrogen pada kandung kemih terdapat pada reseksi
transurethral sistoskopi atau manipulasi dengan peralatan pada kandung kemih
Manifestasi Klinik:
Nyeri supra pubik baik verbal maupun saat palpasi.
Hematuria.
Ketidakmampuan untuk buang air kecil.
Regiditas otot.
Ekstravasase urine.
Suhu tubuh meningkat.
Anemia atau Syok.
Tanda-tanda peritonitis
33
Pemeriksaan penunjang
Foto pelvis/ foto polos perut terdapat fraktur tulang pelvis
Trauma VU ditegakka dengan Sistogram: untuk mengetahui adanya ruptur VU dan
lokasi ( intra/ ekstra)
Cara: masukan kontras 300- 400 ml ke VU
Foto antero-posterior (AP)
Kosongkan VU kemudian bilas dan foto lagi
Dengan hasil:
a. Tidak ada ekstravasasi merupakan diagnosa dari kontusio buli-buli
b. Ekstravasasi seperti nyala api pada daerah perivesikal menunjukkan ruptur
ekstraperitoneal
c. Kontras masuk rongga abdomen menunjukkan ruptur intraperitoneal
Trauma Uretra
Faktor Resiko: Adanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna
maupun perineum
Manifestasi Klinik:
Ruptur uretra posterior: patah tulang pelvis
Hematom di daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah
Jejas dan nyeri tekan
Tanda rangsang peritoneum klo ruptur VU
Trias rupture uretra posterior: bloody discharge, retensi urin, floating prostat
Ruptur uretra anterior: hematom/ darah memar pada penis dan skrotum
Ruptur total: gak bisa BAK sejak trauma( raba VU penuh),
nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik
karena kateter: obstruksi oleh edema /bekuan darah
ekstravasasi urin dapat menambah atau mengurangi darah sehingga
dapat meluas juah trgantung fasia yang rusak dan timbul infiltrat:
infiltrat urin menimbulkan infeksi kemudian selulitis dan
septisemia
34
trias ruptur uretra anterior: bloody discharge, retensio urin, dan hematom/ jejas
peritoneal/ urin infiltrat
Pemeriksa penunjang
Colok dubur: prostat seperti mengapung karena tida terfiksasi lagi pada diagram
urogenital / tidak teraba sama sekali karen pindah ke kranial
Hati- hati karena fragmen tulang dapat mencederai rektum
Pemeriksaan radiologi: uretrogram retrogad untuk mengetahui letak/ tipe ruptur
Ruptur posterior curiga kalau ada darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang
pelvis
trauma uretra posterior: LAB: anemia, urin gak ada karena retensi
RADIO: fraktur pelvis
3. Patofisiologi
TRAUMA KANDUNG KEMIH
Vesika Urinaria terletak di dalam rongga pelvis, terlindung tulang pelvis jadi jarang
mengalami cedera. Saat vesika urinaria trauma sehingga tulang pelvis juga trauma.
Trauma pelvis adalah keadaan darurat bedah yang harus di tata laksana karena dapat
terjadi komplikasi peritonitis dan sepsis.
Kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja sehingga fragmen patah tulang pelvis
mencederai buli-buli atau ruptur.
Trauma tumpul dengan vesika urinaria penuh atau terdapat kelainan seperti
tuberkolosis, tumor/ obstruksi
Trauma tajam oleh luka tusuk/ tembak( jarang) dan luka melewati daerah
suprapubik ataupun transperineal
TRAUMA URETRA
35
Trauma uretra ada yang anterior letaknya di distal diafgram urogenital dan trauma uretra
posterior yang letaknya di proksimal
a. Ruptur uretra posterior (hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Fraktur tulang
pelvis dikarenakan robeknya pars membranasea (karena prostat dengan uretra
prostatika tertarik ke kranial bersama fragmen fraktur, sedang uretra
membranasea terikat di diafragma urogenital. Terdapat ruptur total dan Inkomplit,
Ruptur total: uretra terpisah seluruhnya dan ligamen puboprostatika robek
sehingga VU dan prostat lepas ke kranial.
b. Ruptur uretra anterior, akibat cedera kangkang, instrumentasi urologik cth:
pemasangan kateter, businasi, dan bedah endoskopi
Paling sering pada bulbosa sehingga disebut Straddle Injury ( terjadi robekan
uretra antara ramus infeksi os. Pubis dan benda- benda
4. Penatyalsanaan
TRAUMA KANDUNG KEMIH
Datang syok diberikan resusitasi cairan IV/ darah
Setelah sirkulasi stabil, lakukan reparasi VU dengan prinsip memulihkan ruptur VU:
a. Penyaliran ruang perivesikal
b. Pemulihan dinding, penyaliran VU, dan perivesikal
c. Jaminan arus urin melalui kateter
Operasi dikerjakan dengan insisi mediana suprapubik. Pada ruptur ekstraperitoneal,
setelah buli-buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritoneum
untuk memastikan adakh cairan berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi
rongga peritoneum lebih lanjut. Luka ditutup dengan meninggalkan sistosomi suprapubik
dan juga dipasang kateter uretra. Pada ruptur intraperitoneal operasi dilakukan dengan
langsung membuka peritoneum, dan repair buli-buli dilakukan dengan membuka buli-buli
Untuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya
cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari
kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-
uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut
36
bagian bawah (kateter suprapubik).
Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah kandung kemih
mengalami penyembuhan yang sempurna.
TRAUMA URETRA
RUP mengurangi cedera organ intraabdomen/organ lain dilakukan sistostomi
setelah 2-3 hari kemudian reparasi uretra dengan anastomosis ujung ke ujung dan
pemasangan kateter silikon 3 mg. (jika ada cedera organ lain, jangan dilakukan
reparasi 2-3 hari kemudian, tapi kateter langsir)
RUP total langsung pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui
sayatan perineal kemudian pasang kateter silikon 3mg
RUA ruptur parsial lakukan sistosomi dan pemasangan kateter foley di uretra 7-
10 hari sampai epitelisasi uretra yang cedera (cabut kateter sistosomi bila pasien
udah bisa BAK)
Jika penderita dapat kencing dengan mudah cukup observasi saja
Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan kateter
foley sampai buli-buli: hati-hati akan terjadinya kekeliruan yaitu kateter tergulung diantara
buli-buli dan diafragma urogenital setelah kateter masuk buli-buli, tinggalkan selama 14- 20
hari
Jika kateter gagal dipasang, lakukan pembedahan. Dalam keadaan darurat cukup dibuat
sistosomi untuk menjamin aliran urin.
Pasca bedah; buli-buli dibilas dengan larutan antiseptik (KMnO4 encer) setiap hari. Berikan
antibiotik dosis tinggi (PP 1,5 juta U/hari)
Setelah keadaan umum membaik, dapat dipikirkan untuk menyambung kembali uretranya
Setiap penderita dengan trauma uretra harus diperiksa atau diawasi secara teratur selama
sekurang-kurangnya 3-4 tahun untuk diagnosa dini striktur uretra
Memahami dan menjelaskan gangguan kesadaran
1. Definisi dan organ kesadaran37
Kesadaran yang utuh adalah suatu keadaan individu sadara akan dirinya dan lingkungannya
menghadapi stimulasi yang adekuat.
Kesadaran yang utuh tergantung dari integritas dan interaski antara :
- ARAS (Ascending Reticuler Activating System) kumpulan substansia drisea di
bagian sentral batang otak bagian rostral mulai dari mielum samapai di subthalamus,
menentukan tingkat kesadaran
WAKEFULLNESS-ARAOUSEL/KETERJAGAAN (keadaan yg. berhub. dengan
respon E, V dan M.
- Korteks di hemisfer serebri kiri yang utuh, merupakan substract anatomis untuk
kebanyakan komponen psikologik yang khusus, berbahasan, ingatan, intelek dan
tanggapan proses pembelajaran. Dalam mekanismenya digiatkan oleh thalamus,
hipotalamus, mesensefalon, tegmentum pontis bagian rostral.
Fungsi luhur/kortikal luhur/higher cortical function adalah kemampuan otak untuk
berinteraksi dengan sekitarnya.
komponen fungsi luhur :
- Kemampuan berbahasa
- daya ingat
- pengenalan visuospasial
- emosi, dan kepribadian
Bentuk sindroma hemisfer, kanan dan kiri :
38
KIRI KANAN
Afasia (berbahasa)
Aleksia (membaca)
Agrafia (menulis)
Akalkulasi (menghitung)
Apraksia (gerakan motorik yang
kompleks)
Pengabaian (neglect)
Visuospasial (persepsi)
- pengenalan tempat
- Pengenalan wajah
Visuomotor
- membuat kontruksi
- berpakaian
Afek dan prosodi
Kebingungan/confusion/kesadaran berkabut gangguan kapasitas berfikir, mengerti, dan
berespon dan mengingat kembali respon yang diterimanya, sehingga kehilangna kemampuan
untuk berfikir jernih, gangguan dalam membuat keputusan.
2. Mekanisme gangguan kesadaran
KEADAAN YANG MENYEBABKAN GANGGUAN KESADARAN
Plum F dan Saper CB membagi gangguan kesadaran menjadi 3 bagian :
a. Gangguan tingkat kesadaran
-Lesi distruktif yang mempengaruhi mekanisme kesadaran
Keruskan difus bilateral otak bagian depan
kerusakan disensefalon
kerusakan midbrain atas
39
-Lesi kompresi yang mempengaruhi mekanisme kesadaran
hidrosefalus
herniasi central
herniasi unkus
herniasi ke atas masa di ensephalon
kompresi pons akibat masa diserebral
b. Gangguan isi kesadaran
- anterograde amnesia
- afasia
- apraksia
-defisit spasial (amorfosintesis)
-gangguan perhatian
c. Gangguan kesadaran umum (general disorders of conciousness)
- encephalopati akut
penyakit multifaktorial
penyakit metabolik difus
- encephalo kronis
retardasi mental
demensia
persistent vegetative state
Lesi Supratentorial
Pada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan
langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena
proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang diakibatkannya.
Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro kaudal
sepanjang batang otak. Gejala-gejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses
tersebut yang dimulai dengan gejala-gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi.
Jika keadaan bertambah berat dapat timbul sindroma diensefalon, sindroma
meseisefalon bahkan sindroma pontomeduler dan deserebrasi.Oleh kenaikan tekanan
40
intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi
transtentoril dan herniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.
Lesi infratentorial
Pada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS
baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik.
Gangguan difus (gangguan metabolik)
Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir
selalu simetrik. Selain itu gejala neurologiknya tidak dapat dilokalisir pada suatu
susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.
3. Penilaian kesadaran
Menurut Sukardi, Boss keadaan bingung dibagi menjadi :
Disoroentasi Permulaan kehilangan kesadran, disorientasi (waktu,. tempat, orang),
gangguan memori
Lethargi Keterabatasan pembicaraan, gerakan motorik spontan, dapat
dibangungkan dengan pembicaran dna perabaan normal, dapat/tidak
disorientasi.
Obtudation Kesadaran yg tumpul, keterbatsan keterjagaan, acuh thd lingkungan,
mudah tertidur, kecuali dirangsangan secara verbal/perabaan, menjawab
pertanyaan dengan seminimal mungkin.
Delirium Ketidaktenangan motorik, halusinasi, disorientasi, delusi/waham.
ketakutan dna mudah terasangsang, kelainan metabolik/toksik, impending
coma.
Stupor Tidur yang dalam, tidak responsif, hanya dapat dinagunkan /jawaban
motorik/verbal dengan rangsangan yang kuat dan berulang, respon
41
menghindara/memegang rasngangan tersebut.
Koma Hilangnya kesadaran, tampak seperti tidur, tidak berespon terhadap
rangsangan eksternal
Keadaan
Vegetatif
Bernafas spontan, sirkulasi nomral, siklue membukan dan menutup mata
seperti tidur, tapi tidak tanggap lingkungan, sepintas penyembuhan dari
keadaan koma dan menetap sampai akhir kematian.
Kelainan difus bilateral pada korteks serebri dengan BO, trauma kapitis,
hipoksik-eskemia,
secara kualitatif atau masih tetap dipakai untuk penurunan kesadaran
Tabel 1. Glascow Coma Scale
Eye Opening Response (E)Spontan membuka mata 4 Membuka mata dengan rangsang suara 3 Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2
poinTidak ada respon 1
poinRespon Verbal (V)Baik dan tidak ada disorientasi 5 Mampu membentuk kalimat namun ada disorientasi 4
poinMampu membentuk kata namun ada disorientasi 3
poinTidak mampu mengucapkan kata-Lata (erangan) 2 Tidak ada respon 1
poinRespon Motorik (M)Spontan sesuai dengan perintah 6 Reaksi menapis rangsang 5 Reaksi menghindari rangsang 4
poinReaksi fleksi (dekortikasi) 3 Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
poinTidak ada reaksi 1
poin
42
Skala dihitung dengan cara penjumlahan semua nilai respon.
E + M + V = 3 sampai dengan 15 merupakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran
Penjumlahan nilai respon pasien, yang terbagi menjadi:
Ringan : 13 - 15 poin
Moderat: 9 - 12 poin
Berat : 3 - 8 poin
Koma : < 8 poin
Pemeriksaan laboratorium ada yang bersifat segera (cito) dan terencana. Secara
umum, pemeriksaan darah sehubungan dengan koma meliputi pemeriksaan rutin
lengkap, kadar glukosa darah. elektrolit, fungsi ginjal dan hepar, dan analisa gas darah.
Pada kasus tertentu (meningitis, ensephalitis, perdarahan subarakhnoid) dilakukan
punksi lumbal dan kemudian dilakukan analisis cairan serebrospinal.
43
DAFTAR PUSTAKA
Mahar M. Priguna S. Neurologi Klinis Dasar. 10th ed. Jakarta: Dian Rakyat, 2004: 184-199
Ilyas, Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p. 259-75.
Vaughan D, Asbury T. General ophthalmology. 8th ed. California: Langs Medical Publication;
1977. p. 241-4.
R.Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta :EGC
Basuki P. Purnomo. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Widya Medika
Purwadianto,agus.2002.Kedaruratan Medik.Jakarta Barat: Binarupa Aksara
44
top related